Top Banner
Policy Brief URGENSI PERLUASAN KERANGKA KONSEPTUAL DAN OPERASIONAL Oleh: Mohamad S ohibuddin h Volume Tahun 2016 4 :ĂůĂŶ :ĂƟWĂĚĂŶŐZĂLJĂEŽ͘ Ϯϱ͕ :ĂŬĂƌƚĂϭϮϱϰϬ͘ Telepon: 021-78832167 Faksimile: 021-78830500 E-mail: [email protected] www.epistema.or.id Perdebatan mengenai reforma agraria (RA) yang berkembang selama ini telah menyempitkan makna dan nuansa dari RA. Naskah ini mengajukan perluasan atas kerangka konseptual dan operasional dari RA yang sejati, yakni suatu RA yang diharapkan benar-benar mampu menjawab berbagai dimensi krisis agraria dan ekologi yang terjadi di pedesaan. Konsep RA sejati diperluas pemaknaannya sebagai suatu pembaruan yang menyeluruh atas relasi-relasi sosio-agraria dalam arti luas. Artinya mencakup relasi-relasi penguasaan dan penyakapan tanah serta relasi-relasi perburuhan dan kemitraan dalam pengusahaan tanah. Tujuannya adalah agar relasi-relasi itu bersifat demokratis dan memihak kelompok miskin, serta menjamin terjadinya transfer kesejahteraan dan kekuasaan berbasis tanah yang mengalir secara nyata kepada lapisan pekerja pedesaan yang tidak atau hampir tak bertanah (tuna kisma dan gurem). Policy brief ini mendiskusikan empat praktik yang dianggap sebagai RA padahal bukan, serta empat praktik atau gagasan yang dianggap sebagai bukan RA padahal (potensial) mewujudkan RA. Berdasarkan klarifikasi ini, selanjutnya penulis mengusulkan perluasan atas kerangka operasional RA yang sejati. Hal ini dituangkan dalam bentuk lima rekomendasi mengenai kebijakan umum RA dan sembilan rekomendasi khusus mengenai substansi RA dalam RUU Pertanahan. Ringkasan Eksekutif Penulis adalah Staf pengajar pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Penulis dapat dihubungi melalui [email protected]. ƉŝƐƚĞŵĂ/ŶƐƟƚƵƚĞ mendorong untuk terwujudnya pusat- pusat pembelajaran tentang hukum, masyarakat dan lingkungan dalam rangka mendukung gerakan ke arah terbentuknya sistem hukum nasional yang berlandaskan nilai-nilai demokrasi, keadilan sosial dan lingkungan, serta pluralisme kebudayaan.
8

Policy Brief Epistema Institute vol 4/2016.

Jan 12, 2017

Download

Documents

phamkhuong
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Policy Brief Epistema Institute vol 4/2016.

PolicyBrief

URGENSI PERLUASAN KERANGKA KONSEPTUAL DAN OPERASIONAL

Oleh:Mohamad S ohibuddinh

Volume Tahun 20164

:ĂůĂŶ�:ĂƟ�WĂĚĂŶŐ�ZĂLJĂ�E Ž͘ �Ϯϱ͕ �:ĂŬĂƌƚĂ�ϭϮϱϰϬ͘�Telepon: 021-78832167Faksimile: 021-78830500E-mail: [email protected]

Perdebatan mengenai reforma agraria (RA) yangberkembang selama ini telah menyempitkan makna dannuansa dari RA. Naskah ini mengajukan perluasan ataskerangka konseptual dan operasional dari RA yang sejati,yakni suatu RA yang diharapkan benar-benar mampumenjawab berbagai dimensi krisis agraria dan ekologi yangterjadi di pedesaan.

Konsep RA sejati diperluas pemaknaannya sebagai suatupembaruan yang menyeluruh atas relasi-relasi sosio-agrariadalam arti luas. Artinya mencakup relasi-relasi penguasaandan penyakapan tanah serta relasi-relasi perburuhan dankemitraan dalam pengusahaan tanah. Tujuannya adalah agarrelasi-relasi itu bersifat demokratis dan memihak kelompokmiskin, serta menjamin terjadinya transfer kesejahteraan dankekuasaan berbasis tanah yang mengalir secara nyata kepadalapisan pekerja pedesaan yang tidak atau hampir takbertanah (tuna kisma dan gurem).

