Top Banner
menapak jejak, meretas simbol Tim Penyusun Mahasiswa S2 Arkeologi 2007 Universitas Gadjah Mada
78

Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Jun 09, 2015

Download

Documents

kang arkeolog

Jika kota Bandung mempunyai Braga sebagai jantung Paris van Java, maka kota Yogyakarta memiliki Kraton Yogyakarta sebagai pusat dari kearifan simbolisme Yogyakarta. Hal demikian menjadi sesuatu yang wajar, ketika kita menelusuri bagian demi bagian Kraton Yogyakarta yang ternyata memperlihatkan konsep manunggaling kawula lan Gusti, yaitu konsep dimana menyatunya hamba dengan Tuhannya. Seperti yang diutarakan Rendra, setiap bagian dari Kraton penuh dengan simbol yang melukiskan perjalanan hidup dari awal kehidupan sampai pada perjalanan hidup manusia pada akhir hidupnya.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

menapak jejak, meretas simbol

Tim PenyusunMahasiswa S2 Arkeologi 2007

Universitas Gadjah Mada

Page 2: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Daftar Isi

DAFTAR ISISebuah Pengantar: Menapak jejak, meretas simbol Keraton Yogyakarta

Bermula dari Garjitawati: Sejarah dan Lansekap Keraton Yogyakarta

Dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan

A. Sebaran Tinggalan Bangunan Keraton

1. Gladhag-Pangurakan

2. Alun-alun utara

3. Mesjid Raya Yogyakarta

4. Kompleks Pagelaran

5. Siti Hinggil Lor

6. Kamandhungan Lor

7. Sri Manganti

8. Kedhaton

• 9. Pelataran Kedhaton

• 10. Keputren dan Kesatriyan

11. Kamagangan

12. Kamandhungan Kidul

13. Siti Hinggil Kidul

13. Alun-alun Kidul

14. Plengkung Nirbaya

B. Nilai Penting Keraton Yogyakarta dan Pengelolaannya

Perencanaan Pengelolaan Wisata Budaya Keraton YogyakartaA. Landasan Konseptual

B. Perencanaan Kawasan Wisata Budaya

1. Jeron Beteng

a. Wajah fisik

b. Kampung

c. Dinamika sosial ekonomi dan budaya

Page 3: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

d. Jeron Beteng masa sekarang

2. Pagelaran

a. Makna simbolik pagelaran

b. Fungsi pagelaran

3. Mesjid Gedhe Keraton

a. Latar belakang sejarah pendirian mesjid Gedhe

b. Data Fisik Masjid Gedhe Keraton

c. Pengembangan dan pemanfaatan

d. Kesimpulan

4. Plengkung

a. Prolog

b. Kisah dibalik Plengkung

c. Memaksimalkan potensi Plengkung

5. Kamagangan

a. Pendahuluan

b. Pembahasan

c. Arti dan Makna Kamagangan Kraton Yogyakarta

d. Meningkatkan Pariwisata dengan Mengangkat Objek Daya Tarik Wisata di

Kompleks Kamagangan

e. Tahap Pengembangan

6. Siti Hinggil

a. Latar Belakang Masalah

b. Gambaran Kompleks Siti Inggil Kraton Yogyakarta

c. Siti Inggil dan Legitimasi Raja

d. Konsep Pemanfaatan Berwawasan Pelestarian Komplek Siti Inggil

Sebuah epilog: Keraton Yogyakarta tapal batas pelestarian warisan budaya

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Sebuah Pengantar: Menapak jejak, meretas simbol Kraton Yogyakarta

Jika kota Bandung mempunyai Braga sebagai jantung Paris van Java, maka kota

Yogyakarta memiliki Kraton Yogyakarta sebagai pusat dari kearifan simbolisme Yogyakarta. Hal

demikian menjadi sesuatu yang wajar, ketika kita menelusuri bagian demi bagian Kraton

Yogyakarta yang ternyata memperlihatkan konsep manunggaling kawula lan Gusti, yaitu

konsep dimana menyatunya hamba dengan Tuhannya. Seperti yang diutarakan Rendra, setiap

bagian dari Kraton penuh dengan simbol yang melukiskan perjalanan hidup dari awal

kehidupan sampai pada perjalanan hidup manusia pada akhir hidupnya.

Secara etimologis pun kata kraton penuh dengan makna simbolis. Kraton berasal dari

kata : ka + ratu + an = Kraton yang berarti tempat bersemayam ratu-ratu. Artinya yang sama

juga ditunjukkan dengan kata Kedaton. Kata Kedaton (bentuk singkat dari Ke-datu-an/Ka-datu-

an) berasal dari kata "Datu" yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran

tentang budaya Jawa, arti ini mempunyai arti filosofis yang sangat dalam.

Kraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya Karaton Kasultanan Ngayogyakarta

merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Kraton

ialah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, arti filsafat dan arti kulturil

(kebudayaan). Dan sesungguhnya kraton Yogyakarta penuh dengan arti-arti tersebut diatas.

Arsitektur bangunan-bangunannya, letak bangsal-bangsalnya, ukiran-ukirannya, hiasannya,

sampai pada warna gedung-gedungnya pun mempunyai arti. Pohon-pohon yang ditanam di

dalamnya bukan sembarangan pohon. Semua yang terdapat di sini seakan-akan memberi

nasehat kepada kita untuk cinta dan menyerahkan diri kita kepada Tuhan yang Maha Esa,

berlaku sederhana dan tekun, berhati-hati dalam tingkah laku kita sehari-hari dan lain-lain.

Selain itu istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos dan mistik yang

begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua sisi dari

sebuah mata uang yang bernama kraton. Penataan tata ruang kraton, termasuk pula pola dasar

lansekap kota tua Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur dan arah

hadap bangunan, benda-benda tertentu dan lain sebagainya masing-masing memiliki nilai

Page 5: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

filosofi dan/atau mitologinya sendiri-sendiri.

Makna filosofis Kraton Jogja pun dapat kita lihat dari penampakan bangunan Kraton

jika dilihat dari udara, dimana Kraton membentang dari utara ke selatan yang memperlihatkan

desain bangunan yang menunjukkan bahwa Kraton, Tugu dan Gunung Merapi berada dalam

satu garis/poros yang dipercaya sebagai hal yang keramat. Dalam Balairung Kraton, dapat

disaksikan adegan pisowanan (Persidangan) Agung, dimana Sri Sultan duduk di Singgasana di

hadapan para pemangku jabatan istana.

Regol Donopratopo yang menghubungkan halaman Sri Manganti dengan halaman inti

Kraton, dijaga oleh 2 (dua) patung Dwarapala yang diberi nama Cingkarabala dan Balaupata,

yang melambangkan kepribadian baik dari manusia, yang selalu menggemakan suara hatinya,

agar selalu berbuat baik dan melarang perbuatan yang jahat. Sedangkan dalam halaman inti

Kraton, antara lain dapat dilihat bangunan tempat tinggal Sri Sultan sehari-hari, tempat Sri

Sultan menerima tamu kehormatan, tempat untuk berpesta, tempat para tamu beristirahat

atau merapikan pakaian, serta gedung - gedung dan bangunan yang lain. Di tempat ini juga

terdapat Kaputren, atau tempat tinggal putri - putri Sultan yang belum menikah.

Makna simbolis yang penuh nilai filosofis menjadi daya tarik tersendiri dari Kraton

Yogyakarta yang didirikan oleh oleh Sultan Hamengku Buwono I pasca Perjanjian Giyanti di

tahun 1755. Uraian yang lebih lengkap disajikan pada bagian lain tulisan ini yang mengupas

tentang sejarah dibalik Kraton Yogyakarta. Sebagai sebuah pengantar, bagian ini diharapkan

dapat membawa kita untuk memasuki dan menjelajahi jejak-jejak sejarah Kraton Yogyakarta

bukan hanya sekedar nostalgia masa lalu semata tetapi mencermati kembali kearifan dari masa

lalu, sehingga kita dapat lebih bijak dalam menyongsong masa yang akan datang.

Semoga tulisan ini dapat membuka kembali cerita keindahan, kenyamanan, keteraturan

dalam perencanaan tata kota Kraton Yogyakarta di masa lalu yang sering menimbulkan decak

kagum setiap generasi, bahkan hingga sekarang kekaguman itu tetap ada dari semua

pengunjung yang datang ke Kraton Yogyakarta. Walaupun keindahan dan kenyamanan masa

lalu itu tidaklah lagi sama dengan apa yang kita nikmati sekarang, karena banyaknya

peninggalan dari Kraton yang sedikit demi sedikit pudar dan mungkin akan segera hilang sama

sekali dari kita. Di satu sisi kompleks Kraton Yogyakarta beserta bangunan dan lansekapnya

menjadi sangat penting karena menjadi penanda yang mewakili perkembangan jaman sekaligus

Page 6: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

titik pengingat proses sejarah Yogyakarta baik sebagai sebuah kesultanan maupun sebagai kota.

Diharapkan dengan pengenalan yang lebih baik terhadap Kraton Yogyakarta ini dapat

menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab untuk bersama-sama menjaga dan

melestarikan warisan budaya Kraton Yogyakarta. Melalui tulisan ini, kita mencoba menelusuri

kembali jejak sejarah Kraton Yogyakarta dengan berbagai catatan dan kisah. Dengan panduan

berupa tulisan dan foto, semoga kita dapat lebih mudah untuk menengok kembali ke belakang,

yaitu ke masa awal perkembangan Kraton Yogyakarta, sambil berupaya mengenali kembali

rangkaian bangunan-bangunan yang menjadi bagian dari Kraton. Bermula dari kompleks utama

Kraton dimulai dari Gapura Gladhad di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan.

Page 7: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Bermula dari Garjitawati: Sejarah dan Lansekap Kraton Yogyakarta

Kraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I pasca Perjanjian Giyanti di

tahun 1755. Waktu masih muda, baginda bergelar pangeran Mangkubumi Sukowati. Menurut

Dr.F.Pigeund dan Dr.L.Adam di majalah Jawa tahun 1940 Sultan pun diberikan julukan: "de

bouwmeester van zijn broer Sunan P.B II" ("arsitek dari kakanda Sri Sunan Paku Buwono II").

Pada saat pendirian Kraton, Sultan memilih lokasi bekas sebuah pesanggarahan (semacam

istana peristirahatan/villa) yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk

istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan

dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi kraton merupakan sebuah mata air,

Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Bangunan pokok dan desain dasar tata

ruang dari kraton berikut landscape kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756.

Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya.

Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran

dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta 1921-1939). Istana

ini menjadi istana resmi Kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika pemerintah Negara

Bagian Republik Indonesia menjadikan Kesultanan Yogyakarta (bersama-sama Kadipaten Paku

Alaman) sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi yang bernama Daerah

Istimewa Yogyakarta. Di samping Kraton Yogyakarta, Kesultanan Yogyakarta setidaknya memiliki

dua istana peristirahatan yaitu Ambar Binangun di sebelah barat kota dan Ambar Rukmo di

sebelah timur kota (saat ini menjadi lokasi Ambarrukmo Plaza).

Di masa lalu kompleks utama Kraton dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di

Plengkung Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama kraton Yogyakarta dari utara ke selatan

adalah: Gapura Gladag, Pangurakan nJawi/luar, dan Pangurakan Lebet/dalam; Kompleks Alun-

alun Lor (Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti

Hinggil Lor, Kompleks Kamandhungan Lor; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton;

Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul (Selatan); Kompleks Siti Hinggil Kidul

(sekarang Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut

Page 8: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Plengkung Gadhing.

Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan

simetris. Sebagian besar bagunan di utara kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di

sebelah selatan kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri

bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang

menghadap ke arah yang lain. Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan kraton

juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono,

Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Kraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana

Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Kraton

dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan

Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan kraton antara

lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar

Beringharjo.

Tiap-tiap kompleks terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan

dan ditanami pohon tertentu serta bangunan-bangunan utama dan pendamping. Kompleks

satu dengan yang lain dihubungkan dengan Regol (Regol=Gerbang) yang biasanya bergaya

Semar Tinandu, beratap trapesium seperti joglo tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding

yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya. Pintu yang berketinggian

sekitar 2,5-3 m terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang

biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu

penyekat ini terdapat ornamen yang khas.

Bangunan-bangunan Kraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa

tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis,

Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau

derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan

joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa

kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya

bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.

Permukaan atap joglo berupa trapesium dengan bahan terbuat dari sirap kayu, genting

tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh

tiang utama yang di sebut dengan Saka Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang

Page 9: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen

berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan

lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada

bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari

kaligrafi [[Allah]], [[Muhammad]], dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.

Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna

emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai

biasanya terbuat dari batu pualam/marmer (marble) warna putih atau dari ubin bermotif.

Ketinggian lantai secara umum sekitar 5-15 cm dari permukaan halaman. Pada bangunan

tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi sekitar 40-60 cm (misal pada bangsal Witono

dan Kencana). Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang

tempat menempatkan singgasana Sultan.

Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya

dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan

dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan

dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana

bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat

dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.

Berbagai aspek yang menarik perhatian itulah yang menyebabkan banyak ahli yang

membahas Kraton Yogyakarta dari sudut pandang keahlian masing-masing. Ada yang

membahas dari sudut pandang sejarah, dari sudut pandang politik, ada yang mengupas

arsitektur, ada yang mengupas aspek sosiologis, kehidupan seni, dan masih banyak yang lain.

Kraton Yogyakarta memang yang mempunyai banyak aspek untuk dibahas dan dikupas. Maka

dari itu, dalam kesempatan ini diuraikan permasalahan mengenai potensi dan masalah yang

muncul berkaitan dengan status Kraton Yogyakarta sebagai kawasan pusaka budaya. Selain itu

akan diuraikan usulan model pengelolaan Kraton Jogja sebagai objek wisata budaya.

Page 10: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan

A. Sebaran Tinggalan Bangunan Kraton

1. Gladhag-Pangurakan

Gapura Gladhag kini hanya bisa disaksikan lewat dokumentasi foto saja, karena

sekarang bangunan gapura itu sudah tidak ada. Di masa lalu Gapura Gladhag terdapat di ujung

utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46). Di sebelah selatan gapura

Gladhag terdapat Gapura Pangurakan nJawi (luar) yang sekarang masih berdiri dan menjadi

gerbang pertama jika masuk Kraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat

Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas

sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet (dalam) yang juga masih berdiri. Ketiga

gapura tersebut adalah gerbang utama (main gate) untuk masuk ke Kraton Yogyakarta. Selepas

dari Gapura Pangurakan Lebet terdapat Kompleks Alun-Alun Lor (utara).

2. Alun-alun utara

Alun-alun Lor (Utara) adalah sebuah lapangan berumput (aslinya berpasir) di bagian

utara Kraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh

tembok yang cukup tinggi. Sekarang tembok ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian

selatan. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum. Gambaran

yang relatif masih seperti aslinya ada di Alun-Alun Kidul (selatan) dimana dinding yang

mengelilingi masih dapat disaksikan secara utuh.

Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili

Moraceae) dan ditengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang

disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung. Kedua pohon ini diberi nama Kyai

Dewadaru dan Kyai Janadaru. Versi lain Kyai Dewadaru dan Kyai Jayadaru/Wijayadaru. Pada

zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem (Chief of Adminstrative Officer) yang boleh

melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Pejabat rendah apalagi

rakyat tidak diperbolehkan melewatinya dan harus berjalan memutar. Tempat ini pula yang

dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe" (harfiah=menjemur diri) saat

Page 11: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Pisowanan Ageng sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah.

Tapa Pepe dapat dilihat sebagai sebuah cermin nilai-nilai demokrasi yang dibungkus

oleh kearifan lokal dalam bentuk demonstrasi secara tertib, tidak anarkis, dan tunduk pada

aturan main yang telah ditetapkan. Pejabat istana (abdi-Dalem Kori) akan menerima mereka

untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang

duduk di Siti Hinggil. Peristiwa terakhir konon terjadi pada zaman Sultan Hamengkubuwono VIII

ketika rakyat tidak sanggup untuk membayar pajak yang ditetapkan oleh Pepatih Dalem

bersama Gubernur Belanda di Yogyakarta.

Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil

yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit para Bupati dari daerah Mancanegara

Kesultanan. Bagunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah

lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang

terpisah, Pagelaran.

Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara

dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg

serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng (rakyat dan pejabat

menghadap raja sebagai tanda kesetiaan mereka kepada raja dan kerajaan) dan sebagainya.

Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat

seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya

Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaran.

3. Mesjid Raya Yogyakarta

Kompleks Masjid Raya Kesultanan terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara.

Kompleks yang juga disebut dengan Mesjid Gedhe Kauman ini dikelilingi oleh suatu dinding

yang cukup tinggi sekitar 2-3 meter. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur

bangunan induk berbentuk tajug persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk

ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat

mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, mihrab (tempat imam memimpin ibadah), dan

sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut maksura yang pada zamannya (untuk alasan

keamanan) dipergunakan Sultan untuk beribadah. Serambi masjid berbentuk joglo persegi

panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih tinggi 50-80 cm dari serambi masjid dan

Page 12: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

lantai serambi sendiri lebih tinggi 80-100 cm dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi

utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil yang pada zamannya digunakan untuk

mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid.

Pagongan berada di timur laut dan tenggara bangunan masjid raya. Pagongan di timur

laut masjid disebut dengan Pagongan Lor dan yang berada di tenggara disebut dengan

Pagongan Kidul. Saat upacara Sekaten, Pagongan Lor digunakan untuk menempatkan gamelan

sekati Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga dan Pagongan selatan untuk gamelan sekati KK Guntur

Madu. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang

digunakan dalam upacara Jejak Bata (harfiah: menendang batu bata) pada upacara Sekaten di

tahun Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi Kangjeng Kyai Pengulu (semacam

Menteri Agama/Imam Agung/Mufti Kerajaan) di sebelah utara masjid dan pemakaman di

sebelah barat masjid.

4. Kompleks Pagelaran

Bangunan utama adalah Tratag Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama Tratag

Rambat. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para punggawa kesultanan menghadap

Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan

lain-lain disamping untuk upacara adat kraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di sisi

jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh Sultan untuk

menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.

Sepasang Bangsal Pasewakan/Pengapit terletak tepat di sebelah timur dan barat

Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau

menunggu giliran melapor kepada beliau. Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata

(semacam diorama yang menggambarkan prosesi adat, prajurit kraton dan lainya). Bangsal

Pengrawit yang terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan

oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem. Sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief

perjuangan [Hamengkubuwono I|Sultan HB I]] dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah

digunakan oleh Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak Sumur.

5. Siti Hinggil Lor

Di selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil

Page 13: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Di tempat

ini pada 19 Desember 1949 digunakan peresmian Universitas Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat

lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan

selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam (Inocarpus

edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae)

Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal Pacikeran

yang digunakan oleh abdi-Dalem Mertalulut dan Singanegara (para algojo/eksekutor putusan

hakim pengadilan kerajaan) sampai sekitar tahun 1926. Tarub Agung terletak tepat di ujung atas

jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang, tempat para

pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana. Di timur laut dan

barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Di tempat ini dahulu bertugas abdi-Dalem Kori

dan abdi-Dalem Jaksa yang fungsinya untuk menyampaikan permohonan maupun pengaduan

rakyat kepada Sultan.

Bangsal Manguntur Tangkil terletak ditengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam

sebuah hall besar terbuka yang disebut Tratag Sitihinggil. Bangunan ini adalah tempat Sultan

duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan Sultan dan

Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada 17 Desember 1949 Ir. Soekarno dilantik menjadi

Presiden Republik Indonesia Serikat. Bangsal Witono berdiri di selatan Manguntur Tangkil.

Lantai utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi sekitar 40-

60 cm. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau pusaka

kerajaan pada saat acara resmi kerajaan.

Bale Bang yang terletak di sebelah timur Tratag Sitihinggil pada zaman dahulu

digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Naga Wilaga.

Bale Angun-angun yang terletak di sebelah barat Tratag Sitihinggil pada zamannya merupakan

tempat menyimpan tombak, KK Suro Angun-angun.

6. Kamandhungan Lor

Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding

selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, Regol Brojonolo,

sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di sebelah timur dan barat sisi selatan

gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan

Page 14: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

di hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan

sekaligus kompleks dalam Kraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan barat

kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu ke jalan Kemitbumen dan Rotowijayan.

Kompleks Kamandhungan Lor/utara sering disebut Keben karena di halamannya

ditanami pohon Keben (Barringtonia asiatica; famili Lecythidaceae). Bangsal Ponconiti yang

berada ditengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu bangsal

ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati di mana Sultan sendiri

yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan untuk mengadili semua

perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara

adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk

menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan Bale Antiwahana. Selain kedua

bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini.

7. Sri Manganti

Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks Kamandhungan Lor dan

dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding penyekat terdapat hiasan Makara raksasa.

Di sisi barat terdapat Bangsal Sri Manganti yang pada zamannya digunakan sebagai tempat

untuk menerima tamu-tamu penting kerajaan. Sekarang di lokasi ini ditempatkan beberapa

pusaka kraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan untuk

penyelenggaraan even pariwisata kraton.

Bangsal Traju Mas yang berada di sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat

kerajaan saat mendampingi Sultan dala menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan

tempat ini menjadi balai pengadilan. Lokasi ini pernah digunakan untuk menempatkan

beberapa pusaka yang antara lain berupa tandu sebelum 27 Mei 2006 saat bangsal ini runtuh

akibat gempa bumi yang hanya menyisakan bagian lantainya saja yang dapat kita saksikan

sekarang. Sedangkan si sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk meriam buatan Sultan HB

II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf Cina. Di sebelah timurnya berdiri

Gedhong Parentah Hageng Karaton, gedung Administrasi T inggi Istana. Selain itu di halaman ini

terdapat bangsal Pecaosan Jaksa, bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan

bangunan lainnya.

Page 15: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

8. Kedhaton

Kompleks kedhaton merupakan inti dari Kraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan

dirindangi oleh pohon Sawo kecik (Manilkara kauki; famili Sapotaceae). Kompleks ini setidaknya

dapat dibagi menjadi tiga bagian (quarter). Bagian pertama adalah Pelataran Kedhaton dan

merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri

(para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian putra-

putra Sultan. Di komplkes ini tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum,

terutama dari bangsal Kencana ke barat. Kompleks ini terletak di sisi selatan kompleks Sri

Manganti berdiri Regol Donopratopo yang menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di

muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa Dwarapala yang dinamakan Cinkorobolo

disebelah timur dan Bolobuto di sebelah barat. Di sisi timur terdapat pos penjagaan. Pada

dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang kerajaan, Praja Cihna.

