LAFAZ MAṬAR DAN GHAITH DALAM AL-QURᾹN KAJIAN ASPEK MURADIF SKRIPSI Diajukan Oleh: CUT WIDYA AUDINA NIM. 140303050 Prodi Ilmu Al-Qurān dan Tafsir FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY DARUSSALAM – BANDA ACEH 2019 M/ 1440 H
70
Embed
LAFAZ MAṬAR DAN GHAITH DALAM AL-QURᾹN KAJIAN ASPEK … · Hikmah kemukjizatan lafaz dalam Alquran terletak pada aspek bahasanya yang bagus, keteraturan bunyinya yang indah, lafaz-lafaznya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAFAZ MAṬAR DAN GHAITH DALAM AL-QURᾹN
KAJIAN ASPEK MURADIF
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
CUT WIDYA AUDINA
NIM. 140303050
Prodi Ilmu Al-Qurān dan Tafsir
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM – BANDA ACEH
2019 M/ 1440 H
CUT WIDYA AUDINA
NIM. 140303050
Prodi Ilmu Al-Qurān dan Tafsir
Cut Widya Audina
v
LAFAZ MAṬAR DAN GHAITH DALAM AL-QURᾹN KAJIAN
ASPEK MURADIF
ABSTRAK
Ada sebagian ayat dalam Alquran mempunyai lafaz-lafaz yang tampaknya
bersinonim/muradif namun bila diteliti lebih jauh memiliki konotasi yang
berbeda, seperti pada lafaz maṭar dan ghaith. Terdapat berbagai macam ragam
makna lafaz maṭar dan ghaith dalam Alquran yakni hujan yang mengagumkan,
hujan batu, hujan sijjil, dan lain sebagainya. Permasalahan inilah yang
melatarbelakangi penelitian ini, sehingga penulis merumuskan permasalahan
dalam tiga bentuk pertanyaan yaitu bagaimana pemaknaan lafaz maṭar dan ghaith
dalam Alquran ditinjau dari aspek ilmu muradif, bagaimana hikmah penggunaan
kedua lafaz maṭar dan ghaith dalam kajian muradif, dan bagaimana konteks
penggunaan lafaz tersebut dalam Alquran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui jawaban dari rumusan masalah tersebut. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan penelitian library research, yaitu dengan mengumpulkan data-data
dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan yang terdiri dari data primer dan
sekunder. Seperti dari kitab tafsir serta beberapa buku ‘Ulumul Quran yang terkait
dengan judul pembahasan. Adapun data yang diperoleh sebagai dokumentasi
menggunakan metode maudhu’i. Hasil penelitian ini penulis menemukan kedua
lafaz dalam kamus Alquran, lafaz maṭar ditemukan dalam 9 surah dengan 6
bentuk variasi lafaz, sedangkan lafaz ghaith ditemukan dalam 5 surah serta
memiliki 6 bentuk variasi lafaz. Lafaz maṭar dan ghaith memiliki makna yang
sama yaitu hujan, akan tetapi konteks ayat dan penafsiranya berbeda. Lafaz maṭar
lebih menunjukkan kepada hujan azab, hukuman, atau bala. Sedangkan lafaz
ghaith menunjukkan kepada hujan rahmat atau pertolongan dari Allah. Hikmah
kemukjizatan lafaz dalam Alquran terletak pada aspek bahasanya yang bagus,
keteraturan bunyinya yang indah, lafaz-lafaznya yang memenuhi setiap makna
pada tempatnya, dan dalam sifatnya yang dapat memuaskan akal dan
menyenangkan perasaan.
Pembimbing II : Nuraini, S.Ag, M.Ag
Pembimbing I : Dr. Abd. Wahid, S.Ag, M.Ag
Prodi : Ilmu Al-Qurān dan Tafsir
Tebal Skripsi : 91 Halaman
NIM : 140303050
Nama : Cut Widya Audina
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI DAN SINGKATAN
A. TRANSLITERASI
Transliterasi arab – latin yang digunakan dalam penulisan skripsi ini,
secara umum berpedoman kepada transliterasi ‘Ali Audah dengan keterangan
sebagai berikut:
Arab Transliterasi Arab Transliterasi
Ṭ (titik di bawah) ط Tidak disimbolkan ا
Ẓ (titik di bawah) ظ B ب
‘ ع T ت
Gh غ TH ث
F ف J ج
Q ق Ḥ (titik di bawah) ح
K ك Kh خ
L ل D د
M م Dh ذ
N ن R ر
W و Z ز
H ه S س
ʼ ء Sy ش
ix
Y ي Ṣ (titik di bawah) ص
Ḍ (titik di bawah) ض
Catatan :
1. Vokal Tunggal
--------- (fathah) = a misalnya, حديث ditulis hadatha
--------- (kasrah) = i misalnya, قيل ditulis qila
--------- (dammah) = u misalnya, روي ditulis ruwiya
2. Vocal Rangkap
ditulis Hurayrah هريرة ,ay, misalnya = (fathah dan ya) (ي)
ditulis tawhid توحيد ,aw, misalnya = (fathah dan waw) (و)
3. Vocal Panjang (maddah)
ā, (a dengan garis di atas) = (fathah dan alif) (ا)
ī, (i dengan garis di atas) = (kasrah dan ya) (ي)
ū, (u dengan garis di atas) = (dammah dan waw) (و)
Misalnya : ( برهان,توفيق ,معقول ) ditulis burhān, tawfīq, ma’qū
4. Ta’Marbutah (ة)
Ta’Marbutah hidup atau mendapat harakat fathah, kasrah dan dammah,
transliterasinya adalah (t), misalnya ( الفلسفة الأولى ) = al-falsafat al-ūlā.
Sementara ta’marbutah mati atau mendapat harakat sukun, transliterasinya
adalah (h), misalnya: ( تهافت الفلاسفة,دليل الاناية ,مناهج الادلة ) ditulis Tahāfut al-
Falāsifah, Dalīl al-‘ināyah, Manāhij al-Adilah
5. Syaddah (tasydid)
Syaddah yang dalam tulis Arab dilambangkan dengan lambang ( ),
dalam transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yakni yang sama
dengan huruf yang mendapat syaddah, misalnya (إسلامية) ditulis islamiyyah
6. Kata sandang dalam sistem tulisan arab dilambangkan dengan huruf ال
transliterasinya adalah al, misalnya: الكشف,النقس ditulis al-kasyf, al-nafs
ix
7. Hamzah (ء)
Untuk hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata ditransliterasikan
dengan (ʼ), misalnya: ملائكة ditulis mala’ikah, جزئ ditulis juz’i. Adapun
hamzah yang terletak di awal kata, tidak dilambangkan karena dalam
bahasa Arab, ia menjadi alif, misalnya: اختراع ditulis ikhtira’
Modifikasi
1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis, seperti biasa tanpa transliterasi,
seperti Hasbi Ash Shuddieqy. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai
kaidah penerjemahan. Contoh: Mahmud Syaltut.
2. Nama Negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti
Damaskus, bukan Dimasyq; Kairo, bukan Qahirah dan sebagainya.
B. SINGKATAN
swt. = Subhanahu wa ta’ala
saw. = Salallahu ‘alaihi wa sallam
QS. = Quran Surah
ra. =Raḍiyallahu ‘Anhu
HR. = Hadith Riwayat
as. = ‘Alaihi Wassalam
t.tp = Tanpa tempat menerbit
An. = Al
Dkk. = dan kawan-kawan
Cet. = Cetakan
Vol. = Volume
ix
Terjm. = Terjemahan
M. = Masehi
t.p = Tanpa penerbit
x
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kehadiran Allah swt. yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Atas Rahmat dan karunia-Nya penulis telah menyelesaikan penelitian
dan penulisan skripsi ini dengan judul “Lafaz Maṭar dan Ghaith dalam Alquran
Kajian Aspek Muradif”. Shalawat dan salam kepada junjungan alam, Nabi
Muhammad saw. yang telah membawa umat manusia dari alam jahiliah ke alam
yang penuh ilmu pengetahuan.
