BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
Buangan padat atau sampah adalah segala sesuatu yang tidak
diinginkan keberadaannya oleh manusia pada waktu tertentu. Pada
awalnya sampah tidaklah menjadi masalah bagi manusia dan lingkungan
karena sampah yang dibuang ke tanah masih dapat diolah sendiri oleh
alam, sebab jumlah manusia yang membuang sampah tersebut jauh lebih
kecil dibandingkan dari luas area tanah penerimanya. Selain itu
sampah yang dihasilkan pun masih banyak yang bersifat dapat
membusuk (Tchobanoglous, 1993).
Sampah menurut SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Pengelolaan
Teknik Sampah Perkotaan didefenisikan sebagai limbah yang bersifat
padat terdiri atas zat organik dan zat anorganik yang tidak berguna
lagi dan harus dikelola agar tidak mengganggu lingkungan dan
melindungi investasi pembangunan. Sampah umumnya dalam bentuk sisa
makanan (sampah dapur), daun-daunan, ranting, karton/kertas,
plastik, kain bekas, kaleng-kaleng, debu sisa penyapuan dan
sebagainya.
2.1.1 Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah
mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di
sumber, pengumpulan, pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan
pembuangan. TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara
aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan
sekitarnya. Karenanya diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan
yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik.
Selama ini masih banyak persepsi keliru tentang TPA yang lebih
sering dianggap hanya merupakan tempat pembuangan sampah. Hal ini
menyebabkan banyak Pemerintah Daerah masih merasa saying untuk
mengalokasikan pendanaan bagi penyediaan fasilitas di TPA yang
dirasakan kurang prioritas dibanding dengan pembangunan sektor
lainnya .
Pembuangan sampah mengenal beberapa metoda dalam pelaksanaannya
yaitu:
1. Open Dumping Open dumping atau pembuangan terbuka merupakan
cara pembuangan sederhana dimana sampah hanya dihamparkan pada
suatu lokasi; dibiarkan terbuka tanpa pengamanan dan ditinggalkan
setelah lokasi tersebut penuh. Masih ada Pemda yang menerapkan cara
ini karena alasan keterbatasan sumber daya (manusia, dana,
dll).
Cara ini tidak direkomendasikan lagi mengingat banyaknya potensi
pencemaran lingkungan yang dapat ditimbulkannya seperti:
a. Perkembangan vektor penyakit seperti lalat, tikus, dll;
b. Polusi udara oleh bau dan gas yang dihasilkan;
c. Polusi air akibat banyaknya lindi (cairan sampah) yang
timbul;
d. Estetika lingkungan yang buruk karena pemandangan yang
kotor.
2. Control Landfill Metoda ini merupakan peningkatan dari open
dumping dimana secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup
dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan
yang ditimbulkan. Dalam operasionalnya juga dilakukan perataan dan
pemadatan sampah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan
kestabilan permukaan TPA.
Di Indonesia, metode control landfill dianjurkan untuk
diterapkan di kota sedang dan kecil. Untuk dapat melaksanakan
metoda ini diperlukan penyediaan beberapa fasilitas
diantaranya:
a. Saluran drainase untuk mengendalikan aliran air hujan;
b. Saluran pengumpul lindi dan kolam penampungan;
c. Pos pengendalian operasional;
d. Fasilitas pengendalian gas metan;
e. Alat berat.
3. Sanitary Landfill Metode ini merupakan metode standar yang
dipakai secara internsional dimana penutupan sampah dilakukan
setiap hari sehingga potensi gangguan yang timbul dapat
diminimalkan. Namun demikian diperlukan penyediaan prasarana dan
sarana yang cukup mahal bagi penerapan metode ini sehingga sampai
saat ini baru dianjurkan untuk kota besar dan metropolitan.
Besarnya potensi yang dapat menimbulkan gangguan terhadap
lingkungan maka pemilihan lokasi TPA harus dilakukan dengan seksama
dan hati-hati. Hal ini ditunjukkan dengan persyaratan lokasi TPA
yang tercantum dalam SNI tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat
Pembuangan Akhir Sampah; yang diantaranya dalam kriteria regional
dicantumkan:
a. Bukan daerah rawan geologi (daerah patahan, daerah rawan
longsor, rawan gempa, dll);
b. Bukan daerah rawan hidrogeologis yaitu daerah dengan kondisi
kedalaman air tanah kurang dari 3 meter, jenis tanah mudah
meresapkan air, dekat dengan sumber air (dalam hal tidak terpenuhi
harus dilakukan masukan teknologi);
c. Bukan daerah rawan topografis (kemiringan lahan lebih dari
20%);
d. Bukan daerah rawan terhadap kegiatan penerbangan di Bandara
(jarak minimal 1,5 3 km);
e. Bukan daerah/kawasan yang dilindungi.