Policy brief ini mendiskusikan empat praktik yang dianggapsebagai RA padahal bukan, serta empat praktik atau gagasanyang dianggap sebagai bukan RA padahal (potensial)mewujudkan RA. Berdasarkan klarifikasi ini, selanjutnyapenulis mengusulkan perluasan atas kerangka operasionalRA yang sejati. Hal ini dituangkan dalam bentuk limarekomendasi mengenai kebijakan umum RA dan sembilanrekomendasi khusus mengenai substansi RA dalam RUUPertanahan.

Ringkasan Eksekutif

Penulis adalah Staf pengajarpada Departemen Sains

Komunikasi dan PengembanganMasyarakat, Fakultas Ekologi

Manusia IPB. Penulis dapatdihubungi melalui

[email protected].

�ƉŝƐƚĞŵĂ�/ŶƐƟƚƵƚĞ�mendoronguntuk terwujudnya pusat-pusat pembelajaran tentanghukum, masyarakat danlingkungan dalam rangkamendukung gerakan ke arahterbentuknya sistem hukumnasional yang berlandaskannilai-nilai demokrasi, keadilansosial dan lingkungan, sertapluralisme kebudayaan.

Page 2: Policy Brief Epistema Institute vol 4/2016.

I n s t i t u t e

Hadirkan Reforma Agraria yang Sejatidalam RUU Pertanahan:

Urgensi Perluasan Kerangka Konseptual dan Operasional

POLICYBRIEF Volume Tahun 201642

Pendahuluan

Konsep Reforma Agraria (RA) telah mengalamipenyempitan makna dan nuansa. Salah satumanifestasi dari penyempitan ini adalah fokuspembaruan dari RA yang terlalu berpusat padatanah ( ). Itu pun terbatas pada tanah diland centredluar kawasan hutan. Akibatnya, apa yang dianggapsebagai RA itu melalaikan perhatian padapentingnya penciptaan dan pemerataan manfaatdari kesejahteraan dan kekuasaan yang dihasilkandari akses dan pemanfaatan sumber agraria secaraluas (bukan hanya tanah).

Pandangan utama ini adalahpolicy briefkeharusan perluasan atas kerangka konseptual danoperasional dari RA. Perluasan semacam inimendesak mengingat tingkat keluasan dankedalaman persoalan agraria dan ekologi yangberlangsung dewasa ini. Kedua persoalan ini secaraberkelindan telah membentuk problem struktural

krisis pedesaan (lihat Tabel 1), dengan imbaslangsung pada merebaknya problem struktural diwilayah perkotaan.

Untuk mengulas lebih lanjut pandangan di atas,pertama-tama akan diuraikan pengertian RA yangsejati berikut kriterianya, terutama jika RA dituntutkontribusinya untuk turut memecahkan problemstruktural krisis pedesaan. Bertolak dari hal ini,bagian kedua akan mendiskusikan dua isuperdebatan, yakni apa yang dianggap sebagai RApadahal bukan, dan apa yang dianggap sebagaibukan RA padahal (potensial) merupakan RA.Bagian terakhir berisi rekomendasi mengenaikerangka operasional RA yang mencakuprekomendasi kebijakan RA yang bersifat umum danrekomendasi kebijakan khusus RA untuk dimuatdalam RUU Pertanahan.

RA Sejati: Demokratisasi Relasi-RelasiSosio-Agraria yang Memihak Kelompok Miskin

RA sejati pada dasarnya berurusan dengan relasi-relasi sosio-agraria baik yang berlangsung antarorang, antar kelompok atau kelas sosial, maupunlebih luas antara masyarakat dengan negara. Relasi-relasi ini mencakup penguasaan, sewa menyewa,bagi hasil dan perburuhan, serta berbagai bentukkemitraan yang terjadi di sepanjang pros s produksiedan penciptaan surplus, berikut distribusi danpembagiannya. Sedangkan sumber-sumber agrariayang dimaksud di sini tidak hanya tanah, namun jugaair dan mineral yang dikandungnya, produk-produkseperti sumber daya hutan dan tanaman di atasnya,demikian juga surplus yang dihasilkan daripemanfaatan dan pengusahaannya.

