[1] PERKEMBANGAN TEORI DIFFERENSIAL 1. POSTSTRUKTURALISME 1.1. Definisi Post-strukturalisme adalah sebuah pikiran yang muncul akibat ketidak puasan atau ketidak setujuan pada pemikiran sebelumnya, yaitu strukturalisme. Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure (Ferdinand de Saussure, 1857-1913) bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama. Menurut David dapat dikatakan bahwa post-strukturalisme hadir sebagai dekonstruksi dari Strukturalisme. Post-strukturalisme menolak gagasan kualitas penting dari hubungan yang dominan dalam hirarki, dan lebih memilih untuk mengekspos hubungan-hubungan dan ketergantungan istilah dominan padanya tampak tunduk pada pasangannya. Satu- satunya cara untuk benar memahami makna adalah mendekonstruksi asumsi dan sistem pengetahuan yang menghasilkan ilusi makna tunggal. Tindakan dekonstruksi menerangi bagaimana laki-laki dapat menjadi perempuan dan bagaimana rasional dapat menjadi emosional. 1.2. Sejarah Post-strukturalisme dalam kesusasteraaan Strukturalisme dibangun atas prinsip saussure, bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tehapan tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa yakni bagaimana bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post-strukturalis berpikir sementara menjadi hal yang utama. Post-strukturalisme berpendapat bahwa konsep “diri” sebagai entitas yang terpisah, tunggal, dan koheren membangun fiksi. Sebaliknya, individu terdiri dari ketegangan antara klaim-klaim pengetahuan yang saling bertentangan (misal jenis kelamin, ras, kelas, profesi, dan lain-lain). Beberapa tokoh yang mendukung atau condong pemikirannya kepada Post- Strukturalisme diantaranya adalah seorang flusuf Prancis Jacques Derrida, pemikiran psikoanalisis Jacques Lacan, ahli teori kebudayaan Michael Foucault dan Jean-Francois Lyotard.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
[1]
PERKEMBANGAN
TEORI DIFFERENSIAL
1. POSTSTRUKTURALISME
1.1. Definisi
Post-strukturalisme adalah sebuah pikiran yang muncul akibat ketidak puasan atau
ketidak setujuan pada pemikiran sebelumnya, yaitu strukturalisme. Strukturalisme
dibangun atas prinsip Saussure (Ferdinand de Saussure, 1857-1913) bahwa bahasa
sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single
temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang dan
berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam
pemikiran post strukturalis, berpikir sementara menjadi hal yang utama. Menurut David
dapat dikatakan bahwa post-strukturalisme hadir sebagai dekonstruksi dari
Strukturalisme.
Post-strukturalisme menolak gagasan kualitas penting dari hubungan yang
dominan dalam hirarki, dan lebih memilih untuk mengekspos hubungan-hubungan dan
ketergantungan istilah dominan padanya tampak tunduk pada pasangannya. Satu-
satunya cara untuk benar memahami makna adalah mendekonstruksi asumsi dan sistem
pengetahuan yang menghasilkan ilusi makna tunggal. Tindakan dekonstruksi menerangi
bagaimana laki-laki dapat menjadi perempuan dan bagaimana rasional dapat menjadi
emosional.
1.2. Sejarah
Post-strukturalisme dalam kesusasteraaan Strukturalisme dibangun atas prinsip
saussure, bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tehapan
tunggal sementara (single temporal plane). Aspek diakronis bahasa yakni bagaimana
bahasa berkembang dan berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang
penting. Dalam pemikiran post-strukturalis berpikir sementara menjadi hal yang utama.
Post-strukturalisme berpendapat bahwa konsep “diri” sebagai entitas yang terpisah,
tunggal, dan koheren membangun fiksi. Sebaliknya, individu terdiri dari ketegangan
antara klaim-klaim pengetahuan yang saling bertentangan (misal jenis kelamin, ras,
kelas, profesi, dan lain-lain).
Beberapa tokoh yang mendukung atau condong pemikirannya kepada Post-
Strukturalisme diantaranya adalah seorang flusuf Prancis Jacques Derrida, pemikiran
psikoanalisis Jacques Lacan, ahli teori kebudayaan Michael Foucault dan Jean-Francois
Lyotard.
