BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang. Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah.
Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara
berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara.
Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14
negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah
karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali
memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan
bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah
menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan
kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang
nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan
memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada
dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa,
kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram.
Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan
kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi,pendidikan tidak mampu menghasilkan
1
lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak
memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari
kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan
pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikanIndonesia sangat
memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badanpendidikan dunia (UNESCO),
kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara
berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini
dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan
untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara
berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat
14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk
meningkatkan kualitaspendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas
lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
B. Pembatasan Masalah
Dari uraian di atas dilihat begitu kompleksnya permasalahan dalam
pendidikan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu Penulis membatasi beberapa
masalah dalam penulisan makalah dengan “Masalah-masalah mendasar
pendidikan di Indonesia, Kualitas pendidikan di Indonesia, dan Solusi Pendidikan
di Indonesia.
2
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah untuk
mengetahui masalah-masalah apa saja yang terjadi pada pendidikan di Indoensia
yang dillihat dari kualitas pendidikannya semakin hari semakin menurun.
2. Manfaat
Dari penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan
pengetahuan serta wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan pendidikan
sekarang ini sehingga kita dapat mencari solusinya secara bersama agar
pendidikan di masa yang akan dapat meningkat baik dari segi kualitas maupun
kuantitas yang diberikan.
3
BAB II
LANDASAN TEORI
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan-
permasalahanpendidikan di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi
dari pendidikanitu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia,pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara
dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.
Ki Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia,
peletak dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi
sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan
sebagai berikut :
Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara, 1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara
singkat pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia
sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi
dengan alam dan lingkungan masyarakatnya.
4
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di
dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena
manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan.
Karena merupakan subyek di dalampendidikan, maka dituntut suatu tanggung
jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa
manusia itu sebagai subyek dan pendidikan meletakkan hakikat manusia pada hal
yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi.
Maksudnya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada”
sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada
subyek-subyek pendidikan itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana
demikian, ada perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi
mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu
tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek
perkembangan jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan manusia menyadari hakikat dan martabatnya di
dalam relasinya yang tak terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya.
Itu berarti, pendidikan sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang
sadar diri dan sadar lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri
dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar
tradisinya.
5
BAB III
PEMABAHASAN
A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan
menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”.
Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya
membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak
begitu. Seringkalipendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia
cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia,
menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karenapendidikan yang
diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak
seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara
belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi
unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi.
Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka
orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti
mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya.
Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai
sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang
sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikanyang menciptakan manusia siap
pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang
6
dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.
Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini
manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu
berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi
sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut
pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak
lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke
bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari
Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistempendidikan ini sangat tidak
membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang
tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid
untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai
pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit
box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila
sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid
hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek.
Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid.
Freire mengatakan bahwa dalam pendidikangaya bank pengetahuan merupakan
sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya
berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan
apa-apa.
7
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang
dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan
bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah
wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang
dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar
budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat
bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau
Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam
“strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu
kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan
politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis
kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat
kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah
kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk
membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan
masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan
tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini,
makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk
direnungkan.
8
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di
Indonesia yaitu :
Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen
Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada
di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah
dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat
merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari
adanya pendidikan yaitu sebagai objek daripendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia
semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi
kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar
rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya.
Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak
memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru
belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu
9
merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan,
melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun
secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah.
Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya
dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka,
khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara
kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk.
Apabila dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus
yakni di SD 1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian,
dalam hal distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni
pada satu sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di
sisi lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak
kasus, ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang,
sehingga mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik
menyangkutpendidikan minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan
pelajaran yang harus diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru
yang tidak memenuhi kualitas mengajar (under quality).
Hal itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum
sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar
tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini
10
menimpa lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan
SMU/SMK. Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK
di Indonesia sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan
kondisi dan situasi seperti itu, diharapkan pendidikan yang berlangsung di
sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan kehidupan anak dan
harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik. “Sangat kurang tepat
bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak didik, namun
mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik
sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga
pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang
rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang
pulsa ponsel, dan sebagainya.
11
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan
dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan
kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan
mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji
pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau
tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya.
Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah
lain yang muncul. Di lingkungan pendidikanswasta, masalah kesejahteraan
masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari
2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak
sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat
UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru,
dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak
memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika
siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in
Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia
hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi
matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains.
12
Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan
Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for
Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi
tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui
laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam
laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177
negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi
Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992),
studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational
Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca
siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes
membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1
(Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi
bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk
uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat
terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science