Tugas Makalah Penafsiran Al-Ahkam Bagi Pengembangan Ijma’ dan ‘Urf Disusun Oleh : Dede Nurdin Mata Kuliah : Tafsir Ahkam Dosen : Prof. DR. Chozin Nasuha, MA DR. Ahmad Hasan Ridwan, MA Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Tugas Makalah
Penafsiran Al-Ahkam Bagi Pengembangan Ijma’ dan ‘Urf
Disusun Oleh :
Dede Nurdin
Mata Kuliah : Tafsir Ahkam
Dosen : Prof. DR. Chozin Nasuha, MA
DR. Ahmad Hasan Ridwan, MA
Program Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir ahkam atau tafsir ayat al-ahkam (tafsir ayat-ayat
hukum) adalah tafsir Al-Qur’an yang berorientasi kepada pembahasan ayat-ayat hukum.9
Pembatasan ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an sebagai ciri khas dari tafsir
ahkam dengan metode tafsir lainnya.
Perkembangan Tafsir Ahkam
Membahas tentang perkembangan tafsir ahkam tidak bisa lepas dari sejarah tafsir Al-
Qur’an secara umum. Hal ini dikarenakan tafsir ahkam sebagai anak kandung dari ilmu tafsir
pada umumnya. Walaupun dalam perkembangannya tafsir ahkam telah menjadi satu bidang ilmu
tafsir tersendiri. Berikut adalah perkembangan ilmu tafsir yang terbagi menjadi empat periode :
Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi : Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab
sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak
diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui
kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-
Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-
Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan
penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat)
dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44).
Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya
mendengar Rasulullah berkhutbah di atas mimbar membaca firman Allah :
قوة من استطعتم ما لهم وأعدوا
kemudian Rasulullah bersabda : الرمي القوة إن Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada“ أال
memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda
tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
Tafsir Pada Zaman Shahabat : Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an
adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah
Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab 9 Mohammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, Rajawali Grafindo Persada : Jakarta, cet. II tahun 2002
hal. 118.
(Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya. Di antara tokoh mufassir
pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun
yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud
dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah. Penafsiran shahabat yang
didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. Atau paling kurang
adalah Mauquf.
Tafsir Pada Zaman Tabi’in : Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak
jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam
periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
1) Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti
Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan
‘Atho’ bin Abi Robah.
2) Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir
seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli.
3) Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal
adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi
perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang
lainnya.
Tafsir Pada Masa Pembukuan : Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu ;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih
memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode
Kedua,Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri.
Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh
Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya,
dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para
tabi’in.Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat
para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad
yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini
tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan
ayat
والالضالين عليهم المغضوب غير
Ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut
adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai
dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan
akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode
ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih
menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Al-Qurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari
sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir
maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang
keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-
Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul
dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya. Maka pada periode inilah tafsir ahkam berkembang
sesuai dengan tuntutan zaman.
Tafsir Ahkam bagi Pengembangan Ijma’
Sebagaimana disebutkan di awal bahwa tafsir ahkam adalah tafsir yang membahas
tentang hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an. Maka tafsir ini membangun paradigma
hukum Islam dengan berbasiskan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika berbicara tentang hukum Islam
maka kita tidak bisa lepas dari sumber-sumber hukum Islam. Seperti diketahui bahwa sumber
hukum Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan dalail (dalil/hujjah) hukum Islam
adalah Ijma’, Qiyas, ‘Urf, istihsan, istishab, Maslahah mursalah dan Syar’u man qablana.
Bagaimanakah posisi tafsir ahkam bagi pengembangan dalil hukum Islam tersebut?
Sebelum membahas lebih jauh mengenai fungsi tafsir ahkam bagi pengembangan hukum Islam
khususnya ijma’ dan ‘urf terlebih dahulu penulis jelaskan pengertian dan ruang lingkup dari
kedua dalil hukum Islam tersebut.
Definisi Ijma’
Ijma', secara etimologi berasal dari kalimat ajma’a yujmi’u Ijma'an dengan isim maf’ul
mujma’ yang memiliki dua makna. Pertama. Ijma' secara etimologi bisa bermakna tekad yang
kuat. Oleh karena itu, jika dikatakan "ajma’a fulan 'ala safar", berarti bila ia telah bertekad kuat
untuk safar dan telah menguatkan niatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
4م3 �اء�ك ك ر� و�ش4 4م3 ك م3ر�� أ ج3م7ع4وا
� ف�أ
...Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku).... QS Yunus : 71.