Acap diasumsikan bahwa relasi-relasi sosio-agraria semacam itu bercorak kompetitif, yang didalamnya mencakup ketimpangan dan diferensiasisosial. Hal ini terutama berkisar pada lima isu kunciberikut: (1) siapa menguasai sumber agraria apa; (2)siapa melakukan aktivitas produksi apa di atasnya;

(3) siapa mendapatkan keuntungan (surplus) apadarinya; (4) apa yang dilakukan dengan surplustersebut; dan (5) apa yang dilakukan pada satu samalain oleh pihak-pihak yang terlibat dalam keempatproses itu (Bernstein 2010; White 2011).

Suatu RA disebut sejati apabila dapat melakukandemokratisasi atas relasi-relasi kompetitif diseputar kelima proses di atas. Hal ini dilakukandengan cara me- berbagai bentukreformketimpangan dan eksploitasi yang berlangsung didalamnya, serta memastikan agar berbagai ragambenefit ekonomi maupun politik yang dihasilkan darisuatu sumber agraria dapat terdistribusi se-inklusifmungkin di antara anggota masyarakat (Borras &Franco 2008a).

Demokratisasi atas relasi-relasi sosio-agrariayang timpang harus memihak secara nyata padakebutuhan dan kepentingan kelompok miskin (pro-poor). Pada kotak 1 dapat dicermati sembilan ciri RAyang bersifat ini.pro-poor

Page 3: Policy Brief Epistema Institute vol 4/2016.

POLICYBRIEF3Volume Tahun 20164

I n s t i t u t e

Hadirkan Reforma Agraria yang Sejatidalam RUU Pertanahan:Urgensi Perluasan Kerangka Konseptual dan Operasional

Page 4: Policy Brief Epistema Institute vol 4/2016.

I n s t i t u t e

Hadirkan Reforma Agraria yang Sejatidalam RUU Pertanahan:

Urgensi Perluasan Kerangka Konseptual dan Operasional

POLICYBRIEF Volume Tahun 201644

Untuk memastikan bahwa demokratisasi relasi-relasi sosio-agraria yang memihak kelompok miskintidak berhenti sebatas perubahan peraturan tetapitercermin dalam kenyataan empiris, maka perlu ada

1

dua kriteria kunci untuk menilai RA yang sejati, yaitu'transfer aktual' dan 'dampak (re)distribusi'.

‘Transfer aktual' menyangkut sejauh manapembaruan atas relasi-relasi sosio-agraria dapatmemastikan bahwa manfaat ekonomi dan politikbenar-benar mengalir kepada kelompok yang dituju.Berdasarkan kriteria ini, maka RA yang sejati adalahyang tidak sekedar memberikan hak secara hukumatas suatu sumber agraria, namun lebih dari itumemastikan bahwa secara aktual terjadi prosestransfer neto atas manfaat-manfaat ekonomi danpolitik dari sumber agraria tersebut (bdk. Borras &Franco 2008b).

Selanjutnya, kriteria 'dampak (re)distribusi'menuntut agar arah transfer itu menghasilkan aliranmanfaat yang bersifat lintas kelas atau lapisan sosial.

Misalnya dari negara, korporasi, desa, komunitas,kelas/lapisan sosial atas kepada buruh tani, wargamiskin, pemuda pengangguran, petani perempuan,dan seterusnya. Arah transer semacam inilah yangmencerminkan RA sejati karena telah menghasilkandampak (re)distribusi atas kesejahteraan dankekuasaan berbasis sumber agraria di antara anggotamasyarakat. Sebaliknya, dampak yang berlawananakan terjadi jika aliran manfaat tersebut berlangsungdi antara kelas atau lapisan sosial yang sama aliastransfer antar sesama elit (dengan dampakpengukuhan ); atau lebih parah lagi,status quoberlangsung dengan arah transfer yang terbalik, yaknimengalir dari pihak yang kecil/lemah kepada pihakyang besar atau berkuasa (dengan dampak terjadinyarekonsentrasi) (Borras & Franco 2008c). Dalam keduakasus ini, meski ada pemberian hak dan transferaktual, namun pembaruan ini bukanlah RA sejatimelainkan menggambarkan RA yang diserobot olehgolongan elit.