Untuk dapat dioperasikan dengan baik maka TPA perlu dilengkapi
dengan prasarana dan sarana yang meliputi:
1. Prasarana Jalan Prasarana dasar ini sangat menentukan
keberhasilan pengoperasian TPA. Semakin baik kondisi jalan ke TPA
akan semakin lancar kegiatan pengangkutan sehingga efisiensi
keduanya menjadi tinggi.
Konstruksi jalan TPA cukup beragam disesuaikan dengan kondisi
setempat sehingga dikenal jalan TPA dengan konstruksi:
a. Hotmix;
b. Beton;
c. Aspal;
d. Kayu.
Dalam hal ini TPA perlu dilengkapi dengan:
a. Jalan masuk/akses; yang menghubungkan TPA dengan jalan umum
yang telah tersedia;
b. Jalan penghubung; yang menghubungkan antara satu bagian
dengan bagian lain dalam wilayah TPA;
c. Jalan operasi/kerja; yang diperlukan oleh kendaraan
pengangkut menuju titik pembongkaran sampah.
Pada TPA dengan luas dan kapasitas pembuangan yang terbatas
biasanya jalan penghubung dapat juga berfungsi sekaligus sebagai
jalan kerja/operasi.
2. Prasarana Drainase Drainase di TPA berfungsi untuk
mengendalikan aliran limpasan air hujan dengan tujuan untuk
memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah. Seperti
diketahui, air hujan merupakan faktor utama terhadap debit lindi
yang dihasilkan. Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk ke
timbunan sampah akan semakin kecil pula debit lindi yang dihasilkan
yang pada gilirannya akan memperkecil kebutuhan unit
pengolahannya.
Secara teknis drainase TPA dimaksudkan untuk menahan aliran
limpasan air hujan dari luar TPA agar tidak masuk ke dalam area
timbunan sampah. Drainase penahan ini umumnya dibangun di
sekeliling blok atau zona penimbunan. Selain itu, untuk lahan yang
telah ditutup tanah, drainase TPA juga dapat berfungsi sebagai
penangkap aliran limpasan air hujan yang jatuh di atas timbunan
sampah tersebut. Untuk itu permukaan tanah penutup harus dijaga
kemiringannya mengarah pada saluran drainase.
3. Fasilitas Penerimaan Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai
tempat pemeriksaan sampah yang datang, pencatatan data, dan
pengaturan kedatangan truk sampah. Pada umumnya fasilitas ini
dibangun berupa pos pengendali di pintu masuk TPA. Pada TPA besar
dimana kapasitas pembuangan telah melampaui 50 ton/hari maka
dianjurkan penggunaan jembatan timbang untuk efisiensi dan
ketepatan pendataan. Sementara TPA kecil bahkan dapat memanfaatkan
pos tersebut sekaligus sebagai kantor TPA sederhana dimana kegiatan
administrasi ringan dapat dijalankan.
4. Lapisan Kedap Air Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah
rembesan air lindi yang terbentuk di dasar TPA ke dalam lapisan
tanah di bawahnya. Untuk itu lapisan ini harus dibentuk di seluruh
permukaan dalam TPA baik dasar maupun dinding.
Bila tersedia di tempat, tanah lempung setebal + 50 cm merupakan
alternatif yang baik sebagai lapisan kedap air. Namun bila tidak
dimungkinkan, dapat diganti dengan lapisan sintetis lainnya dengan
konsekuensi biaya yang relatif tinggi.
