Mengenal dan memahami Babad A. Pengantar “Gunamantra sang Dasaratha, wruh sira ring weda bhakti ring dewa, tar malupeng pitrēpuja, masih sireng swagotra kabeh (Ramayana, I.4).” Krisis moneter yang berkepanjangan telah menimbulkan krisis baru dalam berbagai bidang kehidupan politik, sosial budaya, bahkan moral masyarakat Indonesia, tak terkecuali masyarakat Bali. Krisis tersebut sangat potensial menimbulkan konflik, baik konflik eksternal maupun internal, dan konflik dapat memicu terjadinya disintegrasi. Di sisi lain, bangsa Indonesia (termasuk masyarakat Bali) sangat kaya dengan peninggalan budaya atau warisan budaya masa lampau. Salah satu warisan budaya tersebut adalah naskah. Di antara berbagai jenis naskah, babad merupakan salah satu jenis karya sastra sejarah yang masih hidup dan berkembang di tengah – tengah kehidupan masyarakat Bali. Babad merupakan perwujudan nilai – nilai dan peristiwa – peristiwa penting pada zamannya, seperti kehidupan kebudayaan, alam pikiran, susunan tata pemerintahan, adat istiadat, keadaan masyarakat, dan kegiatan kultural lainnya. Tradisi penulisan babad telah dimulai sejak abad ke 16. Jika kemudian kita berpikir bahwa masa kini merupakan
semua babad yang pernah kita baca adalah benar adanya,,semua itu adalah mendidik kita guna menghargai leluhur,,dan jangan sekali-kali anda terbawa kearus fanatisme... semoga bermanfaat
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Mengenal dan memahami Babad
A. Pengantar
“Gunamantra sang Dasaratha, wruh sira ring weda bhakti ring
dewa, tar malupeng pitrēpuja, masih sireng swagotra kabeh
(Ramayana, I.4).”
Krisis moneter yang berkepanjangan telah menimbulkan krisis
baru dalam berbagai bidang kehidupan politik, sosial budaya, bahkan
moral masyarakat Indonesia, tak terkecuali masyarakat Bali. Krisis
tersebut sangat potensial menimbulkan konflik, baik konflik eksternal
maupun internal, dan konflik dapat memicu terjadinya disintegrasi.
Di sisi lain, bangsa Indonesia (termasuk masyarakat Bali) sangat
kaya dengan peninggalan budaya atau warisan budaya masa lampau.
Salah satu warisan budaya tersebut adalah naskah. Di antara berbagai
jenis naskah, babad merupakan salah satu jenis karya sastra sejarah
yang masih hidup dan berkembang di tengah – tengah kehidupan
masyarakat Bali. Babad merupakan perwujudan nilai – nilai dan
peristiwa – peristiwa penting pada zamannya, seperti kehidupan
kebudayaan, alam pikiran, susunan tata pemerintahan, adat istiadat,
keadaan masyarakat, dan kegiatan kultural lainnya.
Tradisi penulisan babad telah dimulai sejak abad ke 16. Jika
kemudian kita berpikir bahwa masa kini merupakan perpanjangan
masa lampau, maka perkembangan bangsa dan masyarakat pada
masa kini semestinya dapat dipahami dan dikembangkan dengan
memperhatikan latar historisnya (kehidupan masa lampau). Hal ini
berarti bahwa perlu diperhatikan berbagai informasi masa lampau,
misalnya tentang buah pikiran, pandangan, nilai – nilai yang pernah
hidup dan berkembang pada masa lalu. Oleh karena itu, babad
mempunyai peranan penting.
Sehubungan dengan itu, kiranya persoalan yang dihadapi adalah
bagaimana cara kita memandang, memahami, dan memerankan
babad pada kehidupan ini? Hal inilah menurut hemat saya perlu
didiskusikan pada kesempatan ini.
B. Apa itu Babad
Istilah babad terdapat di Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Di
daerah – daerah lain, seperti Sulawesi Utara, babad disebut lontara, di
Sumatra Barat dikenal dengan istilah tambo, di Kalimantan, Sumatra,
dan Malaysia dikenal dengan sebutan hikayat, sisilah, sejarah; di
Burma dan Thailand dikenal dengan sebutan kronikel (Soedarsono,
1985).
