BAB IPENDAHULUAN
A. Latar BelakangIjma adalah salah satu dalil syara yang
memiliki tingkat kekuatan argumentatif setingkat dibawah
dalil-dalil nash (Al-Quran dan Hadits)Ijma merupakan dalil pertama
setelah Al-Quran dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam
menggali hukum-hukum syara. Apabila terjadi suatu kejadian dan
dihadapkan kepada seorang mujtahid umat Islam pada waktu
terjadinya, dan mereka sepakat atas suatu hukum mengenai hal itu,
maka kesepakatan hal itu disebut ijma, kemudian dianggaplah ijma
mereka atas suatu hukum mengenai itu, sebagai dalil bahwa hukum ini
adalah hukum syariat Islam mengenai suatu kejadian. Ini ditetapkan
setelah kewafatan Rasulullah SAW. karena sewaktu beliau masih
hidup, beliau sendirilah sebagai tempat kembali hukum syariat
Islam, sehingga tidak terdapat perselisihan mengenai syariat hukum
Islam, dan tidak terjadi pula sebuah kesepakatan (ittifaq), karena
kesepakatan itu tidak akan terwujud keculai dari beberapa orang.
Pada zaman sekarang ini peradaban manusia begitu pesat dan banyak
hal-hal yang baru dan tidak tersebut dalam kitab Allah dan
rosul-Nya yaitu Al-Quran dan Al-Hadis. Maka daari itu perlu
pemahaman tentang ijma.Belakangan ini sering kita jumpai
permasalahan-permasalahan umumnya dalam bidang agama yang sering
kali membuat pemikiran umat Islam cenderung kepada perbedaan, jadi
dalam makalah ini penulis akan menjelaskan mengenai ijma dan
kehujahannya.
B. Rumusan MasalahAdapun rumusan masalah dari latarbelakang di
atas adalah sebagai berikut:1. Bagaimana pengertian ijma?2.
Bagaimana syarat ijma?3. Bagiamana kedudukan ijma?4. Bagaimana
macam-macam ijma?5. Bagaimana kehujahan ijma?
C. Tujuan Masalah Berdasarkan rumusan masalah di atas maka dapat
dibuat tujuan untuk mengetahui sebagai berikut:1. Pengertian ijma
secara etimologi dan terminologi2. Syarat-syarat ijma 3. Kedudukan
ijma4. Macam-macam ijma5. Kehujahan ijma
3
20
19
BAB IIPEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma Sesudah Al-Quran dan Sunnah, maka ijma
menurut pendapat ulama-ulama jumhur menempati tempat ketiga sebagai
sumber hukum syariat islam, yaitu permufakatan atau kesatuan
pendapat para ahli muslim yang mujtahid dalam segala zaman mengenai
sesuatu ketentuan hukum syariat.[footnoteRef:1] [1: Filsafat hukum
dalam islam, Sobhi Mahmassan, hlm.162.]
Ulama-ulama fiqh tersebut mendasarkan pendapatnya atas dalil
Al-Qur,an maupun sunnah. Berikut adalah dalil-dalil mengenai adanya
ijma:
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S.
An-Nisa:115)
Artinya:Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam
itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S. An-Nisa:59)
Artinya:Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia (Q.S. Al-Baqarah:143)
Artinya:Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (Q.S. Ali-Imran:103)
Artinya:Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang
mungkar (Q.S. Ali-Imran:110)
Ijma menurut kebanyakan ulama fiqh ialah permufakatan atau
kesatuan pendapat para ulama islam yang mujtahid disepanjang masa
atas sesuatu ketentuan hukum.[footnoteRef:2] Adapun Ijma', secara
etimologi berasal dari kalimat ajmaa yujmiu Ijma'an dengan isim
maful mujma yang memiliki dua makna[footnoteRef:3]. [2: Filsafat
hukum dalam islam, Sobhi Mahmassani, hlm. 165.] [3: Syarhul-Waraqt,
Ibnu Firkan, hlm. 240. al-Jami li Ahkam Ushul Fiqih, Syaikh
Muhammad Siddiq Hasan Khan, hlm. 154.]