9. Pelataran Kedhaton

Bangsal Kencana (Golden Pavilion) yang menghadap ke timur merupakan balairung

istana. Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk

upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag Bangsal Kencana yang

dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat nDalem

Ageng Prabayaksa (Proboyakso) yang menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu

ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka

Kerajaan (Royal Heirlooms), Tahta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan (Regalia) lainnya.

Di sebelah utara nDalem Ageng Prabayaksa berdiri Gedhong Jene (The Yellow House)

sebuah bangunan tempat tinggal resmi (official residence) Sultan yang bertahta. Bangunan yang

didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan sampai Sultan HB IX. Oleh

Sultan HB IX tempat yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi.

Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di Kraton Kilen (harfiah=Istana Barat). Di sebelah

timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam kraton, Gedhong

Purworetno. Bangunan ini didirikan oleh Sultan HB V dan menjadi kantor resmi Sultan. Gedung

ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.

Page 16: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Di selatan bangsal Kencana berdiri Bangsal Manis menghadap ke arah timur. Bangunan

ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan

untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulan Suro (bulan pertama dalam kalender Jawa).

Bangunan lain di bagian ini adalah Bangsal Kotak (tempat menunggu para penari untuk pentas

di bangsal Kencana), Bangsal Mandalasana (tempat abdi-Dalem Musikan memainkan ansambel

musik diatonis), Gedhong Patehan (tempat mempersiapkan minuman teh), Gedhong

Danartapura (kantor bendahara), Gedhong Siliran (tempat menyimpan lampu/lentera),

Gedhong Sarangbaya (tempat menyimpan peralatan makan dan minum), Gedhong Gangsa

(tempat memainkan orkestra gamelan), dan lain sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri

bangunan baru, Gedhong Kaca sebagai museum Sultan HB IX.

10. Keputren dan Kesatriyan

Keputren merupakan tempat tinggal Permaisuri dan Selir raja serta diperuntukan pula

untuk para puteri raja yang belum menikah. Sehingga tempat ini merupakan kawasan tertutup

sejak pertama kali didirikan hingga sekarang. Di tempat ini terdapat Mesjid Keputren yang

menjadi tempat khusus untuk beribadat bagi para penghuni Keputren.

Adapun Kesatriyan pada zamannya digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja

yang belum menikah. Bangunan utamanya adalah Pendapa Kesatriyan, Gedhong Pringgandani,

dan Gedhong Srikaton. Bagian Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat

penyelenggaraan event pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan Kesatriyan dahulu

merupakan istal kuda yang dikendarai oleh Sultan.

11. Kamagangan

Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang menghubungkan

kompleks Kedhaton dengan kompleks Kamagangan. Gerbang ini begitu penting karena di

dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun

berdirinya Kraton Yogyakarta. Dalam bahasa jawa : "Dwi naga rasa tunggal" Artinya: Dwi=2,

naga=8, rasa=6, tunggal=I, Dibaca dari arah belakang 1682. warna naga hijau, Hijau ialah symbol

dari pengharapan. Di sisi selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang

menggambarkan tahun yang sama.

Page 17: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Dahulu kompleks Kamagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai (abdi-

Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang.

Bangsal Magangan terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol

Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Kraton.

Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen

berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi Langgi dan nasi

Gebuli. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat Panti Pareden. Kedua tempat ini digunakan

untuk membuat Pareden/Gunungan pada saat menjelang Upacara Garebeg. Di sisi timur dan

barat terdapat gapura yang masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan

Magangan.

Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks

Kamagangan dengan Regol Gadhung Mlati. Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan

gantung yang melintasi kanal Taman sari yang menghubungkan dua danau buatan di barat dan

timur kompleks Taman Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan

oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari.

12. Kamandhungan Kidul

Di ujung selatan jalan kecil di selatan kompleks Kamagangan terdapat sebuah gerbang,

Regol Gadhung Mlati, yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan kompleks

Kamandhungan Kidul/selatan. Dinding penyekat gerbang ini memiliki ornamen yang sama

dengan dinding penyekat gerbang Kamagangan. Di kompleks Kamandhungan Kidul terdapat

bangunan utama Bangsal Kamandhungan. Bangsal ini konon berasal dari pendapa desa Pandak

Karang Nangka di daerah Sukawati yang pernah menjadi tempat Sri Sultan Hamengkubuwono I

bermarkas saat perang tahta III. Di sisi selatan Kamandhungan Kidul terdapat sebuah gerbang,

Regol Kamandhungan, yang menjadi pintu paling selatan dari kompleks cepuri. Di antara

kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul terdapat jalan yang disebut dengan

Pamengkang.

13. Siti Hinggil Kidul

Siti Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan Sasana Hinggil Dwi Abad terletak

di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter

Page 18: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150 cm dari permukaan tanah

di sekitarnya. Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan kecil yang disebut dengan

Pamengkang, tempat orang berlalu-lalang setiap hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat

pendapa yang kemudian dipugar pada 1956 menjadi sebuah Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad

sebagai tanda peringatan 200 tahun kota Yogyakarta.

Siti Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para

prajurit kraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg, tempat menyaksikan adu

manusia dengan macan (rampogan) dan untuk berlatih prajurit perempuan, Langen Kusumo.

Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang

mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk mempergelarkan seni

pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya.

13. Alun-alun Kidul

Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Kraton Yogyakarta. Alun-

alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk

krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang

memang terletak di belakang kraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki

lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di

antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna

memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera

indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp; famili Anacardiaceae), dan kuini (Mangifera

odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di

tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di

kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari

gapura sisi selatan terdapat jalan Gading yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.

14. Plengkung Nirbaya

Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan bagian utama kraton. Dari tempat ini

Sultan HB I masuk ke kraton pada saat perpindahan pusat pemerintahan dari Kedhaton Ambar

Ketawang. Gerbang ini secara tradisi digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi panjang

pemakaman Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi

Page 19: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Sultan yang sedang bertahta. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa

yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja. Kata

nirbaya berasal dari dua unsur kata yakni nir 'hilang, tanpa' dan baya 'bahaya'. Dengan

demikian, Plengkung Nirbaya mempunyai arti jalan keluar masuk ke kraton tanpa bahaya,

maksudnya ialah jalan yang memberikan keselamatan.

B. Nilai Penting Kraton Yogyakarta dan Pengelolaannya

Bangunan-bangunan dalam Kraton Yogyakarta seperti yang telah diuraikan di atas,

menjadi penanda perjalanan panjang sejarah Kraton dan juga kota Yogyakarta. Dengan

beragam tinggalan budayanya, Kraton Yogyakarta merupakan sebuah kawasan cagar budaya,

sesuai dengan Perda Prov. DIY no. 11 tahun 2005 ps. 1 ayat 6 yang menyatakan ”Kawasan

Cagar Budaya adalah kawasan yang melingkupi aglomerasi wilayah yang memiliki benda atau

bangunan cagar budaya dan mempunyai karakeristik serta kesamaan latar belakang budaya

dalam batas geografis yang ditentukan dengan deliniasi fisik dan non fisik”.

Nilai penting yang terkandung di dalamnya menjadikan Kraton Yogyakarta sebagai

warisan budaya yang harus kita lestarikan bersama. Di sisi lain nilai penting tinggalan-tinggalan

itu sudah diakui oleh dunia ilmu pengetahuan, sehingga harus dilindungi. Bahkan berkaitan

dnegan itu telah diundangkan peraturan perundangan untuk melindungi pusaka-pusaka

budaya. Peraturan perundangan tersebut adalah Undang-Undang Republik Indonesia no. 5

tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, dan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakartano. 11

tahun 2005 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya dan Benda Cagar Budaya. Upaya-upaya

untuk sosialisasi peraturan perundangan, dan penerapannya di dalam kehidupan bermasyarakat

juga sudah dilakukan.

Demikian pula, kajian-kajian tentang berbagai aspek Kraton Yogyakarta, khususnya

yang berhubungan dengan statusnya sebagai kawasan pusaka budaya sudah dilakukan. Namun,

rasanya sosialisasi masih perlu lebih diintensifkan dan diperluas jangkauannya, serta dilakukan

dengan bersinergi antar berbagai kalangan. Misalnya dengan membuat versi populer baik

dalam bentuk cetak atau elektronik kajian-kajian yang pernah dilakukan, melakukan lawatan-

lawatan sejarah pada siswa-siswa sekolah dan para guru. Sebab sangat diharapkan bahwa

tinggalan-tinggalan bangunan kuno yang masih relatif utuh di Kraton Yogyakarta dipelihara dan

dijaga supaya kita tidak kehilangan jejak-jejak sejarah yang berharga.

Page 20: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Berkaitan dengan nilai penting Kraton Yogyakarta dalam kaitannya dengan aspek

pelestarian dan pemanfaatan untuk masa sekarang dan masa yang akan datang, maka

diperlukan model pengelolaan Kraton Yogyakarta yang tepat. Sebagai benda cagar budaya,

pengelolaan Kraton Yogyakarta yang berwasan pelestarian mutlak diperlukan, karena pada

hakekatnya tujuan pelestarian itu sendiri adalah mempertahankan nilai penting benda cagar

budaya agar tidak hilang atau pun berkurang (Pearson dan Sullivan, 1995; McGimsey dan Davis,

1977).

Proses tentang pemberian nilai terhadap tinggalan budaya inilah yang disebut sebagai

penilaian atas makna budaya. Ada dua unsur yang penting dan saling terkait dalam proses ini,

yaitu penentuan unsur-unsur yang menjadikan tempat itu penting serta nilai penting atau

makna budaya itu sendiri di masyarakat. Jika mengacu pada Burra Charter, makna budaya

adalah sesuatu yang memiliki nilai 'estetis, bersejarah, ilmiah, atau nilai sosial untuk masa

lampau, sekarang, dan masa depan'. Keanekaragaman warisan pusaka yang ada menjadikan

beragamnya makna budaya, untuk itulah penaksiran nilai penting agar setiap warisan pusaka

memiliki makna budaya yang jelas dan memudahkan dalam memenejnya (Sullivan & Person,

1995:126).

Beberapa pernyatan yang termuat di charter misalnya tentang elements of significance

ini yaitu nilai/makna estetis, belum bisa memberikan penjelasan yang mendetail. Padahal nilai

estetis ini merupakan nilai penting yang terdapat di warisan pusaka sehingga seharusnya

memiliki penjelasan yang lebih tegas. Untuk menilai makna estetis itu tentu saja dibutuhkan

panduan dari pakarnya. Hal lainya berkaitan dengan menaksir nilai ini adalah penjelasan

tentang nilai-nilai lainnya berupa nilai arsitektural, nilai sejarah, nilai pengetahuan, dan nilai

sosial. Setiap nilai-nilai tersebut memiliki uraiannya masing-masing dan merupakan bagian dari

manajemen sumberdaya budaya yang akan membantu kita dalam menaksir warisan pusaka,

termasuk dalam hal ini menaksir nilai penting Kraton Yogyakarta.

Dalam arkeologi pengelolaan nilai penting termasuk dalam kajian manajemen

sumberdaya budaya atau cultural resource management, yang pada intinnya adalah pelestarian

atau konservasi, dimana konsep pelestarian harus dipahami dalam konteks transformasi

budaya, proses transformasi dari konteks sistem ke konteks arkeologi. Pelestarian menjadi hal

karena sumberdaya budaya pasti akan mengalami degradasi, semakin lama semakin

Page 21: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

menghilang. Sehingga dalam hal ini hakekat pelestarian adalah berusaha mempertahankan

sumberdaya budaya agar tetap dalam konteks sistem atau mengembalikannya ke dalam

konteks sistem dengan cara selalu memberi makna baru bagi sumberdaya budaya.

Di konteks inilah, penerapan manajemen sumberdaya budaya dalam pengelolaan

Kraton Yogyakarta akan memberikan manfaat yang positif. Pemberian makna baru terhadap

tinggalan-tinggalan yang terdapat di Kompleks Kraton dengan cara-cara yang kreatif dan

inovatif akan dapat mempertahankan keberadaan sumberdaya budaya tersebut. Dengan

melestarikan sumberdaya budaya maka kita akan dapat mengambil manfaatnya, dan jika kita

ingin memahami manfaat yang kita peroleh, kita harus menerjemahkan pengetahuan yang kita

peroleh untuk masyarakat. Pada intinya dari masyarakatlah proses ini berawal dan kepada

masyarakat pula semua itu harus diserahkan. Dengan konsep ini manajemen sumberdaya

budaya harus diterapkan dengan keterlibatan masyarakat secara aktif sehingga tercipta masa

depan bagi masa lalu Kraton Yogyakarta yang lebih baik.

Cleere (1990) menjelaskan bahwa manajemen sumberdaya budaya mempunyai dasar

filosofi yang mengkaitkan kegunaan warisan budaya itu untuk jati diri (cultural identity) yang

dikaitkan dengan fungsi pendidikan, manfaat ekonomis lewat kepariwisataan, dan fungsi

akademis untuk menjaga dan menyelamatkan basis data tentang sumberdaya tersebut.

Berkaitan dengan fungsi tersebut, maka pengelolaan Kraton Yogyakarta dapat ditempuh

melalui pemanfaatannya sebagai objek wisata budaya.

Dalam upaya pengembangan objek wisata budaya, salah satu aspek penting yang perlu

mendapat perhatian, adalah visi pelestarian tinggalan budaya. Konsep pelestarian

pengembangan dalam rangka pemanfaatan tinggalan budaya, perlu dicermati mengingat

kelestarian tinggalan budaya, menjadi bagian penting pemanfaatan jangka panjang objek

wisata tersebut. Dalam kondisi itu, konsep pelestarian berwawasan pengembangan dan

pengembangan objek wisata yang berwawasan pelestarian tinggalan budaya sangat

dibutuhkan. Pelestarian diharapkan mampu menjadi indikator penguatan jatidiri bangsa, dalam

rangka membangun bangsa yang lebih berkualitas. Untuk mencapai itu ada tiga aspek pokok

yang jadi prioritas, yakni pelestarian tinggalan budaya, pengembangan lingkungan dan

masyarakatnya sebagai objek wisata terpadu. Korelasi dan keterpaduan ketiga aspek tersebut

diharapkan nantinya menjadikan kawasan Kraton Yogyakarta sebagai tujuan wisata budaya

terpadu yang handal dan berkelanjutan.

Page 22: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Perencanaan Pengelolaan Wisata Budaya Kraton Yogyakarta

(Suatu model pemanfaatan Sumberdaya Arkeologi sebagai objek wisata minat khusus)

A. Landasan Konseptual

Tak dapat dipungkiri wisata budaya memiliki ketertarikan tersendiri untuk dikunjungi

oleh wisatawan, hal ini disebabkan karena dalam diri manusia selalu ada dorongan untuk

mengetahui keunikan kebudayaan lain, seperti yang dikemukakan oleh Lester Borley bahwa

wisata budaya adalah aktifitas yang memungkinkan manusia menjelajahi atau mendapatkan

pengalaman yang berbeda dari jalan hidup orang lain yang menggambarkan adat, tradisi

keagamaan dan nilai-nilai intelektual mereka dari sebuah warisan budaya yang tidak lazim

(Borley dalam Nuryanti 1999). Dalam proses pengembangan sebuah warisan budaya untuk

dijadikan obyek wisata, diperlukan sebuah sistem manajemen dan dukungan dari semua pihak

agar nantinya hasil yang diharapkan dapat dicapai secara maksimal. Proses tersebut meliputi

perencanaan, analisis lingkungan (keruangan), analisis potensi atau nilai penting benda cagar

budaya dan rekomendasi. Dalam kerangka inilah cutural resource management dapat

diterapkan.

Agar pengembangan pariwisata bisa berjalan efektif selain mengharapkan dukungan

pemda, juga diperlukan dukungan masyarakat secara luas dan pihak swasta. Dukungan

masyarakat terutama sangat diperlukan dalam menciptakan kondisi lingkungan yang aman dan

nyaman. Sehingga wisatawan merasa terlindungi dan tidak merasa terganggu. Sedangkan

dukungan swasta sangat diperlukan dalam penyediaan sarana dan prasarana pariwisata yang

juga dapat memberikan kepuasan kepada para wisatawan. Perkembangan pariwisata yang

cukup menguntungkan, diperkirakan akan semakin menarik minat investor untuk berinvestasi

di sektor pariwisata ini. Di sisi lain aspek kelestarian dari objek tinggalan budaya tersebut tetap

dapat dipertahankan sebagai warisan budaya masa lalu.

Dengan penerapan konsep cultural resource management yang tepat diharapkan

berdampak positif pada pengembangan pariwisata budaya di Kraton Yogyakarta yang tetap

berwawasan pelestarian. Adapun pengembangannya dapat dilakukan dengan berbagai macam

cara yang kreatif dan inovatif, termasuk dalam hal ini pengemasan dan penataan kawasan

wisata budaya yang merupakan bagian dari perencanaan pariwisata budaya Kraton Yogyakarta

Page 23: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

yang menjadi fokus dari tulisan ini. Penataan kawasan wisata budaya diharapkan memberi

jaminan keberhasilan pengembangan pariwisata daerah berbasis budaya dengan:

• menciptakan lingkungan yang memenuhi harapan dan kebutuhan wisatawan,

• menawarkan lingkungan yang memberikan pengalaman baru,

• tanggap terhadap tuntutan wisatawan.

Langkah awal yang dapat dilakukan berupa identifikasi dan inventarisasi benda cagar

budaya yang terdapat di Kraton Yogyakarta, kemudian diplot dalam sebuah peta sebaran,

sehingga memudahkan saat melakukan zoning kawasan wisata budaya. Selain itu tahap

penilaian nilai penting untuk setiap objek budaya perlu dilakukan untuk mendapatkan

peringkat setiap benda cagar budaya tersebut sehingga memudahkan pada pemanfaatannya

nanti. Dalam tahapan ini kalangan arkeolog baik dari akademisi maupun institusi arkeologi

dapat dilibatkan oleh pemerintah daerah. Proses tentang pemberian nilai terhadap tinggalan

budaya inilah yang disebut sebagai penilaian atas makna budaya. Ada dua unsur yang penting

dan saling terkait dalam proses ini, yaitu penentuan unsur-unsur yang menjadikan tempat itu

penting serta nilai penting atau makna budaya itu sendiri di masyarakat.

Penataan kawasan wisata budaya ini tidak terlepas dari konsep perencanaan pariwisata

secara umum. Di era otonomi saat ini, daerah diberikan kewenangan untuk melakukan

perencanaan, pengembangan dan pengelolaan pariwisata di daerah. Proses dan mekanisme

pengambilan keputusan menjadi lebih sederhana dan cepat. Di samping itu peluang untuk

melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengembangan pariwisata menjadi lebih terbuka.

Kesempatan ini harus dapat dimanfaatkan dengan maksimal oleh pemerintah daerah, karena

sebenarnya ini merupakan modal besar untuk mempercepat proses pengembangan pariwisata

di Kraton Yogyakarta. Perencanaan kawasan wisata budaya Kraton Yogyakarta dalam hal ini,

baru difokuskan pada sebagian bangunan saja yaitu, Jeron Benteng, Plengkung, Mesjid Gedhe

Kraton, Pagelaran Kraton, Kamagangan, dan Siti Hinggil

Page 24: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Alur proses perencanaan kawasan wisata budaya secara skematis dapat dilihat pada

Gambar 1.

Berdasarkan alur di atas, perencanaan kawasan wisata budaya di Kraton Yogyakarta secara

teknis dapat dijabarkan sesuai dengan tahapan yang ada. Di tahap pertama, landasan filosofis

menjadi ruh dari penataan kawasan wisata budaya ini yang diharapkan dapat menjadi sarana

untuk peningkatan kesejahtaraan masyarakat dengan memanfaatkan potensi sumberdaya

budaya yang berkorelasi positif dengan upaya pelestarian sumberdaya budaya. Adapun,

tujuannya secara kongkrit misalnya diarahkan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan

dengan cara mendiversifikasi atraksi dan optimalisasi pemanfaatan wilayah sebagai zona wisata

budaya Kraton Yogyakarta guna meningkatkan pendapatan masyarakat dengan tetap

mempertahankan kelestarian benda cagar budaya dan daya dukung lingkungan. Tujuan

tersebut bukan sesuatu yang mutlak, jadi bisa disesuaikan dengan kebutuhan.

Selain itu, pada tahapan pengembangan perlu kiranya untuk menghidupkan kembali ruh

objek daya tarik wisata, yaitu dengan menerapkan konsep manajemen pemanfaatan tinggalan

LATAR BELAKANG(Mengapa diperlukan penataan

kawasan wisata budaya)

PERUMUSAN TUJUAN(Hendak digunakan untuk apapenataan kawasan tersebut)

IDENTIFIKASISUMBERDAYA BUDAYA

(Atraksi, aksesibilitas, pasar,dampak, promosi, akomodasi,

kelembagaan)

REKOMENDASI(Konservasi, atraksi, aksesibilitas,

pasar, dampak, promosi,akomodasi, kelembagaan)

ANALISIS KEBIJAKAN(Apa visi/misi stakeholder? Apakah

kebijakan lintas sektoral bersifatkomplementer)

PENENTUAN PRIORITAS DANSTRATEGI PELAKSANAAN(Produk, Pasar, Promosi

UMPAN

BALIK

Gambar 1. Alur Proses Perencanaan Kawasan Wisata Budaya

Page 25: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

budaya menjadi objek daya tarik wisata. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam

mewujudkan konsep tersebut adalah sebagai berikut:

1. Atraktif, kegiatan ini bertujuan menjadikan objek budaya menjadi sesuatu yang menarik

sehingga mampu mendatangkan keuntungan melalui pendapatan yang akan digunakan untuk

operasional dan perawatan obyek warisan budaya itu sendiri.

2. Detraktif, kegiatan yang dapat dimaknai ganda yang mengandung pengertian positif dan

negatif. Dalam pengertian positif tindakan detraktif dilakukan untuk meminimalkan resiko dan

kemungkinan-kemungkinan negatif pada objek yang akan dikembangkan. Sedangkan dalam

pengertian negatif, detraktif adalah upaya mengurangi dan menghilangkan suatu daya tarik dan

bentuk fisik bangunan warisan budaya dan kondisi sekitarnya.

3. Edukatif dan informatif, kedua hal ini dapat memotivasi para wisatawan untuk berkunjung

tidak hanya diberikan paket keindahan warisan budaya, tetapi sekaligus dapat belajar dan

mengembangkan wawasannya. Hal ini senada dengan pendapat Cleree yang memasukkan

aspek edukatif pada prinsip pelestarian.

