BAB I JOURNAL REVIEW Oro-Dental Health Status and Salivary Characteristics in Children with Chronic Renal Failure B. Seraj, R. Ahmadi, N. Ramezani, A. Mashayekhi, M. Ahmadi Journal of Dentistry, Tehran University of Medical Sciences 2011; 8(3): 146-151 ABSTRAK Anak-anak yang menderita penurunan fungsi ginjal harus dipertimbangkan keadaan rongga mulut dan giginya. Disebutkan bahwa penurunan fungsi ginjal dapat mempengaruhi jaringan keras dan jaringan lunak pada rongga mulut. Pengetahuan tentang prevalensi yang tinggi mengenai kelainan pada gigi, kalkulus, gingival hyperplasia, perubahan komposisi saliva dan respon jaringan terhadap plak dapat membantu dokter dan dokter gigi pada saat merawat pasien dengan gagal ginjal kronis. PENDAHULUAN Gagal ginjal kronis merupakan ketidak mampuan fungsi ginjal dan penurunan glomerular filtration rate yang ireversibel dan terjadi selama bertahun-tahun (1-3). Insidensi gagal ginjal 1
manifestasi pada mulut pada pasien anak dengan gagal ginjal
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
JOURNAL REVIEW
Oro-Dental Health Status and Salivary Characteristics in Children with Chronic Renal Failure
B. Seraj, R. Ahmadi, N. Ramezani, A. Mashayekhi, M. Ahmadi
Journal of Dentistry, Tehran University of Medical Sciences 2011; 8(3): 146-151
ABSTRAK
Anak-anak yang menderita penurunan fungsi ginjal harus dipertimbangkan keadaan
rongga mulut dan giginya. Disebutkan bahwa penurunan fungsi ginjal dapat mempengaruhi
jaringan keras dan jaringan lunak pada rongga mulut. Pengetahuan tentang prevalensi yang
tinggi mengenai kelainan pada gigi, kalkulus, gingival hyperplasia, perubahan komposisi
saliva dan respon jaringan terhadap plak dapat membantu dokter dan dokter gigi pada saat
merawat pasien dengan gagal ginjal kronis.
PENDAHULUAN
Gagal ginjal kronis merupakan ketidak mampuan fungsi ginjal dan penurunan
glomerular filtration rate yang ireversibel dan terjadi selama bertahun-tahun (1-3). Insidensi
gagal ginjal kronis terjadi bervariasi dari 1 negara dengan negara lain yaitu di Amerika 337
kasus/tahun, Australia 90 kasus/tahun, United Kingdom 95 kasus/tahun, dan New Zealand
107 kasus/tahun (4). Sehingga menyebabkan gagal ginjal kronis masalah kesehatan yang
penting. Prevalensi gagal ginjal kronis di Iran 18,9% (5). Penyebab gagal ginjal kronis yang
paling umum adalah hipertensi, diabetes melitus, uropathy, glomerulonefritis kronis, dan
penyakit auto imun. Faktor etiologi yang berperan penting pada ginjal kronis anak-anak
1
adalah penyakit ginjal kongenital seperti malformasi urologis, hereditary nephropathy, dan
penyakit glomerulus (6). Meskipun etiologi gagal ginjal kronis bermacam-macam tetapi
manifestasi klinis dari gagal ginjal kronis hampir sama (3,7). Pada awalnya anak-anak dengan
gagal ginjal kronis konsumsi makanan yang mengandung protein dan kalori dibatasi. Anak-
anak dengan gagal ginjal kronis menunjukan keterlambatan pertumbuhan pada usia muda dan
perkembangan gigi geligi yang terlambat (8). Meningkatnya angka kehidupan pasien yang
mengalami gagal ginjal kronis karena kemajuan pediatric nephrology seperti dialisis dan
transplantasi, serta perubahan metabolik pada gagal ginjal kronis dan pengobatannya, dokter
dan dokter gigi penting untuk mengetahui perubahan oro-dental yang sering terjadi dengan
penyakit ini (2,9). Meskipun metode pencegahan dan pengobatan yang baru dapat
meminimalisasi komplikasi dari gagal ginjal kronis ini (2). namun metode-metode ini juga
menyebabkan pertimbangan dalam kesehatan rongga mulut pasien. Gejala pada rongga mulut
diamati pada 90% pasien ginjal, karena penyakit tersebut dan pengobatannya memiliki
manifestasi pada sistemik dan oro-dental (3,4,10,11). Banyak perubahan yang terjadi seperti
perubahan dalam komposisi saliva (12-14), aliran saliva (14-16), prevalensi kalkulus yang
tinggi (17), dan hipoplasia email (15,18). Kebersihan mulut yang buruk dan uremic stomatitis
dapat mempengaruhi keadaan rongga mulut. Juga terkait dengan hilangnya lamina dura,
fraktur tulang, tumor pada tulang, goyangnya gigi, dan maloklusi (20). Prosedur perawatan
medis pada pasien gagal ginjal kronis dapat ditunda karena status kebersihan mulut yang
buruk dan potensi resiko infeksi pasca operasi yang berbahaya (21). Di samping itu,
meningkatkan kebersihan mulut dan melakukan semua perawatan gigi yang dibutuhkan
sebelum dilakukan hemodialisis atau tranplantasi dapat mencegah endokarditis, septicemia,
dan end arthritis (22).
2
STATUS MUKOSA ORAL
Penurunan erythropoietin menyebabkan anemia sehingga menimbulkan kepucatan
pada mukosa oral. Manifestasi lain seperti petechie, ekimosis, dan pigimentasi mukosa oral
juga ditemukan pada pasien dengan kelainan ginjal. Stomatitis, mukositis, dan glositis
dilaporkan pada pasien gagal ginjal kronis (CRF), yang dapat menyebabkan nyeri dan
inflamasi pada lidah dan mukosa oral. Sensasi rasa yang berubah dan dysgeusia serta infeksi
bakteri dan kandidiasis juga dapat meningkat pada kelainan ginjal (23)
Terdapat beberapa kelaninan periodontal yang dilaporkan pada anak dengan gagal
ginal kronis (8,16,24). Hal ini dapat dihubungkan dengan fakta bahwa imunosupresi dan
uremia berhubungan dengan gagal ginjal kronis (chronic renal failure/ CRF) dan
hemodialisis dapat mengubah respon inflamasi jaringan ginggival terhadap plak bakteri (25).