[2]
Derrida menekankan “logosentrime” (berpusat pada logos) pemikiran barat bahwa
makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan dan tidak tunduk
pada permainan bahasa. Derrida sepakat dengan Saussure bahwa bahasa merupakan
produk yang berbeda antar penanda, tapi dia berpikir melampaui Saussure dalam
menegaskan bahwa dimensi sesaat (temporal dimension) tak dapat ditinggalkan. Ciri dari
Derrida melampaui pemikiran Saussure adalah pemikiran Derrida yang percaya bahwa
penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung dalam tahapan yang sama dalam
praktek tindak tutur (act of speaking). Dan Derrida memandang bahwa Saussure tidak
bisa melepaskan dirinya dari pandangan logosentris, sejak Saussure lebih
mengunggulkan bahasa di atas tulisan.
Selain itu Derrida juga menyerang pandangan logosentrisme dan menilai bahwa
tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi.
Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan
yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.
Pemikiran post-strukturalis juga berkembang di Amerika pada tahun 1970-an,
khususnya di kalangan kritikus yang tinggal di Yale, atau disebut para dekonstruksionis
Yale. Teoritikus terkemuka Yale adalah Paul de Man yang berpendapat bahwa teks sastra
telah tergabung dengan “pertentangan” Derrida.
Jadi secara garis besarnya pemikiran post-strukturalisme adalah pemikiran yang
tidak hanya terpaku kepada tulisan ataupun bahasa yang dituliskan akan tetapi selain
tulisan, post-strukturalis juga tidak meninggalkan maksud dari sang penulis yang
membuat sebuah tulisan. Lebih jelasnya selanjutnya penulis akan mencoba menguraikan
beberapa tokoh post-strukturalisme serta pemikiran-pemikirannya.
1.3. Tokoh
Meskipun banyaknya para pemikir post-strukturalisme, akan tetapi dalam makalah
ini penulis hanya akan menyampaikan dua tokoh dari post-strukturalisme, yaitu Jacques
Derrida dan Jacques Lacan.
a. Jacques Derrida
Jacques Derrida lahir di al-Jazair pada tanggal
15 Juli 1930, dan ia adalah seorang Filusuf Prancis
keturunan Yahudi. Pada tahun 1949 Ia pindah ke
Prancis dan menetap di Prancis hingga akhir
hayatnya. Beliau kuliah dan belajar di Prancis hingga
akhirnya dia menjadi maitre-assistant, dosen tetap di bidang Filsafat. Selain dosen
tetap di bidang filsafat, beliau juga dalam beberapa waktu sebagai dosen tamu di Yale
[3]
University, Amerika Serikat. Dan pada masa mudanya Derrida pernah menjadi
anggota Partai Komunis Prancis.
Pada 1967, Derrida sudah menjadi filsuf kelas dunia. Ia menerbitkan tiga karya
utama (Of Grammatology, Writing and Difference, dan Speech and Phenomena).
Seluruh karyanya ini memberi pengaruh yang berbeda-beda, namun Of
Grammatology tetap karyanya yang paling terkenal. Pada Of
Grammatology, Derrida mengungkapkan dan kemudian merusak oposisi ujaran-
tulisan, yang menurut Derrida telah menjadi faktor yang begitu berpengaruh pada
pemikiran Barat. Keasyikan Derrida dengan bahasa dalam teks ini menjadi ciri khas
sebagian besar karya awalnya. Sejak penerbitan karya-karya tersebut serta teks-teks
penting lain (termasuk Dissemination, Glass, The Postcard, Spectres of Marx, The
Gift of Death, dan Politics of Friendship), dekonstruksi secara bertahap meningkat,
dari memainkan peran utama di benua Eropa, kemudian juga berperan penting dalam
konteks filosofis Anglo-Amerika. Peran ini khususnya terasa dibidang kritik sastra,
dan kajian budaya, dimana metode analisis tekstual dekonstruksi memberi inspirasi
kepada ahli teori, seperti Paul de Man.
Salah satu pandangan Derrida yaitu tentang ilmu pengetahuan dan filsafat, bagi
Derrida filsafat tidak dapat dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan. Filsafat dan
ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan hal sama, karena kedua-duanya berakar
dalam rasionalitas yang sama. Yaitu bahwa rasionalitas itu tidak lain daripada
pemikiran Barat yang lahir di Yunani dan berlangsung sampai hari ini.
