1 MENGGALI METODE BERTEOLOGI PASTORAL DARI PENTALOGI TULISAN R. HARDAWIRYANA SJ (1926 – 2009) C. Putranto SJ 1 Abstract: In this essay the author attempts to explore the works of the late Fr. Robert Hardawiryana, S.J., (1926-2009), one of prominent Indonesian theologians in the wake of the Second Vatican Council. Based on this theologian's latest published works, the Pentalogi, but also making use of some yet unpublished manuscripts, the author focuses on Hardawiryana's view of theological method as reflected in his writings. In most cases, his view on method can be seen from the introduction he provides at the beginning of his articles, as he is highly aware of the importance of method in theologising. In this way he concurs with the new trends opened up by the Federation of Asian Bishops' Conference in its various documents. However, one can hardly expect a thorough and systematic theoretical exposition on theological method from this theologian, as his main interest lies elsewhere, namely, to bring a truly responsible pastoral thrust to theological writings, and vice versa, to provide sound theological foundation to pastoral policies. The author also considers that a glimpse at his intellectual formation would be of considerable help to understand Hardawiryana's future leanings in theology. Abstrak: Dalam tulisan ini pengarang berusaha mencermati karya-karya dari almarhum Pater Robertus Hardawiryana, S.J. (1926-2009), salah satu teolog Indonesia yang terkemuka segera seusai Konsili Vatikan II. Berdasarkan karya-karya beliau terakhir yang sudah diterbitkan, yakni Pentalogi, tetapi juga memanfaatkan beberapa manuskrip yang belum diterbitkan, pengarang memusatkan diri pada pandangan Hardawiryana tentang metode berteologi sejauh tercermin dalam tulisa-tulisannya. Pada umumnya, pandangan Hardawiryana tentang metode bisa dilihat pada awal karangan-karangannya, di mana tampak bahwa dia sangat sadar akan pentingnya metode dalam berteologi. Dalam hal ini Hardawiryana sejalan dengan arah-arah baru yang dibuka oleh Federasi Konferensi- konferensi Uskup Asia dalam pelbagai dokumennya. Namun demikian, sulit mengharapkan suatu paparan teoritis yang menyeluruh dan sistematis tentang metode berteologi dari teolog ini, mengingat bahwa minat utamanya lebih pada mengupayakan suatu arah pastoral yang kuat pada tulisan-tulisan teologi, dan sebaliknya juga, untuk memberi pendasaran teologis yang kuat pada kebijakan-kebijakan pastoral. Selain itu, pengarang juga memandang perlu untuk menilik sejenak pada pembentukan intelektual Hardawiryana agar lebih menolong untuk memahami kecenderungan-kecenderungannya kelak dalam berteologi. Kata-kata kunci: teologi, metode berteologi, pembinaan teologi, orientasi pastoral, inkulturasi, FABC. Keywords: theology, method of theology, theological formation, pastoral orientation, inculturation, FABC. 1 Carolus Putranto, SJ., dosen di Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik (IPPAK), FKIP Universitas Sanata Dharma. Alamat tempat kerja: Pusat Kateketik, Jalan Ahmad Jazuli 2, Yogyakarta 55002, e-mail: [email protected].