5. Fasilitas Pengamanan Gas Gas yang terbentuk di TPA umumnya
berupa gas karbon dioksida dan metan dengan komposisi hampir sama;
disamping gas-gas lain yang sangat sedikit jumlahnya. Kedua gas
tersebut memiliki potensi besar dalam proses pemanasan global
terutama gas metan; karenanya perlu dilakukan pengendalian agar gas
tersebut tidak dibiarkan lepas bebas ke atmosfer. Untuk itu perlu
dipasang pipa-pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari timbunan
sampah pada titik-titik tertentu. Untuk ini perlu diperhatikan
kualitas dan kondisi tanah penutup TPA. Tanah penutup yang porous
atau banyak memiliki rekahan akan menyebabkan gas lebih mudah lepas
ke udara bebas. Pengolahan gas metan dengan cara pembakaran
sederhana dapat menurunkan potensinya dalam pemanasan global.
6. Fasilitas Pengamanan Lindi Lindi merupakan air yang terbentuk
dalam timbunan sampah yang melarutkan banyak sekali senyawa yang
ada sehingga memiliki kandungan pencemar khususnya zat organik
sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi menyebabkan pencemaran air
baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani dengan
baik.
Tahap pertama pengamanan adalah dengan membuat fasilitas
pengumpul lindi yang dapat terbuat dari: perpipaan
berlubang-lubang, saluran pengumpul maupun pengaturan kemiringan
dasar TPA; sehingga lindi secara otomatis begitu mencapai dasar TPA
akan bergerak sesuai kemiringan yang ada mengarah pada titik
pengumpulan yang disediakan.
Tempat pengumpulan lindi umumnya berupa kolam penampung yang
ukurannya dihitung berdasarkan debit lindi dan kemampuan unit
pengolahannya. Aliran lindi ke dan dari kolam pengumpul secara
gravitasi sangat menguntungkan; namun bila topografi TPA tidak
memungkinkan, dapat dilakukan dengan cara pemompaan.
Pengolahan lindi dapat menerapkan beberapa metode diantaranya:
penguapan/evaporasi terutama untuk daerah dengan kondisi iklim
kering, sirkulasi lindi ke dalam timbunan TPA untuk menurunkan baik
kuantitas maupun kualitas pencemarnya, atau pengolahan biologis
seperti halnya pengolahan air limbah.
7. Alat Berat Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya
berupa: bulldozer, excavator dan loader. Setiap jenis peralatan
tersebut memiliki karakteristik yang berbeda dalam
operasionalnya.
Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan dan pemadatan
tetapi kurang dalam kemampuan penggalian. Excavator sangat efisien
dalam operasi penggalian tetapi kurang dalam perataan sampah.
Sementara loader sangat efisien dalam pemindahan baik tanah maupun
sampah tetapi kurang dalam kemampuan pemadatan.
Untuk TPA kecil disarankan dapat memiliki bulldozer atau
excavator, sementara TPA yang besar umumnya memiliki ketiga jenis
alat berat tersebut.
8. Penghijauan Penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa
maksud diantaranya adalah: peningkatan estetika lingkungan, sebagai
buffer zone untuk pencegahan bau dan lalat yang berlebihan. Untuk
itu perencancaan daerah penghijauan ini perlu mempertimbangkan
letak dan jarak kegiatan masyarakat di sekitarnya (permukiman,
jalan raya, dll).9. Fasilitas Penunjang Beberapa fasilitas
penunjang masih diperlukan untuk membantu pengoperasian TPA yang
baik diantaranya: pemadam kebakaran, mesin pengasap (mist blower),
kesehatan/keselamatan kerja, toilet, dan lain lain.
2.1.2 TPA Regional Payakumbuh
Payakumbuh merupakan salah satu daerah dengan pertumbuhan
ekonomi tertinggi di Sumatera Barat. Inovasi dalam bidang sanitasi,
pengelolaan sampah, pasar tradisional sehat, pembinaan pedagang
kaki lima, dan drainase perkotaan mengantarkan kota ini meraih
penghargaan Inovasi Managemen Perkotaan (IMP) pada 2012, Indonesia
Green Regional Award (IGRA), Kota Sehat Wistara, dan sederet
pengharaan lainnya.