Ada bermacam – macam pengertian babad. Menurut
Darusuprapta (1976), babad adalah salah satu jenis karya sastra –
sejarah berbahasa Jawa Baru yang penamaannya beraneka ragam,
anatar lain berdasarkan nama sendiri, nama geografi, nama peristiwa
atau yang lainnya. Sartono Kartodirdjo (1968) menjelaskan babad
merupakan penulisan sejarah tradisional atau historiografi tradisional
sebagai suatu bentuk dan suatu kultur yang membentangkan riwayat,
dimana sifat – sifat dan tingkat kultur mempengaruhi dan bahkan
menentukan bentuk itu sehingga historiografi selalu mencerminkan
kultur yang menciptakannya. Menurut Soekmono (1973), babad
merupakan cerita-sejarah yang biasanya lebih berupa cerita daripada
uraian sejarah meskipun yang menjadi pola adalah memang peristiwa
sejarah. Teeuw (1984) menjelaskan babad sebagai teks – teks historik
atau genealogik yang mengandung unsur – unsur kesastraan.
Demikanlah ada bermacam – macam pengertian babad. Akan tetapi,
pada prinsipnya babad merupakan teks – teks historis yang dikemas
dengan unsur – unsur kesastraan.
C. Hakikat Babad
Babad merupakan titk temu antara sastra dan sejarah. Realistas
dalam babad telah berpadu dengan kreativitas. Maka realitas itu telah
menunjukkan wajah baru. Dengan demikian, babad bukanlah mutlak
dipandang sebagai dokumen sejarah, tetapi juga dipandang sebagai
teks yang secara kreatif, dan menurut konvensi kebudayaan Bali,
menafsirkan dan membayangkan hal – hal sejarah dan bukan sejarah
dalam rangka pandangan dunia masyarakat Bali. Teks babad
merupakan kenyataan yang diberi nilai dan makna lewat cerita. Oleh
karena itu, babad menjadi semacam model gaya bercerita yang laku
dalam kebudayaan Bali pada zaman itu. Dengan demikian, seorang
penulis babad lebih menekankan pemberian makna dan eksistensi
manusia lewat cerita, peristiwa yang barangkali tidak benar secara
faktual tetapi masuk akal secara maknawi. Jadi, dalam membaca
babad kita selalu sadar bahwa kita berada dalam tegangan history dan
story. Dengan kata lain, manusia dapat hidup dalam perpaduan antara
kenyataan dan impian yang kedua – duanya hakiki untuk kita sebagai
manusia. Oleh karena itu, keobjektifan mutlak tidak pernah tercapai
karena beberapa hal, yaitu: (1) Fakta – fakta tidak pernah lengkap,
selalu fragmentaris; (2) Penulis babad mau tak mau harus berlaku
selektif, tidak semua fakta dan data sama penting dan relevennya. Ia
harus memilih dan kriteria objektif untuk penyelesaian tidak ada
sehingga cendrung menulis apa yang sebaiknya ditulis bukan apa yang
seharusnya ditulis; (3) Penulis babad adalah manusia yang latar
belakang, kecendrungan, pendiriannya bersifat subjektif, ditentukan
oleh pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya sebagai manusia sosio
– budaya pada masa dan masyarakat tertentu (Teeuw, 1988).
D. Sifat Babad
Sejalan dengan pengertian dan hakikat babad seperti di atas,
maka babad memiliki sifat – sifat sakral-magis (dikramatkan), religio-
magis (mengandung kapercayaan), legendaris (berhubungan dengan
alam semesta), mitologis (berhubungan dengan dewa – dewa),
hagiografis (mengandung kemukjizatan menyimpang dari hukum
alam), simbolis (mengandung lambang – lambang, kata – kata keramat
atau bhisama, benda – benda kramat), sugestif (mengandung ramalan,
suara gaib, tabir mimpi), istana sentris (berpusat pada kerajaan),
pragmentaris (tidak lengkap), raja-kultus (pengagungan leluhur), lokal
(bersifat kedaerahan), dan anonim (tanpa nama pengarang).
