Page 1
1
PERCOBAAN, PENYERTAAN DAN PERBARENGAN
DALAM HUKUM PIDANA
Oleh : Nyoman Serikat Putra Jaya
Maksud dan tujuan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi
(MAHUPIKI) mengadakan kegiatan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi
dengan mengambil tema : Asas-Asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta
Perkembangannya, terlihat dari tujuan yang tercantum dalam Proposal Kegiatan
yaitu :
1. Meningkatkan pemahaman terhadap asas-asas hukum pidana dan
kriminologi.
2. Memahami asas-asas hukum pidana dan kriminologi serta
perkembangannya dewasa ini.
3. Adanya kesamaan pemahaman terkait asas-asas hukum pidana dan
kriminologi dalam rangka menyebarluaskan asas-asas tersebut kepada
para mahasiswa di perguruan tinggi masing-masing.
Pada kegiatan ini saya ditugaskan untuk menyiapkan bahan untuk
berdikusi dengan judul : “Percobaan, Penyertaan dan Perbarengan dalam
Hukum Pidana”, yang disusun dengan sistimatika sebagai berikut : (A)
Percobaan, (B) Penyertaan, (C) Perbarengan dan (D) Pengaturannya dalam
RUU KUHP 2012.
A. Percobaan ( Poging / Attempt ) 1. Pengertian dan sifat percobaan
Didalam Buku I KUHP khususnya dalam Bab IX tentang arti beberapa
istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang, tidak dijumpai defisi / arti
istilah “ percobaan “. Rumusan yuridis mengenai percobaan dapat
ditemukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
Page 2
2
“ Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan
itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.
Perumusan Pasal 53 ayat (1) KUHP tersebut hanya memuat persyaratan
atau kriteria / batasan seseorang yang melakukan percobaan untuk
melakukan tindak pidana dipidana atau tidak dipidana. Percobaan
melakukan tindak pidana yang dipidana hanyalah percobaan untuk
melakukan tindak pidana berupa “ kejahatan “, sedangkan percobaan
untuk melakukan tindak pidana berupa “ pelanggaran “ tidak dipidana
Pasal 54 ( KUHP ) . Namun demikian terdapat beberapa pasal dalam
buku II KUHP yang diberi label / nama yuridis berupa kejahatan yang tidak
dipidana seperti percobaan duel / perkelahian tanding (Pasal 184 ayat 5),
percobaan penganiayaan ringan terhadap hewan ( Pasal 302 ayat 4 ),
percobaan penganiayaan biasa ( Pasal 351 ayat 5 ), dan percobaan
penganiayaan ringan ( Pasal 352 ayat 2 ).
Mengenai sifat dari percobaan terdapat 2 ( dua ) pandangan.
a) Percobaan dipandang sebagai “ Strafausdehnungsgrund atau
strafuitbreidingungsgrond ( dasar / alasan memperluas dapat
dipidananya orang ).
Menurut pandangan ini, percobaan adalah untuk memperluas
dapat dipidananya orang dan tidak memperluas rumusan-rumusan
tindak pidana. Percobaan tidak dipandang sebagai “ delictum sui
generis “ atau delik yang berdiri sendiri, tetapi dipandang sebagai
delik yang tidak sempurna ( “ onvolkomen delictsvorm “ ).
b) Percobaan dipandang sebagai Tatbestand-ausdehnungsgrund
(dasar / alasan memperluas dapat dipidananya perbuatan ).
Menurut pandangan ini, percobaan melakukan suatu tindak pidana
merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan
merupakan delik yang sempurna hanya saja bentuknya istimewa.
Dengan demikian merupakan delik tersendiri ( “ delictum sui
generis “ ) ( Barda Nawawi Arief, 209 : 2-3 ).
Page 3
3
Prof. Moeljatno ( 1983 ) memasukkan percobaan sebagai delik berdiri
sendiri ( “ delictum sui generis “ ) dengan mengemukakan tiga alasan :
Pertama : Timbulnya kemungkinan untuk dipidana ialah karena telah
melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Kedua : Dalam KUHP khususnya delik-delik makar dalam Pasal 104, 106,
107 KUHP, meskipun pada hakikatnya delik-delik itu, kalau yang dituju
oleh terdakwa belum terlaksana, merupakan delik percobaan namun
dianggap sebagai delik selesai dan berdiri sendiri.