'Transfer Aktual' dan 'Dampak(Re)distribusi' sebagai Kriteria Penentu

Kotak 1. Karakteristik Kebijakan Pertanahanyang Memihak Kelompok Miskin

1. Melindungi atau mentransfer kesejahteraan berbasis tanah. Kesejahteraan berbasis tanah ini memiliki arti luas, yakni mencakup tanah itu sendiri, air dankekayaan mineral yang dikandungnya, tanaman dan sumber daya hutan di atasnya, dan surplus yang dihasilkan darinya.

2. Mentransfer kekuasaan politik berbasis tanah. Kekuasaan politik yang dimaksud di sini berkaitan dengan kontrol yang riil dan efektif atas sumber daya alam.

3. Sadar kelas. Sadar kelas berarti memastikan bahwa dampak kebijakan benar-benar bermanfaat bagi golongan pekerja yang tuna kisma atau bertanahgurem.

4. Sadar sejarah. Hal ini berarti masalah penciptaan serta transfer kesejahteraan dan kekuasaan politik berbasis tanah perlu dipahami dari tinjauan historisyang lebih panjang sehingga kerangka "keadilan sosial" dapat dikembangkan secara penuh.

5. ,Sensitif gender. Hal ini berarti kebijakan yang dibuat sekurang-kurangnya tidak mengurangi, dan sebisa mungkin meningkatkan hak-hak perempuan yangkhas atas tanah.

6. Sensitif etnis. Hal ini berarti kebijakan yang dibuat sekurang-kurangnya tidak mengurangi, dan sedapat mungkin meningkatkan, hak-hak yang khas darikelompok etnis terhadap klaim teritorial mereka.

7. Meningkatkan produktivitas. Kebijakan yang dibuat harus menjamin peningkatan produktivitas lahan dan tenaga kerja.

8. Menumbuhkembangkan sumber-sumber penghidupan. Kebijakan yang dibuat harus menyumbang pada penumbuhkembangan sumber-sumber penghidupanyang kian beragam dan berkelanjutan.

9. Menjamin keamanan hak. Kebijakan yang dibuat harus menyumbang pada keamanan hak yang efektif dari kelompok miskin di dalam menguasai danmenggunakan tanah untuk tujuan dan menurut cara yang mereka kehendaki.

Sumber: Borras & Franco (2008b: 3-5; 2010: 10-16)

Dinyatakan sebagai RA padahal SebaliknyaBerdasarkan pengertian RA sejati dengan dua

kriteria penentunya yaitu transfer aktual dan dampak(re)distribusi seperti dijelaskan di atas, maka dapatkita evaluasi beberapa praktik yang diklaim sebagai RApadahal berdampak sebaliknya.

Pertama, kecenderungan memasukkan semuajenis legalisasi hak atas tanah ke dalam kategori RA.Kecenderungan ini biasanya dilakukan pemerintah

atas semua program pemberian tanah negara kepadapetani penggarap. Hal ini tidak tepat karena praktik itupada umumnya sekedar mewujudkan legalisasi(sertipikasi) penguasaan tanah tanpa mempersoalkanstruktur ketimpangan dan eksploitasi yang mungkinterjadi di antara anggota masyarakat sendiri atauantara anggota masyarakat dengan pihak luar.

Page 5: Policy Brief Epistema Institute vol 4/2016.

POLICYBRIEF5Volume Tahun 20164

I n s t i t u t e

Hadirkan Reforma Agraria yang Sejatidalam RUU Pertanahan:Urgensi Perluasan Kerangka Konseptual dan Operasional

Kedua, kecenderungan menganggap bahwasemua praktik dari bawah oleh gerakanland reformtani otomatis merupakan RA yang sejati. Hal ini tidaksenantiasa demikian. Ketika proses (re)distribusitanah di antara anggota serikat tani sendiri tidakberlangsung demokratis dan memihak kelompokmiskin, serta gagal mengembangkan mekanismeuntuk mencegah proses diferensiasi dan akumulasidi antara mereka maka tidak akan ada RA sejati didalamnya (bdk. Sirait 2015).