E. Peranan dan fungsi Babad pada Masyarakat Bali Masa Kini
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa babad pada
hakikatnya merupakan penafsiran terhadap kenyataan, alternatif
kenyataan, atau kenyataan diberi makna lewat cerita. Sejalan dengan
itu, makna babad bukan terletak pada peristiwa itu tetapi berada di
balik peristiwa. Sebagai produk budaya kiranya babad dapat dilihat
sebagai sistem simbol. Babad dapat dipandang menggambarkan suatu
cara masyarakat Bali memperkuat dan melestarikan dirinya melalui
simbolisasi dari nilai – nilai atau konsep – konsepsi sosio-religius yang
mendasari struktur sosialnya. Hal ini penting terutama ditinjau dari
segi proses interaksi masyarakat Bali sebagai makhluk sosial. Dalam
konteks ini interaksi itu dipahami sebagai interaksi simbolik. Babad
sebagai simbol digunakan oleh orang Bali dalam berinteraksi satu
sama lain atau untuk menyatakan gagasannya sebagai manusia
berkebudayaan. Selanjutnya, sebagai warisan budaya, kiranya babad
dapat dipandang sebagai konsepsi – konsepsi orang Bali dalam
menanggapi kehidupan dan lingkungan-nya demi eksistensinya secara
historis. Kecuali itu, babad juga dipandang sebagai suatu abstraksi
tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan orang Bali.
Dalam konteks inilah hal - hal penting dalam babad, seperti bhisama
dan persoalan sesanan bagi klien bersangkutan dapat dipahami dalam
konteks yang lebih utuh. Sekalipun babad ditulis untuk mengenal dan
mengingat peristiwa – peristiwa historis dengan segala
konsekuensinya, maka kita lebih jauh dituntut untuk dapat memahami
dan memberikan penafsiran secara jernih dan komprehensif bahwa
fungsi dokumentasi babad hendaknya dipahami sesuai dengan
kodratinya sebagai ciptaan sastra. Bahwa realita dalam babad memiliki
hukumnya sendiri yang tidak harus sama dengan realita dalam fakta.
Hal ini karena dalam ciptaan yang dinamakan sastra itu terdapat
kepaduan antara mimesis dan creatio. Tidak hanya itu, fakta dan data
yang tersedia di dalam babad tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara penuh. Informasi pada babad hanya dapat dimanfaatkan
sebagai bahan tambahan. Jika mengangkat informasi dalam babad
sebagai bahan penyusunan sejarah, semestinya harus melalui kritik
sumber, babad dibaca berdampingan dengan sumber – sumber
lainnya.
Namun demikian, masih dapat diakui bahwa babad diciptakan
dalam rangka struktur dan pemenuhan fungsi. Sejalan dengan itu,
fungsi babad, antara lain: berfungsi melegitimasi (mengesahkan) asal –
usul / silsilah leluhur, kejadian / peristiwa, desa, pura atau hal – hal
lainnya. Sehubungan dengan fungsi legitimasi inilah faktor – faktor
kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling menentukan
satu sama lain. Unsur – unsur mitos, legenda, hagiografi, simbolisme,
dan sugesti sangat dibutuhkan dalam upaya menambah kakramatan
dan kewibawaan tokoh atau peritiwa yang dilegitimasi.
Di samping itu, babad berfungsi sebagai, penghormatan kepada
leluhur. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu kepercayaan
(sradha) orang Bali adalah kepercayaan terhadap leluhur. Banyak
kasus ditemukan dala kehidupan masyarakat Bali bahwa karena faktor
“tidak mengenal leluhur” (tak kenal maka tak sayang) orang tersebut
hidup sengsara, tetapi setelah menemukan dan mengenal leluhurnya
kehidupannya berubah menjadi lebih bahagia. Hal ini pula
diamanatkan dalam petikan Kekawin Ramayana di atas, bahwa untuk
dapat menjadi seorang gunamanta (memiliki kewajiban), seperti Sang
Dasaratha, maka kita diwajibkan berbakti kepada leluhur (tar
malupeng pitrepuja) di samping bertaqwa kepada Tuhan (bhakti ring
dewa).