Pemikiran Barat yang pada waktu itu berpandangan bahwa yang ADA itu
dimengerti sebagai “kehadiran”, maka menurut Derrida pemikiran tentang ada
sebagai “kehadiran” itu disebut juga kedalam “metafisika”. Dan pandangan ini
selanjutnya berpengaruh terhadap pandangan tentang tanda. Dalam tradisi metafisis
tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir. Tanda mengganti apa yang tidak hadir.
Derrida juga berpendapat bahwa kehadiran tidak merupakan sesuatu instansi
independen yang mendahului tuturan dan tulisan kita, tetapi sebaliknya ditampilkan
dalam tuturan dan tulisan kita, dalam tanda yang kita pakai.
Pandangan ini adalah pandangan yang berbalik dari apa yang disebutnya
“Logosentrisme” : pemikiran tentang ada sebagai kehadiran. Dan pandangan ini juga
yang menjadi analisis terhadap pandangan tentang tanda yang dikemukakan oleh
Ferdinand de Saussure, perintis besar linguistik modern, yang memperlihatkan
bahwa di situ pun masih ada sisa-sisa logosentrisme.
Kemudian Derrida berusaha memikirkan tanda sebagai trace (bekas), suatu
kata yang sebelumnya sudah dipakai sebagai istilah teknis dalam filsafat, pada
plotinus misalnya dan di zaman kita sekarang pada Heiddeger dan terutama Levinas.
[4]
Bekas tidak mempunyai substansi atau bobot sendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas
tidak dapat dimengerti tersendiri (terisolasi dari segala sesuatu yang lain), tetapi
hanya sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Bekas mendahului objek. Bekas itu
sebelumnya bukan efek, melainkan terutama penyebab, kata Derrida. Sehingga bisa
dikatakan bahwa tanda secara definitive (dan tidak untuk sementara saja) mendahului
kehadiran; tanda selalu sebelum objek.
b. Jacques Lacan
Jacques lacan adalah tokoh yang sangat berpengaruh
didalam psikoanalisa dengan teorinya yang menafsirkan
ulang karya-karya freud, selain dianggap memberikan
terobosan di dalam psikoanalisa lacan juga dianggap
mengacaukan teori psikoanalisa konvensional. Jacques
lacan adalah seorang terapis perancis yang memiliki latar
belakang filsafat dan surealisme. Lacan menganggap
psikoanalisa khususnya amerika sudah bergeser dari konsep awal yang dicetuskan
freud karena lacan menganggap para terapis telah menjadikan pasien-pasiennya
sebagai obyek penelitian dan para terapis telah melakukan interupsi dalam porsi
besar-besaran terhadap perkembangan pasiennya karena lacan beranggapan bahwa
psikoanalisa adalah ilmu pengobatan yang didalam prakteknya seorang terapis tidak
boleh ikut campur dalam perkembangan pasiennya dan hanya membuka jalan kepada
wilayah tidak sadar pasiennya dan membiarkan pasiennya yang menemukan jalan
keluar permasalahannya sendiri.
Lacan juga menyadari bahwasanya pemikiran freud yang dipelajarinya selama
ini adalah pemikiran yang keliru karena freud yang dipelajariya adalah freud
berdasarkan pemahaman Freudian perancis dan freud yang mendominasi amerika.
kemudian ia memutuskan untuk membaca ulang karya freud dan berusaha untuk
memahami pemikiran freud yang sesungguhnya. Secara garis besar pengaruh yang
dominan dalam teori lacan adalah pemikiran freud, filsafat hegel dan filsafat
strukturalis dan post strukturalis.
Jacques Lacan (1901 – 1981) mengambil ide Saussure dan menerapkannya
dalam psikoanalisa. Lacan berargumen bahwa alam bawah sadar terstruktur seperti
bahasa, yaitu bahwa alam bawah sadar adalah sebuah sistem semiotik yang
mempunyai arti secara arbiter. Lacan juga mempostulasikan bahwa setiap manusia
selalu melewati tahap berkaca (mirror stage) di mana manusia mengkonstruksi
diri yang koheren dengan melihat diri sendiri di sebuah kaca. Akan tetapi diri dan
[5]
koherensinya berdasar pada pengenalan diri yang salah (misrecognition) karena
bayangan yang ada di cermin nampak lebih menyatu dan terpisah dari diri kita.