Ketiga, modus operasi RA oleh pemerintah yangmenekankan pada kriteria-kriteria hukum danadministratif untuk memastikan status 'clear andclean' dari tanah-tanah yang bakal dibagikan, jugatidak bakal melahirkan RA yang sejati. Penekananpada aspek teknis-yuridis ini semata akan membuatpelaksanaan RA menghindar dari lokasi-lokasi yang

justru 'bermasalah' dan membutuhkan terobosanhukum. Misalnya wilayah dengan konflik agraria,yang dire-klaim atau diokupasi para petani, yangtumpang tindih dengan kawasan hutan, wilayahkelola komunitas adat, dan sebagainya.

Keempat, membatasi diri pada lingkupkewenangan sektoral juga tidak akan menghasilkanRA yang sejati. Membatasi pembaruan hanya padapemberian hak atas tanah belaka tanpamengaitkannya dengan penatagunaan tanah sertadengan optimalisasi pengusahaan tanah danpenguatan organisasi produksi (karena dianggapranah dari sektor lain) akan membuat pembaruanitu gagal mewujudkan keadilan dan kesejahteraanbagi para penerimanya. Tanah yang sudah diterimamelalui program RA yang parsial semacam ini justrudapat mudah terlepas lagi melalui mekanisme jual-beli.

Tidak dianggap RA, padahal (Potensial) Menghasilkan RADengan menggunakan pengertian RA dan

kriteria penilaian yang sama, maka beberapa praktikmaupun gagasan yang dianggap bukan RAsebenarnya dapat berpotensi mewujudkan RAsehingga harus didorong ke arah sana.

Pertama, distribusi atas tanah atau hutan negarasering dianggap bukan RA karena obyek ini'dibagikan tanpa ada keinginan kuat merombakstruktur agraria yang ada' (Nurdin 2012). Asalkand i laksan aka n b uka n u ntu k m en gh ind ar irestrukturisasi penguasaan tanah pada ,private landdistribusi tanah pada kategori ini sangatpublic landspotensial menghasilkan RA. Pertama, ia bisamengoreksi kenyataan negara sebagai 'tuan-tanah'atas sebagian besar daratan dan perairan di wilayahIndonesia. Kedua, hal ini juga bisa mewujudkan RAketika itu secara dikuasai olehpublic lands de factopara tuan tanah lokal, elit politik, aparat keamanan,perusahaan dan lain-lain.

Kedua, pemberian akses atas tanah negara atauhutan negara dalam bentuk perizinan kolektif(hutan desa, hutan kemasyarakatan) juga seringdianggap sebagian kalangan sebagai bukan RAkarena tidak melibatkan pemberian hak milik. Adabeberapa konsekuensi yang ditimbulkan olehanggapan ini. Pertama, tanpa menganggap alokasitanah/hutan negara kepada rakyat melalui skema-

skema semacam HGU, HKm, Hutan Desa dan HTRsebagai berpotensi menghasilkan RA, maka desainimplementasi kebijakan ini akan sulit diarahkanuntuk mewujudkan dua kriteria kunci RA yang diulasdi atas (transfer aktual dan dampak redistribusi). Halini mengundang risiko penikmat kebijakan ini akanterbatas pada segelintir elit dan lapisan atas desasaja (bdk. Adiwibowo dkk, 2013). Kedua, anggapandemikian juga akan membuat upaya hukum untukperlindungan dan/atau restitusi tanah komunal(baik termasuk tanah ulayat ataupun bukan) dapatkehilangan prinsip pemerataan di antara anggotakomunitas karena juga sulit dilaksanakan dalamkerangka spirit RA berdasarkan dua kriteria kunci diatas.2