29
Embed
MENGGALI METODE BERTEOLOGI PASTORAL DARI …reviewed... · diajarkan bahasa Latin, Yunani, Perancis dan Inggris, yang meliputi tatabahasa, tata-kalimat, prosa, puisi serta retorika.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
MENGGALI METODE BERTEOLOGI PASTORAL DARI PENTALOGI
TULISAN R. HARDAWIRYANA SJ (1926 – 2009)
C. Putranto SJ1
Abstract: In this essay the author attempts to explore the works of the late Fr. Robert
Hardawiryana, S.J., (1926-2009), one of prominent Indonesian theologians in the wake of
the Second Vatican Council. Based on this theologian's latest published works, the Pentalogi,
but also making use of some yet unpublished manuscripts, the author focuses on
Hardawiryana's view of theological method as reflected in his writings. In most cases, his
view on method can be seen from the introduction he provides at the beginning of his articles,
as he is highly aware of the importance of method in theologising. In this way he concurs
with the new trends opened up by the Federation of Asian Bishops' Conference in its various
documents. However, one can hardly expect a thorough and systematic theoretical exposition
on theological method from this theologian, as his main interest lies elsewhere, namely, to
bring a truly responsible pastoral thrust to theological writings, and vice versa, to provide
sound theological foundation to pastoral policies. The author also considers that a glimpse at
his intellectual formation would be of considerable help to understand Hardawiryana's
future leanings in theology.
Abstrak: Dalam tulisan ini pengarang berusaha mencermati karya-karya dari almarhum
Pater Robertus Hardawiryana, S.J. (1926-2009), salah satu teolog Indonesia yang terkemuka
segera seusai Konsili Vatikan II. Berdasarkan karya-karya beliau terakhir yang sudah
diterbitkan, yakni Pentalogi, tetapi juga memanfaatkan beberapa manuskrip yang belum
diterbitkan, pengarang memusatkan diri pada pandangan Hardawiryana tentang metode
berteologi sejauh tercermin dalam tulisa-tulisannya. Pada umumnya, pandangan
Hardawiryana tentang metode bisa dilihat pada awal karangan-karangannya, di mana
tampak bahwa dia sangat sadar akan pentingnya metode dalam berteologi. Dalam hal ini
Hardawiryana sejalan dengan arah-arah baru yang dibuka oleh Federasi Konferensi-
konferensi Uskup Asia dalam pelbagai dokumennya. Namun demikian, sulit mengharapkan
suatu paparan teoritis yang menyeluruh dan sistematis tentang metode berteologi dari teolog
ini, mengingat bahwa minat utamanya lebih pada mengupayakan suatu arah pastoral yang
kuat pada tulisan-tulisan teologi, dan sebaliknya juga, untuk memberi pendasaran teologis
yang kuat pada kebijakan-kebijakan pastoral. Selain itu, pengarang juga memandang perlu
untuk menilik sejenak pada pembentukan intelektual Hardawiryana agar lebih menolong
untuk memahami kecenderungan-kecenderungannya kelak dalam berteologi.
Kata-kata kunci: teologi, metode berteologi, pembinaan teologi, orientasi pastoral,
inkulturasi, FABC.
Keywords: theology, method of theology, theological formation, pastoral orientation,
inculturation, FABC.
1 Carolus Putranto, SJ., dosen di Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
(IPPAK), FKIP Universitas Sanata Dharma. Alamat tempat kerja: Pusat Kateketik, Jalan Ahmad Jazuli 2,
Pranatawidjaja, Leo Soekoto, Alexius Gunawan Setiardja dan Bruder Mulyahardja. 6 Serpih-serpih, hal. 31.
7 Serpih-serpih, hal. 33. Di sini kiranya terungkap kilas balik Hardawiryana dari sudut pandang masa
kematangannya, yang diistilahkan dengan corak teologi yang kontekstual. 8 Gagasan ini dilontarkan antara lain oleh P. G. Vriens SJ, Serpih-serpih, hal. 34.
9 Serpih-serpih, hal. 35.
10 Di Kolsani saat itu ada tokoh-tokoh seperti Pp. G. Vriens SJ (ahli sejarah Gereja), Adrianus Busch SJ (lama
menjadi dosen filsafat Seminari Tinggi Kentungan/IFT), Theodorus Holthuizen SJ (dosen moral dan hukum
Gereja), Martinus van der Bercken SJ (dosen filsafat dan teologi dogmatik), Nicolaus Driyarkara SJ (ahli filsafat
yang kemudian terkenal di Indonesia).