Seperti dalam teori linguistik Saussure, diri (self) tidak mempunyai ontology, tetapi
lebih merupakan sebuah konstruksi, sebuah tanda, yang diciptakan melalui hubungan
dan perbedaan.
Dalam pemikiran lacan dengan mengacu pada pemikiran freud tentang fase
perkembangan manusia lacan menjabarkan bahwasanya ada tiga fase didalam diri
manusia yaitu the real, imajiner, dan simbolik. Didalam fase the real adalah masa
seorang subyek berada didalam suatu keadaan yang serba berkecukupan dalam artian
segala sesuatu yang ia butuhkan sudah terpenuhi dengan sendirinya, contohnya
adalah bayi yang berada didalam rahim sang ibu dimana sang bayi berada dalam
kenyamanan dan serba berkepenuhan yang disuplai oleh tubuh ibunya serta
keduanya menyatu didalam satu tubuh. Kemudian dilanjutkan kedalam the imajiner
atau fase cermin. Yaitu satu kondisi dimana subyek telah menyadari bahwa ia
terpisah dari tubuh ibunya dan memiliki satu keutuhan yang berbeda dari ibunya
yang digambarkan dengan seorang anak dihadapkan didepan cermin yang kemudian
sang anak mengidentifikasi bahwa citra cermin yang dihadapannya adalah “dia”
padahal disisi lain citra yang dipantulkan hanyalah sekedar pantulan cermin yang
kemudian terjadilah keterplesetan dalam proses pengidentifikasian diri oleh subyek.
Selain itu dalam pemikiran lacan dalam fase cermin telah terjadi alienasi didalam diri
subyek yaitu citra yang dipantulkan dan diidentifikasikan oleh subyek tidak lain
adalah sebuah pengharapan “the other” terhadap diri subyek itu sendiri. Jadi alienasi
didalam pemikiran lacan adalah masuknya pengharapan “the other” kedalam diri
seorang anak. Contohnya seorang anak yang bersekolah, apakah mengikuti
pendidikan formal merupakan keinginan murni dari anak tersebut? Apakah tidak ada
kontribusi keinginan “the other” terhadap si anak yang kemudian ia memutuskan
untuk masuk sekolah? The other dalam lacan adalah orang lain yang ada disekeliling
subyek. Yaitu keluarga, saudara, tetangga dan lain-lain.
2. POSTKOLONIALISME
2.1. Definisi
Secara etimologis poskolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial, sedangkan
kata kolonial itu sendiri berasal dari kata coloni, bahasa Romawi, yang berarti tanah
pertanian atau pemukiman. Jadi, secara etimologis kolonial tidak mengandung arti
penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi ekploitasi lainnya. Konotasi
[6]
negatif kolonial timbul sesudah terjadi intraksi yang tidak seimbang antara penduduk
pribumi yang dikuasai dengan penduduk pendatang sebagai penguasa. Dikaitkan
dengan Pengertian kolonial terakhir (Ania Loomba, 2003: 2-3), maka Negara-negara
eropah modern bukanlah kolonialis yang pertama. Penaklukan terhadap suatu
wilayah tertentu telah dilakukan jauh sebelumnya misalnya, tahun 1122 SM dinasti
Shang di Cina ditaklukkan oleh dinasti Chou, kekaisaran Romawi abad ke 2 M
menguasai Armenia hingga lautan Atlantik, tahun 712 lembah sungai Indus
ditaklukkan oleh Muhammad bin al- Qassim, bangsa Mongol menguasai Timur
tengah dan Cina, bangsa Aztec abad ke 14 dan kerajaan Inca abad ke 15 menaklukkan
bangsa-bangsa lain disekitarnya, dan sebagainya. Aksi kolonialisme Negara-negara
Eropah modern baru mulai sekitar abad ke 16.
