-
KustaKusta/ Lepra/ Penyakit Morbus Hansen, Penyakit Hansen
adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae.[1] Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan
atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari
luar.[2] Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan
mata.
SejarahKonon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan
telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan
India.[3] Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan
terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena
kusta. [4] Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan
masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok
penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti
India dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada
akir 1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya.
Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi
kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi
hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan
penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Ciri-ciri
Lesi kulit pada paha.
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama
mengenai kulit, saraf, dan membran mukosa.[5] Pasien dengan
penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi 'kusta tuberkuloid
(Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen
multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy).
Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah
tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai
kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan;
bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai,
-
dan gangguan saraf tepi dengan kelemahan dan kehilangan rasa
rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta
lepromatosa atau kusta tuberkuloid.
Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi
makula kulit dan bagian yang tidak berasa (anestetik).
Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit
simetris, dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa
hidung yang menyebabkan penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan
epistaksis (hidung berdarah) namun pendeteksian terhadap kerusakan
saraf sering kali terlambat.
Tidak sejalan dengan mitos atau kepercayaan yang ada, penyakit
ini tidak menyebabkan pembusukan bagian tubuh. Menurut penelitian
yang lama oleh Paul Brand, disebutkan bahwa ketidakberdayaan
merasakan rangsang pada anggota gerak sering menyebabkan luka atau
lesi. Kini, kusta juga dapat menyebabkan masalah pada penderita
AIDS.[6]
Penyebab
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mycobacterium leprae
Mycobacterium leprae.
Paket terapi multiobat.
Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta.[2] Sebuah
bakteri yang tahan asam M. leprae juga merupakan bakteri aerobik,
gram positif, berbentuk batang, dan dikelilimgi oleh membran sel
lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium.[7] M. leprae
belum dapat dikultur pada laboratorium.[8]
PatofisiologiMekanisme penularan yang tepat belum diketahui.
Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat
dan penularan dari udara. [9] Selain manusia, hewan yang dapat
tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan
kepiting.[10] Terdapat
-
bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M.
leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut
berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok
penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa
dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. [11]
Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor
penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh
kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat.[12] Dalam
penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra
lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina
[13] hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.[14]
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan
adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus
lepromatosa menunjukkan adnaya sejumlah organisme di dermis kulit.
Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut
dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa
ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit,
Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan
asam di epidermis. [15] Dalam penelitian terbaru, Job et al
menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin
superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk
sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui
kelenjar keringat. [16]
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schffer pada
1898.[17] Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta
lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000
bakteri.[18] Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien
lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung
mereka.[19] Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari
pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per
hari.[20]
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda
tanya. Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan
atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall
telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang
ditekan sistem imunnya. [21] Laporan yang berhasil juga dikemukakan
dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang
pernapasan. [22] Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran
pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang
masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum
dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa
peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum
dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta
pada bayi muda.[23] Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30
tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang
yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke
daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa
inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
Pengobatan
-
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada
1940an, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun,
dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemih
terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi
bakteri menjadi kebal. {ada 1960an, dapson tidak digunakan
lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson,
akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan
1970an. [24]
Obat terapi multiobat kusta.
Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi
kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan
bakteri.[25] Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat di atas
pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara
ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak
digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau
resistensi bakteri.
Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk
masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan
Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah
resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat
pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per
100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi
penghapusan kusta.
-
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan
merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar.[26] Yang
pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa
dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah
pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan
dapson.
Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta secara
gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi
ini akan bejalan hingga akhir 2010.
Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi
terinfeksi pada pemakaian bulan pertama.[3] Cara ini aman dan
mudah. jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan
obat.[3]
EpidemiologiDistribusi penyakit kusta dunia pada 2003.
Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan
menderita kusta.[4] India adalah negara dengan jumlah penderita
terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar.
Pada 1999, insidensi penyakit kusta du dunia diperkirakan
640.000, pada 2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus
terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara
yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan
Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan
menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat di
Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.
[sunting] Kelompok berisiko
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal
di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur
yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk,
dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan
sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih
tinggi dari wanita.