1. Ijma bermakna tekad yang kuat. Oleh karena itu, jika
dikatakan "ajmaa fulan 'ala safar", berarti bila ia telah bertekad
kuat untuk safar dan telah menguatkan niatnya, sebagaimana firman
Allah pada surat Yunus ayat 71:
Artinya:Dan bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh
di waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat
bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan
ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu
bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan,
lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh
kepadaku.
2. Ijma dengan arti sepakat.[footnoteRef:4] Ijma dalam arti ini
dapat dilihat dalam Al-Quran surat yusuf ayat 15: [4: . Ushul Fiqh
jilid 1, Prof. Amir Syarifuddin hlm.132.]
Artinya:Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya
ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah
dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan
menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka
tiada ingat lagi."Sementara itu secara terminologi ijma adalah
kesepakatan semua mujtahid dari ijma umat Muhammad SAW. dalam suatu
masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara.[footnoteRef:5]
Definisi yang paling tepat adalah yang dikemukakan oleh
al-Syaukani, yakni kesepakatan semua mujtahid dari umat nabi
Muhammad sesudah wafatnya beliau pada suatu masa terhadap suatu
perkara[footnoteRef:6] [5: Fiqh Ushul Fiqh, Beni Ahmad, hlm. 167.]
[6: Perbandingan ushul fiqh, Asmawi, hlm.. 84.]
Terdapat dua kubu mengenai terjadinya ijma, yaitu kubu penerima
(pro) dan kubu penolak (kontra). Bagi kubu penerima, ijma itu
memang bisa terjadi bahkan sudah terjadi, sudah menjadi
realitas-historis. Kubu penolak berpandangan sebaliknya, ijma tidak
mungkin terjadi dan mewujud sebagai relitas-historis. Adapun yang
mengatakan tidak terjadi ijma dengan alas an:1. Sulit menentukan
siapa yang disebut mujtahid itu2. Dengan tersebarnya para mujtahid
di seluruh alam islami tidak mungkin mengumpulkan mereka3. Tidak
mungkin seorang mujtahid tidak berubah pendiriannya4. Tidak mungki
para mujtahid sepakatB. Syarat-syarat ijmaDari definisi ijma di
atas dapat diketahui bahwa ijma itu bisa terjadi bila memenuhi
kriteria-kriteria dibawah ini 1. Yang Bersepakat adalah Para
MujtahidPara ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid,
secara umum, mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang
mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil
syara. Dalam kitab Jamul Jawami disebutkan bahwa yang dimaksud
mujtahid adalah orang yang faqih. Dalam Sulam Ushuliyin
digantidegan istilah ulama ijma, sebagaiman menurut pandangan Ibnu
Hazm dalam Hikam.Selain pendapat di atas, ada juga yang memandang
mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi.Beberapa pendapat tersebut
sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah
orang Islam yang balig, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu
mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya.Dengan demikian,
kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai
derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma, begitu pula penolakan
mereka. Karena mereka tidak ahli dalam meneliti hukum-hukum
syara.Maka, apabila dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang
mencapai derajat mujtahid, tidak akan terjadi mujtahid. Meskipun
ada, tetapi hanya satu orang, itu pun tidak bisa dikatakan ijma,
karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya. Dengan
demikian, suatu kesepakatan bisa dikatakan ijma bila dilakukan oleh
tiga orang atau lebih. Adapun kesepakatan yang dilakukan oleh dua
orang, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa hal
itu tidak bisa dikatakan ijma . akan tetapi, menurut jumhur ulama,
hal itu termasuk imja, karena mewakili kesepakatan seluruh
mujtahid.
2. Yang Berkesepakatan adalah Seluruh MujtahidBila sebagia
mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak, meskipun sedikit, maka
menurut Jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma karena ijma itu
harus mencakup keseluruhan mujtahid.Sebagian ulama berpandangan
bahwa ijma itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid,
karena yang dimaksud kesepakatan ijma, termasuk pula kesempakatan
sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih,
sebagiam besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.Sebagian ulama
yang lain berpandangan bahwa kesepakatn sebagian besar mujahid itu
adalah hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma. Karena
kesepekatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan
terhadap dalil sahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum.
Jarang terjadi, kelompok kecil yang tidak sepakat, dapat
mengalahkan kelompok besar.
3. Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAWPara ulama berbeda
pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. Adapun yang berpendapat
bahwa yang dimaksud uma Muhammad SAW adalah orang-orang mukallaf
dari golongan ahl Al-halli wa Al-aqdi, ada juga yang berpendapat
bahwa mereka adalah orang-orang mukalaf dari golongan Muhammad.
Namun yang jelas, arti mukalaf adalah muslim, berakal, dan telah
baligh. Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat
Muhammad SAW tidak bisa dikatakan ijma. Hal itu menunjukan adanya
umat para Nabi lain yang ber-ijma. Adapun ijma umat Nabi Muhammad
SAW tersebut telah dijamin bahwa mereka tidk mungkin ber-ijma untuk
melakukan suatu kesalahan.
4. Dilakukan Setelah Wafatnya NabiIjma itu tidak terjadi ketika
Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati
perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu
dianggap sebagai syariat.
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syariatAdapun
mengenai masa atau zaman, para ulama ada yang memasukkannya sebagai
syara ijma. Sedangkan Al-Athar dalam kitab Hasiyah Jamul Jawami
mengartikan zaman dalam definisi ijma diatas dengan zaman mana
saja.[footnoteRef:7] [7: Ilmu Ushul Fiqh, Syafei, hlm. 70.]
C. Kedudukan IjmaJumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma
menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Quran dan
sunah. Ini berarti ijma dapat menetapkan hukum yang mengikat dan
wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam
Al-Quran dan sunah.[footnoteRef:8] Jumhur ulama juga berpandangan,
Ijma mempunyai bobot hujjah syariyyah sangat kuat dalam menetapkan
hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah setelah nash-nash agama;
karena Ijma bersandar pada dalil syari, baik secara eksplisit
maupun implisit. Bahkan jumhur ulama berpandangan, Ijma merupakan
hujjah syariyyah yang wajib diaplikasikan. Demikian itu, tidak
hanya berlaku untuk Ijma para sahabat saja, tetapi juga Ijma para
ulama pada setiap generasi dan masa, karena umat Islam telah
mendapat jaminan dari Allah Swt. untuk tidak bersepakat berada di
atas kesesatan. [8: Ushul Fiqh, Amir, hlm. 138.]
Penolakan dan penentangan terhadap masalah ini tidak perlu
diperhitungkan keberadaannya karena para ulama Islam telah sepakat
untuk menjadikan Ijma sebagai hujjah syari dalam menetapkan
hukum-hukum syariat. Yang demikian itu berdasarkan pada Al-Qur`n,
Sunnah dan logika.
Pertama : Kedudukan ijma dilandasi sejumlah ayat dalam
Al-Qur`an.[footnoteRef:9] [9: Perbandingan Ushul Fiqh, Asmawi, hlm.
86.]
1. Surah An-Nisa (4) : 115 :Dan barang siapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.Allah Azza
wa Jalla telah mengancam orang-orang yang menyelisihi cara beragama
orang-orang beriman dan menentang Ijma umat Muhammad yang benar.
Ayat ini menjadi dalil paling kuat, bahwa Ijma menjadi hujjah dalam
hukum agama yang wajib diikuti. Sesuatu tidak menjadi wajib
melainkan setelah menjadi hujjah syariyyah, sehingga apapun
kesepakatan mereka dalam hukum pasti menjadi landasan. Dengan
demikian, kelompok yang menentang Ijma, berarti telah memecah-belah
umat Islam, dan mengikuti cara beragama mereka yang pada akhirnya
mereka berhak masuk ke dalam ancaman ayat di atas.[footnoteRef:10]
[10: Tafsir Ahkamul-Qur`n, Imam al-Qurthubi (5/367), Tafsir Ibnu
Katsir (1/842). ]
2. Surah Al-Baqoroh (2) : 143 :Dan demikian pula Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas perbuatan kamu.Ayat ini mensifati umat Islam
dengan wasath, yang berarti adil, ayat ini memandang umat Islam itu
sebagai adil dan dijadikan hujah yang mengikat terhadap manusia
untuk menerima pendapat mereka sebagaimana ucapan Rasul menjadi
hujah terhadap kita untuk menerima semua ucapan yang ditunjukkan
kepada kita. Ijma berkedudukan sebagai hujah tidak lain artinya
kecuali bahwa pendapat mereka itu menjadi hujah terhadap yang
lain.[footnoteRef:11] [11: Syarifuddin, Ushul Fiqh, hlm. 139.]
