MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM KITAB AL-MABSUTH KARYA IMAM AS-SARKHASI Oleh: Azhariah Khalida A. Pendahuluan Al-Mabsuth merupakan kitab fikih yang sangat lengkap dalam Mazhab Hanafi. Kitab ini merupakan salah satu dari beberapa karya Imam as-Sarakhasi. 1 Kitab ini terdiri dari 10 jilid materi; terdiri dari 20 juzu‟, dan 1 jilid indeks (indeks ditulis oleh Syekh Khalil al-Mais, seorang ulama Libanon, ketika buku ini diterbitkan pada tahun 1409 H/ 1989 M oleh penerbit Dar al- Ma‟rifah, Beirut). Penulisan kitab ini, oleh Imam as-Sarakhasi dilakukan ketika ia berada dalam penjara, dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya, tanpa merujuk pada literatur apapun, sehingga dalam buku ini tidak mencantumkan catatan kepustakaan, yang memang belum biasa pada waktu itu. 1 Nama lengkapnya Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as- Sarakhsi. Ia adalah salah seorang ulama terbesar mazhab Hanafi. Ia berada pada peringkat ke-3 dalam jajaran ulama pengikut Mazhab Hanafi setelah Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, pada peringkat pertama, dan Imam Abu al-Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi, pada peringkat ke dua. Sekalipun as-Sarakhsi tergolong ulama besar, namun riwayat hidupnya tidak ditemukan secara lengkap. Ia diketahui lahir di Sarakhs (Sarkhas), daerah Khurasan (Iran timur laut), tetapi tahun kelahirannya tidak tercatat. Sedangkan tahun wafatnya ada beberapa versi ; menurut Abu al-Wafa‟ al-Afghani, penahkik buku Ushul as-Sarakhsi, Imam as-Sarakhsi wafat tahun 483 H/1090M. Sedangkan menurut Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir, pengarang kitab al-Jawahir al-Mudi‟ah fi Tabaqat al-Hanafiyyah (sebuah buku biografi ulama mazhab Hanafi), Imam as- Sarakhsi wafat pada akhir tahun 490 H/1097 M, sedangkan tempat wafatnya tidak tercatat. Imam As-Sarakhsi belajar fikih pada Abdul Aziz bin Ahmad al-Hulwani (w. 448 H/1056 M), seorang ahli fikih mazhab Hanafi yang bergelar Syams al-a‟immah (matahari para imam). Karena penguasaannya yang sangat baik terhadap pengetahuan gurunya itu, maka gelar gurunya pun kemudian dijadikan gelar Imam as-Sarakhsi sendiri. Bahkan jika disebut Syams al-a‟immah, tanpa penjelasan di belakangnya, maka yang dimaksud adalah Imam as-Sarakhsi. Lihat Abdul Aziz Dahlan, dkk (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta; P.T. Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997), jilid 5, h. 1608.
38
Embed
MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM … · 2015. 4. 9. · sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MELACAK METODE USHUL FIKIH
MAZHAB HANAFI DALAM KITAB AL-MABSUTH
KARYA IMAM AS-SARKHASI
Oleh: Azhariah Khalida
A. Pendahuluan
Al-Mabsuth merupakan kitab fikih yang sangat lengkap
dalam Mazhab Hanafi. Kitab ini merupakan salah satu dari
beberapa karya Imam as-Sarakhasi.1 Kitab ini terdiri dari 10 jilid
materi; terdiri dari 20 juzu‟, dan 1 jilid indeks (indeks ditulis
oleh Syekh Khalil al-Mais, seorang ulama Libanon, ketika buku
ini diterbitkan pada tahun 1409 H/ 1989 M oleh penerbit Dar al-
Ma‟rifah, Beirut). Penulisan kitab ini, oleh Imam as-Sarakhasi
dilakukan ketika ia berada dalam penjara, dengan cara
mendiktekan kepada murid-muridnya, tanpa merujuk pada
literatur apapun, sehingga dalam buku ini tidak mencantumkan
catatan kepustakaan, yang memang belum biasa pada waktu itu.