Penulisan ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada keluarga tercinta, Ayahanda T.
Syahminan dan Ibunda Nilawati yang telah membesarkan dan mendidik dengan
penuh kasih sayang, memberi perhatian dan dorongan serta doa yang tiada
hentinya sehingga penulis mampu menyelesaikan studi hingga jenjang sarjana.
Kemudian kepada adik-adikku yang tercinta yang tidak pernah putus mendoakan
dan memberi motivasi untuk penulis terus berjuang.
Selanjutnya penulis mengucapkan ribuan terima kasih kepada Bapak Dr.
Abd. Wahid, S.Ag, M.Ag selaku dosen pembimbing I, dan Ibu Nuraini S.Ag
M.Ag selaku pembimbing II yang telah berkenan membimbing dengan kesabaran,
keikhlasan dan kebijaksanaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk
memberikan pengarahan-pengarahan kepada penulis dari awal sehingga
selesainya skripsi ini.
xi
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Damanhuri Basyir,
M.Ag selaku penasihat akademik (PA) dari semester pertama sampai terakhir
menyelesaikan kuliah, juga kepada Rektor, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, serta kepada semua dosen dan asisten dosen yang telah
memberikan ilmu tanpa pamrih kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studi
ini. Tidak dilupakan juga kepada seluruh staf di lingkungan akademik UIN-Ar-
Raniry dan karyawan perpustakaan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini terdapat kekurangan, oleh
sebab itu saran dan kritik kontruktif yang bertujuan untuk penyempurnaan sangat
penulis harapkan. Skripsi ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari
beberapa pihak yang tidak mungkin dapat disebutkan satu persatu.
Terakhir, ucapan terima kasih juga buat teman-teman seperjuangan,
teristimewa kepada teman-teman mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir tahun
angkatan 2014 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu penulis baik berupa nasehat, motivasi, dorongan maupun pikiran.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini di masa yang akan datang.
Semoga Allah SWT meridhai dan selalu memberkati kehidupan kita semua.
Cut Widya Audina
Banda Aceh, 18 Januari 2019Penulis,
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ ii
PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA/PENGUJI ......................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Rumusan Masalah...................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 6
E. Kajian Pustaka ........................................................................... 6
F. Metode Penelitian ...................................................................... 7
G. Sistematika Pembahasan............................................................ 9
BAB II KAIDAH-KAIDAH ILMU MURADIF DALAM MEMAHAMI
LAFAZ DALAM AL-QURĀN ..................................................... 15
A. Pengertian Ilmu Muradif ........................................................... 15
B. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Muradif ................................. 17
C. Kaidah-Kaidah Ilmu Muradif .................................................... 19
D. Fungsi Ilmu Muradif .................................................................. 27
BAB III KAJIAN ASPEK MURADIF TENTANG LAFAZ MAṬAR
DAN GHAITH DALAM AL-QURĀN ......................................... 42
A. Ayat-Ayat Maṭar dan Ghaith .................................................... 42
B. Kaidah-Kaidah Ilmu Muradif dalam Memahami Lafaz Maṭar
dan Ghaith dalam Alquran ........................................................ 46
C. Pemaknaan Lafaz Maṭar dan Ghaith dalam Alquran di Tinjau
dari Aspek Muradif .................................................................... 49
D. Hikmah Penggunaan Maṭar dan Ghaith dalam Kajian Muradif 68
BAB IV PENUTUP ...................................................................................... 84
A. Kesimpulan ............................................................................. 84
B. Saran ........................................................................................ 85
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 86
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... 88
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah Maha kuasa, dengan kekuasaan-Nya itu, Ia mampu menciptakan
segala sesuatu menurut kehendak-Nya. Allah tidak pernah menciptakan sesuatu
itu dengan sia-sia. Semua ciptaan Allah itu berguna, mempunyai maksud dan
tujuan dengan perhitungan yang sangat teliti dan terinci, sehingga merupakan
sebuah sistem Yang Maha Sempurna. Salah satu ciptaan Allah adalah alam
semesta raya yang semuanya terangkum dalam Alquran.1
Alquran merupakan kitab yang di dalamnya berisi berita dan informasi
yang semuanya terbukti kebenarannya, sehingga dijadikan petunjuk bagi manusia,
sebagai sumber yang hakiki agar selamat dunia dan akhirat. Sebagaimana firman
Allah dalam surat al-Isra’ ayat 9:
Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih
lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang
mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. (QS.
al-Isra’: 9)
Sebagai petunjuk, Alquran memberikan informasi yang bukan saja tentang
masalah keimanan dan norma-norma, tetapi juga menjelaskan segala fenomena
yang terjadi di alam.2 Kajian fenomena dalam Alquran ini menjadi sesuatu yang
menarik untuk dikaji lebih lanjut sehingga akan menambah khasanah informasi
keagamaan dan pengetahuan serta dapat mempertebal iman manusia kepada Allah
swt.
Melalui fenomena alam itu manusia dapat melihat bukti keesaan dan
kekuasaan Allah swt, merasakan kelemahan dan ketidakberdayaan diri, serta
merasakan betapa ia memerlukan bimbingan dan inayah Allah.3
1Eny Yulianti dkk, Kasih Sayang Allah dalam Air Hujan (Malang: UIN Malang Press,
2008), hlm. xv. 2Eny Yulianti dkk, Kasih Sayang Allah dalam Air Hujan…, hlm. xvi.
b. Kalau tidak disertai dengan indikatornya, maka tujuan memahamkan pesan
pembicara (Allah) kepada mitra bicara (manusia) tidak akan tercapai.
Sehingga kesimpulannya tidak ada muradif dalam Alquran.
Pendapat ini tidak diterima oleh mayoritas ulama Alquran. Bukankah
Alquran pada dasarnya menggunakan bahasa Arab, sedang bahasa Arab
menggunakan kedua macam lafaz itu sehingga tidak heran jika Alquran pun
menggunakannya.9
Sebagian ahli menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga
di antara beberapa lafaz dapat dikategorikan sebagai tarāduf:
1. Memiliki kesamaan makna secara utuh namun syarat ini sangat sulit
terpenuhi sehingga sebagian ahli memberikan keringanan kesamaan makna
yang harus dipenuhi hanyalah dari sisi ketentuan penggunaan bahasa
meskipun asal muasal penggunaan kata tersebut memiliki makna yang
berbeda.
2. Muncul dalam lingkungan yang sama, artinya kata-kata tersebut bukan
beberapa kata yang memiliki makna yang sama tetapi digunakan oleh dialek
atau kabilah yang sama. Jadi dua kata yang bermakna sama tetapi muncul
atau digunakan oleh kabilah yang berbeda tidak dihitung sebagai tarāduf.
3. Muncul pada waktu peridoe yang sama, jadi penelitian tentang taraduf
mengharuskan seseorang untuk mencari tau masa dimana kata tersebut
muncul. Karena dua kata yang memiliki makna yang sama tetapi salah
satunya muncul pada masa periode Arab jahiliyah, sedangkan satu lagi
muncul pada masa Abbasiyah tidak dapat dikategorikan sebagai tarāduf.
4. Salah satu di antara dua kata tersebut bukan merupakan modifikasi atau
perkembangan dari kata yang lain.10
Berdasarkan kaidah di atas, penulis membuat analisis terhadap lafaz maṭar
dan ghaith dengan kesimpulan sebagai berikut:
1. Dua kata ini memiliki kesamaan yaitu digunakan untuk menunjukkan hujan
atau turunnya air dari langit, tetapi keduanya memiliki perbedaan. Sehingga
dua kata ini sudah di anggap memenuhi syarat tarāduf jika
mempertimbangkan adanya kesamaan penggunaan untuk menunjukkan
gagasan tertentu meskipun keduanya memiliki perbedaan.
2. Penulis tidak menemukan detail waktu kemunculan dan dialeg yang
menggunakan dua lafaz tersebut, jadi syarat ini terhadap kata maṭar dan
ghaith masih membutuhkan penelitian yang lebih lanjut.
