Top Banner
KATA PENGANTAR Situs Ratu Boko adalah satu-satunya situs pemukiman masa klasik terbesar yang ditemukan di Jawa, khususnya Jawa bagian tengah. Keistimewaan ini menjadikan Ratu Boko sebagai situs yang spesifik, masih banyak menyimpan misteri serta berbagai fenomena menarik untuk ditelusuri dan diungkap. Bermacam bentuk peninggalan purbakala terdapat di Situs Ratu Boko, dan banyak diantaranya memiliki bentuk berbeda dari yang terdapat di situs lain. Wisatawan yang berkunjung, dengan demikian akan mengetahui bahwa peninggalan dari periode klasik di Indonesia tidak hanya berbentuk candi saja. Namun, keragaman bentuk peninggalan di Situs Ratu Boko tidak atau belum semuanya dapat dilihat dalam kondisi utuh. Pada kurun waktu sebelumnya penelitian mulai dilakukan secara intensif terhadap Situs Ratu Boko, lokasi situs ini pernah menjadi pemukiman yang cukup padat. Patut untuk dipahami bahwa aktifitas masyarakat yang pernah terjadi pun berpengaruh terhadap kondisi benda- benda purbakala yang berada di sekitarnya. Dampak yang dirasakan adalah kesulitan dalam melakukan rekontruksi karena banyaknya temuan yang teraduk dan tidak utuh. Oleh karena itu, dalam berwisata ke Situs Ratu Boko, para pengunjung diharapkan untuk tidak hanya menekankan perhatiannya pada aspek “bentuk”, 1
50

Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Dec 28, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

KATA PENGANTAR

Situs Ratu Boko adalah satu-satunya situs pemukiman masa klasik terbesar yang ditemukan di Jawa, khususnya Jawa bagian tengah. Keistimewaan ini menjadikan Ratu Boko sebagai situs yang spesifik, masih banyak menyimpan misteri serta berbagai fenomena menarik untuk ditelusuri dan diungkap. Bermacam bentuk peninggalan purbakala terdapat di Situs Ratu Boko, dan banyak diantaranya memiliki bentuk berbeda dari yang terdapat di situs lain. Wisatawan yang berkunjung, dengan demikian akan mengetahui bahwa peninggalan dari periode klasik di Indonesia tidak hanya berbentuk candi saja.

Namun, keragaman bentuk peninggalan di Situs Ratu Boko tidak atau belum semuanya dapat dilihat dalam kondisi utuh. Pada kurun waktu sebelumnya penelitian mulai dilakukan secara intensif terhadap Situs Ratu Boko, lokasi situs ini pernah menjadi pemukiman yang cukup padat. Patut untuk dipahami bahwa aktifitas masyarakat yang pernah terjadi pun berpengaruh terhadap kondisi benda-benda purbakala yang berada di sekitarnya. Dampak yang dirasakan adalah kesulitan dalam melakukan rekontruksi karena banyaknya temuan yang teraduk dan tidak utuh.

Oleh karena itu, dalam berwisata ke Situs Ratu Boko, para pengunjung diharapkan untuk tidak hanya menekankan perhatiannya pada aspek “bentuk”, seperti jika mengunjungi Candi Prambanan atau Borobudur yang kondisinya tampak lebih “utuh”. Berbagai macam denah, tata letak, atau struktur bangunan yang hingga saat ini wujudnya masih unfinished dan uncompleted, dapat kita saksikan di Situs Ratu Boko, yang disebabkan oleh minimnya data karena hilang atau karena belum ditemukan.

Justru dari sifat fragmentaris pada banyak benda purbakala di Situs Ratu Boko, para pengunjung diharapkan akan terpancing ketertarikan dan imajinasinya untuk mendapatkan gambaran tentang berbagai fenomena yang terjadi di tempat ini pada sekitar 1000 tahun yang lalu. Oleh karena itu, wisata ke Ratu Boko menjanjikan pengalaman dalam menelusuri misteri dan keunikannya, serta akan menghasilkan kesadaran bahwa

1

Page 2: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

temuan arkeologis bukanlah sekedar benda mati. Kata benda-benda purbakala yang ditemukan di Situs Ratu Boko adalah data berharga untuk mempelajari aspek-aspek kehidupan masyarakat pada masa lampau. Teknologi, strategis adaptasi, religi adalah beberapa aspek yang mengandung pengetahuan dan hikmah untuk diaplikasikan dalam berbagai kebutuhan hidup di masa sekarang dan yang akan datang.

Buku Menapak Jejak Kepurbakalaan Ratu Boko ditulis tidak hanya sebagai panduan untuk wisatawan yang berkunjung ke Situs Ratu Boko, melainkan juga bagi masyarakat yang belum pernah berkunjung. Selain berdasarkan pengamatan dan pemahaman penulis, buku ini disusun dengan melibatkan pula hasil penelitian yang telah dilakukan.

Sumber-sumber tersebut dirangkum sehingga menghasilkan isi buku yang singkat namun cukup padat dan mudah dipahami. Buku ini juga diharapkan tidak hanya memberi gambaran singkat tentang aspek-aspek yang terdapat di Situs Ratu Boko, melainkan juga dapat menstimulasikan minat masyarakat untuk berkunjung dan berapresiasi dengan objek-objek yang dilihat. Dengan demikian, hal tersebut dapat menumbuhkan penghargaan yang tinggi terhadap jejak budaya di Situs Ratu Boko yang telah berusia lebih dari 1000 tahun ini.

Yogyakarta, April 2003Penulis

2

Page 3: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………..……………. 01

Legenda Rara Jonggrang dan Bandung Bandawasa ………………………………………..……………….. 04

Pesona Alam Situs Ratu Boko …………………………………………………… 06

Temuan Prasasti ………………………………………………..….………………… 07

Kepurbakalaan di Situs Ratu Boko ……………………………………………. 08

Jejak Adaptasi Masyarakat Masa Lampau ………………………………… 19

Situs Ratu Boko Dalam Kerangka Sejarah dan Sifat Keagamaannya ……………………………..…………………………… 29

Daftar Pustaka …………………………………………..…………………………….. 33

3

Page 4: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

LEGENDA RARA JONGGRANG DAN BANDUNG BANDAWASA

Pada masa lampau hiduplah seorang gadis cantik yang bernama Rara Jonggrang. Dalam legenda yang hingga sekarang masih hidup di tengah masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah ini, dikisahkan bahwa Rara Jonggrang tengah mengalami kebimbangan karena dipinang oleh seorang pemuda sakti bernama Bandung Bandawasa. Pangkal kebimbangannya dikarenakan Sang Pemuda inilah yang telah mengalahkan dan membunuh ayahnya, Prabu Boko, serta menguasai kerajaannya. Rara Jonggrang pun akhirnya menentukan sikap, ia berupaya keras mencari alasan dan muslihat guna menolak keinginan musuh sakti itu. Sebagai bagian dari upayanya, pinangan Bandung Bandawasa diterima, namun dengan syarat yaitu Rara Jonggrang meminta dibuatkan seribu buah candi yang harus terpenuhi hanya dalam waktu satu malam.

Bandung Bandawasa yang merasa yakin akan kesaktiannya pun menyanggupinya. Saat hari mulai gelap, Bandung bersamadi dan memanggil para jin untuk membantu pekerjaannya. Demikian banyak jin yang dikerahkannya, sehingga meskipun hari baru menjelang tengah malam, pekerjaan hampir selesai.

Rara Jonggrang ketakutan melihat kenyataan itu. Sebagai orang yang berpengaruh di Kraton Boko, ia segera membangunkan gadis-gadis desa untuk disuruhnya menumbuk lesung dan membakar jerami. Tujuannya adalah mereka-reka kesan bahwa hari telah menjelang pagi. Oleh karena mendengar suara lesung, kokok ayam jantan yang terbangun karena suara lesung dan cahaya merah yang berasal dari api pembakar jerami, para jin yang membantu Bandung menyangka bahwa pagi hari benar-benar telah tiba. Para jin pun cepat-cepat pergi, tanpa sempat menyelesaikan pekerjaannya.