Secara geografis wilayah Kota Payakumbuh terletak antara 0 10'
sampai 0 17' LS dan 100 sampai 100 42' BT dengan luas wilayah 80,43
km2 dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
a. Batas Utara: Kabupaten 50 Kota
b. Batas Selatan: Kabupaten 50 Kota
c. Batas Timur: Kabupaten 50 Kota
d. Batas Barat: Kabupaten 50 Kota
Beranjak dari persoalan limbah, Pemko Payakumbuh membidik
persoalan sampah. Bagaimanapun, sampah yang tidak terurus dengan
baik, akan berdampak terhadap kualitas air dan resapan air. Maka
langkah awal yang dilakukan Pemko Payakumbuh adalah menangani
sampah pasar tradisional di tengah kota. Sampah-sampah itu, baik
sampah basah maupun sampah kering, dipilah dengan melibatkan
pedagang. Sampah-sampah basah yang berpotensi menjadi pupuk,
dikirim ke pabrik pupuk organik yang dibangun di kawasan Pasar
Ibuah. Setelah menjadi pupuk, sampah organik tadi kepada petani
dengan harga murah, tapi tetap mendatangkan pendapatan buat daerah.
Sampah kering atau sampah anorganik yang gagal didaur ulang karena
keterbatasan teknologi, tetap dikumpulkan oleh pedagang atau
petugas kebersihan Payakumbuh. Setelah terkumpul, sampah kering
tadi dijual kepada para pedagang barang bekas yang diorganisir
secara resmi oleh pemerintah kota. Tidak berhenti sampai di situ,
Pemko Payakumbuh yang menerapkan menerapkan sistemreuse,reduce,
danrecycle(3R) dalam pengelolaan sampah, membangun bank sampah di
sekolah-sekolah. Hasilnya, bukan hanya sampah di lingkungan sekolah
yang terkumpul. Siswa-siswi terdidik pula menjaga kebaikan alam dan
punya semangat kewirausahaan yang sudah lama menjadi karakter
masyarakat Minangkabau.
Pemko Payakumbuh menyediakan lahan kosong yang berada jauh dari
pemukiman penduduk, untuk dijadikan sebagai TPAS. Lahan kosong itu
berada Kelurahan Kapalokoto, Nagari Auakuniang, Kecamatan
Payakumbuh Selatan, tidak jauh dari lokasi TPAS Ampangan. Setelah
lahan tersedia, Pemko Payakumbuh memancing Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat untuk peduli terhadap persoalan sampah perkotaan.
Hasilnya, melalui sebuah konsep yang dinamakan dengan regional
managemen atau kerjasama antar daerah, Payakumbuh berhasil
membangun sebuah Tempat Pembuangan Akhir Regional (TPA Regional).
Sesuai namanya, TPA Regional itu tidak hanya dijadikan tempat
pembuangan sampah dari Kota Tapi Payakumbuh. Tetapi juga menampung
sampah dari kabupaten/kota lain di Sumatera Barat, yakni Kota
Bukitinggi, Kota Padangpanjang, Kota Sawahlunto, Kabupaten
Limapuluh Kota, Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanahdatar. Sama
dengan sampah pasar, sampah di TPA Regional Payakumbuh juga
dipisah. Sampah basah, dijadikan sebagai pupuk organik dan dijual
dengan harga miring kepada petani.
Untuk mengoperasionalkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah
regional di kelurahan Kapolo Koto, Kecamatan Payakumbuh Selatan,
kini pemko Payakumbuh tengah menunggu turunnya kebijakan pemerintah
provinsi Sumbar berkait pengelolaannya dan tanggung jawab kota dan
kabupaten lain yang ikut memanfaatkan. Sesuai rencana, TPA regional
Payakumbuh, akan menampung sampah-sampah dari Kabupaten Agam,
Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Limapuluh Kota, Kota
Padangpanjang, Kota Bukittinggi, selain sampah dalam daerah Kota
Payakumbuh sendiri. Keenam daerah dengan difasilitasi pemprov,
sudah membuat perjanjian kerjasama antar daerah, sesuai dengan
payung hukum yang ada.
TPA regional itu berluaskan lebih kurang 8 hektar. Dibangun
dengan dana APBN sebesar Rp 22 miliar. Selain itu, yang juga
termasuk pikiran pemko adalah tentang jalan masuk menuju ke lokasi
TPA sepanjang kurang lebih 2 kilometer. Mengingat pekerjaan
pembanguan jalan itu sangat berat, maka pembangunannya diharapkan
juga tak lepas dari tanggung jawab pemrov Sumbar karena memakan
biaya tinggi sehingga tak mampu didanai oleh APBD kota ini.
