Top Banner
Tugas Makalah Penafsiran Al-Ahkam Bagi Pengembangan Ijma’ dan ‘Urf Disusun Oleh : Dede Nurdin Mata Kuliah : Tafsir Ahkam Dosen : Prof. DR. Chozin Nasuha, MA DR. Ahmad Hasan Ridwan, MA Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
33

Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

Jul 30, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

Tugas Makalah

Penafsiran Al-Ahkam Bagi Pengembangan Ijma’ dan ‘Urf

Disusun Oleh :

Dede Nurdin

Mata Kuliah : Tafsir Ahkam

Dosen : Prof. DR. Chozin Nasuha, MA

DR. Ahmad Hasan Ridwan, MA

Program Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Page 2: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

2011

Tafsir Ahkam bagi Pengembangan Ijma’ dan ‘Urf

Oleh : Dede Nurdin

Pendahuluan

Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam adalah wahyu Allah ta’ala yang diturunkan

melalui malaikat Jibril kepada Muhammad Shalallahu Alaihi Wasalam. Ia menjadi petunjuk bagi

orang-orang yang bertaqwa secara khusus dan seluruh umat manusia pada umumnya.1 Sebagai

kitab petunjuk, Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang bersifat muhkamat yaitu ayat-ayat yang

mengandung hukum-hukum yang bersifat umum (‘Aam) dan juga ayat-ayat mutasyabihaat.2

Ayat-ayat mutasyabihaat adalah seluruh ayat dalam Al-Qur’an yang tidak diketahui

maknanya dalam bahasa Arab. Sedangkan ayat-ayat muhkamat adalah setiap ayat yang

mengandung hukum-hukum berkenaan dengan kehidupan manusia. Dari ayat-ayat inilah para

ulama menggali berbagai hukum yang berkaitan dengan ibadah, aqidah dan muamalah.

Proses penggalian makna dan hukum dalam ayat-ayat muhkamat menggunakan metode

tafsir yang disebut dengan “Tafsir Ahkam”. Pada dasarnya tafsir ahkam tidak jauh berbeda

dengan metode-metode tafsir lainnya, bahkan ia adalah bagian tidak terpisahkan dari semua

metode tafsir yang ada. Tafsir ahkam merujuk pada penafsiran terhadap ayat-ayat yang

berdimensi hukum. Hal ini didasarkan pada pengeleompokan ayat-ayat Al-Qur’an menjadi ayat

aqidah (ayat al-‘aqaid), ayat teologi (kalam), ayat kisah (ayat al-qhashas) dam ayat-ayat hukum

(ayat al-ahkam). Dari sinilah muncul istilah ayat-ayat ahkam dan metode penafsiran ayat-ayat ini

disebut tafsir ahkam atau tafsir ayat al-ahkam.3

Metode tafsir ahkam saat ini semakin berkembang, hingga manfaat dan fungsi darinya

bisa dirasakan oleh umat Islam. Di antara fungsi dari tafsir ahkam adalah sebagai pengembangan

bagi kesepakatan (ijma’) yang dapat dilakukan oleh para ulama dalam menghadapi permasalahan

yang dihadapi oleh umat. Demikian pula tafsir ahkam menjadi pengembangan adat-istiadat yang

berlaku di tengah masyarakat. Berkaitan dengan adat-istiadat tentu saja hal tersebut yang tidak

menyelisihi syariat Islam. Sejauh mana kontribusi tafsir ahkam bagi pengembangan ijma’ dan

1 Lihat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 2 dan 1852 Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 7 3 Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, Raka Grafindo Press : Jakarta, hal. 118

Page 3: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

‘urf? Makalah ini akan membahas lebih jauh mengenai fungsi dari tafsir ahkam bagi

pengembangan ijma’ dan adat (‘urf) dalam masyarakat muslim.

Definisi Tafsir Ahkam

Tafsir secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kata tafsir ( yang berasal ( تفســير

dari kata kerja ر� البيان :yang mengandung arti ف�س� و yakni ,(keterangan dan penjelasan) اإليضاح

menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata berarti الفســر

menyingkapkan sesuatu yang tertutup. Dalam Lisanul Arab dinyatakan: kata “al-fasr” berarti

menyingkap yang tertutup, sedang kata “al-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz

yang musykil dan pelik. Sedangkan para Ulama berpendapat: tafsir adalah penjelasan tentang arti

atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir).4

Tafsir menurut istilah adalah ilmu yang membahas mengenai makna-makna yang

terkandung di dalam Al-Qur’an baik yang tersirat ataupun yang tersurat, menjelaskan sebab-

sebab turunnya dan dapat mengambil hikmah dari ayat-ayat tersebut. Al-Jurjani mendefinisikan

bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks

historisnya maupun sebab nuzul-nya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang

dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Sementara itu Imam

az-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an baik dari

segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan

manusia.5

Selanjutnya, Abu Hayyan, sebagaimanan dikutip al-Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir

adalah ilmu yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-

Qur’an disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Sementara Az-

Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan

kitabullah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw., dengan cara mengambil

penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.6

Istilah ayat al-ahkam terdiri atas dua kata yaitu “ayat” dan “ahkam”, ayaat adalah bentuk

jamak dari ayat yang secara harfiyah berarti tanda. Kata ayat kadang juga diartikan dengan

pengajaran, urusan yang mengherankan dan sekelompok manusia. Adapun yang dimaksud

4 Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, 5 Manna’ Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Quran, h.455-456.6 Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, ttp.: Dar al-Kutub, tt.

Page 4: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

“ayat” dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yaitu bagian tertentu dari Al-Qur’an yang

tersusun atas satu atau beberapa jumlah (kalimat) walau dalam bentuk takdir (prakiraan)

sekalipun, yang memiliki tempat permulaan dan tempat berhenti yang bersifat mandiri dalam

sebuah surat.7

Sementara istilah kata hukum dalam bahasa arab adalah bentuk tunggal, adapun bentuk

jamaknya adalah al-ahkam. Ahkam secara harfiyah berarti menempatkan sesuatu di atas sesuatu

(itsbat asy-syai ‘ala syai), atau bisa juga diartikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Adapaun hukum yang dipahami oleh ahli ushul fiqh adalah :

وضعا أو تخييرا أو إقتضاء المكلفين بأفعال المتعلق الله خطاب

“Tuntutan Allah ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan,

pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhshah, atau

‘azimah”.