2.2. Sejarah
Post kolonialisme merupakan periode setelah kolonialisme berakhir. Post-
kolonialsme mulai dikenal pada tahun 1961 melalui tulisan Orientalism karya
Edward Said dan The Wretched of The Earth karya Frantz Fanon, yang merupakan
bentuk aspirasi dalam memberantas kolonialisme. Post-kolonialisme tumbuh subur
ketika pergerakan anti kolonialisme begitu marak dilakukan. Dalam konteks
Hubungan Internasional, post-kolonialisme lahir sebagai wujud kekecewaan
terhadap teori mainstream yang hanya memfokuskan pada aspek power, politik dan
negara. Ada aspek-aspek penting selain ketiga hal tersebut yakni aspek kultural dan
kemanusiaan, terutama pasca kolonialisme. Post-kolonialisme menyatakan bahwa
kebodohan dan kemiskinan merupakan akibat kolonisasi, kemajuan negara koloni
tidak terlepas dari sumbangsih negara jajahan (Wardhani 2013). Tujuan
pengembangan teori postkolonialisme ini sendiri adalah untuk melawan sisa-sisa
dampak dari terjadinya kolonialisme dalam pengetahuan termasuk pada sisi budaya
(Grovogui 2007). Kaum post-kolonialisme mendambakan adanya tatanan dunia yang
lebih baik setelah kolonialisme berakhir. Tatanan dunia yang lebih baik ini didorong
melalui adanya self determination dan decolonization.
Kolonialisme meninggalkan warisan budaya di negara jajahan. Contohnya
adalah penggunaan jas di Indonesia sebagai pakaian resmi dalam berbagai acara. Jas
adalah pakaian dari Eropa yang kerap digunakan karena cuaca di Eropa memang
dingin. Sayangnya di Indonesia ini diaplikasikan mentah-mentah. Dalam kondisi
tropis pun jas tetap dipakai. Warisan budaya ini tidak hanya dalam cara berpakaian,
[7]
tapi juga dalam cara makan, life style bahkan pola pikir. Warisan kolonialisme
semacam inilah yang ingin dihapuskan oleh post-kolonialisme.
Pada masa penjajahan Eropa muncul istilah The Man dan The Native. The
Manmerujuk pada ras kaukasoid bangsa Eropa, sedangkan The Native merujuk pada
bangsa yang bukan merupakan ras kaukasoid. The Man menganggap diri mereka
adalah ciptaan terbaik sehingga berhak untuk menguasai The Native. Post-
kolonialisme menolak pembagian golongan ini karena hal pembagian ini dianggap
sebagai penyelewengan kekuasaan oleh Eropa dan merupakan suatu tindakan tidak
manusiawi melalui marginalisasi golongan tertentu.
2.3. Tokoh
a. Edward W.Said
Edward W. Said merupakan salah seorang
tokoh postkolonial yang terkenal adalah Edward W.
Said, lahir di Palestina, kemudian mengembangkan
karirnya di Amerika Serikat. Sesuai dengan riwayat
hidupnya, berpindah-pindah dari suatu Negara
kenegara lain, maka tema-tema karyanya khususnya
Orientalism, melukiskan tentang perpisahan, marginalitas, hibriditas, dan ciri
keterasingan lainnya. Oleh karena itu ia menganggap bahwa tanah airnya adalah
seluruh dunia
Di dunia Anglo Amerika dirintis oleh Edward W. Said dengan bukunya
yang berjudul Orientalism (1978). Pada umumnya gejala-gejala kultural tersebut
terkandung dalam berbagai teks studi mengenai dunia timur, yang ditulis oleh
para orientalis., yang disebut sebagai teks-teks oriental( dari kata orien yang
berarti timur). Meskipun demikian, sebagai akibat dominasi intelektualis barat,
banyak juga karya-karya yang melukiskan ketidakseimbangan hubungan antara
masyarakat Timur yang ditulis oleh intelektual pribumi yang telah terkontruksi
oleh pemikiran barat. Visi postkolonial tidak ada kaitan dengan masalah-masalah
sosial politis secara praktis. Dalam analisis, khususnya dalam karya sastra, tidak
mesti dikaitkan dengan intense pengarang. Kebesaran; demikian juga kegagalan
sebuah karya tidak disebabkan oleh adanya unsur-unsur oriental, melainkan
bagaimana unsur-unsur tersebut ditampilkan secara estetis. Visi postkolonial
menelusuri pola-pola pemikiran kelompok orientalis dalam rangka membangun
[8]
superioritas Barat, dengan konsekuensi logis terjadinya inferioritas Timur. Oleh
karena itu, sasaran visi postkolonial adalah subjek kolektif intelektual barat,
kelompok oriental menurut pemahaman Edward Said.
b. Bill Ashcroft
Secara defenitif (Bill Ashcroft, dkk 2003: xxii-
xxiii ) teori postkolonial lahir sesudah kebanyakan
Negara-negara terjajah memperoleh kemerdekaannya.