Situasi global
Sebagaimana yang dlaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori
pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record,
prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826
kasus.[27] Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya adlaah 296.499
kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari prevalensi
akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus
baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak
lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara globa
terhadap kasus baru menunjukkan penurunan.
Tabel 1 menunjukkan penemuan kasus secara global menurun sejak
2001. Tabel 2 menunjukkan situasi kusta pada enam negara utama.
-
KustaSabtu, 24-02-2007 13:48:51 oleh: SaptoKanal: Kesehatan
Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprea yang menyerang
syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Kuman ini biasanya
berkelompok dan hidup dalam sel serta mempunyai sifat tahan asam
(BTA). Kuman ini pertama kali ditemukan pada tahun 1873 oleh GH
Hansen.
Masa belah kuman tersebut lebih lama dibandingkan dengan jenis
kuman lainnya, yakni mencapai 12-21 hari dengan tunas selama 2-5
tahun. Penderita kusta dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe
yaitu PB (pausi basiler) dan MB (multi basiler). Perkembangan
penyakit ini dapat ditularkan oleh penderita tipe MB secara
langsung, baik melalui pernafasan maupun gesekan kulit.
Selanjutnya kuman ini akan menyerang syaraf tepi pada si
penderita, sehingga dia akan mengalami gangguan fungsi syaraf tepi
seperti sensorik, motorik dan otonom. Jika si penderita tidak
segera diobati akan mengalami cacat syaraf tepi yang diakibatkan
karena kuman kusta atau disebabkan oleh peradangan (neuritis)
sewaktu reaksi lepra.
Serangan terhadap fungsi sensorik akan menyebabkan terjadinya
mati/kurang rasa (nestasi) yang selanjutnya akan terjadi luka pada
tangan atau kaki. pada kornea mata akan mengakibatkan
kurang/hilangnya reflek kedip, sehingga mata akan mudah kemasukan
kotoran dan benda-benda asing yang dapat menimbulkan kebutaan.
Kerusakan fungsi motorik akan mengakibatkan lemah/lumpuhnya otot
kaki/tangan, jari-jari tangan/kaki menjadi bengkok (claw had/ claw
toes).
-
Pada mata terjadi kelumpuhan pada otot mata sehingga mata tidak
dapat dirapatkan. Rusaknya fungsi otonom berakibat terjadinya
gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras,
dan pecah-pecah yang pada akhirnya akan membuat si penderita cacat
seumur hidup.
Ada empat tanda pokok (cardinal signs) yang ada pada tubuh jika
seseorang terjangkit kuman kusta. pertama adanya kelainan kulit
dalam hal ini dapat berupa hipopigmentasi (semacam panu)
bercak-bercak merah, infiltrat (penebalan kulit) dan nul
(benjolan).
Tanda lainnya adalah berkurang atau sampai hilangnya rasa pada
kelainan kulit tersebut, terjadi penebalan syaraf tepi dan adanya
kuman tahan asam dalam korekan jaringan kulit (BTA positif). Ada
lima hal yang mempermudah terjadinya reaksi penyakit kusta, yaitu
si penderita sedang dalam keadaan kondisi lemah, kehamilan, sesudah
mendapat imunisasi, malaria dan stres.
Untuk memutus mata rantai menjalarnya kuman kusta bagi penderita
PB sebaiknya berobat secara dini dan teratur. Namun jika penderita
sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan hanya dapat mencegah
agar jangan terjadi cacat tambahan.
Pengobatan penyakit kusta ditujukan untuk mematikan kuman
mycobacterium leprea sehingga tidak berdaya masuk jaringan tubuh,
dan tanda-tanda penyakit menjadi kurang efektif dan akhirnya dapat
hilang. Dengan sendirinya penularan kusta kepada orang lain juga
menjadi terputus.
Hingga saat ini para ahli kesehatan sudah menemukan enam macam
obat untuk mengobati dan meminimalisasi penyebaran kuman kusta di
tubuh manusia, salah satunya adalah DDS (diamino diphenyl sulfon).