Selain persoalan jalan menuju TPA regional yang belum terjawab,
kendala lain yang berpotensi menghadang, di antaranya eselonering
UPTD TPA regional tersebut. Dengan bobot kerja TPA regional yang
cukup berat, maka penanganannya butuh tenaga profesional, dan
pejabat yang ditunjuk harus memahami benar bidang yang
dipercayakan.
BAB IIIPEMBAHASAN3.1 Identifikasi TPA Regional PayakumbuhTPA
(Tempat Pembuangan Akhir) Regional Payakumbuh terletak di Kelurahan
Kapalo Koto, Kecamatan Payakumbuh Selatan. Awalnya TPA Regional ini
direncanakan akan dibangun di Baso, Kabupaten Agam. Akan tetapi
lokasi ini tidak layak secara teknis sehingga dipindahkan ke
Payakumbuh dengan lahan seluas 8 Ha dari 17 Ha lahan dari
Pemerintahan Kota Payakumbuh yang sudah direncanakan untuk lahan
TPA. Pengoperasian TPA Regional ini mulai dilakukan sejak Januari
2013. Sebelumnya pengoperasian TPA telah dilakukan oleh
Pemerintahan Kota Payakumbuh, akan tetapi tidak sesuai dngan
prosedur karena kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM).
Pembangunan TPA Regional ini dilaksanakan mulai tahun 2009
hingga 2011 dengan bantuan dana dari APBN, APBD Provinsi dan APBD
Kabupaten/Kota. Periode desain TPA ini yaitu 20 tahun dengan
melakukan proses pemilahan sampah terlebih dahulu. Akan tetapi,
sampah yang masuk ke TPA masih belum dipilah. Direncanakan pada
tahun 2014 akan ditambah unit pemilahan sampah yaitu alat conveyor
dan penambahan jumlah pegawai. Hingga saat ini, jumlah pegawai TPA
Regional ini berjumlah 13 orang, termasuk security. Mengacu kepada
UU no 18 tahun 2008, yaitu setiap pemerintahan kota/ kabupaten
dilarang untuk melakukan sistem pemrosesan sampah secara open
dumping, sehingga TPA Regional Payakumbuh melakukan sistem
operasional sanitary landfill dengan penimbunan setiap hari.Akan
tetapi, pada saat kunjungan lapangan alat pengurug sedang dalam
perbaikan dan sampah yang ada dibiarkan terbuka.
TPA Regional ini direncanakan akan melayani lima kabupaten dan
kota yang ada di Sumatera Barat, meliputi Kota Payakumbuh,
Kabupaten Lima Puluh Kota, Kota Bukitinggi, Kota Padang Panjang,
Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar. Akan tetapi hingga saat
ini sampah yang masuk ke TPA Regional hanya berasal dari Kota
Payakumbuh dan Bukittnggi sebanyak 80 truk/ hari. Hal ini
disebabkan belum ditandatanganinya kontrak dengan kabupaten/kota
yang lain terkait masalah dana.3.2 Kondisi Eksisting TPA Regional
Payakumbuh
3.2.1 Sketsa Area Siteplan
Gambar 3.1 Denah siteplan TPA Regional Payakumbuh
3.2.2 Timbulan SampahSampah yang dihasilkan terdiri dari
berbagai jenis sampah, seperti sambah makanan, sampah dapur dan
lainnya dengan total sampah yang masuk adalah 80 truk/ hari dengan
volume kecil dari 800 m3 karena baru Kota Payakumbuh dan
Bukittinggi yang menandandatangani program kerjasama ini. Sampah
yang masuk belum dipilah antara organik dan anorganik karena masih
belum ada alat pemilahan. Direncanakan tahun 2014 akan ditambah
unit conveyor yang membantu proses pemilhan sampah dengan melakukan
penamabahan pegawai.3.2 Kondisi Eksisting TPA Regional
Payakumbuh3.2.1 Operasional TPATPA regional Payakumbuh ini melayani
5 kabupaten kota yaitu Tanah Datar, Bukuttinggi, Agam, Payakumbuh,
Padang Panjang dan Lima Puluh Kota. Akan tetapi terkait dengan
permasalahan retibusi dan kontrak perjanjian yang belum jelas maka
pelayanan TPA ini hanya mencakup Bukittinggi dan Payakumbuh
sekarang ini. TPA Regional ini beroperasi selama 24 jam dengan
menerima sampah sebanayk 80 truk/hari. Sampah yang masuk akan
ditimbang terlebih dahulu, kemudian sampah dibawa ke landfill untuk
di buang. Setelah itu truk yang kosong kembali ditimbang untuk
mengetahui berat truk sehingga dapat dihitung berat sampah yang
masuk. Kemudian sampah akan diurug setiap hari dengan menggunakan
tanah yang berasal dari bukit khusus sebagai penutup lahan.