Betapa marahnya Bandung melihat itu semua, terlebih setelah dihitung ternyata hanya kurang satu buah candi yang belum dibuat dengan sempurna. Setelah mengetahui bahwa kejadian itu adalah tipu muslihat Rara Jonggrang, maka Bandung Bandawasa mengucapkan kutukan,

4

Page 5: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

“Aku telah membangun 999 candi dan hanya kurang sebuah, maka engkaulah sebagai pelengkapnya.”

Oleh karena kutukan tersebut, Rara Jonggrang tiba-tiba berubah menjadi sebuah arca batu yang menggambarkan seorang dewi yang sangat cantik. Hingga sekarang, arca dewi yang dimaksud dalam legenda Rara Jonggrang dianggap sama dengan sebuah arca yang terdapat pada salah satu bilik Candi Siwa di kompleks Candi Prambanan.

Meskipun demikian, berdasarkan kajian ikonografis, arca tersebut sebenarnya menggambarkan Dewi Durga, yaitu istri Dewi Siwa. Demikianlah legenda tentang Rara Jonggrang yang sangat erat kaitannya dengan keberadaan kerajaan ayahnya, yaitu Raja Boko, yang sekarang dikenal sebagai Situs Ratu Boko.

Legenda Rara Jonggrang-Bandung Bandawasa juga terdapat dalam versi yang agak berbeda, khususnya pada bagian akhir cerita. Seperti halnya legenda yang telah disampaikan di atas yang menyertakan bangunan monumental dari masa lampau, yaitu “kraton” Ratu Boko dan Candi Prambanan sebagai bagian dari legenda, versi ini pun dikaitkan dengan keberadaan candi, yaitu Candi Morangan. Candi Morangan terletak di Dsusun Morangan, Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, lebih kurang berjarak 15 km, di sebelah utara Situs Ratu Boko.

Berdasarkan keterangan lisan dari penduduk yang tinggal di sekitarnya, Candi Moranganlah yang dimaksud dalam legenda Rara Jonggrang-Bandung Bandawasa sebagai satu-satunya candi yang belum selesai, masih dalam pengerjaan, sehingga belum sempat “terbawa” ke tempat seharusnya candi itu didirikan. Candi Morangan sendiri, berdasarkan hasil penggalian dan penelitian yang pernah dilakukan, hingga saat ini memang memiliki ciri-ciri yang umum terdapat pada bangunan candi, namun belum dapat diketahui bentuk utuhnya karena masih banyak komponen yang belum ditemukan maupun yang masih terpendam dalam tanah.

5

Page 6: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Legenda Rara Jonggrang dan Bandung Bandawasa kiranya tidak perlu diperdebatkan objektifitasnya, khususnya dalam hubungannya dengan Situs Ratu Boko. Hal yang lebih esensial dalam hal ini adalah bukti bahwa masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah telah berapresiasi dan menyadari keberadaan Situs Ratu Boko sejak lama. Himpunan benda-benda purbakala tersebut ternyata menjadi inspirasi mereka dalam melahirkan suatu produk budaya yang masih eksis sekarang dan kita kenal sebagai legenda Rara Jonggrang dan Bandung Bandawasa.

PESONA ALAM SITUS RATU BOKO

Sebelum memasuki zona inti komplek Situs Ratu Boko, terlebih dahulu kita akan disambut dengan panorama alam yang indah memikat mata. Lokasi Situs Ratu Boko berada diatas perbukitan dengan ketinggian lebih kurang 196 dpl, sehingga dataran prambanan dan sekitarnya tampak terhampar luas dengan panorama yang terdiri atas persawahan yang hijau, sungai, jalan raya, jalan kereta api, candi-candi, dan Gunung Merapi nun jauh di sebelah utara. Oleh karena letaknya di atas bukit, kondisi situs Ratu Boko setelah dihuni oleh manusia menjadi bertingkat-tingkat atau berteras-teras. Hal itu disebabkan oleh campur tangan manusia yang telah menerapkan system cut and fill , yaitu memotong batuan induk (bedrock) dan meratakannya, dalam rangka memperoleh lahan yang datar sebelum mendirikan bangunan diatasnya.

Pemandangan Alam Yang Mempesona di Ratu Boko

6

Page 7: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

TEMUAN PRASASTI

1. Abhayagiriwihara tahun 714 Saka (792 M)Tentang pendirian bangunan suci untuk Avalokitesvara

2. Ratu Boko A tahun 778 Saka (856 M)Tentang pendirian Lingga Krttivasa oleh Sri Kumbhaja

3. Ratu Boko B tahun 778 (856 M)Tentang pendirian Lingga Tryamvaka oleh Sri Kumbhaja

4. Ratu Boko C, tanpa tahunTentang pendirian Lingga Hara oleh Kalasodbhava

5. Pereng tahun 778 Saka (856M)Tentang pendirian Candi Bhadraloka oleh Rakai Walaing Pu Kumbhayoni

Prasasti Ratu Boko A

7

Page 8: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

KEPURBAKALAAN DI SITUS RATU BOKO

Secara administratif, Situs Ratu Boko terletak di Dusun Dawung Desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs Ratu Boko termasuk dalam kawasan yang cukup padat kandungan temuan bangunan dan benda-benda purbakalanya. Beberapa situs di sekitarnya bahkan mengandung temuan candi, antara lain Candi Dawangsari di sebelah timur laut, Candi Barong di sebelah timur, dan Candi Ijo di sebelah tenggara. Dalam kondisi cuaca yang cerah, beberapa candi tersebut dapat dilihat dari Situs Ratu Boko, yaitu Candi Barong dan Candi Ijo. Secara umum, kompleks bangunan purbakala yang pertama kali ditemukan oleh Van Boekholtz pada tahun 1790 ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Kelompok BaratBangunan purbakala yang termasuk dalam kelompok barat terdiri atas dua kompleks gapura utama, Candi Pembakaran, Candi Batu Putih, kolam penampungan air, konstruksi umpak, dan dua buah batur paseban.

2. Kelompok TenggaraBangunan purbakala yang termasuk dalam kelompok tenggara terdiri atas bangunan pendapa, beberapa buah batur batu, candi kecil atau miniature candi, komplek kolam, dan dua buah batur keputren.

3. Kelompok TimurBangunan purbakala yang termasuk dalam kelompok timur terdiri atas dua buah gua dan sebuah kolam.

Pintu gerbang untuk memasuki Situs Ratu Boko terdiri atas dua komplek gapura. Gapura yang berada paling depan terdiri atas tiga buah gapura berbentuk paduraksa, sementara itu di belakangnya terdapat lima gapura yang juga berbentuk paduraksa. Kemuncak gapura tersebut berupa

8

Page 9: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

hiasan yang berbentuk ratna. Gapura-gapura tersebut terbuat dari batu andesit, namun lantai, tangga, dan pagarnya terbuat dari batu putih (tufa).

Gapura Kraton Ratu Boko

Sebuah bangunan dapat ditemukan di sebelah barat laut gapura yang berada paling depan, yaitu Candi Batu Putih. Bangunan tersebut disebut Candi Batu Putih karena seluruh komponennya terbuat dari batu putih.

Namun, Candi ini tidak dapat diketahui lagi bentuk utuhnya. Bagian yang tertinggal hanya batur (soubasement) sampai dengan kaki candi. Candi tersebut tidak memiliki tangga. Demikian pula dengan takikan bekas tangga pada keempat sisinya tidak ditemukan, maka diperkirakan bahwa pada masa lampau, digunakan tangga yang terbuat dari kayu. Bahan tangga tersebut tentu tidak seawet komponen candi lainnya yang terbuat dari batu, sehingga tidak dapat ditemukan sisa-sisanya.

Konstruksi semacam ini dapat pula ditemukan pada Candi Gebang yang terletak di Dusun Gebang, Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman. Candi Gebang mempunyai sebuah bilik di atas batur yang cukup tinggi. Bilik yang terdapat di atas batur candi yang cukup tinggi, pada masa lampau tentu disertai pula dengan tangga untuk memasukinya. Namun demikian, tangga dan sisa - sisanya pada keempat sisi bangunannya tidak ditemukan hingga sekarang, sehingga muncul dugaan bahwa tangga pada Candi Gebang terbuat dari kayu.