Selain itu, warna pucat yang disebabkan karena anemia (manifestasi sistemik umum pada
kelainan fungsi ginjal yang menurun) dapat menyamarkan tanda inflamasi pada gingiva (24).
Pembesaran gingiva (gingival enlargement/GE) lebih banyak muncul pada pasien dengan
gagal ginjal kronis (CRF) dibandingkan pada anak normal. Hal tersebut dapat dihubungkan
dengan obat-obatan yang dikonsumsi. Prevalensi pembesaran gusi yang lebih tinggi secara
signifikan dilaporkan pada pasien yang sedang dirawat dengan nifedipine dan atau
cyclosporine A (13%-85%), umumnya digunakan pada pasien transplantasi ginjal (16,24, 26-
29). Walaupun kebersihan mulut yang buruk disebutkan sebagai faktor yang berhubungan
dengan pembesaran gusi, ketika gusi mengalami pembesaran, hanya meningkatkan
kebersihan oral tidak cukup untuk mengurangi pembesaran gusi, terutama pada tipe yang
berat (24,26).
Setelah penegakan diagnosis secara optimal, kebersihan mulut standar ,
ginggivektomi dengan laser, bedah periodontal atau electrosurgery dilakukan (26). Menjaga
kebersihan mulut setelah operasi adalah penting untuk menghindari pembengkakan gusi
3
muncul kembali. Selama 3-4 hari setelah operasi karena konsistensi gingiva, untuk
mengontrol plak dapat menggunakan obat kumur chlorhexidinegluconate 0,2%. Pasien dapat
membersihkan dan menyikat gigi secara normal setelah proses penyembuhan meningkat
(26,24).
Stomatitis uremik adalah salah satu komplikasi oral yang berhubungan dengan uremia
yang muncul pada gagal ginjal kronis (3). Pada kasus akut, tingkat nitrogen urea darah
(BUN) yang meningkat (lebih dari 300 mg/ml) dapat bertindak sebagai faktor etiologi
timbulnya lesi mukosa merah yang ditutupi oleh pseudomembran atau lapisan ulseratif.
Biasanya lesi muncul pada dorsal, ventral, dan lateral lidah, pada retromolar dan mukosa
bukal. Secara histologis, terlihat epithelium hiperplastik dengan hiperkeratinisasi yang tidak
seperti biasanya dan infiltrasi inflamasi minimal. Perawatan gagal ginjal dan peningkatan
kebersihan mulut yang adekuat akan menjadi hal penting untuk keberhasilan penyembuhan
lesi (3, 31-33).
Status Dental
Kerusakan Enamel
Gangguan selama histodiferensiasi, aposisi dan mineralisasi dalam perkembangan
gigi mengakibatkan struktur gigi menjadi abnormal [26]. Disfungsi ginjal sebagai suatu
penyakit sistemik dapat menyebabkan hipoplasia enamel [34,35]. Kerusakan enamel telah
diamati pada 57-83% anak dengan CRF yang sudah memiliki gigi permanent, yang mana
lebih tinggi dari kerusakan enamel yang diamati pada kelompok kontrol (22-33%) [16,25].
Usia pasien, waktu, dan durasi penyakit metabolik sistemik menunjukkan tingkat dan posisi
dari kerusakan [34,36]. Salah satu faktor yang menyebabkan gangguan adalah metabolisme
kalsium-fosfor (Ca-P) yang abnormal, yang menyebabkan peningkatan pada serum Plasma
dan pengurangan plasma Ca [17, 14, 37]. Dengan demikian, kerusakan enamel ditemukan
4
pada pasien anak-anak dengan kekurangan Ca [20]. Di sisi lain, konsentrasi plasma fluoride
mungkin meningkat karena penurunan fungsi ginjal menyebabkan gigi flourosis [35].
Kalkulus dan Pewarnaan
Kalkulus mempunyai peranan penting pada gingivitis dan kejadian penyakit
periodontal [26]. Kalkulus terutama dibentuk oleh kalsifikasi plak, prosedur dimana
keseimbangan antara komponen anorganik dan organik air liur berperan penting [17,26].
Pembentukan kalkulus yang berlebihan jarang terlihat pada anak-anak yang sehat, namun,
anak-anak dengan gagal ginjal kronis menunjukkan tingkat kalkulus yang lebih tinggi [26,
12]. Martins melaporkan prevalensi 86,6% untuk pembentukan kalkulus pada anak-anak CRF
dan 46,6% kelompok untuk kontrol [15]. Pasien yang menderita penyakit ginjal kronis
menunjukkan perubahan dalam saliva berupa PH saliva yang meningkat, penurunan
konsentrasi Mg pada saliva, urea dan fosfor yang lebih tinggi menyebabkan timbulnya Ca-P
dan Ca-Ox dan pembentukan kalkulus [15,17]. Pembentukan kalkulus paling sering terjadi
pada bagian permukaan lingual dari gigi incisivus bawah, karena dekat dengan orifis
submandibula kelenjar, ion Ca dan P bertindak sebagai reservoir. Namun, pembentukan
kalkulus yang berlebihan juga dapat diamati pada bagian lain dalam rongga mulut [17].
Gangguan yang besar pada metabolisme Ca-P pada pasien CRF sering menyebabkan
komplikasi kardiovaskular seperti uremic vasculopathy yang merupakan penyebab utama dari
morbiditas dan mortalitas pada pasien [38,17]. Anak-anak yang menderita CRF mungkin
menunjukkan diskolorisasi gigi karena uremia. Stain atau diskolorisasi juga diamati pada
pasien dengan infeksi ginjal yang diresepkan Tetrasiklin selama hemodialisis. Selain itu,
karena berkurangnya atau penurunan produksi erythropoietin yang disebabkan penyakit
ginjal, anemia yang terjadi pada pasien dengan CRF. Oral suplemen yang mengandung zat
besi diberikan untuk mengobati anemia, dapat menimbulkan pewarnaan gigi (13,3%) dan gigi
5
erupsi terlambat (26,6%). Manifestasi oral seperti ini jarang terjadi pada anak-anak yang
normal [15,20].
Karies gigi
Anak-anak dengan gagal ginjal knonis harus mengurangi konsumsi makanan yang
menghasilkan nitrogen, diet kaya karbohidrat dianjurkan untuk pasien ini (24). Kebersihan
mulut yang buruk, adanya hipoplasia enamel, rendahnya flow rate saliva dan jenis nutrisi
yang kaya karbohidrat, meningkatkan resiko terjadinya karies pada anak-anak yang
mengalami kerusakan ginjal (15, 16).