Terdapat 13 orang pekerja, termasuk security di TPA ini. Pekerja
diberi atribut lengkap sehingga dapat membedakanya dengan tamu atau
orang lain. Masyarakat yang akan mengambil lindi diwajibkan untk
melapor di pos jaga yang berada di pintu masuk TPA.
Gambar 3.2 Bagan Alur Sampah TPA Regional Payakumbuh3.2.2
Konstruksi TPA
Pembangunan TPA regional Payakmbuh ini meliputi beberapa
material seperti beton, bata, pasir pada pembangunan gedung-gedung
di sekitar TPA serta tempat dilakukannya penimbangan dan
penyimpanan alat-alat berat untuk operasional. Selain itu pada
landfill digunakan lapisan geomembran yang dikenal dengan Flexible
Membrane Liner (FML). Jenis liner ini dibuat dari bermacam-macam
material plastik termasuk polyvinyl chloride (PVC) dan high density
polyethylene (HDPE). Jenis liner ini tahan terhadap sejumlah besar
bahan kimia dan kedap air (impermeable). Di Ohio, HDPE geomembran
harus memiliki ketebalan minimimal 15 mm untuk landfill sampah
kota. Geomembran dan geokomposit digunakan sebagai lapisan
penghalang untuk mencegah masuknya lindi ke dalam air tanah.
Salah satu jenis geomembran yang banyak digunakan adalah
Carbofol. Carbofol merupakan jenis geomembran yang terbuat dari
HDPE dan diproduksi dengan beragam ketebalan lapisan, yaitu 1,5 mm
3 mm. Carbofol biasanya digunakan sebagai pelapis dasar untuk
melindungi air tanah dari kontaminasi pencemar.
Untuk melindungi air tanah biasanya digunakan Carbofol dengan
ketebalan 1,5 mm bahkan lebih tipis lagi. Carbofol ini tahan lama,
dan tahan terhadap zat-zat kimia serta radiasi sinar UV. Jenis
Carbofol dengan permukaan seperti kaca memiliki kelebihan karena
dapat memperlihatkan kebocoran yang terjadi sehingga dapat
dilakukan perbaikan dengan segera. Selain itu Carbofol juga mudah,
cepat, dan efisien dalam pemasangan.
3.2.3 Instalasi Pengolahan Lindi TPA
Instalasi pengolahan air lindi di TPA regional Payakumbuh ini
meliputi kolam pengumpul (Equalisasi), anaerobik, maturasi dan
wetland. 1. Kolam Pengumpul
Kolam pengumpul pada IPL ini berguna untuk menampung air lindi
yang berasal dari landfill agar diolah selanjutnya di IPL. Sehingga
meminimalisasi terjadinya pencemaran langsung air lindi pada badan
air.
2. Kolan anaerobik
Pengolahan dengan sistem anaerobik dilakukan pada kondisi tanpa
kehadiran oksigen atau dengan kondisi oksigen dapat diabaikan.
Sistem pengolahan anaerob menghasilkan produk akhir berupa CO2 dan
CH4, penguraian secara anaerob dapat mereduksi BOD 50-90% (Winarto,
1986).
Dalam proses ini dapat terbentuk H2S, NH3, dan CH4 yang
menyebabkan bau busuk. Proses anaerobik berjalan lebih lambat
daripada proses aerob, karena pada proses anaerob terbentuk senyawa
antar lain asam asetat atau asam lemak, sedangkan pada proses aerob
bahan organik terurai sempurna menjadi CO2 dan H2O.