1Nama lengkapnya Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl as-
Sarakhsi. Ia adalah salah seorang ulama terbesar mazhab Hanafi. Ia berada
pada peringkat ke-3 dalam jajaran ulama pengikut Mazhab Hanafi setelah
Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, pada
peringkat pertama, dan Imam Abu al-Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi,
pada peringkat ke dua. Sekalipun as-Sarakhsi tergolong ulama besar, namun
riwayat hidupnya tidak ditemukan secara lengkap. Ia diketahui lahir di
Sarakhs (Sarkhas), daerah Khurasan (Iran timur laut), tetapi tahun
kelahirannya tidak tercatat. Sedangkan tahun wafatnya ada beberapa versi ;
menurut Abu al-Wafa‟ al-Afghani, penahkik buku Ushul as-Sarakhsi, Imam
as-Sarakhsi wafat tahun 483 H/1090M. Sedangkan menurut Muhyiddin Abu
Muhammad Abdul Qadir, pengarang kitab al-Jawahir al-Mudi‟ah fi Tabaqat
al-Hanafiyyah (sebuah buku biografi ulama mazhab Hanafi), Imam as-
Sarakhsi wafat pada akhir tahun 490 H/1097 M, sedangkan tempat wafatnya
tidak tercatat. Imam As-Sarakhsi belajar fikih pada Abdul Aziz bin Ahmad
al-Hulwani (w. 448 H/1056 M), seorang ahli fikih mazhab Hanafi yang
bergelar Syams al-a‟immah (matahari para imam). Karena penguasaannya
yang sangat baik terhadap pengetahuan gurunya itu, maka gelar gurunya pun
kemudian dijadikan gelar Imam as-Sarakhsi sendiri. Bahkan jika disebut
Syams al-a‟immah, tanpa penjelasan di belakangnya, maka yang dimaksud
adalah Imam as-Sarakhsi. Lihat Abdul Aziz Dahlan, dkk (ed.), Ensiklopedi
Hukum Islam, ( Jakarta; P.T. Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997), jilid 5, h. 1608.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
50 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Hal ini juga menunjukkan kepandaian dan daya ingat Imam as-
Sarakhasi yang luar biasa.
Tulisan ini akan memaparkan beberapa contoh persoalan
fikih yang terdapat dalam kitab al-Mabsuth dan melacak metode
istimbath yang digunakan ulama Hanafiyah dalam membuat
kesimpulan hukum yang meliputi masalah ibadat, munakahat,
jinayat dan mu‟amalat.
B. Analisa Metode Ushul dalam Kitab Al-Mabsuth
1. Bab Ibadat
Masalah ibadah yang akan penulis kemukakan dalam
tulisan ini adalah bab shala2
Imam as-Sarakhasi memulai
pembahasan kitab fikihnya dengan Kitab Shalat, berbeda dengan
kitab-kitab fikih pada umumnya, karena shalat adalah rukun
Islam yang paling utama setelah keimanan (syahadat). Menurut
ulama Hanafiyah, shalat itu ada empat macam, yaitu : 3
a. Shalat fardhu „ain, seperti shalat lima waktu
b. Shalat fardhu kifayah, seperti shalat jenazah
c. Shalat wajib4, yaitu shalat witir, mengqadha shalat nafilah
yang rusak (batal) setelah shalat itu dilakukan dan shalat „id
(„Idul Fithri dan „Idul Adha).
2Shalat menurut bahasa adalah do‟a dan pujian, sedangkan menurut
istilah syarak adalah sebutan untuk beberapa rukun tertentu yang terdiri dari
do‟a dan selainnya. Syamsu ad-ddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, dalam al-
Maktabah asy-Syamilah, (Sumber kitab : Mauqi‟ al-Kitab. http://www.al-
islam.com), juz 1, h. 5 3Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, judul asli al-Fiqh „ala al-
Mazahib al-Arba‟ah, penerjemah Chatibul Umam dan Abu Hurairah, (Jakarta
: Darul Ulum Press, 1994), Jilid 2, h. 10 4 Ulama Hanafiyah membedakan hukum fardhu dan wajib. Fardhu
adalah sesuatu yang ditetapkan (untuk melaksanakannya) dengan dalil yang
qath‟I, tidak ada syubhat (keraguan) padanya, seperti rukun Islam yang 5
yang ditetapkan dengan Nash Alquran, dan yang ditetapkan dengan sunnah
mutawatir atau masyhur, seperti bacaan Alquran dalam shalat. Adapun wajib
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 51
d. Shalat nafilah, baik yang sunnat ataupun yang mandub.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis akan menelaah
beberapa shalat yang dihukum wajib menurut ulama Hanafiyah,
yaitu shalat witir dan shalat „id.