5
Dari tahun 1948 sampai 1951 ditempuh studi filsafat skolastik SJ, di tempat yang
sama. Hardawiryana mencatat bahwa kurikulum seluruh filsafat dalam skolastikat
Yogyakarta itu sungguh mempunyai nilai-nilai "formatif" berpikir falsafi, sementara
dirasa perlu diciptakannya terminologi falsafi dalam bahasa Indonesia.11
Metode
didaktik mata kuliah filsafat (yang juga masih diikuti oleh mata kuliah teologi
dogmatik) adalah penyajian pernyataan pokok yang disebut 'tesis'. Setiap tesis
didahului pengantar, dilanjutkan dengan pokok permasalahan (status questionis),
disusul dengan pengertian-pengertian dari istilah yang dipakai dalam wacana
(notiones), kemudian catatan tentang para 'lawan' (adversarii) dari tesis tersebut,
kemudian argumentasi yang diangkat dari tradisi filsafat Barat mulai dari Yunani,
Abad Pertengahan, terutama St. Thomas Aquinas, sampai pada masa modern.
Kemudian tesis itu ditopang dengan pokok-pokok refleksi yang berkaitan, ditambah
dengan beberapa implikasi (corollarium) dan diakhiri dengan catatan-catatan
tambahan yang berkaitan dengan itu (scholion).12
Kurikulum filsafat masih mengikuti pola tradisi SJ pada zaman itu, meliputi Logica
Ringkasannya berjudul "St. Cyprian, Salvation in the Church" dalam Bijdragen der Nederlandse Jezuiten,
XIX (1957)1-21, dilanjutkan dalam Ibidem, XX (1958)137-161.
7
itupun sebagai 'umat yang disatukan berdasarkan Bapa dan Putra dan Roh
Kudus, wahana eksistensial penyelamatan yang sejati.18
Tentang ini, Hardawiryana juga mencatat:
Bagi saya sendiri, corak berpikir St. Siprianus dari Kartago jelas Ekklesiologi,
menyangkut karya Tritunggal Mahakudus... St. Siprianus kiranya lebih
mendukung juga inkulturasi dalam keanekaragaman Gereja, sedangkan St.
Kornelius sebagai Paus lebih mendukung kesatuan (agaknya juga
keseragaman) umat beriman.19
Hardawiryana ditahbiskan menjadi imam pada 22 Agustus 1956 di Basilika St.
Servatius, Maastricht, bersama 20 rekan lainnya. Setelah menjalani tahap akhir
pembinaan sebagai anggota SJ, yang disebut masa Tersiat, di Rathfarnham Castle, di
luar kota Dublin, ibukota Irlandia, Hardawiryana melanjutkan studi khusus teologi
sebagai Biennium di Roma.
Biennium di Roma ditempuhnya antara 1958 sampai 1961. Hardawiryana tiba di
Roma pada hari wafatnya Paus Pius XII (memerintah sejak 1939). Hardawiryana
mempunyai kenangan sendiri tentang Paus ini dalam hubungan dengan teologi,
karena Paus ini menghasilkan beberapa ensiklik yang sangat menentukan iklim
teologis dan devosi dalam Gereja.20
Hari-hari berikutnya, Hardawiryana juga sempat
menyaksikan terpilih dan dilantiknya Angelo Kardinal Roncalli sebagai Paus Yohanes
XXIII dalam usia 79 tahun. Secara mengejutkan, Paus baru yang dianggap sebagai
"Paus transisi" ini tidak lama kemudian akan memaklumkan diadakannya Konsili
Ekumenis Vatikan II (1962) yang mengubah kiprah Gereja secara mendasar.
Studi doktoral dalam bidang teologi itu ditempuh Hardawiryana dengan
memperhitungkan empat ranah, yaitu sejarah perkembangan dogma-dogma, teologi
Patristik dan Abad Pertengahan, eksegese alkitabiah dan refleksi sistematik. Di
samping mengikuti kuliah di Fakultas Teologi, Hardawiryana juga mengambil kuliah
di Pontificium Institutum Biblicum untuk memperdalam pengetahuan alkitabiahnya.