3. Kolam maturasi (Aerobic)
Fungsi utama kolam maturasi adalah untuk merombak sludge
disamping itu juga untuk menentukan kualitas effluen pada tingkat
akhir. Kolam maturasi seluruhnya bersifat aerob dan dapat
dipertahankan sampai kedalaman 3 meter. Pada dua seri kolam
maturasi masing-masing mempunyai kisaran waktu 7 hari. Waktu
tersebut dibutuhkan untuk menurunkan BOD menjadi 25% .4. Kolam wet
land
Constructed wetland merupakan suatu rawa buatan yang di buat
untuk mengolah air limbah domestik, untuk aliran air hujan dan
mengolah lindi (leachate) atau sebagai tempat hidup habitat liar
lainnya.
Di TPA ini pada kolam wetland di masukkan/ ditanam eceng gondok
yang bekerja untuk mengurangi zat-zat pencemar yang ada. Pengolahan
lindi terjadi ketika air lindi melewati akar tanaman, kemudian air
lindi akan diserap oleh akar tanaman dengan bantuan bakteri
Gambar 3.3 Denah Instalasi Pengolahan Lindi TPA Regional
Payakumbuh
3.3 Permasalahan di TPA Regional Payakumbuh
3.3.1 Aspek teknis operasionalPada TPA Regional Payakumbuh ini
terdapat beberapa permasalah dalam pengoperasiannya sehingga
keberlangsungan pengelolaan samaph di TPA ini terhambat. Adapun
masalah yang dihadapi saat ini yaitu kurangnya peralatan-peralatan
yang sangat dibutuhkan dalam pengoperasian TPA ini. Ada beberapa
peralatan yang saat ini masih rusak bahkan belum dimiliki oleh TPA
Regional Payakumbuh ini, peralatan ini meliputi:
1. Alat pemilah (conveyor)Alat pemilah ini masih belum ada di
TPA Regional Payakumbuh, sehingga sampah yang masuk ke TPA sama
sekali belum dipilah dan masih tercampur antara sampah organik dan
sampah anorganik bahkan dengan limbah B3.
2. Alat pengeruk tanah
Alat pengeruk sampah di TPA Regional Payakumbuh ini saat ini
sedang rusak sehingga operasi di TPA ini yang seharusnya sampah
ditimbun setiap hari, untuk saat ini sampah dibiarkan saja sebab
kerusakan alat ini.
3. Alat pengolah kompos
Pada TPA Regional Payakumbuh ini belum terdapat alat pengolah
kompos sehingga belum dilakukan proses komposting.
Selain masalah di atas ada beberapa masalah teknis lain yang
terdapat di TPA ini yaitu masalah mengenai pengolahan air lindi dan
gas metan. Di TPA Regional Payakumbuh ini pengolahan air lindi
sudah dilkukan namun belum optimal sebab kolam lindi yang terdapat
di TPA ini hanya berjumlah 4 dimana outlet yang dihasilkan
sewaktu-waktu masih melebihi ambang batas yang ditentukan. Selain
itu, untuk pengolahan gas metan belum ada dilakukan penglahan di
TPA Regional Payakumbuh ini, sehingga gas metan masih dibakar dan
dibiarkan lepas ke udara bebas.
3.3.2 Aspek Non Teknis
1. Aspek Pembiayaan
Salah satu permasalahan yang paling besar di TPA ini adalah
dalam pembiayaan, dimana dalam pengoperasian TPA ini memerlukan
biaya yang cukup tinggi sehingga operasional TPA ini terganggu
karena kekurangan biaya.2. Aspek Pemerintah
Dalam pengoperasian TPA ini tidak terlepas juga dengan peranan
lembaga terkait demi kelancaran pelaksanaan dari TPA itu sendiri.
TPA Regional Payakumbuh ini melayani 5 daerah, namun masih ada
beberapa daerah yang belum mendapat dukungan penuh dari pemerintah
setempat dalam penganan sampah sehingga sampah yang ada di daerah
tersebut belum terdistribusi ke TPA ini.3. Aspek Peran Serta
Masyarakat
Untuk peran masyarakat itu sendiri jika dilihat dari jumlah
sampah yang masuk ke TPA ini, dapat disimpulkan bahwa masyarakat
kurang berperan aktif dalam pengelolaan sampah ini, hal tersebut
dapat dilihat bahwa masyarakat tidak melakukan pemilahan terlebih
dahulu di sumber untuk mereduksi jumlah sampah yang masuk ke TPA,
sehingga sampah yang masuk ke TPA masih tercampur.