Kedua : Ijma' secara etimologi juga memiliki makna sepakat. Jika dikatakan "ajma'
muslimun 'ala kadza", berarti mereka sepakat terhadap suatu perkara, seperti sabda Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam :
�ة9 �ل ض�ال ع�ل�ى وسلم عليه الله صلى م4ح�م�د9 م�ة�4 أ �ج3م�ع4 ي � ال الله� 7ن� ف�إ
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menyatukan umat ini di atas kesesatan untuk selamanya.
Maka Ijma menurut bahasa adalah واإلتفاق yang العزم berarti niat, maksud dan
keinginan yang kuat serta bersepakat, sedangkan menurut istilah :
الحادثة حكم على العصر علماء اتفاق
"Kesepakatan para ulama pada suatu masa atas permasalahan-permasalahan yang baru".10
Sementara menurut Salam Madkur ijma' adalah “Kesepakatan para mujtahid dari umat Islam atas
hukum syara' (mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi wafat.11 Abdul Wahab
Khalaf mengatakan bahwa Ijma' adalah bersepakatnya seluruh ulama mujtahid dari kaum
muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Nabi pada hukum syar'i yang mereka hadapi.12.
Ada ikhtilaf di kalangan para ulama berkenaan dengan ijma' ini seperti disebutkan
Muhammad Salam Madkur, menurut Imam Malik bahwa ijma' yang dapat diakui adalah ijma
fuqaha ulama Madinah, sedangkan menurut kalangan syiah, ijma' yang diakuinya adalah hanya
ijma' dari kalahan mujtahidin Syi'ah dan menurut Imam Ahmad dan Madzhab Dzahiry yang
diakui terjadi hanyalah ijma' shahabat.13
Ijma' Menurut Istilah bermakna kesepakatan para ulama mengenai suatu permasalahan
hukum. Sebenarnya para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma' menurut arti
istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat Ijma'. Namun
10 Abdurrahman bin Shalih Al-Fauzan, Syarh Al-Waraqat fi Ushul Al-Fiqh, Riyadh : Dar Al-Muslim, 1997, hlm. 194.
11 Muhammad Salam Madkur, Al-Madkhal li Al-fiqh Al-'Am. 12 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 40. 13 Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Syari'ah, hlm. 65.
definisi Ijma' yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari
kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada masa
tertentu atas suatu perkara agama.
Para ulama ahli ijtihad terlibat dalam kesepakatan tersebut, baik dalam bentuk
keyakinan,ucapan dan perbuatan. Penyebutan kata "para ulama ahli ijtihad" dalam definisi ini
memberikan makna kesepakatan kalangan awam tidak termasuk ijma'. Karena kesepakatan dan
perbedaan mereka tidak perlu diperhitungkan begitu juga kesepakatan sebagian para ulama juga
tidak bisa dianggap ijma.
Ijma' tidak hanya terjadi pada zaman tertentu saja. Di antara ulama ada yang membatasi
Ijma' hanya terjadi pada masa sahabat, seperti pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah yang menukil
dari Sulaiman bahwa tidak ada Ijma' kecuali Ijma' Sahabat. Ada juga yang berpendapat bahwa
Ijma' bisa saja terjadi dalam masalah selain hukum syariat. Begitu pula ada sebagian ulama yang
hanya membatasi Ijma' pada masalah hukum syariat saja, dan inilah pendapat yang benar kecuali
jika masalah selain agama tersebut ada kaitan erat dengan hukum agama Islam.
Hakikat Ijma'
Hakikat Ijma', seperti ditegaskan Syaikhul-Islam rahimahullah, ialah kesepakatan para
ulama kaum muslimin atas hukum tertentu. Bila Ijma' telah diputuskan secara permanen atas
suatu hukum, maka tidak boleh bagi siapapun keluar dari keputusan Ijma' tersebut, karena
mustahil umat Islam sepakat berada di atas kesesatan. Tetapi boleh jadi, banyak masalah yang
diklaim tetap berdasarkan Ijma' ternyata tidak demikian, bahkan pendapat lain lebih kuat dari sisi
Al-Qur`ân dan Sunnah. Ijma' merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber hukum
ketiga dalam Islam setelah Al-Qur`ân dan Sunnah.