Ketiga : Dalam hukum adat tidak dikenal delik yang dirumuskan sebagai
percobaan dari suatu kejahatan tertentu. Perbuatan-perbuatan yang
terang merupakan bagian dari pelaksanaan yang tertentu diberi kualifikasi
sendiri, dan tidak dipandang sebagai percobaan dari kejahatan tertentu
tadi. Dicontohkan seorang laki-laki yang mengaku telah mendekap
(memegang badan seorang gadis dengan maksud mencoba bersetubuh
dengan dia dan dengan demikian akan kawin dengan dia, tidak dihukum
karena percobaan perbuatan dengan paksa tetapi karena “ nangkap
badan gadis “ ) ( Moeljatno, 1983 : 11-12 ).
2. Dasar patut dipidananya percobaan.
Mencari dasar-dasar pembenaran dipidananya percobaan dapat
dikemukakan tiga teori / ajaran yaitu :
a. Teori / ajaran subjektif yang dianut oleh Van Hamel yang
menerangkan bahwa dasar patut dipidananya percobaan terletak pada
sikap batin / watak yang berbahaya dari si pembuat.
b. Teori objektif yang antara lain dianut oleh Simons, Duynstee dan
Zevenbergen yang menerangkan bahwa dasar patut dipidananya
percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan terhadap
masyarakat. Teori ini terdiri dari :
Objektif formil yang menyatakan bahwa dasar patut dipidananya
percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan
terhadap tata hukum.
Page 4
4
Objektif materiil yang menyatakan bahwa dasar patut pidana
percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan
terhadap kepentingan / benda hukum. Kepentingan hukum
adalah segala sesuatu yang dilindungi oleh hukum.
c. Teori campuran yang menyatakan bahwa dasar patut dipidananya
percobaan terletak pada sifat berbahayanya si pembuat ( aspek
subjektif ) dan sifat berbahayanya perbuatan ( aspek objektif )
terhadap masyarakat.
Prof. Moeljatno termasuk menganut teori campuran dan berpendapat
bahwa percobaan dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP memuat dua inti yaitu inti
yang subjektif berupa niat untuk melakukan kejahatan tertentu dan inti
yang objektif berupa kejahatan tersebut sudah dimulai dilaksanakan tetapi
tidak selesai. Dalam pemidanaan percobaan tidak boleh dipilih teori
subjektif saja atau teori objektif saja sebab akan menyalahi kedua inti
tersebut. Disamping itu beliau mengemukakan bahwa kalau hanya dipilih
salah satu teori saja akan mendatangkan ketidakadilan ( Barda Nawawi
Arief, 2010 : 8 ).
3. Unsur-Unsur Percobaan.
Dari bunyi Pasal 53 ayat (1) KUHP yang telah dikemukakan di atas, maka
dapat diketahui unsur-unsur percobaan ialah :
1. Ada niat.
2. Ada permulaan pelaksanaan.
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena
kehendaknya sendiri.
Ad. 1. Unsur niat
Unsur niat ( Voornemen ) menurut MVT adalah niat untuk
melakukan perbuatan yang oleh undang-undang diberi lebel
kejahatan.
Page 5
5
Kebanyakan sarjana seperti Simons, van Hamel, van Dijck,
Hazewinkel-Suringa, Jonkers, Mezger, Langemeyer, memandang
unsur niat ini sama dengan kesengajaan dalam segala coraknya ( “
opzet als oogmerk, opzet met zekerheidsbewustzijn /
noodzakelijkheidsbewutzijn dan voorwaardelijk opzet atau dolus
eventualis “ ). Hanya Sarjana yang bernama Vos yang berpendapat
sempit bahwa niat adalah sama dengan kesengajaan dengan maksud
( opzet als oogmerk ).
Prof. Moeljatno mengenai unsur niat ini berpendapat bahwa :
1) Niat jangan disamakan dengan kesengajaan tetapi niat secara
potensiil bisa berubah menjadi kesengajaan apabila sudah
ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua
perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan,
tetapi akibat yang dilarang tidak timbul ( percobaan selesai )
disitu niat 100% menjadi kesengajaan, sama kalau menghadapi
delik selesai.
2) Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi kejahatan, maka
niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah
kepada perbuatan, yaitu subjectief onrechtselement.
3) Oleh karena niat tidak sama dan tidak boleh disamakan dengan
kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya
kesengajaan dari isinya kesengajaan apabila kejahatan timbul.
Untuk ini diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang
tertentu tadi juga sudah ada sejak niat belum ditunaikan jadi
perbuatan ( Moeljatno, 1983 : 20 ).
Dikatakan ada percobaan selesai apabila terdakwa telah
melakukan semua perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya
kejahatan, tetapi akibat yang terlarang tidak terjadi.