Dalam definisi tersebut ditegaskan bahwa hukum (menurut ajaran Islam) adalah

kehendak Allah, untuk mengatur perbuatan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya.

Abdul Wahab Khallaf, sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, dalam mendefinisikan hukum

mengganti kalimat تعالى الله خطاب dalam definisi di atas dengan (tuntutan Allah ta’ala) خطاب

dengan tujuan agar hukum itu bukan saja ditentukan Allah, melainkan ,(tuntutan syar’i) الشرع

juga ditentukan Rasulullah melalui Sunnahnya dan melalui ijma’ para ulama.8

Menurut ulama fiqh, hukm adalah “akibat” yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) syar’i

berupa wujub, mandub, hurmah, karahah, dan ibahah. Perbuatan yang dituntut itu, menurut

mereka, disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah (boleh). Akan tetapi, ulama ushul fiqh

mengatakan yang disebut hukm adalah tuntutan syar’i itu sendiri, yaitu dalil al-Qur’an dan atau

Sunnah.

Dari pengertian mengenai ayat-ayat hukum sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ayat

hukum (ayat al-ahkam) adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisikan khitab (titah/doktrin) Allah

yang berkenaan dengan thalab (tuntutan untuk melakukan dan atau meninggalkan sesuatu).

Secara lebih sederhana dipahami bahwa ayat-ayat hukum adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang

mengandung masalah-masalah hukum.

7 Amin Suma, Pengantar tafsir Ahkam, hal. 278 Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Cet.II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

Page 5: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir ahkam atau tafsir ayat al-ahkam (tafsir ayat-ayat

hukum) adalah tafsir Al-Qur’an yang berorientasi kepada pembahasan ayat-ayat hukum.9

Pembatasan ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an sebagai ciri khas dari tafsir

ahkam dengan metode tafsir lainnya.

Perkembangan Tafsir Ahkam

Membahas tentang perkembangan tafsir ahkam tidak bisa lepas dari sejarah tafsir Al-

Qur’an secara umum. Hal ini dikarenakan tafsir ahkam sebagai anak kandung dari ilmu tafsir

pada umumnya. Walaupun dalam perkembangannya tafsir ahkam telah menjadi satu bidang ilmu

tafsir tersendiri. Berikut adalah perkembangan ilmu tafsir yang terbagi menjadi empat periode :

Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi : Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab

sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak

diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui

kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-

Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-

Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan

penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat)

dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat

manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44).

Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya

mendengar Rasulullah berkhutbah di atas mimbar membaca firman Allah :

قوة من استطعتم ما لهم وأعدوا

kemudian Rasulullah bersabda : الرمي القوة إن Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada“ أال

memanah”.

Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda

tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.

Tafsir Pada Zaman Shahabat : Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an

adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah

Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab 9 Mohammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, Rajawali Grafindo Persada : Jakarta, cet. II tahun 2002

hal. 118.

Page 6: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

(Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya. Di antara tokoh mufassir

pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas,

Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun

yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud

dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah. Penafsiran shahabat yang

didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. Atau paling kurang

adalah Mauquf. 

Tafsir Pada Zaman Tabi’in : Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak

jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam

periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:

1) Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti

Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan

‘Atho’ bin Abi Robah.

2) Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir

seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli.

3) Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal

adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.

Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi

perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang

lainnya. 

Tafsir Pada Masa Pembukuan : Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu ;

Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih

memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode

Kedua,Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri.

Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh

Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya,

dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para

tabi’in.Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat

para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad

yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini

Page 7: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan

ayat

والالضالين عليهم المغضوب غير

Ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut

adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani. Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai

dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan

akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode

ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih

menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Al-Qurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari

sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir

maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang

keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-

Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul

dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya. Maka pada periode inilah tafsir ahkam berkembang

sesuai dengan tuntutan zaman.

Tafsir Ahkam bagi Pengembangan Ijma’

Sebagaimana disebutkan di awal bahwa tafsir ahkam adalah tafsir yang membahas

tentang hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an. Maka tafsir ini membangun paradigma

hukum Islam dengan berbasiskan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika berbicara tentang hukum Islam

maka kita tidak bisa lepas dari sumber-sumber hukum Islam. Seperti diketahui bahwa sumber

hukum Islam adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan dalail (dalil/hujjah) hukum Islam

adalah Ijma’, Qiyas, ‘Urf, istihsan, istishab, Maslahah mursalah dan Syar’u man qablana.

Bagaimanakah posisi tafsir ahkam bagi pengembangan dalil hukum Islam tersebut?

Sebelum membahas lebih jauh mengenai fungsi tafsir ahkam bagi pengembangan hukum Islam

khususnya ijma’ dan ‘urf terlebih dahulu penulis jelaskan pengertian dan ruang lingkup dari

kedua dalil hukum Islam tersebut.

Definisi Ijma’

Page 8: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

Ijma', secara etimologi berasal dari kalimat ajma’a yujmi’u Ijma'an dengan isim maf’ul

mujma’ yang memiliki dua makna. Pertama. Ijma' secara etimologi bisa bermakna tekad yang

kuat. Oleh karena itu, jika dikatakan "ajma’a fulan 'ala safar", berarti bila ia telah bertekad kuat

untuk safar dan telah menguatkan niatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

4م3 �اء�ك ك ر� و�ش4 4م3 ك م3ر�� أ ج3م7ع4وا

� ف�أ

...Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk

membinasakanku).... QS Yunus : 71.