Tidak terdapat ketetapan Ijma' yang menentang kebenaran, karena umat Islam tidak
mungkin sepakat berada di atas kesesatan, apalagi generasi sahabat dan tabi’in; maka Ijma'
sebagai sumber hukum qath’i tidak tetap, kecuali berdasarkan Al-Qur`ân, Sunnah yang shahih -
terutama hadits-hadits muttawatir-, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis;
sehingga mustahil Ijma' bertentangan dengan Al-Qur`ân dan Sunnah yang shahih, logika yang
sehat, dan perkara indrawi yang realistis. Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Tidak ada Ijma'
kecuali pasti berdasarkan nash agama, baik berasal dari ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam secara manqul sehingga pasti terpelihara, maupun dari perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam juga (yang) pasti sampai kepada kita secara manqul".
Peran Ijma' Dalam Penetapan Hukum
Jumhur ulama berpandangan, Ijma' mempunyai bobot hujjah syar’iyyah sangat kuat
dalam menetapkan hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah setelah nash-nash agama; karena
Ijma' bersandar pada dalil syar’i, baik secara eksplisit maupun implisit. Bahkan jumhur ulama
berpandangan, Ijma' merupakan hujjah syar’iyyah yang wajib diaplikasikan. Demikian itu, tidak
hanya berlaku untuk Ijma' para sahabat saja, tetapi juga Ijma' para ulama pada setiap generasi
dan masa, karena umat Islam telah mendapat jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk
tidak bersepakat berada di atas kesesatan.
Penolakan dan penentangan terhadap masalah ini tidak perlu diperhitungkan
keberadaannya, karena para ulama Islam telah sepakat untuk menjadikan Ijma' sebagai hujjah
syar’i dalam menetapkan hukum-hukum syariat. Yang demikian itu berdasarkan pada Al-Qur`ân,
Sunnah dan logika : Pertama : Ijma' Menurut Pandangan Al-Qur`ân. Pijakan dan landasan Ijma'
dari Al-Qur`ân sangat banyak, antara lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
ق4وا �ف�ر� ت و�ال� ج�م7يعIا �ه7 الل 3ل7 ب 7ح� ب �ص7م4وا و�اع3ت
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-
berai…. QS Ali 'Imrân : 103.
Dalam ayat yang lainnya disebutkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
�م� ج�ه�ن 7ه7 4ص3ل و�ن Nى� �و�ل ت م�ا Oه7 4و�ل ن 7ين� 3م4ؤ3م7ن ال 7يل7 س�ب 3ر� غ�ي 7ع3 �ب �ت و�ي N3ه4د�ى ال �ه4 ل �ن� �ي �ب ت م�ا �ع3د7 ب م7ن الر�س4ول� 4ش�اق7ق7 ي و�م�ن
ا Iم�ص7ير اء�ت3 و�س�
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali. QS An-Nisaa : 115.
Allah Azza wa Jalla telah mengancam orang-orang yang menyelisihi cara beragama
orang-orang beriman dan menentang Ijma' umat Muhammad yang benar. Ayat ini menjadi dalil
paling kuat, bahwa Ijma' menjadi hujjah dalam hukum agama yang wajib diikuti. Sesuatu tidak
menjadi wajib melainkan setelah menjadi hujjah syar’iyyah, sehingga apapun kesepakatan
mereka dalam hukum pasti menjadi landasan. Dengan demikian, kelompok yang menentang
Ijma', berarti telah memecah-belah umat Islam, dan mengikuti cara beragama mereka yang pada
akhirnya mereka berhak masuk ke dalam ancaman ayat di atas.
Kedua : Ijma' Menurut Pandangan Sunnah. Landasan Ijma' yang berasal dari Sunnah,
antara lain ialah :
a. Dari 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda :
�ة7 ن 3ج� ال 3ح�ة7 ب 7ح� ب اد� ر�� أ و�م�ن3 3ع�د4 ب
Sesungguhnya, umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan.