Ad. 2. Unsur ada permulaan pelaksanaan (“begin van uitvoering“).
Page 6
6
Unsur permulaan pelaksanaan dalam percobaan merupakan
persoalan pokok yang sangat sulit baik dilihat dari sudut teori maupun dari
sudut praktik., mengingat selalu dipersoalkan batas antara perbuatan
persiapan (“voorbreidingshandeling“) dan perbuatan pelaksanaan
(“uitvoeringshandeling“).
Karena kesulitan ini para sarjana kembali kepada teori-teori dasar
patut dipidananya percobaan, untuk menentukan adanya perbuatan
pelaksanaan.
van Hamel, dikatakan ada perbuatan pelaksanaan, apabila dilihat
dari perbuatan yang telah dilakukan, telah ternyata adanya
kepastian niat untuk melakukan kejahatan.
Simons berpendapat:
a. pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada, apabila telah
dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik.
b. pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah
dimulai / dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya
langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh
undang-undang tanpa memerlukan perbuatan lain.
Duynstee sebagai penganut teori percobaan objektif formil,
berpendapat ada perbuatan pelaksanaan, jika apa yang dilakukan
termasuk dalam salah satu kelakuan yang merupakan rangkaian
kelakuan seperti yang dilarang dalam rumusan delik.
zevenbergen serupa dengan Duynstee, berpendapat bahwa ada
perbuatan pelaksanaan apanila sebagian ( suatu fragment ) dari
lukisan delik dalam undang-undang telah dilaksanakan atau
direalisir.
Prof. Moeljatno sebagai penganut teori campuran yang
menganggap dasar pemidanaan delik percobaan sama dengan
delik selesai yaitu adanya perbuatan bersifat melawan hukum, dan
Page 7
7
berpendapat bahwa ada perbuatan pelaksanaan harus memenuhi
tiga syarat:
a. secara objektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus
mendekatkan pada delik / kejahatan yang dituju, atau
dengan kata lain , harus mengandung potensi untuk
mewujudkan delik tersebut.
b. secara subjektif, dipandang dari sudut niat , harus tidak ada
keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu
ditujukan atau diarahkan pada delik / kejahatan yang
tertentu tadi.
c. bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu
merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Ad.3. Unsur pelaksanaan Tidak Selesai Bukan semata-mata karena
kehendaknya sendiri.
Perbuatan pelakasanaan tidak selesai yang disebabkan bukan
karena kehendak sendiri bisa terjadi, karena hal-hal sebagai berikut :
a. adanya penghalang fisik misalnya A mau memukul B, tetapi tangan
A dipegang si C.
b. walaupun tidak ada penghalang fisik tetapi takut akan adanya
penghalang fisik, misalnya takut ditangkap karena gerak-geriknya
dicurigai orang lain untuk mencuri.
c. adanya penghalang karena faktor-faktor / keadaan-keadaan
khusus pada objek yang akan menjadi sasaran, misalnya daya
tahan orang yang ditembak karena mencuri sangat kuat, sehingga
tidak membahayakan nyawanya.
Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri dalam hal ini
berarti ada pengunduran diri secara sukarela yang diberi makna
bahwa menurut pandangan terdakwa / pembuat, ia masih dapat
meneruskan perbuatannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya.
Page 8
8
Tidak selesainya perbuatan pelaksanaan karena kehendaknya
sendiri, secara teori dapat dibedakan :
a. pengunduran diri secara sukarela ( “ rucktritt “ ) tidak
menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk
delik yang bersangkutan.
b. tindakan penyesalan ( “ Tatiger Reue “ ) perbuatan pelaksanaan
telah diselesaikan, tetapi berusaha dengan sukarela menghalau
timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut.
MvT ( Memorie van Toelichting ) risalah penjelasan dari
WvS Belanda memberikan uraian maksud dicantumkan unsur
ke 3 ini dalam Pasal 53 ayat 1 ialah :
a. untuk menjamin supaya orang yang dengan kehendaknya
sendiri secara sukarela mengurungkan kejahatan yang telah
dimulai tetapi belum terlaksana, tidak dipidana.
b. pertimbangan dari segi kemanfaatan ( utilitas ), bahwa
usaha yang paling tepat ( efektif ) untuk mencegah
timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidananya orang
yang telah melakukan kejahatan tetapi kemudian dengan
sukarela mengurungkan pelaksanaannya.