Teori postkolonial mencakup seluruh khazanah sastra
nasional yang pernah mengalami imperial sejak awal
kolonisasi hingga sekarang. Sastra yang dimaksudkan, diantranya Afrika,
Austalia,Bangladesh, Canada,Karibia, India, Malta, Selandia Baru, Pakistan,
Singapura, kepulauan fasifik Selatan, Srilangka, Malaysia, dan Indonesia. Sastra
Amerika justru dimasukkan sebagai prototipe postkolonial sebab sejak abad ke-
18 telah mengembangkan konsep sastra nasional Amerika yang dibedakan
dengan sastra Inggris.
Postkolonial dengan demikan sangat relevan untuk menyebutkan kritik
lintas budaya sekaligus wacana yang ditimbulkannya. Tema-tema yang perlu
dikaji sangat luas dan beragam, meliputi hampir seluruh aspek kebudayaan,
diantaranya : politik, ideologi, agama, pendidikan, sejarah, antropologi, ekonomi,
kesenian, etnisitas, bahasa, dan sastra, sekaligus dengan bentuk praktik di
lapangan, seperti perbudakan, pendudukan, pemindahan penduduk, pemaksaan
bahasa, dan berbagai bentuk invasi kultural yang lain.meskipun demikian,
keberagaman permasalahan tersebut dipersatukan oleh tema yang sama, yaitu
kolonialisme.
c. Frantz Fanon
Proyek postkolialisme pertama kali dikemukakan
oleh Frants fanon dengan bukunya yang berjudul Black
Skin, White Masks and the Wretched of the Earth (1967).
Fanon adalah wseorang psikiater yang mengembngkan
analisis yang sangat cermat mengenai dampak psikologis
dan sosiologis yang ditimbulkan oleh kolonisasi. Fanon
menyimpulkan bahwa melalui diktomi kolonial, penjajah –terjajah, wacana
oriental telah melahirkan alienasi dan menganalisasi psikologis yang sangat
dahsyat.
[9]
3. POSTFEMINISME
3.1. Latar Belakang dan Sejarah
Posfeminisme merupakasuatu istilah yang saat inir amai diperbincangkan.
Istilah ini dapat merupakan reaksi buruk (back lash) dari media massa terhadap
perlawanan kepada perjuangan feminism. Selama ini secara tradisional, kehidupan
masyarakat masih bersifat patriarchal dan memarginalkan peranan kaum perempuan.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, wanita sudah mulai melakukan
pergerakan maju dan mulai meniggalkna kesan bahwa wanita itu lemah dan hanya
bias “nurut” kepada keputusan pria.
Judith Stacey, seorang kritikus feminis mengungkapkan bahwa istilah
“posfeminis” merupakan sebuah istilah atau term yang menarik untuk diperdebatkan
atau di bahas. Sampai saat ini belum banyak literature yang membahas masalah ini
dan bagaimana awalnya istilah ini bisa muncul. Apakah istilah ini muncul hanya
karena pengaruh media dan bagaimana hubungannya dengan “feminism”?
Posfeminisme bukannya anti feminis, tetapi hanya untuk membuktikkan
asumsi yang dipercaya oleh para feminis gelombang kedua bahwa ada penindasan
patriarki terhadap kaum perempuan. Perkembangan feminism gelombang kedua
muncul sekitar tahun 1960 setelah berakhirnya Perang Dunia II dan bermunculannya
banyak Negara-negara baru dengan pemikiran-pemikiran mereka sendiri. Momen ini
menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang
pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan
dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti
konkret yang diberikan kaum feminis.
Ann Brooks menyatakan bahwa posfeminisme adalah mengenai berbagai
tantangan yang ditujukan pada apa yang telah diidentifikasikan sebagaimana
feminism ‘hegemonik’ (Sandoval, 1991) yang akarnya jelas berada dalam pengaruh
Anglo-Amerika yang begitu kuatnya mempengaruhi konseptualisasi feminism
gelombang kedua.