Ketiga : Menurut Dalil Logika. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
penutup para nabi, dan syariatnya berlaku hingga hari Kiamat. Sementara itu, banyak kasus
hukum yang muncul tidak ada nash yang qath’i, baik dari al-Kitab dan Sunnah, namun para
ulama berijma' terhadap satu hukum tertentu. Jika keputusan Ijma' mereka tidak menjadi hujjah
dalam agama, berarti kebenaran meleset dari mereka, atau mereka sepakat di atas kesesatan.
Yang demikian itu memberi konsekwensi bahwa syariat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
bertahan sepanjang masa. Akhirnya, syariat mengalami kepunahan, dan demikian itu jelas suatu
kemustahilan. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menjadikan Ijma' mereka sebagai hujjah,
agar ajaran syariat bertahan selamanya.
Faidah Ijma' Dalam Penetapan Hukum
Para ulama yang menyatakan Ijma' bisa menjadi hujjah, dan mereka berbeda pendapat
apakah Ijma' memberi faidah qath’i atau zhanni? Perbedaan pendapat dalam menyikapi masalah
ini, terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama : Menurut pendapat as-Asfahani, dan inilah
pendapat yang masyhur dari kebanyakan para ulama bahwa Ijma' menjadi hujjah qath’i dalam
agama Islam. Kedua. : Ijma' tidak berfaidah kecuali ketetapan yang bersifat zhanni, baik Ijma' itu
bersandar pada dalil yang qath’i maupun dalil zhanni. Ketiga : Harus dibedakan antara Ijma'
yang disepakati sehingga menjadi hujjah yang qath’i, dengan Ijma' yang masih diperselisihkan,
seperti Ijma' sukuti. Ijma' seperti ini hanya memberi faidah dan ketetapan hukum secara zhanni.
Dan inilah yang shahîh seperti dikuatkan Ibnu Taimiyya rahimahullahh
Tafsir Ahkam bagi Pengembangan ‘Urf
Definisi adat dan ‘urf
'Urf biasa diterjemahkan dengan adat atau kebiasaan sebuah masyarakat, Ahmad Fahmi
Abu Sunnah mengatakan dalam Al-'Urf wa Al-'Adah fi Ra'yi Al-Fuqaha bahwa adat adalah
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”.14
Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa 'urf adalah setiap sesuatu yang menjadi adat
kebiasaan manusia dalam bertindak sesuai dengannya seperti segi perkataan, perbuatan dan cara-
cara lainnya yang disebut juga adat. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara 'urf dan al-'adah.
'Urf atau adat terbagi menjadi dua yaitu : 'urf 'amaly misalnya jual belinya manusia tanpa
menggunakan lafadz yang jelas, dan 'urf qauly misalnya memutlakkan kata walad dengan anak
laki-laki.15
Jika dilihat dari segi keabsahannya maka 'urf ini terbagi menjadi dua, yaitu Al-'Urf Al-
Shahih dan Al-'Urf Al-Fasid. Al-'Urf Al-Shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Adapun Al-'Urf Al-
Fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara' dan kaidah-kaidah dasar
yang ada dalam syara'.16
Dari pemaparan tersebut dapat dipastikan bahwa 'urf yang dapat dijadikan dalil/sumber
hukum adalah 'urf yang shahih, yaitu kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat yang tidak ada
nashnya secara sharih dan tidak bertentangan dengan syara'. Mengenai landasan hukum berupa
'urf (adat) para ulama sejak dulu sudah menggunakannya.17
Makna ‘urf secara bahasa adalah kebaikan atau nama sesuatu yang dicurahkan oleh jiwa.
imam Thobari mengatakan dalam tafsir firman Allah : بالعرف وأمر العفو bahwa kebenaran خذ14 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 139. 15 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 79. 16 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 141. 17 Lihat Wahbah Al-Zuhaily, Ushul Al-Fiqh Al-Islamy, hlm. 840.
dari ucapan tersebut adalah Allah menyuruh nabinya SAW untuk memerintah manusia dengan
‘urf yakni sesuatu yang masyhur di kalangan arab. sedangkan makna ‘urf secara syara’ para
ulama mendefinisikan dengan makna yang berbeda-beda, tetapi penulis disini merasa cukup
dengan menyebutkan satu definisi saja yaitu definisi oleh imam Jurjani yang mengatakan bahwa
‘urf adalah sesuatu yang mendasar dalam diri manusia yang diterima oleh akal sehat dan watak
dasar manusia. Sedangkan makna adat secara bahasa adalah sesuatu yang terus menerus artinya
setiap sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia. adapun makna adat secara syara’ adalah sesuatu
kebiasaan yang berulang ulang yang melekat dalam jiwa manusia serta diterima oleh akal sehat
manusia.