Kedua : Ijma' secara etimologi juga memiliki makna sepakat. Jika dikatakan "ajma'

muslimun 'ala kadza", berarti mereka sepakat terhadap suatu perkara, seperti sabda Nabi

Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam :

�ة9 �ل ض�ال ع�ل�ى وسلم عليه الله صلى م4ح�م�د9 م�ة�4 أ �ج3م�ع4 ي � ال الله� 7ن�  ف�إ

Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menyatukan umat ini di atas kesesatan untuk selamanya.

Maka Ijma menurut bahasa adalah واإلتفاق yang العزم berarti niat, maksud dan

keinginan yang kuat serta bersepakat, sedangkan menurut istilah :

الحادثة حكم على العصر علماء اتفاق

"Kesepakatan para ulama pada suatu masa atas permasalahan-permasalahan yang baru".10

Sementara menurut Salam Madkur ijma' adalah “Kesepakatan para mujtahid dari umat Islam atas

hukum syara' (mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi wafat.11 Abdul Wahab

Khalaf mengatakan bahwa Ijma' adalah bersepakatnya seluruh ulama mujtahid dari kaum

muslimin pada suatu masa setelah wafatnya Nabi pada hukum syar'i yang mereka hadapi.12.

Ada ikhtilaf di kalangan para ulama berkenaan dengan ijma' ini seperti disebutkan

Muhammad Salam Madkur, menurut Imam Malik bahwa ijma' yang dapat diakui adalah ijma

fuqaha ulama Madinah, sedangkan menurut kalangan syiah, ijma' yang diakuinya adalah hanya

ijma' dari kalahan mujtahidin Syi'ah dan menurut Imam Ahmad dan Madzhab Dzahiry yang

diakui terjadi hanyalah ijma' shahabat.13

Ijma' Menurut Istilah bermakna kesepakatan para ulama mengenai suatu permasalahan

hukum. Sebenarnya para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma' menurut arti

istilah. Ini dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat Ijma'. Namun

10 Abdurrahman bin Shalih Al-Fauzan, Syarh Al-Waraqat fi Ushul Al-Fiqh, Riyadh : Dar Al-Muslim, 1997, hlm. 194.

11 Muhammad Salam Madkur, Al-Madkhal li Al-fiqh Al-'Am. 12 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 40. 13 Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Syari'ah, hlm. 65.

Page 9: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

definisi Ijma' yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari

kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada masa

tertentu atas suatu perkara agama.

Para ulama ahli ijtihad terlibat dalam kesepakatan tersebut, baik dalam bentuk

keyakinan,ucapan dan perbuatan. Penyebutan kata "para ulama ahli ijtihad" dalam definisi ini

memberikan makna kesepakatan kalangan awam tidak termasuk ijma'. Karena kesepakatan dan

perbedaan mereka tidak perlu diperhitungkan begitu juga kesepakatan sebagian para ulama juga

tidak bisa dianggap ijma.

Ijma' tidak hanya terjadi pada zaman tertentu saja. Di antara ulama ada yang membatasi

Ijma' hanya terjadi pada masa sahabat, seperti pernyataan Ibnu Hazm rahimahullah yang menukil

dari Sulaiman bahwa tidak ada Ijma' kecuali Ijma' Sahabat. Ada juga yang berpendapat bahwa

Ijma' bisa saja terjadi dalam masalah selain hukum syariat. Begitu pula ada sebagian ulama yang

hanya membatasi Ijma' pada masalah hukum syariat saja, dan inilah pendapat yang benar kecuali

jika masalah selain agama tersebut ada kaitan erat dengan hukum agama Islam.

Hakikat Ijma'

Hakikat Ijma', seperti ditegaskan Syaikhul-Islam rahimahullah, ialah kesepakatan para

ulama kaum muslimin atas hukum tertentu. Bila Ijma' telah diputuskan secara permanen atas

suatu hukum, maka tidak boleh bagi siapapun keluar dari keputusan Ijma' tersebut, karena

mustahil umat Islam sepakat berada di atas kesesatan. Tetapi boleh jadi, banyak masalah yang

diklaim tetap berdasarkan Ijma' ternyata tidak demikian, bahkan pendapat lain lebih kuat dari sisi

Al-Qur`ân dan Sunnah. Ijma' merupakan dasar agama yang sah dan menjadi sumber hukum

ketiga dalam Islam setelah Al-Qur`ân dan Sunnah.

Tidak terdapat ketetapan Ijma' yang menentang kebenaran, karena umat Islam tidak

mungkin sepakat berada di atas kesesatan, apalagi generasi sahabat dan tabi’in; maka Ijma'

sebagai sumber hukum qath’i tidak tetap, kecuali berdasarkan Al-Qur`ân, Sunnah yang shahih -

terutama hadits-hadits muttawatir-, logika yang sehat, dan perkara indrawi yang realistis;

sehingga mustahil Ijma' bertentangan dengan Al-Qur`ân dan Sunnah yang shahih, logika yang

sehat, dan perkara indrawi yang realistis. Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Tidak ada Ijma'

kecuali pasti berdasarkan nash agama, baik berasal dari ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa

Page 10: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

sallam secara manqul sehingga pasti terpelihara, maupun dari perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi

wa sallam juga (yang) pasti sampai kepada kita secara manqul".

Peran Ijma' Dalam Penetapan Hukum 

Jumhur ulama berpandangan, Ijma' mempunyai bobot hujjah syar’iyyah sangat kuat

dalam menetapkan hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah setelah nash-nash agama; karena

Ijma' bersandar pada dalil syar’i, baik secara eksplisit maupun implisit. Bahkan jumhur ulama

berpandangan, Ijma' merupakan hujjah syar’iyyah yang wajib diaplikasikan. Demikian itu, tidak

hanya berlaku untuk Ijma' para sahabat saja, tetapi juga Ijma' para ulama pada setiap generasi

dan masa, karena umat Islam telah mendapat jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk

tidak bersepakat berada di atas kesesatan.