Ketiga, belum banyak pemikiran, apalagi praktik,untuk mengintegrasikan tenancy reform(pembaruan relasi-relasi penyakapan) melaluib e rb aga i s kem a koo p era s i ya n g sa l i n gmenguntungkan ke dalam kerangka kerja RA. Hal inisebenarnya mengherankan karena UU Bagi Hasilditetapkan lebih awal daripada UU Pokok Agraria.Salah satu inovasi pembaruan di bidang iniditawarkan oleh Sajogyo (1976) dalam rangkamengatasi problem petani gurem. Lahan-lahangurem yang sulit ditingkatkan skala ekonomi danproduktivitasnya dikonsolidasikan dengan cara

Page 6: Policy Brief Epistema Institute vol 4/2016.

I n s t i t u t e

Hadirkan Reforma Agraria yang Sejatidalam RUU Pertanahan:

Urgensi Perluasan Kerangka Konseptual dan Operasional

POLICYBRIEF Volume Tahun 201646

dibel i oleh pemerintah untuk disatukanpengelolaannya di bawah Badan Usaha Buruh Tani(BUBT). BUBT ini merupakan wadah baru bagi ekspemilik tanah gurem yang sekaligus menjadi pekerjadi dalamnya.

Keempat, peluang yang dibukakan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa jugabelum banyak dimanfaatkan. Kewenangan desaatas pengelolaan aset desa yang diberikan oleh UUD e s a in i m e n ye d ia ka n p e lu a n g u n t u k3

mengintegrasikan penataan dan pengembanganwilayah dengan pelaksanaan RA pada skala desa.Desa dimungkinkan untuk, misalnya: (1)mengalokasikan sebagian asetnya menjadi lahanpertanian abadi dengan status tanah komunal; (2)

mengalokasikan pemanfaatan tanah komunal inisecara bergilir di antara warga miskin dan merekayang membutuhkan; (3) menetapkan aturan lokaluntuk mencegah konsentrasi kepemilikan tanah; (4)mengonsol idasikan tanah gurem dengankompensasi untuk dikelola Badan Usaha Milik Desa,Badan Usaha Milik Petani, atau koperasi; (5)mengakusisi dengan kompensasi tanah guntai,tanah kelebihan batas maksimum, tanah yangpemiliknya pindah ke luar desa dan obyek-obyekland reform lain untuk ditambahkan pada tanahkomunal sebagaimana dimaksud pada poin (1); (6)melindungi sumber daya umum seperti lahanpenggembalaan kolektif, mata air, daerahtangkapan air, wilayah muara dan pesisir, danseterusnya.

Rekomendasi Umum

1. RA yang sejati adalah upaya pembaruan untukmewujudkan demokratisasi atas relasi-relasisosio-agraria yang timpang dan eksploitatif,dengan pemihakan kepada kelompok miskindan lemah. Evaluasi RA ditentukan olehkepastian ada-tidaknya transfer manfaatsecara nyata dari suatu sumber agraria, dansejauh mana transfer itu mengalir kepadakelompok pekerja pedesaan yang tuna kismaatau hampir tak bertanah.

2. RA sejati merupakan pembaruan menyeluruh,tidak terbatas pada koreksi atas relasi-relasipenguasaan yang timpang, tetapi juga koreksiatas relasi-relasi penyakapan (sewa menyewa,bagi hasil) yang tidak adil, koreksi atas relasi-relasi perburuhan yang eksploitatif, bahkankoreksi atas bentuk-bentuk kemitraan yangmanipulatif dan merugikan. RA yang sejatitidak boleh sebatas pada semata,landreformnamun juga mencakup ,tenancy reform labourreform reformdan bahkan atas berbagaiskema kemitraan yang melibatkan petanidengan para pihak.

3. RA sejati tidak boleh terperangkap padapembaruan yang terbatas pada legalisasi

penguasaan tanah, tetapi harus memastikanagar kontrol efektif atas sumber agraria danmanfaat yang dihasilkannya benar-benarberada di tangan penerima yang berhak.