Kedua : Ijma Menurut Pandangan Sunnah.Landasan Ijma yang berasal
dari Sunnah, antara lain ialah:a. Dari 'Umar bin Khaththab
Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap
perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun dengan dua
orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga paling
tengah maka hendaklah bersama jamaah.[footnoteRef:12] [12: Shahh,
diriwayatkan Ibnu Abu 'Ashim dalam as-Sunnah (87), Imam Ahmad dalam
Musnad-nya (1/18), Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2165), Imam
al-Hakim dalam Mustadrak-nya (387), dan Imam al-Ajuri dalam
asy-Syariah (5).]
Imam asy-Syafii rahimahullah berkata: "Jika jamaah mereka
berpencar di setiap negara dan tidak ada yang mampu menyatukan
badan mereka, mereka tetap bisa membuahkan Ijma. Namun sebaliknya,
walaupun badan mereka berkumpul dalam satu tempat, akan tetapi
bercampur dengan berbagai kalangan, baik dari kaum muslimin, kaum
kuffar, orang-orang yang bertakwa maupun para penjahat, maka tidak
mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan Ijma. Oleh
karena itu, menjadi suatu keharusan mengikuti jamaah mereka dalam
menetapkan perkara halal dan haram serta ketaatan. Barang siapa
yang berpendapat sama dengan pendapat jamaah kaum muslimin maka ia
telah berada di atas jamaah mereka. Dan barang siapa yang
menyelisihi pendapat jamaah mereka maka ia telah menyelisihi jamaah
kaum muslimin".[footnoteRef:13] [13: Ar-Risalah, Imam asy-Syafii,
hlm. 475.]
b. Banyak hadits-hadits yang menjelaskan tentang terpeliharanya
umat secara kolektif dari kesalahan dan kesesatan.Hadits-hadits
tersebut, meskipun tidak sampai pada derajat mutawatir secara
lafazh, namun mutawatir dari sisi makna. Di antaranya adalah sabda
beliau Shalalllahu 'alaihi wa sallam :Tetaplah kalian bersama
jamaah maka sesungguhnya Allah tidak menghimpun umat Muhammad di
atas kesesatan.[footnoteRef:14] [14: Sanadnya jayyid, diriwayatkan
Imam Ibnu 'Ashim dalam Sunnah-nya (85). Hadits ini diriwayatkan
Imam ath-Thabrani dari dua jalan, dan salah satu jalurnya para
perawinya terpercaya sebagaimana yang telah disebutkan dalam Majma
Zawa`id (5/219).]
Imam al-Ghazali berkata: "Banyak riwayat dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan bermacam redaksi, yang
berujung pada satu makna yang menegaskan bahwa umat ini terpelihara
dari kesalahan secara bersama-sama (kolektif). Seluruh riwayat di
atas telah jelas di hadapan para sahabat dan tabiin hingga masa
kita sekarang ini. Tidak ada seorangpun yang menolaknya dari
kalangan ahli hadits, baik dari kalangan Salaf maupun Khalaf.
Bahkan semua riwayat tersebut diterima sepenuh hati oleh semua
pihak, baik yang menerima maupun yang menolak Ijma. Umat Islam
sepanjang zaman selalu berhujjah dengan riwayat-riwayat tersebut
dalam masalah ushul dan furu` agama".[footnoteRef:15]
c. Dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: [15: Mustashfa, Abu Hamid
al-Ghazali, 1/175.]
Akan selalu muncul dari umatku sekelompok kaum yang tetap berada
di atas kebenaran, tidak mampu menimpakan bahaya orang-orang yang
merendahkan hingga datang perkara Allah, mereka dalam keadaan
demikian.[footnoteRef:16] [16: Shahh, diriwayatkan Imam Bukhri
dalam Shahh-nya (7311), Imam Muslim dalam Shahh-nya (4927),
at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (2229), dan Ibnu Majah dalam muqadimah
Sunan-nya]
Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini menjadi dasar
paling kuat bahwa Ijma adalah hujjah, sehingga hadits ini menjadi
landasan Ijma paling shahh".[footnoteRef:17] [17: Al-Minhaj Syarah
Shahh Muslim, Imam Nawawi, 13/69.]