Memang tidak mudah bagi seorang dari kawasan Asia untuk menemukan tema bagi
tesis doktoral di tengah rimba teologi Barat yang sudah berumur panjang itu.
Bagaimana seorang Yesuit Jawa bisa menemukan sebuah tema teologis yang orisinal
dalam kancah itu? Kesulitan inilah yang agaknya dialami Hardawiryana dalam
menentukan tema disertasi doktoralnya. Untunglah datang pertolongan. Suatu duet
18
Serpih-serpih, hal. 313. 19
Catatan kaki no. 456, dalam Serpih-serpih, hal. 71. 20
Seperti misalnya Mystici Corporis (1943) tentang Tubuh Mistik Kristus; Divino Afflante Spiritu (1943)
tentang makna Kitab Suci; Mediator Dei (1947) tentang liturgi dan imamat umum kaum beriman; konstitusi
Munificentissimus Deus (1950) tentang penentuan dogma Maria Diangkat Ke Surga Dengan Jiwa-raganya;
Haurietis Aquas (1956) tentang devosi kepada Hati Kudus Yesus, dll.
8
profesor yang sering bekerjasama, Pater Maurizio Flick SJ dan Zoltan Alszeghy SJ
mempunyai sebuah tema yang belum dikerjakan seorangpun sebelumnya, yaitu tema
sekitar teologi pewartaan. Mereka menyerahkan tema itu kepada Hardawiryana untuk
dikerjakan menjadi sebuah disertasi.21
Disertasi itu dikerjakannya dalam bahasa Latin dengan dukungan juga dari bahasa
Yunani-Koine, khususnya untuk mendapatkan akses pada sumber-sumber primer.
Tampak bahwa persiapan pendidikan sampai saat itu memungkinkan Hardawiryana
untuk masih secara aktif memanfaatkan bahasa Latin. Bahasa pendukung lainnya
untuk konsultasi sumber-sumber sekunder adalah bahasa-bahasa barat modern:
Inggris, Perancis, Jerman, Belanda dan Italia, yang menurut pengakuan Hardawiryana
sendiri, bisa dipergunakannya tanpa kesulitan.
Judul disertasi itu Notio Praedicationis in Epistolis Paulinis, dikerjakan selama dua
tahun, dan dipertahankan dalam sidang promosi pada 25 Januari 1961. Pembimbing
dan penguji pertama adalah P. Zoltan Alszeghy SJ, sedangkan salah satu penguji
lainnya dalah P. Donatien Mollat SJ. Hardawiryana mendeskripsikannya demikian:
Disertasi doktoral saya di bidang Teologi...pada intinya mengutarakan
panggilan akan kesaksian kristiani, yang bercorak hidup misioner, mewartakan
Injil Yesus Kristus Tuhan, dalam perspektif soteriologis inklusif menjangkau
dan menerima semua dan siapapun sesama, Disertasi itu sekarangpun
mengajak saya bercermin pada Saulus yang menjadi Paulus Sang 'Doctor
Gentium' yang pertobatan radikalnya dirayakan dan khas saya kenangkan pada
tanggal 25 Januari.22
Tinjauan yang lebih tekstual atas kesimpulan disertasi itu23
memberikan gambaran
bahwa pengertian pewartaan menurut surat-surat santo Paulus itu merupakan sesuatu
yang kompleks, menyangkut macam-macam aspek dari karya keselamatan ilahi.
