BAB I PENDAHULUAN Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Nama lainnya adalah lepra, Morbus Hansen. Saraf primer sebagai afinitas pertama diikuti oleh kulit, mukosa traktus respiratorius dan organ lain kecuali SSP. Cara penularannya tidak diketahui pasti, sebagian besar ahli berpendapat bahwa penularan dapat terjadi melalui inhalasi dan kontak pada kulit yang erat dan lama serta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan ASI, namun jarang di urin. Sputum dapat banyak mengandung kuman dari traktus respiratorius atas. Pada sebagian besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat asimptomatik. Sebagian kecil terlambat didiagnosis dan terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat. Gejala tersebut antara lain berbentuk lagoftalmus, gangguan sensibilitas kornea, hilangnya sensibilitas pada tangan dan kaki, kulit yang kering dengan atau disertai ulkus. Kadang ditemukan tangan dan kaki lunglai serta mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta, Diagnosis penyakit kusta biasanya tidak sukar ditegakkan. Pada sebagian besar kasus dapat didiagnosis berdasarkan cara konvensional dengan pemeriksaan klinis, disertai pemeriksaan bakteriologis, dan histopatologis. Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan yang
sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang dihadapi
pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai
akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita.
Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap
kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita
kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk
melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat. Lepra adalah penyakit infeksi
kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Nama lainnya adalah lepra, Morbus
Hansen. Saraf primer sebagai afinitas pertama diikuti oleh kulit, mukosa traktus respiratorius dan
organ lain kecuali SSP. Cara penularannya tidak diketahui pasti, sebagian besar ahli berpendapat
bahwa penularan dapat terjadi melalui inhalasi dan kontak pada kulit yang erat dan lama serta
bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar
keringat, dan ASI, namun jarang di urin. Sputum dapat banyak mengandung kuman dari traktus
respiratorius atas. Pada sebagian besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat asimptomatik.
Sebagian kecil terlambat didiagnosis dan terlambat diobati, memperlihatkan gejala klinis dan
mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat. Gejala tersebut antara lain berbentuk
lagoftalmus, gangguan sensibilitas kornea, hilangnya sensibilitas pada tangan dan kaki, kulit
yang kering dengan atau disertai ulkus. Kadang ditemukan tangan dan kaki lunglai serta mutilasi
jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta, Diagnosis
penyakit kusta biasanya tidak sukar ditegakkan. Pada sebagian besar kasus dapat didiagnosis
berdasarkan cara konvensional dengan pemeriksaan klinis, disertai pemeriksaan bakteriologis,
dan histopatologis. Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy
(MDT), yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah:
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out
rate) dan ketidaktaatan penderita.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-gejala kulit
secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini
disebut Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebab ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,
lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat (Kosasih, 2002).
2.2 Epidemiologi
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh
dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar
benua dan pulau-pulau. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang
diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya
dan berdagang.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung.
Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang.
2
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit
kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Microbacterium leprae dan
daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini
adalah :
- Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
- Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
- Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
- Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial
ekonomi rendah
- Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat (Zulfikli, 2003).
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ±13 %, tetapi anak di
bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-
35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan
subtropics, serta masyarakat yang social ekonominya rendah.
Gambar 2.1 Penyebaran Lepra di Dunia ( WHO, 2002)
3
2.3 Etiologi
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G. A. Hansen pada
tahun 1874 di Norwegia. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam
dan alkohol, serta positif – Gram. Sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media
artifisial. Masa replikasi kuman memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan
kuman lain, yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 2–5 tahun
(Kosasih, 2002).
2.4 Patogenesis
M. leprae berpredileksi di daerah-daerah tubuh yang relatif lebih dingin. Ketidakseimbangan
antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang
menyebabkan timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri
atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala
klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.
Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti,
beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet
pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M leprae terhadap
kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada, suhu tubuh
yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis.
M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag di
sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman
M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal
dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya. Pada kusta tipe TT
kemarnpuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan
kuman. Sayangnya, setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel
epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans.
Bila infeksi ini tidak segera diatasi, maka akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
4
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae. Sel Schwann memiliki
fungsi untuk demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi
gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi.
Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.
Sedangkan pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan
bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan (Kosasih, 2002).