Adat dan ‘urf adalah dua kata yang sama artinya karena ‘urf adalah suatu ketentuan
manusia dalam kebiasaan dan adatnya yang diterima dengan lapang dada oleh hati nurani
manusia. hanya saja cakupan adat lebih luas dari pada ‘urf karena wilayah ‘urf hanya mencakup
sesuatu yang diketahui oleh semua manusia yang disebut sebagai ‘urf ‘am atau diketahui oleh
sebagian Negara tertentu yang disebut ‘urf khash. Adapun adat adalah sesuatu yang kembali
pada muslimin secara mutlak atau pada Negara atau kelompok tertentu. Bisa juga dikatakan pada
seseorang tertentu seperti adat perempuan ketika haid dan nifas. Konklusinya ‘urf dan adat
adalah suatu kebiasaan manusia yang diterima hati nurani secara lapang dada.18
Macam macam ‘urf
Para ulama membagi ‘urf menjadi empat bagian dengan sudut pandang yang berbeda-
beda yang insya Allah perinciannya sebagai berikut : ’urf tetap dan ‘urf yang berubah-ubah.
Jenis ‘urf ini dilihat dari sudut pandang kelanggengan ‘urf tersebut. ‘urf yang tetap adalah
kebiasan-kebiasan yang berdasarkan pada sifat alami manusia dan fitrahnya. Sifat sifat yang
absolut pada diri manusia selamanya tidak akan beubah seperti rasa senang, sedih, lapar, haus
dan sebagainya yang berhubungan dengan tabi’at manusia. Begitu juga dengan ‘urf yang
ditetapkan oleh syari’at seperti sesuatu yang wajib dan haram dalam syari’at selamanya tidak
akan berubah. Begitu juga dengan tata cara shalat seperti sujud, ruku’ dan tasyahhud selamanya
seperti yang kita ketahui adanya tidak akan berubah. Adapun ‘urf yang berubah-ubah adalah
sesuatu yang berubah mengikuti zaman, tempat, dan lingkungan seperti pakaian yang berbeda
pada setiap tempat.
18 `Abd al-Karim Zaydan, al-Wajiz Fi Usul al- Fiqh, Baghdad,1987, h.252
’Urf ‘am dan ‘Urf khash : ‘Urf ‘am adalah sesuatu yang diketahui oleh muslimin sejak
masa sahabat sampai sekarang yang diakui oleh mujtahid serta masih diamalkan meskipun
bertentangan dengan qiyas ketika tak ada nash dan dalil. Inilah yang diambil oleh fuqaha dan
menetapkanya sebagai hukum-hukum syari’at yang berdasarkan ijma’ karena ‘urf ini sudah
dianggap sebagai ijma’. adapun definisi ‘urf khash adalah sesuatu yang diketahui oleh sebagian
orang saja seperti istilah-istilah yang dipakai oleh para ilmuan dan karyawan perusahaan tertentu.
Satu contoh lafadz “dabah” apabila disebutkan oleh orang mesir berarti himar berbeda apabila
disebutkan oleh orang Iraq yang berarti kuda.
‘Urf qauli dan ‘urf amali : ‘urf qauli adalah kebiasaan bagi seseorang dalam pemakaian
lafadz terhadap suatu makna. jika seseorang mengucapkan suatu kata, maka hanya makna
tertentu saja yang tertuju dan tak ada yang lain. Sedangkan yang dimaksud ‘urf amali adalah
sesuatu yang masyhur oleh masyarakat baik dalam bermu’amalah atau yang lainya mengenai
semua kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat seperti jual beli “mu’athoh”.
‘Urf shahih dan ‘Urf fasid : Yang dimaksud dengan ‘urf shahih adalah kebiasaan yang
diterima oleh akal yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum syari’at. Abu Zahroh
menerangkan bahwa suatu kebiasaan manusia yang sesuai dengan syarat-syarat mu’amalah dan
jual beli maka kebiasaan tersebut bisa diterima selama tidak bertentangan dengan nash
Sedangkan ‘urf fasid adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi kebiasaan tersebut
bertentangan dengan syari’at agama, maka ’urf ini tidak bisa diterima oleh agama walau
bagaimanapun.