9M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir…, hlm. 110.
10Muhammad Nuruddin al-Munajjad, al-Taraduf fi Alquran Al Karim, (Beirut: Dar Al
Fikr, 1997), hlm. 35.
49
3. Lafaz maṭar dan ghaith tersusun dari huruf yang jauh berbeda, jadi salah satu
keduanya bukan sebagai modifikasi atau perkembangan dari kata yang lain.
C. Pemaknaan Lafaz Maṭar dan Ghaith dalam Alquran ditinjau dari Aspek
Ilmu Muradif
1. Pemaknaan Ayat yang Mengandung Lafaz Maṭar
a. QS. al-Nisa’: 102
Dan apabila engkau berada ditengah-tengah mereka lalu engkau hendak
melaksanakan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan
dari mereka berdiri besertamu dan menyandang senjata mereka, kemudian
apabila mereka sujud, maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu
dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu
hendaklah mereka shalat denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga
dan menyandang senjata mereka. Orang-orang kafir ingin agar kamu
lengah terhadap senjata kamu dan harta benda kamu, lalu mereka
menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atas kamu
meletakkan senjata-senjata kamu jika kamu mendapatkan sesuatu
kesusahan seperti karena hujan atau karena kamu sakit; dan siap siagalah.
Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi
orang-orang kafir. (QS. al-Nisa’: 102)
Ayat sebelumnya telah dijelaskan tentang mengqashar shalat ketika sedang
dalam perjalanan, baik itu perjalanan yang diikuti oleh musuh (gawat) atau juga
dalam keadaan aman. Kemudian pada ayat ini dijelaskan pula tata cara
melaksanakan shalat tersebut, namun pada lafaz maṭarin di atas M. Quraish
Shihab dalam tafsirnya tidak menjelaskan panjang lebar, hanya saja dikatakan
bahwa hujan tersebut adalah alasan untuk meletakkan senjata-senjata ketika
50
mendapat kesusahan dalam menjalankan shalat, karena maṭarin/hujan dapat
merusak senjata.11
Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya Fi Zhilalil Quran, ini menjelaskan
tentang kehati-hatian dan kewaspadaan, mobilisasi kejiwaan dan persiapan
persenjataan yang terus-menerus ini, bukan berarti memberikan kemalaratan dan
penderitaan kepada kaum muslimin, karena mereka hanya melakukan semua itu
sesuai dengan kemampuannya.12
Kemudian menyandang senjata dalam kondisi seperti ini sangat berat dan
tidak berfaedah, dan cukuplah bersiap siaga saja dengan mengharapkan
pertolongan Allah swt.
Barangkali kehati-hatian, kesadaran, dan kewaspadaan ini merupakan alat
dan sarana untuk merealisasikan azab menghinakan yang telah disiapkan Allah
swt. bagi orang-orang kafir itu, sehingga orang-orang mungkin menjadi kelambu
kodrat-Nya dan sarana masyiah-Nya, yaitu ketenangan bersama kewaspadaan dan
kemenangan terhadap kaum yang Allah swt. telah mempersiapkan bagi mereka
azab yang menghinakan.
Demikianlah Alquran mengarahkan mereka untuk berhubungan dengan
Allah swt. dalam semua situasi dan di semua tempat, di samping menunaikan
shalat. Ini adalah persiapan terbesar dan ini pulalah senjata yang tidak pernah
rusak.
b. QS. al-A’raf: 84
Dan kami turunkan kepada mereka hujan (batu); Maka perhatikanlah
bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu. (QS. al-A’raf: 84)
Ayat ini mempunyai hubungan dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan
tentang keadaaan keselamatan Nabi Luth as. dan pengikut-pengikut beliau dan
juga mengisyaratkan akan jatuhnya siksa bagi yang membangkang. Kemudian
pada ayat ini menjelaskan jenis siksaan yang menimpa mereka.
Menurut M. Quraish Shihab menjelaskan dalam kitab tafsirnya, yang di
maksud dengan Dan Kami hujani yakni kami turunkan dari langit sehingga
11
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 2, hlm. 568. 12
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), Jilid 3,
hlm. 67.
51
mengenai bagian atas mereka, bukan di samping mereka hujan batu yang
akhirnya membinasakan mereka maka lihatlah bagaimana kesudahan para
pendurhaka termasuk mereka itu.13
Firman-Nya: (عليهم) ‘alaihim/atas mereka mengisyaratkan bahwa siksa
tersebut tidak dapat mereka elakkan, karena ia datang dari atas. Biasanya yang
berada di atas mengontrol dan menguasai secara penuh yang berada di bawah.14
Sementara ulama memahami dari penggunaan bentuk nakirah terhadap
kata ( طرام ) maṭaran/hujan sebagai isyarat bahwa hujan yang dimaksud adalah
sesuatu yang luar biasa dan ajaib. Hujan tersebut dijelaskan oleh QS. Hud: 82-83:
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan (negeri kaum Luth itu)
yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka bertubi-
tubi dengan batu dari tanah yang terbakar, yang diberi tanda oleh
Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zhalim.15
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilāl Al-Qurān, Mereka
ditimpa hujan yang sangat lebat dan membinasakan disertai dengan angin puting
beliung, anda lihat hujan yang menenggelamkan ini dan air yang deras untuk
menyucikan bumi dari kotoran yang mereka lakukan di sana, dan untuk
membersihkan lumpur-lumpur kemaksiatan tempat mereka hidup dan mati.16
c. QS. al-Anfal: 32
Dan (ingatlah), ketika mereka berkata: “Ya Allah, jika betul ini adalah
yang haq dari sisi-Mu maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau
datangkanlah kepada kami azab yang pedih. (QS. al-Anfal: 32)
Ayat ini mempunyai hubungan dengan ayat sebelumnya yang mana
mereka tidak mengakui keberadaan Alquran sebagai mukjizat yang nyata. Dan
pada ayat ini dijelaskan bahwa mereka bukan saja melecehkan wahyu yang
diterima Nabi Muhammad saw., bahkan lebih jauh dari itu mereka menantang
Tuhan yang menurunkannya. Ayat ini memerintahkan juga untuk mengingat
13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 5, hlm. 166. 14
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 5, hlm. 166. 15
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 5, hlm. 166. 16
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 4, hlm. 348.
52
ketika mereka yakni orang-orang musyrik berkata guna mengelabui orang lain
seakan-akan apa yang mereka ucapkan tentang Alquran yang disinggung ayat
yang lalu memang benar dan sesuai dengan keyakinan mereka. Ketika mereka
berkata: “Ya Allah, jika betul ini yakni Alquran yang disampaikan Muhammad itu
adalah yang haq yakni benar dari sisi-Mu, maka hujanilah kami dengan batu
yang benar-benar turun, atau batu-batu sebanyak hujan dari langit, atau kalau
siksa itu bukan berupa batu, maka datangkanlah kepada kami selain batu, apa saja
yang berupa azab yang pedih.17
Thahir Ibnu ‘Asyur memahami ucapan kaum musyrikin ini sebagai salah
satu bentuk sumpah. Seakan-akan mereka berkata: “Kami bersumpah, ini bukan
wahyu Ilahi, kalau kami berbohong dalam ucapan ini, maka biarlah Allah swt.