4. RA yang sejati juga harus merupakanpembaruan menyeluruh yang diarahkan untukmemulihkan krisis agraria dan ekologi dipedesaan. Untuk itu, pembaruan atas aspektata kuasa, tata guna, tata produksi dan tatakonsumsi harus membentuk satu kesatuanyang terintegrasi secara apik dalam rancangbangun pelaksanaan RA yang sejati (lihat Tabel1 di atas).

5. Kerangka implementasi RA yang sejati tidakboleh dibatasi oleh sekat-sekat sektoralisme,baik yang menyangkut obyek kebijakannya(baca: harus mencakup pertanahan dankehutanan) maupun yang menyangkutjangkauan intervensinya (baca: harusterintegrasi hulu-hilir).

Rekomendasi Khusus Terkait RUU Pertanahan

1. RUU Pertanahan harus mencantumkanprinsip-prinsip dasar RA yang sejati berikutkriteria kunci transfer aktual dan dampak(re)distribusi tanah.

REKOMENDASI

Page 7: Policy Brief Epistema Institute vol 4/2016.

POLICYBRIEF7Volume Tahun 20164

I n s t i t u t e

Hadirkan Reforma Agraria yang Sejatidalam RUU Pertanahan:Urgensi Perluasan Kerangka Konseptual dan Operasional

2. RUU Pertanahan harus membuka ruang bagiberbagai skema hak dalam pelaksanaan RA;tidak terbatas pada hak milik, namun juga bisaberupa hak pakai jangka panjang, hak pakairotatif yang diatur oleh desa, hak komunal,hingga skema-skema sewa atau izin jangkapanjang untuk rakyat.

3. RUU Pertanahan harus memuat ketentuanyang menerjemahkan lebih lanjut 'fungsisosial' tanah sebagai 'fungsi keadilan' untukmengatasi kr is is agraria dan 'fungsikeberlanjutan' untuk mengatasi krisis ekologi.Pemberian hak atas tanah harus menguatkankedua fungsi ini dengan cara menegaskan jenishak dan tata gunanya.

4. RUU Pertanahan harus memuat prinsip-prinsip dasar untuk menjamin seluruh relasiproduksi yang lebih adil dan menguntungkandi antara semua pihak yang terlibat.

5. RUU Pertanahan harus merinci ketentuan-ketentuan yang menjamin partis ipasimasyarakat dan gerakan sosial (tani, adat,perempuan, buruh dll) dalam seluruh prosesidentifikasi, perencanaan, pelaksanaan,monitoring dan evaluasi RA.

6. RUU Pertanahan harus membuat ketentuanyang rinci mengenai kerangka operasional RAyang bersifat multi-sektor dengan tugas dantanggung jawab yang jelas di antara berbagai

kementerian dan level pemerintahan.7. RUU Pertanahan harus membuka ruang

kewenangan bagi desa untuk mengelolasumber agraria di wilayahnya, menjadi ujungtombak dalam administrasi pertanahan, danuntuk menginisiasi integrasi pengembanganwilayah dan RA pada skala desa.

8. RUU Pertanahan harus memperbaruiketentuan mengenai batas penguasaan tanaholeh individu yang lebih bersifat kontekstualdengan menghapuskan plafon bawah (batasminimum penguasaan) dan menyerahkankewenangan penetapan plafon atas (batasmaksimum penguasaan) kepada pemerintahkabupaten/kota, dengan catatan tidak bolehterlampau jauh dari batas maksimum yangsu dah ada saat ini kecual i denganpertimbangan yang masuk akal.

9. RUU Pertanahan harus mencantumkanketentuan baru mengenai batas maksimumpemberian konsesi untuk korporasi padasektor pertanahan maupun kehutanan denganmempertimbangkan kepadatan agraris,proporsinya dengan luas wilayah dan (dalamkasus pulau kecil) dengan luas pulau, jeniskomoditas, kajian lingkungan hidup strategis,tata ruang, dan cadangan ketersediaan lahanuntuk rakyat.

Page 8: Policy Brief Epistema Institute vol 4/2016.