Syarat syarat Adat
Para ulama mengatakan bahwa suatu adat bisa diterima apabila memenuhi syarat-syarat
yang telah ditetapkan yakni sebagai berikut : Adat tersebut harus aghlab artinya kebiasaan yang
dilakukan oleh manusia itu harus terus menerus dan umum serta tidak boleh jarang baik adat
tersebut khash atau ‘am. Oleh karena itu apabila ada amal yang terkadang dilakukan tidak bisa
dianggap oleh hukum. Seperti dalam suatu Negara seorang pedagang menjual barangnya dengan
harga 100 tanpa menyebutkan mata uangnya maka yang dianggap adalah mata uang negara
tersebut, apabila dalam negara tersebut beredar mata uang yang banyak maka yang dianggap
adalah yang sering dipakai. Oleh karena itu terdapat kaidah yang mengatakan
غلبت او اطربت اذا العادة تعتبر انما
Adanya adat tersebut bersamaan dengan pelaksanaan ketika itu atau sudah ada pada masa
dahulu. Maka berarti adat di masa mendatang tidak dianggap karena memang belum ada seperti
adat yang berlaku pada satu Negara kalau perabotan rumah tangga ditanggung oleh istri
kemudian setelah beberapa tahun adat tersebut berubah, maka apabila terjadi perselisihan yang
dinggap adalah adat ketika terjadinya akad bukan adat sebelum akad.
Adat tersebut tidak bertentangan dengan nash syar’i atau nash bukan syar’i. apabila
bertentangan maka yang dianggap adalah nash karena lebih kuat dari pada adat. seperti adat
biaya pengiriman barang ditanggung oleh pembeli tetapi telah terjadi kesepakatan antara penjual
dan pembeli bahwa biaya pengiriman ditanggung oleh penjual maka yang diamalkan adalah
kesepakatan tersebut bukan adat.
Pertentangan Antara Adat dengan Syara’
Apabila terjadi perbedaan antara adat dengan syara’ maka perinciannya sebagai berikut :
jika syara’ tersebut tidak berhubungan dengan hukum, maka yang dimenangkan adalah adat.
Seperti seseorang yang bersumpah tidak akan makan daging selamanya kemudian makan ikan
maka tidak dianggap melanggar sumpahnya walaupun al-Qur’an mengganggap ikan sebagai
daging dalam firman Allah ta’ala :
ا a اط�ر7ي Iح3م� 4ل 3ه م7ن 4وا 4ل 3ك �أ 7ت ل �ح3ر� 3ب ل س�خ�ر� �ذ7ى ل ���و�ه4و� ي � � ي ا� ٱٱDan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan)… QS An-nahl : 14.
Tetapi ayat tersebut ketika menamakan ikan sebagai salah satu dari macamnya daging
tidak ada hubunganya dengan hukum. Tetapi apabila syara’ tersebut berhubungan dengan hukum
maka yang dimenangkan adalah syara’. Seperti seseorang yang bersumpah tidak akan sholat
kemudian melakukan sholat sebagaimana kita lakukan setiap hari, maka dia melanggar sumpah
tersebut. Kecuali melakukan sholatnya orang nashrani maka tidak melanggar sumpah karena
yang dimaksud dengan sholat adalah perkataan dan gerakan tertentu yang diawali dengan takbir
dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.
Pertentangan Antara Adat dengan Bahasa
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, Qadli Husain mengatakan bahwa hakikat
bahasa lebih dianggap daripada adat karena asal dalam ucapan adalah hakikat bahasa tersebut,
lain halnya dengan pendapat imam Baghawi yang lebih mengedepankan adat daripada bahasa
karena adat lebih berpengaruh dalam mu’amalah manusia. Namun ada poin penting dalam
permasalahan ini yakni apabila tidak ada niat, namun jika ada niat maka yang dimenangkan
adalah niat tersebut. Madzhab jumhur lebih mengedepankan makna yang ada ketika lafadh
diucapkan, apabila makna ucapan tersebut lebih cenderung pada adat, maka itu yang diamalkan
begitu juga dengan sebaliknya. untuk lebih jelasnya apabila seseorang bersumpah tidak akan
memakan roti kemudian makan roti yang terbuat dari nasi maka orang tersebut melanggar
sumpah atau tidak maka para ulama berbeda pandapat seperti di atas.