Disamping data-data yang disebutkan di atas, banyak penelitian telah melaporkan
prevalensi karies yang lebih rendah (8.5%) pada pasien ini dibandingkan dengan kelompok
kontrol (40%) kemungkinan dikarenakan buffer saliva dan pH yang tinggi karena
meningkatnya konsentrasi urea pada saliva dan menurunnya frekuensi isolasi dari
Streptococcus mutans (15, 16, 24). Selain itu, perubahan prosedur produksi asam dari
karbohidrat pada plak diteliti pada pasien penyakit ginjal kronis. Hal ini berhubungan dengan
tingginya konsentrasi urea pada saliva, yang mengarah ke 10 kali lipat kurangnya produksi
ion H+ ion dari plak gigi pada anak-anak dengan gagal ginjal kronis (19).
Temuan radiografi:
Metabolisme vitamin D kebanyakan terganggu pada orang yang mengalami penyakit
ginjal, menyebabkan penyerapan Ca berkurang sehingga terlihat gambaran radiolusens
seperti kista pada rahang, hilangnya lamina dura, osteoporosis (demineralisasi tulang),
kalsifikasi metastatik, brown tumors, hilangnya rongga pulpa, dan predentin tebal sering
terlihat (8, 16, 24, 37, 39,40). Meskipun metabolisme vitamin D berubah, gambaran
6
radiografi menunjukkan sedikit keterlambatan erupsi interdental (2). Disamping itu,
hypocalcemia dapat menyebabkan sindrom short-root pada gigi (36).
Saliva
Saliva memiliki peranan penting dalam ketahanan gigi terhadap karies. Saliva
berfungsi sebagai bahan pelindung gigi, yang menunjang remineralisasi gigi selama dan
setelah serangan karies (26). Penurunan pada fungsi ginjal memperlihatkan efek yang besar
pada komposisi dan flow rate saliva (15,17). Banyak penelitian tentang komposisi saliva pada
pasien dengan penurunan fungsi ginjal memperlihatkan bahwa protein saliva, potassium,
sodium, urea dan konsentrasi kreatinin lebih tinggi pada pasien dengan gagal ginjal kronis,
sehingga menyebabkan peningkatan nilai pH dan kapasitas buffering dari saliva (15, 17, 41).
Urea saliva bertindak sebagai substrat yang dapat menghasilkan ammonia dari plak gigi,
sehingga mencegah penurunan pH ke tingkat yang lebih rendah dimana demineralisasi gigi
terjadi yaitu pada pH ≤ 5.5 (19).
Beberapa peneliti melaporkan adanya penurunan flow rate saliva (yang diberikan
stimulus maupun tidak) pada anak-anak yang menerima perawatan hemodialisis
dibandingkan dengan kelompok kontrol (anak yang sehat) (15,16,24), hal ini diperhitungkan
sebagai faktor resiko terjadinya karies (26). Penurunan laju aliran saliva pada pasien gagal
ginjal kronis mungkin disebabkan karena keterlibatan langsung uremik pada kelenjar saliva
atau pembatasan asupan cairan pada anak-anak ini (42).
7
Bau mulut
Bau mulut umumnya terjadi pada pasien penyakit ginjal. Berkurangnya saliva, adaya
infeksi dan kebersihan mulut yang buruk dapat menimbulkan efek samping. Adanya ureum
karena pembersihan yang kurang baik selama dialisis menjadi penyebab utama bau uremik
yang terjadi pada 71.1% pasien (23).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan: kalkulus dan pembentukan stain/pewarnaan pada gigi, gingival
enlargement, kerusakan tulang dan dry mouth lebih tinggi pada anak-anak dengan gangguan
ginjal.
Saran: Kunjungan perawatan gigi secara berkala dan pengawasan dari orang tua
merupakan hal penting bagi anak dengan gagal ginjal kronis, hal ini untuk meningkatkan
status kesehatan gigi dan mulut, karena tingginya kejadian kerusakan gigi seperti hipoplasia
enamel, kebersihan mulut yang buruk dan perubahan karakteristik saliva pada anak dengan
gagal ginjal kronis. Anak-anak yang menjalani perawatan rutin yang ketat seperti
hemodialisis, memiliki waktu yang lebih sedikit untuk prosedur perawatan ataupun
pencegahan penyakit rongga mulut mereka, sehingga penggabungan layanan perawatan gigi
ke dalam program kesehatan mereka sangat penting.
8
BAB II
GAGAL GINJAL KRONIK
1. Pendahuluan
Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang merah yang terletak di
retroperitoneum setinggi pinggang. Ginjal terdapat sepasang, masing-masing satu di sebelah
kanan dan kiri Ginjal orang dewasa memiliki berat kira-kira 160 g dan memiliki panjang 10-
15 cm (Greenberg and Glick, 2003).
Bagian korona dari ginjal terdiri dari dua yaitu: bagian luar (korteks) dan bagian
dalam (medulla). Struktur yang letaknya dipersimpangan kortikomedular yang meluas ke
hilum ginjal disebut papillae. Setiap papilla tertutup oleh minor calyx yang secara kolektif
berhubungan dengan mayor calyx untuk membentuk pelvis ginjal. Ginjal divaskularisasi oleh
arteri renal yang merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri ini terbagi menjadi beberapa
cabang untuk memvaskularisasi bagian atas, tengah, dan bawah dari ginjal. Vena drainase
ginjal terdiri dari sekumpulan pembuluh darah vena kecil yang menuju ke vena ginjal dan
ekhirnya menuju vena cava inferior (Greenberg and Glick, 2003).
Unit fungsional ginjal adalah nefron, dan masing-masing ginjal terdiri dari kurang
lebih satu juta nefron. Masing-masing nefron terdiri dari kapsul Bowman, yang mengelilingi
oleh glomerulus; tubulus proksimal; lengkung Henle; tubulus distal dan tubulus pengumpul.
Glomerulus merupakan suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol
afferent yang kemudian bersatu menuju arteriol efferent, Berfungsi sebagai tempat filtrasi
sebagian air dan zat yang terlarut dari darah yang melewatinya (Greenberg and Glick, 2003).
9
Gambar ginjal dan unit fungsional ginjal (nefron). Sumber : Textbook of medical physiology 11th ed. 2006.