Begitu juga hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ia
berkata bahwa aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:Sesungguhnya, umatku tidak akan sepakat di atas
kesesatan.[footnoteRef:18] [18: Shahh, diriwayatkan Ibnu Majah
dalam Sunan-nya (3950) dan al-Khathib at-Tibrizi dalam Misykatul-
Mashabih (174). Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi dalam
Sunan-nya (2167), al-Khathib at-Tibrizi dalam Misykatul-Mashabih
(174), dan al-Hakim dalam Mustadrak-nya (391, 392, 393, 394, 395,
396 dan 397) dari Ibnu 'Umar dengan lafazh: Sesungguhnya Allah
tidak menghimpun umatku atau umat Muhammad di atas kesesatan.
Hadits ini dishahhkan Syaikh al-Albni dalam al-Miskt (no. 173) dan
terdapat shahid dari hadits Ibnu 'Abbas yang dikeluarkan
at-Tirmidzi dan al-Hakim serta yang lainnya dengan sanad yang
shahh. Lihat Shahhul Jami', al-Albni (1/378, no. 1848).]
Ketiga : Menurut Dalil Logika.Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam adalah penutup para nabi, dan syariatnya berlaku hingga
hari Kiamat. Sementara itu, banyak kasus hukum yang muncul tidak
ada nash yang qathi, baik dari al-Kitab dan Sunnah, namun para
ulama berijma terhadap satu hukum tertentu. Jika keputusan Ijma
mereka tidak menjadi hujjah dalam agama, berarti kebenaran meleset
dari mereka, atau mereka sepakat di atas kesesatan. Yang demikian
itu memberi konsekwensi bahwa syariat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak bertahan sepanjang masa. Akhirnya, syariat mengalami
kepunahan, dan demikian itu jelas suatu kemustahilan. Sehingga
tidak ada pilihan lain kecuali menjadikan Ijma mereka sebagai
hujjah, agar ajaran syariat bertahan selamanya.
D. Macam-macam ijmaMacam-macam ijma bila dilihat dari cara
terjadinya ada dua macam, yaitu :1. Ijma sharihYaitu ijma yang
dikeluarkan oleh para mujtahid tentang hukum tertentu secara jelas
dan terbuka, baik secara lisan/ucapan (hasil ijtihadnya di
sebarluaskan melalui fatwa) maupun tulisan atau dalam bentuk
pebuatan (mujtahid menjadi hakim memutuskan suatu perkara).
Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka
masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya. Dan ternyata
seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum
tersebut. ijma macam ini disebut juga sebagai ijma bayani atau ijma
qathi. Bila ijma sharih ini berlangsung, maka dilallah (penunjukan
) nya terhadap hukum adalah dalam tingkat qathi dan hukum yang
ditetapkannya bersifat qathi (tidak diragukan lagi kebenarannya),
Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul disuatu tempat ,
kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang
ingin diketahui ketetapan hukum nya . setelah itu mereka
menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan
tersebut. Selain itu, bisa juga pada suatu masa timbul kejadian
,kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang kejadian
tersebut , mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya mujtahid
pertama, dan mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah di fatwakan
tersebut.
2. Ijma sukutiAdalah pendapat sebagian ulama tentang suatu
masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka
diam, tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara
jelas. Ijma sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria di
bawah ini :a. Diamnya para mujtahid itu betul-betul menunjukan
adanya kesepakatan atau penolakan, bila mendapat tanda-tanda yang
menunjukan adanya kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian mujtahid
, maka tidak dikatakan ijma sukuti , melainkan ijma sharih, begitu
pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh
sebagian mujtahid , itupun bukan ijma.b. Keadaan diamnya para
mujtahid itu cukup lama , yang bisa dipakai untuk memikirkan
permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukakan
pendapatnya. Namun, perlu diingat bahwa tidak mungkin menentukan
lamanya waktu bagi seorang mujtahid untuk mengeluarkan fatwanya,
karena setiap mujtahid memerlukan waktu yang berbeda, cepat atau
lambat dalam mengeluarkan fatwanya.c. Permasalahan yang di fatwakan
oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang
bersumberkan dalil-dalil yang bersifat zhanni, adapun tentang
permasalahan yang tidak boleh di ijtihadi , atau yang bersumberkan
dalil-dalil qath, apabila seorang mujtahid mengeluarkan pendapat
tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam , hal
itu tidak bisa disebut ijma karena diam nya mereka tidak bisa
dikatakan menyepakati, melainkan meremehkan pembeli fatwa tersebut
karena ilmunya masih dangkal.Menurut ulama hanafiyah, yang
dipandang sebagai ijma sebenarnya hanya ijma qauli dan ijma sukuti.