Pewartaan ada dalam kawasan hubungan antara kegiatan ilahi dan kegiatan insani. Ini
menyangkut macam-macam tema: fungsi dan kepentingan pewartaan dalam seluruh
karya keselamatan; kedudukan sang pewarta sendiri, khususnya nisbahnya terhadap
Tritunggal Mahakudus; kegiatan pewartaan sendiri sebagai aktivitas ilahi-insani
berikut tema-tema sentralnya yang digunakan dalam surat-surat Paulus; fungsi Gereja
sendiri sebagai pengajar, serta pelayanan sabda yang dilaksanakan secara kongkret
dalam kesatuan dan keragamannya; Gereja dalam kedudukannya sebagai pendengar
sabda ilahi.
21
Lih. Serpih-serpih, hal. 98. 22
Serpih-serpih, hal. 113. 23
Untuk ringkasan ini, lihat Robertus Hardawiryana S.I., Notio Praedicationis in Epistolis Paulinis. Excerpta
ex Dissertatione ad Lauream in Facultate Theologica Pontificiae Unversitatis Gregorianae, (Romae: PUG
Editrice, 1961), khususnya bagian kesimpulan, pp. 113-119.
9
Pewartaan adalah tindakan Allah sendiri yang menyapa dan mengkomunikasikan Diri
kepada manusia dengan bahasa manusia, maka tunduk pada hukum waktu dan ruang,
yaitu mengenal proses penyampaian dari abad ke abad, dari generasi ke generasi.
Peranan pewarta adalah lebih tepat diistilahkan melayani sabda ilahi daripada menjadi
alat-Nya. Maka kegiatan pewartaan mengandaikan pengutusan otentik. Selanjutnya,
pewartaan tak lain merupakan momen kehadiran Kristus yang khas dalam Gereja-
Nya. Begitu pula, Roh Kudus merupakan prinsip dan daya yang secara hakiki
memungkinkan berlangsungnya pewartaan sebagai komunikasi; Dialah yang
mempersiapkan hati orang agar pewartaan lahiriah mencapai sasarannya.
Dalam peristiwa pewartaan, Allah memasuki dunia dan sejarah manusia, berdialog
dengan manusia untuk mengubahnya dari dalam. Rencana ilahi yang tersembunyi
dalam keabadian kini menjadi nyata bagi manusia dalam Kristus sebagai "Kabar
Gembira". Gereja, dalam keseluruhan aspek hidupnya (pewartaan Injil, pelayanan
sakramen, menghayati hidup injili di tengah dunia), berperan sebagai pilar penopang
kebenaran. Lewat Tradisi, Gereja melangsungkan karya pewahyuan dan
penyelamatan Kristus sedemikian rupa sehingga undangan Allah bagi manusia untuk
ikut serta dalam hidup ilahi menjadi semakin nyata. Di sini letak pentingnya
menyesuaikan sabda ilahi dengan kondisi kongkret para pendengar sabda.
Agar pewartaan bisa berbuah, pewarta sendiri harus lebih erat menyatukan diri
dengan Allah. Di sinilah pentingnya doa, ujub murni, kesucian hidup pewarta yang
menjadi kesaksian iman dan pemakluman Injil secara kongkret. Tujuan pewartaan tak
lain adalah terlaksananya karya keselamatan ilahi dan pembangunan Tubuh Kristus.
Sebagaimana Bunda Maria memberi tubuh yang kelihatan kepada Kristus, begitu pula
pewarta dengan kata-kata manusiawi membuat sabda ilahi tampak dan terdengar
nyata.
Di dalam ringkasan isi disertasi ini terbayang suatu keterbukaan akan luas lingkup,
ragam topik dan arah metode dari karya-karya teologis Hardawiryana di kemudian
hari. Perjalanan Hardawiryana sebagai seorang teolog justru baru mulai, namun
benih-benih dari caranya berteologi sudah mulai tampak di sini.