a. Jumlah rakaat Shalat Witir
Tentang wajibnya shalat Witir, Imam Abu Hanifah
berdalil dengan hadits Nabi SAW yaitu :
ما فصلوىاإن الل ت عال زادكم صلة أل وىي الوت ر ، ب ي العشاء إل طلوع الفجر
Sesungguhnya Allah Ta‟ala menambahkan untukmu
satu shalat, ketahuilah, ia adalah shalat witir, maka
lakukanlah olehmu shalat witir antara waktu Isya‟
sampai terbit fajar.
Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah)
yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi bagi orang yang
tidak melakukannya tidak menjadikan dia kufur, karena
kewajiban tersebut ditetapkan dengan sunnah.5
Shalat witir berjumlah 3 rakaat dengan satu salam
pada rakaat terakhir. Berbeda dengan pendapat Imam Asy-
adalah sesuatu yang ditetapkan (untuk melaksanakannya) dengan dalil zhanni
yang masih terdapat keraguan padanya, seperti shadaqah al-fitri, shalat witir
dan dua shalat „id, yang ditetapkan dengan dalil zhanni yaitu khabar wahid.
Bila seseorang mengingkari sesuatu yang fardhu akan menjadikan orang
tersebut kufur, tetapi bila mengingkari yang wajib tidak mengakibatkannya
jatuh kepada kufur. Meninggalkan sesuatu yang fardhu akan mengakibatkan
suatu ibadah menjadi batal (tidak sah), namun tidak demikian halnya bila
meninggalkan sesuatu yang wajib. Lihat Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islami, (Damsyik ; Dar al-Fikri, tt), juz. 1, h. 47 5 Kamal bin Hummam, Fath al- Qadir, dalam Maktabah Syamilah, juz
2, h. 347.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
52 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Syafi‟i, shalat witir itu satu raka‟at (sekurang-kurangnya.
pen), dan menurut Imam Malik, shalat witir itu 3 rakaat
dengan dua salam. Imam asy-Syafi‟i berdalil dengan hadits
Nabi SAW, yaitu :
ب الوت ر فأوتروا يا أىل القرآن إن الل وت ر ي
Sesungguhnya Allah itu witir (ganjil), Dia menyukai
witir, maka lakukanlah witir wahai ahlu Alquran.
Sedangkan Imam Malik berdalil dengan hadits dari
Ibnu Umar dan amal sahabat, yaitu :
عن هما قال النب صلى الل ابن عمر رضي الل ت عال عن بح عليو وسلم} صلة الليل مث ن مث ن فإذا خشيت الصلو { وكان سعد بن أب وقاص فأوتر بركعة يوت ر لك ما ق ب
ت عال عنو يوتر بركعة واحدة ر ضي الل
Dari Ibnu Umar r.a, Nabi SAW berkata : (Shalat
malam itu dua-dua rakaat. Tetapi sekiranya kamu
khawatir terburu masuknya waktu subuh, maka
lakukanlah witir satu rakaat, untuk mewitirkan
rakaat-rakaat sebelumnya) dan Sa‟ad bin Abi
Waqash melakukan witir satu rakaat.
Sementara Ulama Hanafiyah menggunakan dalil
hadits dari Aisyah r.a, khabar dari Ibnu Mas‟ud, khabar dari
Ibnu Abbas tentang fi‟liyah Nabi SAW dan khabar yang
disandarkan kepada Umar r.a, yaitu :
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 53
ها كما روي نا ) ولنا ( حديث عائشة رضي الل ت عال عن } ف صفة قيام رسول الل صلى الل عليو وسلم ث يوتر
بثلث {
Dalil kami adalah hadits Aisyah r.a sebagaimana
kami riwayatkan mengenai sifat shalat malam
Rasulullah SAW kemudian Rasulullah SAW
melakukan shalat witir 3 rakaat.