9

Page 10: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Bangunan yang terdapat di sebelah timur Candi Batu Putih, setelah terlebih dahulu dibatasi oleh pagar, disebut Candi Pembakaran. Sebutan ini didasarkan pada penemuan abu yang terdapat di sumuran candi, sehingga orang pun beranggapan bahwa bangunan ini pada masa lampau menjadi tempat pembakaran atau penyimpanan abu jenazah raja. Setelah diteliti lebih seksama, abu Candi Pembakaran ternyata adalah sisa pembakaran kayu dan tidak terdapat indikasi sebagai sisa pembakaran tulang.

Candi Pembakaran

Sayang sekali bahwa laporan terdahulu yang berasal dari masa pemerintahan Jepang, tidak mengandung penjelasan apakah abu tersebut sezaman dengan hunian di kompleks Situs Ratu Boko ataukah sisa-sisa aktifitas penduduk di masa yang lebih muda. Hal tersebut juga dikarenakan pada waktu itu (tahun 1943) belum ditemukan metode C14 (radiocarbon dating) untuk mengetahui umur suatu jasad atau sisa-sisa organik.

Candi Pembakaran di Situs Ratu Boko memiliki konstruksi yang unik dan menarik. Profil candinya terdiri atas kaki candi tingkat I, selasar miring, kaki candi tingkat II yang miring atau menjorok ke dalam, dan pagar keliling. Apabila ditarik masing-masing sebuah garis lurus ke arah atas yang

10

Page 11: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

sesuai dengan kemiringan bangunan di keempat sudutnya, maka garis-garis itu akan bertemu pada satu titik. Bentuk bangun geometris imaginer ini menyebabkan bentuk Candi Pembakaran dianggap serupa dengan piramid terpancung. Candi Pembakaran ditemukan tanpa tubuh dan atap candi, sementara di dalam bangunannya terdapat lantai, dan di tengah denahnya terdapat sumuran yang disebut juga dengan istilah perigi. Kaki candi, selasar dan gapuranya terbuat dari batu andesit, sedangkan pagar dan lantainya terbuat dari batu putih.

Sebuah kolam yang cukup besar dapat ditemukan di belakang Candi Pembakaran. Kolam ini dibuat dengan cara memahat batuan induk (bedrock), dengan bukti yang dapat ditemukan pada sudut barat daya kolam, berupa takikan pada batu yang masih terlihat sangat jelas. Selain itu, di sebelahnya terdapat sebuah kolam kecil yang diyakini mengandung tuah. Pada saat dilaksanakan upacara Tawur Agung, satu hari sebelum Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu, kolam ini menjadi salah satu pilihan yang diambil airnya untuk digunakan sebagai air suci. Air suci diambil dari kolam dengan menggunakan wadah yang berbentuk kendi, selanjutnya diberi doa dan mantera oleh para pendeta, dan dibawa ke halaman Candi Prambanan yang menjadi tempat pelaksanaan upacara Tawur Agung.

Kolam Suci

Dalam kelompok bangunan barat di Situs Ratu Boko ini pula ditemukan struktur yang diatasnya terdapat umpak-umpak batu andesit. Umpak yang berjumlah 30 buah tersebut membentuk pola persegi panjang, diperkirakan berfungsi sebagai landasan tiang kayu penyangga

11

Page 12: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

bangunan. Selain itu, di sebelah selatan struktur yang memiliki deretan umpak, terdapat dua batur batu yang disebut Paseban. Batur-batur itu masing-masing berukuran 23,65 m x 13,45 m dan 15 m x 12 m, dan dibuat dari batu andesit.

Struktur di Selatan Candi Pembakaran dengan Deretan Umpak

Pada kelompok tenggara, terdapat bangunan yang disebut pendapa, terdiri atas batur yang terbuat dari batu andesit setinggi lebih kurang 1,5 m dan sekeliling tembok yang memiliki hiasan berbentuk ratna di atasnya. Sejumlah umpak juga ditemukan di atas batur Pendapa, namun telah aus. Umpak tersebut diperkirakan berfungsi sebagai landasan tiang penyangga yang terbuat dari kayu. Tangga untuk menaiki batur pendapa dibuat dengan kontruksi tempel, yaitu tidak menyatu dengan baturnya dan dibuat setelah batur selesai dibuat. Pada saat dilakukan pembongkaran dalam rangka pemugaran, telah ditemukan pola-pola tertentu (feature) pada tanah di bawah lantai sebagai indikasi adanya perluasan pada bangunan.

12

Page 13: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Pendopo

Pada mulanya, Pendapa dan pagarnya terbuat dari batu andesit, namun dengan ukuran yang lebih kecil daripada bangunan yang masih tampak sekarang. Oleh karena alasan tertentu, pendapa itu diperlebar, demikian juga dengan lantai yang terdapat di antara batur dan pagar.

Pada lantai bawah masih terlihat garis lurus yang menggambarkan denah lantai lama. Itulah yang menyebabkan pada saat ini di pagar pendapa tampak separuh bagian atasnya terbuat dari batu putih, sedangkan separuh bagian bawahnya terbuat dari batu andesit. Hal tersebut dikarenakan batu-batu andesit yang semula terdapat pada pagar, digunakan untuk memperlebar batur dan lantai bawah, sedangkan sebagai batu penggantinya digunakan batu putih.

Fenomena perubahan semacam itu tidak hanya dapat dilihat pada bangunan pendapa saja, melainkan juga pada tangga teras IV, yaitu tangga yang hingga sekarang belum selesai diekskavasi, letaknya di sebelah barat pendapa. Struktur yang hingga sekarang berhasil ditampakkan ternyata belum utuh karena masih ada bagian yang terpendam di dalam tanah. Uniknya, sebagaian besar dari struktur yang pada mulanya terpendam, ternyata menunjukkan gejala penimbunan yang terjadi pada masa lampau, dengan materi timbunan berupa tanah dan tatal batu.

13

Page 14: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Struktur Tangga yang Sengaja DitimbunGejala ini dapat dilihat pada dinding bekas penggalian, khususnya di

bagian dasar, yang bermaterikan campuran tanah dan tatal batu. Fenomena tersebut tentu akibat campu tangan manusia, terbukti dari pemanfaatan tatal batu sebagai bahan timbunannya, yang merupakan imbah pemangkasan atau pembentukan batu bahan bangunan yang tidak mungkin dapat terbentuk dengan sendirinya secara alamiah. Demikian pula dengan bagian tangga yang ditimbun, setelah sebagian besar dapat ditampakkan melalui penggalian, ternyata dalam kondisi utuh atau dengan kata lain bagian tangga tersebut ditimbun pada suatu kurun waktu setelah tangga itu jadi atau bahkan telah digunakan. Ada pun penimbunan yang dilakukan kemungkinan dilatarbelakangi kebutuhan akan lahan yang lebih luas dan rata untuk mendukung kepentingan tertentu.

Bangunan yang terletak di sebelah timur pendapa juga berbentuk batur panjang yang terbuat dari batu andesit, berukuran 38 m x 7 m, ketinggiannya 1,15 m dan memiliki tiga tangga pada sisi baratnya. Adanya takikan di atas lantai bangunan yang hingga sekarang masih tampak, menjadi indikasi bahwa pada masa lampau bangunan ini terdiri atas beberapa ruang yang bersekat-sekat. Beberapa bangunan yang berbentuk batur juga terdapat di sebelah selatan, dengan ukuran yang lebih kecil. Salah satu batur yang dimaksud berfungsi sebagai tempat kedudukan candi kecil (miniatur candi), yang berjumlah tiga buah, masing-masing memiliki tangga masuk pada sisi barat, dan pintu masuk bilik candi.