II. PERKEMBANGAN KESIBUKAN TEOLOG DALAM MENDAMPINGI
GEREJA YANG HIDUP
1. Dosen Fakultas Teologi dengan Traktat-traktat Tradisional:
Sepulang dari studi di Roma, Hardawiryana ditugaskan menjadi dosen di Institut
Filsafat dan Teologi Yogyakarta, kemudian juga Seminari Tinggi Kupang, serta di
Sekolah Tinggi Kateketik Yogyakarta. Di sini Hardawiryana menulis beberapa
10
diktat (“traktat”) tentang mata kuliah yang diampunya yang bercorak tradisional,
bahkan ada yang ditulis dalam bahasa Latin.24
Di usia senjanya, dalam refleksi autobiografisnya, Hardawiryana mengajukan
pertanyaan-pertanyaan berikut tentang masa pembinaannya sendiri sebagai
skolastik, sesuatu yang kiranya berlaku pula bagi pembinaan para skolastik yang
diajarnya:
Benarkah dan seberapa jauhkah studi para skolastik dalam yuniorat maupun
filsafat sesudah itu (khusus latihan berpikir) diarahkan kepada kelanjutan studi
pada jenjang teologi, terarahkan kepada tahbisan imamat? Atau diarahkan juga
kepada panggilan pastoral/kegembalaan, melalui praktek-praktek di kalangan
umat, di tengah masyarakat luas, dalam rangka pembangunan Gereja dan
masyarakat? Atau studi yuniorat/filsafat itu dimaksudkan sekedar untuk
pendidikan ilmu pengetahuan sebagai bekal hidup imamat selanjutnya?
Pembinaan ilmu pengetahuan teoretis-spekulatif akademis melulu sebagai
syarat mutlak (?) untuk menerima tahbisan imamat? Atau ilmu pengetahuan
yang 'aplikatif' atau sungguh diterapkan untuk konkret menanggapi kenyataan-
kenyataan (sosial dan pastoral) sehari-hari?25
Ini menunjukkan bagaimana Hardawiryana mempertanyakan pendekatan
pengetahuan yang melulu spekulatif; dia merasa bahwa pengetahuan harus
menyentuh hidup umat yang kongkret.
Namun di samping menjadi dosen teologi dogmatik pada lembaga-lembaga
pendidikan gerejani itu, Hardawiryana juga segera dipakai oleh MAWI/KWI yang
pada waktu itu sedang mempersiapkan diri untuk Konsili Vatikan II, kemudian
juga mendampingi para uskup dalam macam-macam kesempatan di mana Gereja
Indonesia berpartisipasi dalam suatu event internasional.26
2. Seorang Teolog Merenungkan Macam-macam Situasi
Dalam tahap tersebut tenaga dan bekal teologis Hardawiryana dipakai
sepenuhnya, pertama-tama untuk memberi masukan informatif, baik kepada para
24
Sebagai contoh: Tractatus de Ordine Sacro, Yogyakarta: Collegium Scti. Ignatii, 1966; Teologi Rahmat,
Yogyakarta: Institut Filsafat dan Teologi, 1972. Pengantar Teologi, diktat untuk Seminari Tinggi St. Mikael
Kupang, 1991. Teologi tentang Gereja, (Traktat untuk Seminari Tinggi Kupang) 1993. Diktat Kristologi untuk
Seminari Tinggi Kupang, 1994. Diktat-diktat itu tidak atau belum diterbitkan. 25
Serpih-serpih, hal. 43. 26
Contoh karya Hardawiryana untuk membantu para uskup: “Suatu Evaluasi Teologis” tentang Instrumentum
Laboris sebagai persiapan bagi Sinode Para Uskup tentang Evangelisasi di Dunia Modern 1974, dalam
Spektrum IV1973)3, 245-269. Dalam setiap Sidang Pleno KWI di bulan November Hardawiryana biasa
menyuguhkan refleksi teologis tahunan atas situasi Gereja Indonesia seperti misalnya: Laporan Triwarsa 1991-
1994, untuk Sidang Sinodal KWI 1994, dalam Spektrum 23(1995)3-4, 29-55.