Gambar 2.2 Patogenesis Berbagai Reaksi Lepra
2.5 Gejala Klinik
Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar disajikan dalam
tabel berikut:
PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)Lesi kulit (macula yang
datar, papul yang meninggi, infiltrate, plak
eritem, nocus)
1-5 lesiHipopigmentasi/eritemaDistribusi tidak simetris
>5 lesiDistribusi lebih simetris
Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena
Hilangnya sensasi yang jelasHanya satu cabang saraf
Hilangnya sensasi kurang jelas
Banyak cabang saraf
BTA Negatif Positif
TipeIndeterminate (I), Tuberkuloid (T),
Borderline tuberkuloid (BT)Lepromatosa (LL),
Borderline lepromatous (BL), Mid borderline (BB)
5
Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar
Karakteristik Tuberkuloid Borderline Tuberkuloid
Indeterminate
LesiTipe Macula atau macula
dibatasi infiltrateMacula dibatasi
infiltratMacula
Jumlah Satu atau beberapa Satu dengan lesi satelit
Satu atau beberapa
Distribusi Terlokasi dan asimetris
asimetris Bervariasi
Permukaan Kering,skuama Kering,skuama Dapat halus agak berkilat
Sensibilitas hilang hilang Agak tergangguBTA
Pada lesi kulit negatif Negatif, atau 1+ Biasanya negatifTes Lepromin* Positif kuat (3+) Positif (2+) Meragukan
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah 3minggu.
Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar
Karakteristik Lepromatosa Borderline Lepromatosa
Mid-borderline
LesiTipe Macula, infiltrate difus,
papul, nodusMacula, plak, papul Plak, lesi bentuk kubah,
lesi punched outJumlah Banyak distribusi luas,
praktis tidak ada kulit sehat
Banyak tapi kulit sehat masih ada
Beberapa, kulit sehat (+)
Distribusi Simetris Cenderung simetris Asimetris Permukaan Halus dan berkilap Halus dan berkilap Sedikit berkilap, beberapa
lesi kering Sensibilitas Tidak terganggu Sedikit berkurang Berkurang BTA
Pada lesi kulit
Banyak Banyak Agak banyak
Pada hembusan
hidung
Banyak Biasanya tidak ada Tidak ada
Tes Lepromin*
Negatif Negatif Biasanya negatif
*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat diketahui setelah 3minggu.
6
Perbedaan lepra tipe tuberculoid dan lepromatous ditunjukkan lewat skema berikut ini :
(www.ncbi.nlm.nih.gov, 2001)
7
Gambar 2.3 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Punggung
Gambar 2.4 Foto Manifestasi Tuberculoid Lepra di Wajah
2.6 Dasar diagnosis
Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu
digunakan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu jarum, kapas, tabung reaksi
masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil, dan sebagainya. Kelainan kulit pada
penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau
keduanya. Kusta mendapat julukan The great imitator dalam penyakit kulit sehingga perlu
didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit kulit yang lain. Diagnosa bandingnya antara lain
*Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya dapson 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan diawasi.
15
Tabel Obat dan Dosis Rejimen MDT-MB Dapson Rifampisin KlofamizinDewasa 100
mg/hari600 mg/bulan
diawasi50 mg/hari dan 300 mg/bulan diawasi
Anak-anak 10-14 tahun*
50 mg/hari
450 mg/bulan diawasi
50 mg selang sehari dan 150 mg/bulan diawasi
*Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya dapson 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan diawasi, klofazimin 50 mg 2x seminggu, dan klofazimin 100 mg/bulan diawasi.
(dosis tunggal dan dimakan bersama-sama)* Tidak direkomendasikan pada wanita hamil dan anak-anak lebih kecil dari 5 tahun.
Pengobatan pada situasi khususA. Penderita yang tidak dapat makan rifampisinSituasi ini mungkin disebabkan karena alergi, hepatits kronis atau resisten terhadap obat ini.
Tabel Rejimen untuk penderita yang tidak dapat makan rifampisin
Lama pengobatan Jenis obat Dosis6 bulan Klofazimin 50 mg/hari
Ofloksasin 400 mg/hariMinosiklin 100 mg/hari
Diikuti dengan Klofazimin dengan 50 mg/hari18 bulan Ofloksasin Atau 400 mg/hari Minosiklin 100 mg/hari
B. Penderita yang menolak klofaziminSituasi ini disebabkan pasien yang khawatir akan pewarnaan kulit. Pengobatan diganti dengan
ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.
Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui
Kusta sering eksaserbasi pada saat hamil oleh sebab itu obat MDT harus tetap diberikan.