Lebih jauh, babad berfungsi sebagai penuntun para keturunan
(pratisantana) dalam menjalankan kewajiban masing – masing. Dalam
tataran ini, babad dapat dipandang sebagai suatu mekanisme untuk
penataan tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku
orang Bali. Babad merupakan kristalisasi pandangan hidup dan ajaran
– ajaran luhur para leluhur pada masa lampau. Dikatakan demikian
karena hampir dalam setiap babad memuat bhisama leluhur tentang
sesanan (tetegenan, kewajiban) yang wajib dilaksanakan oleh
keturunannya. Babad mengajarkan kepada keturunannya untuk lebih
mengenal diri, untuk memahami hakikat dan eksistensi diri sebagai
individu dan makhluk sosial. Artinya, babad tidak mengajarkan
keturunannya untuk hidup terkotak – kotak, membatasi diri terhadap
linkungan, namun sebaliknya, babad mengajarkan interaksi orang Bali
sebagai makhluk sosial. Dalam tataran ini babad merupakan kepaduan
antara ontologis dan kosmologis. Oleh karena itu, diperlukan usaha
pemahaman komprehensif, baik terhadap manusia dan dunia maupun
Tuhan dalam satu keseluruhan konseptual yang koheren. Hal ini tentu
memaksa pikiran untuk meraih sampai ke inti paling murni yang
tersembunyi dalam struktur – struktur pengalaman manusia (leluhur
pada masa lalu). Akan menjadi sangat baik apabila keturunan suatu
klien mampu melakukan pemahaman seperti itu tentang babad
sehingga tumbuh kesadaran yang tereflaksikan dalam bentuk
pelaksanaan dharma masing – masing (dharma agam dan dharma
nagara) meniru jejak para leluhur. Dalam rangka meniru jejak leluhur
itu, kita mesti tetap dalam kesadaran bahwa babad adalah produk
masa lampau yang diberi makna pada masa kini. Artinya, sangat
diperlukan kepekaan terhadap situasi dan kondisi zaman pada saat
pembacaan. Apabila keturunan suatu klien telah mampu menjalankan
kewajibannya dengan baik, maka mereka akan menikmati haknya
dengan baik. Dalam rangka inilah kerapkali terjadi kesalahpahaman
dalam menafsirkan babad. Yang menjadi horison harapan adalah hak
dan melupakan kewajiban apa yang diamanatkan oleh leluhur. Oleh
karena itu, sering menimbulkan konflik, baik internal maupun
eksaternal.
Babad juga berfungsi sebagai sumber inspirasi seni. Cabang seni
yang lain, seperti seni pertunjukan, seni rupa, seni patung, bahkan
genre sastra lainnya (kidung, geguritan) kerapkali mengambil sumber
pada teks – teks babad. Namun hal penting yang perlu diperhatikan
dalam memilih dan mengangkat babad sebagai sumber inspirasi atau
sumber lakon seni pertunjukan adalah adanya kesinambungan yang
mampu menunjukan ciri khas babad lain berupa legitimasi, genealogi,
simbolisme, hagiografi, mitologi, dan sugesti.
PEMBAHASAN
BABAD PASEK
Zaman bahari tatkala nusa Bali dan Lombok masih berkeadaan goncang, sebagai perahu di atas lautan selalu goyang dan oleng. Nusa Bali dan Lombok ketika itu hanya ada gunung di Bali, bagian Timur gunung Lempuyang namanya. Bagian selatan gunung Andakasa, bagian Barat gunung Watukaru, bagian Utara Gunung Mangu namanya dan pula gunung Bratan. Sebab itu mudahlah oleh Hyang Haribhawana menggoyangkan nusa ini.
Dengan demikian bhatara Pasupati sangat belas kasihan melihat
halnya pulau Bali ini, maka berkenanlah Bhatara membongkar
sebagian lereng gunung Mahameru, dibawa ke Pulau Bali dan Lombok,
si Badawang nala diperintahkan diam bertahan di pangkal gunung,
Sang Anantabhoga dan Naga Basuki menjadi tali gunung itu, sedang
Naga Taksaka menerbangkan. Diturunkan di Bali pada hari Kamis
Keliwon wuku Merakih, sasih kedasa (April) bulan mati (tilem), rah 1,
tanggek 1, tahun Caka 11.