Pencantuman unsur ke-3 ini dalam Pasal 53 ayat (1),
membawa dua konsekuensi, ialah :
a. mempunyai konsekuensi materiel artinya unsur ketiga ini
merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi
bersifat accessoir ( tidak berdiri sendiri ). Untuk adanya
percobaan unsur ke-3 ini harus ada, berarti kalau ada
pengunduran secara sukarela tidak ada percobaan.
b. mempunyai konsekuensi formil dibidang processuil artinya
karena unsur ke-3 ini dicantumkan dalam Pasal 53 ayat (1),
maka unsur ini harus disebutkan dalam surat dakwaan dan
harus dibuktikan.
Page 9
9
4. Percobaan Mampu dan Percobaan Tidak Mampu.
Persoalan percobaan mampu dan tidak mampu ini muncul
sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan namun
delik yang dituju atau akibat yang dilarang oleh undang-undang tidak
timbul. Tidak selesainya delik atau tidak timbulnya akibat yang dilarang
oleh undang-undang dapat disebabkan karena objeknya yang tidak
mampu atau alatnya yang tidak mampu. Persoalan percobaan mampu
dan tidak mampu bagi yang mengikuti teori subjektif tidak merupakan
persoalan karena yang dititik beratkan adalah sifat berbahayanya orang /
pembuat, sedangkanbagi penganut teori percobaan yang objektif,
persoalan mampu dan tidak mampu menjadi penting karena menitik
beratkan pada sifat berbahayannya perbuatan si pembuat / terdakwa.
Persoalan percobaan tidak mampu karena objeknya ini, MvT
memberi penjelasan dengan mengemukakan :
“ Syarat-syarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah
syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu dalam
buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut
diperlukan adanya objek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun
harus ada objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka tidak ada
percobaan“.
Dengan demikian tidak mungkin ada percobaan pada objek yang tidak
mampu, dan hanya ada percobaan tidak mampu karena alatnya.
Percobaan tidak mampu karena alatnya bisa terjadi karena (1) tidak
mampu mutlak artinya dengan alat itu tidak mungkin menimbulkan delik
selesai dan (2) tidak mampu relatif dalam hal ini mungkin ada percobaan.
Percobaan tidak mampu relatif karena alatnya ini, MvT memberikan
penjelasan :
Page 10
10
a. keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan
perbuatan dimana alat ini bisa dilihat dari aspek jenis tersendiri atau
dapat dilihat secara konkrit.
b. keadaan tertentu dari orang yang dituju, yang dapat dilihat secara
abstrak untuk orang pada umumnya dan dilihat secara konkrit dalam
keadaan tertentu.
Misalnya mengenai jenis dari alat yang dipakai gula adalah alat yang
tidak mampu akan menjadi alat yang mampu jika ditujukan kepada
sasaran dalam keadaan tertentu misalnya berpenyakit gula maka
yang secara umum tidak mampu menjadi mampu, sedangkan
warangan atau arsenicum dilihat dari jenisnya merupakan alat yang
mampu, tetapi dapat menjadi alat yang tidak mampu apabila
jumlahnya tidak memenuhi dosis yang cukup mematikan dimana
untuk warangan 5 mg. ( Disarikan dari Barda Nawawi Arief, 2010 ).
5. Pemidanaan Percobaan
Pada intinya pemidanaan terhadap percobaan adalah lebih ringan
dari tindak pidana selesai ialah maksimun pidana untuk percobaan,
dikurangi 1/3 dari ancaman pidana apabila tindak pidana terjadi / selesai.
Apabila tindak pidana diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, maka maksimum pidana untuk percobaan adalah 15
tahun penjara. Sedangkan pidana tambahan untuk percobaan sama
dengan delik selesai.
Beberapa undang-undang pidana di luar KUHP menentukan
percobaan dipidana sama dengan tindak pidananya artinya menyimpang
dari Pasal 53 KUHP hal ini memang dimungkinkan mengingat Pasal 103
KUHP. Namun yang kadang-kadang menimbulkan masalah yuridis
apabila undang-undang pidana diluar KUHP tidak menentukan
kualifikasi tindak pidana apakah sebagai kejahatan atau pelanggaran,
Page 11
11
mengingat menurut Pasal 53 KUHP percobaan yang dipidana hanyalah
percobaan untuk melakukan tindak pidana berupa kejahatan.
B. Penyertaan
Dalam berbagai literatur dijumpai istilah yang maknanya sama dengan
penyertaan ialah (1) Turut Campur Dalam Peristiwa Pidana ( Tresna ), (2)
Turut Berbuat Delik ( Karmi ), (3) Turut Serta ( Utrecht ), (4) Deelneming (
Belanda ), Complicity ( Inggris ).