menjatuhkan siksa kepada kami berupa batu-batu dari langit.”18
Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah, Lafaz فأمطر di sini
dijelaskan bahwa mereka memohon kepada Allah swt. agar diturunkan azab yang
pedih berupa hujan batu yang jatuh dari langit sebagaimana dahulu siksa yang
pernah diturunkan melalui burung-burung kepada tentara bergajah pimpinan
Abrahah yaitu berupa batu-batu sijjil (baca Surah al-Fil).19
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilāl Al-Qurān, ayat di atas
adalah doa dari kaum musyrikin tentang kebenaran Alquran, dan ini adalah doa
yang aneh, yang menunjukkan betapa keras kepala mereka. Karena memilih
kehancuran dan kebinasaan dari pada tunduk kepada kebenaran, meskipun sudah
jelas itu adalah kebenaran. Fitrah yang sehat ketika ragu-ragu terhadap sesuatu. Ia
akan berdoa kepada Allah swt. agar membukakan kepadanya jalan kebenaran,
menunjukkan kepadanya, dengan tanpa merasa hina dan rendah. Akan tetapi,
ketika fitrah sudah dirusak oleh kesombongan yang luar biasa, yang
mendorongnya berbuat dosa, maka ia lebih memilih binasa atau ditimpa siksa dari
pada tunduk kepada kebenaran setelah disingkapkannya kepadanya dengan sangat
jelas dan tiada meragukan lagi. Nah, seperti inilah kekeraskepalaan kaum
musyrikin Mekah di dalam menghadapi dakwah Rasulullah. Akan tetpai, dakwah
inilah pada akhirnya yang menang di dalam menghadapi kebandelan dan
kekeraskepalaan yang amat sangat ini.20
Kekeraskepalaan dan klaim-klaim ini ditanggapi bahwa meskipun mereka
layak ditimpa hujan batu dari langit dan azab yang pedih sebagaimana
permohonan mereka kalau Alquran itu benar dari sisi-Nya, Allah swt. tidak
17
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 5, hlm. 433. 18
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 5, hlm. 434. 19
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 5, hlm. 434. 20
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 5, hlm. 183.
53
menghukum dengan memusnahkan mereka secara total sebagaimana yang
ditimpakan kepada orang-orang terdahulu yang mendustakan ayat-ayat Allah swt.
Hal ini dikarenakan Rasulullah saw. ada di antara mereka dan senantiasa menyeru
kepada petunjuk. Sedangkan, Allah tidak akan memusnahkan mereka sampai
keakar-akarnya kalau Rasul saw. masih ada di antara mereka, sebagaimana Dia
juga tidak mengazab mereka dengan azab yang pedih itu atas kemaksiatan mereka
kalau mereka memohon ampun (bertaubat) kepada-Nya.
d. QS. al-Hud: 82
Maka tatkala datang ketentuan Kami, Kami jadikan yang di atasnya ke
bawahnya dan Kami hujani mereka dengan sijjil dengan bertubi-tubi. (QS.
al-Hud: 82)
Ayat ini mempunyai hubungan dengan ayat sebelumnya yang
menceritakan tentang keadaan kaum nabi Luth as. yang durhaka dan melanggar
hukum Allah swt. namun pada ayat ini dijelaskan keadaan ketika Nabi Luth as.
bersama pengikut-pengikutnya (yang tidak melanggar syariat) meninggalkan kota
Sodom, yang mana kota Sodom itu ialah tempat nabi Luth as. tinggal bersama
istrinya, disitu pula banyak kaumnya yang melanggar syariat. Kemudian ayat ini
menjelaskan tentang kabar yang disampaikan oleh malaikat kepada nabi Luth as.
untuk meninggalkan kota Sodom sebelum datangnya waktu subuh. Karna para
malaikat telah memperingatkan, akan datang siksaan untuk kaum yang durhaka
pada waktu subuh.
Dalam tafsir al-Mishbah karangan M. Quraish Shihab, dijelaskan maka
tatkala datang ketentuan Kami, yakni ketetapan Allah swt. ntuk menjatuhkan
siksa-Nya, Kami jadikan negeri kaum Luth as. itu yang di atasnya ke bawahnya,
yakni Kami hancurkan sehingga menjadi jungkir balik dan Kami hujani mereka
dengan batu sijjil, yakni batu bercampur tanah, atau tanah bercampur air lalu
membeku dan mengeras menjadi batu, yang menimpa mereka dengan bertubi-
tubi. Batu-batu itu diberi tanda dari sisi Tuhanmu, serta dipersiapkan secara
khusus untuk menjadi sarana penyiksaan dan siksaan itu tiadalah jauh dari
orang-orang zalim yang mantap kezalimannya, baik yang hidup pada masa itu
maupunn yang serupa dengan mereka di masa datang.21
Kata سجيل sijjil menurut al-Biqai mengandung makna ketinggian. Atas
dasar itu, ulama ini memahami batu-batu tersebut dilemparkan dari tempat yang
tinggi. Dan dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan tiga kata yang
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 6, hlm. 316.
54
menunjukkan kehadiran siksa dari tempat tinggi. Kata أمطرناala/di atas dan kata‘ على amṭarna/kami hujani serta kata سجيل sijjil/itu. Dan karena kata itu pula, tulisnya,
ayat tersebut dilanjutkan bahwa kendati batu-batu itu demikian jauh sumbernya,
namun ia tidak jauh atau sulit menjangkau orang-orang zalim. Thabathaba’i,
ulama yang berasal dari Persia, Iran, mendukung pendapat yang menyatakan
bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Persia yang mengandung makna batu dan
tanah yang basah.22
Kata منضود mandhūd pada mulanya berarti menumpuk. Yang dimaksud di
sini adalah berturut-turut, bertubi-tubi, tanpa selang waktu.23
Ada juga yang memahami penggalan terakhir ayat ini dalam arti dan ia itu,
yakni negeri-negeri tempat jatuhnya batu-batu sijjil itu tiadalah jauh dari orang-
orang zalim, yakni kaum musyrikin Mekah, karena mereka seringkali melaluinya
dalam perjalanan mereka menuju Syam. Dalam QS. ash-Shafat: 137-138,
dinyatakan bahwa:
Dan sesungguhnya kamu (hai penduduk Mekah) benar-benar melalui
(peninggalan-peninggalan) mereka di waktu pagi dan malam, apakah
kamu tidak berakal!/mengambil pelajaran?
Boleh jadi apa yang menimpa kaum Luth as. dan peristiwa-peristiwa lain
itu merupakan gempa bumi atau letusan gunung merapi yang ditetapkan Allah
swt. bertepatan dengan kedurhakaan para pembangkang. Persesuaian waktu itu
adalah untuk menyelaraskan antara ilmu-Nya yang qadim dengan setiap kasus
seperti kasus Nabi Luth as. Ini. Boleh jadi juga ia adalah pengaturan khusus dari
Allah swt dalam rangka membinasakan kaum Luth as. Demikian lebih kurang
komentar Sayyid Quthub mengakiri kelompok ayat-ayat ini.24
Menurut tafsir Fi Zhilāl Al-Qurān karangan Sayyid Quthb, ayat ini
menggambarkan tentang kehancuran total yang membalik segala sesuatu,
mengubah semua tanda dan menghapuskannya. Pembalikan negeri yang di atas
menjadi di bawah ini serupa dengan keterbalikan fitrah mereka dari kelas manusia
ke peringkat binatang, bahkan lebih rendah daripada binatang. Karena, binatang
masih setia mengikuti batas-batas fitrah sebagai binatang.25
“…Dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar.”
Batu yang dilapisi dengan tanah yang sesuai dengan kedudukan mereka. “…Yang
22
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 6, hlm. 317. 23
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 6, hlm. 317. 24
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 6, hlm. 317. 25
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 6, hlm. 263.
55
bertubi-tubi.” Yang berkali-kali dan bertumpuk-tumpuk, yang sebagian
menumpuki sebagiannya.