3.3.3 Rekomendasi Perbaikan
Berdasarkan permasalah di atas maka dapat diberikan beberapa
rekomendasi untuk perbaikan pengoperasian di TPA Regional
Payakumbuh, antara lain:
1. Melakukan perbaikan pada peralatan yang rusak dan
mengusahakan semaksimal mungkin untuk menambah peralatan yang
dianggap berperan penting dalam pengoperasian sampah di TPA
Regional Payakumbuh ini;2. Menerapkan teknologi yang dapat
memanfaatkan gas metan menjadi energi;3. Melakukan perbaikan atau
penambahan kolam lindi agar effluent yang dihasilkan tidak
menimbulkan dampak besar bagi lingkungan;4. Melakukan penelitian
secara berkala mengenai effluent yang dihasilkan;5. Untuk
pemerintah dan lembaga terkait agar dapat mendukung kelancaran dari
pengoperasian TPA Regional Payakumbuh ini;6. Melakukan penyuluhan
kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sampah
sehingga jumlah sampah yang masuk ke TPA berkurang.BAB IVPENUTUP4.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari makalah ini adalah:
1. TPA Regional Payakumbuh terletak di Keluarahan Kapalo Koto,
Kecamatan Payakumbuh Selatan dengan luas 8 Ha dari 17 Ha yang telah
disediakan Pemko Payakumbuh untuk lahan TPA, melayani Kota
Payakumbuh, Bukttinggi, Padang Panjang. Kabupaten Agam, Tanah Datar
dan Lima Puluh Kota, tetapi sampah yang baru masuk yaitu dari Kota
Payakumbuh dan Bukittinggi;
2. TPA Regional Payakumbuh didesain untuk 20 tahun dengan sistem
operasional sanitary landfill dengan tanah penutup berasal dari
bukit yang secara khusus digunakan sebagai tanah urug; Sumber dana
pembangunan TPA berasal dari APBN dan APBD
3. Sistem sanitary landfill yang dilakukan di TPA Regional yaitu
penimbunan sampah setiap hari dengan tanah urug setebal 1 m, akan
tetapi pada saat kunjungan lapangan tidak dilakukan penutupan
sampah karena alat pengurug sampah sedang dalam perbaikan;4.
Pengolahan lindi sampah dilakukan dengan menggunakan kolam
pengolahan yaitu kolam pengumpulan, anaerobik, maturasi dan wet
land, kemudian effluentnya di alirkan ke badan sungai yang melewati
irigasi untuk persawahan;5. Permasalahan yang sedang di hadapi TPA
Regional Payakumbuh yaituditinjau dari aspek teknis dan non teknis
seperti rusaknya alat pengurug, kolam pengolahan lindi, tidak
jalannya beberapa peralatan sesuai prosedur, pembiayaan dan
lainnya.4.2 Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan makalah ini adalah:
1. Pemerintah kota/ kabupaten terkait sebaiknya segera
menyelesaikan permasalahan yang membuat operasional TPA Regional
tidak berjalan sesuai rencana,2. Pengelola TPA segera memperbaiki
kekurangan baik dari aspek teknis maupun non teknis;
3. Masyarakat sekitar diharapkan dapat menjaga TPA sehingga
operasional TPA dapat berjalan sesuai periode desain;
4. Masyarakat kota/ kabupaten yang terlibat diharapkan dapat
berperan aktif dalam pemilahan sampah sebelum diangkut ke TPA;
5. Sebagai mahasiswa Teknik Lingkungan diharapkan mampu
memberikan solusi atau alternatif pengolahan lindi sebelum dibuang
ke badan sungai agar tidak mencemari lingkungan.
MAKALAHTEKNIK PENGOLAHAN SAMPAHKUNJUNGAN LAPANGAN TPA REGIONAL
PAYAKUMBUHOLEH:KELOMPOK 1
ANGGOTA:
DHARMA WANGSA
0810941007MURSYIDA FADHIL
1110941005
NANDA ELIN JUNAIDI
1110942005REVITA MIZALIA
1110942007
VIVIE JUNIKA DAMID
1110942019
MUTIARA FAJAR
1110942029
TIARA WAHYUNI
1110942031
SHABRINA YUNITA SARI
1110942039
REGINA MARDATILLAH
1110942045
DOSEN
SLAMET RAHARJO, Dr. ENG
JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK-UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013