Obat ini berbentuk tablet berwarna putih.
Obat lainnya lamprene (B663) atau biasa disebut Clofazimine
berwarna coklat dengan bentuk kapsul. Sifat dari obat ini
bakterostik(menghambat pertumbuhan dan antireaksi). Selain itu, ada
Rifampicin berbentuk kapsul dan mempunyai sifat bakteriosid atau
mematikan kuman kusta. Efek sampingnya dapat menimbulkan kerusakan
pada hati dan ginjal, karenanya sebelum diberikan obat ini
sebaiknya dilakukan pemeriksaan pada hati dan ginjal si
penderita
MEMAHAMI SELUK BELUK PENYAKIT KUSTA
Kusta Dapat Disembuhkan, Bukan Kutukan Tuhan atau pun Penyakit
Keturunan18 Februari 2009
-
Surabaya, eHealth. Apa yang akan Anda lakukan apabila menemui
seseorang mengidap Kusta di jalan atau di sebuah Rumah Sakit?
Respon utama yang terbersit di benak orang-orang umumnya adalah
menghindari, takut, merasa jijik, najis, dan lain sebagainya karena
alasan takut tertular. Bahkan sebagian masyarakat masih terpatri
pada stigma bahwa Kusta atau Lepra ini merupakan sebuah kutukan
dari Tuhan dan juga penyakit keturunan. Karena informasi yang tidak
lengkap ataupun pemikiran yang salah
tersebut, maka pasien Kusta biasanya tidak hanya menghadapi
permasalahan dari segi medis saja, tetapi juga menghadapi masalah
psikososial. Bahkan permasalahan Kusta ini dapat meluas sampai
permasalahan sosial ekonomi, budaya, keamanan, dan ketahanan
sosial. Lalu sebenarnya apakah Kusta itu? Benarkah anggapan
masyarakat mengenai Kusta? Berikut Liputan Khusus Tim eHealth
mengenai Kusta.
Sejarah Singkat Kusta
Kusta berasal dari kata kustha di bahasa Sansekerta, yang
berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penderita Kusta
sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 600 Sebelum Masehi. Namun,
kuman penyebab penyakit Kusta, yakni Mycobacterium leprae,
ditemukan pertama kali oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen
pada tahun 1873, maka dari itu Kusta ini dikenal juga dengan nama
Morbus Hansen, sesuai dengan penemu kuman penyebab kusta
tersebut.
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan
kemudian tersebar melalui perpindahan penduduk di beberapa belahan
dunia, penyebaran penyakit tersebut umumnya dibawa oleh para
pedagang yang melintasi batas negara. Sedangkan Kusta masuk ke
Indonesia ini melalui para pedagang dan penyebar agama sekitar abad
ke IV-V oleh orang India.
Hari Kusta
Penyakit Kusta juga diperingati sebagai Hari Kusta Sedunia
(World Leprosy Day), yang awalnya di inspirasi oleh seorang
wartawan berkebangsaan Perancis yang benama Raoul Fallereau.
Wartawan tersebut juga mengabdikan dirinya untuk memperjuangkan
nasib penderita Kusta selama 30 tahun. Raoul berjuang untuk
menghilangkan stigma sosial di masyarakat. Sampai dengan tahun
1955, terdapat 150 radio dari 60 negara yang menyiarkan kampanye
pemberantasan Kusta. Peristiwa yang terjadi pada akhir minggu bulan
Desember tahun 1955 ini ditetapkan sebagai Hari Kusta Sedunia.
Sementara itu, di sejumlah negara-negara Asia termasuk
Indonesia, peringatan Hari Kusta Sedunia diperingati pada minggu
akhir bulan Januari sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa Mahatma
Gandhi yang meninggal diakhir bulan Januari tersebut. Mahatma
gandhi adalah tokoh pejuang India yang menaruh perhatian yang
sangat besar kepada penderita Kusta, khususnya di India.