14

Page 15: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Tiga Buah Miniatur Candi

Miniatur yang terbesar terletak di antara dua miniatur candi lainnya, ukurannya 1,30 m x 1,30 m x 1,48 m, tanpa bagian atap. Jika diperhatikan bentuknya, miniatur candi tersebut bersifat Hinduistik. Pada bagian bawah batur tempat miniatur candi didirikan, terdapat tiga saluran air yang menuju ke arah dalam sumuran yang berada di depannya. Saluran tersebut berfungsi untuk mengalirkan air yang disiramkan pad candi atau objek yang dipuja pada saat upacara keagamaan.

Pada saat ditemukan, bilik candi dalam keadaan kosong, namun hingga saat ini masih ada masyarakat yang meletakkan sesajian berupa bunga-bungaan di dalam candi tersebut.

Sumuran yang terdapat di depan miniatur candi berukuran 1,90 m x 1,26 m dan dalamnya 1,25 m. Pada saat ditemukan, di dalam sumuran terdapat pripih yang berbentuk lima buah periuk tanah liat, dan sebuah wadah pripih yang terbuat dari batu batu putih. Pola peletakan periuk tanah liat adalah sebagai berikut: sebuah periuk diletakkan di tengah, empat lainnya terletak pada empat arah mata angin utama, sementara wadah pripih yang terbuat dari batu putih terdapat pada pangkal saluran yang di sudut barat daya sumuran. Pada saat dibuka, di dalam periuk tanah liat ditemukan lempengan-lempengan emas, perak dan perunggu, sedangkan di dalam wadah batu putih terdapat sebuah periuk perunggu

15

Page 16: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

yang ditemukan bersama dengan sisa-sisa kain pembungkusnya. Benda-benda yang ditemukan di dalam periuk perunggu terdiri atas sebuah lempengan emas yang bertuliskan mantera agama Hindu, lempengan perak, manik-manik kaca, dan biji-bijian. Batur-batur kecil lainnya terdapat di sebelah utara, barat, dan selatan miniatur candi, tetapi tidak terdapat temuan apa pun di atasnya.

Namun demikian, berdasarkan rekontruksi terhadap temuan-temuan lepas yang berupa arca Durga dan Ganesa, dapat diketahui bahwa kedua arca itu pada masa lampau berasal dari batur-batur yang terdapat di sekeliling miniature candi. Arca Durga berada di sebelah utara, sedangkan arca Ganesa berada di sebelah timur. Berdasarkan kata tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa miniatur candi itu menjadi pusat pemujaan. Interprestasi ini didasari oleh suatu konsep dalam pantheon Hinduisme, yaitu pada bilik candi diletakkanlah arca Siwa atau lingga-yoni sebagai objek pemujaan utama.

Sementara itu, pada relung-relungnya diletakkan arca Durga (relung utara), Ganesa (relung barat atau timur, sesuai dengan arah hadap candi), dan Agastya (relung selatan). Sedangkan arca Mahakala dan Nandisvara diletakkan pada kanan-kiri pintu masuk sebagai penjaga. Biasanya, dibawah objek yang dipuja, terdapat sumuran yang dibuat sebagai tempat peletakkan relik, yaitu zat yang dapat memberi “daya hidup” bagi candi yang melingkupinya. Gambaran itulah yang tampak pada kompleks ini, hanya saja bangunan candinya dimanifestasikan dalam bentuk miniatur.

Miniatur candi terletak berhadapan dengan sebuah batur yang cukup luas, yang memiliki umpak-umpak batu dalam jumlah cukup banyak di sekelilingnya. Berdasarkan konteks dengan miniatur candi sebagai objek pemujaan, batur di depannya diperkirakan berbentuk bangunan yang memiliki tiang dan atap dari bahan kayu sebagai tempat para jemaah melakukan pemujaan. Pemujaan yang dimaksud tentu berobjek pada ketiga buah miniatur candi, yang sekaligus menjadi orientasi arah hadapnya.

16

Page 17: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Bentuk penggalan purbakala yang sifatnya unik di Situs Ratu Boko tidak hanya berbentuk gapura dan batur, melainkan juga kolam. Oleh karena kompleksitas yang dimilikinya, di Situs Ratu Boko terdapat suatu bagian yang disebut sebagai komplek kolam. Komplek kolam yang dimaksud terletak disebelah timur bagian pendapa, pada teras yang lebih rendah.

Berdasarkan bentuk denah, komplek kolam terdiri dari atas dua kelompok. Kelompok yang berada disebelah utara terdiri atas kolam-kolam yang denahnya berbentuk persegi, sedangkan kelompok kolam yang berada di sebelah selatan terdiri atas kolam-kolam yang denahnya berbentuk bundar. Semua kolam dibuat dengan cara memahat Bedrock. Yang dapat diinterprestasikan sebagai jejak dari upaya masyarakat masa lampau dalam pengendalian atau tata guna air.

Berdasarkan sisa struktur yang masih terlihat, komplek kolam pada masa lampau dibatasi oleh pagar pada keempat sisinya, serta lorong atau koridor dan gapura sebagai penghubung. Namun pada saat ini pagar yang masih tersisa hanya terdapat pada tiga sisi komplek kolam bundar, sedangkan pada komplek kolam persegi, pagar sisi barat dan utaranya hanya tinggal reruntuhan. Jika diamati dari banyaknya batu berbentuk kumuda (kuncup teratai putih) di sekitar komplek kolam ini, muncul dugaan bahwa batu-batu tersebut adalah hiasan yang terdapat pada atap pagar kolam, seperti halnya kemuncak berbentuk ratna (seperti buah keben) pada atap pagar pendapa.

Kelompok bangunan yang terakhir adalah kelompok timur, yang terdiri atas dua buah gua dan sebuah kolam. Kedua buah gua tersebut dibuat dengan cara memahat batuan induk. Gua yang terletak di depan disebut Gua Wadon, karena terdapat semacam relief yang menggambarakan yoni di atas pintunya. Yoni adalah simbol wanita dalam agama Hindu. Gua-gua tersebut tingginya hanya sekitar 1,5 m, orang harus merunduk jika ingin memasukinya, sehingga diduga bahwa pada masa lampau gua-gua ini pernah digunakan sebagai tempat bersamadi. Kedua gua di kompleks ini memiliki relung-relung pada dinding sebelah dalam. Sebagai sarana untuk mencapai Gua Lanang yang letaknya diteras yang

17

Page 18: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

lebih tinggi di belakang Gua Wadon, terdapat jalan berundak kuna. Jalan berundak tersebut dibuat dengan cara memahat singkapan batuan induk.

Goa yang Berfungsi Sebagai Tempat Samadi

Sebuah kolam berada tepat di depan Gua Lanang, ukurannya 1,90 m x 1,26 m dan kedalamnnya 1,25 m. Pada dinding dalam dari kolam tersebut, terdapat relung-relung yang bentuknya seperti kuncup bunga teratai, berjumlah enam buah, dan pada dasar kolam terdapat lingga dan yoni yang dibentuk langsung pada bedrock.

Meskipun pada saat ini relung-relung itu kosong, dapat diperkirakan bahwa pada masa lampau berisi arca-arca dewa. Dengan demikian, keberadaan kolam di sini sangat erat kaitannya denga gua sebagai tempat bersamadi. Dalam agama Hindu air menjadi sumber kehidupan, simbol kesucian serta kesuburan, memang tidak dapat dipisahkan dengan ritual keagamaan. Hingga pada masa sekarang pun, pada setiap malam 1 Sura, banyak anggota masyarakat yang melakukan aktifitas spiritual samadi (nenepi) di Gua Lanang dan Gua Wadon. Aktivitas ini tidak lepas dari keyakinan pelakunya terhadap potensi kekuatan mistik dan magis yang terkandung dalam Gua Lanang dan Gua Wadon.

Selain ketiga kelompok bangunan yang telah diuraikan di atas, terdapat temuan lain di atas bukit sebelah barat, yang disebut Bukit Boko Barat. Temuan yang terdapat di sana berupa jalan kuno, sejumlah kolam penampungan air, pecahan-pecahan keramik, gerabah, dan lubang-lubang

18

Page 19: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

di atas batuan induk yang diduga sebagai bekas untuk memancang tiang kayu penyagga bangunan. Jalan kuna yang terdapat di Bukit Boko Barat memiliki ukuran lebar lebih kurang 2,5 m hingga 3 m, panjangnya lebih kurang 300 m dan dibuatnya pun dengan cara memahat batuan induk.