4. Menghibur (entertaining), suasana menghibur dan menyenangkan mampu memberikan

suasana/atmosfir yang gembira. Suasana tersebut menimbulkan kesan mendalam sehingga

wisatawan berkeinginan kembali untuk mengunjungi objek wisata budaya.

5. Komersil, hal ini dapat dilakukan tetapi harus diperhatikan pemanfaatannya agar tidak

berlebihan. Nilai-nilai komersil dapat mendukung sebagai daya tarik wisata, sehingga

pengalaman yang diperoleh sesuai dengan jumlah biaya yang telah dikeluarkan.

6. Memiliki manfaat terhadap lingkungan setempat, selain mafaat nilai komersil juga mampu

memberikan kontribusi terhadap masyarakat sekitarnya (Wiendu Nuryanti, 2007).

Ketika konsep tersebut menjadi landasan dari pengembangan wisata, maka dalam

tahapan selanjutnya, diperlukan analisis kebijakan untuk memperkuat rumusan tujuan yang

telah ada. Visi dan misi dari stakeholder, baik itu pemerintah, masyarakat maupun kalangan

peneliti dan para wisatawan, dijabarkan dengan jelas. Selain itu aspek regulasi, baik kebijakan

pemarintahan maupun perundang-undangan yang terkait setidaknya dikaji lebih mendalam

agar penerapannya di lapangan dapat berjalan dengan maksimal. Adapun dalam tahapan

identifikasi sumberdaya budaya, inventarisasi tinggalan budaya difokuskan pada bangunan-

Page 26: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

bangunan Kraton Yogyakarta, atrakasi budaya penunjang, aksesibilitas, pasar, dampak,

promosi, akomodasi, dan kelembagaan.

Dari kegiatan itulah diharapkan muncul rekomendasi yang tepat untuk setiap aspek

yang berdampak pada perencanaan penataan kawasan wisata budaya yang lebih terencana.

Perencanaan yang matang dan sistematis tersebut dapat memudahkan kita untuk menentukan

prioritas dan strategi pelaksanaan yang tepat, terutama berkaitan dengan produk, pasar dan

promosi untuk wisata budaya Kraton Yogyakarta. Berkaitan dengan strategi ini, pengemasan

produk wisata budaya sangat berperan penting dalam menunjang keberhasilan promosi. Disisi

lain yang cukup menggembirakan adalah, Kraton Yogyakarta sudah cukup dikenal di dunia.

Seperti yang terlihat pada hasil penelusuran di search engine di internet yaitu :

Di Google :Urutan 1 - 10 dari sekitar 525,000 hasil telusur untuk kraton Yogyakarta. (0.23 detik)Urutan 1 - 10 dari sekitar 99,600 hasil telusur untuk Kraton Ngayogyakarta. (0.39 detik)Urutan 1 - 10 dari sekitar 392,000 hasil telusur untuk Kraton yogyakarta. (0.29 detik)(sumber www.google.com diakses 13 Janurai 2009)

Di yahoo:1 - 10 of 368,000 for Kraton yogyakarta (About) - 0.25 s1 - 10 of 257,000 for kraton yogyakarta (About) - 0.34 s1 - 10 of 93,200 for Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat (About) - 0.36 s(sumber www.yahoo.com diakses 13 Janurai 2009)

Berdasarkan data tersebut, penyebarluasan informasi mengenai Kraton Yogyakarta di dunia

maya dapat dijadikan pemicu bagi kita untuk melakukan yang terbaik penataan kawasan

budaya Kraton Yogyakarta. Sehingga wisatawan yang datang berdasarkan informasi dari

internet dapat terpuaskan pada saat berkunjung ke Kraton Yogyakarta.

Seperti yang telah disampaikan di awal, luasnya ruang lingkup kawasan Kraton

Yogyakarta menjadi hal yang melatarbelakangi perencanaan kawasan wisata budaya baru

sebatas pada sebagian bangunan saja yaitu, Jeron Benteng, Plengkung, Mesjid Gedhe Kraton,

Pagelaran Kraton, Kamagangan dan Siti Hinggil yang masin-masing tulisan merupakan hasil

kajian tersendiri.

Page 27: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

B. Perencanaan Kawasan Wisata Budaya

1. Jeron Beteng1

Kawasan di dalam lingkungan benteng, biasa disebut Jeron Beteng, merupakan situs

pusaka budaya utama di Kota Yogyakarta. Selain Kraton sebagai situs terpenting, di kawasan ini

juga berdiri sisa bangunan Pesanggrahan Tamansari, sebuah bangunan indah dengan konsep

istana diatas air. Disini juga terdapat pola tata ruang yang khas, bangunan-bangunan

bersejarah, serta pola tata nama yang masih lestari sejak pertama kali adanya dua setengah

abad yang lalu. Meski tidak semuanya utuh sebagaimana adanya semula, kawasan Jeron

Benteng menjadi ciri paling spesifik keberadaan Kota Yogyakarta, sebagai salah satu bekas kota

kerajaan yang paling utuh dan lestari di Indonesia. Inilah monumen terpenting usia dua

setengah abad Kota Yogyakarta, sejak didirikan oleh Pangeran Mangkubumi pada tahun 1756

Masehi.

Jeron beteng –yang dalam bahasa Indonesia berarti “dalam benteng”—adalah sebutan

untuk kawasan seluas 139 ha yang berada di selingkar dalam tembok benteng Kraton

Yogyakarta. Secara administratif Jeron Beteng termasuk dalam wilayah kecamatan Kraton, yang

terbagi atas tiga kalurahan—Kadipaten, Panembahan dan Patehan– dengan jumlah penduduk

sekitar 30.000 jiwa. Kawasan yang menjadi cikal-tumbuhnya kota Jogja 250 tahun lalu ini

menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa. Wisatawan bisa menyaksikan sejumlah Dalem

(rumah pangeran) yang telah berusia ratusan tahun namun masih terpelihara dengan apik,

perkampungan tradisional dengan tata ruang dan arsitektur yang khas, pohon-pohon langka

dan menyimpan makna, serta aneka pernik aktivitas budaya tradisional yang bersisian akrab

dengan budaya kontemporer.

Jeron Beteng adalah titik mula kota Yogyakarta, di mana kawasan ini pada awalnya

adalah lingkungan Kutaraja (kompleks tempat tinggal raja) Kasultanan Ngayogyakarta

Hadiningrat. Pada tanggal 7 Oktober 1756 rombongan Pangeran mangkubumi (kemudian

bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I) meninggalkan peanggrahan Ambar Ketawang

(ditinggali sejak 9 Oktober 1755) menuju Kraton Yogyakarta. Lokasi Kraton berawal dari sebuah

perkampungan kecil bernama Umbul Pacethokan yang terletak di tengah belantara Beringan.

1 Disajikan oleh Nurachman Irianto (PSA/1820)

Page 28: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Pada masa Pakubuwono II, raja Mataram yang saat itu berkedudukan di Kartasura, Umbul

Pacethokan dikembangkan menjadi pesanggrahan Gardjitowati yang dipergunakan sebagai

tempat singgah keluarga Mataram yang hendak berziarah dan tempat bersemayam jenazah

keluarga kerajaan sebelum dimakamkan di Imogiri atau Kotagede. Kawasan ini diapit dua aliran

sungai, Sungai Winongo di sisi barat dan Code di sebelah timur, berupa dataran subur dengan

kemiringan moderat ke arah selatan. Pada sisi utara menjulang gunung Merapi setinggi 2900 m

dan di ujung selatan terbentang Samudra Indonesia, sebuah kombinasi pertahanan alamiah

yang unik.

Wilayah ini dikembangkan berdasar kesepakatan Giyanti (1755) yang difasilitasi

Gubernur Jendral Nicholaas Hartingh dan membagi wilayah Mataram menjadi dua. Wilayah

timur menjadi Kasunanan Surakarta dan separuh bagian barat menjadi wilayah Kasultanan

Yogyakarta. Sebagai kompensasinya, kedua wilayah harus mengakui kekuasaan VOC yang

ditandai dengan penempatan dua garnisun pasukan VOC di wilayah kedua kerajaan dan

pelimpahan wewenang tertentu di tangan pejabat pemerintah kolonial atau residen.

Kompleks kerajaan tersebut dibangun secara bertahap. Tata bangun Kesultanan

Yogyakarta mengacu pada filosofi Catur Gatra Tunggal, yakni kemanunggalan empat elemen

kerajaan : Kraton, masjid, alun-alun dan pasar. Pada tahap awal dibangun kompleks tempat

tinggal Sultan ini dilengkapi 18 buah taman dan sejumlah kolam pemandian. Pada tahun 1785

dibangun benteng di sekeliling kompleks pemukiman raja dengan rentang lk 1 km di setiap

sisinya. Benteng yang disebut sebagai Baluwarti ini dibangun seiring menguatnya kedudukan

pasukan VOC dan pembangunan benteng Rustenburg (kini Vredeburg) yang dimulai 1765-1787.

Di bawah pengawasan Sultan HB II, benteng diperkuat dengan menambah ketebalan dinding

menjadi 4 meter. Pada bagian sudut benteng (dikenal sebagai Pojok Benteng) ketebalan

tembok bisa mencapai 6-8 meter yang dilengkapi meriam dan lubang pengawasan.

Sebagian besar kompleks bangunan di Kraton kemudian runtuh akibat gempa besar 10

Juni 1867. Benteng yang dibangun atas prakarsa Adipati Anom di tahun 1785 sebagai reaksi

atas pembangunan Benteng Vredeburg oleh Belanda (1765-1787). Benteng Baluwerti memiliki

5 gerbang bertutup (plengkung) sebagai akses keluar masuk kawasan, yaitu Plengkung

Tarunosuro, Nirboyo, Madyasuro atau Tambakboyo, Jogoboyo dan Jogosuro. Menurut catatan

K.R.T. Partahdiningrat, tiga plengkung terakhir diruntuhkan menjadi gapura terbuka pada

tanggal 23 Juli 1812 atau tepat satu bulan sesudah “geger Spei”. Saat itu tentara Inggris

Page 29: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

pimpinan Jendral Gillespie menyerbu dan menguasai Kraton Yogyakarta selama beberapa

waktu dan menimbulkan kerusakan parah pada plengkung Madyasuro yang kemudian sempat

ditutup sehingga disebut plengkung Buntet.

Pada 1878 kawasan Jeron Beteng telah dipadati penduduk tak kurang dari 15.000 jiwa.

Sebagai perbandingan pada tahun yang sama penduduk kota Yogyakarta secara keseluruhan

baru 57.000 orang termasuk 600 orang Eropa dan sekitar 1000 bangsa Cina. Sebagian besar

penghuni Jeron Beteng saat itu adalah kerabat Sultan dan para pegawai istana yang terdiri atas

abdi dalem, prajurit dan punggawa. Abdi dalem yang melayani kebutuhan harian Kraton

bermukim dalam blok-blok pemukiman berdasar jajaran tugas atau profesi masing-masing,

semisal abdi dalem yang mengurusi masalah penerangan di Kraton (abdi dalem silir) tinggal di

blok pemukiman yang kemudian dikenal sebagai Siliran dan abdi yang mengurusi perlengkapan

kuda istana (gamel) tinggal di Gamelan.

a. Wajah Fisik

Secara fisik, Jeron Beteng masa kini seakan bergerak meninggalkan karakter dasarnya.

Pemukiman bernuansa tradisional hampir tak tersisa digantikan bangunan berarsitektur baru,

kecuali bangunan-bangunan milik Kraton, beberapa dalem milik keluarga istana dan sejumlah

rumah milik warga. Bangunan-bangunan hunian bertumbuhan memenuhi ruang-ruang kosong,

termasuk di sela reruntuhan Tamansari. Pemukim baru kebanyakan berasal dari luar kawasan

Jeron Beteng yang berasal dari berbagai latar belakang sosial budaya. Masyarakat yang

semakin heterogen ini, selain memperkaya struktur sosial budaya kawasan ini, tidak bisa tidak

membawa penyikkapan dan konfigurasi sosial baru di Jeron Beteng. Dari penampakan fisik

kawasan tercermin karakter masyarakat Jeron Beteng masa kini yang cenderung tidak

mengabaikan konvensi budaya yang berlaku semisal tidak diperbolehkan mendirikan bangunan

melebihi atap Kraton (7 meter).

b. Kampung

Tata pemukiman menjadi salah satu karakteristik khas kawasan Jeron Beteng. Nama-nama

kampung di kawasan ini merekam sejarah tata mukim masa lalu yang berdasar pada profesi,

strata sosial dan tapak peninggalan.

Page 30: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Berdasar Dalem Pangeran

Wijilan : kampung sekitar Dalem Pangeran Wijil

Kadipaten : kampung sekitar Dalem Adipati (Pangeran Mangkubumi, Pangeran Purbaya,

Purwadiningratan)

Suryamentaraman : kampung sekitar Dalem Pangeran Suryamentaram

Suryaputran : kampung sekitar Dalem Pangeran Suryaputra

Ngadisuryan : kampung sekitar Dalem Pangeran Hadisurya

Berdasarkan keahlian

Musikanan : pemukiman abdi dalem musisi

Kemitbumen : pemukiman abdi dalem penyapu halaman

Bludiran : pemukiman abdi dalem tukang sulam/bludir

Pandean : pemukiman abdi dalem pandai besi

Sekullanggen : pemukiman abdi dalem penanak nasi

Mantrigawen : pemukiman abdi dalem kepala pegawai

Keparakan : pemukiman abdi dalem penjaga

Pesindenan : pemukiman abdi dalem sinden

Siliran : pemukiman abdi dalem tukang menyalakan lampu

Namburan : pemukiman abdi dalem penabuh tambur

Gamelan : pemukiman abdi dalem perawat kuda

Ngrambutan : pemukiman abdi dalempenata rambut

Kriyan : pemukiman abdi dalem tukang kayu

Gebulen : pemukiman abdi dalem yang menyiapkan api

Sraten : pemukiman abdi dalem perawat binatang

Penandoan : pemukiman abdi dalem pengurus air

Patehan : pemukiman abdi dalem pengurus minuman

Polowijan : pemukiman abdi dalem dengan kekurangan fisik

Nagan : pemukiman abdi dalem niyaga/penabuh gamelan

Suranatan : pemukiman abdi dalem kiai/ulama

Berdasarkan kesatuan prajurit

Page 31: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Langenastran : pemukiman prajurit pengawal raja

Langenarjan : pemukiman prajurit pengawal raja

c. Dinamika Soasial Ekonomi dan Budaya

Berlainan dengan elemen fisik, keberadaan Kraton sebagai pusat kebudayaan Jawa

terus dihidupi dan menghidupi aneka bentuk aktivitas sosial dan budaya tradisional di Jeron

Beteng, seperti prosesi garebeg, sekaten dan aneka seremoni yang melibatkan kerabat Kraton.

Di tengah masyarakat pun muncul aktivitas budaya yang berbasis tradisi. Dinamika sosial ini

melahirkan titik-titik aktivitas ekonomi yang terkait dengan tumbuhnya pariwisata dengan

tradisi, struktur dan kehidupan tradisional sebagai atraksi utama.

Meski elemen budaya tradisional relatif dominan dan telah menjadi karakter kawasan,

ekspresi seni budaya kontemporer pun mendapat ruang untuk berkembang. Mulai tahun 1990-

an, beberapa komunitas seni kontemporer mulai berkarya dan bergiat di kawasan ini. Aktivitas

mereka didukung infrastruktur yang tumbuh kemudian, seperti galeri seni dan ruang pamer

alternatif serta lembaga penelitian dan media.

Seiring dengan dibukanya jalur kereta api ke Jogja pada tahun 1887, dunia wisata juga

mulai tumbuh. Groneman, seorang dokter berkebangsaan Belanda yang bekerja untuk Sultan

HB VIII, membuat buku panduan wisata Yogyakarta untuk pertama kalinya di tahun 1900.

Kraton dan reruntuhan Tamansari menjadi salah satu tujuan wisata utama saat itu dan

kawasan Tamansari dipromosikan sebagai water castle yang masih menawan. Teknologi lain

pun susul menyusul diperkenalkan di Yogyakarta. Kraton atau keluarga istana selalu menjadi

salah satu pihak yang mendapat kesempatan pertama untuk mencoba, seperti listrik (1883)

dan telepon beberapa tahun kemudian.

d. Jeron Beteng Masa Sekarang

Pada masa Sultan HB IX peran kraton Yogyakarta dalam perjuangan melewati

penjajahan semakin kentara. Ketika militer Belanda berupaya menguasai kembali Indnesia,

Kasultanan Yogyakarta secara tegas menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia.

Padahal pada saat itu daerah-daerah lain menjadi negara boneka Belanda. Tahun 1946-1949

kota Yogyakarta menjadi ibukota RI dan pada masa kemerdekaan ditetapkan sebagai daerah

istimewa yang salah satunya ditandai dengan penunjukkan Sultan Yogyakarta dan Paku Alam

Page 32: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

sebagai gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta secara turun temurun. Saat terjadi konflik

peralihan kekuasaan, Jeron Beteng menjadi salah satu pusat koordinasi bagi para gerilyawan

dengan dedikasi Sultan HB IX pada kemajuan bangsa juga terlihat ketika beliau mempersilahkan

gabungan perguruan tinggi Gadjah Mada untuk memepergunakan gedung-gedung milik Kraton

sebagai kampus pada akhir tahun 1950-an.

E. Pengembangan Pemanfaatan

Dalam upaya pengembangan objek wisata budaya, salah satu aspek penting yang perlu

mendapat perhatian, adalah visi pelestarian tinggalan budaya. Konsep pelestarian

pengembangan dalam rangka pemanfaatan tinggalan budaya, perlu dicermati mengingat

kelestarian tinggalan budaya, menjadi bagian penting pemanfaatan jangka panjang objek

wisata tersebut. Dalam kondisi itu, konsep pelestarian berwawasan pengembangan dan

pengembangan objek wisata yang berwawasan pelestarian tinggalan budaya sangat

dibutuhkan. Pelestarian, dalam konteks ini adalah upaya pengelolaan, perlindungan,

pemeliharaan, pemanfaatan dan pengawasan pengendalian, untuk menjaga kesinambungan,

keserasian dan daya dukung sebagai bagian dari perjalanan peradaban bangsa. Pelestarian

diharapkan mampu menjadi indikator penguatan jatidiri bangsa, dalam rangka membangun

bangsa yang lebih berkualitas. Untuk mencapai itu ada tiga aspek pokok yang jadi prioritas,

yakni pelestarian tinggalan budaya, pengembangan lingkungan dan masyarakatnya sebagai

objek wisata terpadu. Korelasi dan keterpaduan ketiga aspek tersebut diharapkan nantinya

menjadikan kawasan ini sebagai tujuan wisata terpadu yang handal dan berkelanjutan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, acuan dasar dalam penanganannya, harus

mempertimbangan berbagai aturan dan kepentingan. Acuan yang dimaksud adalah, Undang-

Undang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan peraturan turunannya, peraturan

kepariwisataan dan peraturan daerah sebagai acuan terdepan dalam pengelolaan dan

penanganannya, Undang-Undang Lingkungan Hidup dan lain-lain. Hal itu dimaksudkan agar,

segala aspeknya dapat dipertimbangkan, termasuk pelibatan masyarakatnya.

Page 33: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

2. Pagelaran2

a. Gambaran Umum

Bangunan ini termasuk kedalam halaman alun-alun lor (utara). Salah satu bangunan

utama yang ada adalah Bangsal Pagelaran serta dua Bangsal Pengapit atau Pasewakan di timur

dan barat serta sebuah bangsal di tenggara. Dahulu tempat ini disebut dengan Tratag Rambat.

Merupakan tiga buah bangunan dalam satu lantai yang berdenah huruf U terbalik. Bangunan

tersebut pada bagian depan membujur dari barat ke timur dan diapit oleh dua buah bangunan

lain di kanan dan kirinya yang membujur dari utara ke selatan. Ketiga bangunan berbentuk

limasan klabang nyander, yaitu bangunan dengan atap limasan yang disangga oleh beberapa

tiang berderet. Bangunan di sebelah utara atau bagian depan mempunyai atap limasan

bersusun dua, membujur dari barat ke timur dengan dua buah tonjolan ke utara dan selatan

yang memakai tutup keong di tengahnya. Bangunan berdenah segi empat dengan panjang 45

meter dan lebar 20 meter, atapnya disangga oleh beberapa tiang berderet dari barat ke timur.

Bangunan pengapit di sebelah kanan dan kiri masing-masing juga mempunyai atap

limasan tetapi tidak bertingkat. Bangunan ini disangga oleh beberapa tiang yang membujur

dari utara ke selatan yang berdiri di atas lantai segi empat berukuran panjang 27 meter dan

lebar 17 meter. Ketiga bangunan pagelaran merupakan bangunan terbuka tanpa dinding

penutup dengan keseluruhan jumlah tiang 56 buah yang terbuat dari semen cor.

Pada bangunan bagian depan terdapat dua buah gapura, yang terletak pada bagian

depan dan belakang. Pada bidang gapura bagian depan terdapat sengkalan memet, berupa

enam ekor lebah dan seekor biawak yang dibaca Panca Gana Salira Tunggal. Dalam bahasa

Jawa sengkalan ini berarti panca (5), gana (6), salira (8), tunggal (1) atau tahun 1865 Jawa,

tahun ini menunjukan pemugaran tratag pagelaran. Pada bidang gapura bagian belakang

terdapat sengkalan memet tahun masehi berupa sekuntum bunga dan empat buah trisula

berbunyi Catur Trisula Kembang Lata menunjukan angka tahun 1934 M. Pemugaran kedua ini

dilaksanakan pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VIII (Pratiwi, D., 2006).

2 Disajikan oleh Ari Swastikawati

Page 34: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

b. Makna simbolik Pagelaran

Pagelaran berasal dari kata pagel, pagol yang berarti batas, sehingga pagelaran

memiliki arti tidak ada perbedaan antara orang satu dengan lainnya, baik laki-laki maupun

perempuan. Kata pagelaran juga dapat berasal dari kata gelar yang berarti dibuka maka kata

ini lebih diarahkan bahwa pagelaran menunjukan unsur-unsur keterbukaan yang segala

sesuatunya tidak perlu disembunyikan. Makna pagelaran sebagai bentuk kesamaan kedudukan

dan derajat di dalam kraton Yogyakarta antara lain ditunjukan dengan digunakannya bahasa

Bagongan, yaitu bahasa krama inggil yang sudah mengalami perubahan (Khairudin, 1995).