و لت راقب } وب عث ابن مسعود رضي الل ت عال عنو أمت أنو أوت ر وت ر رسول الل صلى الل عليو وسلم فذكر
بثلث ركعات ق رأ ف الول سبح اسم ربك العلى وف الثانية قل يا أي ها الكافرون وف الثالثة قل ىو الل أحد
وق نت ق بل الركوع {
Ibnu Mas‟ud R.A mengutus ibunya untuk
memperhatikan Rasulullah SAW melaksanakan
shalat witir. Kemudian ibunya memberitahukan
bahwa Rasulullah SAW shalat witir tiga rakaat, pada
rakaat pertama beliau membaca “sabbihisma
rabbikal a`la”. Pada rakaat kedua beliau membaca “
qul ya ayyuhal kafirun”. Pada rakaat ketiga beliau
membaca”qul huwa Allahu ahad” dan beliau
berqunut sebelum ruku‟.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
54 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
هما حي بات وىكذا ذكر ابن عباس رضي الل ت عال عن عليو عند خالتو ميمونة لي راقب وت ر رسول الل صلى الل
وسلم
Demikian pula Ibnu Abbas r.a menyebutkan ketika
dia bermalam di (rumah) bibinya Maimunah untuk
memperhatikan shalat witir Rasulullah SAW.
ا رأى عمر رضي الل ت عال عنو سعدا يوتر بركعة ولما قال ف قال ما ىذه ها أو لوذي نك وإن راء لتشفعن البت ي
عليو وسلم ذلك ؛ لن الوت ر اشتهر } أن النب صلى اللراء { ن هى عن البت ي
Tatkala Umar r.a melihat Sa‟ad melakukan shalat
witir satu rakaat, beliau berkata, Bukankah ini al-
butaira‟ (rakaat yang terpotong), engkau harus
pasangkan dengan rakaat lainnya, atau aku akan
mencelamu. Umar berkata seperti itu karena
sesungguhnya (tata cara) shalat witir itu telah
termasyhur (sesungguhnya Nabi SAW melarang
(melakukan) al-butaira‟).
رت وقال ابن مسعود رضي الل ت عال عنو والل ما أخركعة قط ولنو لو جاز الكتفاء بركعة ف شيء من
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 55
فر ة الصلوات لدخل ف الفجر قصر بسبب الس ول حج 6 لو
Ibnu Mas‟ud r.a berkata : Demi Allah aku tidak akan
mengakhirkan shalat dengan satu rakaat saja, karena
sungguh kalaulah boleh mencukupkan satu rakaat
saja dalam rakaat shalat-shalat, tentu masuk pula
hukum qashar pada shalat fajar (subuh) dengan sebab
perjalanan, tapi tidak ada hujjah untuk hal itu.
Memperhatikan semua dalil yang digunakan oleh
ulama Hanafiyah di atas, hadits atau khabar tersebut
tergolong khabar ahad dan atsar sahabat. Akan tetapi
terdapat kesamaan materi yang disampaikan dalam
hadits/khabar dan atsar tersebut, sehingga masing-
masingnya terhadap yang lain saling menguatkan.
Ulama Hanafiyah dalam menerima khabar ahad
sebagai hujjah membagi perawi kepada dua kelompok, yaitu
perawi yang ma‟ruf (dikenal) dan perawi yang majhul.