Dan batu-batu ini “diberi tanda oleh Tuhanmu”, sebagaimana tanda pada
binatang. Yakni, dikembangkan terus. Seakan-akan batu ini dapat berkembang
dan bertambah banyak, pada saat diperlukan. Ini merupakan gambaran yang
mengagumkan yang bayang-bayangnya menyentuh perasaan, tetapi sulit
diungkapkan penafsirannya.26
e. QS. al-Hijr: 74
Maka Kami jadikan yang di atasnya ke bawahnya dan Kami hujani mereka
dengan (batu) sijjil. (QS. al-Hijr: 74)
Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Mishbah, bunyi ayat فجعلنا ,faja’alna ‘alaiha safilaha / Kami jadikan yang di atasnya ke bawahnya عاليهاسافلها
di samping memberi gambaran tentang kehancuran total, juga mengesankan
persamaan sanksi itu dengan kedurhakaan mereka. Bukankah mereka juga
memutar balikkan fitnah. Seharusnya pelampiasan syahwat dilakukan dengan
lawan seks, tetapi mereka membaliknya menjadi homoseks. Seharusnya ia
dilakukan dengan penuh kesucian, tetapi mereka menjungkir balikkan dengan
melakukannya penuh kekotoran dan kekejian. Seharusnya ia tidak dibicarakan
secara terbuka, tidak dilakukan di tempat umum, tetapi mereka
menjungkirbalikkannya dengan membicarakan di tempat-tempat terbuka dan
melakukannya di tempat umum. Demikian sanksi sesuai dengan kesalahan.27
Kata سجيل sijjil menurut al-Biqai mengandung makna ketinggian. Atas
dasar itu, ulama ini memahami batu-batu tersebut dilemparkan dari tempat yang
tinggi.28
Thabathaba’i juga menyatakan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa
Persia yang mengandung makna batu dan tanah yang basah.29
Boleh jadi apa yang menimpa kaum Luth as. itu merupakan gempa bumi
atau letusan gunung merapi yang ditetapkan Allah swt. bertepatan dengan
26
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 6, hlm. 263. 27
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 7, hlm. 153. 28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 7, hlm. 153. 29
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 7, hlm. 153.
56
kedurhakaan para pembangkang. Persesuaian waktu itu adalah untuk
menyelaraskan antara ilmu-Nya yang Qadim dengan setiap kasus seperti kasus
Nabi Luth as. ini. Boleh jadi juga ia adalah pengaturan khusus dari Allah swt.
dalam rangka membinasakan kaum Luth as. Demikian lebih kurang komentar
Sayyid Quthub.30
Sayyid Quthb mengatakan, kota Luth as diteggelamkan dengan kejadian
seperti gempa bumi atau letusan gunung merapi. Kadangkala disertai dengan
letusan yang menerbangkan batu-batu bercampur kerikil dan debu, lalu kota Luth
as. tenggelam total ke perut bumi. Ada yang mengatakan bahwa danau Luth as.
terbentuk setelah kejadian ini. Yakni, setelah kaum Amurah dan kaum Sadum
tenggelam ke perut bumi, tempat mereka longsor ke dalam bumi dan air
memenuhi bekas lokasinya. Tetapi, kita tidak mereka-reka bahwa apa yang terjadi
adalah gempa bumi dan letusan gunung sebagaimana yang sering terjadi tiap
waktu. Karena, metodologi iman yang selalu kami galakkan dalam kitab azh-
Zhilal ini sangat jauh dari usaha pemahaman seperti ini.31
Sesungguhnya manusia meyakini seyakin-yakinnya bahwa segala
fenomena alam terjadi sesuai dengan hukum-hukum Allah swt. yang
ditetapkannya atas alam ini. Tetapi, setiap fenomena dan setiap kejadian dalam
alam semesta ini tidaklah terjadi dengan pasti. Namun, terjadi sesuai dengan
ketentuan khusus yang berkaitan dengannya, tanpa ada pertentangan antara
kepastian hukum dan berlakunya kehendak Allah swt. terhadap ketentuan khusus
pada setiap kejadian.32
Demikian pula manusia harus meyakini seyakin-yakinnya bahwa Allah
swt. dalam kondisi-kondisi tertentu memberlakukan ketentuan-ketentuan khusus
berkaitan dengan kejadian-kejadian khusus dengan tujuan dan maksud tertentu.
Bukanlah suatu yang pasti bahwa kejadian yang menghancurkan kota Luth as.
adalah gempa bumi dan letusan gunung yang biasa. Karena kadangkala Allah swt.
berkehendak menurunkan apa yang dikehendaki-Nya kepada mereka, pada waktu,
bentuk, dan sesuai dengan kadar yang dikehendaki-Nya.
Kota Luth as. terletak di jalan antara Hijaz dan Syam yang dilalui oleh
manusia. Dalam kisahnya terdapat pelajaran-pelajaran bagi orang-orang yang
cerdas dan berpikir. Mereka akan menemukan ibrah dalam kisah kehancuran
generasi terdahulu. Namun demikian, bukti-bukti ini tidak akan bermanfaat
30
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 7, hlm. 153. 31
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 7, hlm. 151. 32
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 7, hlm. 151.
57
kecuali bagi hati-hati yang beriman, terbuka dan siap untuk belajar, bertadabur
dan menuju keyakinan.33
f. QS. al-Furqan: 40
Dan sungguh mereka telah melalui negeri yang dihujani dengan hujan
yang sejelek-jeleknya. Maka apakah mereka tidak menyaksikannya?;
bahkan mereka tidak mengharapkan adanya kebangkitan. (QS. al-Furqan:
40)
Setelah menyebut beberapa umat yang lalu yang telah dibinasakan Allah
swt. akibat kedurhakaan mereka, ayat di atas menyebut satu umat lagi yang tidak
asing bagi masyarakat Mekkah, yaitu umat Nabi Luth as. Dengan bersumpah, ayat
di atas mengingatkan semua pihak khususnya para pembangkang bahwa: Dan di
samping umat-umat yang diuraikan sebelum ini, demi Allah swt. sungguh mereka
juga yakni kaum musyrikin Mekah telah melalui negeri hujan yaitu negeri Sadum
dan negeri-negeri sekitarnya tempat pemukiman kaum Nabi Luth as. yang pernah
dihujani dengan hujan yang sejelek-jeleknya yakni bebatuan dari tanah yang
terbakar dan jatuh dari langit bagaikan hujan, sehingga Allah swt.
menjungkirbalikkan perkampungan-perkampungan mereka yang jumlahnya empat
atau lima kampung. Maka apakah mereka buta sehingga tidak menyaksikannya
yakni runtuhan perkampungan itu dalam perjalanan mereka menuju ke Palestina
lalu mengambil pelajaran dari pengalaman kaum itu?; bahkan sebenarnya mereka
tidak buta, bukan juga tidak mengetahui kesudahan buruk kaum-kaum itu tetapi
mereka tidak mengharapkan adanya ganjaran setelah kebangkitan manusia dari
kuburnya, tidak juga menakuti siksa yang terjadi ketika itu, karena mereka tidak
mengakui keniscayaan Kiamat.34
Penggalan akhir ayat ini merupakan penjelasan tentang sebab kedurhakaan
kaum musyrikin Mekah itu, yakni bahwa segala dosa dan pelanggaran mereka
pada hakikatnya disebabkan oleh karena mereka tidak mempercayai hari Kiamat.
Memang siapa yang percaya adanya hari Pembalasan tentu akan berhati-hati dan
selalu mempersiapkan diri dengan amal-amal kebajikan serta menghindari segala
macam dosa.
33
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 7, hlm. 151. 34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 9, hlm. 478.