Ketiga bangunan pagelaran berbentuk limasan klabang nyander, yaitu bangunan

dengan atap limasan yang disangga oleh beberapa tiang berderet. Menurut Pantja Sunjata

(1995: 225-226), klabang adalah nama binatang yang berbisa (racun) sangat ampuh, sedang

nyander berarti mengejar. Bisa melambangkan orang yang tak tahu benar salah dan tidak

mematuhi tata tertib, nyander dimaksudkan sebagai dikejar orang banyak atau petugas hukum.

Sehingga makna dari bentuk bangunan ini adalah untuk mengingatkan manusia bahwa orang

yang tidak mematuhi tata tertib kerajaan pasti akan dikejar oleh orang banyak atau petugas

hukum dan yang bermasalah akan mendapat hukuman. Selain itu bentuk bangunan pagelaran

juga lowahan lambang gantung. Lowahan lambang gantung memiliki makna bahwa manusia

tergantung pada kehendak Yang Maha Kuasa, manusia hanya sekedar melaksanakan dan

berusaha. Pertemuan sultan dengan dengan para bangsawan dan pejabat di pagelaran

merupakan gambaran kedudukanya sebagai wakil Allah di dunia, Sultan berfungsi sebagai

penghubung dan penerima langsung dari Allah

c. Fungsi Pagelaran

Pagelaran berfungsi sebagai tempat patih beserta bawahannya menghadap sultan,

tempat mewisuda patih baru dan tempat upacara kerajaan lainnya (Pratiwi, 2006). Pagelaran

sebenarnya merupakan tempat pertemuan utama Kraton yang lebih bersifat umum, digunakan

oleh bangsawan daerah dan pejabat Kraton lainnya yang tidak dapat mengikuti upacara di Siti

Inggil pada hari Grebeg dan acara kenegaraan lainya. Pada acara Grebeg ini khususnya Grebeg

Maulud para bangsawan daerah harus hadir untuk membayar pajak dan sewa tanah,

ketidakhadiran mereka dianggap sebagai suatu penghianatan.

Page 35: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Sekarang selain sebagai tempat upacara seremonial Kraton tempat ini juga menjadi

pusat kegiatan seni dan budaya serta even-even pariwisata. Salah satu yang fenomenal adalah

digunakan sebagai tempat Pisowanan Agung rakyat Jogja menghadap Sultan ketika Sultan tidak

bersedia lagi dicalonkan lagi menjadi calon gubernur untuk periode selanjutnya.

d. Rencana Pengembangan

Dalam proses pengembangan sebuah warisan budaya untuk dijadikan obyek wisata,

diperlukan sebuah sistem manajemen dan dukungan dari semua pihak agar nantinya hasil yang

diharapkan dapat dicapai secara maksimal. Proses tersebut meliputi perencanaan, analisis

lingkungan (keruangan), analisis potensi atau nilai penting benda cagar budaya dan

rekomendasi.

Menurut McGimsey, munculnya gerakan manajemen terhadap benda cagar budaya

dilatarbelakangi adanya permasalahan benturan antar kepentingan, keterbatasan dana,

kekurangan tenaga ahli, belum undang-undang perlindungan benda cagar budaya dan masih

rendahnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya budaya.

(McGimsey, 1977; 27). Untuk itu dalam melakukan perencanaan terhadap sebuah sumberdaya

budaya untuk dikembangkan mejadi obyek wisata, seseorang harus mampu bertindak sebagai

seorang manajer. Secara umum seorang manajer harus memiliki dan menguasai kemampuan-

kemampuan seperti perencanaan, pengorganisasian, penyusunan personalia, pengarahan, dan

pengawasan.

Sumberdaya budaya yang berupa sumberdaya arkeologi dapat dibedakan menjadi

bergerak dan tidak bergerak. Sumberdaya arkeologi tidak bergerak dibedakan menjadi dua;

Pertama, monumen mati (death monument), yaitu banguan yang sejak ditemukan hingga saat

ini tidak difungsikan sebagaimana fungsi semula, contoh bangunan candi atau bangunan

megalitik. Kedua, monumen hidup (living monument) adalah monumen yang masih

dimanfaatkan oleh masyarakat, termasuk kraton dan bangunan pagelaran yang masih

digunakan sampai sekarang.

Namun sebelum melakukan pengembangan terhadap sebuah sumberdaya budaya

untuk dijadikan obyek wisata, terlebih dahulu mengetahui nilai penting yang dikandung oleh

sumberdaya tersebut agar nantinya nilai penting tersbut mempunyai nila “jual” dan dapat

dipersaingkan dengan obyek lain. Menurut Pearson dan Sullivan penilaian arti penting

Page 36: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

sumberdaya budaya meliputi nilai kesejarahan, ilmu pengetahuan, kejamakan, hubungan

dengan sosial masyarakat, nilai estetis dan nilai arsitektural (Pearson dan Sullivan, 1995; 133-

168). Pada kesempatan ini, diajukan rencana pengembangan pagelaran sebagai obyek wisata

serta kegiatan-kegiatan pendukung lainnya, dimana nantinya diharapkan pagelaran dapat

menjadi obyek yang “hidup” dengan kegiatan-kegiatan kepariwisataan di Kraton Yogyakarta

tanpa menghilangkan nilai-nilai arkeologis dan budaya yang ada pada obyek ini.

Pada dasarnya pembangunan kepariwisataan di suatu wilayah, dapat dilakukan secara

makro, meso maupun mikro (Nuryanti, 1995; 15). Untuk itu pada kawasan pagelaran, secara

mikro ditawarkan konsep pengembangan sebagai obyek wisata. Tawaran konsep ini selalu

terbuka untuk diterapkan, sebab sebuah sumberdaya arkeologi selalu terkait dengan beberapa

faktor kepentingan diantaranya; Education, benda cagar budaya merupakan obyek yang

memiliki peranan penting dalam pendidikan bagi anak-anak dan remaja, khususnya untuk

menanamkan rasa bangga terhadap kebesaran bangsanya yang selanjutnya akan menimbulkan

rasa cinta terhadap bangsa dan tanah airnya; Recreation and Tourism, benda cagar budaya

dapat dijadikan sebagai obyek rekreasi dan hiburan; Money and Economic Gain, keberadaan

Benda Cagar Budaya di suatu daerah akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat

setempat. Masyarakat setempat dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang menguntungkan

seperti penjualan buku-buku informasi tentang benda cagar budaya tersebut, menjadi

pemandu wisata, membuat souvenir dan kegiatan lainnya (Darvill, 1995 : 40-45).

Dalam prakteknya nanti sebagai obyek wisata, terlebih dahulu diperlukan sebuah

bentuk pengamanan terhadap situs, agar dalam pemanfaatannya nanti keaslian situs dapat

dipertahankan. Menurut Pearson, untuk mempertahankan aspek keaslian sumberdaya budaya

diperlukan perlindungan sumberdaya budaya secara khusus. Perlakuan khusus terhadap

sumberdaya budaya prioritas pertama dilakukan dengan menerapkan sistem pemintakatan atau

zoning situs (Pearson, 1995; 221).

Pada prinsipnya, konsep ini merupakan konsep yang ideal diterapkan dengan tujuan

melindungi dan sekaligus mengatur peruntukan lahan, agar tidak terganggu oleh kepentingan

lain yang terjadi di sekitarnya, yang oleh Callcott (1989) disebutkan bahwa zoning merupakan

suatu cara atau teknik yang kuat dan fleksibel untuk mengontrol pemanfaatan lahan pada masa

datang (Callcott, 1989:38). Pernyataan yang dikemukaan oleh Callcott tersebut lebih di

tekankan pada pengaturan dan pengontrolan pemanfaatan lahan untuk berbagai jenis

Page 37: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

kepentingan yang diatur secara bersama. Sementara dalam zoning arkeologi tujuan utamanya

adalah menentukan wilayah situs serta mengatur atau mengendalikan setiap kegiatan yang

dapat dilakukan dalam setiap zona. Dengan demikian maka zoning arkeologi yang dimaksud

dalam hal ini, memiliki cakupan yang lebih sempit dibanding dengan pengertian yang

dikemukakan oleh Callcott, namun memperlihatkan persaman antara satu dengan yang lainya,

yaitu masing-masing mengacu pada kepentingan pengendalian dan pemanfaatan lahan agar

dapat dipertahankan kelestariannya.

3. Mesjid Gedhe Kraton3

A. Latar Belakang Sejarah Pendirian Masjid Gedhe

Secara substansial dengan adanya perjanjian Gianti pada tanggal 29 Robiulakhir 1680 Jw

(13 Pebruari 1755 M), bahwa Kerajaan Mataram di bagi menjadi dua, yaitu Kasunanan

Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Adanya palihan nagari yang ditandai dengan candra

sengkala Nir Brahmana Angoyag Bumi (1680 Jw), maka Kasultanan Ngayogyakarta diakui

keberadaannya. Konsekuensi logisnya Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri

Sultan Hamengku Buwono I Senopati Ing Ngalogo Ngabdurachman Sayidin Panotogomo

Khalifatullah (1755 – 1792 M), kenudian membangun sarana dan prasarana untuk menjalankan

aktivitas-aktivitas kerajaan. Kraton Ngayogyakarta dibangun di kawasan hutan perburuan

Beringan.

Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Amangkurat IV (1719 – 1727 M) di tempat

tersebut terdapat Pesanggrahan Garjitawati, kemudian pada masa Paku Buwono II diganti

namanya menjadi Pesanggrahan Ayodya. Pada saat pembangunan Kraton Sri Sultan Hamengku

Buwono I beserta keluarga bertempat sementara di Pesanggrahan Ambarketawang, Gamping

selama satu tahun. Pembangunan Kraton dapat diselesaikan pada hari Kamis Pahing tanggal 13

Sura, tahun Jimakir 1682 Jw ( 7 Oktober 1756 M).

Struktur atau tata rakit Kraton dibangun berorientasi arah utara – selatan, secara

simbolis berporos pada garis imajiner ( Gunung Merapi – Tugu – Kraton – Panggung Krapyak –

Laut Selatan). Garis poros tata rakit Kraton tersebut konfigurasi fisiknya menjadi suatu bentuk

awal kota Yogyakarta. Dalam perspektif historis-kultural tata ruang, bangunan-bangunan, dan

3 Disajikan oleh Syukronedi

Page 38: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

masyarakat pendukungnya secara konsentris berorientasi kepada keberadaan Kraton. Sarana

dan prasarana yang ada antara satu dengan lainnya secara inheren mempunyai konfigurasi

fungsi, serta mengekspresikan nilai-nilai seni, etik estetik, simbolis, filosofis, religius, dan lain-

lain. Fungsi dan nilai-nilai tersebut pada dasarnya untuk mendukung kelembagaan norma atau

pranata-pranata sosial kasultanan.

Pada dasarnya suatu lingkungan binaaan secara arsitektural dibuat untuk memenuhi

berbagai macam kebutuhan, baik untuk berusaha, aktivitas sosial, budaya, maupun religius.

Untuk memenuhi kebutuhan religius dan sosial budaya tersebut, maka pendirian mesjid dan

lembaga-lembaga keagamaannya merupakan urgensi yang diutamakan. Oleh karena itu, secara

fisik dalam tata rakit pembangunan Kraton ( untuk menjalankan pemerintahan) juga dilengkapi

dengan tempat ibadah, yaitu Mesjid Gedhe Kasultanan Ngayogyakarta yang terletak di sebelah

barat Alun-alun utara dan di wilayah negorogung (masjid pathok negoro). Secara simbolis hal

itu merupakan langkah transendensi untuk menunjukkan keberadaan sultan, yaitu disamping

sebagai pimpinan perang atau penguasa pemerintahan (senopati ing ngalogo) juga sebagai

sayidin panotogomo khalifatulah ( wakil Allah) di dunia di dalam memimpin agama

(panotogomo) di kasultanan.

Mesjid Gedhe Kraton Yogyakarta dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I,

sebagai penghulu pertama, yaitu Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat, sebagai arsiteknya yaitu K.

Wiryokusumo. Secara arsitektural Mesjid Gedhe Kraton mempunyai ciri-ciri atau tipe yang

sama dengan mesjid-mesjid kerajaan, baik Mesjid Demak, Mataram Islam (Kotagede), maupun

Kasunanan Surakarta. Ciri-ciri unik Mesjid Gedhe tersebut, yaitu bentuk tajug menggunakan

mustoko, atap tumpang di sekeliling (utara – timur – selatan) mesjid terdapat kolam, di

halaman (di luar pagar) terdapat pohon sawo kecik, sisi utara dan selatan terdapat pagongan

Gamelan Sekaten, serta di depan ada gapura berbentuk limasan semar tinandhu. Dilihat dari

struktur atau tata rakit bangunan serta nilai-nilai sosio-kulturalnya mempunyai makna

akulturatif antara unsur lama dan baru.

Mesjid Gedhe Kraton sebagai mesjid Jami’ kerajaan mempunyai fungsi utama tempat

beribadah, upacara ritual, syiar agama, dan satu penegakan tata hukum kerajaan. Pagongan

Gamelan Sekaten di halaman mesjid – halaman sisi utara Gamelan Kiai. Nogowiligo dan selatan

Kiai. Gunturmadu – berkaitan erat dengan fungsi mesjid untuk upacara ritual kerajaan dan syiar

agama, yaitu dengan mengadakan acara sekaten (syahadataini) pada saat bulan Maulud atau

Page 39: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perlu diketahui, bahwa perpaduan unsur seni

budaya untuk dakwah tersebut sudah berkembang sejak zaman Kerajaan Demak pada abad ke

16 dan terus berlanjut sampai dengan Kerajaan Mataram di bagi 2 atau palihan nagari.

Berkaitan dengan penegakan hukum, dimanifestasikan pada pelaksanaan Pengadilan Surambi –

mengurusi perdata, perkawinan dan warisan yang dilaksanakan oleh seorang penghulu dan 4

orang pathok nagaro.

Visi, misi, dan tata fisiknya kemudian menjadi model bagi mesjid-mesjid pathok nagoro

yang secara konsentris tersebar di wilayah negorogung, walaupun bentuknya lebih sederhana.

Arsitektur mesjid dan lingkungannya mempunyai makna filosofis-religius, yaitu

mengekspresikan ajaran yang inheren dengan nilai-nilai kultural, keimanan, serta nilai-nilai

Islam. Dengan demikian, setiap orang yang memasuki mesjid dapat mengerti dan memahami

nilai-nilai yang ada, antara lain :

• Ajaran kebaikan atau kebecikan, yaitu makna simbolis pohon sawo kecik (fungsi

praktisnya sebagai perindang.

• Kedalaman iman dan kebersihan hati, yaitu makna simbolis kolam (fungsi praktisnya

untuk wudlu.

• Atap tumpang (meru) dan mustoko melambangkan proses atau tahapan perjalanan

hidup manusia pada akhirnya bermuara untuk bersujud kepada yang Maha Tinggi dan

hiasan buah waloh mempunyai arti (nama) Alloh.

B. Data Fisik Masjid Gedhe Kraton

Bangunan Mesjid Gedhe Kraton terdiri dari beberapa ruangan, antara lain: ruang utama,

serambi pawestren, serambi depan (utama), dan serambi pabongan. Dilihat secara arsitektural

bangunan Mesjid Gedhe mempunyai atap bertingkat, berdenah bujur sangkar, serta

mempunyai pondasi tinggi. Pada bagian depan dan samping terdapat kolam, hal tersebut

merupakan ciri-ciri bangunan mesjid kuno.

1. Ruang Utama

Ruang utama Mesjid Gedhe mempunyai ukuran 27,95 m arah utara – selatan dan 27,70

m arah barat – timur, serta ruang mihrab berukuran 3,30 x 2,80 m. Ruang tersebut

menggunakan lantai marmer putih dengan ukuran 0,70 x 0,70 m. Lantai marmer

tersebut merupakan lantai pengganti dari tegel batu hitam pada waktu dilaksanakan

Page 40: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

renovasi pada tahun 1936. Ruang utama mempunyai 4 buah soko guru berbentuk bulat

dan masing-masing mempunyai ukuran diameter 0,60 m serta tinggi 16 m. Dismaping

itu terdapat 12 soko penanggap masing-masing mempunyai ukuran diameter 0,45 m

dan 20 soko penitih masing-masing mempunyai diameter 0,33 m. Masing-masing soko

dihubungkan dengan tiang sungkup.

Dinding ruang utama berupa tatanan-tatanan batu pasir (sand stone) berspesi. Dinding

ruang utama bagian dalam tidak mempunyai hiasan, tetapi dinding bagian luar sisi

timur (bagian depan) terdapat beberapa prasasti yang berjumlah 6 buah. Untuk

sirkulasi udara, tiap-tiap dinding terdapat beberapa jendela, antara lain:

- Dinding sebelah barat 4 buah, 2 buah di selatan ruang mihrab dan 2 buah di

utara mihrab.

- Dinding utara 4 buah

- Dinding timur 2 buah

- Dinding sebelah selatan 4 buah.

Tiap-tiap jendela mempunyai ukuran dan bentuk yang sama, masing masing

mempunyai ukuran 117 x 145 cm. Secara fungsional untuk memasuki mesjid, baik

kepentingan ibadah maupun melihat kemegahan salah satu produk budaya masa Sri

Sultan Hamengku Buwono I, terdapat 4 buah pintu masuk, yaitu 3 buah pintu di dinding

timur dan 1 buah di dinding utara. Pintu di dinding utara tersebut menghubungkan

antara ruangan utama dan pabongan.

2. Serambi Pawestren

Sesuai dengan namanya ruang pawestren dipergunakan khusus untuk tempat ibadah

wanita. Ruangan ini mempunyai ukuran 27,70 x 5 m, terletak di sebelah selatan

bangunan utama. Bangunan ini merupakan serambi, melihat bentuk atapnya

merupakan pengembangan mesjid. Keberadaan serambi ini berkaitan dengan fungsi

ruang utama.

Serambi pawestren mempunyai 2 buah jendela di bagian dinding selatan, ukurannya

lebih kecil dibandingkan dengan jendela ruang utama. Pintu di serambi ini 2 buah, yaitu

1 di dinding sisi timur (untuk masuk/keluar) dan 1 buah di sisi selatan (untuk ke

halaman serambi) di dalam ruang pawestern terdapat bangunan kelir. Bangunan ini

Page 41: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

terletak tepat di depan pintu masuk, dengan bentuk segi empat. Lantai ruangan ini

menggunakan marmer putih, sama seperti ruangan utama.

3. Serambi Utama

Serambi adalah salah satu komponen mesjid yang berada di bagian depan maupun

kanan-kiri dari suatu bangunan utama, antara ruang utama dan serambi secara

fungsional saling terkait. Seperti halnya mesjid-mesjid kuno, khususnya di Jawa

sebagian besar mesjid dilengkapi dengan bangunan serambi. Serambi utama Mesjid

Gedhe Kraton mempunyai denah empat persegi panjang mempunyai ukuran 18,10 x

28,20 m. Secara arsitektural bangunan serambi tersebut bentuk atapnya limasan, hal

ini berbeda dengan bangunan utama yang menggunakan bentuk atap tajuk dan

bertingkat tiga. Di bagian pinggir di lengkapi dengan emperan mempunyai ukuran 3,60

m keliling. Emperan tersebut lantainya lebih rendah dibanding dengan lantai serambi

utama , yaitu 90 cm.

Bangunan serambi utama mempunyai 8 soko utama dan 16 soko penanggap. Soko

utama mempunyai ukuran 33 cm dan penanggap mempunyai ukuran 24 cm

berpenampang bujur sangkar, tetapi soko utama mempunyai ukuran lebih besar.

Bagian soko kaya ragam hias, bercorak huruf arab atau secara tradisional disebut

dengan nama mirong.

4. Serambi Pabongan

Serambi pabongan merupakan bangunan tertutup, seperti halnya serambi pawestren,

berbeda dengan serambi utama yang merupakan bangunan terbuka. Bangunan ini ini

tidak mempunyai tiang, tetapi sebagai pengganti dilengkapi dengan pilar-pilar dan

dinding dari pasangan batu, ukuran bangunannya 27,70 x 6,00 m. Ruangan serambi

dibagi 2, dibatasi oleh sekat dari pasangan batu yang membujur utara-selatan.

Hubungan antara ruang yang satu dengan yang lainnya menggunakan pintu yang

berjumlah 5 buah dengan fungsi sendiri-sendiri yang dirinci sebagai berikut:

- 1 buah pintu masuk ke ruang serambi pabongan berada di sebelah timur

menghadap ke emperan serambi.

- 1 buah pintu untuk menuju ke ruang utama dengan dilengkapi dengan trap/tangga,

sehubungan lantai ruang utama lebih tinggi 1,80 m bila dibanding serambi

pabongan.

Page 42: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

- 2 buah pintu menuju halaman serambi pabongan.

- 1 buah pintu yang terletak di dinding penyekat atau pembagi ruang serambi

pabongan.

Pemanfaatan serambi ini sesuai dengan namanya (pabongan) pada waktu dahulu untuk

melaksanakan acara khitan. Khitan adalah kegiatan yang diwajibkan bagi pemeluk

agama Islam, khususnya laki-laki yang memasuki masa akhil baliq.

Selain itu terdapat bangunan penyerta yaitu bangunan lain sebagai pelengkap

keberadaan mesjid. Bangunan penyerta ini dibangun berkaitan dengan fungsi dan

peranan Mesjid Gedhe Kraton, yang terdiri dari: dalem pengulon, makam, pagongan,

bangunan pertemuan, regol depan, dan bangunan sekretariat takmir Mesjid.

C. Pengembangan dan Pemanfaatan

Pengelolaan sumberdaya budaya mempunyai dua kepentingan strategis yakni:

pelestarian dan pemanfaatan. Dengan kata lain, pemanfaatan sumberdaya budaya haruslah

berorientasi kepada upaya pelestarian. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatannya

mempunyai dampak positif bukan dampak negatif terhadap BCB. Pasal 2 Undang-undang

Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 menegaskan: ”perlindungan benda cagar budaya dan

situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional.

Ada baiknya dikutip pernyataan dalam Symposium of International Comittee on

Archaeological Heritage Management di Stockholm, Swedia tahun 1988 seperti dalam

laporan ICOMOS:

The archaeological resource can be exploited for variety of purposes:academic, educational, or ceremonial. Such uses almost inevitably alter character ofsite decay or destruction (seperti dikutip oleh Hari Untoro Drajat, 1994)

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa sumberdaya arkeologi (termasuk sumberdaya

budaya lainnya) dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yakni: kepentingan akademik,

kepentingan pendidikan, dan kepentingan yang bersifat seremonial. Namun perlu diingat

bahwa pemanfaatan untuk kepentingan tersebut dapat mengubah situs atau bahkan merusak

situs jika tidak dilakukan secara hati-hati.