Perawi yang ma‟ruf ada dua segi, yaitu, dari segi dikenal
sebagai faqih dan memiliki kemampuan berijtihad dan dari
segi dikenal dengan „adalahnya, baik dhabit dan hafalnya
tetapi kurang dalam bidang fikih. Termasuk dalam
kelompok pertama, seperti para khulafa‟ al-rasyidin, Zaid
bin Tsabit, Mu‟az bin Jabal, Abu Musa al-„Asy‟ari, Aisyah
dan selain mereka dari kalangan sahabat yang dikenal
sebagai ahli fikih. Khabar mereka diterima sebagai hujjah
dan menjadi landasan dalam beramal. Bahkan apabila
khabar tersebut berbeda dengan qiyas, maka ditinggalkan
qiyas dan beramal berdasarkan khabar ahad. Termasuk
kelompok ke dua (ma‟ruf dengan „adalah, dhabit dan
6Imam As-Sarakhsi, op.cit, juz 1, h. 478-479.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
56 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
hafiznya) seperti Abu Hurairah dan Anas bin Malik dan
selain mereka yang terkenal bersama Rasulullah SAW dari
kalangan sahabat dan mendengar dari beliau dalam waktu
yang panjang, ketika mukim dan safar.7
Dalil yang digunakan oleh ulama Hanafiyah di atas
diriwayatkan oleh para sahabat yang tergolong ma‟ruf dari
segi kefakihan dan kemampuan mereka dalam berijtihad,
seperti „Aisyah dan Umar. Demikian pula dengan Ibnu
Mas‟ud8 dan Ibnu Abbas.
Dalil yang digunakan ulama Syafi‟iyah, bahwa shalat
witir itu (paling kurang) satu rakaat adalah hadits innallaha
witrun dst. Karena Allah itu satu, maka witru diartikan
dengan satu, sehingga dipahami bahwa shalat witir itu satu
rakaat. Dalam hal ini ulama Syafi‟iyah menggunakan
7Ahmad bin Abi Sahal as-Sarakhsi, Ushul as-Sarakhsi, ditahqiq oleh
Abu al-Wafa‟ al-Afghani, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005), Cet.ke 2,
jilid 1, h. 338-339. 8Nama lengkapnya Abdullah bin Mas‟ud bin Ghafil bin Hubaib (w.33
H/652 M). Ia adalah sahabat besar dan termasuk orang pertama masukIslam.
Ibnu Mas‟ud adalah pembantu Nabi SAW yang terpercaya dan
setiamengikuti beliau di rumah, di perjalanan maupun dalam peperangan. Ia
ikut hijrah ke Habasyah dan Madinah, shalat ke dua kiblat : Baitul Maqdis
dan Ka‟bah, mengikuti perang Badar, Uhud, Khandaq, Bait ar-Ridwan dan
lain-lain. Dialah orang yang menebas kepala Abu Jahal sewaktu perang
Badar. Nabi SAW memberi jaminan bahwa ia akan masuk surga. Ibnu
Mas‟ud banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Di dalam kitab hadits
Shahih Bukhari dan Muslim, ia meriwa yatkan 848 hadits. Di antara para
sahabat yang menerima riwayat dari Ibnu Mas‟ud adalah Ibnu Abbas, Ibnu
Umar, Abu Musa, Imran bin Husain, Ibnu Zubair, Jabir, Anas, Abu Sa‟id dan
Abu Hurairah. Pada masa pemerintahan Umar, ia ditugaskan ke Kufah
bersama-sama „Ammar bin Yasir. Amar sebagai gubernur dan Ibnu Mas‟ud
sebagai guru dan pembantu „Ammar. Di Kufah, ia mengajarkan hadits-hadits
Nabi. Ia menjadi guru dan hakim. Pada masa pemerintahan Utsman, ia
kembali ke Madinah dan meninggal di Madinah dalam usia 60 tahun lebih.
Lihat Abdullah al-Musthofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fikih Sepanjang
Sejarah, judul asli : Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyin, Penerjemah:
Husein Muhammad, (Yogyakarta; LKPSM, 2001), h. 51
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 57
dalalah isyarah (isyarat Nash).9 Sedangkan ulamaHanafiyah
menggunakan hadits dari „Aisyah dan riwayat Ibnu Mas‟ud
yang secara jelas menunjukkan bahwa Nabi melakukan
shalat witir sebanyak 3 rakaat. Dalam hal ini ulama
Hanafiyah menggunakan dalalah „ibarah (ibarat Nash).10
Oleh ulama Hanafiyah, apabila berbenturan antara dalalah
„ibarah dengan dalalah isyarah,maka didahulukan
mengambil pengertian dari dalalah ibarah, karena itulah
yang lebih jelas.