Seperti pada percobaan tentang penyertaan ini juga ada dua pandangan
ialah (1) memandang sebagai strafausdehnungsgrund dimana penyertaan
dipandang sebagai persoalan pertanggungjawaban pidana bukan merupakan
suatu delik karena bentuknya tidak sempurna dan (2) memandang sebagai
Tatbestandausdehnungsgrund dimana penyertaan sebagai bentuk khusus
suatu tindak pidana hanya saja bentuknya istimewa.
Penyertaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56.
B.1.Penyertaan (Deelneming)
Pasal 55 KUHP menentukan :
(1) Dipidana sebagai pembuat ( dader ) sesuatu perbuatan pidana :
ke-1 mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut
serta melakukan perbuatan.
ke-2 mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang supaya
melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
a. Pasal 56 KUHP menentukan :
Dipidana sebagai pembantu ( medeplichtige ) sesuatu kejahatan :
Page 12
12
ke-1 mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan.
ke-2 mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan
untuk melakukan kejahatan.
Dengan demikian, menurut KUHP pembantuan yang dapat dipidana
hanya membantu melakukan kejahatan sedangkan membantu
pelanggaran tidak dipidana sesuai dengan bunyi Pasal 60 KUHP.
Dari ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dapat diketahui
bahwa :
a. pembuat / dader dalam Pasal 55 terdiri dari :
1. pelaku ( pleger )
2. yang menyuruh lakukan ( doenpleger )
3. yang turut serta ( medepleger )
4. penganjur ( uitlokker )
b. pembantu / medeplichtige dalam Pasal 56 terdiri dari :
1. pembantu pada saat kejahatan dilakukan
2. pembantu sebelum kejahatan dilakukan
a.1. pelaku/ pleger
pelaku ( pleger ), adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan
yang memenuhi rumusan delik. Dalam hal pembentuk undang -
undang tidak menentukan secara pasti siapa menjadi pembuat
terdapat 3 pedoman.
- Peradilan Indonesia - pembuat ialah orang yang menurut
maksud pembuat undang-undang harus dipandang yang
bertanggung jawab.
- Peradilan Belanda – dader ialah orang yang mempunyai
kemampuan untuk mengakiri keadaan terlarang, tetapi tetap
membiarkan keadaan terlarang itu berlangsung terus.
Page 13
13
- Pompe - dader ialah orang yang mempunyai kewajiban untuk
mengakhiri keadaan terlarang itu.
a.2. Orang yang menyuruh lakukan ( doenpleger )
Orang yang menyuruh lakukan ( doenpleger ) ialah orang yang
melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang
perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat.Dengan demikian
pada menyuruh lakukan ada dua pihak ialah (1) pembuat
langsung ( onmiddelijke dader / auctor physicus / manus ministra )
dan (2) pembuat tidak langsung ( middelijke dader, auctor
intellectualis / moralis, manus domina ).
Syarat-syarat untuk adanya menyuruh lakukan ( doenpleger ) :
- alat yang dipakai adalah manusia
- alat yang dipakai itu terbuat bukan alat yang mati
- alat yang dipakai itu “ tidak dapat dipertanggungjawabkan “,
unsur / syarat ketiga inilah yang merupakan tanda ciri dari
menyuruh lakukan / doenpleger.
a.3. Orang yang turut serta ( medepleger )
Menurut MvT – orang yang turut serta melakukan ( medepleger )
ialah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut
mengerjakan terjadinya sesuatu.Menurut Pompe, “ turut
mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana “ itu ada tiga
kemungkinan :
- Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan
delik.
- Salah seorang memenuhi semua unsur delik, sendang yang lain
tidak.
- Tidak seorangpun memenuhi rumusan delik seluruhnya, tetapi
mereka bersama-sama mewujudkan delik itu.
Page 14
14
Syarat-syarat untuk adanya turut serta ( medepleger ) :
(1) ada kerjasama secara sadar ( bewuste samenwerking ) dan (2) ada
pelaksanaan bersama secara fisik ( gezamenlijkeuitvoering /
physieke samenwerking ). Disini tidak perlu ada permufakatan
terlebih dahulu, yang penting ada pengertian antara peserta saat
perbuatan dilakukan dengan tujuan yang sama. Harus ada
kesengajaan (a) untuk bekerja sama yang sempurna dan erat, dan
(b) ditujukan kepada hal yang dilarang oleh undang-undang.