Setelah beberapa tahun lamanya rusaklah nusa Bali, pada hari
Kamis Keliwon wuku Telu, sedang hari Purnama raya, sasih Kasa (Juli),
rah 7, tenggek 2, tahun Caka 27, ketika itu hujan sangat lebat disertai
angin topan guruh kilat bersambungan, akhirnya terjadi gempa bumi
disertai suara dentuman – dentuman sehingga dua bulan lamanya
hujan saja, akhirnya meletus gunung Agung (Tolangkir) keluar air
salodaka (air belerang) dari sana.
Setelah beberapa tahun antaranya, maka pada hari Selasa
Keliwon wuku Kulantir, sasih Kalima (Nopember), kebetulan bulan
Purnama, tahun Caka 31, meletus, pula gunung Agung itu, maka
tampak keluar Bhatara Hyang Putrajaya disertai adiknya Bhatari Dewi
Danu, turun menuju Besakih, terus menetap bertempat di sana disebut
Parhyangan bergelar Hyang Mahadewa. Bhatara Dewi Danu
berparhyangan di Ulu Danu Batur dan Bhatara Hyang Genijaya
berparhyangan di Gunung Lempuyang.
Demikianlah riwayatnya pada zaman bahari, ketika Bhatara itu
berangkat ke Bali diutus Hyang Pasupati, dengan sabdanya “Anakku
bertiga kamu Mahadewa, Danu, dan Genijaya tidak lain hanya
engkaulah kusuruh pergi ke Bali menjadi Pujangga orang Bali”.
Demikianlah sabda Hyang Pasupati lalu tiga Bhatara aitu datang
menyembah, katanya: “Ya Tuhanku Bhatara, bukan karena kami akan
menolak perintah Bhatara, hanya kami perlu kemukakan bahwa kami
masih dalam keadaan anak - anak belum dewasa, tentunya kami tidak
tahu jalan mana yang harus kami tempuh”.
Jawab Hyang Pasupati: “Anakku, janganlah bersusah hati, aku
akan memberi engkau wahyu, supaya segala kehendakmu itu
kesampaian hendaknya, sebab engkau adalah anakku sekarang”.
Setelah itu maka Bhatara tiga itu diberi yoga, ditempatkan
dengan gaib didalam kelapa gading, kemudian berjalanlah mereka itu
melalui dasar laut dengan segera tiba di gunung Tolangkir
berparhyangan di Besakih. Demikianlah riwayatnya.
Diceritakan pula Bhatara Hyang Pasupati di Gunung Himalaya,
memberikan nasehat kepada para Mpu semuanya, katanya: “Cucuku
semua, dengarkanlah nasehatku kepada cucuku sekalian, bahwa aku
telah memberi izin kepadamu sekalian untuk ke Bali, melaksanakan
yoga disana, menyertai anakku Hyang tiga itu”.
Dalam antara itu diceritakan pula orang – orang yang bertapa di
lereng Gunung Tolangkir yang berlanjut timbulnya raja yang
memerintah pulau Bali. Konon permulaan penjelmaan raja ini
diperintahkan oleh Tuhan untuk menjelma dimasukkan ke dalam
selubung buah kelapa. Setelah duduk sebagai raja, digelari Shri Aji
Masula – Masuli. Ketika itu sangat sejahtera masyarakat Bali, karena
raja itu selalu melakukan Dharma keparamerthan, cinta bakti kepada
dewa – dewa dan kawitan – kawitan.
Hal ini didengar oleh Shri Aji Mayadanawa, tentang halnya orang
Bali semua, suka ria hatinya mempersembahkan Widhi – Widhana
pujawali. Kemudian ia menuju ke desa Manikmao. Raja ini berhenti
dengan maksud menanti orang – orang Bali yang akan pergi ke
Besakih. Kemudian datanglah orang – orang Bali berduyun – duyun laki
perempuan, bersama anak cucunya yang masih digendong, membawa
sesaji untuk persembahan. Raja Mayadanawa berkata: “Hai engkau
orang Bali, akan pergi kemana engkau membawa sesaji persembahan
sangat lengkap?”
Orang – orang Bali menjawab: “Ya, Tuhanku, kami sekalian pergi
ke Pura Besakih, ke Dalempuri, mempersembahkan bakti kepada
Bhatari!” Raja bersabda pula: “O, ya, engkau sekalian pergi ke Dalem?