WHO menyatakan obat MDT standar aman dipakai selama kehamilan dan menyusui, bagi ibu
dan bayinya, sehingga tidak perlu mengubah dosis. Obat dapat keluar melalui ASI dalam junlah
kecil tetapi tidak ada laporan efek samping obat pada bayi kecuali pewarnaan kulit akibat
klofazimin. Obat dosis tunggal bagi bercak tunggal ditunggu pemakaiannya sampai bayinya
lahir.
16
Penanganan Reaksi Kusta
Prinsip penanganan reaksi kusta :
1. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis atau
kontraktur
2. Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan
3. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas
4. Mengatasi rasa nyeri
Pengobatan E.N.L:
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya
bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang
lebih. Seseuai dengan perbaikan reaksi, dosinya diturunkan secara bertahap sampai berhenti
sama sekali.
Obat lain yang dianggap sebagai pilihan utama adalah thalidomide, tetapi harus berhati-hati
karena mempunyai efek teratogenik jadi tidak boleh diberikan kepada ibu hamil atau masa subur.
Di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi.
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi E.N.L tetapi
dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat makin
tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Keuntungan klofazimin dapat dipakai
sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang
tidak diinginkan adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan terutama pada pemberian dosis
tinggi.
Pengobatan reaksi reversal :
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis
akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama
adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya
diberikan prednison 40-60 mg sehari lalu diturunkan secara perlahan. Anggota gerak yang
terkena neuritis harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan.
Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang dipakai, atau tidak pernah
dipakai (Kosasih, 2002).
17
BAB III
KESIMPULAN
Lepra adalah penyakit kronis yang sebabkan oleh bakteri yang menyerang kulit, syaraf tepi.
Dan pada penderita dengan tipe lepromatosa menyerang saluran pernapasan bagian atas.
Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua
bentuk klinis dari lepra yaitu bentuk lepromatosa dan tuberkuloid. Pada lepra bentuk lepromatosa
kelainan kulit berbentuk nodula, papula, makula dan infiltrat yang difus tersebar simetris
bilateral dan biasanya ekstensif dan dalam jumlah banyak. Terkenanya daerah hidung dapat
membentuk krusta, tersumbatnya jalan napas dan dapat terjadi epistaksis. Terserangnya mata
dapat menimbulkan iritis dan keratitis. Pada lepra tipe tuberkuloid, lesi kulit biasanya tunggal
dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa atau hipoetesi asimitris bilateral. Terserangnya syaraf
biasanya cenderung lebih berat. Lepra bentuk borderline mempunyai gambaran dari kedua tipe
lepra dan lebih labil. Mereka cenderung menjadi tipe lepromatosa jika penderita tidak diobati
dengan benar dan menjadi tipe tuberkuloid pada penderita yang diobati dengan benar. Bentuk
awal dari lepra ditandai dengan munculnya macula hipopigmentasi dengan batas lesi yang tegas
yang dapat berkembang menjadi bentuk tuberkuloid, borderline atau bentuk lepromatosa. Gejala
klinis dari lepra dapat juga berupa “reaksi kusta” yaitu dengan episode akut dan berat. Reaksi
kusta ini dibagi menjadi erythema nodosum leprosum pada penderita tipe lepromatosa dan
reversal reaction pada lepra borderline.
Diagnosa klinis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kulit secara lengkap dengan
menemukan tanda-tanda terserangnya syaraf tepi berupa gejala hipestasia, anesthesia, paralysis
pada otot dan ulkus tropikum. Dilakukan tes terhadap sensasi kulit dengan rabaan halus, ditusuk
dengan jarum pentul, diskriminasi suhu. Timbulnya gejala terserangnya saraf dan ditemukannya
bakteri tahan asam merupakan gejala patognomonis lepra.
Pengobatan lepra disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT), yang
direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah: mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-out rate) dan
ketidaktaatan penderita. Prognosis penyakit ini dengan adanya obat-obqat kombinasi, menjadi
lebih baik, dan pengobatannya menjdi lebih sederhana. Namun jika sudah terdapat kontraktur
dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.
18
DAFTAR PUSTAKA
A. Kosasih. Kusta. 2002. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-3. Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 139-142
Pramesemara. 2009. Pelaksanaan Kusta di Indonesia. http://pramareola14.wordpress.com /
2009/12/09/penatalaksanaan-kusta-di-indonesia. Diunduh tanggal: 25 Mei 2010.
Siregar, R.S. 2004. Kusta (lepra). Dalam: Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke-2. EGC. Jakarta. hal
141-142.
Zulfikli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang ditimbulkannya. http://jowofile.jw.lt/ebook/