-
Sejauh ini Indonesia memiliki pasien Kusta terbanyak setelah
India, Brazil dan Myanmar. Namun untuk Kota Surabaya sendiri,
penyakit ini masih dalam kategori rendah. Berdasarkan data dari
Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota
Surabaya, jumlah kasus baru Kusta yang terdata pada tahun 2008 lalu
sebanyak 159 pasien untuk jenis Kusta basah atau MB, sedangkan 5
orang lainnya mengidap jenis Kusta kering. Karena penyakit Kusta
merupakan penyakit dengan penyembuhan jangka panjang, maka beberapa
diantara pasien tersebut merupakan pasien lama yang sedang
menjalani pengobatan. Untuk jumlah secara keseluruhan, jumlah
pasien kusta tahun 2008 kemarin adalah sebanyak 196 untuk Kota
Surabaya.
Dijelaskan oleh dr. Ina Aniati, Kepala Bidang Pengendalian
Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Surabaya, bahwa umumnya
pasien yang mengidap Kusta di kota metropolis ini kebanyakan
penduduk musiman yang berasal dari luar kota. Penurunan kasus Kusta
di Surabaya sendiri tidak terlalu signifikan.
Biasanya jumlah Kusta turun pada saat awal-awal pelatihan
petugas Puskesmas (mengenai penyakit Kusta, Red) saja, karena
jarangnya kasus tersebut (di Surabaya, Red) maka sering terlupa
oleh orang-orang, tambah dokter alumnus Universitas Airlangga
ketika ditemui di kantornya.
Penyebab Kusta
Seperti yang telah tertera di atas, Kusta yang merupakan
penyakit kronis ini disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae
(M.leprae). Kuman ini adalah kuman aerob, berbentuk batang dengan
ukuran 1-8 , lebar 0,2 0,5 , sifatnya tahan asam sehingga tidak
mudah untuk diwarnai. M.leprae biasanya berkelompok dan ada pula
yang tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media
buatan.
Masa belah diri kuman kusta ini memerlukan waktu yang sangat
lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Sehingga
masa tunas pun menjadi lama, yaitu sekitar 25 tahun.
Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas
bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan juga
testis, kecuali susunan saraf pusat. Kusta yang merupakan penyakit
menahun ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh
penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Penderita Kusta kebanyakan dari masyarakat ekonomi menengah
kebawah yang kurang atau belum memahami arti penting dari
kebersihan lingkungan. Tentu saja kebersihan lingkungan pun menjadi
faktor lain penyebab Kusta, selain kuman, ungkap Prof. dr. Jusuf
Barakbah, SpKK, salah seorang dokter spesialis penyakit Kulit
Kelamin di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya saat dikonfirmasi
melalui telepon. Ia menambahkan bahwa terlebih bagi mereka yang
tinggal di daerah kumuh dan terbatas akan fasilitas air bersih.
-
Sehingga, setelah kita mengetahui faktor penyebab Kusta, maka
anggapan masyarakat bahwa Kusta adalah penyakit kutukan Tuhan dan
penyakit keturunan adalah salah.
Jenis Kusta
Dari sisi medis, Kusta diklasifikasikan berdasarkan banyak
faktor, hal tersebut bertujuan untuk mempermudah cara penanganan
dari penyakit kulit ini. Namun, pada umumnya Kusta terbagi menjadi
dua, yakni kusta pausibasilar (PB) atau kusta tipe kering dan kusta
multibasilar (MB) atau kusta tipe basah.
Kusta Pausibasilar (PB)
Tanda-tandanya:
Bercak putih seperti panu yang mati rasa, artinya bila bercak
putih tersebut disentuh dengan kapas, maka kulit tidak merasakan
sentuhan tersebut.
Permukaan bercak kering dan kasar
Permukaan bercak tidak berkeringat
Batas (pinggir) bercak terlihat jelas dan sering ada
bintil-bintil kecil.
Kusta tipe kering ini kurang/tidak menular, namun apabila tidak
segera diobati akan menyebabkan cacat. Umumnya, orang mengira
bercak putih seperti tanda-tanda di atas adalah panu biasa,
sehingga pemeriksaan pun tidak segera dilakukan sebelum akhirnya
orang tersebut telah mengalami Kusta pada level lebih lanjut.