Dalam Undang-undang RI No.4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP no. 29 tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak

Page 43: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Lingkungan (AMDAL), warisan budaya atau BCB ditetapkan sebagai komponen lingkungan

hidup yang apabila terancam kena dampak suatu proyek haruslah dibuat AMDALnya.

Sementara itu menurut UU RI nomor 5 tahun 1992 tentang BCB serta PP No. 10 tahun 1993

tentang pelaksanaan UU BCB dinyatakan bahwa rencana kegiatan yang dapat mencemarkan,

merusak, mengubah, dan bahkan memusnahkan BCB harus dilaporkan kepada Pemerintah.

Tentang siapa yang berhak memanfaatkan dan mengapa dimanfaatkan, perlu

ditegaskan lagi tentang rekomendasi UNESCO tahun 1974 tentang perlindungan properti

budaya yang menyatakan bahwa:

Cultural property is the product and witness of the different traditions and ofthe spiritual achievements of the past, and is thus an essential element in thepersonality of the peoples of the world. It is the duty of goverment to ensure theprotection and the preservation of the cultural heritage of mankind, as much as topromote social and economic development (Pearson & Sullivan, 1995)

Dijelaskan dalam rekomendasi tersebut bahwa pada dasarnya peninggalan budaya

adalah produk dan saksi berbagai kehidupan tradisi dan kehidupan spiritual masa lampau

sehingga merupakan unsur yang penting dalam personalitas suatu bangsa. Oleh karena itu

pemerintah berkewajiban untuk melindungi dan memelihara warisan budaya bangsa,

sebagaimana juga untuk memajukan perkembangan sosial dan ekonomi. Namun dibalik ini

perlindungan dan pemeliharaan warisan budaya bukan semata-mata menjadi tugas dan hanya

di tangan pemerintah saja, akan tetapi masyarakat pun harus terlibat karena masyarakat juga

mempunyai kepentingan dalam pemanfaatannya. Masyarakat adalah pewaris tinggalan

budaya. Berbagai kepentingan ada di sekitar pemanfaatan sumberdaya budaya, yakni;

kepentingan pendidikan; kepentingan ideologi ; kepentingan ekonomi.

Benda cagar budaya memiliki potensi bagi pendidikan generasi bangsa. BCB sebagai

produk masa lampau dapat menyadarkan bangsa akan sejarah masa lampau. Dengan memiliki

kesadaran masa lampau diharapkan dapat mempertebal ketahanan budaya. Dalam era global

sekarang ini mau tidak mau bangsa Indonesia haruslah memiliki ketahanan budaya yang

tangguh agar tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh budaya asing yang tidak sesuai

dengan budaya bangsa Indonesia. Kontak budaya Indonesia dengan budaya asing tidak dapat

dihindari, namun jika kita telah memiliki ketahan budaya yang tangguh tidak mungkin terjadi

pengrusakan budaya oleh pendukung budaya itu sendiri. BCB juga mempunyai kepentingan

Page 44: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

ideologis dalam arti bahwa ia merupakan kebanggaan bangsa dan dapat memperkuat jati diri

bangsa sehingga makin mempertebal rasa kebanggaannya.

Dalam kepentingan ekonomi, warisan budaya juga dapat bermanfaat untuk kemajuan

perkonomian melalui sektor pariwisata. Oleh karena itu ada tiga sektor yang merupakan

”triumvirate” yang berkepentingan dalam keberadaan aset budaya ialah pemerintah,

masyarakat akademis, dan masyarakat publik. Masing-masing sektor tersebut haruslah

seimbang dalam mengembangkan dan memanfaatkan aset budaya. Kalau kepentingan sektor

akademis semata-mata, kepentingan masyarakat publik akan terabaikan. Sebaliknya jika

kepentingan masyarakat umum yang dominan, kepentingan akademis akan tidak mendapat

tempat.

Sumberdaya budaya yang ada harus dimanfaatkan dengan memperhatikan

kepentingan masyarakat luas serta berorientasi ke masa depan. Sumberdaya budaya,

sebagaimana sumberdaya budaya yang lainnya, adalah warisan untuk seluruh masyarakat

sehingga pemanfaatannya perlu sepengetahuan masyarakat luas. Masyarakat luas tersebut

memiliki beragam kepentingan.

Keterlibatan berbagai kepentingan inilah yang seringkali menimbulkan konflik

kepentingan. Untuk itu diperlukan azas keseimbangan dalam pemanfaatan sehingga masing-

masing kepentingan dapat terakomodasi secara berimbang, kepentingan yang satu tidak

meninggalkan atau merugikan kepentingan yang lainnya (Haryono, 1995). Kalau demikian

halnya, maka manjemen sumberdaya budaya pada hakekatnya adalah sebagai manjemen

konflik (Tanudirjo, 1998). Perbedaan kepentingan sebagai penyebab konflik kepentingan

haruslah dikelola sedemikian rupa agar kepentingan yang satu tidak mengalahkan kepentingan

yang lain. Dengan manejemen yang baik konflik akan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan.

Mengapa pemanfaatan sumberdaya budaya harus berorientasi pada wawasan

pelestarian? Sumberdaya budaya memiliki sifat keterbatasan antara lain: terbatas jumlahnya

(finite), tak terbaharui (non renewable), tak dapat dipindahkan (non movable), mudah rapuh

(fragile). Keterbatasan dalam jumlah berarti bahwa peninggalan budaya yang sampai kepada

kita jumlahnya sangat terbatas dan dari yang yang terbatas tersebut tidak semuanya utuh serta

dapat bertahan terus. Sifat tak terbaharui berarti sumberdaya budaya harus dimanfaatkan

dengan hati-hati agar tidak rusak karena sifatnya yang fragile.

Page 45: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Sifat-sifat benda cagar budaya seperti tersebut seharusnya diketahui oleh masyarakat

luas sehingga masyarakat dapat ikut berperan serta dalam upaya pelestarian. Pemanfaatan

benda cagar budaya telah memiliki acuan yang jelas sebagaimana diatur dalam UU nomor 5

tahun 1992 Bab V pasal 36 sampai dengan pasal 40. di dalam pasal 36 ayat (2) dan ayat (3)

dikatakan bahwa pemanfaatan benda cagar budaya diberikan Pemerintah untuk kepentingan

agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan atau kebudayaan dengan tetap

memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian benda cagar budaya.

Pengembangan aset budaya harus pula melihat nilai kepentingannya dan melihat

wujud serta unsur budaya yang dimaksud. Berbeda wujud dan unsur budaya berbeda pula cara

pengembangannya. Pengembangan mencakup dalam dimensi bentuk dan dimensi ruang.

Pengembangan dimensi bentuk artinya tekanan pengembangannya kearah pengembangan

fisik. Harus diingat bahwa undang-undang benda cagar budaya telah menetukan wilayah inti,

wilayah penyangga, dan wilayah pengembangan. Dengan demikian bararti bahwa dilihat dari

dimensi ruang, pengembangan hanya boleh dilaksanakan di wilayah yang sudah ditentukan,

yakni zona pengembangan.

Mesjid Gedhe Kraton yogyakarta merupakan tinggalan yang berkaitan dengan

keberadaan Kraton, sampai saat ini masih difungsikan seperti fungsi semula yaitu sebagai

tempat ibadah dan upacara-upacara yang diadakan dari Kraton. Mesjid Gehde Kraton

Yogyakarta yang letaknya sangat strategis ini dapat dijadikan sebagai Objek Wisata minat

khusus seperti religius dan pendidikan dengan prinsip pemanfaatan berbasis pelestarian.

Kegiatan wisata religi yang ditawarkan antara lain :

1. Mujahadah

Kegiatan yang dilakukan berupa pendekatan kepada Allah Swt sebagai sang pencipta

dengan kegiatan tahlilan, yasinan, serta upacara ritual agama lainnya. Masyarakat dapat

menunjang kegiatan tersebut dengan menjual berbagai kebutuhan yang diinginkan

wisatawan. Kegiatan ini menunjang aspek batiniah berupa memakmurkan mesjid dan disisi

lain dapat mensejahterahkan masyarakat sekitar.

2. Iqtikab

Kegiatan ini dilakukan pada event-event tertentu seperti; bulan ramadhan, maulud

nabi, isra’ mikraj, muharram dsb. Kegiatan ini dilakukan pada malam hari dengan

Page 46: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

melakukan membaca istighfar dan doa-doa kepada Allah SWT, serta melakukan kegiatan

semedi (iqtikab) untuk introspeksi diri.

3. Sholat Berjamaah

Kegiatan ini dilakukan pada malam hari dengan kegiatan sholat tahajjud yang dipimpin oleh

seorang Kyai diikuti oleh pengikutnya dalam pelaksanaan ritual keagamaan. Selain itu

kegiatan pencerahan ini bertujuan untuk kepuasan batiniah sehingga memperoleh suatu

ketenangan di dalam kehidupannya.

Sedangkan wisata pendidikan kegiatan yang ditawarkan antara lain:

1. Konservasi

Kegiatan ini dilakukan untuk tingkatan SD, SMP, SMA, serta Universitas. Kegiatan ini

dilakukan untuk mengetahui tingkat kerusakan suatu bangunan yang disebabkan oleh

faktor internal yang berupa bahan dan teknologi pembuatannya dan faktor eksternal

berupa faktor biotis dan abiotis. Kerusakan oleh faktor internal berupa bahan dan

teknologinya wisatawan bisa dikenalkan mengenai sifat-sifat kayu dan bahan

bangunannya yang terbuat dari bata dan plester semen dan bagaimana cara

pengawetannya serta pemugarannya.

2. Arsitektur

Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk arsitektur bangunan mesjid,

ragam hias dan simbol-simbol yang terkandung didalamnya.

3. Biologi

Wisatawan diperkenalkan untuk mengetahui jenis jenis mikroorganisme yang tumbuh

di dalam maupun di luar bangunan yang menyebabkan kerusakan dan pelapukan pada

bangunan mesjid melalui pengamatan mikroskop. Kemudian mengetahui jenis-jenis

pohon yang ada di sekitar Kraton serta makna philosopisnya. Misalnya pohon

kemuning yang merupakan simbol kesucian, dan tidak pernah digunakan untuk

upacara ritual maupun keagamaan. Pada situasi dan tempat tertentu, pada saat harus

berbuat sesuatu, maka ketika melihat pohon kemuning batin dan pikiran terpusat pada

makna kata “kemuning” = ngemu (mengandung), ning/bening (jernih/bersih). Pohon

cendana yang ditanam di Kraton melambangkan keharuman. Keharuman bagi nama

diri, bangsa, negara, dan nama penguasa. Pohon kepel merupakan simbol persatuan.

Page 47: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Buahnya tumbuh di batang , berbentuk bulat tidak bersendi. Kata “kepel” beranalogi

“kempel” artinya berkumpul menjadi satu. Pohon sawo kecik melambangkan simbol

kewibawaan dan keluhuran budi. Pohon namnaman merupakan simbol kebijaksanaan,

berhati-hati dan penalaran yang logis. Pohon asem londo melambangkan kegembiraan.

Pohon sawo bludru merupakan simbol kehalusan budi. Pohon nogosari merupakan

simbol keberuntungan. Pohon beringin merupakan simbol pengayoman dan kesucian.

Pohon ketimoho merupakan simbol kebudayaan yang adiluhung. Kebudayaan yang

besar, kuat, berwibawa, lembut dan luwes. Pohon kawisto merupakan simbol

keterbukaan, kejujuran, dan bersedia menerima kritikan. Pohon gayam merupakan

simbol ketinggian derajat dan cita-cita atau ketentraman. Kata gayam beranalogi gayuh

= gapai, atau gayam = ayem (tentram). Pohon bintaro merupakan simbol keprajuritan

atau kewiraan. Pohon kweni merupakan simbol keberanian. Pohon kebon merupakan

lambang keteguhan hati. Selain itu masih banyak tumbuhan lainnya yang tumbuh di

Kraton yang mempunyai manfaat dan makna simbolis yang berbeda-beda.

d. Kesimpulan

1. Keberadaan Mesjid Gedhe tidak dapat dipisahkan dengan Kraton Yogyakarta, hal itu

mengingat pendiriannya merupakan satu rangkaian konsep keberadaan sultan yang

bergelar Sayidin Panatagama Kalifatullah.

2. Dilihat dari latar belakang pendirian, konteks zaman, dan struktur bangunannya Mesjid

Gedhe mempunyai nilai penting yang tinggi, apabila ditinjau dari segi sejarah, arkeologi,

pengembangan ilmu pengetahuan, arsitektural, dan kebudayaan. Nilai penting dan potensi-

potensi yang ada dapat diaktualisasikan dan dikembangkan untuk kepentingan agama,

sosial, ekonomi dan pariwisata.

3. Mesjiid Gedhe Kraton merupakan bangunan tinggalan living monument sejak berdiri

sampai sekarang telah mengalami beberapa kali perubahan dan perbaikan. Hal itu

disebabkan oleh kerusakan maupun untuk pengembangan sarana-prasarananya.

4. Mesjid Gedhe Kraton dapat dikembangkan menjadi objek wisata minat khusus religi dan

pendidikan dengan konsep pelestarian berbasis masyarakat sekitar.

Page 48: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

4. Plengkung4

a. Prolog

Plengkung merupakan bangunan melengkung yang berfungsi sebagai gapura atau pintu

gerbang yang memisahkan kompleks Kraton dengan dunia luar. Sampai saat ini di Yogyakarta

cuma dikenal ada 4 (empat) plengkung atau gapura dengan plafon yang melengkung indah

sehingga diberi nama tersendiri. Padahal awalnya terdapat 5 (lima) buah plengkung, sayang

sejalan dengan waktu, sebuah plengkung dibuntukan yaitu plengkung Suryomentaraman pada

23 Juli 1812. Menurut buku yang ditulis oleh KRT Partahadiningrat, penutupan plengkung ke-

lima ini dibuat syair “mijil” yang menyatakan “plengkung lima, mung papat mengane“- artinya,

ada lima gapura melengkung tetapi hanya empat yang terbuka.

Sejak Sultan Hamengku Buwono II plengkung ini dijaga prajurit-prajurit kraton, bahkan

ada kanon di atas plengkung yang di fungsikan ketika ada penyerangan tentara Inggris tahun

1812. Peristiwa yang terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono II tersebut dikenal sebagai

Geger Sepoy atau Geger Spei. Pada jamanya, plengkung-plengkung ini ditutup setelah jam 20:00

dengan upacara khusus, dan dibuka kembali tepat jam 05:00 diiringi barisan korps pemusik.

Lagu pengiring penutup pintu plengkung namanya Lagu Sumedhang dan lagu pembukaannya

pintu plengkung adalah adalah Lagu Clunthang. Selepas jam 20.00 tidak ada orang masuk atau

keluar beteng. Instruksi penutupan ini datang dari Kagungan Dalem Pancaosan di Bangsal

Kamagangan, jadi memang sudah ada Undang-undangnya. Selain kedua lagu itu terdapat lagu

ke tiga yang dikumandangkan pada jam 18:00, yang bernama Kinjeng Trung yang isyarat agar

pintu Kraton harus sudah tertutup rapat. Adapun pintu-pintu kraton diberi nama seperti

Magangan, Danapertapa, Srimanganti dan Brajanala. Ketika Nippong masuk, upacara-upacara

yang indah dan anggun ini distop sampai waktu yang sampai sekarang.

Lantas bagaimana dengan orang yang rada mbalelo, kemudian ingin masuk “beteng”

jika pintu sudah tertutup?. Tak soal bagi penduduk “njeron beteng” tinggal bilang “Lapuuur

(lapor), mau keluar beteng” - sementara tamu dari luar tinggal ketuk pintunya serta

4 Disajikan oleh Yadi Mulyadi (PSA/1919)

Page 49: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

mengatakan maksud dan tujuannya. Biasanya yang sudah paham akan ada uang “smeer”

sebesar satu benggol sebagai uang lelah membuka pintu di luar jam kerja.

b. Kisah di balik Plengkung

Berdasarkan penelusuran data, lima buah plengkung atau pintu gerbang dalam beteng

yang menghubungkan kompleks kraton dengan dunia luar adalah:

1. Plengkung Tarunasura atau plengkung Wijilan di sebelah timur laut.

2. Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem di sebelah Barat daya.

3. Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari di sebelah barat.

4. Plengkung Tambakboyo atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur.

5. Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing di sebelah selatan.

Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur,

sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Plengkung ini bentuknya

masih utuh. Kata tarunasura berasal dari dua unsur kata, yakni taruna 'muda, pemuda' dan sura

'berani, pemberani'. Nama Tarunasura berarti pemuda yang berani. Plengkung Jagasura atau

Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan

Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar. Kata

jagasura berasal dari dua unsur kata yakni jaga 'menjaga' dan sura 'berani'. Dengan

demikian,Plengkung Jagasura memiliki arti sebagai pintu gerbang (tempat keluar masuk)

kompleks kraton yang melambangkan rasa keberanian.

Di sebelah barat dahulu berdiri Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari. Saat ini,

Plengkung Jagabaya ini juga sudah berubah bentuk menjadi gapura. Kata plengkung berarti

pintu gerbang kota. Sedang kata jagabaya berasal dari dua usnsur kata jaga 'menjaga' dan baya

'bahaya'. Secara keseluruhan kata jagabaya berarti menjaga marabahaya. Di sisi sebelah timur,

dahulu berdiri Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya atau Plengkung

Gondomanan, yang sudah rata dengan tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama

Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara Inggris pada tahun

1812. Kata tambakbaya berasal dari dua unsur kata yakni tambak 'segala sesuatu yang dijadikan

penghalang air' dan baya 'bahaya'. Nama Tambakbaya tersebut dimaksudkan sebagai

Page 50: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

penghalang marabahaya.

Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing yang terdapat di sisi selatan masih berdiri

utuh. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat

menuju makam para raja di Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup

bagi Sultan yang sedang bertahta. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala

raksasa yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja.

Kata nirbaya berasal dari dua unsur kata yakni nir 'hilang, tanpa' dan baya 'bahaya'. Dengan

demikian, Plengkung Nirbaya mempunyai arti jalan keluar masuk ke kraton tanpa bahaya,

maksudnya ialah jalan yang memberikan keselamatan.

c. Memaksimalkan potensi Plengkung

Berdasarkan pemaparan di atas, keberadaan plengkung sebagai bagian tak terpisahkan

dari Kraton Yogyakarta memiliki nilai kesejarahan dan budaya yang penting. Sangat disayangkan

apabila kondisinya sekarang ini yang kurang diperhatikan. Plengkung sebagai pintu gerbang

yang menghubungkan antara kompleks kraton dengan dunia luar, memiliki peranan penting di

masa lalu yang dapat menggambarkan sejarah perkembangan kraton Yogyakarta. Sebagai

bangunan yang berfungsi pintu gerbang, plengkung dengan namanya yang masing-masing

berbeda memiliki makna kultural tersendiri. Dalam konteks pelestarian maupun perlindungan,

maka upaya yang harus kita lakukan selain melestarikan dan melindungi bangunan fisik dari

plengkung itu sendiri, juga melestarikan makna kultural yang melekat pada setiap plengkung

tersebut. Salah satu upaya yang dapat kita tempuh yaitu dengan melakukan revitalisasi

plengkung kraton Yogyakarta yang dapat memvitalkan kembali fungsi plengkung.

Proses revitalisasi plengkung kraton Yogyakarta mencakup perbaikan aspek fisik dan

aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka

pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka

panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik plengkung, namun tidak

untuk jangka panjang. Untuk itu, tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi

(economic revitalization) yang merujuk kepada aspek sosial-budaya serta aspek lingkungan

(environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan yang

produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang

langgeng terhadap plengkung tersebut sebagai bagian tak terpisahkan dari kraton Yogyakarta.

Page 51: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Pemaknaan nilai penting kesejarahan dan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam

plengkung yang tersisa dapat menjadi sarana untuk mengungkapkan kesinambungan budaya

dan sejarah dari masa silam hingga sekarang. Dalam konteks plengkung sebagai tinggalan

arkeologi, maka plengkung-plengkung yang tersisa merupakan bukti nyata masa lalu

Kesultanan Yogyakarta yang perlu segera ditangani dengan baik untuk kepentingan

masyarakat.

Sebagai tinggalan arkeologi, plengkung menjadi objek yang menarik dalam kajian

manajemen sumberdaya budaya, yang menjadi alternatif model pemanfaatan tinggalan

arkeologi yang berorientasi pada pemaknaan nilai penting kesejarahan maupun ilmu

pengetahuan untuk kepentingan masyarakat. Model pemanfaatan ini sejalan dengan hakekat

dari pelestarian sebagai upaya untuk mempertahankan tinggalan arkeologi sebagai

sumberdaya budaya, tetap berada pada konteks sistem agar dapat berfungsi aktif atau

dimanfaatkan oleh masyarakat.

Model pemanfaatan ini pun membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam

melestarikan tinggalan arkeologi yang pada hakekatnya adalah warisan budaya. Keterlibatan

masayarakat menjadi penting dalam hal ini karena mereka adalah pemilik syah dari warisan

budaya. Karena itu masyarakatlah yang berhak memperoleh manfaat dari keberadaan

tinggalan arkeologi yang merupakan sumberdaya budaya warisan dari masa lalu. Salah satu

bentuknya bisa ditempuh dengan menghidupkan kembali sajian musik pada saat membuka dan

menutup gerbang plengkung yang dapat menjadi alternatif atraksi wisata.

Pengelolaan berbasis komunitas yang menitikberatkan pada keterlibatan masyarakat

dalam upaya memunculkan kemandirian sejalan dengan model pengelolaan manajemen

sumberdaya budaya yang juga memfokuskan pada peran serta masyarakat. Upaya pengelolaan

sebagai bentuk pemanfaatan dengan konsep seperti ini, menurut Atmosudiro (2004:21),

kiranya dapat mengakomodasi berbagai kepentingan, baik yang berkepentingan mengambil

manfaat dalam ekonomi, ideologi, maupun pendidikan.