Adapun ulama syafiiyah mengatakan bahwa hanya ijma qauli yang di
pandang sebagai ijma. [footnoteRef:19] [19: Fiqh ushul fiqih, Ahmad
Beni Saebeni dan Januri, hlm. 169-170]
E. Kehujahan ijmaAda beberapa permasalahan yang berkaitan dengan
kehujjahan ijma , misalnya, benarkah ijma sebagai sumber hukum atau
hujjah syariyah? ijma itu merupakan landasan ushul fiqih? Bolehkah
kita menafikan atau mengingkari ijma?Untuk menjawab pertanyaan
tersebut para ulama berbeda pendapat . Al-Bardawi berpendapat bahwa
orang-orang hawa tidak menjadikan ijma itu sebagai hujjah , bahkan
dalam syarah-nya dia mengatakan bahwa ijma itu bukan hujjah secara
mutlak. Menurut Al-Amidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma
sebagai hujjah yang wajib diamalkan . pendapat tersebut
bertentangan dengan syiah khawarij dan nizam dari golongan
mutazilah. Al-Hajib berkata bahwa ijma itu hujjah tanpa menanggapi
pendapat nizam , khawarij dan syiah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat
bahwa ijma itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab
Qawaidul Ushul dan Maaqidul Ushul dikatakan bahwa ijma itu hujjah
pada setiap masa. Namun , pendapat itu ditentang oleh daud yang
mengatakan bahwa ijma itu hanya terjadi pada masa sahabat.
Kehujjahan ijma juga berkaitan erat dengan dengan jenis ijma itu
merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti , agar lebih jelas maka
pendapat mereka tentang ijmaakan ditinjau berdasarkan pembagian
ijma itu sendiri:1. Kehujjahan ijma sharihJumhur telah sepakat
bahwa ijma sharih itu merupakan hujjah secara qathi , wajib
mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma pada
suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qathi yang tidak boleh
ditentang. Dan menjadi masalah yang tidak boleh di-ijtihadi lagi.
Ibrahim An-Nidzam , sebagian dari golongan syiah dan khawarij
berkata bahwa ijma tidak termasuk hujjah.
a. Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhurJumhur mengeluarkan
beberapa dalil untuk memperkuat pendapat mereka tentang kehujjahan
ijma . antara lain :Pertama, Firman Allah SWT, dalam surat
an-nisa
Artinya : Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya , dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mumin , kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan kami masukan ia kedalam jahanam , dan
jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. ( Qs An-Nisa : 115 )
Kehujjahan dalil dari ayat diatas adalah ancaman Allah SWT terhadap
mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin, disebutkan
bahwa mereka akan dimasukan ke dalam neraka jahanam dan akan
mendapat tempat kembali yang buruk, hal itu menunjukan bahwa jalan
yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah bathil
dan haram diikuti. Sebaliknya,jalan yang ditempuh oleh orang-orang
mukmin adalah hak dan wajib diikuti. Dalil yang digunakan oleh
jumhur di atas dibantah kehujjahannya dalam ijma. Bahwa yang
dimaksud jalannya orang-orang mukmin di atas adalah para pengikut
Rasulullah SAW. Penolongnya dan penjaga dari musuh-musuhnya. Bukan
legalisasi hukum terhadap kesepakatan ulama mujtahid. Sesuai dengan
yang ada dalam kitab Al-Burhan adalah : sesungguhnya orang yang
memusuhi Rasulullah SAW, dan para penentang jalan orang-orang yang
beriman yang menolong Rasulnya dan menjaga dari mushnya , mereka
akan diberikan oleh Allah mengikuti hawa nafsunya. Dan akan disiksa
di akherat dengan dimasukan kedalam neraka jahanam dan ditempatkan
pada tempat yang hina.