Pertentangan majaz yang sudah menjadi adat dengan hakikat yang berlaku
Para ulama juga berbeda pendapat dalam masalah ini, imam Abu Hanifah lebih
memenangkan hakikat yang berlaku daripada majaz yang sudah menjadi adat karena hakikat
adalah asal dan asal tidak boleh ditinggalkan kecuali dalam keadaan darurat, sedangkan majaz
adalah cabang. Berbeda dengan jumhur yang mengedepankan majaz yang sudah jadi adat
daripada hakikat yang berlaku karena lebih cepat dimengerti dalam bermu’amalah antara
manusia. Satu contoh apabila seseorang yang bersumpah tidak akan makan gandum, maka
menurut Abu Hanifah tidak melanggar sumpah apabila makan roti yang terbuat dari gandum dan
melanggar sumpah menurut jumhur apabila makan sesuatu yang asalnya terbuat dari gandum.
Semua itu apabila tidak ada niat, namun jika terdapat niat maka itulah yang diamalkan.
Pertentangan antara adat ‘am dengan khash
Apabila terjadi pertentangan antara dua adat yang satu adat yang meluas semua daerah
dan yang satunya adapt pada suatu wilayah tertentu maka mana yang didahulukan?. Para ulama
mentafsil dalam masalah ini yaitu apabila adat khash tersebut terbatas maka yang dianggap
adalah adat ‘am dan apabila adat tersebut tidak terbatas maka adat khash itulah yang dianggap.
Seperti adapt pada suatu desa yang menjaga hewan ternak dimalam hari dan menjaga
pertaniannya di siang hari, maka apabila pertanianya tersebut dirusak pada siang hari maka
pemilik hewan tidak menanggung kerusakannya.
Dalil-dalil Adat dan ‘Urf
Lafadz al-‘adah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, namun yang terdapat
pada keduanya adalah lafadh al-‘urf dan al-ma’ruf. Ayat dan hadits inilah yang dijadikan dasar
oleh para ulama kita untuk kaidah ini. Diantaranya ialah firman Allah Ta’ala :
ن ل�ي ل� جن� ل� ٱ ل ن� ل� ل� ل� ن�� ن� ل� ل� ع� ل� ل�ٱ ل� �ع ل�� ن� �ن ل� ن� ل� ٱ ل ع!Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh. QS Al-Araf : 199.
ن ل"ي #� ن ع$ ل� ٱ ن�ى ن� ��"ا ن' ل� ) ع�� ل� ن$ ل� ل�ٱ ن ل�ي ن� ل* ن�+ ل, ن�ٱ ل ل- ن. ل� �جن ل� ل� ع/ �ي ن ل0 �ن ل� ٱ ��� لي ن! ن1 ن� ن2 ل�4ن ع5 �ل ن$ ل� ٱ ع6 ع7 ن. ن' ن�� ن� ن8 ن' ن�9 ل�4 ل6 ع: لي ن� ن� ن; ل# ع7Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf. QS.Al-Baqarah : 180.
Dan beberapa ayat lain yang menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf yang mencapai 37 ayat.
Maksud dan ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan
kebiasaan manusia yang berlaku.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah misalnya salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh
Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka
di sisi Allah pun baik”. Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar)
bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat
dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).
Sementara Qawaid Fiqhiyah yang berkaitan dengan ’Urf, dalam qa’idah fiqhiyah
disebutkan : “Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum” Qaidah yang lain :
“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar
nash”.
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan
tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan
prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas)
dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih
jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah
fiqhiyah memberikan keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja
sama, yaitu dengan kaidah: “Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan
pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka”
Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-
ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan
meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan
suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan. Kalau kita teliti lebih lanjut dasar
dianggapnya adat sebagai hukum adalah firman Allah ta’ala :
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat
kembali. QS An-Nisaa : 115.