Pengelolaan berbasis komunitas merupakan salah satu strategi pengelolaan sumberdaya

yang memberi peran dominan kepada masyarakat pada tingkat komunitas untuk mengontrol

dan mengelola sumberdaya produktif dalam rangka pembangunan masyarakat, termasuk

pengelolaan sumberdaya budaya. Melalui model pengelolaan ini, setiap komunitas dapat

mengembangkan sistem dan mekanisme yang memungkinkan warga masyarakat

Page 52: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

memanfaatkan sumberdaya lokal yang tersedia disekitar mereka (Soetomo, 2006:384). Dalam

pelaksanaan di lapangan, model pengelolaan ini diterapkan dengan melibatkan Lembaga

Pemberdayaan Masyarakat yang terdapat di setiap wilayah dimana plengkung tersebut berada

tentu saja tetap berkoordinasi dengan stakeholder lainnya yang terkait.

Plengkung sebagai bagian dari tapak sejarah kesultanan Yogyakarta memiliki nilai yang

penting bagi kesejarahan Kesultanan Yogyakarat dan sejarah kota Yogyakarta sendiri.

Keberadaan plengkung dan tinggalan lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan dan sekaligus merupakan salah satu bukti perjalanan sejarah kesultanan Yogyakarta.

Oleh karena itu, keberadaan plengkung dan kawasannya perlu dipertahankan dan dilestarikan

serta dimanfaatkan sesuai dengan konteks kekinian yang bermuatan makna luhur.

Untuk itu pengelolaan berbasis komunitas dalam penerapannya untuk plengkung perlu

dipahami dalam kerangka konsep kawasan cagar budaya kraton Yogyakarta, yang memerlukan

penanganan dan perencanan yang baik untuk memudahkan askes publik, baik secara visual

maupun fisik. Makna dan nilai dari tinggalan budaya ini memang telah berubah seiring dengan

perjalanan waktu, namun bukan berarti makna itu hilang akan tetapi telah bertambah nilainya

sesuai dengan konteks kekinian, baik sebagai bagian dari kesultanan Yogyakarta (heritage),

obyek wisata kota (urban heritage), maupun bagian dari wisata budaya Kraton Yogyakarta.

Untuk itu dibutuhkan perencanaan yang matang guna mewujudkan hal tersebut. Beberapa

tahapan yang dapat dilakukan diantaranya:

a. Desain fasilitas penunjang pariwisata

Objek dan destinasi wisata membutuhkan beragam unsur penunjang dan fasilitas

amenitas agar wisatawan merasa aman dan nyaman, contohnya : hotel/fasilitas akomodasi,

warung/restoran, pusat informasi pengunjung. Unsur-unsur penunjang tersebut perlu

dirancang dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan lingkungan alam dan budaya

setempat, sehingga dalam hal ini unsur penunjang untuk objek wisata plengkung tidak dapat

dilepaskan dari konteks kawasan budaya Kraton Yogyakarta. Agar lebih informatif, dapat

dibuatkan direktori yang memuat semua informasi tentang fasilitas penunjang pariwisata di

Kraton Yogyakarta sehingga dapat menjadi panduan bagi para wisatawan.

b. Desain bahan promosi pariwisata

Page 53: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Kegiatan promosi dibutuhkan dalam pemasaran produk pariwisata, termasuk

pariwisata budaya dan menjadi media untuk menginformasikan potensi pariwisata kepada

wisatawan. Agar efektif, pilihan media dan teknologi, informasi dan target pengguna harus

direncanakan sesuai dengan tujuan promosi. Bahan promosi didesain sesuai dengan maksud

dan tujuan masing-masing pelaku kepariwisataan dan disampaikan melalui media cetak, antara

lain leaflet/brosur, greenmap, kalender event, poster maupun media interaktif (visual, audio)

dalam bentuk CD-ROM.

Pembuatan bahan promosi ini bisa menjadi peluang pemerintah daerah untuk

melibatkan masyarakat secara aktif dalam pengembangan pariwisata budaya di Yogyakarta.

Misalnya dalam bentuk kompetisi desain poster pariwisata Kraton Yogyakarta termasuk objek

plengkungnya atau lomba pembuatan film profile wisata budaya yang dapat diikuti oleh

seluruh masyarakat. Hasil dari perlombaan itulah yang kemudian dikembangkan untuk menjadi

media promosi yang efektif.

Keberadaan bahan promosi ini, memiliki peranan yang sangat penting karena

merupakan bagian vital dari kemasan. Media promosi merupakan kemasan luar yang harus

dibuat semenarik mungkin sehingga orang tertarik. Potensi budaya, geografis dan potensi lain

yang dimiliki Purworejo sekiranya diekplorasi mendalam untuk kemudian menjadi isi dan bagian

tak terpisahkan dari media promosi tersebut.

Dalam pembuatan media promosi, data memiliki peranan yang penting, karena data

itulah yang akan diolah dan dikemas menjadi media promosi. Untuk itu ada beberapa tahapan

yang dilakukan dalam pembuatan media promosi yaitu:

• Pengumpulan data dan informasi dasar yang menjadi basis perencanaan, meliputi

pendeskripsian dan pendokumentasian baik visual maupun audio visual

• Analisis data, meliputi pengklasifikasian dan pengolahan data

• Pembuatan gambar atau peta yang menunjukkan posisi setiap plengkung maupun

objek wisata budaya lainnya yang terdapat di kawasan Kraton Yogyakarta dan fasilitas

penunjang, faktor fisik, aksesibilitas, maupun unsur-unsur pengembangan lainnya

• Berdasarkan data itulah kemudian dikembangkan dan diolah menjadi sebuah media

promosi, dalam hal ini pemanfaatan teknologi menjadi syarat mutlak.

Data yang diperoleh dari pengumpulan data di lapangan termasuk data pendeskripsian,

pemetaan dan perekaman visual serta audio visual diolah dengan bantuan program

Page 54: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Macromedia® Flash™ MX untuk menghasilkan bentuk dokumentasi yang interaktif sehingga

memudahkan kita dalam mengakses data arkeologi yang terdapat di dalamnya. Salah satu nilai

lebih dari program ini adalah dapat menampilkan file dalam bentuk gambar, teks, serta file

video sehingga dokumentasi objek wisata budaya plengkung dan Kraton Yogyakarta dapat

ditampilkan berupa gambaran visual dalam bentuk animasi dan video. Hasil akhirnya adalah

media promosi berupa CD interaktif wisata budaya Kraton Yogyakarta yang didalamnya

memuat objek wisata budaya Plengkung. CD Interakatif ini, memilki banyak kelebihan sebagai

sebuah media promosi, yaitu selain biaya produksinya yang relatif terjangkau, juga mudah

untuk dipergunakan sehingga sangat tepat dimanfaatkan untuk kepentingan promosi wisata

budaya Yogyakarta.

Selain itu, aspek kesejarahan dari Plengkung maupun Kraton Yogayakarta perlu digali

lebih mendalam. Bagaimana Plengkung dan Kraton Yogyakarta di masa lalu sebagai salah satu

kota dengan jejak sejarah yang panjang, dimana hal tersebut kemudian dikemas menjadi daya

tarik tersendiri yang cukup atraktif. Misalnya dengan menjadikan peristiwa-peristiwa di masa

lalu tersebut sebuah sajian teater singkat atau happening art yang ditampilkan di bangunan

plengkung maupun bangunan lainnya yang ada yang disesuaikan dengan konteks sejarahnya.

Muatan kesejarahan itu pun ditampilkan pula dalam CD Interaktif tersebut sehingga,

kedalaman informasi dari objek wisata budaya Plengkung dan Kraton Yogyakarta diharapkan

dapat semakin menjadi daya tarik yang menarik wisatawan untuk datang berkunjung.

Sebagai salah satu alternatif lain yang dapat ditawarkan dalam media promosi wisata,

adalah wisata nostalgia dalam bentuk wisata tempo dulu. Suatu bentuk perjalanan wisata yang

dilakukan dalam bentuk napak tilas perjalanan Kraton Yogyakarta menjadi sebuah kota, dengan

memfokuskan pada bangunan-bangunan bersejarah yang tersebar di kraton Yogyakarta. Selain

nilai kesejarahan, nilai pengetahuan dan arsitektur yang terkandung dalam bangunan tersebut

dapat diekplorasi lebih dalam sehingga makna yang terkandung dapat terungkap dan menjadi

daya tarik sendiri bagi wisatawan. Bentuk arsitektur yang unik, mulai bangunannya sendiri,

bentuk atapnya, atau bentuk plengkungnya yang unik bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi

wisatawan dengan catatan makna dibalik itu dapat kita sampaikan dengan menarik. Dalam hal

ini bisa melakukan kajian bersama dengan institusi arkeologi, arsitektur maupun teknik sipil.

Makna-makna positif dibalik plengkung akan memberikan nilai tambah sekaligus dapat

memperkuat identitas diri dari Kraton dan kota Yogyakarta sendiri.

Page 55: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

5. Kamagangan5

Pendahuluan

Dalam makalah ini dibahas mengenai keunikan Kamagangan Kraton Yogyakarta yang

didalamnya terdapat Regol Kamagangan. Keunikan dan ciri khas halaman belakan tersebut

dapat dijadikan daya tarik wisata yang juga sebagai media sosialisasi tradisi dan budaya kraton.

Banyak khalayak umum atau masyarakat Yogyakarta sendiri tidak mengetahui tradisi yang

berlaku di halaman kraton.

Hal menarik dari kompleks halaman ini adalah tradisi penghargaan terhadap Kraton

Yogyakarta yang masih dapat dijumpai sampai saat ini. Akan tetapi, daya tarik ini perlu

ditingkatkan apabila hendak dijadikan paket wisata unggulan kraton. Manajeman terpadu yang

mengakaitkan antara objek yang satu dengan yang lainnya perlu diupayakan agar kompleks

Kamagangan dapat menjadi pelengkap dari daya tarik wisata di kraton.

Gambaran potensi masa depan kompleks Kamangangan ditentukan oleh upaya

perencanaan wisata di masa sekarang ini. Hal yang perlu ditingkatkan adalah bagaimana upaya

marketing dan mempresentasikan keunggulan yang dimiliki objek wisata Kamangangan karena

atraksi di lokasi ini tidak setiap hari dapat dinikmati oleh para wisatawan. Mayarakat yag harus

turun dari kendaraan adalah salah satu daya tari itu, tetapi akan lebih baik jika atraksi lainnya

dapat mendukung potensi yang telah ada. Dengan demikian keberlanjutan wisata dapat terjaga

untuk masa mendatang. Pada hakekatnya pariwisata hendaknya berimbas langsung terhadap

kesejahteraan masyarakat di sekitar objek wisata. Kesejahteraan yang tidak hnaya pada tataran

ekonomi tetapi juga batin, karena masyarakat sadar bahwa dirinya adalah bagian yang tidak

terlepaskan dalam konteks budaya di kawasan itu.

Objek daya tarik wisata yang bersifat fisik dengan didukung oleh budaya masyarakat

yang melingkupinya mejadaikan objek daya tarik wisata diupayakan mendukung aspek edukatif

dan informatif. Kamagangan menghadirkan aspek tersebut, tradisi yang terus berlangsung

sampai sekarang adalah bukti bahwa masyarakat di sekitarnya merasakan dampak positif dari

hal itu. Untuk lebih mengekspos daya tarik ini maka pemasangan papan-papan informasi

hendaknya menjadi prioritas serta dukungan sosialisasi dan publikasi disekitar kompleks

kamagangan. Hal ini lah menjadi prioritas bahasan pada kesempatan ini bagaimana

5 Disajikan oleh Denny Santika (PSA/1816)

Page 56: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

menghadirkan atau menyajikan Kamagangan yang tidak lekas pudar dan tetap bertahan

sampai masa mendatang, sehingga keberadaan objek wisata ini dapat dinikmati oleh seluruh

wisatawan yang hadir ke Kraton Yogyakarta.

a. Pembahasan

Kamagangan merupakan komponen yang terdapat di kompleks Kedhaton. Di dalam

kompleks ini terdapat empat bangunan utama, Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen,

Pawon Ageng Gebulen, Panti Pareden dan Bangsal Magangan. Melewati halaman kompleks ini

pengunjung disambut oleh sepasang naga pada pintu masuk menuju kompleks Kamagangan.

Sepasang naga itu merupakan sengkalan memet Dwi naga rasa tunggal, yang memiliki arti

Dwi=2, naga=8, rasa=6, tunggal=I, Dibaca dari arah belakang 1682. Hal ini menunjukan bahwa

kompleks ini diidirikan pada tahun 1682 saka.

Kompleks Kamagangan sampai sekarang digunakan untuk penerimaan calon pegawai

(abdi-Dalem Magang), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang.

Bangsal Magangan terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara Bedhol

Songsong, pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Kraton.

Pawon Ageng (dapur istana) Sekul Langgen berada di sisi timur dan Pawon Ageng Gebulen

berada di sisi barat. Hal menarik dari bangunan Pawon Ageng adalah tiang-tiang kokoh yang

menyangga bangunan yang berbentuk persegi panjang itu. Kemudian, di sudut tenggara dan

barat daya terdapat Panti Pareden.

Beberapa bangunan lain di kompleks Kamagangan kraton di antaranya adalah

bangunan untuk pos penjagaan dan bangunan untuk tempat istirahat para abdi dalem. Pawon

Ageng Sekul dan Pawon Ageng Gebulen digunakan sebagai tempat untuk membuat gunungan.

Gunungan dibuat dalam rangka untuk upacara Grebeg (tradisi kraton yang dilakukan dua kali

dalam setahun). Perayaan Grebeg memang identik dengan gunungan yang akan diperebutkan

oleh masyarakat setelah dibawa menuju Masjid Agung Kauman.

Masyarakat diperkenankan untuk melihat proses pembuatan gunungan yang terbuat

dari berbagi bahan dari hasil bumi. Pembuatan gunungan memakan waktu selama dua sampai

tiga hari, yang dikerjakan dengan sistem shif. Pembuat gunungan biasanya adalah abdi dalem

Kraton Yogyakarta (laki-laki dan perempuan). Jam lima dini hari atau setelah pelaksanaan

Page 57: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

sholat subuh, gunungan mulai di bawa dari Pawon Ageng menuju bagian dalam kraton untuk

kemudian didoakan di Keben dan setelah itu diarak menuju Masjid Agung Kauman. Gunungan

memiliki arti simbolis yang kompleks karena didalamnya syarat makna Islam. Hal ini

ditunjukkan dengan lima banderan yang disusun di atas kepala adalah melambangkan rukun

Islam. Banderan ini juga bermakna empat mazhab dalam agama Islam: Maliki, Hambali, Syafi’i,

dan Hanafi. Didalam gunungan juga terdapat simbol yang di maknai sebagai nirwana.

Interpretasi pada materi dalam gunungan seperti Kacang gleor (Vigna Sinensis) yang dipasang

menjurai ke bawah mewakili dinamika kehidupan manusia. Warna hijau pada cabai

melambangkan kesuburan yang dihubungkan dengan kehidupan yang makmur dan sejahtera.

Simbol-simbol yang berkaitan dengan berbaggi aspek kehidupan , rumusan-rumusan mengenai

pedoman tingkah laku, norma-norma, dan aturan moral disusun disusun dengan rumit dan

rapih dengan media simbol (Irwan Abdullah, 1981: 92-93).

Upacara Grebeg dikaitkan dengan berdirinya Kraton Yogyakarta pada tahun 1755, yakni

sebulan setelah perjanjian Giyanti ditandatangani (13 Maret 1755). Upacara tersebut

diprakarsai oleh Kanjeng Pangeran Haryo Mangkubumi, setelah ia dinobatkan menjadi sultan

dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin

Panotogomo Khalifatullah. Sultan ini adalah putra Susuhunan Prabu Amangkurat IV (1719-

1726) dianggap sejak kecil memiliki perhatian besar terhadap tata cara dan adat kraton. Usaha

pelestarian tradisi oleh Sultan dianggap sebagai sikap memuliakan leluhur (Irwan Abdullah,

1981: 89-90).

Bangunan yang paling besar di Kamagangan kraton adalah Bangsal Magangan.

Bangunan ini digunakan untuk acara wayangan. Wayangan dilakukan rutin satu kali dalam

setahun, tepatnya setelah sawalan. Kegiatan wayangan terbuka untuk umum dengan

menampilkan berbagi tema, seperti Semar Bangun Kayangan, Gatot Gojo Jadi Ratu, Lobini Ling

Sanggeni. Menurut pemaparan abdi dalem yang bernama Mas Lurah Yudo Sunardjo (Mantri

Jero Reh) bahwa tema wayangan yang paling diminati adalah Semar Bangun Kayangan. Masih

menurut pemaparan Mas Lurah wayangan dilaksanakan semalam suntuk yang didalamnya

terjadi interaksi antar pihak kraton dengan masyarakat sekitar kraton. Kegiatan-kegiatan di

kraton sebenarnya jika diamati adalah bentuk keselarasan antara penguasa dan masyarakat

yang dipimpinnya.

Page 58: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Kamagangan memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan objek daya tarik wisata di

kraton. Kompleks ini menampilkan satu sisi yang tidak banyak orang mengetahuinya, yaitu

tentang local wisdom, etika, atau tradisi kepedulian serta rasa hormat masyarakat sekitar

terhadap kraton. Masyarakat yang mengendarai kendaraan roda dua yang hendak melewati

halaman ini maka harus menuntun kendaraannya hingga ke pintu gerbang di depannya. Hal ini

berlaku utnuk yang masuk di gerbang barat atau gerbang timur Kamagangan kraton. Jarak

halaman yang membentang timur-barat kurang dari satu kilo harus ditempuh oleh siapapun

yang mengandarai kendaraan roda dua. Aturan ini berlaku untuk umum apapun pangkat dan

jabatannya, kedudukan atau strata sosial yang bersanding pada dirinya maka wajib untuk

menuntun kendaraannya.

Masyarakat tidak ada yang keberatan dengan penerapan aturan yang telah sejak lama

diterapkan ini. Kepastian waktu diberlakukannya aturan ini secara pasti tidak diketahui. Bahkan

seorang nenek dengan membawa barang belanjaannya tampak dengan tenang dan sadar turun

dari motor sesaat ketika akan masuk ke halaman itu, kemudian ia berjalan kakai denggan

perlahan-lahan. Para penggunan sepedah, penjual makanan atau minuman, dan para tukang

becak semua menuntun gerobak atau kendaraannya hingga pintu gerbang selanjutnya.

Memang di depan gerbang tertulis “mohon maap kendaraan roda dua, lewat harap

dituntun”. Turis mancanegara yang melewati halaman itu disuguhi atraksi budaya yang nyata

unik dan menarik. Mendengar tentang informasi ini saja orang-orang akan langsung tertarik

dan merasa heran, dan ternyata setelah hadir langsung di lapangan memang benar

kenyataannya. Hal ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai wisata yang menghadirkan kesan

tidak terlupakan kepada para wisatawan yang berkunjung ke kamagangan kraton.

Hanya saja perlu kembali ditata manajemen pengelolaannya dan terutama masalah

publikasinya. Sebetulnya di lokasi yang sama terdapat restoran dan tempat souvenir yang juga

banyak di kunjungi oleh wisatawan, tetapi tradisi ini luput dari pantauan mereka. Publikasi dan

sosialisasi sangat penting dilakukan untuk mengangkat wisata ini. Mungkin dengan tambahan

atraksi lainnya yang tidak menyalahi konteks budaya di sana dapat dikembangkan untuk

mendukung wisata alternatif ini.

b. Arti dan Makna Kamagangan Kraton Yogyakarta

Upacara merupakan merupakan sisi paling menonjol pada prilaku sosial dan sistem

gagasan orang Jawa. Upacara muncul secara luas, melingkupi siklus hidup dan berbagi kegiatan

Page 59: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

sosial di dalam kehidupan masyarakat. Upacara yang meluas seperti ini menunjukan arti

penting bagi masyarakat Jawa. Upacara yang dimaksud adalah ritual bukan ceremony.

Mempelajari upacara berarti mempelajari nilai-nilai penting di dalam masyarakat itu. Konsep

kosmologi mengandung seluruh unsur pola pikir, sikap dan tingkah laku masyarakat Jawa.

Simbol-simbol dari material upacara maupun yang diwujudkan dalam bentuk banguan

adalah penyederhanaan atau pemadatan gambaran kehidupan tentang dunia nyata atau yang

sebenarnya. Memahami dimbol berarti menggabungkan sesuatu yang menjiwai atau

melatarbelakanginya yang lainnya karena simbol merupakan pemadatan gambaran dunia

nyata.

Kosmologi Jawa memperlihatkan du aperbedaan sifat pada manusia, yaitu sifat baik

dan buruk atau lazim disebut alus (halus) dan kasar. Kedua sifat ini digambarkan oleh konsep

kakang kawah adi ari-air. Kawah (air ketuban) dipandang sebagai jiwa manusia, sedangkan ari-

ari (tembuni) dianggap sebagai badan kasar manusia. Bersatunya air ketuban dan tembuni

dipandang sebagai bersatunya kekuatan baik dan kekuatan buruk dalam diri manusia. Kedua

kekuatan ini menjadi dasar lahirnya tindakan (Irwan Abdullah, 1981: 93-94).

Konsep kosmologi kraton yang dikenal dengan mikro kosmos dan makro kosmos juga

merupakan simbol dari kedudukan kraton itu sendiri. Kearah utara langsung mengarah pada

tugu dan Gunung Merapi sebagai perlambang hubungan vertikal raja dengan Kholik (Allah

SWT), sedangkan kearah selatan mengarah pada panggung krapyak perlambang hubungan raja

dengan rakyatnya. Interaksi yang baik antara raja dengan Allah serta dengan masyarakatnya

maka akan menciptakan tatanan masyarakat yang makmur. Kamagangan kraton yang letaknya

diantara mikro kosmos dan makrokosmos menunjukan kestabilan tatanan pemerintahan.

Kamagangan bersifat semi profan, satu tahapan menuju sakral maka masyarakat yang

melewati halaman ini bersikap tunduk pada aturan serta bertingkah laku sopan menghargai

keudukan raja berarti menghargai dirinya sendiri.

c. Meningkatkan Pariwisata dengan Mengangkat Objek Daya Tarik Wisata di Kompleks

Kamagangan

Pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya arkeologi sebagai objek daya tarik wisata

yang divariasikan dengan tambahan atraksi budaya perlu memperhatikan beberapa hal sebagai

berikut:

Page 60: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

a. pemanfaatan tersebut sebagai upaya bagi penguatan pelestarian sumber daya tersebut,

b. berguna bagi pengkayaan interpretasi nilai dan makna yang secara langsung akan

memfokuskan kebesaran nilai dan memperkaya pengalaman pengunjung. (Pemahaman lintas

budaya), dan

c. bermanfaat bagi masyarakat sekitar (Wiendu Nuryanti. 2007).