Apa yang engkau minta disana?”
“Kami minta tirtha sarining tuwun (sari tanam – tanaman)
supaya makmur dan menjadi tanam – tanaman kami dan minta
keselamatan diri supaya mandapat umur panjang”, demikian jawab
orang – orang Bali.
Raja Mayadanawa menjawab dengan berang serta menghardik:
“Jika demikian halmu, aku tidak mengijinkan, jangan engkau kesana,
sesungguhnya akulah Dalem Jati di Dalempuri dan di Besakih tidak ada
dewa, tidak ada dalem disana, aku diberi bakti, aturi aku saji – saji.
Dengan hal yang demikian itu, tidak seorangpun yang berani
meneruskan perjalanannya, semua kembali dengan rasa sedih. Ketika
itu terjadi pada tahun Caka 896.
Perbuatan Mayadanawa itu didengar oleh Hyang Mahadewa,
yang kemudian ia mohon izin pada Bhatara Pasupati untuk
menghancurkan si Mayadanawa. Akhirnya terjadilah peperangan yang
sangat panjang. Maka datanglah saatnya Shri Mayadanawa
dibinasakan dalam pertempuran serta pula maha patihnya yang
bernama Kalawong. Hal itu terjadi dipangkung Patas di sana mereka
berdua menjadi tawulan batu padas. Dari seluruh sendi tulangnya
mengalir darah yang tiada hentinya sehingga merupakan anak kali.
Maka darah itu dikutuk oleh Bhatara Whai Mala yang sekarang dinamai
Tukad Petanu.
Dan lagi sebabnya ada yang disebutkan Tirtha Empul dan Whai
Cetik, dahulu ketika laskar dewa - dewa dalam keadaan tertekan
dalam perang yang banyak menemui ajalnya di Tegal Pegulingan,
karena kena air racun atas upayanya Mayadanawa dengan Kalawong,
ketika itu mengertilah Bhatara bahwa laskarnya kena tipu muslihat
musuh, segera Bhatara melakukan yoga dengan memancangkan panji
– panjinya (umbul – umbulnya), maka keluarlah Tirtha Amertha yang
sangat besar dan mujarab menghidupkan kembali para laskar dewa
yang telah meninggal.
Demikian riwayatnya dahulu diwarisi sampai sekarang.
Setelah beberapa tahun selang dari peperangan itu, Bhatara
Pasupati bersabda kepada para Panca Pandita, katanya: “Cucuku
sekalian, dengarlah kataku ini! Janganlah engkau lupa terhadap bathin
ketuhanan yang menjadi pokok kependetaan terutama ajaran
kemoksaan dan ajaran – ajaran filsafat. Kemudian apabila ada turun –
turunanmu, anak cucumu, sampaikan juga nasehatmu kepadanya,
supaya mereka ingat akan tugas dharmanya terhadap ke-Tuhanan dan
kependetaan. Jangan hendaknya anak cucumu lupa dan tidak setia
pustaka suci, bukanlah keturunanmu jika lupa akan dharmanya, moga
– moga mereka susut menurun menjadi ksatria. Dan yang penting
harus diperingatkan, supaya selalu diselenggarakan tempat – tempat
pemujaan kepada kawitan – kawitannya (leluhurnya) demikian pula
tentang pujawalinya sampai kemudian hari”. Demikian sabda Bhatara
Pasupati, maka seluruh Panca Pandita itu diperciki tirtha Amertha
baiknya.
Di lain pihak diceritakan Mpu Genijaya pergi ke Bali menumpang
perahu dari daun kiambang (kapu – kapu), memakai layar daun pangi,
pada hari Kamis Keliwon masa Kadasa tanggal satu (Pratipada gukla)
tahun caka 1079 (muka purwatadik witangcu).
Tidak diceritakan panjang lebar betapa hal di dalam perjalanan,
pada suatu ketika tibalah di Pantai Nusa Bali yaitu di Cilayukti. Maka
terlihat oleh adiknya Mpu Kuturan, bahwa kakaknya datang. Dengan
tergopoh – gopoh Mpu turun menjemput kakaknya di pantai, dengan
sujud menyembah lalu berkata.
“Selamat datang kakak pendeta, silahkan masuk ke dalam