Posfeminisme disini hanyalah sebagai penggerak perubahan pola berpikir
kaum perempuan. Bukan berarti anti feminis, tetapi hanya menunjukkan bahwa ada
perlawanan dari kaum perempuan atau feminis di segala bidang, yang selam ini
dianggap hanya dikuasai oleh pria.
3.2. Tokoh
a. Benhabib (1986:342)
[10]
Benhabib Mengatakan “Hal ini mengakibatkan
ketidakmampuan yang dapat disamakan dengan
memperlakukan kebutuhan, hasrat, dan emosi manusia di
dalam cara yang lain ketimbang drngan mengabstrasikannya
dari mereka dan dengan menghukum mereka dalam kebisuan.
Keadilan konstitusional dengan demikian dipandang
merepresentasikan suatu tahapan perkembangan moral yang
lebih tinggi daripada tanggung jawab, kepedulian, cinta dan solidaritas
interpersonal; respek atas hak dan kewajiban dianggap sebagai hal yang pertama
untuk mempedulikan dan memperhatikan mengenai kebutuhan orang lain;
kognisi moral mendahului afeksi moral; pikiran, bias kita simpulkan, adalah
kedaulatan tubuh dan nalar, penilai sifat dasar batin.”
Beberapa Gerakan Perempuan yang muncul pada tahun 1960-an sampai
1970-an memungkinkan para penulis perempuan dan feminis untuk
mengungkapkan ide-ide dan gagasan mereka untuk wacana yang berbau politik,
ekonomi dan budaya. Peran perempuan yang muncul ini sekaligus untuk
“mematahkan” anggapan bahwa wanita hanya bisa bisu dan mengikuti apa saja
yang diungkapkan oleh para penulis pria.
Kemudian bagaimana posfeminisme bisa mempresentasikan unsur-unsur
dari budaya pop? Banyak para penulis atau peneliti yang memakai Madonna
sebagai contoh kasus dalam hal posfeminisme dan budaya. Madonna sebagai
seorang public figure dikenal sebagai seorang wanita yang maju, berani, dan
banyak membawa perubahan pandangan khalayak terhadap wanita.
b. Morris (1988: 14)
Morris mengungkapkan “Kegigihan figure perempuan sebagai budaya
massa (ironi modernism), bukanlah kecelakaan bahwa perdebatan tentang suatu
yang dianggap bisu dan absen dari perempuan telah berlangsung dalam
hubungannya dengan karya tentang budaya pop yang pada gilrannya merupaka
komponen posmodernisme.”
4. POSTDEVELOPEMENTALISM
Di Indonesia, kata dan konsepsi ‘pembangunan’ teramat keramat. Padahal,
maknanya tidak pernah dimengerti, apalagi digugat. Pembangunan sebenarnya
memiliki arti yang bersayap. Ia tidak semestinya dianggap berkesudahan, alias
[11]
final. Sebagai sebuah kata kerja, dan aktifitas, membangun juga menyiratkan
sebuah kelanjutan. Coba gunakan kata memelihara, merawat atau pun
membongkar, merusak, menghancurkan, atau merubuhkan sebagai tindak lanjut
membangun. Logikanya, secara konseptual, dalam risalah ‘pembangunan’, perlu
ada cara pandang alternatif yang menanggapi stagnasi gagasan pembangunan.
Hal ini terlebih relevan, jika pembangunan yang kita kenal ternyata hanya
membangun, tetapi tidak menghidupi. Lebih-lebih jika pembangunan hanya
berlaku untuk segelintir, dan tidak sesama, apalagi semua. Di sinilah makna kata
membangun perlu dibongkar, atau setidaknya ditinjau kembali.
Dalam khasanah akademik global, istilah post development kemudian muncul
sebagai antitesis dari development: pembangunan. Ia –post development- bukan
barang baru yang dijual dengan mantra-mantra lama, ataupun barang lama yang
dibungkus dalam kemasan baru. Perdebatan yang melahirkan gagasan ini mengular
dari perdebatan soal aplikasi teori neoklasik (pertumbuhan ekonomi),
strukturalisme (Import Substitution Industry-ISI) dan teori dependensi
(ketergantungan negara ketiga pada kemajuan ekonomi negara pertama) hingga ke
ketimpangan globalisasi, yang berujung pada pertanyaan yang paling fundamental,
yakni makna, lantas masa depan pembangunan itu sendiri.