Adanya perbuatan pelaksanaan bersama berarti perbuatan
langsung menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan. Di sini
harus ada kerja sama yang erat dan langsung.
a.4. Penganjur ( uitlokker )
Penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-
sarana yang telah ditentukan secara limitatif dalam undang-
undang ( Pasal 55 ayat 1 ke-2) yang dapat berupa (1) memberi
atau menjanjikan sesuatu, (2) dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, (3) dengan kekerasan, (4) dengan
ancaman atau penyesatan, dan (5) dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan.
Adapun syarat-syarat untuk adanya penganjuran yang
dipidana ialah :
1) ada kesengajaan untuk menggerakkan orang lain untuk
melakukan perbuatan terlarang.
2) menggerakkannya dengan menggunakan sarana-sarana
seperti tersebut dalam undang-undang sifatnya limitatif.
3) putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena
hal-hal tersebut angka 1 dan angka 2 diatas harus ada
psychische causaliteit.
Page 15
15
4) si pembuat materiil tersebut harus melakukan tindak pidana
yang dianjurkan atau percobaan melakukan tindak pidana.
5) pembuat materiil tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana.
Jika si pembuat materiil tidak mau atau mau melakukan
perbuatan tetapi tidak menimbulkan tindak pidana atau
percobaan tindak pidana yang dipidana maka disebut dengan “
Penganjuran yang gagal “ sebagaimana diatur dalam Pasal 163
bis KUHP.
B.2. Pembantuan ( Medeplichtige )
- Dilihat dari perbuatannya, pembantuan bersifat accessoir, artinya
untuk adanya pembantuan harus ada orang lain yang melakukan
kejahatan atau harus ada orang lain yang dibantu. Namun dilihat
dari pertanggung jawab tidak bersifat accessoir artinya
dipidananya si pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya si
pelaku dipidana.
- Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan hampir mirip dengan
turut serta dan pembantuan sebelum kejahatan dilakukan hampir
mirip dengan penganjuran ( uitlokking ), namun masing-masing
ada perbedaannya.
- Pemidanaan terhadap pembantu pada prinsipnya menurut KUHP
lebih ringan daripada si pelaku ialah maksimum ancaman pidana
dikurangi 1/3 dan untuk tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup untuk pembantu
pidana paling lama 15 tahun penjara.
- Pidana untuk pembantu untuk buku II KUHP terdapat
penyimpangan begitu juga untuk undang-undang di luar KUHP,
seperti pembantu dipidana sama berat dengan pembuat ( Pasal
333 ayat 4 ),pembantu dipidana lebih berat dari pembuat ( Pasal
Page 16
16
349 KUHP ), sedangkan pembantu untuk undang-undang di luar
KUHP pada umumnya pidananya sama berat dengan pembuat
(diambil dari Prof. Barda Nawawi Arief, Bab II Hukum Pidana
Lanjut )
C.Perbarengan ( Concusus )
- Terdapat dua pandangan mengenai concursus ialah (1) memandang
sebagai masalah pemberian pidana dan (2) memandang sebagai
bentuk khusus dari tindak pidana.
- Pengaturan Perbarengan dalam KUHP yaitu:
1. Perbarengan peraturan ( Concursus Idealis Pasal 63 KUHP ).
2. Perbuatan berlanjut ( Delictum Continuatum / Voortgezettehandeling
Pasal 64 KUHP ).
3. Perbarengan Perbuatan ( Concursus Realis Pasal 65 s/d Pasal 71
KUHP )
- Pengertian masing-masing perbarengan ( Concursus ) dapat dilihat dari
bunyi masing-masing pasal yang mengaturnya
a. menurut Pasal 63 ada concursus idealis apabila suatu perbuatan
masuk dalam lebih dari satu aturan pidana.
b. menurut Pasal 64 ada perbuatan berlanjut apabila :
- Seseorang melakukan beberapa perbuatan.
- Perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran.
- Antara perbuatan-perbuatan itu harus ada hubungan sedemikian
rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut.
Mengenai syarat “ ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagi perbuatan berlanjut “, MvT memberikan tiga
criteria ialah :
Page 17
17
1) harus ada satu keputusan kehendak
2) masing-masing perbuatan harus sejenis
3) tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlampau
lama.
c. Menurut Pasal 65 ada Concursus realis apabila (1) seseorang
melakukan beberapa perbuatan dan (2) masing-masing perbuatan
itu berdiri sendiri-sendiri sebagai suatu tindak pidana baik berupa
kejahatan maupun pelanggaran dan tidak perlu sejenis dan
berhubungan satu sama lain.