POLICYBRIEF Volume Tahun 201648

Penulis:

Foto dan Dokumentasi:

Mumu Muhajir dan Andi Sandhi

Tata Letak:

Andi Sandhi

Mohamad Shohibuddin

Policy Brief ini diterbitkan oleh Epistema Instituteatas dukungan dari Right and Resources Initiatives

Daftar PustakaAdiwibowo, Soeryo, Mohamad Shohibuddin, Hariadi Kartodihardjo (2013) “Kontestasi Devolusi: Ekologi Politik

Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas” dalam Hariadi Kartodihardjo (ed.) Kembali ke Jalan Lurus: KritikPenggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Bogor dan Yogyakarta: FORCI Development dan Tanah AirBeta.

Bernstein, Henry (2010) . Nova Scotia: Fernwood Publishing.Class Dynamics of Agrarian Change

Borras, Saturnino M. Borras dan Jennifer C. Franco (2008a) “Land Policy and Governance: Gaps and Challenges in PolicyStudies.” 1. Oslo: UNDP Oslo Governance Centre.Oslo Governance Centre Brief

-------------- (2008b) “Land Based Social Relations: Key Features of a Pro-poor Land Policy.” 2.Oslo Governance Centre BriefOslo: UNDP Oslo Governance Centre.

-------------- (2008c) “How Land Policies Impact Land-Based Wealth and Power Transfer.” 3.Oslo Governance Centre BriefOslo: UNDP Oslo Governance Centre.

-------------- (2010) “Contemporary Discourses and Contestations around Pro-Poor Land Policies and Land Governance.”Journal of Agrarian Change, 10(1): 1-32.

Hall, Derek, Philip Hirsch, Tania Murray Li(2011) . Singapore:Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast AsiaNational University of Singapore Press.

Nurdin, Iwan(2012) “Di Balik Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)” dalam Mohamad Shohibuddin dan M. NazirSalim, eds. . Yogyakarta danPembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007: Bunga Rampai PerdebatanBogor: STPN Press dan Sajogyo Institute.

Ribot, Jesse C. & Nancy L. Peluso (2003) “A Theory of Access.” , 68(2): 153-181.Rural Sociology

Sajogyo (1976) “Kata Pengantar”dalam Masri Singarimbun dan David H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjodi Pedesaan Jawa. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Sirait, Martua T. (2015) .Inclusion, Exclusion and Agrarian Change: Experiences of Forest Land Redistribution in IndonesiaPhD Thesis, International Institute of Social Studies of Erasmus University Rotterdam.

Thanh, Tran Ngoc & Thomas Sikor (2006) “From Legal Acts to Actual Powers: Devolution and Property Rights in the CentralHighlands of Vietnam.” , 8(4): 397-408.Forest Policy and Economics

White, Ben (2011) “Critical Agrarian Studies: Basic Concepts.” , 29 April 2011.Lecture Note

-------------- (2015)“Agrarian Reform and Smallholder Rights in Indonesia: Alternatives to Corporate, Customary andPrivate Tenure.” Paper dipresentasikan pada Conference on 'Contested Access to Land in the Philippines andIndonesia', University of the Philippines at Diliman, 16-17 February 2015.

1Hal ini karena perubahan legal atas relasi-relasi kepemilikan tidak selalu berkorespondensi dengan hak aktual dan praktik-praktik sosialnya (Thanh & Sikor, 2006).Pada kenyataannya, hak legal hanyalah satu di antara banyak faktor lain yang menentukan kemampuan seseorang menjalankan kontrol yang efektif atas suatusumber agraria (Ribot & Peluso 2003).

2Tanpa spirit ini, seperti diperingatkan White (2015), “semua gagasan bahwa hak atas tanah harus dialokasikan atas dasar identitas seseorang, ketimbang kebutuhandan kapasitasnya untuk menggunakan tanah, sangatlah kontroversial.” Sebab, dalam perspektif RA, “... kunci bagi distribusi tanah yang adil adalah kebutuhan atastanah sebagai basis dari mata pencaharian agraris” (Hall, dkk., 2011).

3Pasal 1 ayat (11) UU Desa menjelaskan aset desa sebagai “barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban AnggaranPendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah.” Pengertian “barang milik desa” sendiri, seperti dicontohkan dalam Pasal 76 ayat (1), “... dapatberupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa,mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa.”