Karena nyatanya, pembangunan justru kerap menjadi pemicu kemiskinan dan
keterbelakangan, hingga pada kerusakan lingkungan. Selain itu, dusta terbesar
pembangunan adalah klaim soal meningkatnya kesejahteraan, dimana yang
sesungguhnya terjadi adalah pemusatan kekayaan, dimana segelintir orang
menguasai hajat hidup orang banyak dan berujung pada ketimpangan dan
ketidakadilan. Hal ini berlaku baik di tingkat global maupun di sebagian besar
negara dunia pertama dan sisanya.
Syahdan, tidak ada saat yang lebih tepat untuk memikirkan kembali
pembangunan secara keseluruhan ketimbang saat ini. Dengan iklim dunia yang
berada di ambang kehancuran, dan nyatanya peminggiran masyarakat lokal dengan
segenap kekayaan dan identitasnya, jalan utama pembangunan tiap negara masih
tidak berubah. Dipandu oleh gurita kapitalisme, negara terus memaksakan dirinya
sebagai aktor utama pembangunan dengan menggunakan peta yang sama sekali
tidak menyertakan aspek lingkungan hidup, partisipasi masyarakat, efek sosial,
kedaulatan komunitas dan keberlanjutan. Di Indonesia, hal ini sangat terasa melalui
[12]
MP3EI, proyek yang digadang-gadang sebagai katalis pertumbuhan ekonomi
nasional.
Sebaliknya, bukankah kita sudah kenyang mendengar kasus-kasus yang
terjadi di Papua, Minahasa, Bima, Danau Toba, dan tak terhingga cerita lainnya
mengenai ayam yang mati di lumbung padi? Ditopang dengan cara pandang
developmentalist, kisah seperti ini akan terus berulang. Iman pada pertumbuhan lah
yang mendorong kita untuk merelakan kekayaan (alam, finansial, akses) pada
segelintir orang demi ilusi akan kesejahteraan bersama. Benar, pertumbuhan pada
aras global telah berhasil menurunkan persentase kemiskinan global, namun angka
mutlaknya telah bertambah. Seperti diungkapkan Arturo Escobar, pembangunan
pada akhirnya hanya mereproduksi relasi kuasa yang timpang. Jangan heran jika
banyak lara pertumbuhan yang tidak disuarakan, memungkinkan para pendukung
Structural Adjustment memenangi perang ideologis dalam hal kebijakan ekonomi
dan pembangunan melalui institus-institusi strategis nan dogmatis (IMF, WB,
OECD, WTO, dll).
Post development sejatinya menawarkan solusi baru, yakni cara pandang
melampaui pembangunan yang mengukur keberhasilan negara dalam hal produksi
dan konsumsi ekonominya (post growth). Post development dalam beberapa aspek
sejalan dengan perkembangan pemikiran teori sosial yang banyak merujuk pada
gagasan post-strukturalis, post modernis dan post colonial, yang menyangkal
keabsahan narasi besar serta universalitas pengetahuan. Yang lebih utama, post
development paling tepat sebagai gagasan emansipasi negara dunia ketiga dalam
menulis naskah dan narasi pembangunan mereka sendiri. Hal lain yang perlu
dicatat, post development tidaklah sama dengan gagasan human development atau
people centered development. Ia justru sudah mencakup dan melebur kesemuanya.
Dalam hal ini, jalan yang hendak ditempuh adalah dengan mendengarkan aktor-
aktor pinggiran yang selama ini hanya menjadi penonton pembangunan, dan
mencari jalan keluar yang sesuai dengan kaidah koeksistensi, pencarian makna
kebebasan yang melekat pada individu serta komunitasnya, untuk membiarkan
narasi kecil menjadi pelantun kehidupan yang berarti.
Sekilas, post development terdengar seperti romantisasi yang berlebih.
Membayangkan dunia yang lebih baik tanpa tuntutan materiil atau modernisasi.
Memang, tanpa praksis atau bukti keberhasilan, inilah kritik terbesar terhadap
gagasan tersebut. Namun, pengejawantahan Post Development tidak sesempit dan