JEJAK ADAPTASI MASYARAKAT MASA LAMPAU

Situs Ratu Boko mengandung aspek-spek yang sangat komplek, sehingga tidak akan cepat habis untuk ditelusuri dan dipelajari. Aspek arsitektur, sejarah dan keagamaan adalah contoh aspek-aspek yang hingga sekarang pun belum secara tuntas dapat ditelusuri. Namun dengan segala kompleksitas dari aspek-aspek yang terkandung di dalamnya, justru semakin menguatkan dan membentuk citra tersendiri bagi Situs Ratu Boko. Pengetahuan dan wawasan mengenai peradaban masyarakat masa lampau yang terkandung di balik keberadaan jejak-jejak kepurbakalaan Situs Ratu Boko itulah yang menjadi salah satu misteri sekaligus sebagai daya tariknya.

Selain aspek tersebut diatas Situs Ratu Boko pun sangat menarik dan menantang untuk dipelajari. Hal ini tidak lepas dari suatu pemahaman bahwa dengan keberdaan produk-produk budaya bendawi purba di Situs Ratu Boko, dipastikan bahwa telah terjadi interaksi antara manusia atau masyarakat pendukung budaya tersebut dengan lingkungan Situs Ratu Boko pada masa lampau. Sebagai mahkluk yang berakal budi, manusia memiliki kemampuan menggunakan, merubah dan mengolah lingkungannya, termasuk beradaptasi di dalamnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan kenyamanan hidup.

19

Page 20: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Berdasarkan kajian yang disertai dengan berbagai macam pendekatan terhadap beberapa fenomena di situs Ratu Boko, gambaran tentang interaksi dan adaptasi masyarakat pendukungnya dapat diperoleh. Gambaran mengenai hal tersebut, khususnya dapat dihimpun melalui penulusuran terhadap dua faktor sebagai berikut : karakteristik lingkungan fisik Situs Ratu Boko dan teknologi masyarakat pendukungnya dalam menggunakan, merubah dan mengolah unsur-unsur lingkungannya.

Lingkungan tempat Situs Ratu Boko berada, seperti yang masih dapat diamati dan dirasakan pada masa sekarang, terkesan kurang ideal untuk ditempati. Sebagai bagian dari Pegunungan Selatan yang berupa perbukitan tandus, tidak semua faktor pendukung kehidupan sehari-hari bagi masyarakat dapat dengan mudah diperoleh. Tanaman pangan, misalnya jarang yang dapat tumbuh dengan baik, sementara justru tanaman keras semacam pohon jati dan sonokeling yang banyak dijumpai. Lahannya pun tidak rata, tingkat kelerengannya bervariasi dari yang landai sampai dengan terjal, yang dapat mempersulit upaya masyarakat pada masa lampau dalam menempatkan, menata dan mendirikan bangunan yang sesuai dengan kehendak dan kebutuhannya.

Salah satu unsur lingkungan Situs Ratu Boko yang khas dan dapat diamati dengan mudah adalah singkapan batuan induk (bedrock) yang tampak di hampir semua penjuru situs. Berdasarkan karakteristik itu saja, berbagai pertanyaan akan muncul tentang cara masyarakat penghuni dan pengguna Situs Ratu Boko pada masa lampau menyiasati lingkungannya yang relatif keras sehingga dapat mendukung segala aktifitas pemenuhan kebutuhan dan kenyamanan hidup mereka.

Namun demikian, keberadaan budaya bendawi purba yang terdiri dari bermacam bentuk, antara bangunan dan temuan-temuan lepas, serta indikasi keberadaan permukiman di Situs Ratu Boko dalam kurun waktu yang cukup lama, menjadi bukti bahwa karakteristik lingkungan yang keras telah dapat disiasati. Hal ini setidak-tidaknya menggambarkan keberhasilan strategi adaptasi, meskipun dalam tingkat kualitas yang belum dapat diketahui secara akurat. Oleh karena itulah, dalam bagian ini akan

20

Page 21: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

disampaikan secara singkat gambaran adaptasi masyarakat pendukung Situs Ratu Boko kuna yang ternyata sangat menarik dan dalam beberapa aspek dapat dinilai sebagai suatu produk budaya yang mengagumkan.

1. Masalah Air di Situs Ratu Boko

Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Manusia menggunakan air dalam hampir semua aktifitas sehari-hari, antara lain untuk minum dan membersihkan diri. Bagi masyarakat yang mendiami lingkungan yang mengandung potensi penyediaan air yang mencukupi dan mudah diperoleh, salah satu kebutuhan pokok ini bukanlah menjadi permasalahan pelik. Namun demikian , kondisi yang terjadi di lingkungan Situs Ratu Boko adalah sebaliknya. Tidak seperti yang terdapat di dataran rendah di sekitarnya yang mengandung potensi air dalam tanah yang mencukupi dan mudah diperoleh, masalah air di Situs Ratu Boko tampaknya telah menjadi pokok perhatian pada masa lampau.

Jika para pengunjung melihat bahwa kolam-kolam kuna di Situs Ratu Boko berisi air, janganlah dibayangkan bahwa air tersebut berasal dari sumur seperti halnya yang terdapat di lingkungan permukiman sekarang ini. Hingga masa sekarang, di Situs Ratu Boko belum ditemukan potensi mata air di dalam tanah yang dapat diperoleh dengan cara atau seperti halnya air sumur biasa.

Air yang memenuhi kolam-kolam tersebut berasal dari fenomena alam yang secara berkala terjadi di Situs Ratu Boko, yaitu hujan. Hujanlah yang menjadi pemasok sebagian besar kebutuhan air bagi masyarakat di Situs Ratu Boko. Keberadaan kolam-kolam itulah yang menjadi bukti strategi adaptasinya. Pada beberapa penjuru, batuan induknya digali dan dipahat sedemikian rupa membentuk kolam-kolam sebagai penampung air hujan untuk jangka waktu yang cukup lama. Lapisan batuan induk sedimen yang tersementasi di Situs Ratu Boko memiliki sifat tidak mudah menyerap dan meloloskan air, tampaknya telah disadari oleh masyarakat kuna, bahkan selanjutnya didayagunakan secara cermat dan mengagumkan.

21

Page 22: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Berdasarkan analisis kontekstual antara kolam-kolam dengan bangunan atau temuan purbakala yang berada di sekitarnya, dapat diketahui bahwa strategi penyediaan air itu pun ditujukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Kebutuhan yang sifatnya profan, misalnya untuk mandi, memasak dan mencuci. Sementara itu, kebutuhan yang sifatnya sakral ditujukan untuk pelaksanaan ritual keagamaan. Penggunaan air dalam ritual keagamaan di Situs Ratu Boko dapat ditelusuri melalui keberadaan kolam-kolam dan bangunan yang bersosiasi dengan kesakralan. Salah satu bangunan yang diduga dibuat untuk keperluan sakral adalah Candi Pembakaran. Kolam-kolam yang berada di dekat bangunan tersebut diduga pada masa lampau berfungsi untuk memenuhi konsepsi dalam pendirian bangunan suci dan untuk mendukung aktifitas keagamaannya.

Dalam konsepsi pendirian bangunan suci Hindu dan Buddha, keberadaan sumber air di dekat bangunan yang akan didirikan merupakan salah satu syaratnya. Dalam kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan, kolam-kolam dapat menjadi pengganti syarat tersebut. Selain untuk memenuhi konsepsi pendirian bangunan suci, air dianggap dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai pelepasan yang sempurna dan mendapatkan tempat di Nirvana. Air juga diidentikkan dengan kesuburan karena air adalah sumber kehidupan, tidak akan ada kehidupan yang subur tanpa ada air.