- Harus diperhatikan bahwa baik pada perbuatan berlanjut maupun
pada perbarengan perbuatan ( concursus realis ), antara
perbuatan-perbuatan harus belum ada keputusan hakim.
- Masalah perbuatan / feit dalam pasal-pasal Concursus
menimbulkan persoalan yang cukup sulit dalam hal seseorang
hanya melakukan satu perbuatan disebabkan ilmu hukum pidana
ada yang melihat perbuatan / feit secara materiel, secara fisik
jasmaniah, yaitu dipikirkan terlepas dari akibatnya, terlepas dari
unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur tambahan yang dikenal
dengan ajaran feit materiel ; dan ada pula yang melihatnya dari
sudut hukum pidana yaitu yang dihubungkan dengan akibat /
keadaan yang terlarang.
- Mengingat kesulitan-kesulitan tersebut, maka para sarjana
mengemukakan beberapa pendapat :
a) Hazewinkel – Suringa, ada Concursus Idealis apabila suatu
perbuatan yang sudah memenuhi rumusan delik, mau tidak mau (
eoipso ) masuk pula dalam peraturan yang lain.
b) Pompe, ada Concursus Idealis, apabila orang melakukan suatu
perbuatan konkrit yang diarahkan kepada satu tujuan yang
merupakan benda / objek aturan hukum.
c) Taverne, ada Concursus Idealis apabila dipandang dari sudut
hukum pidana ada dua perbuatan atau lebih; dan antara
Page 18
18
perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dipikirkan terlepas stu sama
lain.
d) van Bemmelen, ada Concursus Idealis, apabila dengan melanggar
satu kepentingan hukum dengan sendirinya melakukan perbuatan
( feit ) yang lain. (Disarikan dari Barda NA, Hukum Pidana Lanjut
Bab III)
- Sistem Pemidanaan terhadap Consursus
1) Concursus Idealis, menurut Pasal 63 ayat (1) dipakai sistem
absorbsi, hanya dikenakan satu pidana pokok yang
terberat. Pasal 63 ayat (2) merupakan ketentuan khusus
dimana berlaku asas “ lex specialis derogat legi generali “
2) Perbuatan berlanjut, menurut Pasal 64 ayat (1) dipakai
sistem absorbsi dalam arti hanya dikenakan satu aturan
pidana dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan pidana
yang memuat ancaman pidana pokok terberat. Pasal 64
ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal terjadi
pemalsuan mata uang dan menggunakan / mengedarkan
mata uang yang dipalsu di sini tidak dipandang sebagai
Concursus Realis tetapi sebagai perbuatan berkanjut
sehingga hanya dikenakan satu ketentuan pidana bisa Pasal
244 KUHP memalsu mata uang, bisa Pasal 245 KUHP
menggunakan mata uang yang palsu. Begitu juga ketentuan
Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal
kejahatan-kejahatan ringan dalam Pasal 364, 373, 379, dan
Pasal 407 ayat (1) yang apabila dilakukan sebagai
perbuatan berlanjut dan kerugian yang timbul lebih dari Rp
250,- maka dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk
kejahatan biasa.
3) Concursus Realis ( Perbarengan Perbuatan )
Page 19
19
- menurut Pasal 65 - untuk Concursus Realis berupa
kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis,
hanya dikenakan satu pidana diman jumlah
maksimumnya tidak boleh lebih dari maksimum terberat
ditambah 1/3.
- menurut Pasal 66, - untuk Concursus Realis berupa
kejahatan yang diancam dengan pidana pokok tidak
sejenis, dipakai sistem kumulasi, artinya semua jenis
pidana dikenakan dengan ketentuan jumlahmya tidak
boleh melebihi yang terberat ditambah 1/3. Kumulasi yang
diperlunak.
- menurut Pasal 70, - untuk Concursus Realis berupa
pelanggaran dipakai sistem kumulasi dengan pembatasan
maksimumnya 1 tahun 4 bulan.
- menurut Pasal 70 bis, - untuk Concursus Realis berupa
kejahatan ringan dalam Pasal 302 ayat (1) , 352, 364,
373, 379, dan Pasal 482 KUHP, digunakan sistem
kumulasi, namus dibatasi maksimum 8 bulan penjara.
- menurut Pasal 71, untuk Concursus Realis berupa
kejahatan ataupun pelanggaran, yang diadili pada saat
yang berlainan, maka pidana yang telah dijatuhkan
terdahulu diperhitungkan dengan pidana yang akan
dijatuhkan dengan mengangap perkara-perkara itu diadili
dalam waktu bersamaan dengan menggunakan ketentuan
dalam Concursus.