Makna “sabil” adalah jalan, maka jalanya mukmin adalah yang dianggap baik, sedangkan Allah
mengancam orang-orang yang mengikuti jalannya selain mukmin maka ayat diatas menunjukan
bahwasanya mengikuti jalannya orang mukmin adalah wajib. Sabda Rasullah Shalallahu Alaihi
Wasalam :
حسن الله عند فهو I حسنا المسلمون رآه ما
Apa-apa yang dipandang baik oleh umat Islam maka di sisi Allah juga baik.
Ijma’ ulama tentang penganggapan adat sebagai hukum selama tidak bertentangan
dengan nash dan maqashid syari’ah karena adat merupakan sesuatu kebutuhan dan kemaslahatan
Tafsir Ahkam Bagi Pengembang Ijma’ dan ‘Urf
Setelah kita memahami mengenai ijma’ dan urf, maka bagaimana relevansinya dengan
tafsir ahkam? Sesungguhnya ijma adalah kesepakatan umat Islam secara keseluruhan tentang
sesuatu permasalahan. Maka hal ini (ijma’) dapat dihasilkan dari pemahaman terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an yang berdimensi hukum. Pengembangan ijma’ ini didasarkan pada kaidah bahwa
kesepakatan umat Islam adalah terjaga, terutama berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
muamalah. Ijma’ menjadi hal yang urgen saat ini, apalagi dengan telah berkembangnya
tekhnologi yang memungkinkan umat Islam berkomunikasi sehingga kesepakatan antar mereka
sangat dimungkinkan.
Demikian pula pada urf’, tafsir ahkam akan menjadi pondasi dasar bagi pengembangan
adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, terutama adat kebiasaan yang tidak bertentangan
dengan nilai-nilai Islam. Pondasi dasar ini akan memperkuat kearifan local (local genius) yang
selaras dengan nilai-nilai Islam.
Maka tafsir ahkam sebagai pengembangan bagi ijma dan ‘urf sangat diperlukan saat ini,
terutama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya kontemporer yang dihadapi umat Islam. Hal ini
juga sebagai solusi bagi hukum Islam dalam menjawab setiap permasalahan baru yang belum
ada sebelumnya.
Daftar Pustaka
Abrar, Indal, “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wal Mubayyin Lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ayil Furqan Karya al-Qurthubi”, dalam Muhammmad Yusuf dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004.
A. Hanafie, Usul Fiqh., Cetakan ketiga 1962Al-Jurzani, Ahmad, Kitab al-Ta’rifat, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1965.Al-Qatthan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, ttp.: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, tt.Al-Suyuthi, Syaikh a-Islam Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz I,
Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1951.Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, ttp.: Dar al-Kutub, tt.Al-Zarqani, Muhammad al-Adzim, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II, Mesir: Musthafa
al-Baby al-Halaby wa Syurakauh, tt.Amal, Taufik Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 1989.Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Cet.II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.Mahfudz, Mahsun, “Sejarah Perkembangan Pemikiran Al-Qur’an (Memotret Wajah al-Qur’an
sejak Masa Nabi hingga Kontemporer)”, dalam Jurnal Citra Ilmu, Edisi 5, Vol.III, April, 2007: 19-32
Barriy, al, Zakariya, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo:Dar al-Ittihad al-Arabiy: 1975Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, cet. Ke-2Hasaballah, ‘Ali, Ushul at-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi,1998Khallaf, Abd a-Wahhab, Mashadir at-Tasyri’ al-Islami fiimaa laa Nashsha fiihaa, Beirut: Dar
al-Qalam, 1972____________, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, cet.ke-20Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang, 2008, cet.ke-1Nasution, Lahmuddin, 2001, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Jakarta: PT
Remaja Rosda Karya, Cet.ke-1 Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, cet.ke-2Mansur, Muhammad, “Ma’ani al-Qur’an Karya al-Farra”, dalam Muhammmad Yusuf dkk.,
Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004.Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Cet.IX, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.Shihab, H.M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Cet.II, Bandung: Mizan, 1992.Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jil.I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.Umar, Muin dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama, 1985.Wehr, Hans, A Dictionary of Written Arabic, Beirut: Librairie Du Liban & London: Mc Donald
& Evand Ltd., 1974.Zahrah, al-Imam Muhammad Abu, 1958, Ushul al-Fiqh, Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi. Zaidan, Abd al-Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Ma’asasah ar-Risalah, 1986Zein, Satria Effendi M, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke-1Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 2001