Fungsi ritual dalam penggunaan air di Situs Ratu Boko juga dapat ditelusuri melalui keberadaan tiga buah miniatur candi yang menjadi objek pemujaan dalam suatu ritual keagamaan. Aliran air pembasuh itu pun mengarah ke bawah, ditampung bak air di depan batur miniatur candi. Sebagai pembasuh objek pemujaan, airnya pun disucikan pula. Kesuciannya semakin bertambah melalui penyatuannya dengan “daya hidup” yang berasal dari pipih di basak bak air, yang selanjutnya disalurkan ke tempat-tempat tertentu untuk ditampung oleh umat pemujanya.

Pokok perhatian masyarakat kuna di Situs Ratu Boko tidak berhenti pada upaya penyediaan atau penyimpanan air saja, melainkan juga

22

Page 23: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

pengelolaan masalah keairan lainnya. Keberadaan saluran-saluran air kuna dan talud-talud di situs ini menjadi buktinya. Temuan di situs Ratu Boko terdiri dari beraneka bentuk, salah satunya adalah saluran air yang bersifat lepas dari suatu struktur atau fragmentaris, dan masih terikat pada suatu struktur (intact). Saluran-saluran air tersebut umumnya terbuat dari batu putih (tufa), yaitu bahan yang banyak tersedia di lingkungan situs. Pada beberapa bagian, saluran air dibuat atau dibentuk langsung dengan memangkas batuan induk, sesuai dengan arah aliran air yang dikehendaki.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap aspek hidrologi yang pernah dilakukan, keberadaan saluran-saluran air di Situs Ratu Boko dilatarbelakangi beberapa kepentingan atau tujuan. Beberapa diantaranya untuk mengalirkan air hujan ke tempat-tempat yang dikehendaki untuk ditampung, untuk mengurangi erosi tanah, sekaligus untuk menjaga tanah sekitar agar kondisinya tetap baik. Hubungan antara keberadaan saluran air dengan upaya mengurangi erosi dan menjaga kondisi tanah dapat ditelusuri dari konteks temuan saluran air dengan karakteristik tanah di lingkungannya. Tanah di Situs Ratu Boko memiliki tingkat kedalaman efektifnya rendah, terdiri atas tanah grumosol, dan latosol yang memiliki tingkat permeabilitas rendah, serta rentan terhadap erosi.

Kondisi tanah yang sedemikian rupa menyebabkan air hujan yang turun, jika tidak terkendali alirannya akan menghanyutkan tanah, sehingga terjadilah erosi. Fenomena ini semakin diperparah dengan tingkat kedalaman efektif tanahnya yang rendah, dapat mengakibatkan semakin meluasnya lapisan batuan induk yang tersingkat. Oleh karena itu, dengan saluran-saluran airnya, masyarakat Situs Ratu Boko pada masa lampau berusaha mengendalikan air hujan agar pemenuhan kebutuhan dan kenyamanan hidupnya tidak terganggu.

Penerapan prinsip-prinsip fisika pun dapat ditelusuri dari keberadaan saluran air. Hal ini dapat dengan mudah disaksikan antara lain di kompleks kolam. Saluran air yang terdapat di kompleks ini menghubungkan kelompok kolam yang berdenah persegi dengan kelompok kolam yang berdenah bulat. Air yang mengalir dari teras yang lebih tinggi maupun yang berasal dari hujan, ditampung dalam kolam-kolam persegi yang satu

23

Page 24: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

dengan yang lainnya juga dihubungkan dengan saluran. Jika salah satu kolam penuh maka luapan airnya akan tertampung dalam kolam yang lainnya setelah melalui saluran penghubung.

KolamDemikian pula jika seluruh kolam yang berdenah persegi telah

penuh, luapan air akan dialirkan melalui saluran yang menghubungkan kelompok kolam persegi dan kelompok kolam bulat. Masing-masing kolam di kelompok kolam bulat pun satu dengan lainnya pun dihubungkan dengan saluran, sehingga secara keseluruhan dapat terjadi keseimbangan permukaan air di seluruh kolam. Strategi yang cukup unik ini menggambarkan pula upaya penghematan air, khususnya dengan cara meminimalisir air yang terbuang percuma.

Sebagai kawasan yang pada masa lampau diduga pernah menjadi pemukiman masyarakat yang berasosiasi dengan kekuasaan, aspek estietis dalam pengelolaan air juga tidak lepas dari perhatian. Fenomena ini dapat ditelusuri antara lain melalui keberadaan saluran air tertutup dan artefak unik berbentuk jaladwara. Pada beberapa bagian Situs ratu Boko, telah ditemukan saluran air tertutup, termasuk yang berada di bawah struktur beberapa bangunan penting. Selain menggambarkan adanya perencanaan yang matang dan cermat yang mendukung fungsinya, keberadaan saluran air tertutup juga menghadirkan nilai estetis tersendiri.

Sementara itu, pendapa Situs Ratu Boko, terdapat artefak-artefak yang menyatu dengan struktur pagar disisi luarnya. Artefak yang dimaksud berbentuk jaladwara. Jaladwara umum terdapat pada bangunan-bangunan

24

Page 25: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

kuna dari periode klasik Indonesia yang biasa dipasang pada komponen bangunan yang berasosiasi dengan saluran air secara singkat dapat digambarkan bahwa benda ini menjadi semacam pancuran, ujung keluarnya air dari saluran, yang dipasang pada tempat-tempat tertentu.

Selain memiliki nilai fungsional sebagai pancuran, pemasangan jaladwara memiliki pula nila estetis dan simbolis. Keberadaan pancuran air yang estetis karena menggambarkan berbentuk jaladwara, merefleksikan kedudukan atau makna yang istimewa yang dimilki oleh bangunan pendapa tersebut. Selain itu, secara simbolis, penggambaran jaladwara cukup kontekstual dengan fungsional. Jaladwara dalam mitologi India, merupakan sebutan untuk makhluk mitologis yang hidup di air, sehinggga selalu diasosiasikan pula dengan air.

Upaya adaptasi terhadap masalah air juga menghasilkan jejak-jejak berupa talud yang sekarang tampak membatasi setiap teras di Situs Ratu Boko. Tanah yang melingkupi situs memilki sifat rentan terhadap erosi, padahal ketersediaannya terbatas di beberapa bagian situs. Ada pun bila hujan turun, airnya tidak hanya mengalir dari teras yang lebih tinggi menuju teras yang lebih rendah, melainkan juga menghanyutkan tanah. Oleh karena itulah dibuat talud-talud yang antara lain berperan dalam mengurangi tingkat erosi lahan.

2. Masalah Lahan yang Tidak Rata di Situs Ratu Boko

Relief permukaan Situs Ratu Boko tidak rata, melainkan terdiri atas lereng-lereng dengan sudut kemiringan variatif, dari yang landai hingga curam. Sebagai situs purbakala yang diduga menjadi hunian yang kompleks, terbukti dari keberadaan bangunan-bangunan monumental, kondisi lahan yang sedemikian rupa tentunya telah mengalami perubahan. Seandainya kondisi lahan tetap dalam bentuk alaminya, maka perencanaan, penataan, dan pembangunan yang dilakukan pada masa lampau tentu mengalami kesulitan atau setidak-tidaknya akan meninggalkan jejak yang berbeda bentuknya dengan yang masih ada hingga sekarang.

25

Page 26: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Gambaran tentang strategi adaptasi terhadap lahan Situs Ratu Boko dapat diperoleh melalui keberadaan talud, bekas penambangan tanah, dan sisa-sia pemangkasan lapisan batuan induk. Keberadaan talud-talud adalah salah satu fenomena khas yang dimilki Situs Ratu Boko. Talud-talud yang dimaksud terdiri atas talud yang dibuat dari tatanan batu dan talud yang dibuat dengan memangkas singkapan batuan induk, keduanya bermaterikan batuan tufa. Selain berperan dalam pengelolaan air, talud menjadi sarana pokok dalam membentuk lahan, sekaligus menjaga kondisi lahan yang telah dibentuk. Talud-talud tersebut, dalam aspek fungsionalnya, tidak lepas dari masalah ketersediaan tanah. Hal ini berkaitan dengan relief permukaan yang tidak rata dan ketersediaan tanah yang tidak merata di semua bagian situs.