58
Dalam tafsir Fi Zhilalil Quran dijelaskan kebinasaan kaum Luth, padahal
orang-orang kafir Quraisy sering melihat kampung kaum Luth as. itu di Saddum,
dalam perjalanan musim panas mereka ke Syam. Allah swt. telah membinasakan
kaum Luth as. dengan hujan lava berupa gas dan bebatuan sehingga
membinasakan kampung mereka sehancur-hancurnya.35
Kemudian menjelaskan di akhir penjelasan bahwa hati orang-orang kafir
Quraisy itu tak mengambil pelajaran dan tak terpengaruh dengan hal itu. Karena,
mereka tak menunggu datangnya hari berbangkit, dan tak menanti-nanti hari
pertemuan dengan Allah swt. Hal itulah yang menjadi penyebab kekerasan hati
mereka, dan butanya hati mereka itu. Dari sini lahirlah tindakan-tindakan mereka,
pengingkaran mereka, dan pelecehan mereka terhadap Alquran dan Rasulullah
saw.
g. QS. al-Syu’ara: 173
Dan kami hujani mereka dengan hujan (batu) Maka amat jeleklah hujan
yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu. (QS. al-
Syu’ara: 173)
Ayat ini menceritakan tentang keselamatan Nabi Luth as. Beserta
keluarganya kecuali istrinya. Allah swt. Mengabulkan doa Nabi Luth as. Dia
berfirman: Maka Kami selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali
seorang perempuan tua yaitu salah seorang istri Nabi Luth as. Yang termasuk
dalam golongan yang tinggal tidak keluar meninggalkan kota itu, sehingga ia
akan tertimpa siksa yang segera datang. Kemudian yang lebih penting untuk
diketahui adalah ketetapan Kami, yaitu Kami binasakan yang lain yakni selain
Luth as. dan keluarganya. Dan setelah tiba waktu jatuhnya kebinasaan yang Kami
tetapkan itu, Kami hujani mereka dengan hujan batu sijjil yang bertubi-tubi, maka
amat buruklah hujan yang menimpa dengan hujan batu sijjil yang bertubi-tubi,
maka amat buruklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi
peringatan tetapi enggan mengindahkannya itu.36
Sementara ulama memahami dari penggunaan bentuk nakirah/indefinite
terhadap kata (مطرا) maṭaran/hujan sebagai isyarat bahwa hujan dimaksud adalah
35
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 8, hlm. 297. 36
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 10, hlm. 124.
59
sesuatu yang luar biasa dan ajaib.37
Hujan tersebut dijelaskan oleh QS. Hud: 82-
83:
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan (negeri kaum Luth as. itu)
yang di atas menjadi ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka
bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar, yang diberi tanda oleh
Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim. (QS.
Hud: 82-83)
Sementara pakar arkeologi menegaskan bahwa kota Sodom tempat kaum
Nabi Luth as. Dimusnahkan Allah swt. itu, tenggelam di bawah Laut Mati, di
Yordania. Di sekitar laut itu telah ditemukan sisa-sisa banteng, sebagaimana
ditemukan pula tidak jauh dari sana tempat peribadatan kuno. Demikian Sayyid
Quthub.38
Menurut Sayyid Quthb, ada yang berpendapat bahwa negeri mereka
ditenggelamkan dan di atasnya digenangi dengan air, di antaranya adalah negeri
Sadum. Kemungkinan ia sekarang ini berada di bawah Laut Mati di Yordania.
Sebagian ilmuwan geografi mendukung pendapat bahwa Laut Mati menggenangi
kota-kota yang berpenghuni. Para ahli purbakala telah menemukan beberapa
bekas reruntuhan banteng di sekitar Laut Mati itu, dan di sampingnya ada tempat
penyembelihan untuk pengurbanan kepada dewa-dewa.39
h. QS. al-Naml: 58
Dan kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), Maka amat buruklah
hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu. (QS.
al-Naml: 58)
Setelah menjelaskan keselamatan Nabi Luth as. Dan pengikut-pengikut
beliau dan mengisyaratkan jatuhnya siksa bagi yang membangkang, ayat ini
menjelaskan jenis siksaan yang menimpa mereka dengan menyatakan: Dan Kami
39Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 8, hlm. 366.
60
hujani yakni kami turunkan dari langit sehingga mengenai bagian atas mereka,
bukan di samping mereka, hujan batu yang akhirnya membinasakan mereka
semua. Maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi
peringatan itu.40
Kata ( عليهم ) ‘alaihim/atas mereka mengisyaratkan bahwa siksa tersebut
tidak dapat mereka elakkan, karena ia datang dari arah atas. Biasanya yang berada
di atas mengontrol dan menguasai secara penuh yang berada di bawah.41
Sementara ulama memahami dari penggunaan bentuk nakirah/indefinitive
pada kata ( مطرا ) maṭaran/hujan sebagai isyarat bahwa hujan dimaksud adalah
sesuatu yang luar biasa dan ajaib.42
Hujan tersebut dijelaskan oleh QS. Hud: 82-
83:
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan (negeri kaum Luth itu)
yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka bertubi-
tubi dengan batu dari tanah yang terbakar, yang diberi tanda oleh
Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.
Sayyid Quthb mengakhiri tafsirnya tentang kaum Luth as. di sini dengan
menyatakan bahwa: “Tersirat dari pemilihan kata “hujan” untuk menggambarkan
pembinasaan kaum Luth as. itu, hujan yang merupakan air yang menghidupkan
dan menumbuhkan tumbuhan untuk menyerupakannya dengan air kehidupan
yakni nuthfah/sperma yang mereka tempatkan bukan pada tempatnya, dan yang
seharusnya menjadi bahan kehidupan dan kelanjutan generasi.43
Tafsir Sayyid Quthb menyatakan, di sini tidak disebutkan perincian
tentang hujan yang membinasakan itu sebagaimana disebutkan perinciannya di
surah-surah lain. Kami merasa cukup bahasan di sini dengan apa yang disebutkan
dalam redaksi ayat. Tetapi, kami merasakan bahwa pilihan hujan sebagai alat
pemusnah bagi kaum Luth as. itu merupakan balasan setimpal atas penyimpangan
mereka dalam mengeluarkan air mani di tempat yang bukan tempatnya. Padahal,
40
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 10, hlm. 246. 41
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 10, hlm. 246. 42
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 10, hlm. 246. 43
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 10, hlm. 247.
61
hujan itu seharusnya adalah sarana untuk kesuburan dan kehidupan. Demikian
juga air mani itu berguna untuk kehidupan dan berkembang biaknya manusia.
Namun, mereka melakukan penyimpangan seksual dengannya.44
Maka, Allah swt. pun menghukum mereka dengan hujan yang
memusnahkan, bukan yang menghidupkan dan menyuburkan. Allah lebih tahu
tentang maksud firman-Nya serta lebih tahu tentang hukum-hukum dan aturan-
aturan-Nya. Pendapat itu hanya dari pikiran penafsir yang disimpulkan dari
pemahaman atas aturan alam semesta ini.
i. QS. al-Ahqaf: 24
Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke
lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: "Inilah awan yang akan
menurunkan hujan kepada kami". (Bukan!) bahkan Itulah azab yang kamu
minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab
yang pedih. (QS. al-Ahqaf: 24)
Allah swt. membuktikan kebenaran ancaman yang disampaikan oleh Nabi-
Nya Hud as. Angin tebal hitam didatangkan Allah, maka tatkala Allah hendak
membinasakan mereka dengan satu siksa mereka melihatnya yakni siksa yang
diancamkan itu berupa awan yang terbentang di ufuk menuju ke lembah-lembah
yakni tempat kediaman mereka, berkatalah mereka sebagaimana kebiasaan yang
mereka alami jika melihat awan bahwa: “Ini adalah awan yang akan menurunkan
hujan yang membawa rezeki kepada kami.” Nabi Hud as. Menjawab bukan!
Bahkan itulah siksa yang kamu minta supaya disegerakan datangnya. Ia adalah
angin yang mengandung siksa yang pedih. Ia yakni angin itu menghancurkan
dengan sehancur-hancurnya segala sesuatu yang dihadapinya dengan perintah dan
izin Tuhannya.” Maka dengan segera angin itu menghancurkan segala sesuatu dan
jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali bekas-bekas tempat tinggal
mereka. Itu sebagai akibat kedurhakaan mereka. Demikianlah Kami membalas
kaum pendurhaka seperti kaum ‘Ad itu, karena itu wahai para pendurhaka,
berhati-hatilah!45
44
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 8, hlm. 409. 45
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 10, hlm. 100.
62
Ucapan mereka bahwa: Inilah awan yang akan menurunkan hujan,
mengisyaratkan bahwa ketika itu mereka menantikan turunnya hujan. Boleh jadi
karena sebelumnya telah terjadi kemarau yang berkepanjangan, sebagaimana yang
diuraikan dalam QS. Hud. Di sana dikemukakan bahwa Nabi Hud as. Mengajak
mereka bertaubat, agar Allah menurunkan buat mereka hujan yang lebat (baca QS.