Penolakan dan penentangan terhadap masalah ini tidak perlu diperhitungkan

keberadaannya, karena para ulama Islam telah sepakat untuk menjadikan Ijma' sebagai hujjah

syar’i dalam menetapkan hukum-hukum syariat. Yang demikian itu berdasarkan pada Al-Qur`ân,

Sunnah dan logika : Pertama : Ijma' Menurut Pandangan Al-Qur`ân. Pijakan dan landasan Ijma'

dari Al-Qur`ân sangat banyak, antara lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

ق4وا �ف�ر� ت و�ال� ج�م7يعIا �ه7 الل 3ل7 ب 7ح� ب �ص7م4وا و�اع3ت

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-

berai…. QS Ali 'Imrân : 103.

Dalam ayat yang lainnya disebutkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: 

�م� ج�ه�ن 7ه7 4ص3ل و�ن Nى� �و�ل ت م�ا Oه7 4و�ل ن 7ين� 3م4ؤ3م7ن ال 7يل7 س�ب 3ر� غ�ي 7ع3 �ب �ت و�ي N3ه4د�ى ال �ه4 ل �ن� �ي �ب ت م�ا �ع3د7 ب م7ن الر�س4ول� 4ش�اق7ق7 ي و�م�ن

ا Iم�ص7ير اء�ت3 و�س�

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan

yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah

dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk

tempat kembali. QS An-Nisaa : 115.

Allah Azza wa Jalla telah mengancam orang-orang yang menyelisihi cara beragama

orang-orang beriman dan menentang Ijma' umat Muhammad yang benar. Ayat ini menjadi dalil

paling kuat, bahwa Ijma' menjadi hujjah dalam hukum agama yang wajib diikuti. Sesuatu tidak

menjadi wajib melainkan setelah menjadi hujjah syar’iyyah, sehingga apapun kesepakatan

mereka dalam hukum pasti menjadi landasan. Dengan demikian, kelompok yang menentang

Page 11: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

Ijma', berarti telah memecah-belah umat Islam, dan mengikuti cara beragama mereka yang pada

akhirnya mereka berhak masuk ke dalam ancaman ayat di atas.

Kedua : Ijma' Menurut Pandangan Sunnah. Landasan Ijma' yang berasal dari Sunnah,

antara lain ialah :

a. Dari 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa

sallam bersabda :

�ة7 ن 3ج� ال 3ح�ة7 ب 7ح� ب اد� ر�� أ و�م�ن3 3ع�د4 ب

� أ 3ن7 �ي 3ن 7ث اال م7ن� و�ه4و� 3و�اح7د7 ال م�ع� 3ط�ان� ي الش� 7ن� ف�إ ق�ة� 3ف4ر3 و�ال 4م3 �اك 7ي و�إ 3ج�م�اع�ة7 7ال ب 4م3 3ك �ي ع�ل

3ج�ماع�ة7 7ال ب 3ه7 �ي ف�ع�ل

Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama

satu orang, namun dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga

paling tengah maka hendaklah bersama jamaah.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: "Jika jamaah mereka berpencar di setiap negara

dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka, mereka tetap bisa membuahkan Ijma'.

Namun sebaliknya, walaupun badan mereka berkumpul dalam satu tempat, akan tetapi

bercampur dengan berbagai kalangan, baik dari kaum muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang

bertakwa maupun para penjahat, maka tidak mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin

membuahkan Ijma'. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan mengikuti jamaah mereka dalam

menetapkan perkara halal dan haram serta ketaatan. Barang siapa yang berpendapat sama dengan

pendapat jamaah kaum muslimin maka ia telah berada di atas jamaah mereka. Dan barang siapa

yang menyelisihi pendapat jamaah mereka maka ia telah menyelisihi jamaah kaum muslimin".

b. Banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang terpeliharanya umat secara kolektif dari

kesalahan dan kesesatan. Hadits-hadits tersebut, meskipun tidak sampai pada derajat mutawatir

secara lafazh, namun mutawatir dari sisi makna. Di antaranya adalah sabda beliau Shalalllahu

'alaihi wa sallam :

�ة9 �ل ض�ال ع�ل�ى وسلم عليه الله صلى م4ح�م�د9 م�ة�4 أ �ج3م�ع4 ي � ال الله� 7ن� ف�إ 3ج�م�اع�ة7 7ال ب 4م3 3ك �ي  ع�ل

Tetaplah kalian bersama jamaah maka sesungguhnya Allah tidak menghimpun umat Muhammad

di atas kesesatan.

Imam al-Ghazali berkata: "Banyak riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

dengan bermacam redaksi, yang berujung pada satu makna yang menegaskan bahwa umat ini

terpelihara dari kesalahan secara bersama-sama (kolektif). Seluruh riwayat di atas telah jelas di

hadapan para sahabat dan tabi’in hingga masa kita sekarang ini. Tidak ada seorangpun yang

Page 12: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

menolaknya dari kalangan ahli hadits, baik dari kalangan Salaf maupun Khalaf. Bahkan semua

riwayat tersebut diterima sepenuh hati oleh semua pihak, baik yang menerima maupun yang

menolak Ijma'. Umat Islam sepanjang zaman selalu berhujjah dengan riwayat-riwayat tersebut

dalam masalah ushul dan furu` agama".

c. Dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

bersabda :

7ك� . �ذ�ل ك و�ه4م3 الله7 م3ر4� أ 7ي� ت

3 �أ ي �ى ت ح� �ه4م3 خ�ذ�ل م�ن3 ه4م3 Yض4ر� ي � ال O3ح�ق ال ع�ل�ى 3ن� ظ�اه7ر7ي 7ي م�ت4 أ م7ن3 7ف�ة] ط�ائ ال4 �ز� ت � ال

Akan selalu muncul dari umatku sekelompok kaum yang tetap berada di atas kebenaran, tidak

mampu menimpakan bahaya orang-orang yang merendahkan hingga datang perkara Allah,

mereka dalam keadaan demikian.

Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menjadi dasar paling kuat bahwa Ijma'

adalah hujjah, sehingga hadits ini menjadi landasan Ijma' paling shahîh". Begitu juga hadits dari

Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa aku mendengar Rasulullah Shallallahu

'alaihi wa sallam bersabda :

�ة9 . �ل ض�ال ع�ل�ى �م7ع4 ت �ج3 ت � ال 7ي م�ت4 أ 7ن� إ

Sesungguhnya, umatku tidak akan sepakat di atas kesesatan.

Ketiga : Menurut Dalil Logika. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah

penutup para nabi, dan syariatnya berlaku hingga hari Kiamat. Sementara itu, banyak kasus

hukum yang muncul tidak ada nash yang qath’i, baik dari al-Kitab dan Sunnah, namun para

ulama berijma' terhadap satu hukum tertentu. Jika keputusan Ijma' mereka tidak menjadi hujjah

dalam agama, berarti kebenaran meleset dari mereka, atau mereka sepakat di atas kesesatan.

Yang demikian itu memberi konsekwensi bahwa syariat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak

bertahan sepanjang masa. Akhirnya, syariat mengalami kepunahan, dan demikian itu jelas suatu

kemustahilan. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menjadikan Ijma' mereka sebagai hujjah,

agar ajaran syariat bertahan selamanya.

Faidah Ijma' Dalam Penetapan Hukum

Para ulama yang menyatakan Ijma' bisa menjadi hujjah, dan mereka berbeda pendapat

apakah Ijma' memberi faidah qath’i atau zhanni? Perbedaan pendapat dalam menyikapi masalah

ini, terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama : Menurut pendapat as-Asfahani, dan inilah

pendapat yang masyhur dari kebanyakan para ulama bahwa Ijma' menjadi hujjah qath’i dalam

Page 13: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

agama Islam. Kedua. : Ijma' tidak berfaidah kecuali ketetapan yang bersifat zhanni, baik Ijma' itu

bersandar pada dalil yang qath’i maupun dalil zhanni.  Ketiga : Harus dibedakan antara Ijma'

yang disepakati sehingga menjadi hujjah yang qath’i, dengan Ijma' yang masih diperselisihkan,

seperti Ijma' sukuti. Ijma' seperti ini hanya memberi faidah dan ketetapan hukum secara zhanni.

Dan inilah yang shahîh seperti dikuatkan Ibnu Taimiyya rahimahullahh

Tafsir Ahkam bagi Pengembangan ‘Urf

Definisi adat dan ‘urf

'Urf biasa diterjemahkan dengan adat atau kebiasaan sebuah masyarakat, Ahmad Fahmi

Abu Sunnah mengatakan dalam Al-'Urf wa Al-'Adah fi Ra'yi Al-Fuqaha bahwa adat adalah

“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional”.14

Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa 'urf adalah setiap sesuatu yang menjadi adat

kebiasaan manusia dalam bertindak sesuai dengannya seperti segi perkataan, perbuatan dan cara-

cara lainnya yang disebut juga adat. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara 'urf dan al-'adah.

'Urf atau adat terbagi menjadi dua yaitu : 'urf 'amaly misalnya jual belinya manusia tanpa

menggunakan lafadz yang jelas, dan 'urf qauly misalnya memutlakkan kata walad dengan anak

laki-laki.15

Jika dilihat dari segi keabsahannya maka 'urf ini terbagi menjadi dua, yaitu Al-'Urf Al-

Shahih dan Al-'Urf Al-Fasid. Al-'Urf Al-Shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah

masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan

kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Adapun Al-'Urf Al-

Fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara' dan kaidah-kaidah dasar

yang ada dalam syara'.16

Dari pemaparan tersebut dapat dipastikan bahwa 'urf yang dapat dijadikan dalil/sumber

hukum adalah 'urf yang shahih, yaitu kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat yang tidak ada

nashnya secara sharih dan tidak bertentangan dengan syara'. Mengenai landasan hukum berupa

'urf (adat) para ulama sejak dulu sudah menggunakannya.17

Makna ‘urf secara bahasa adalah kebaikan atau nama sesuatu yang dicurahkan oleh jiwa.

imam Thobari mengatakan dalam tafsir firman Allah : بالعرف وأمر العفو bahwa kebenaran خذ14 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 139. 15 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Al-Fiqh, hlm. 79. 16 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 141. 17 Lihat Wahbah Al-Zuhaily, Ushul Al-Fiqh Al-Islamy, hlm. 840.

Page 14: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

dari ucapan tersebut adalah Allah menyuruh nabinya SAW untuk memerintah manusia dengan

‘urf yakni sesuatu yang masyhur di kalangan arab. sedangkan makna ‘urf secara syara’ para

ulama mendefinisikan dengan makna yang berbeda-beda, tetapi penulis disini merasa cukup

dengan menyebutkan satu definisi saja yaitu definisi oleh imam Jurjani yang mengatakan bahwa

‘urf adalah sesuatu yang mendasar dalam diri manusia yang diterima oleh akal sehat dan watak

dasar manusia. Sedangkan makna adat secara bahasa adalah sesuatu yang terus menerus artinya

setiap sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia. adapun makna adat secara syara’ adalah sesuatu

kebiasaan yang berulang ulang yang melekat dalam jiwa manusia serta diterima oleh akal sehat

manusia.

Adat dan ‘urf adalah dua kata yang sama artinya karena ‘urf adalah suatu ketentuan

manusia dalam kebiasaan dan adatnya yang diterima dengan lapang dada oleh hati nurani

manusia. hanya saja cakupan adat lebih luas dari pada ‘urf karena wilayah ‘urf hanya mencakup

sesuatu yang diketahui oleh semua manusia yang disebut sebagai ‘urf ‘am atau diketahui oleh

sebagian Negara tertentu yang disebut ‘urf khash. Adapun adat adalah sesuatu yang kembali

pada muslimin secara mutlak atau pada Negara atau kelompok tertentu. Bisa juga dikatakan pada

seseorang tertentu seperti adat perempuan ketika haid dan nifas. Konklusinya ‘urf dan adat

adalah suatu kebiasaan manusia yang diterima hati nurani secara lapang dada.18

Macam macam ‘urf 

Para ulama membagi ‘urf menjadi empat bagian dengan sudut pandang yang berbeda-

beda yang insya Allah perinciannya sebagai berikut : ’urf tetap dan ‘urf yang berubah-ubah.