b. Membaca qunut pada shalat witir
Berdasarkan kebanyakan sunnah, Nabi SAW
berqunut dalam shalat witir. Menurut Imam Asy-Syafi‟i
Nabi SAW tidak berqunut kecuali pada separoh terakhir dari
bulan Ramadhan berdasarkan riwayat dari Umar r.a bahwa
Umar menyuruh Ubay bin Ka‟ab menjadi imam pada
malam-malam Ramadhan dan menyuruhnya berqunut pada
separoh terakhir bulan Ramadhan. Menurut pendapat kami
(as-Sarakhasi) takwilnya adalah yang dimaksud dengan
berqunut (dalam riwayat Umar itu) adalah memanjangkan
bacaan shalat, bukan berqunut dalam shalat witir.11
Menurut ulama Hanafiyah, membaca qunut
waktunya sebelum ruku‟ sebagaimana yang diriwayatkan
dalam atsar, karena qunut bermakna bacaan, yaitu
9
Isyarat Nash adalah suatu pengertian yang ditangkap darisuatu
lafaz,sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarat)
dan bukan dari ungkapan itu sendiri. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-
Dalalah ibarah ialah: makna yang dipahami dari lafaz, baik lafaz
tersebut berupa zahir maupun Nash, muhkam maupun tidak. Atau setiap
pengertian yang dipahami dari keadaan lafaz yang jelas.(Ibid, h. 204). 11
As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, op.cit., h. 480
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi
dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
58 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Allahumma innaa nasta‟inuka ….- ditulis dalam mushaf
Ubay bin Ka‟ab dan Ibnu Mas‟ud dalam dua surat, dan
bacaan itulah yang dinamakan qunut menurut kami
(Hanafiyah). Sedangkan menurut Asy-Syafi‟i, qunut dibaca
sesudah ruku‟, dan tidak ada atsar yang menjadi hujjah
berqunut pada shalat witir. Yang ada hanyalah atsar untuk
berqunut pada shalat subuh, maka disamakan dengannya
waktu qunut witir.12
Menurut ulama Hanafiyah tidak ada qunut dalam
shalat-shalat lain, selain pada shalat witir. Sedangkan oleh
Asy-Syafi‟i, beliau berqunut dalam shalat subuh pada rakaat
ke dua sesudah ruku‟ dengan berdalil pada hadits riwayat
Anas r.a yaitu:
عليو وسلم ي قنت ف صلة الفجر } كان النب صلى اللن يا { إل أن فارق الد
Menurut Asy-Syafi‟i, sah berqunut pada shalat subuh
dan siapa yang mengatakan bahwa hal itu sudah dinasakh,
maka hal itu harus ditetapkan dengan dalil. Asy-Syafi‟i juga
berdalil dengan amalan „Ali r.a yang melakukan qunut pada
shalat subuh.
Sedangkan Hanafiyah menggunakan hadits riwayat
Ibnu Mas‟ud, riwayat Anas dan atsar sahabat, yaitu :
12
Ibid
Azhariah Khalida
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014 59
ت عال عنو } أن النب صلى حديث ابن مسعود رضي اللالل عليو وسلم ق نت ف صلة الفجر شهرا يدعو على
حي من أحياء العرب ث ت ركو {
Sesungguhnya Nabi SAW berqunut dalam shalat
subuh selama sebulan untuk memohon keselamatan
hidup bangsa Arab, kemudian beliau
meninggalkannya.
عن أنس رضي الل ت عال عنو قال } ق نت رسول الل عليو وسلم ف صلة الفجر شهرا أو قال أربعي صلى اللي وما يدعو على رعل وذكوان وي قول ف ق نوتو اللهم اشدد وطأتك على مضر واجعلها عليهم سني كسن ا ن زل ق ولو ت عال } ليس لك من المر شيء يوسف ف لم
ت رك ذلك { أو ي توب عليهم { الية
Diriwayatkan dari Anas r.a, dia berkata (bahwa
Rasulullah SAW berqunut dalam shalat subuh
selama sebulan atau katanya empat puluh hari untuk