Hud: 52)46
Dalam tafsir Fi Zhilalil Quran disebutkan, beberapa riwayat mengatakan
bahwa mereka diterpa panas yang hebat dan tidak kunjung turun hujan, sementara
itu asap panas dan kering menggulung di angkasa. Kemudian Allah swt.
menggiring awan, sehingga mereka bersuka cita, lalu keluar rumah
menyambutnya ke lembah-lembah. Mereka mengira bahwa awan itu membawa
air. “Berkatalah mereka, ‘Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada
kami.”47
Datanglah bantahan atas dugaan mereka dengan realitas, “Bukan! Bahkan,
itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera. Yaitu, angin yang
mengandung azab yang pedih, yang mengahancurkan segala sesuatu dengan
perintah Tuhannya.”48
Itulah angin yang sangat panas lagi lebat sebagaimana
dikemukakan dalam surah lain,
Angin itu tidak membiarkan apa pun yang dilandanya melainkan
dijadikannya seperti serbuk.” (al-Dzariyat: 42)
2. Pemaknaan Ayat yang Mengandung Lafaz Ghaith
a. QS. Yusuf: 49
Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi
hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras. (QS. Yusuf:
49)
Menurut M. Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya al-Mishbah, kata ( ثيغا )
yughath, apabila dipahami dari kata (غيث) ghaith/hujan, maka terjemahannya
adalah diberi hujan. Dan jika ia berasal dari kata (غوث) ghauth yang berarti
46
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 10, hlm. 100. 47
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 10, hlm. 327. 48
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 10, hlm. 327.
63
pertolongan, maka ia berarti perolehan manfaat yang sangat dibutuhkan guna
menampik datangnya mudharat. Dari kata ini lahir istilah istighasah.49
Tafsir Fi Zhilalil Quran, Yakni kemudian akan selesailah tahun-tahun sulit
dan paceklik itu, yang menghabiskan apa yang kamu simpan pada tahun-tahun
banyak penghasilan itu. Tahun-tahun sulit itu akan berakhir. Kemudian di susul
tahun kemakmuran, yang manusia mendapatkan pertolongan dengan tanaman dan
air, dan anggur mereka tumbuh baik dan mereka memerasnya. Demikian pula biji-
bijian, sayur-mayurnya, dan zaitun yang dapat mereka peras minyaknya.
Perlu diperhatikan di sini bahwa tahun kemakmuran ini tidak digambarkan
lagi dalam mimpi sang raja. Karena itu, ini merupakan ilmu laduni yang diajarkan
Allah kepada Yusuf. Maka, pelayan itu menginformasikan hal ini kepada raja dan
masyarakat, tentang akan terlepasnya kembali mereka dari kekeringan dan
kelaparan dengan akan datangnya tahun kemakmuran.
b. QS. al-Kahfi: 29
Dan katakanlah: “ kebenaran datangnya dari Tuhan kamu; maka barang
siapa yang ingin maka hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin
biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang
zalim, neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka
meminta pertolongan niscaya mereka akan diberi minum dengan air
seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. (Itulah) seburuk-
buruk minuman dan tempat istirahat yang paling jelek.
Menurut tafsir al-Mishbah karangan M. Quraish Shihab, lafaz اويستغيث
Tersebut menunjukkan tentang pertolongan dari permintaan mereka, yang mana
jika mereka meminta pertolongan dari panasnya api niscaya mereka akan diberi
minum dengan air seperti cairan besi atau minyak yang keruh yang mendidih
yang menghanguskan muka bila didekatkan ke bibir, apalagi jika menyentuh bibir,
49
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 6, hlm. 274.
64
lebih-lebih bila diteguk. Itulah seburuk-buruk minuman dan tempat istirahat yang
paling jelek.50
c. QS. Luqman: 34
Sesungguhnya Allah, pada sisi-Nya pengetahuan tentang hari Kiamat; dan
Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam
Rahim. Dan tidak satu jiwapun yang dapat mengetahui apa yang akan
diusahakannya besok. Dan tidak satu jiwa dapat mengetahui di bumi mana
dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.
Menurut tafsir M. Quraish Shihab yang berjudul al-Mishbah, kalimat (ينزل yunazzilu al-ghaith/Dia menurunkan hujan, dipahami oleh Ibn ‘Asyur bukan (الغيث
sekadar dalam arti Allah swt. yang menurunkan hujan, tetapi bahwa Dia Yang
Mengetahui kapan turunnya hujan. Pendapat ini dapat didiskusikan. Betapapun
sampai kini, Badan Meteorologi masih menggunakan istilah “Prakiraan Cuaca”,
yakni mereka belum dapat memastikan. Yang mereka lakukan barulah berbentuk
perkiraan, bahkan prakiraan. Penggunaan bentuk mudhari’ atau kata kerja masa
kini dan akan datang, untuk mengisyaratkan bahwa itu terjadi dari saat ke saat,
kapan Allah swt. menetapkannya. Di sisi lain, perlu diingat bahwa hingga kini,
manusia belum mampu membendung hujan bila ia akan turun, terbukti dari
bencana banjir yang terjadi di negara maju sekalipun, dan tidak juga mampu
menurunkan hujan, terbukti masih banyaknya daerah-daerah di seantero dunia
yang mengalami kekeringan. Kendati demikian, kita tidak harus memahami ayat
ini dalam pengertian hanya Allah swt. yang tahu kapan turunnya, apalagi
menyatakan bahwa ini adalah salah satu gaib mutlak, yang tidak mungkin
diketahui manusia. Memang Allah swt. mengetahui turunnya hujan, bisa dipahami
dalam arti kepastian kadar curahnya, dan bahwa yang dimaksud dengan “hanya
Allah yang menurunkannya” adalah Dia yang menetapkan hukum-hukum alam
dan sebab-sebab turunnya serta menciptakan bahan-bahan bagi turunnya hujan.51
50
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 8, hlm. 52.
51
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 11, hlm. 162.
65
Tafsir Fi Zhilalil Quran, Allah swt. menurunkan hujan sesuai dengan
hikmah-Nya, dalam kadar yang diinginkan-Nya, kadangkala manusia mengetahui
lewat pengalaman dan ukuran-ukuran prakiraan cuaca tentang waktu turunnya,
namun manusia sama sekali tidak mampu menciptakan sebab-sebab pembuatan
hujan yang alami itu dan menurunkannya dari langit.52
Nash Alquran menetapkan bahwa Allah swt. yang menurunkan hujan itu
karena Dialah yang menciptakan sebab-sebab alami yang membentuk dan
mengatur turunnya hujan itu. Jadi, kekhususan Allah dalam perkara yang
berkenaan dengan hujan di sini adalah kekhususan dalam kekuasaan, bukan
kekhususan yang berkenaan dengan ilmu, sebagaimana tampak dalam nash ayat.53
Orang-orang yang berprasangka salah telah keliru ketika menganggap
bahwa hujan itu termasuk perkara gaib yang khusus berada dalam lingkup ilmu
Allah semata-mata. Walaupun memang kenyataannya bahwa ilmu Allah semata-
mata yang meliputi segala urusan dan perkara. Karena, hanya ilmu-Nyalah satu-
satunya yang merupakan ilmu yang benar, lengkap, meliputi, dan permanen
selamanya tidak perlu ditambah dan tidak mengalami kekurangan.
d. QS. al-Syura: 28
Dan Dialah yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan
menyebarkan rahmat-Nya, dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha
Terpuji.
Ayat di atas dapat dinilai sebagai kelompok baru. Kalau ayat-ayat
kelompok yang lalu berbicara tentang rezeki, maka di sini yang diuraikan adalah
tentang bukti-bukti keesaan penganugerah rezeki yang beraneka ragam itu, serta
pencampakan wahyu kepada para nabi-Nya. Kendati ini merupakan kelompok
baru, namun hubungannya dengan ayat yang lalu masih cukup jelas. Kita dapat
berkata bahwa ayat yang lalu menguraikan bahwa Allah swt. menurunkan aneka
rezeki menurut kadar yang ditentukan-Nya demi kemaslahatan makhluk. Nah,
ayat di atas merupakan salah satu contoh dari hal itu, yakni kadar dan waktu curah
hujan. Seandainya Allah swt. menurunkan hujan tanpa kadar kemaslahatan
manusia, maka pastilah akan terjadi banjir besar yang mencelakakan makhluk.