Fungsi Ginjal
Metabolisme secara terus menerus menghasilkan produk buangan yang bisa meracuni tubuh
apabila tidak dikeluarkan. Peran yang mendasar dari ginjal adalah untuk mengeluarkan
produk sisa ini dan secara homeostatik mengatur volume dan konsentrasi cairan tubuh.
Berikut ini merupakan fungsi ginjal, antara lain (Saladin, 2003):
- Menyaring plasma darah, memisahkan zat yang masih berguna untuk dikembalikan
ke dalam sirkulasi darah, dan mengeluarkan zat yang tidak berguna.
- Meregulasi volume darah serta takanan darah dengan mengeluarkan atau
mempertahanka cairan tubuh yang dibutuhkan.
- Meregulasi osmolaritas cairan tubuh dengan mengontrol pengeluaran jumlah cairan
dan zat yang terlarut.
- Mensekresikan enzim renin, yang mengaktifkan mekanisme hormonal yang
mengontrol tekanan darah dan keseimbangan elektrolit.
10
- Mensekresikan hormone eritopoietin , yang mengontrol jumlah sel darah merah dan
kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah.
- Bekerjasama dengan paru-paru untuk meregulasi PCO2 dan keseimbangan asam-basa
cairan tubuh.
- Berkontribusi terhadap homeostasis kalsium melalui perannya dalam mensintesis
calcitrol (vitamin D).
- Mendetoksifikasi radikal bebas dan obat dengan bantuan peroxisomes.
- Pada keadaan kelaparan, melakukan glukoneogenesis, yaitu mendeaminasi asam
amino (menghilangkan _NH2), mengekskresikan kelompok amino seperti ammonia
(NH3), dan mensintesis glukosa dari sisa molekul yang ada.
2. Definisi
Gagal ginjal diartikan sebagai kerusakan dari nefron, hilangnya fungsi ginjal, dan
adanya akumulasi yang cukup banyak dari sisa produk nitrogen dalam plasma (azotemia).
Kelainan ini dapat berkembang cepat dalam beberapa hari ataupun minggu (akut) atau secara
perlahan selama berbulan-bulan hingga tahun (kronis). Perbedaan yang besar antara gagal
ginjal akut dan kronik yaitu pada gagal ginjal akut memiliki kemungkinan untuk kembali
membaik apabila menerima perawatan yang baik. Sedangkan gagal ginjal kronik perjalanan
penyakitnya progresif, semakin memburuk, dan bersifat irreversible (Bricker, et.al, 1994).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang telah berlangsung selama ≥ 3 bulan,
karena adanya kelainan pada struktur atau fungsi ginjal, disertai atau tidak disertai dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR), dengan manifestasi kelainan patologis atau marker
kerusakan ginjal seperti ketidaknormalan komposisi dari darah atau urin, atau kelainan pada
hasil tes pencitraan. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
11
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m²
(http://www.kidney.org).
3. Klasifikasi
Klasifikasi stadium pada penyakit ginjal kronik ditentukan oleh nilai laju filtrasi
glomerulus (GFR), pada stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai GRF yang lebih
rendah. Klasifikasi ini membagi penyakit gagal ginjal kronik dalam lima stadium. Gagal
ginjal kronik stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan GFR yang masih normal atau
meningkat, stadium 2 adalah kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan,
stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan GFR yang sedang, stadium 4 penurunan GFR
yang berat disertai atau tidak disertai dengan tanda kerusakan ginjal, stadium 5 adalah gagal
ginjal. Tabel 2 memperlihatkan klasifikasi dari penyakit gagal ginjal kronik (NICE Clinical
Guideline, 2008).
Tabel 1. Stadium pada penyakit ginjal kronikStadiu
mLaju Filtrasi Glomerulus
(GFR) dalam ml/min/1,73m2Keterangan
1 ≥90 Normal atau ada peningkatan GFR, disertai tanda kerusakan ginjal
2 60-89 Penurunan GFR yang ringan, dengan tanda kerusakan ginjal
3A 45-59 Penurunan GFR yang sedang, disertai atau tidak disertai dengan tanda kerusakan ginjal3B 30-44
4 15-29 Penurunan GFR yang berat, disertai atau tidak disertai dengan tanda kerusakan ginjal
5 <15 Gagal ginjal
4. Etiologi
Penyebab paling umum dari penyakit gagal ginjal kronik adalah diabetes mellitus,
hipertensi dan glomerulonephritis. Penyebab lainnya yang jarang dari penyakit gagal ginjal
kronik antara lain penyakit ginjal polycystic, obstruksi, dan infeksi (McPhee and Ganong,
inflamasi non-steroid, procainamide, sulfonamides, tetracyclines, dan vancomycin (Bricker,
et al., 1994).
Pemulihan dari gagal ginjal akut ditandai dengan diuresis yang besar dan fungsi
tubular yang perlahan-lahan kembali normal. Mayoritas pasien yang berhasil di terapi pada
episode akut biasanya mampu mempertahankan fungsi ginjal. Namun, tingkat kelangsungan
hidup bagi penderita gagal ginjal kronis kurang menguntungkan. Ketika pasien tidak
responsif terhadap tindakan konservatif, kondisi mereka cenderung memburuk sampai
diperlukan untuk dialisis atau transplantasi (Bricker, et al., 1994).
1. Diet Makanan
Pengaturan diet untuk penderita gagal ginjal kronik itu bertujuan untuk
menjaga keseimbangan elektrolit, mineral, dan cairan pada penderita, serta membatasi
jumlah zat sisa metabolisme yang tertimbun di dalam tubuh. Pengaturan diet ini harus
disesuaikan dengan tingkat keparahan gangguan fungsi ginjal seorang pasien,
sehingga harus dikonsultasikan lagi dengan dokter yang merawat pasien dengan gagal
ginjal tersebut (Sekarwana, dkk., 2002). Secara umum yang harus diperhatikan adalah
a. Pembatasan konsumsi protein
Sangatlah penting untuk mendapatkan jumlah protein yang tepat karena
protein diperlukan untuk membentuk oto, memperbaiki jaringan yang rusak dan
melawan infeksi. Asupan protein yang sesuai akan membuat tubuh mendapatkan
22
protein yang cukup tanpa menghasilkan urea (hasil metabolisme protein)
berlebihan dan memperberat kerja ginjal. Protein hewani berasal dari telur, ikan,
daging, keju, dan susu. Protein nabati berasal dari kacang-kacangan dan biji-
bijian.
b. Pengurangan konsumsi garam
Batasi konsumsi garam sampai 4-6 gram sehari untuk mencegah
timbunan cairan dalam tubuh dan membantu mengontrol tekanan darah.
c. Batasi asupan cairan
Pada stadium awal, pembatasan asupan cairan tidak diperlukan.