Tahap Pengembangan

1. Penataan Kawasan Pariwisata

Penataan kompleks Kamagangan memiliki peran yang penting dalam industri pariwisata

di Kraton Yogyakarta. Tanpa penataan yang baik, produk pariwisata yang ditawarkan kepada

konsumen tidak akan bertahan lama. Penataan kompleks itu lebih menekankan pada penataan

sarana umum, penataan lansekap, penataan fasade kawasan, dan penataan sirkulasi dan

informasi bagi para wisatawan. Rincian penataan sebagai berikut:

a. Penataan sarana fasilitas umum (tempat sampah, lampu, bangku, reklame, dan akses untuk

divabel).

c. Penataan para pedagang yang menjajakan dagangannya di kompleks Kamagangan.

d. Arus sirkulasi bagi para wisatawan dan pejalan kaki yang kebetulan kompleks ini terbuka

untuk umum dan kendaraan (karena kendaraan boleh diparkir di kompleks ini).

e. Penataan vegetasi dan taman-taman.

f. Penataan ruang fungsi terbuka.

g. Penataan parkir (Wiendu Nuryanti. 2007).

Hal ini direncanakan sebagai bagian yang mendukung kelanggengan wisata di kompleks

Kamagangan. Akan tetapi, keberlanjutan pariwisata harus senantiasa didukung dengan

monitoring, meningkatkan peran istitusi/lembaga dalam pengelolaan, dan kebijakan regulasi

yang mengakomodir semua kepentingan.

2. Strategi Pengembangan

Pada era glogalisasi sekarang ini para wisatawan cendrung untuk kembali menuju nuansa

yang bersifat alami dan budaya tradisional. Dukungan atraksi budaya yang bersifat intanggibel

dapat mendukung daya tarik wisata itu sendiri. Penguatan nilai atraktif di kompleks

Kamagangan sebagai alternatif penunjang daya tarik wisata bagi pengunjung yang jenuh

Page 61: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

melihat budaya materi di kompleks kraton lainnya. Selain itu, perlu juga diupayakan terobosan

dalam memahamkan para wisatawan tentang pentingnya menghargai dan melestarikan

warisan budaya. Program sosialisasi akan lebih efektif dengan membuat papan himbauan dan

leaflet-leaflet yang dipasang dan disebarkan di lokasi wisata. Informasi tersebut bernilai

edukatif dan informatif tentang kawasan wisata yang sedang dikunjungi oleh para wisatawan.

Sosialisasi bisa dipandu oleh pemandu wisata (guide) yang professional sehingga bisa

menyuguhkan kesan mendalam terhadap para wisatawan yang berkunjung di kompleks

Kamagangan tersebut. Nilai suatu produk tergantung pada kemasannya, kemasan itualah yang

memberikan nilai imajinasi, ekspresi/identitas diri, gaya hidup dan emosi konsumen. Kemasan

tersebut dikenal dengan sebutan knowledge management (KM). KM adalah aset pariwisata

sebuah kawasan. Oleh karen itu, dalam memaksimalkan manfaatnya diperlukan proses transfer

pengetahuan dari pemandu wisata kepada para wisatawan dengan metode story telling

(pengungkapan knowledge dengan cara cerita). Metode tersebut merupakan salah satu cara

efektif untuk mentransfer knowledge yang ada dalam pikiran menjadi penjabaran explisit

secara sistematis dan terdokumentasikan (Lendy Widayana, 2004).

Penerapan KM memang bukan prioritas tetapi hal ini adalah bagian dari sistem

manajemen pariwisata. Kompleks Kamagangan penuh dengan muatan pengetahuan sehingga

memerlukan knowledge manajemen dalam memasyarakatkannya. Knowledge (pengetahuan

dan pengalaman) tersebut dikelola hingga mempunyai manfaat dan nilai ekonomis. Oleh

karena itu seorang pemandu wisata adalah knowledge worker, karena ia sangat mengandalkan

knowledge yang dimilikinya untuk menjadi nilai bagi dirinya sendiri dan obyek yang ia

terangkan dalam bentuk suatu cerita (Lendy Widayana, 2004). Keberhasilan menciptakan kesan

mendalam yang dirasakan wisatawan tergantung dari peran pemandu wisata.

Setelah penekanan tentang nilai penting objek yang dikunjungi, aspek hiburan dan

komersil diperkokoh dengan tidak mengabaikan aspek pelestarian. Keuntungan ekonomis

bergantung pada kreativitas, inovasi, dan memperluas jaringan pemasaran objek wisata.

Berikut ini adalah panduan untuk meningkatkan keuntungan ekonomi dalam pariwisata, yaitu:

1. Meningkatkan jumlah pengunjung secara berlebihan bukan berarti untung. Di sisi lain

justru akan menimbulkan dampak negatif yaitu mengurangi pendapatan.

2. Meningkatkan lamanya waktu kunjungan lebih menguntungkan karena jumlah uang yang

dikeluarkan wisatawan secara otomatis tertuju pada produk-produk wisata yang ditawarkan.

Page 62: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

3. Fokus pemasaran prioritas orang-orang kalangan ke atas, walaupun kalangan menengah

kebawah perlu diperhatikan. Wisatawan kalangan menengah ke atas memiliki daya beli yang

lebih daripada wisatawan lainnya.

4. Meningkatkan penjualan kepada pengunjung, terutama poduk lokal (handy craft) baik

langsung maupun tidak langsung yang dapat membantu pendapatan masyarakat lokal.

5. Penyediaan penginapan dan sarana prasarananya.

6. Penyediaan servis lainnya terutama informasi tambahan yang memberikan peluang

mengunjungi objek-objek lainnya.

7. Menambah bentuk suguhan atraksi, seperti: pameran seni kebudayaan lokal, festival-

festival seni budaya lokal. Tujuannya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap budayanya

sekaligus menambah daya tarik wisata (Paul F. J. Eagles, Stephen F. McCool, and Christopher D.

Haynes, 2002).

Poin-poin tersebut pada dasarnya untuk memaksimalkan identitas lokal dan mensejahterakan

masyarakat yang tinggal di sekitar objek wisata adalah menjadi keutamaan dalam pariwisata.

3. Diversifikasi Pariwisata

Melakukan penggabungan diversifikasi wisata secara integral dengan objek daya tarik

lainnya di kawasan Kraton Yogyakarta. Pengembangan wisata dengan memanfaatkan

keunggulan objek wisata lainnya perlu diperhatikan sebagai sarana mengupgrade objek wisata

yang belum berkembang. Hubungan ini ibarat simbiosi mutualisme yang saling menguntungkan

antara satu dengan lainnya. Diversifikasi yang tepat dalam konteks ini adalah mengkaitkan

kompleks Kamagangan dengan Taman Sari. Taman sari terlebih dulu telah dikenal sebagi

wisata alternatif setelah Ktaron Yogyakarta, walaupun sebenarnya lokasi tersebut merupakan

bagian dari Kraton Yogyakarta. Lokasi Taman sari yang terpencar atau berpisah dengan kraton

banyak diinterpretasikan oleh sebagian wisatawan awam sebagai bangunan tersendiri yang

terpisah dari kraton.

4. Marketing

Melaksanakan bentuk kegiatan festival yang berlokasi di sekitar Kompleks Kamagangan

tepatnya di jalan Suryoputran dan jalan Magangan. Festival yang menggabungkan unsur

modern dan tradisional, dengan menghadirkan beberapa atraksi budaya, seperti: tarian,

Page 63: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

kesenian adat setempat, yang pernting tidak keluar dari konteks budaya di sana.

Konsep pemasaran ideal pariwisata warisan budaya sebaiknya dilakukan oleh sektor

publik (berperan sebagai pengusaha) atau kerja sama antara sektor publik dan swasta. Sektor

publik memegang peranan sangat penting dalam pendidikan pariwisata dan pengaturan

penyelesaian masalah atau konflik. Apabila peran tersebut terlalu berat dan tidak bisa

dilakukan sama sekali, maka memberikan kesempatan kepada pihak swasta akan lebih baik.

Marketing pariwisata dengan memanfaatkan media cetak, media elektronik, dan sarana

teknologi informasi adalah langkah strategis dan efektif dalam mempromosikan suatu produk

pariwisata. Tujuan promosi tersebut mencakup:

a. Pengidentifikasian target audensi yang akan dicapai,

b. Pengidentifikasian tujuan komunikasi yang akan dicapai,

c. Formulasi bentuk pesan untuk mencapai tujuan,

d. Pilihan media untuk menyampaikan pesan secara efektif kepada audiesi yang dituju, dan

e. Alokasi anggaran untuk mencapai produksi dan penyampaian pesan (I Nengah Subadra,

2007).

Promosi pariwisata juga biasa dilakukan pengiklanan (advertising), humas (public

relation), penjualan langsung (direct selling), dan promosi penjualan (sales promotion yang

dapat dilakukan secara direct maupun indirect). Iklan memiliki banyak fungsi dalam pariwisata

antara lain:

• Membuat keperdualian (awareness) terhadap suatu produk.

• Menginformasikan tentang suatu produk yang baru atau spesial.

• Menanamkan citra yang memiliki legalitas.

• Mempengaruhi citra daerah tujuan.

• Menyediakan informasi mengenai pelayan special dan penawaran khusus.

• Penjualan langsung untuk mendatangkan respon langsung.

• Pengenalan terhadap penamaan (branding) suatu produk.

• Mencapai target audensi yang baru.

• Menyediakan informasi tentang penggunaan alat yang baru.

• Mengumumkan peluncuran kembali suatu produk baru.

• Iklan yang bersifat mengingatkan bertujuan untuk menjaga atau mempertahankan

hubungan dalam benak konsumen (I Nengah Subadra, 2007).

Page 64: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

6. Komplek Siti Inggil6

A. Latar Belakang Masalah

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah peninggalan budaya kerabat keraton sejak

Sri Sultan Hamengku Buwono I di Yogyakarta. Keraton ini adalah salah satu sumber daya

arkeologi yang harus dijaga kelestariannya. Keraton dan dengan bangunan di sekelilingnya

serta kawasannya merupakan kawasan wisata budaya yang menjadi daya tarik tersendiri bagi

wisatawan nusantara maupun mancanegara. Karena ada bagian-bagian dari keraton yang

memiliki daya tarik tersendiri. Kekhasan tersebut yang perlu dijaga secara berkelanjutan

sehingga tidak menghilangkan keaslian dengan memperbaharuinya. Meskipun ada

penambahan atau pemugaran di beberapa tempat, selayaknya dipikirkan ke depan untuk

menjaga keaslian merupakan sesuatu yang sangat penting. Karena keinginan pengunjung atau

wisatawan adalah aura keaslian dari suatu kawasan wisata budaya.

Tantangan seperti ini perlu dipecahkan secara bersama-sama, tidak cukup hanya ahli

arkeolog saja, akan tetapi semua pihak yang merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan

sumber daya budaya setempat yang menjadi ciri khas tersendiri bagi wilayahnya ikut

memikirkan jalan keluarnya agar keasliannya wisata budaya dapat terjaga dan wisatawan

merasa puas dengan menyaksikan secara langsung atau menikmati pemandangan yang benar-

benar diinginkan oleh wisatawan saat ini. Dengan demikian yang menjadi masalah dalam

tulisan ini adalah bagaimana pemanfaatan Kompleks Siti Inggil yang menjadi bagian terpenting

dari keraton dapat lestari secara berkelanjutan.

B. Gambaran Kompleks Siti Inggil Kraton Yogyakarta

a. Kompleks Siti-Inggil Utara/Siti-Inggil Lor

Kompleks Siti- Inggi l Utara merupakan sekumpulan bangunan dengan arah

hadap ke utara. Letak Siti-Inggil Utara berada di halaman pertama pada sisi utara kraton

Yogyakarta. Luas kompleks Siti-Inggil Utara + 1000 m2. Di utara berbatasan dengan

bangunan yang disebut bangsal Pa gelaran ata u T ratag Pagelaran. Di tengah-tengah

Tratag Pagelaran terdapat sebuah bangunan yang ditinggikan + 30 cm dari permukaan lantai

Pagelaran yang disebut bangsal Pangrawit. Bangsal Pangrawit dilengkapi dengan sela gilang

6 Disajikan oleh Marduati

Page 65: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

yang berfungsi sebagai tempat duduk raja untuk melantik dan mangangkat patih D i s i s i

s e la t a n , ko m p l ek s S i t i - I n g g i l berbatasan dengan jalan supit urang dan Kori

Brajanala Lor. Di sisi barat berbatasan dengan Tepas Keprajuritan Krato n Y ogyakarta . Di

sis i t imur berbatasan dengan sekolahan.

Komplek s S it i - Ingg i l Uta ra per muka an tan ahnya ditinggikan + 150 cm dari

permukaan tanah sekitarnya. Di u jung tangga naik menuju Siti-Inggil terdapat sebuah

bangunan yang d isebut Tarub A gung . Atap ban gunan berbentuk atap kampung yang

disangga oleh empat tiang kayu berhias kuncup melati dan garis-garis pada tubuh tiangnya. Fungsi

bangunan ini sebagai tempat bagi raja untuk mempersiapkan diri untuk menuju bangsal

Pangrawit di Pagelaran (Nunuk, 1994: 41).

Bangunan-bangunan yang terdapat di dalam kompleks Siti-Inggil Utara kraton

Yogyakarta, yaitu:

1). Tratag Siti-Inggil

Tratag Siti-Inggil merupakan bangunan terbuka dengan a rah had ap ke u ta ra . L uas

ban guna n + 300 m 2. Ka k i bangunannya ditinggikan + 30 cm dari permukaan tanah

sekitarnya. Di atas lantai berubin kembang, terdapat 34 buah tiang berhias motif tumbuh-

tumbuhan. Atap bangunan berbentuk rumah kampung dara gepak. Pada mulanya

bangunan ini terbuat dari bambu yang diberi atap dan pada bagian atasnya diberi

tumbuhan yang merambat sebagai p ened uh. Bangunan ya ng tampak sep ert i

sekarang in i merupakan perbaikan yang dilakukan oleh Sultan HB VIII yang ditandai

dengan sengkalan memet pandhita cakra naga wani. Sengkalan ini terletak pada bidang

lengkung, tepat di atas pintu masuk Tratag Siti-Inggil. Fungsi bangunan ini sebagai

tempat duduk bagi para Pangeran Adipati Anom untuk menghadap ra ja atau biasanya

disebut p isowanan agung.

2). Bangsal Witana

Bangsal Witana merupakan bangunan terbuka dengan arah hadap ke utara. Letak bangunan

di dalam Tratag Siti-Inggil sisi selatan. Luas bangunan + 50 m2. Kaki bangunan ditinggikan +

40 cm dari permukaan lantai bangsal SitiInggil. Di atas lantai ubin kembang terdapat 32 buah

tiang pengarak dan empat saka guru yang pada tubuh tiangnya berhias motif

tumbuh-tumbuhan. Atap bangunan berbentuk tajug lambang gantung. Bangsal Witana

mengalami perbaikan pada tahun 1855 J atau 1921 M, yang dilukiskan dengan sengkalan

Page 66: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

memet tinata piranti ing madya witana. Sengkalan ini terletaki pada batur bangunan

sebelah timur. Fungsi bangunan ini sebagai tempat untuk meletakkan pusaka-pusaka kraton

pada perayaan garebeg.

3). Bale Bang dan Bale Angun-angun

Bale Bang dan Bale Angun-angun merupakan sepasang bangunan terbuka dengan arah

hadap ke timur. Bale Bang terletak d i sebelah barat Tratag S iti-Inggil. Lu as

bangunan + 30 m2. Kaki bangunan ditinggikan + 30 cm dari permukaan tanah sekitarnya. Di

atas lantai ubin abu-abu terdapat empat tiang kayu berhias motif tumbuh-tumbuhan

pada tubuh tiangnya. Atap bangunan berbentuk limasan. Fungsi bangunan ini

sebagai tempat untuk meletakkan Kyai Kebo Ganggang, yang diperdengarkan untuk tanda

berangkat perang.

4). Bangsal Abdi Dalem Gandhek dan Jaksa

Ban gsa l Abd i Dalem Gandh ek dan Jaksa merupakan sepasang bangunan terbuka

dengan arah hadap ke selatan. Letak di sebelah utara Tratag Siti-Inggil atau di kiri

kanan Tarub Agung. Luas masing-masing bangunan + 6 m2. Atap bangunan berbentuk

limasan yang ditopang oleh empat tiang kayu berukir tumbuhan pada tubuh tiangnya.

Fungsi bangunan ini sebagai tempat duduk bagi abdi dalem Gandhek dan Jaksa pada

saat dilangsungkan upacara di Siti-Inggil. A b d i d a l e m G a n d h e k a d a l a h a b d i

d a l e m y a n g b e r tu ga s menyampaikan perintah Sultan kepada pepatih dalem dan

bawahannya yang berada di Pagelaran. Abdi dalem Jaksa yaitu abdi dalem yang

bertu gas men ghukum o rang yang bersalah setelah mendapat persetujuan dari raja.

Pada bagian selatan kompleks Siti-Inggil terdapat batu rana, yaitu tembok yang

berfungsi sebagai penyekat. Di belakang batu rana terdapat anak tangga menuju ke

sebuah jalan yang disebut supit urang.

b. Kompleks Siti-Inggil Selatan/Siti-Inggil Kidul

Kompleks Siti-Inggil Kidul terletak di sebelah utara a lun-a lun k idu l kraton

Yogyakarta . Pada s is i u ta ra berbatasan dengan pintu gerbang Kemandhungan. Di sebelah

barat berbatasan dengan rumah bangsawan kraton. Di sisi timur berbatasan dengan Kantor

Urusan Pembinaan Pemuda Departemen P dan K.

Page 67: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Siti Hinggil Kidul digunakan oleh raja untuk menyaksikan para prajurit keraton yang

sedang melakukan gladi bersih upacara Grebeg dan pada zaman dulu juga digunakan untuk

tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (rampogan). Pada saat sekarang Siti Hinggil

Kidul (Sasana Hinggil Dwi Abad) juga digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk

umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya. Bangunan-bangunan terpenting

yang terdapat dalam kompleks Siti Hinggil Kidul di antaranya:

1). Tratag Rambat

Tratag Rambat merupakan bangunan terbuka dengan arah hadap ke selatan. Letak

bangunan pada tangga menurun yang menuju ke arah alun-alun selatan. Luas bangunan + 35

m2. Dada masing-masing sisi bangunan terdapat tiga tiang membentuk segitiga

yang menyangga atap berbentuk kampung. Tratag Rambat pada mulanya merupakan

bangunan bambu dengan tiang-tiang besi. Sebelum adanya perbaikan, di dalam

Tratag Rambat diletakkan sela gilang yang berfungsi sebagai tempat duduk raja.

Bangunan yang tampak sekarang merupakan semacam teras yang diberi atap.

2). Bangsal Siti-Inggil

Bangsal Siti-Inggil merupakan bangunan tertutup dengan arah hadap ke selatan.

Letak bangunan di utara T r a t a g S i t i - In g g i l .9 5 L u a s b a n g u n a n + 1 5 0 m 2 . K a k i

bangunannya ditinggikan + 30 cm dari permukaan tanah sek itarnya . Bangunan

berben tuk jog lo lambang teplok , berbentuk sebuah ruangan yang lantainya

berupa ubin berwarna abu-abu. Bangunan yang tampak sekarang merupakan

p e r b a i k a n ya n g d i la ku k a n o l e h H B IX d a l a m r a n g k a Peringatan 200 tahun

Kota Yogyakarta tahun 1956. Fungsi bangunan in i pada masa awal pemerintahan HB

I, yaitu sebagai tempat bagi putra-putri raja untuk menyaksikan rampogan harimau yang

diadakan di alun-alun selatan.

C. Siti-Inggil dan Legitimasi Raja

Pendirian Siti-Inggil secara fisik turut menunjang legitimasi dirinya. Sebagai penguasa

tertinggi dan tak tertandingi, raja harus dapat menggunakan kekuasaannya untuk

menciptakan suasana yang aman dan tenteram bagi rakyatnya. Kekuasaan raja untuk

mengesahkan kedudukannya ditandai oleh dua hal, yaitu kemampuan untuk menghasilkan

kesetiaan yang bersifat suka rela dan kemampuannya untuk memerintah dan memaksakan

Page 68: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

kepatuhan. Kepatuhan suka rela kepada raja merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh

seorang penguasa. karena rakyat yang dikenai kekuasaan itu akan melaksanakan semua

perintahnya dengan kesadaran mereka sendiri, misalnya, setiap perayaan dan upacara

yang diselenggarakan oleh raja selalu dipadati oleh kehadiran rakyatnya. Rakyat akan patuh

kepada raja yang dapat menjalankan kekuasaannya dalam keseimbangan antara wewenangnya

yang besar pula.

S e b a g a i khal i fatu l lah , ra j a m e m il i k i k e u n gg u la n h a k ik i yang

menjadikan rakyatnya memberikan kesetiaan serta meyakini bahwa yang diucapkannya

adalah perintah Tuhan. Kekuasaan raja untuk legitimasi dirinya didukung oleh kraton

termasuk Siti-Inggil secara keseluruhan. Letak Siti-Inggil yang paling tinggi diantara

bangunan lainnya menunjukkan fungsi yang sangat khusus bagi raja untuk menampilkan dirinya

dihadapan rakyat.

Hubungan an tara p enguasa (ra ja) dan bawahannya (rakyat) disebut pula

dengan nama hubungan kawula-gusti. Konsep kawula-gusti sebagai fungsi legitimasi raja, terwu-

jud pada tatanan Siti-Inggil dan alun-alun. Konsep ini nenunjukkan bahwa kepercayaan

masyarakat Jawa terhadap takdir atau pinesti yang menetapkan seseorang itu menjadi penggede

(pembesar) atau menjadi wong cilik, sehingga kepatuhan rakyat kepada penguasa yang adil dan

bijaksana selalu menjadi panutan, perhatian, dan sumber kekuatan bagi rakyat dan

dirinya sendiri sehingga kedudukannya tidak diguncang oleh prahara, misalnya,

pemberontakan yang lakukan oleh rakyat. Pada dasarnya pemberontakan merupakan salah satu

protes dari rakyat terhadap kesewenang-wenangan penguasa.