Jenis ‘urf ini dilihat dari sudut pandang kelanggengan ‘urf tersebut. ‘urf yang tetap adalah

kebiasan-kebiasan yang berdasarkan pada sifat alami manusia dan fitrahnya. Sifat sifat yang

absolut pada diri manusia selamanya tidak akan beubah seperti rasa senang, sedih, lapar, haus

dan sebagainya yang berhubungan dengan tabi’at manusia. Begitu juga dengan ‘urf yang

ditetapkan oleh syari’at seperti sesuatu yang wajib dan haram dalam syari’at selamanya tidak

akan berubah. Begitu juga dengan tata cara shalat seperti sujud, ruku’ dan tasyahhud selamanya

seperti yang kita ketahui adanya tidak akan berubah. Adapun ‘urf yang berubah-ubah adalah

sesuatu yang berubah mengikuti zaman, tempat, dan lingkungan seperti pakaian yang berbeda

pada setiap tempat.

18 `Abd al-Karim Zaydan, al-Wajiz Fi Usul al- Fiqh, Baghdad,1987, h.252

Page 15: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

’Urf ‘am dan ‘Urf khash : ‘Urf ‘am adalah sesuatu yang diketahui oleh muslimin sejak

masa sahabat sampai sekarang yang diakui oleh mujtahid serta masih diamalkan meskipun

bertentangan dengan qiyas ketika tak ada nash dan dalil. Inilah yang diambil oleh fuqaha dan

menetapkanya sebagai hukum-hukum syari’at yang berdasarkan ijma’ karena ‘urf ini sudah

dianggap sebagai ijma’. adapun definisi ‘urf khash adalah sesuatu yang diketahui oleh sebagian

orang saja seperti istilah-istilah yang dipakai oleh para ilmuan dan karyawan perusahaan tertentu.

Satu contoh lafadz “dabah” apabila disebutkan oleh orang mesir berarti himar berbeda apabila

disebutkan oleh orang Iraq yang berarti kuda.

‘Urf qauli dan ‘urf amali : ‘urf qauli adalah kebiasaan bagi seseorang dalam pemakaian

lafadz terhadap suatu makna. jika seseorang mengucapkan suatu kata, maka hanya makna

tertentu saja yang tertuju dan tak ada yang lain. Sedangkan yang dimaksud ‘urf amali adalah

sesuatu yang masyhur oleh masyarakat baik dalam bermu’amalah atau yang lainya mengenai

semua kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat seperti jual beli “mu’athoh”.

‘Urf shahih dan ‘Urf fasid : Yang dimaksud dengan ‘urf shahih adalah kebiasaan yang

diterima oleh akal yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum syari’at. Abu Zahroh

menerangkan bahwa suatu kebiasaan manusia yang sesuai dengan syarat-syarat mu’amalah dan

jual beli maka kebiasaan tersebut bisa diterima selama tidak bertentangan dengan nash

Sedangkan ‘urf fasid adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi kebiasaan tersebut

bertentangan dengan syari’at agama, maka ’urf ini tidak bisa diterima oleh agama walau

bagaimanapun.

Syarat syarat Adat

Para ulama mengatakan bahwa suatu adat bisa diterima apabila memenuhi syarat-syarat

yang telah ditetapkan yakni sebagai berikut : Adat tersebut harus aghlab artinya kebiasaan yang

dilakukan oleh manusia itu harus terus menerus dan umum serta tidak boleh jarang baik adat

tersebut khash atau ‘am. Oleh karena itu apabila ada amal yang terkadang dilakukan tidak bisa

dianggap oleh hukum. Seperti dalam suatu Negara seorang pedagang menjual barangnya dengan

harga 100 tanpa menyebutkan mata uangnya maka yang dianggap adalah mata uang negara

tersebut, apabila dalam negara tersebut beredar mata uang yang banyak maka yang dianggap

adalah yang sering dipakai. Oleh karena itu terdapat kaidah yang mengatakan

غلبت او اطربت اذا العادة تعتبر انما

Page 16: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

Adanya adat tersebut bersamaan dengan pelaksanaan ketika itu atau sudah ada pada masa

dahulu. Maka berarti adat di masa mendatang tidak dianggap karena memang belum ada seperti

adat yang berlaku pada satu Negara kalau perabotan rumah tangga ditanggung oleh istri

kemudian setelah beberapa tahun adat tersebut berubah, maka apabila terjadi perselisihan yang

dinggap adalah adat ketika terjadinya akad bukan adat sebelum akad.

Adat tersebut tidak bertentangan dengan nash syar’i atau nash bukan syar’i. apabila

bertentangan maka yang dianggap adalah nash karena lebih kuat dari pada adat. seperti adat

biaya pengiriman barang ditanggung oleh pembeli tetapi telah terjadi kesepakatan antara penjual

dan pembeli bahwa biaya pengiriman ditanggung oleh penjual maka yang diamalkan adalah

kesepakatan tersebut bukan adat.

Pertentangan Antara Adat dengan Syara’

Apabila terjadi perbedaan antara adat dengan syara’ maka perinciannya sebagai berikut :

jika syara’ tersebut tidak berhubungan dengan hukum, maka yang dimenangkan adalah adat.

Seperti seseorang yang bersumpah tidak akan makan daging selamanya kemudian makan ikan

maka tidak dianggap melanggar sumpahnya walaupun al-Qur’an mengganggap ikan sebagai

daging dalam firman Allah ta’ala :

ا a اط�ر7ي Iح3م� 4ل 3ه م7ن 4وا 4ل 3ك �أ 7ت ل �ح3ر� 3ب ل س�خ�ر� �ذ7ى ل ���و�ه4و� ي � � ي ا� ٱٱDan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan

daripadanya daging yang segar (ikan)… QS An-nahl : 14.