Namun, saat fungsi ginjal memburuk dan pasien menjalani dialisis, pasien
akan menghasilkan urin dalam jumlah sangat sedikit atau bahkan tidak
menghasilkan urin sama sekali. Hal ini akan menyebabkan timbunan cairan
dalam tubuh sehingga menyebabkan timbunan cairan di jantung, paru-paru,
dan tungkai.
d. Batasi asupan kalium
Ginjal yang sudah rusak tidak dapat membuang kalium dalam tubuh.
Kalium yang tinggi menyebabkan irama jantung yang tidak normal, bahkan
dapat menyebabkan kematian. Contoh makanan dengan kandungan kalium
yang tinggi adalah pisang, jeruk, alpukat, kiwi, kismis, kacang-kacangan,
kentang, asparagus, tomat, dan labu.
e. Batasi asupan fosfor
Untuk menjaga kesehatan tulang, kelebihan fosfor dalam darah akan
menyebabkan kalsium berkurang sehingga tulang menjadi rapuh. Contoh
23
makanan yang tinggi fosfor adalah susu, telur, yoghurt, keju, biji-bijian, dan
minuman bersoda.
2. Dialisis
Gagal ginjal mungkin memerlukan dialisis pada keadaan tertentu, seperti
ketika azotemia (sisa produk nitrogen dalam plasma) menimbulkan reaksi yang serius
dalam kehidupan atau saat hilangnya fungsi ginjal yang ireversibel. Indikasi utama
untuk dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal yaitu status klinis yang buruk,
kelainan biokimia pada tubuh (meningkatnya kalium plasma, urea dalam darah, dan
plasma bikarbonat dengan cepat), dan adanya gejala tertentu seperti mual,
kebingungan, cairan yang berlebih, dan edema paru-paru. Penggunaan dialisis tidak
terbatas pada pasien dengan gagal ginjal. Dialisis dapat dilakukan sebelum prosedur
pembedahan yang besar ketika komplikasi saat operasi dan setelah operasi dan selama
episode keracunan akut. Dialisis dapat dilakukan, baik dengan hemodialisi (90%) atau
dialisis peritoneal (10%) dan mungkin diperlukan sampai dengan 20 tahun. Sekitar
80.000 pasien di Amerika Serikat saat menjalani hemodialisis, dan sekitar 70% pasien
dengan tingkat kelangsungan hidup sampai 5 tahun (Bricker, et al., 1994).
Dialisis merupakan prosedur medis yang berfungsi untuk mengfilter darah.
Dialisis menjadi perlu ketika jumlah nefron berkurang, sehingga azotemia menjadi
tidak dapat mencegah atau tidak terkendali. Inisiasi dari dialisis merupakan keputusan
individual dari pasien saat serum kreatinin dibawah 3 mg/dL dan kreatinin clearance
dibawah 20 mL/min. Lebih dari 250.000 individu yang menerima dialisis di Amerika
Serikat yang bernilai sekitar 7 juta dolar per tahun. Prosedur tersebut dapat terjadi
dengan dialisis peritoneal atau hemodialisis (Little, et al., 2008).
a. Hemodialisis
24
Kebanyakan pasien dialisis (90%) menerima perawatan hemodialisis.
Hemodialisis adalah metode pilihan ketika azotemia terjadi dan dialisis dibutuhkan
untuk jangka panjang. Perawatan dilakukan 2-3 hari per minggu tergantung
kebutuhan. Biasanya membutuhkan waktu 3-4 jam untuk setiap sesi. Hemodialisis
menghabiskan waktu pasien dan membatasi aktivitas pasien (Little, et al., 2008).
Infeksi dari fistula arteriovenosa menjadi perhatian khusus karena dapat
menyebabkan septicemia, emboli septik, infeksi endarteritis, dan infeksi endocarditis.
Staphylococcus aureus adalah penyebab utama dari infeksi vaskuler dan berhubungan
dengan bakteremia pada pasien. Resiko infeksi fistula dari prosedur bedah (misal
urogenital, bedah mulut, dan gigi) tidak diketahui secara pasti namun memiliki resiko
yang rendah. Semua pasien dengan gagal ginjal stadium akhir, obat yang
dimetabolisme langsung pada ginjal atau yang memiliki sifat nefrotoksik harus
dihindari selama pasien menjalani dialisis. Masalah utama yang terdapat pada pasien
yang menerima dialisis adalah perdarahan yang abnormal. Pasien dengan gagal ginjal
stadium akhir memiliki perdarahan yang abnormal karena agregasi platelet dan
penurunan platelet faktor III. Hemodialisis dikaitkan dengan masalah destruksi
platelet melalui trauma mekanis saat prosedur. Kontaminasi alumunium pada air
dialisat dapat mempengaruhi sintesis hemoglobin dan menyebabkan osteomalacia.
Proses dari hemodialisis dapat mengaktifkan prostaglandin I2 yang dapat menurunkan
agregasi platelet. Namun, prostaglandin I2 memiliki waktu paruh 1-3 menit dan efek
sampingnya tidak dapat dilihat melalui tes laboratorium rutin (Little, et al., 2008).
Hemodialisis terdiri dari sesi rawat jalan setiap 2 atau 3 hari yang berlangsung
selama 3 sampai 6 jam. Fistula arteriovenosa dibuat secara operasi di lengan atau kaki
pasien untuk memfasilitasi akses dari garis infus ke dalam sistem vaskular (gambar
arteriovenous shunt). Selama proses dialisis, darah pasien antikoagulan (biasanya
25
dengan heparin, durasi aksi sekitar 4 jam) untuk mencegah pembekuan dari garis
infus dan sistem pipa-pipa dari mesin dialisis. Darah dan plasma buatan seperti cairan
dialisis (dialisat) yang dipompa ke dalam mesin dan disaring melalui proses yang
melibatkan difusi dan ultrafiltrasi melintasi membran semipermeabel. Larutan
berpindah dari darah ke dialisat dan menuruni gradien konsentrasi di seluruh
membran semipermeabel, sebelum darah kembali disaring untuk pasien (Bricker, et
al., 1994).