Pemanfaatan Singkapan Batuan Induk sebagai Talud

Dalam mengolah lahan agar dapat digunakan sebagai pendukung bangunan yang akan didirikan, di beberapa bagian lahan yang tidak rata diberi tanah urug. Tanah urug ini dapat diperoleh dari bagian lain Situs Ratu Boko yang hingga sekarang masih ada jejak-jejak penambangannya. Tanah urug ini pun sifatnya mudah tererosi, sementara lahan yang diurug pun dapat terdiri atas lereng-lereng curam. Untuk mendukung upaya pengurugan, dibuatlah talud-talud agar dikemudian hari tanah urugnya

26

Page 27: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

tidak longsor yang dapat disebabkan oleh air yang kurang terkendali. Dengan demikian, terbentuklan lahan yang rata dan sesuai dengan tuntutan perencanaan pembangunan.

3. Lingkungan Situs Ratu Boko Sebagai Penyedia Bahan Bangunan

Fenomena geologis yang menarik untuk diamati dan dipelajari di situs Ratu Boko di antaranya adalah singkapan-singkapan batuan dasar di hampir seluruh penjuru situs. Kesan yang pertama kali muncul pun akan terarah pada bayangan tingkat kesulitan dalam memanfaatkan, menata, dan mengolah lahan yang sedemikian rupa. Namun demikian, jejak-jejak kepurbakalaan yang telah ditemukan justru merefleksikan strategi yang cermat dalam merubah faktor-faktor lingkungan yang keras menjadi pendukung pemenuhan kebutuhan dan kenyamanan hidup mayarakat pada masa itu.

Hal pertama yang dapat dengan mudah dikenali dan dilihat oleh pengunjung dari fenomena di atas adalah keberadaan talud di Situs Ratu Boko yang merefleksikan adaptasi masyarakat dengan lingkungannya yang keras. Hal ini tampak dari pemanfaatan singkapan lapisan batuan induk yang justru dapat mereka pangkas sedemikian rupa membentuk talud maupun sebagai struktur pendukung susunan talud yang kokoh. Ada pun sisa-sisa pemangkasan batuan induk yang berupa tatal-tatal batu, dimanfaatkan pula sebagai material pengurug lahan.

Bahan yang digunakan dalam pembuatan bangunan-bangunan di Situs Ratu Boko, selain batu andesit, yaitu batu putih (tufa). Batu putih digunakan dalam jumlah yang sangat besar sebagai bahan bangunan, meski pada bangunan tertentu digunakan bersama atau dikombinasikan dengan bahan lain, misalnya batu andesit. Batu putih memiliki karakteristik mudah dibentuk atau diolah dan cukup kuat untuk digunakan sebagai bahan bangunan. Penggunaan batu putih sebagai bahan bangunan candi merupakan fenomena yang wajar di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Beberapa di antaranya adalah di Candi Induk Sewu (sebagai batu isian) dan Candi Gamping (sebagai bahan bangunan pokok).

27

Page 28: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Namun demikian, karakteristik batu putih bukanlah dasar pertimbangan yang pokok. Lingkungan geologis Situs Ratu Boko sendiri mengandung potensi batu putih yang hingga kini pun masih ada dan pada bagian-bagian bukit lainnya bahkan masih terus ditambang. Oleh karena itu, masuk akal apabila masyarakat Situs Ratu Boko pada masa lampau mengeksploitasi lingkungannya dalam memenuhi kebutuhannya. Lingkunga geologis Situs Ratu Boko juga diolah untuk membentuk bangunan dan kelengkapannya. Buktinya adalah Gua Lanang, Gua Wadon dan jalan berundak.

Jalan Berundak di Sebelah Barat Gua Wadon

Gua Lanang dan Gua Wadon merupakan gua artifisal, yang dibuat dengan cara memangkas singkapan batuan induk kearah dalam, sehingga terbentuklah ruangan, lengkap dengan relung-relung di dinding sebelah dalam. Khusus untuk Gua Lanang, relung-relung dan figur lingga-yoni di dasar kolam yang terdapat di depannya pun terbentuk dari hasil pemahatan atau pemangkasan batuan induk.

Demikian pula dengan jalan berundak yang berada di sebelah barat Gua Wadon. Jalan yang dimaksud terbentuklah dari singkapan batuan induk yang membentuk lereng yang cukup terjal. Batuan induk tersebut dipangkas sedemikian rupa membentuk anak-anak tangga, yang jika diperhatikan ukurannya, memperlihatkan kecermatan dan perencanaan yang matang dalam pengerjaannya.

28

Page 29: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

SITUS RATU BOKO DALAM KERANGKA SEJARAHDAN SIFAT KEAGAMAANNNYA

Kawasan Ratu Boko adalah kawasan peninggalan sejarah yang bercorak Hinduisme dan Buddhisme dari abad –X M. Komplek Situs Ratu Boko pada mulanya merupakan sebuah komplek wihara, yaitu asrama untuk tempat tinggal para biksu dalam agama Budha. Dalam prasasti tertua yang ditemukan di Situs Ratu Boko, tercantum angka tahun 714 Saka (792 M), isinya tentang peringatan pendirian abhayagiriwihara oleh rakai Panangkaran. Abhaya artinya tiada bahaya atau damai, Giri berarti gunung. Jadi, abhayagiriwihara artinya wihara yang terletak di atas bukit yang penuh kedamaian. Rakai Panangkaran adalah salah satu raja besar dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuna yang juga tururt membangun Candi Kalasan. Berdasarkan data yang terkandung dalam Prasasti Mantyasih yang bertarikh 907 M, dan Prasasti Wanua Tengah III tahun 908 M, Rakai Panangkaran adalah satu raja Mataram kuna yang paling lama memerintah, yaitu selama 38 tahun (746 – 784 M).

Sifat Buddhisme yang terkandung dalam jejak-jejak kepurbakalaan Situs Ratu Boko diindikasikan melalui temuan arca Budha, reruntuhan stupa, dan stupika. Temuan reruntuhan stupa (foto no.14) menunjukkan pengaruh Buddhisme di Situs Ratu Boko pada masa lampau. Interpretasi ini tidak lepas dari konsepsi bahwa stupa merupakan fenomena religious yang secara formal maupun konseptual dianggap identik dengan agama Buddha. Sementara itu, stupika adalah stupa kecil yang biasanya terbuat dari tanah liat, yang digunakan sebagai benda pelengkap upacara. Artefak

29

Page 30: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

semacam ini pun banyak ditemukan di sekitar Candi Borobudur, candi yang sifat Buddhisme tidak dapat diragukan.

Pada sekitar tahun 856 M, fungsi komplek Ratu Boko berubah menjadi kediaman bagi seorang penguasa yang bernama Rakai Walaing Pu Kumbhayoni (Sri Kumbhaja) yang menganut agama Hindu. Temuan berupa prasasti, yaitu prasasti Ratu Boko a, b (berangka tahun 856 M), dan c, semua mengandung keterangan tentang pendirian lingga yaitu Lingga Krrtivaso, Lingga Tryambaka dan Lingga Hara. Lingga adalah perwujudan Dewa Siwa, yaitu dewa tertinggi dalam pemujaan Trimurti di Indonesia. Sebenarnya, menurut konsep asli yang berasal dari India, dewa tertinggi dalam Trimurti adalah Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara alam, selanjutnya dua dewa lainnya yaitu Dewa Brahma sebagai pencipta alam dan Dewa Siwa sebagai dewa perusak. Namun di Indonesia, konsep tersebut mengalami perubahan dalam system pantheonnya, sehingga yang ditempatkan sebagai dewa tertinggi adalah Siwa. Hal ini terbukti melalui banyaknya candi yang bersifat hinduistis dan menempatkan Dewa Siwa atau lingga sebagai perwujudannya, sebagai objek utama yang dipuja.