D. Perbarengan ( Concursus ) dalam RUU-KUHP 2012
a. Percobaan
- Pasal 17
(1) Percobaan melakukan tindakan pidana dipidana, jika pembuat
telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak
Page 20
20
pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau
tidak mencapai hasil atau tidak menimbulkan akibat yang
dilarang.
(2) Permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terjadi jika :
a) perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan utnuk
terjadinya tindak pidana;
b) perbuatan yang dilakukan langsung mendekati atau
berpotensi menimbulkan tindak pidana yang dituju;
c) pembuat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
- Pasal 18
(1) Tidak dipidana jika setelah melakukan permulaan pelaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1):
a. pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena
kehendaknya sendiri secara sukarela;
b. Pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah
tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan
perundang-undangan telah merupakan tindak pidana
tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk
tindak pidana tersebut.
- Pasal 19
Percobaan melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan
pidana denda Kategori I, tidak dipidana.
- Pasal 20
Page 21
21
Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak
pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau
ketidakmampuanobjek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap
telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman
pidana tidak lebih dari 1/2 ( satu perdua ) maksimum pidana
yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.
b. Penyertaan
- Pasal 21
Dipidana sebagai pembuat tindak pidana, setiap orang yang:
a. melakukan sendiri tindak pidana;
b. melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau
menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;
c. turut serta melakukan ; atau
d. memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman
kekerasan, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
saran, atau keterangan, memancing orang lain supaya
melakukan tindak pidana.
- Pasal 22
(1) Dipidana sebagai pembantu tindak pidana, setiap orang yang:
a. memberi kesempatan, sarana, atau keterangan utnuk
melakukan tindak pidana; atau
b. memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan.
(2) Pembantu tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diancam dengan ancaman pidana maksimum tindak
pidana yang dibantu dikurang 1/3 (satu pertiga)
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk pembantuan terhadap tindak pidana yang diancam
dengan pidana denda Kategori I.
Page 22
22
- Pasal 23
Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi,
atau memberatkan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat
atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan.
c. Perbarengan ( Concursus )
- Pasal 137
(1) Jika suatu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan
pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang sama
maka hanya dijatuhkan satu pidana
(2) Jika suatu perbuatan diatur dalam aturan pidana umumdan
aturan pidana khusus maka hanya dikenakan aturan pidana
khusus
- Pasal 138
(1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang saling
berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan
berlanjut dan diancam denga ancaman pidana yang sama
maka hanya dijatuhkan satu pidana.
(2) Jika tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diancam dengan pidana yang berbeda maka hanya
dijatuhkan pidana pokok yang terberat.
(3) Ketentuan mengenai penjatuhan pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tindak pidana
memalsu atau merusak mata uang dan menggunkan uang
palsu atau uang yang dirusak tersebut.
- Pasal 139
(1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang harus
dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan
diancam dengan pidana pokok yang sejenis maka hanya
dijatuhkan satu pidana
Page 23
23
(2) Maksimum pidana untuk tindak pidana perbarengan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah
maksimum pidana yang diancamkan pada tindak pidana
tersebut tetapi tidak melebihi maksimum pidana yang terberat
ditambah 1/3 (satu per tiga)
- Pasal 140
(1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang harus
dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan
diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka
pidana dijatuhkan adalah semua jenis pidana untuk masing-
masing tindak pidana, tetapi tidak melebihi maksimum pidana
yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2)Perhitungan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada lamanya maksimum pidana penjara
pengganti pidana denda.
(3) jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana
minimum maka minimum pidana untuk perbarengan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah pidana
minimum khusus untuk masing-masing tindak pidana, tetapi
tidak melebihi pidana minimum khusus terberat ditambah 1/3
(satu per tiga)
- Pasal 144
Jika seseorang setelah dijatuhi pidana dan dinyatakan bersalah
lagi melakukan tindak pidana lain sebelum putusan pidana itu
dijatuhkan maka pidana yang terdahulu diperhitungkan terhadap
pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan
perbarengan dalam Bab ini seperti apabila tindak pidana itu diadili
secara bersamaan.
=====000=====
Page 24
24
Daftar Pustaka
- Barda Nawaw Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana Lanjut, Badan Penyediaan Bahan
Kuliah, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, cet. ke-2 tahun
2010.
- Moeljatno, Hukum Pidana Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan, Bina
Aksara, 1983.
- ______, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
- RUU KUHP tahun 2012.