Sebagai pengganti fungsi ginjal normal, dialisis dapat menimbulkan risiko
pada kesehatan pasien. Komplikasi dapat dibagi menjadi 2 grup yaitu infeksi dan
kecenderungan perdarahan. Infeksi sangat umum terjadi karena virus. Virus hepatitis
B, virus hepatitis non-A, non-B, hepatitis C, dan human immunodeficiency virus
(HIV) merupakan yang paling sering terlibat. Risiko transmisi dari infeksi virus
meningkat karena darah dari banyak pasien masuk ke mesin hemodialisis setiap hari.
Sekitar 10% dari pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang dapat terkena
virus hepatitis, dan sekitar 1% adalah pembawa HIV yang tersembunyi. Langkah
pengendalian infeksi yang paling penting merupakan cara untuk mencegah penularan
penyakit tersebut. Pencegahan infeksi dari fistula arteriovenosa merupakan perhatian
utama pada pasien dalam menjalani hemodialisis. Meskipun risiko infeksi fistula yang
rendah, namun hasinya dapat berakibat fatal. Untuk itu, antibiotik profilaksis selama
perawatan dental sangat disarankan (Bricker, et al., 1994).
Komplikasi lain yang signifikan dari gagal ginjal kronis dan hemodialisis yaitu
kecenderungan perdarahan, disebabkan oleh penurunan platelet faktor III,
meningkatnya prostglandin I2, antikoagulan, dan efek dari mesin hemodialisis itu
sendiri (Bricker, et al., 1994).
26
Tingkat kelangsungan hidup 1 tahun pada pasien dialisis adalah 78% dan 5
tahun adalah 28%. Alternatif dari dialisis jangka panjang adalah transplantasi ginjal
(Little, et al., 2008).
b. Dialisis Peritoneal
Dialisis peritoneal berbeda dari hemodialisis, dalam prosedur peritoneal tidak
memerlukan antikoagulasi, karena dialisat hipertonik ditempatkan langsung ke dalam
rongga peritoneal melalui kateter plastik yang pembedahannya melekat pada dinding
perut. Peritoneum berfungsi sebagai membran dimana transfer zat terlarut dan air
terjadi. Setelah periode imbang (12 jam), larutan yang berisi produk-prouk limbah
terlarut akan dikeluarkan dan digantikan dengan larutan baru. Bentuk diialisis ini
relatif murah dan mudah dilakukan, tetapi memiliki kelemahan yang kurang efektif
daripada hemodialisis, dan juga memerlukan sesi yang lebih sering dan komplikasi
yang umum terjadi yaitu peritonitis (Bricker, et al., 1994).
Dialisis peritoneal dilakukan pada lebih dari 26.000 orang Amerika. Dialisis
peritoneal ini mungkin disediakan sebagai siklus dialisis peritoneal yang kontinu
(CCPD) atau dialisis peritoneal kronis untuk pasien rawat jalan. Keduanya
mempengaruhi cairan hipertonik ke dalam kavitas peritoneal melalui kateter
peritoneal permanen. Setelah beberapa waktu cairan yang dicerna (contohnya urea)
dikeluarkan. Metode yang sebelumnya, CCPD, menggunakan mesin pada malam hari
untuk melakukan 7-8 pertukaran dialisat sementara pasien tidur. Selama siang hari,
cairan ekskresi mengisi perut pasien sampai dialisis dilakukan kembali pada sore hari
(Little, et al., 2008).
Keuntungan dari dilasis peritoneal yaitu murah, mudah untuk digunakan,
mengurangi kemungkinan terjadinya transmisi penyakit infeksi, kurangnya koagulasi.
27
Kerugian dialisis peritoneal yaitu tidak dapat hanya sekali melakukannya, tetapi harus
berlanjut, berisiko terkena peritonitis abdominal hernia (kira-kira 1 per pasien setiap
1,5 tahun), dan kurangnya efektivitas yang signifikan dibandingkan dengan
hemodialisis. Kegunaan umum dialisis peritoneal pada pasien dengan gagal ginjal
akut atau pada pasien yang jarang melakukan dialisis (Little, et al., 2008).
3. Transplantasi Ginjal
Metode lain untuk meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan gagal
ginjal stadium akhir yaitu dengan transplantasi ginjal. Meskipun terdapat perbaikan
dalam 5 tahun yang kontroversial mengenai pasien yang menjalani transplantasi ginjal
yang dibandingkan dengan usia dan kecocokan penyakit pasien dalam menjalani
pemeliharaan dialisis, tidak ada argumen bahwa kualitas hidup jauh lebih baik setelah
menjalani transplantasi yang sukses. Transplantasi ginjal yang dilakukan dapat
meningkatkan keberhasilan, dan kematian tampaknya dapat membuat dokter dan ahli
bedah lebih bersedia untuk mengurangi dampak negatif dari transplantasi tersebut.
Sekitar 60% dari 25.000 pasien dengan transplantasi hidup sampai hari ini dengan
tingkat kelangsungan hidup 0-5 tahun (Burket, 2008).
Transplantasi melibatkan operasi pengangkatan ginjal dari pendonor dan
implantasi ginjal menjadi penerima. Pendonor biasanya dari keluarga pasien, seperti
saudara, orang tua, atau seseorang yang baru saja meninggal (donor dari mayat).
Penerima transplantasi dari yang bukan keluarga biasanya mempunyai kesempatan
yang kecil dalam kelangsungan hidup untuk graft dibandingkan dengan “hubungan
darah” tetapi setidaknya sama efektif nya dengan graft dari mayat. Dari semua kasus
transplantasi kecuali antara kembar monozigotik, penolakan dari transplantasi dapat
terjadi, dan reaksi dari penolakan biasanya melalui sistem limfosit. Antigen yang
menolak reaksi tersebut disebut antigen histokompatibilitas dan terdapat pada
28
permukaan sel yang mempunyai nukleus. Dalam sejarahnya, pengelompokan antigen
kompatibiltas adalah human leukocyte antigens (HLA) yang terdapat pada kromosom
6. Pada dasarnya, reaksi imun tediri dari reaksi sel mediasi yang dimana antigen asing
dari graft dikenali oleh sel imunokompeten penerima, yang menghasilkan sel
sitotoksik yang dapat menghancurkan stimulasi antigen. Berikut respon humoral,
dimana antibodi bersirkulasi secara spesifik sehingga menyebabkan perlawanan
terhadap graft, dan menyebabkan penolakan (Burket, 2008).