11
mahasiswanya maupun kepada pihak lain yang memintanya. Selain memberi
informasi teologis, kegiatan teologis Hardawiryana juga berwujud refleksi atas
situasi-situasi maupun topik-topik spesifik yang disodorkan oleh macam-macam
pihak yang membutuhkannya.27
Selain Konferensi Waligereja Indonesia dengan
komisi-komisinya, juga tarekat-tarekat religius yang harus bergulat dengan
pembaharuan diri maupun kerasulan mereka, dan akhirnya juga pelbagai kalangan
umat awam ikut memanfaatkan kompetensinya.28
Bagaimana dia memenuhi
permintaan-permintaan tersebut akan menyingkapkan metode berefleksi
teologisnya. Permintaan yang dilayani juga bermacam-macam, ada yang meminta
masukan informatif, ada yang minta dibantu dengan refleksi yang mengarah pada
perencanaan ke depan, ada yang ingin ditolong dalam membaca kembali inspirasi
awal ( “Konstitusi”) dalam terang situasi yang baru dan lain-lain.
Dari situ dilahirkannya banyak karya tulis maupun konferensi. Karya tulis ilmiah
berupa makalah doktrinal-teologis29
, makalah pastoral-hidup rohani30
, karya
terjemahan atas pustaka doktrinal-teologis31
, terjemahan pustaka pastoral-hidup
rohani32
, ada juga karya terjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris,
Latin, Jerman, Belanda dan Perancis33
. Di samping menulis karya ilmiah,
Hardawiryana juga banyak terlibat dalam kegiatan ilmiah seperti konferensi,
27
Contoh: "Towards a 'Theology in Asia': The Struggle for Identity", sebuah keynote address pada Fourth Inter-
Religio Conference di Jakarta, 1986, diterbitkan pada Inter Religio, 12(Fall/1987), juga "Asian Population
Problems - a Challenge to the Church" sebuah kertas kerja terhimpun dalam The Church and Population in East
Asia. A Report on the East Asian Seminar on Population in the Context of Integral Human Development,
(Quezon City, 1973), 48-92; "Commentaries", ibid.,93-96. Juga: "Evangelization and Ecumenism in Asia
Today", dalam Pedro S. De Achutegui, S.J. (Ed), Towards a Dialogue of Life: Ecumenism in the Asian Context,
seri Cardinal Bea Studies IV, (Rizal: Carmelo & Bauermann Inc., 1976), 83-122. 28
Sebagai contoh: "Membina Persaudaraan dalam Ordo Kita (OSC) Dalam Rangka Inkulturasi Iman", dalam
Menjalin Relasi dengan Allah dan Manusia - Doa dan Hidup Bersama, Laporan, (Bandung, 1983), 36-43.
Pegangan untuk Mendalami Konstitusi SPM, (Yogyakarta: 1990). "Tanggapan-tanggapan terhadap Pertanyaan-
pertanyaan MAWI tentang Peranan dan Pengembangan Diri Awam, Spektrum XII(1984)1, 56-77. 29
Contoh: "Contextual Theology in Indonesia. A Pastoral Point of View", Philippiniana Sacra XIV(1979)40,
78-113. "Indonesien Heute: Herausforderung an Kirche und Theologie" Den Glauben neu verstehen. Beiträge zu einer Asiatischen Theologie (Theologie der Dritten Welt I), hrsg. Vom Misionswissencshaftlichen
Institut MISSIO unter der Leitung von Ludwig Wiedenmann, (Freiburg-Basel-Wien: Herder, 1981), 55-84.
"Beberapa Catatan Sekitar Naskah 'Theological and Juridical Status of Episcopal Conferences'", Spektrum, XVII(1989)4, 97-114. 30
Misalnya: "Sinode Para Uskup IX tahun 1994: Hidup Bakti dan Peranannya dalam Gereja dan Dunia.
Relevansinya untuk Gereja di Indonesia", Spektrum, XXIII(1995)2, 23-53. "Beberapa Catatan sekitar Kasus