Kedua, firman Allah SWT , dalam surat Al-Baqoroh : 143
Artinya : dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu ummat (
ummat islam ) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi
atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
perbuatan kamu, kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu(
berkiblat) kepadanya melainkan agar kami mengetahui siapa yang
mengikuti rasul dan siapa yang berbalik kebelakang . sungguh
(pemindahan kiblat) itu sangat berat , kecuali bagi orang yang
telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan
menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah maha pengasih, maha
penyayang, kepada manusia.Ayat tersebut dikemukakan oleh Al-Amidi ,
kehujjahan dari ayat tersebut adalah keadilan mereka (para
mujtahid) yang menjadi hujjah bagi manusia untuk menerima pendapat
mereka, Ketiga, firman Allah SWT dalam surat Al-imran ayat 103 yang
dikemukakan oleh amidi :
Artinya : dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali ( agama
) Allah dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu
Allah mempersatukan hatimu , sehingga dengan karunia-Nya kamu
menjadi bersaudara , sedangkan (pada itu) kamu berada di tepi
jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana.
Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat nya kepadamu agar kamu
mendapat petunjuk.Kehujjahan ayat tersebut bahwa Allah SWT,
melarang untuk berpecah belah . sedangkan menentang ijmaadalah
salah satu bentuk perpecahan, sehingga jelas sekali bahwa hal itu
dilarang. Dengan demikian, ijma itu merupakan hujjah sebagaimana
larangan untuk mengingkarinya.
b. Dalil-dalil yang dikeluarkan nidzam dan para pengikutnya.
Ibrahim bin Nidzam, penentang adanya ijma, dan para pengikutnya
memberikan dalil sebagai berikut :Firman Allah SWT dalam surat
an-nisa ayat 59
Artinya : hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan
taatillah Rasul-nya, dan ulil amri diantara kamu.kemudian, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada
Allah (Al-Quran) dan Rosul (Sunnahnya) , jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudia. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.Sesungguhnya Allah SWT memerintah untuk
mengembalikan segala bentuk pertentangan kepada Allah dan
Rasul-nya. Yang dimaksud mengembalikan kepada Allah adalah kembali
kepada Al-Quran, sedangkan yang dimaksud mengembalikan kepada Rasul
adalah mengembalikan kepada diri Rasulullah sewaktu beliau masih
hidup dan kepada sunnah kalau beliau sudah wafat. Allah SWT tidak
memerintahkan untuk mengembalikan kepada ijma mujtahidin. Hal itu
menunjukan bahwa ijma mereka tidak berarti apa-apa dan tidak bisa
disebut hujjah.Keterangan di atas dijawab jumhur , bahwa ayat
tersebut adalah hujjah bagi kamu semua (penentang ijma) bukanlah
hujjah untuk kita. Ayat di atas telah mewajibkan untuk
mengembalikan berbagai ikhtilaf ( pertentangan ) kepada Allah dan
sunah Rasul, adapun hujjah ijma dari pertentangan yang terjadi
diantara kita wajib dikembalikan kepada Al-Quran dan sunnah Rasul.
Mengamalkan perintah ayat di atas menunjukan bahwa ijma itu hujjah
. berdasarkan ayat di atas juga kita bisa mengatakan bahwa ijma itu
adalah hujjah.
2. Kehujjahan ijma sukutiIjma sukuti telah di pertentangkan
kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak
memandang ijma sukuti sebagai hujjah, bahkan tidak menyataan
sebagai ijma . diantara mereka adalah pengikut maliki dan imam
syafii yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai
pendapatnya.Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu
mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa juga tidak sama sekali.
Misalnya karna tidak melakukan ijtihad pada suatu masalah atau
takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap
mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qathi atau
zhanni , jika demikan adanya, tidak bisa dikatakan adanya
kesepakatan dari seluruh mujtahid, berarti tidak bisa dikatakan
ijma ataupun dijadikan sebagai hujjah.Sebagian besar golongan
hanafi dan imam ahmad bin hambal menyatakan bahwa ijma sukuti
merupakan hujjah yang qathi sebagaimana hal nya ijma sharih, alasan
mereka adalah diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat
atau tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian
mujtahid lainnya, bila memenuhi syarat adalah ijma sukuti, bisa
dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka sehingga bisa
dikatakan sebagai ijma karena kesepakatan mereka terhadap hukum.
Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qathi
karna alasannya juga meneunjukan adanya ijma yang tidak bisa di
bedakan dengan ijma sharih.Al-Kurhi dari golongan hanafi dan
Al-Imidi dari golongan syafii menyatakan bahwa ijma sukuti adalah
hujah yang bersifat zhanni, pendapat mereka lah yang kita aggap
lebih baik karena diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan
pendapatnnya klau memenuhi syarat ijma sukuti tidak bisa dikatakan
sebagai kesepakatan terhadap para mujtahid lannya ,tetapi boleh
dikatakan diamnya mereka itu antara menyepakati dan tidak, sifat
tersebut sebagaimana telah dilakukan oleh kaum ulama salaf. Mereka
tidak melarang untuk menyatakan haq meskipun tidak mampu
melaksanakan dan nada sebagian yang mengingkarinya. Contohnya
ketika Muadz bin Jabbal melaporkan pada Umar bin Khathab bahwa ia
bermaksud menghukum wanita hamil yang melakukan zinah. Ia berkata
seandainya Allah menjadikan kepada kamu keselamatan pada
punggungnya (perempuan). Maka kamu tidak akan menjadikan bayi
perempuan itu jalan keselamatan. maka umar berkata kalau bukan
muadz (yang berkata) maka umar akan memarahinya. Dan masih banyak
contoh-contoh lainnya yang dapat diketahui dengan menelaah kehdupan
mereka, bila diamnya sebagian mujtahid tidak bisa dikatakan sebagai
ketetapan qathi, tetapi zhanni, maka kehujjahan ijma sukuti tidak
bisa dikatakan qathi melainkan zhanni.[footnoteRef:20] [20: Ushul
Fiqh, Amir Syarifuddin, hlm. 159-160.]
BAB IIIPENUTUP
A. SimpulanAdapun Ijma', secara etimologi berasal dari kalimat
ajmaa yujmiu Ijma'an dengan isim maful mujma yang memiliki dua
makna, yaitu bermakna tekad yang kuat dan sepakat, Sementara itu
secara terminologi ijma adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma
umat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap
hukum syara.Kehujahan ijma Menurut Al-Amidi, para ulama telah
sepakat mengenai ijma sebagai hujjah yang wajib diamalkan .
pendapat tersebut bertentangan dengan syiah khawarij dan nizam dari
golongan mutazilah. Al-Hajib berkata bahwa ijma itu hujjah tanpa
menanggapi pendapat nizam , khawarij dan syiah. Adapun Ar-Rahawi
berpendapat bahwa ijma itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan
dalam kitab Qawaidul Ushul dan Maaqidul Ushul dikatakan bahwa ijma
itu hujjah pada setiap masa. Namun , pendapat itu ditentang oleh
daud yang mengatakan bahwa ijma itu hanya terjadi pada masa
sahabat.
B. SaranPenulis menyarankan agar makalah ini dijadikan salah
satu media untuk memahami di antara sumber-sumber islam khususnya
mengenai ijma demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat
(masyarakat) yang adil dan makmur.
DAFTAR PUSTAKASyarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh.
Jakarta:Prenada Media Group.Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh.
Jakarta:Amzah.Ramulyo, Mohd. Idris. 1995. Asas-Asas Hukum Islam.
Jakarta:Sinar Grafika.Ash-Shadr, Baqir dan Muthahhari, Murtadha.
1993. Pengantar Ushul Fiqh dan Syafei, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul
Fiqh. Bandung:Pustaka Setia.Imam asy-Syafi. Ar-Risalah. Darul Kutub
Al-ilmiyah.Syaikh Syinqithi. Mudzakirah Ushul Fiqih.Ushul Fiqh
Perbandingan. Jakarta:Pustaka Hidayah.Dzajuli. 2005. Ilmu Fiqh.
Jakarta:Prenada Media Group.Wahbah Zuhaili. Ushul Fiqih Islami.
Ibnu Firkan. Syarhul-Waraqt.Syaikh Muhammad Siddiq Hasan Khan.
Al-Jami li Ahkam Ushul Fiqih.Rosyadi, Dede. 1999. Hukum Islam dan
Pranata Sosial. Jakarta:Raja Grafindo Persada.