Pasien transplantasi ginjal biasanya mendapat obat-obatan imunosupresif yang
berkelanjutan untuk memastikan keberhasilan penyatuan permukaan ginjal. Biasanya
komposisi obat terdiri dari agen imunosupresif dan glukokortikoid anti inflamasi
untuk mencegah penolakan transplantasi (Burket, 2008).
9. Pertimbangan Oral
Penatalaksanaan pasien sebelum melakukan transplantasi dimulai dengan mengurangi
sumber infeksi yang potensial. Termasuk inflamasi patogen pada dental, oral, dan daerah
maksilofasial. Setelah transplantasi, perawatan dental rutin harus ditunda hingga dosis
maintanance agen imunosupresan terpenuhi. Kebanyakan pasien transplantasi adalah pasien
rawat jalan, dan kebutuhan perawatan gigi mereka tetap dapat diberikan. Pasien yang telah
menjalani transplantasi ginjal harus diawasi karena keadaan pasien sebelum dilakukan
transplantasi tersebut berbeda keadaan dentalnya yang berhubungan dengan obat-obatan yang
diberikan dan penyakit ginjal sebelumnya. Umumnya masalah dental yang terlihat pada
pasien transplantasi berhubungan dengan perubahan respon imun akibat obat-obatan yang
diberikan setelah transplantasi (Burket, 2008).
Pasien transplantasi ginjal diberikan obat-obatan imunosupresan untuk mencegah
penolakan organ baru. Obat-obatan ini dapat mengurangi resiko infeksi. Organisme yang
menyebabkan infeksi sama dengan infeksi setelah operasi pada pasien yang mengalami
29
operasi yang besar, sementara infeksi yang ditemukan setelah 1 bulan transplantasi cenderung
diakibatkan oleh organisme oportunistik. Seringnya virus dan fungi (Burket, 2008).
Mikroorganisme yang ditemukan di rongga mulut dapat menyebabkan berbagai
infeksi. Organisme ini termasuk bakteri gram negatif, seperti Klebsiella, Pseudomonas dan
Proteus; fungi, seperti Candida, Aspergillus, Mucor; dan virus, seperti herpes simpleks dan
herpes zoster. Penyakit periodontal, infeksi pulpa, dan ulserasi oral yang dapat menyebabkan
penyebaran mikroorganisme oral ke dalam aliran darah, atau aspirasi dapat menyebabkan
penyebaran pada traktus respiratorius. Infeksi oral pada pasien transplantasi telah dilaporkan
sering mengalami pneumonia atau infeksi traktus urinarius. Faktor sistemik yang
berhubungan dengan perkembangan infeksi oral adalah jumlah limfosit yang rendah dan
perpanjangan waktu terapi obat imunosupresan (Burket, 2008).
Diagnosis yang tepat dan penyebab infeksi pada pasien imunosupresan harus menjadi
prioritas utama. Identifikasi patogen diketahui melalui kultur, apusan, teknik aspirasi, atau
biopsi. Hal tersebut memastikan penatalaksanaan antimikroba yang tepat dikarenakan
bermacam jenis organisme dapat ditemukan pada pasien transplantasi. Drainase harus
dipertimbangkan pada kasus infeksi yang tidak berkembang cepat dan tidak terlihat pada
awalnya, dan organisme yang tidak umum dan resiten terhadap obat harus diikutsertakan
dalam diagnosis pembanding (Burket, 2008).
Jika pasien transplantasi ginjal datang untuk perawatan dental, dosis obat-obatan
steroid yang dikonsumsi harus menjadi pertimbangan dalam pentalaksanaan. Terapi
kortikosteroid meningkatkan kerentanan tubuh untuk mengalami syok, karena tubuh tidak
dapat mengatasi stres karena prosedur dental atau stres emosional yang behubungan dengan
perawatan dental. Khususnya pada pasien dengan dosis steroid yang tinggi per hari nya tetapi
dengan pemberian cyclosporine banyak pasien yang akhirnya dikurangi dosis steroidnya.
30
Studi mengenai glukokortikoid pada pasien transplantasi telah merubah protokol perawatan
(Burket, 2008).
Tabel 6. Drug Therapy in Renal Disease (Burket, 2008)
DrugAdjustments for Renal Failure
Normal Moderate GFR 10-50 Severe GFR < 10AntibioticsPenicillin G q 6-8 h q 8-12 h q 12-18 hErythromycin q 6 h Unchanged UnchangedAmpicillin q 6 h q 6-12 h q 12-16 hAmoxicillin q 8 h q 8-12 h q 12-16 hCephalothin q 6 h Unchanged q 8-12 hCarbenicillin q 4 h q 8-12 h Avoid if possibleAnalgesicsAcetaminophen q 4 h q 6 h q 8 hAcetylsalicylic acid q 4 h q 4-6 h Avoid Phenacetin (APC) Avoid AvoidNSAID’s Avoid Avoid
Terdapat beberapa pertimbangan dalam penatalaksanaan pasien dengan penyakit
ginjal. Dokter gigi harus menyertakan penyebab penyakit, status fisik dari pasien, dan obat-
obatan yang diminum oleh pasien. Pasien dengan penyakit ginjal memiliki insidensi penyakit
sistemik lain yang tinggi, seperti diabetes melitus, sistemik lupus eritematosus, gangguan
gastrointestinal, dan kegagalan fungsi hati. Konsultasi dengan dokter umum diwajibkan
untuk menentukan keparahan dari disfungsi ginjal, level kontol metabolisme dan status
kalsifikasi resiko menurut American Society of Anesthesiologist (ASA). Jika agen
imunosupresan digunakan harus berkonsultasi dengan dokter umum untuk menentukan lama
penggunaan obat-obatan tersebut dan perlu atau tidaknya suplemen steroid selama perawatan
dental. Pemberian antibiotik profilaksis harus dipertimbangkan karena pasien dengan
penyakit ginjal rentan terhadap infeksi oral maupun sistemik (Bricker, et al., 1994).