Prasasti lain yang ditemukan adalah Prasasti Pereng (862 M) yang mengandung keterangan tentang pendirian sebuah bangunan suci untuk Dewa Siwa, yaitu Candi Bhadraloka. Pada kurun waktu itu, kawasan Ratu Boko disebut dengan nama Walaing. Hal ini diketahui dari prasasti Mantyasih yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Balitung yang menyebutkan bahwa penulis prasasti, yaitu Pu Tarka, berasal dari Walaing. Dengan demikian, setidak-tidaknya hingga awal abad X M kawasan Ratu Boko masih menjadi kawasan pemukiman yang diakui keberadaannya. Corak agama Hindu yang menonjol pada kurun waktu itu diindikasikan melalui temuan-temuan berbentuk yoni, tiga buah miniatur candi yang bersifat Hinduistik, arca Balarama, arca Durga, serta arca Ganesa.

Hingga sekarang, penyebutan kawasan Ratu Boko sebagai sebuah kompleks kraton sebenarnya masih diperdebatkan, karena belum ditemukannya bukti yang konkrit. Penyebutan bangunan-bangunan seperti paseban, keputren, dan pendapa yang mengacu pada nama bangunan yang umumnya terdapat di kraton, hanya berdasarkan sebutan masyarakat

30

Page 31: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

pada masa sekarang yang tinggal di sekitarnya. Namun jika ditelusuri dengan melibatkan studi terhadap beberapa kitab kesusastraan kuna, hal tersebut ternyata juga mengandung kebenaran.

Oleh penggubahnya, dalam kitab Bharatayudha, Bhomakawya, Kresnayana, dan Ghatotkacasraya disebutkan bahwa kraton digambarkan sebagai kompleks bangunan yang dikelilingi pagar bergapura batu, di dalamnya terdapat taman dengan kolam-kolam, dan berbagai jenis bangunan lainnya seperti tempat pemujaan, serta alun-alun di luar kraton. Berdasarkan gambaran itu, kompleks Ratu Boko, jika diperhatikan, memang memiliki ciri-ciri sebagai sebuah kraton. Nama Kraton Ratu Boko semakin popular ketika seorang ahli dari Belanda yaitu F.D.K. Bosch mengadakan penelitian dan laporannya diberi judul Kraton Van Ratoe Boko.

Pembahasan mengenai kedudukan Situs Ratu Boko dalam pengkerangkaan sejarah akan lebih lengkap jika melibatkan pula aspek kronologinya, dalam hal ini kurun waktu hunian yang pernah berlangsung di Situs ratu Boko. Data yang selama ini dipelajari dan diolah oleh para ahli di antaranya diperoleh dari pertanggalan dalam prasasti, nama-nama tokoh yang disebut dalam prasasti yang dikaitkan dengan kedudukannya dalam kronologi sejarah kekuasaan periode kerajaan di Jawa Kuna, dan benda-benda yang terbuat dari keramik dan porselin yang bersifat utuh maupun fragmentaris. Berdasarkan interpretasi terhadap berbagai bentuk data tersebut, para ahli memperkirakan bahwa Situs Ratu Boko telah dihuni atau menjadi pemukiman sejak kurun waktu sekitar tahun 600 M – 700 M sampai dengan sekitar tahun 1400 M.

Data yang ditemukan di Situs Ratu Boko yang menghasilkan interpretasi menarik adalah benda-benda keramik dan porselin. Beberapa tahap penggalian yang pernah dilakukan di Situs Ratu Boko maupun dari survei terhadap permukaan tanah, telah menghasilkan temuan benda-benda keramik dan porselen. Berdasarkan gaya, bahan, dan teknik pembuatannya, diketahui bahwa benda-benda tersebut berasal dari luar Indonesia, di antaranya berasal dari Cina periode dinasti Ming (abad 14 M – 17 M), Sung (abad 11 M – 13 M), dan T’ang (abad 8 M – 9 M). Selain itu

31

Page 32: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

terdapat pula yang memiliki ciri yang diperkirakan berkembang antara periode Sung dan T’ang (abad 8 M – 13 M).

Temuan ini merupakan data penting yang dapat menggambarkan adanya indikasi hubungan perdagangan antara Cina dengan masyarakat Jawa pada masa lampau. Oleh karenanya, muncul pula interpretasi bahwa Situs Ratu Boko memang pernah dihuni oleh golongan penguasa atau kerajaan dan golongan masyarakat setidak-tidaknya memiliki kemampuan financial yang cukup memadai untuk membeli “barang impor” pada masa itu.

Sebagai bangsa yang berbudaya dan mampu menghargai hasil karya nenek moyang, sepatutnya kita tidak hanya sekedar melihat atau menikmati perwujudan fisik dari bangunan dan benda-benda purbakala di Situs Ratu Boko. Namun, pengetahuan dan wawasan yang terkandung di baliknya pun patut untuk diketahui dan dikenali dalam rangka maksimalisasi kunjungan wisata ke Situs Ratu Boko, sehingga akan menghasilkan pengalaman yang niscaya tidak mudah dilupakan.

32

Page 33: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

DAFTAR PUSTAKA

Acharya, Prasanna Kumar, Architecture of Mannasara, Vol. V, New Delhi : Oriental Books Reprint Corporation, 1980

Bronson, Bennet dan Teguh Asmar, Ekskavasi Situs Ratu Baka 1973, tanpa kota, Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional – The University of Pennsylvania Museum, 1973

Dukut Santoso et.al, Ratu Boko yang Terlupakan, Yogyakarta : Direktorat Jendral Kebudayaan, SPSP DIY, 1993

Dukut Santoso, “Temuan Struktur Candi di Situs Ratu Boko”, Jejak-jejak Budaya, Asosiasi Prehistori Indonesia Rayon II, Yogyakarta : API Rayon II, 1994

Ewusie, J.Yanney, Pengantar Ekologi Tropika ; Membicarakan Alam Tropika Afrika, Asia, Pasifik dan Dunia Baru, Bandung : Penerbit ITB, 1990

Hendy Soesilo, et.al, Studi Hidrologi dan Klimatologi di Situs Ratu Boko, Balai Studi dan Konservasi Borobudur, Magelang : 1994/1995

Kramrisch, Stella, The Hindu Temple, Vol. I dan Vol. II, Calcutta : University of Calcutta, 1946

33

Page 34: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Kusen, “Kompleks Ratu Boko : Latar Belakang Tempat Pembangunannya”,Berkala Arkeologi, Edisi Khusus, Yogyakarta : Balai Arkeologi, 1995

Liebert, Gosta, “Iconographic Dictionary of the Indian Religions”, Studies in South Asian Culture, Leiden : E.J. Brill, 1976

Maria Tri Widayati, “Sistem Pengelolaan Air di Kompleks Kraton Ratu Boko”, Skripsi Sarjana, Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM, 1994

Nedik Tri Nurcahyo, “Tahap-tahap Pembangunan Situs Ratu Boko”, Skripsi Sarjana, Yogyakarta : Fakultas Sastra UGM, 1995

Nurhadi, “Pengamatan Penempatan Bahan Bangunan Dalam Penelitian Perubahan Desain Arsitektural”, Lokakarya Arkeologi Tahun 1978, Jakarta : Puslitarkenas, 1982, hlm. 143-148

Rangkuti, Nurhadi, “ Candi dan Konteksnya : Tinjauan Arkeologi Ruang”, Berkala Arkeologi, Edisi Khusus, Yogyakarta : Balai Arkeologi, 1995, hlm. 37-42

Shahrer, R.J dan Ashmore, Windy,Archaeology : Discovering Our Past, London-Toronto : Mayfield Publishing Company, 1993

Soekmono, “Candi Fungsi dan Pengertiannya”, Disertasi, Jakarta : Universitas Indonesia, 1974

Zimmer, Heinrich, Myths and Symbol in Indian Art and Civilization, New Jersey : Princeton University Press, 1974

Foto Sampul karya Darwis Triadi

34

Page 35: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

PETA SITUS RATU BOKO

35

Page 36: Menapak Jejak Kepurbakalaan Edit

Sumber : SPSP DIY

36