Memang, terkadang juga terjadi banjir itu, tetapi seperti dikemukakan sebelum ini,
bahwa disamping sunnatullah atau ketentuan Ilahi menyangkut penentuan kadar
52
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 9, hlm. 187. 53
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 9, hlm. 187.
66
yang bersifat dasar, ada juga ketentuan lainnya yang berkaitan dengan sunnatullah
itu, yaitu tentang ujian Allah bagi manusia serta sunnatullah menyangkut
istijrad.54
Ayat di atas bagaikan menyatakan: Dan Dialah semata-mata yang
menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa menyangkut turunnya dan setelah
pupus pula harapan mereka menghadapi kekeringan dan tanah tandus. Allah
menurunkannya sebagai pertanda kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya dan di
samping menurunkannya, Dia juga mengatur lokasi-lokasi turunnya, guna
menyebarkan rahmat-Nya itu, sehingga manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah
tandus dan lain-lain dapat memperoleh manfaatnya. Itu semua menunjukkan
bahwa hanya Dialah semata-mata Yang Maha Kuasa dan Dialah Yang Maha
Pelindung terhadap semua makhluk-Nya lagi Maha Terpuji segala tindakan dan
kebijaksanaan-Nya.55
Kata (الغيث) al-ghaith terambil dari kata (الغوث) al-ghauth yang berarti
pertolongan. Hujan yang turun setelah lama dinantikan dinamai (غيث) ghaith,
karena ia bagaikan bantuan dan pertolongan bagi yang mmbutuhkannya.56
Kata (رحمته) rahmatihi pada ayat di atas dipahami juga oleh sementara ulama
dalam arti pancaran sinar matahari. Dengan demikian, ayat di atas menjelaskan
dua macam nikmat Allah swt. yang pertama turun hujan, di mana matahari tidak
nampak, dan yang kedua setelah terhentinya hujan memancarlah sinar matahari.
Pendapat ini tidak di dukung oleh kebiasaan Alquran yang menggunakan kata
rahmah dalam arti hujan. Namun demikian ide yang dikandung oleh pendapat itu
cukup baik.57
Sementara ulama berpendapat bahwa ayat ini turun setelah Nabi
Muhammad saw. bermohon kepada Allah untuk meringankan penderitaan kaum
musyrikin Mekah yang mengalami kekeringan dan paceklik selama tujuh tahun
berturut-turut.58
Ayat di atas menegaskan bahwa hanya Allah yang menurunkan hujan.
Yang dimaksud adalah bahwa Dia yang menetapkan hukum-hukum alam bagi
turunnya hujan. Penegasan ini diperlukan, karena sementara orang menduga
bahwa tidak ada campur tangan Allah dalam hal turunnya hujan. Mereka menduga
bahwa itu adalah pengaruh alam semata-mata. Sejak dahulu pun pandangan
54
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 14, hlm. 244. 55
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 14, hlm. 500. 56
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 14, hlm. 500. 57
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 14, hlm. 500. 58
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 14, hlm. 500.
67
semacam itu telah dikenal. Suatu ketika Rasul saw. berkhutbah setelah malamnya
turun hujan, beliau bersabda bahwa Allah berfirman (dalam sebuah hadits Qudsi)
bahwa: “Pagi ini sebagian hamba-Ku ada yang percaya kepada-Ku dan ada juga
yang kafir terhadap-Ku. Siapa yang berkata bahwa kita memperoleh curahan
hujan karena anugerah Allah dan rahmat-Nya, maka dia itulah yang mukmin
kepada-Ku dan kafir terhadap bintang-bintang. Adapun yang berkata bahwa kita
memperoleh curahan hujan karena pengaruh cuaca ini dan itu, maka dia itulah
yang kafir terhadap-Ku dan percaya kepada bintang-bintang” (HR Bukhari
melalui kitab al-Juhani ra.)59
Tafsir Fi Zhilalil Quran, ini juga sentuhan lain yang mengingatkan mereka
akan salah satu segi dari karunia Allah yang di anugerahkan kepada hamba-
hamba-Nya di bumi. Hujan tidak kunjung turun, kemarau melanda, dan mereka
tidak mampu mengupayakan sarana kehidupan yang utama, yaitu air. Mereka
ditimpa putus ada. Kemudian Allah menurunkan air dan mendatangkan hujan. Dia
menebarkan rahmat-Nya, sehingga bumi menjadi hidup, yang kering menjadi
hijau, benih pun tumbuh, tanaman berkembang, udara terasa nyaman, kehidupan
menjadi cerah, aktivitas merambah, kegembiraan memancar, hati mekar, cita-cita
mereka, dan harapan membuncah. Antara keputusasaan dan rahmat hanyalah
sekejap.60
Di sini Alquran memilih kata al-ghaith untuk mengungkapkan makna
hujan. Makna ini memberikan suasana pertolongan, keuntungan, dan bantuan bagi
orang yang dihimpit kesulitaan dan kedukaan. Demikian pula dampak hujan yang
diungkapkan dengan “menyebarkan rahmat-Nya” memberikan suasana keceriaan,
kesuburan, harapan, dan kegembiraan yang muncul karena tumbuhnya tanaman di
bumi dan dekatnya masa panen. Tiada panorama yang menenteramkan indra dan
raga; yang menyentuh kalbu dan rasa selain panorama hujan setelah kekeringan.
Tiada panorama yang dapat melenyapkan kedukaan hati dan keletihan jiwa
kecuali panorama bumi yang menumbuhkan tanaman setelah turunnya hujan;
yang menciptakan kerimbunan setelah kekeringan.61
59
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 14, hlm. 501. 60
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 10, hlm. 205. 61
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran…, Jilid. 10, hlm. 205.
68
e. QS. al-Hadid: 20
Ketahuilah , bahwa sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan
dan kelengahan, serta perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-bangga tentang harta dan anak-anak, ibarat hujan yang
mengagumkan para petani tanam-tanamannya kemudian ia menjadi
kering, lalu engkau lihat dia menguning kemudian ia menjadi hancur dan
di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-
Nya. Dan tidaklah kehidupan dunia kecuali hanyalah kesenangan yang
menipu.
Tafsir al-Mishbah, ayat ini menjelaskan tentang perumpaan keadaan dunia
yang tidak kekal. Dan hujan adalah menjadi salah satu perumpaannya, yakni
ibarat hujan yang tercurah ke atas tanah yang mengagumkan para petani tanam-
tanaman yang ditumbuhkan kemudian setelah berlalu sekian waktu ia yakni
tanaman itu menjadi kering atau tumbuh tinggi dan menguat lalu dengan segera
engkau lihat dia menguning, lalu beberapa saat kemudian ia menjadi hancur.62
Kata hujan disitu menjelaskan tentang kekuasaan Allah dalam menurunkan hujan.
D. Hikmah Makna Maṭar dan Ghaith dalam Kajian Murādif
Beberapa bentuk kemukjizatan dan hikmah yang di sebut dalam Alquran
diantaranya adalah gaya bahasa, Alquran banyak membuat orang Arab saat itu
kagum dan terpesona. Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak manusia
masuk Islam. Bahkan, Umar bin Khaththab pun yang mulanya dikenal sebagai
seseorang yang paling memusuhi Nabi Muhammad saw. Dan bahkan berusaha
untuk membunuhnya, ternyata masuk Islam dan beriman kepada kerasulan
Muhammad hanya karena mendengar petikan ayat-ayat Alquran. Susunan
Alquran tidak dapat disamai dengan karya sebaik apapun.63
Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi hikmah itu terkandung dalam
lafal-lafalnya yang jelas, redaksinya yang bernilai sastra dan susunannya yang
62
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, Vol. 14, hlm. 38. 63