Tetapi ayat tersebut ketika menamakan ikan sebagai salah satu dari macamnya daging

tidak ada hubunganya dengan hukum. Tetapi apabila syara’ tersebut berhubungan dengan hukum

maka yang dimenangkan adalah syara’. Seperti seseorang yang bersumpah tidak akan sholat

kemudian melakukan sholat sebagaimana kita lakukan setiap hari, maka dia melanggar sumpah

tersebut. Kecuali melakukan sholatnya orang nashrani maka tidak melanggar sumpah karena

yang dimaksud dengan sholat adalah perkataan dan gerakan tertentu yang diawali dengan takbir

dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.

Pertentangan Antara Adat dengan Bahasa

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, Qadli Husain mengatakan bahwa hakikat

bahasa lebih dianggap daripada adat karena asal dalam ucapan adalah hakikat bahasa tersebut,

lain halnya dengan pendapat imam Baghawi yang lebih mengedepankan adat daripada bahasa

karena adat lebih berpengaruh dalam mu’amalah manusia. Namun ada poin penting dalam

Page 17: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

permasalahan ini yakni apabila tidak ada niat, namun jika ada niat maka yang dimenangkan

adalah niat tersebut. Madzhab jumhur lebih mengedepankan makna yang ada ketika lafadh

diucapkan, apabila makna ucapan tersebut lebih cenderung pada adat, maka itu yang diamalkan

begitu juga dengan sebaliknya. untuk lebih jelasnya apabila seseorang bersumpah tidak akan

memakan roti kemudian makan roti yang terbuat dari nasi maka orang tersebut melanggar

sumpah atau tidak maka para ulama berbeda pandapat seperti di atas.

Pertentangan majaz yang sudah menjadi adat dengan hakikat yang berlaku

Para ulama juga berbeda pendapat dalam masalah ini, imam Abu Hanifah lebih

memenangkan hakikat yang berlaku daripada majaz yang sudah menjadi adat karena hakikat

adalah asal dan asal tidak boleh ditinggalkan kecuali dalam keadaan darurat, sedangkan majaz

adalah cabang. Berbeda dengan jumhur yang mengedepankan majaz yang sudah jadi adat

daripada hakikat yang berlaku karena lebih cepat dimengerti dalam bermu’amalah antara

manusia. Satu contoh apabila seseorang yang bersumpah tidak akan makan gandum, maka

menurut Abu Hanifah tidak melanggar sumpah apabila makan roti yang terbuat dari gandum dan

melanggar sumpah menurut jumhur apabila makan sesuatu yang asalnya terbuat dari gandum.

Semua itu apabila tidak ada niat, namun jika terdapat niat maka itulah yang diamalkan.

Pertentangan antara adat ‘am dengan khash

Apabila terjadi pertentangan antara dua adat yang satu adat yang meluas semua daerah

dan yang satunya adapt pada suatu wilayah tertentu maka mana yang didahulukan?. Para ulama

mentafsil dalam masalah ini yaitu apabila adat khash tersebut terbatas maka yang dianggap

adalah adat ‘am dan apabila adat tersebut tidak terbatas maka adat khash itulah yang dianggap.

Seperti adapt pada suatu desa yang menjaga hewan ternak dimalam hari dan menjaga

pertaniannya di siang hari, maka apabila pertanianya tersebut dirusak pada siang hari maka

pemilik hewan tidak menanggung kerusakannya.

Dalil-dalil Adat dan ‘Urf

Lafadz al-‘adah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, namun yang terdapat

pada keduanya adalah lafadh al-‘urf dan al-ma’ruf. Ayat dan hadits inilah yang dijadikan dasar

oleh para ulama kita untuk kaidah ini. Diantaranya ialah firman Allah Ta’ala :

ن ل�ي ل� جن� ل� ٱ ل ن� ل� ل� ل� ن�� ن� ل� ل� ع� ل� ل�ٱ ل� �ع ل�� ن� �ن ل� ن� ل� ٱ ل ع!Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari

pada orang-orang yang bodoh. QS Al-Araf : 199.

Page 18: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

ن ل"ي #� ن ع$ ل� ٱ ن�ى ن� ��"ا ن' ل� ) ع�� ل� ن$ ل� ل�ٱ ن ل�ي ن� ل* ن�+ ل, ن�ٱ ل ل- ن. ل� �جن ل� ل� ع/ �ي ن ل0 �ن ل� ٱ ��� لي ن! ن1 ن� ن2 ل�4ن ع5 �ل ن$ ل� ٱ ع6 ع7 ن. ن' ن�� ن� ن8 ن' ن�9 ل�4 ل6 ع: لي ن� ن� ن; ل# ع7Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia

meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara

ma’ruf. QS.Al-Baqarah : 180.

Dan beberapa ayat lain yang menyebut lafadh ’urf atau ma’ruf yang mencapai 37 ayat.

Maksud dan ma’ruf di semua ayat ini adalah dengan cara baik yang diterima oleh akal sehat dan

kebiasaan manusia yang berlaku.

Sedangkan dalil dari As-Sunnah misalnya salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh

Ahmad dari Abdullah ibn Mas’ud disebutkan, “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam, maka

di sisi Allah pun baik”. Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh dipahami (dijadikan dasar)

bahwa tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam dapat

dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fiqh).

Sementara Qawaid Fiqhiyah yang berkaitan dengan ’Urf, dalam qa’idah fiqhiyah

disebutkan : “Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum” Qaidah yang lain :

“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar

nash”.

Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan

tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan

prinsip-prinsip dasar dan karakter keuniversalan hukum Islam (sebagaimana contoh ayat di atas)

dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. Lebih

jauh, dengan kaidah tersebut, dalam bidang perdagangan (perekonomian), qa’idah

fiqhiyah memberikan keluasaan untuk menciptakan berbagai macam bentuk transaksi atau kerja

sama, yaitu dengan kaidah: “Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan

pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka”

Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita untuk menetapkan ketentuan-

ketentuan hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan

meneliti dan memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan

suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan. Kalau kita teliti lebih lanjut dasar

dianggapnya adat sebagai hukum adalah firman Allah ta’ala :

( ن6 <� ن ن� ن= ل?ۦ ل� ل@ Aع ن� جى �� ن �ن ن2 ن�ا ل?ۦ ل� �ن Aع ن ل>ي �ل Cل ع$ ل� ٱ Dل لEي Fن ن� لي Gن Hل Eل #� ن ن- ن� Iج ن. ع� ل� ٱ ع? ن� ن �ي ن Eن ن2 ن�ا ل. ل� �ن ن �ل Kن �Fع �� ن ٱ� Lل ل* نMا ع- �ن ن�

ا Iم�ص7ير اء�ت3 و�س�

Page 19: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan

yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah

dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat

kembali. QS An-Nisaa : 115.

Makna “sabil” adalah jalan, maka jalanya mukmin adalah yang dianggap baik, sedangkan Allah

mengancam orang-orang yang mengikuti jalannya selain mukmin maka ayat diatas menunjukan

bahwasanya mengikuti jalannya orang mukmin adalah wajib. Sabda Rasullah Shalallahu Alaihi

Wasalam :

حسن الله عند فهو I حسنا المسلمون رآه ما

Apa-apa yang dipandang baik oleh umat Islam maka di sisi Allah juga baik.

Ijma’ ulama tentang penganggapan adat sebagai hukum selama tidak bertentangan

dengan nash dan maqashid syari’ah karena adat merupakan sesuatu kebutuhan dan kemaslahatan

Tafsir Ahkam Bagi Pengembang Ijma’ dan ‘Urf

Setelah kita memahami mengenai ijma’ dan urf, maka bagaimana relevansinya dengan

tafsir ahkam? Sesungguhnya ijma adalah kesepakatan umat Islam secara keseluruhan tentang

sesuatu permasalahan. Maka hal ini (ijma’) dapat dihasilkan dari pemahaman terhadap ayat-ayat

Al-Qur’an yang berdimensi hukum. Pengembangan ijma’ ini didasarkan pada kaidah bahwa

kesepakatan umat Islam adalah terjaga, terutama berkaitan dengan hal-hal yang bersifat

muamalah. Ijma’ menjadi hal yang urgen saat ini, apalagi dengan telah berkembangnya

tekhnologi yang memungkinkan umat Islam berkomunikasi sehingga kesepakatan antar mereka

sangat dimungkinkan.

Demikian pula pada urf’, tafsir ahkam akan menjadi pondasi dasar bagi pengembangan

adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat, terutama adat kebiasaan yang tidak bertentangan

dengan nilai-nilai Islam. Pondasi dasar ini akan memperkuat kearifan local (local genius) yang

selaras dengan nilai-nilai Islam.

Maka tafsir ahkam sebagai pengembangan bagi ijma dan ‘urf sangat diperlukan saat ini,

terutama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya kontemporer yang dihadapi umat Islam. Hal ini

juga sebagai solusi bagi hukum Islam dalam menjawab setiap permasalahan baru yang belum

ada sebelumnya.

Page 20: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf

Daftar Pustaka

Abrar, Indal, “Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wal Mubayyin Lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ayil Furqan Karya al-Qurthubi”, dalam Muhammmad Yusuf dkk., Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004.

A. Hanafie, Usul Fiqh., Cetakan ketiga 1962Al-Jurzani, Ahmad, Kitab al-Ta’rifat, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1965.Al-Qatthan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, ttp.: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, tt.Al-Suyuthi, Syaikh a-Islam Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz I,

Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby, 1951.Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, ttp.: Dar al-Kutub, tt.Al-Zarqani, Muhammad al-Adzim, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II, Mesir: Musthafa

al-Baby al-Halaby wa Syurakauh, tt.Amal, Taufik Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Bandung:

Mizan, 1989.Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Cet.II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.Mahfudz, Mahsun, “Sejarah Perkembangan Pemikiran Al-Qur’an (Memotret Wajah al-Qur’an

sejak Masa Nabi hingga Kontemporer)”, dalam Jurnal Citra Ilmu, Edisi 5, Vol.III, April, 2007: 19-32

Barriy, al, Zakariya, Mashadir al-Ahkam al-Islamiyah, Kairo:Dar al-Ittihad al-Arabiy: 1975Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, cet. Ke-2Hasaballah, ‘Ali, Ushul at-Tasyri’ al-Islami, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi,1998Khallaf, Abd a-Wahhab, Mashadir at-Tasyri’ al-Islami fiimaa laa Nashsha fiihaa, Beirut: Dar

al-Qalam, 1972____________, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, cet.ke-20Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang, 2008, cet.ke-1Nasution, Lahmuddin, 2001, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, Jakarta: PT

Remaja Rosda Karya, Cet.ke-1 Syarifuddin, Amir, 2001, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos, cet.ke-2Mansur, Muhammad, “Ma’ani al-Qur’an Karya al-Farra”, dalam Muhammmad Yusuf dkk.,

Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004.Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Cet.IX, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.Shihab, H.M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Cet.II, Bandung: Mizan, 1992.Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jil.I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.Umar, Muin dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama

Islam Departemen Agama, 1985.Wehr, Hans, A Dictionary of Written Arabic, Beirut: Librairie Du Liban & London: Mc Donald

& Evand Ltd., 1974.Zahrah, al-Imam Muhammad Abu, 1958, Ushul al-Fiqh, Tt: Dar al-Fikr al-‘Arabi. Zaidan, Abd al-Karim, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Ma’asasah ar-Risalah, 1986Zein, Satria Effendi M, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, Cet.ke-1Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 2001

Page 21: Makalah Tafsir Ahkam Ijma Urf