Tabel 7. Drug Adjustments in Chronic Renal Disease (Little, James W., et al., 2008) Drug Removed
by Dialysis
Dosage Adjustment for Renal Failure Supplement Dose After
HemodialysiMethod >50 Co-50 < 10
31
sAnalgesic
Aspirin Yes I q4h q6h Avoid YesAcetamino
phen Yes (HD), No (PD)
I q4h q6h q8h No
Ibuprofen (Motrin)
? - No adjustment
No
Propoxyphene*
(Darvon)
No DR 100% 100% Avoid No
Codeine ? DR 100% 75% 50% NoMeperidine
* (Demerol)
? DR 100% 75% 50% No
AntimicrobialAcyclovir (zovirax)
Yes I & DR q8h q12-24h 50%q24-48h
Yes
Amoxicillin,penicillin
V
No I q8h q8-12h q24h Yes
Cephalexin (keflex)
Yes I q8h q12h q12h Yes; 50% of usual dose after HD
Clindamycin (cleocin)
No - 100% 100% 100% No
Erythromycin
No DR 100% 100% 50%-75%
No
Ketoconazole (nizoral)
No - 100% 100% 100% No
Metronidazole (flagyl)
Yes DR 100% 100% 50% Yes (HD); No (PD)
Tetracycline
(doxycycline)
No I q8-12h q12-24h q24h No
Corticosteroid Dexametha
sone - No
adjustmentNo
Note : DR, dosage reduction; I, increased beetwen doses; GFR, glomerular filtrate rate; HD, hemodialysis; PD, peritoneal dialysis; *, toxic metabolites can build up in severe ESRD.
Tanda vital pada pasien dengan penyakit ginjal harus diobservasi sebelum dan selama
perawatan dental untuk melihat status kesehatan pasien. Pasien dengan kerusakan ginjal yang
hebat kemungkinan memiliki gejala hipertensi. Untuk mendeteksi tekanan darah pada pasien
yang sedang dialisis, dokter gigi harus mengetahui bahwa tidak boleh memakai alat tekanan
32
darah karena dapat menghambat aliran darah. Obat-obatan intravena juga tidak boleh
diberikan untuk mencegah thrombophlebitis karena dapat membahayakan koneksi vaskular
(Bricker, et al., 1994).
Pasien dengan gagal ginjal kronis lebih cenderung rentan terhadap infeksi, dokter gigi
harus memeriksa pasien-pasien tersebut secara seksama untuk melihat adanya gejala infeksi
oral dan manifestasi oral akibat memburuknya status fisik pasien. Mukosa harus diinspeksi
untuk melihat perubahan warna. Kondisi gingiva dan periodontal harus dimonitor untuk
melihat tanda-tanda awal inflamasi. Skeling periodontal, profilaksis, dan fluoride topikal
harus dilakukan bersamaan dengan instruksi untuk menyikat gigi dan flossing. Jaringan
gingiva hiperplastik akibat terapi cyclosporine membutuhkan gingivoplasti untuk
mengembalikan kontur marginal normal (Bricker, et al., 1994).
Tabel 8. Tinjauan Pertimbangan Dental Sebelum Operasi Dan Manajemen Klinis Pada Pasien Dengan Kelainan Ginjal
Status Preoperatif Manajemen
Dialisis
Perawatan dental seharusnya dilakukan dalam waktu 24 jam untuk memastikan koreksi optimal dari cacat hidrasi, serum elektrolitis, urea nitrogen, kreatinin, dan koagulasi
Shunt
Pertimbangkan adanya heparin (yang memiliki waktu paruh 4-6 jam) dan efek antikoagulasinya.
Hati-hati pada posisi pasien , jangan kompromi ekstrimitas yang memiliki situs akse, hindari menggunakan tangan dengan shunt untuk tekanan darah atau infuse medikasi.
Kemungkinan adanya endokarditis bacterial
Diskusikan antibiotik propilaksis dengan dokter pasien
Hepatitis dan HIV Pertimbangkan pasien memiliki resiko tinggi hingga terbukti sebaliknya, gunakan pakain proteksi (masker wajah, sarung tangan double, kacamata proteksi, tutup kepala, baju/gown proteksi).
33
Semua instrument seharusnya yang sekali pakai atau yang sudah distrelisasi dengan autoclave, ksida etilen, atau degan dry heat.
Perendaman pada instrument bersih harus benar-benar didisinfeksi menggunakan hipolorit (paling sedikit 10.000 ppm dari klorid bebas) sekali sehari.
Selama digunakan, instrument seharusnya ditempatkan pada baki sekali pakai/steril.
Gunakan rubber dam dianjurkan untuk meminimalisasi penyebaran semprotan aerosol.
Peralatan dan area operatori seharusnya dilap dengan disinfektan kamar operasi setelag perawatan pasien dilakukan.
Hipertensi dan impaired response
Monitor tekanan darah, sebelum operasi, ketika operasi, dan setelah operasi.
Pertimbangan pramedikasi menggunakan obat antianxiety.
Anemia dan hemoragi
Keparahan anemia penting diketahui jika bius total dilakukan
Catat riwayat koagulasi, termasuk jumlah platelet, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, dan waktu perdarahan, karena kemungkinan manajemen koagulasi atau efek dari heparin-warfarin
Antisipasi formasi hematoma setelah prosedur traumatic (e.g. bedah periodontal atau alveolektomi).
Jika akan dilakukan multiple ekstraksi, pertmbangkan perawatan areanya pada kunjungan bertama untuk mengetahui apakah memerlukan jahitan yang lebih lama dari biasanya.
Dehiscence dari luka merupakan komplikasi yang sering terjadi.
Osteodistrofi ginjal
Perhatikan banyak manifestasi oral berhubungan dengan kelainan ginjal.
Perhatikan kemungkinan patologik atau fraktur iatrogenic selama bedah mulut.
Medikasi Konsultasi dengan dokter utama untuk berdiskusi mengenai obat yang akan digunakan untuk perawtaan dental
34
Perhatikan efek yang bersinergi dengan obat lain yang dikonsumsi pasien
Infeksi
Pertimbangkan premedikasi dengan antimicrobial (tidak ada )
SaranObat kumur nistatin 500.000 unit/ml empat kali sehari, sehari sebelum perawatan dental, pada harinya, dan 2 hari setelahnya).
Catat area kultur dan sensitifitas untuk mengetahui terapi antibiotic yang paling tepat dalam perawatan.
Mulai dengan antibotik spectrum luas (e.g. amoxicillin 3 g 1 jam sebelum perawatan, lalu 500 mg setiap 8 jam untuk 1 atau 2 dosis).