Kom pl ek s S i t i- Ing g i l d iba ngun un tu k memenu h i kelengkapan kerajaan

sebagai kerajaan panggung, yaitu fu n gs i S it i- In gg i l seb aga i tempa t ba g i ra ja

un tuk mementaskan ritus atau upacara keagamaan di depan umun. Memuliakan raja sangat

diperlukan oleh kosmologi Jawa, yang menyamakan kebesaran raja dengan kebesaran

seluruh kerajaan, sehingga tidak boleh ada yang menentang dan menyamainya. Hubungan

ketergantungan antara raja dan kerajaannya mengandung arti bahwa kebaikan dan

kewibawaan raja meresap ke seluruh kerajaan. Salah satu cara untuk meningkatkan

kewibawaan raja adalah menciptakan kultus kemegahan. Terdapat dua macam kultus

kemegahan, yaitu abstrak dan konkret.

Page 69: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Kultus kemegahan yang bersifat konkret yang menunjukkan bahwa raja memiliki

keunggulan material yang besar. Wujud dari keunggulan material tersebut adalah pendirian

Siti-Inggil yang menunjukkan keindahan dan kemegahan suatu b en tu k b a n gu n a n .

Pen d i r ian S i t i - In gg i l yan g d i land a s i oleh konsep kosmologi mewujudkan sebuah

bangunan yang megah, besar, dan penuh nilai-nilai magis religius. Keunggulan spiritual

menunjukkan bahwa kultus kemegahan bersifat abstrak. Hal ini, ditunjukkan oleh silsilah yang

dibuat oleh raja untuk membuktikan bahwa ia merupakan keturunan orang yang sangat

berpengaruh dan terkenal pada masa sebelumnya

Di Siti-Inggil selalu dilakukan aktivitas yang menunjang fungsi legitimasi raja,

misalnya, pertemuan antara raja dengan para bawahannya untuk membicarakan hal-hal

yang berhubungan dengan kesejahteraan dan situasi kerajaannya yang d ilakukan pada

upacara pisowanan ageng. Pada saat itu rakyat dapat menyaksikan kebesaran raja dan

keagungannya yang duduk di atas singgasana kerajaan. Kebesaran raja juga dapat dikaitkan

dengan kemakmuran kerajaan, misalnya, upacara panjang jimat dan grebeg. Simbol

kemakmuran ini tampak pada iring-iringan gunungan yang dikeluarkan oleh kerajaan dari dalam

kraton sebagai puncak acara perayaan tersebut. Gunungan tersebut bernama gunungan Jaler dan

gunungan Wadon yang dianggap sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran. Kekayaan

kerajaan juga tampak pada pakaian yang dikenakan oleh raja, tempat duduk raja yang

indah, berbagai jenis pusaka yang dikeluarkan oleh kerajaan untuk mengiringi keluarnya sang

raja dari dalam keraton, serta bangunan Siti-Inggil itu sendiri, sehingga terlihat megah dan

mewah. Adapun pengaturan po la tempa t du duk o rang-ora ng yan g mengelilingi raja

pada upacara yang diselenggarakan di Siti-Inggil berada di sisi kanan, kiri atau di belakang raja

sesuai dengan tugas dan kepangkatan mereka. Pola semacam itu terus digunakan sampai

sekarang, seperti yang disebutkan oleh Van Ossenbruggen, sebagai berikut :

”Kalau raja bersemayam di singgasananya, maka menurut keinginannya atau pikirannnyaahendaknya pegawai-pegawainya membentuk lingkaran-lingkaran konsentris ataupunsetengah lingkaran di sekelilingnya ... kalau sang raja keluar dengan upacara, baik bila jalankaki atau berkendaraan, maka pengiringnya mendahului dan mengikutinya dalam dua barisanyaitu di sebelah kanan dan disebelah kirinya.”

Pola tempat duduk ini menggambarkan alam raya. Raja di tengah sebagai pusat jagad

raya dan dikelilingi oleh para bawahannya yang membentuk suatu lingkaran konsentris. Penilaian

Page 70: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

terhadap Siti-Inggil dan legitimasi raja selain dilihat dari bentuk fisik juga harus dilihat dari arti

yang terkandung di dalamnya. Siti-Inggil sebenarnya adalah bangunan yang secara simbolis

menyajikan sebuah arti bagi rakyat dan menunjukkan sesuatu yang lebih tinggi maknanya dari

bentuk fisiknya. Hal ini dapat dipahami sebab yang melakukan aktivitas resmi di Siti-Inggil

adalah raja, sebagai junjungan dan penguasa mereka yang harus diakui dan dihormati

kebesarannya.

Pendirian Siti-Inggil oleh seorang raja merupakan pembuktian bahwa ia mampu di

bidang ekonomi, militer, dan politik. Namun kemampuan ini memerlukan pengakuan dan

pengesahan dari dunia di luar kerajaan tersebut untuk mendapat kekuatan loyalitas

intern. Legalia seorang raja selain ditentukan oleh bentuk fisik bangunan yang dimilikinya,

juga pengakuan dari orang lain yang dianggap mempunyai kekuatan supra natural atau

keturunan dari orang Sakti.

D. Konsep Pemanfaatan Berwawasan Pelestarian Komplek Siti Inggil

Di dalam UU no.5 tahun 1992 tentang benda Cagar Budaya pada bab I ayat a. Benda

cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak maupun tidak bergerak yang berupa

kesatuan atau kelompok. Atau bagian bagiannya atau sisanya, yang berumur sekurang-

kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya sekurang kurangnya 50 (lima puluh)

tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengethuan dan

Kebudayaan. Di dalam penjelasannya benda cagar budaya dianggap memupyai nilai penting

bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta

memperkokoh kesadaran jatidiri bangsa. (UU no.5 tahun 1992).

Komplek Siti-Inggil sebagai warisan budaya, seperti telah disebutkan di atas termasuk

juga sumber daya arkeologis yang mempunyai nilai - nilai penting selaras dengan makna

kultural yang melekat pada peninggalan tersebut. Makna kultural dapat ditunjukan pada nilai-

nilai yang ada seperti nilai estetis, ekonomis, asosiatif, simbolik dan informasi. Mengingat sifat

sifatnya tersebut dan nilai nilai sumberdaya arkeologis tersebut maka seharusnya sumber daya

arkeologi dilindungi dan dilestarikan. Pelestarian tinggalan arkeologi merupakan upaya untuk

mempertahankan keberadaannya, tidak hanya untuk saat sekarang tetapi jauh ke masa yang

akan datang (Ph. Soebroto, tt, 5).

Page 71: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Peninggalan arkeologis yang memiliki nilai penting tersebut di atas dapat dimanfaatkan

untuk kesejahteraan umat manusia. Kesejahteraan yang diperoleh dari manfaat ini yaitu

manfaat ideologis, akademis maupun kepentingan ekonomi (Henry F Cleere, 1989:5-10, lihat

pula Haryono, 1995;140 ). Selain itu sumberdaya arkeologi dapat dimanfaatkan sebagai sarana

pendidikan dalam rangka pemupukan nasionalisme dan berorientasi pada penetapan identitas

budaya bangsa (Haryono,1999:3).

Dalam The Burra Charter tahun 1981, istilah konservasi dalam arkeologi diterjemahkan

sebagai suatu proses pemeliharaan suatu situs untuk mempertahankan makna kulturalnya.

Kegiatan konservasi kemudian dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan, yaitu kegiatan

pemeliharaan, kegiatan preservasi, kegiatan pemugaran, kegiatan rekonstruksi, dan adaptasi.

Dengan pengertian tersebut maka konservasi bagi arkeologi dilakukan dengan tujuan untuk

mengelola dan memeilihara peninggalan arkeologi beserta situsnya dengan berbagai cara agar

dapat dimanfaatkan lebih lama dengan tetap mempertahankan makna kulturalnya (Subroto,

1997).

Dalam rangka mempertahankan keberadaan dan kelestarian sumberdaya arkeologi

dilakukan pengelolaan dengan cara perlindungan dan pelestarian, yang meliputi perlindungan

secara fisik maupun dari aspek perlindungan hukumnya, sehingga di dalam pengelolaan

sumber daya arkeologis harus mempertimbangkan berbagai hal agar pelestarian dan

pemanfaatan sumber daya arkeologis tidak akan merusak obyek tersebut. Untuk mencapai

tujuan tersebut perlu dilakukan pengelolaan sumber daya arkeologis secara terencana dan

didasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Pengelolaan sumber daya arkeologis seharusnya dilakukan

dengan mengikutsertakan masyarakat dalam penentuan kebijakan dan pelaksanaan

pelestarian dan pengembangannya. Masyarakat yang dimaksud dalam konteks ini adalah

masayarakat sekitar atau para abdi dalem maupun masyarakat di luar wilayah tetapi merasa

memiliki. Dalam konsep pelestarian dan pengembangan pada masa global, peran serta

masyarakat dianggap sebagai penentu keberhasilan pengelolaan sumber daya arkeologis.

Dengan mengetahui konsepsi masyarakat tentang makna Sumber daya arkeologi dan usaha

pelestarian dan pemanfaatannya diharapkan dapat mendukung dan menyukseskan

keberhasilan pelaksanaan pelestarian dan pengelolaannya.

Sesuai dengan beragamnya sumber daya arkeologi yang ada di komplek Siti-Inggil

maka secara mikro setiap objek perlu ditentukan pemintakannya sebagai upaya perlindungan

Page 72: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

fisiknya. Selain itu sebagai usaha perlindungan dan pelestarianya secara makro dapat dilakukan

pelestarian kawasan secara makro dengan antara lain memberikan pengertian kepada

masyarakat tentang nilai penting setiap situs agar seluruh anggota masayarakat merasa

memiliki kawasan tersebut, sehingga akan mendukung pelestariannya. Konsep dasar pelestarian

harus ditentukan dengan mengacu pada pemahaman masyarakat tentang komplek Siti Inggil

sebagai warisan budaya Kraton Yogyakarta.

Page 73: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Sebuah epilog: Kraton Yogyakarta tapal batas pelestarian warisan budaya

“Membaca” Kraton Yogyakarta dari jejaknya yang terekam pada bangunan-bangunan

kraton maupun lansekapnya, mulai dari gapura Gladhag di utara sampai Plengkung Nirboyo di

selatan adalah pengingat sejarah. Keberadaannya membantu kita agar sepenuhnya tetap sadar

bahwa Kraton Yogyakarta telah menempuh perjalanan sejarah yang sangat panjang. Dan situasi

kekinian Kraton Yogyakarta sebaiknya memang tidak boleh terlepas dari kisah panjang yang

telah dilaluinya. Dengan demikian Kraton Yogyakarta tetap menjadi penanda dan identitas yang

khas bagi kota Yogyakarta yang membedakan dengan kota-kota lainnya di Indonesia.

Hal itu berarti semakin mempertegas pentingnya upaya-upaya pelestarian kawasan

cagar budaya Kraton Yogyakarta. Bahkan di era keterbukaan sekarang ini, informasi dan

kebenaran dalam ilmu adalah sesuatu yang tidak rigid, arkeologi jika dipandang sebagai sebuah

metode disarankan hanya melakukan interpretasi, dan bukan eksplanasi, dengan mencoba

‘memahami dan memaknai’ tinggalan budaya masa lampau. Masa lampau tidak perlu lagi

‘dipatok’ sekali dan untuk selamanya menurut metodologi atau kerangka pikir tertentu,

sehingga tidak terjadi lagi justifikasi tentang masa lalu, termasuk dalam persoalan pengelolaan

Kraton Yogyakarta sebagai warisan budaya. Sebaliknya, dibutuhkan pendekatan yang beragam

dengan nilai-nilai beragam pula (multivalent, multivocal, multidiscipline), termasuk nilai-nilai

pengetahuan nenek moyang kita maupun kearifan-kearifan yang terefleksikan dalam Kraton

Yogyakarta.

Sebagai sebuah kawasan cagar budaya, maka pengelolaan Kraton Yogyakarta harus

dilakukan dalam persperktif kawasan, dimana pengelolaan yang dilakukan merupakan model

terpadu yang mengintegrasikan seluruh komponen terkait. Keterkaitan sejarah antara setiap

bangunan yang terdapat di komplek Kraton Yogyakarta, dalam pengelolaan dan

pemanfaatannya harus tetap terjalin dan muncul sebagai sebuah cerita utuh tentang Kraton

Yogyakarta.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah, pengelolaan Kraton Yogyakarta terutama

yang berkaitan dengan pemanfaatan untuk pariwisata telah dilakukan cukup lama dan

melibatkan cukup banyak pihak. Dengan asumsi bahwa Kratoin Yogyakarta di era kekinian telah

mengalami banyak perubahan dan untuk itu diperlukan kembali studi yang sifatnya lebih

Page 74: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

evaluatif. Sehingga diharapkan dapat memberikan rekomendasi model pengelolaan Kraton

Yogyakarta dalam kerangka pemanfaatan yang berwawasan pelestarian. Untuk itu dalam

penerapannya diperlukan kemampuan manajerial yang cukup, pemahaman mengenai obyek

dan tujuan pengelolaan yang akan dilaksanakan. Lester Borley pun mempertegas pentingnya

manajeman bagi warisan dan lingkungan, pikiran sehat dan inisiatif melakukan sesuatu

merupakan hal yang utama dimasa yang akan datang. Ini penting untuk mengembangkan

pariwisata secara terus menerus (Lester Borley, 1996; 183).

Diibaratkan sebuah organisasi maka dalam pengelolaan sumberdaya budaya

dieprlukan orang-orang yang berasal dari berbagai disiplin ilmu (multidisipliner) dan dari

berbagai sektor (multisektoral). Dalam rangka menggerakkan roda organisasi diperlukan

perencanaan strategis untuk membantu manajer berpikir dan bertindak strategis. Perencanaan

strategis sendiri adalah upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan

penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi, apa yang dikerjakan

organisasi dan mengapa organisasi mengerjakan hal seperti itu. Perencanaan strategis

mensyaratkan pengumpulan informasi secara luas, eksplorasi alternatif dan menekankan

implikasi masa depan keputusan sekarang (Olsend dan Eddie, 1982 dalam John M. Bryson,

1999; 4-5).

Beberapa ahli seperti Steiner, 1979; Barry, 1986; Bryson, Freeman dan Roering, 1986;

Bryson, Van de Ven dan Roering, 1987 menganggap rencana strategis memberi beberapa

manfaat antara lain :

• Dapat diarahkan untuk memperjelas arah ke masa depan. Dalam pengertian

tujuan yang akan dicapai

• Menciptakan prioritas obyek mana terlebih dahulu yang akan dikerjakan

• Membuat keputusan sekarang dengan mengingat atau mempertimbangkan

konsekuensinya dimasa depan (dalam John M. Bryson, 1999; 12-13).

Pada proses rencana strategi terdapat model kebijakan yang dapat digunakan

diantaranya adalah analisis KE3AN atau lebih dikenal dengan istiliah SWOT (Strength,

Weakness, Opportunities, Threats). Dalam analisis ini akan dijelaskan mengenai tiga “ke” yaitu

kekuatan, kelemahan, kesempatan dan satu “an” yaitu ancaman. Ke empat faktor tersebut

menjadi parameter utama dalam rangka pelaksanaan perencaanaan pada sebuah obyek,

termasuk dalam pelaksanaannya di Kraton Yogyakarta .

Page 75: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Adapun pemanfaatan yang dimaksud adalah pemanfaatan dalam rangka

kepariwisataan yang tetap berwawasan pelestarian. Sehingga dalam pemanfaatannya nanti

diupayakan agar tidak bertentangan dengan upaya perlindungan terhadap Benda Cagar Budaya

yang bersangkutan. Dari aspek legalitas, telah sejalan dengan Pasal 19 Undang-undang Benda

Cagar Budaya Nomor 5 tahun 1992 Pasal 19 :

1) Benda cagar budaya tertentu dapat dimafaatkan untuk kepentingan

agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Sebelum masuk pada tahapan pemanfaatan sebagai obyek wisata, terlebih dahulu

dilakukan analisis KE3AN Kraton Yogyakarta. Hal ini dimaksudkan agar secara keseluruhan baik

kekuatan, kelemahan, kesempatan maupun ancaman yang ada pada obyek dapat diketahui.

Sehingga memudahkan untuk mengetahui kekurangan-kekurangan yang dimiliki dengan

menekannya, dan kelebihannya lebih dioptimalkan.

Terpulang dari itu semua, usaha pelestarian sumberdaya budaya, kembali pada

kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi dan mempreservasi sumberdaya

budaya, yang tidak lepas dari tiga komponen utama yakni; kebijakan harus merupakan

pernyataan nasional yang kuat untuk melindungi, mempreservasi situs budaya, struktur dan

jenis sumberdaya yang lain; memiliki dukungan politik dalam penerapannya dan;

diimplementasikan secara kooperatif antara departemen atau kementerian pada level nasional,

dengan level pemerintahan lain dan dengan publik (Francis P. McManamon dan Alf Hatton,

2000; 6).

Page 76: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan. 1981. Kraton, Upacara dan Politik Simbol: Kosmologi dan Sinkretisme di Jawa.

Dalam Jurnal Humaniora. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya.

Adam, L. 2003. The courtyards, gates and buildings of Kraton of Yogyakarta, dalam Stuart

Robson (ed.), The Kraton Selected Essays on Javanese Court. KITLV Press. pp. 13 – 40

Adam, L. 2003. Some historical and legendary place names in Yogyakarta, dalam Stuart Robson

(ed.), The Kraton Selected Essays on Javanese Court. KITLV Press. pp. 13 – 40

Adrisijanti, Inajati, 2002, “Kota Yogyakarta dan Pepohonannya”, dalam Jogja di Mataku,

Yogyakarta: Jurusan Arkeologi, hlm.11- 16

--------------------- (ed.), 2003, Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta, Yogyakarta:

Balai Pelestarian Purbakala Yogyakarta

______________, 2007. “Kota Yogyakarta sebagai Kawasan Pusaka Budaya Potensi dan

Permasalahannya”. Makalah dalam Diskusi Sejarah “Kota dan Perubahan Sosial Dalam

Perspektif Sejarah”, diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional

Yogyakarta, 11 -12 April 2007

Ahmad Adaby Darban, 2000, Sejarah Kauman; Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah,

Tarawang, Yogyakarta.

Arwan Tuti Artha dan Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2004, Jejak Masa Lalu, Sejuta Warisan Budaya,

Yogyakarta, Penerbit Kunci Ilmu.

Darmosugito, 1956 Sejarah Kota Yogyakarta, dalam Kota Yogyakarta 200 Tahun; 7 Oktober

1756 – 7 Oktober 1956, Panitia Peringatan 200 Tahun Kota Yogyakarta.

Eagles, Paul F. J., Stephen F. McCool, and Christopher D. Haynes. 2002. Sustainable Tourism in

Protected Areas: Guidelines for Planning and Management. WCPA, Best Practice

Protected Area Guidelines Series No. 8, Adrian Phillips (Edt), IUCN – The World

Conservation Union.

Fagan, Brian. 1984. Archaeology and the wider audience, dalam Erneste Green (ed.), Ethics

and values in archaeology. The Free Press. pp. 175-183

Page 77: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Greenmapperjogja, tanpa tahun, Jeron Beteng, Press, Culture & Education Royal Netherlands

Embassy bekerjasama dengan Jogja Heritage Society dan Karang Taruna Kecamatan

Keraton.

Jogja City Tourism Promotion Board, 2007.

Khairudin, H. 1995. Filsafat Kota Yogyakarta. Liberty, Yogyakarta.

Mc.Manamon, Francis P. and Alf Hatton (ed.), 1999, Cultural Resource Management In

Contemporary Society, Perspectives on Managing and Presenting tha Past, London and

New York, Routledge.

Mundardjito (2002). Research Method for Historocal Urban Heritage Area. Makalah

dipresentasikan pada Three Days Practical Course on Planning and Design Methods for

Urban Heritage, Usakti – T.U. Darmstadt, Jakarta 10 – 12 April 2002.

Noto Suroto, 1985, Kasultanan Yogyakarta, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,

Yogyakarta.

Nuryanti, Wiendu. 2007a. Community Development Through Tourism: Early Stages In Candirejo

Village, Borobudur, Central Java. Dalam hand out mata kuliah Arkeologi dan Pariwisata.

Yogyakarta.

______________. 2007b. Pemanfaatan Sumberdaya Arkeologi Melalui Pariwisata. Dalam hand

out mata kuliah Arkeologi dan Pariwisata. Yogyakarta.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 5

Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Pratiwi, D. 2006. Makna Simbolik Umpak di Keraton Yogyakarta. Skripsi Jurusan Arkeologi,

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Saiful Munjahid. 2007. Pengamanan dan Penertiban Benda Cagar Budaya. Makalah

disampaikan dalam Penataran Tenaga Teknis Kepurbakalaan Tingkat Dasar, Parung,

Bogor 4-18 September 2001.

Page 78: Menapak Jejak, Meretas Simbol Kraton Jogja

Sasmita, U.T. 1977. Perlindungan dan Perundang-Undangan Peninggalan Sejarah dan

Purbaka. Direktorat Sejarah dan Purbakala. Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soeroso. 2007. Pengelolaan Warisan Budaya Dunia di Indonesia. Makalah disampaikan

dalam Bimbingan Teknis Pengelolaan Situs Warisan Dunia Borobudur, 3-7 September

2007.

Soenarto, Th.Aq, 1987, Konservasi Arkeologi Mesjid Besar Kauman Yogyakarta, Suaka

Peninggalan Sejarah dan Purbakala Yogyakarta.

Subadra, I Nengah. 2007. Warisan Budaya dan Alam dan Pariwisata di Era Postmodernisme.

Dalam www.subadra.wordpress.com.

Sunjata, P., Tashadi, dan Astuti, S.R. 1995. Makna Simbolik Tumbuh-Tumbuhan dan Banguan

Kraton : Suatu Kajian Terhadap Serat Salokapatra. Proyek Pengkajian dan Pembinaan

Nilai-Nilai Budaya Pusat. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Direktorat Jenderal

Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Sunaryo Imam dkk, 2000, Laporan Pendataan Mesjid Gedhe Kauman Yogyakarta, Suaka

Peninggalan Sejarah dan Purbakala Yogyakarta.

Suratmin , 1991, Upacara Tradisional Sekaten Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan , Jakarta.

Tashadi, 1979, Risalah Sejarah dan Budaya; Seri Peninggalan Sejarah, Balai Penelitian Sejarah

dan Budaya, Yogyakarta.

Trijoto, 2001, Multi Simbolisme Kraton Yogyakarta, hidayat, Yogyakarta.

Widayana, Lendy. 2004. Knowledge Management dan Objek Wisata. Dalam Harian Radar

Malang, tanggal 27 April yang dimuat pula dalam I Power Blogger.

www.blog.sendaljepit.wordpress.html