Sehingga, pemeriksaan dan pengobatan semenjak dini ke Puskesmas
atau pun Rumah Sakit terdekat pun sangat dianjurkan. Pengobatan
kusta tipe PB ini cenderung lebih sebentar daripada tipe basah.
Kusta Multibasilar (MB)
Tanda-Tandanya:
Bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata
diseluruh kulit badan.
Terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak.
Pada permukaan bercak, sering ada rasa bila disentuh dengan
kapas.
Pada permulaan tanda dari tipe kusta basah sering terdapat pada
cuping telinga dan muka.
-
Kusta tipe basah ini dapat menular, maka bagi yang menderita
penyakit tipe kusta tipe basah ini harus berobat secara teratur
sampai selesai seperti yang telah ditetapkan oleh dokter. Namun,
umumnya kendala yang dihadapi adalah pasien tidak mentaati resep
dokter, sehingga selain mereka tidak menjadi lebih baik, mereka pun
akan resisten terhadap obat yang telah diberikan.
Untuk Kusta MB ini menular lewat kontak secara langsung dan
lama. Penularan terjadi apabila seseorang kontak dengan pasien
sangat dekat dan dalam jangka panjang, dr. Ina kembali menjelaskan.
Sehingga bagi pasien kusta MB harus segera melakukan pengobatan,
dan melakukan penyembuhan secara teratur.
Cacat Kusta
Apabila kita mendengar kata Kusta, salah satu hal yang terbersit
dalam pikiran kita adalah penyakit yang dapat menyebabkan cacat
bagian tubuh lebih lagi pada mutilasi beberapa bagian tubuh
tertentu. Seperti halnya penyakit lain, cacat tubuh tersebut
sebenarnya dapat dicegah apabila diagnosis dan penanganan penyakit
dilakukan semenjak dini. Demikian pula diperlukan pengetahuan
berbagai hal yang dapat menimbulkan kecacatan dan pencegahan
kecacatan, sehingga tidak menimbulkan cacat tubuh yang tampak
menyeramkan.
Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat Kusta adalah:
1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau
fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik,
misalnya leproma, ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus, dan
absorbsi jari.
2. Dissability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat
impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan
yang normal bagi manusia. Dissability ini merupakan objektivitas
impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk
ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya memegang benda
atau memakai baju sendiri.
3. Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment
atau disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas
normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya.
Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial,
ekonomi, dan budaya.
4. Deformity: kelainan struktur anatomis5. Dehabilitation:
keadaan/proses pasien Kusta (handicap) kehilangan status sosial
secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan
teman-temannya.6. Destitution: dehabilitasi yang berlanjut dengan
isolasi yang menyeluruh dari
seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan
(shelter).
-
Jenis Cacat Kusta
Cacat yang timbul pada penyakit Kusta dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Kelompok pada cacat primer, ialah kelompok cacat yang
disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan
akibat respons jaringan terhadap kuman Kusta.
2. Kelompok cacat sekunder, cacat sekunder ini terjadi akibat
cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf (sensorik,
motorik, otonom). Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur
sehingga dapat menimbulkan gangguan mengenggam atau berjalan, juga
memudahkan terjadinya luka. Kelumpuhan saraf otonom menyebabkan
kulit kering dan elastisitas berkurang. Akibatnya kulit mudah
retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.
Pencegahan Cacat Pada Kusta
Pencegahan cacat Kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis
daripada penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini
mungkin, baik oleh petugas kesehatan maupun oleh pasien itu sendiri
dan keluarganya. Di samping itu perlu mengubah pandangan yang salah
dari masyarakat, antara lain bahwa Kusta identik dengan deformitas
atau disability.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas:
1. Untuk Upaya pencegahan cacat primer, meliputi:
o diagnosis dinio pengobatan secara teratur dan akurat o
diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi
2. Upaya pencegahan sekunder, meliputi:
o Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
-
o Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur
o Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami
kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan
o Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi, sehingga pada
proses penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang hilang
o Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau
mengalami kelumpuhan otot.
Prinsip yang penting pada perawatan sendiri untuk pencegahan
cacat kusta adalah:
o pasien mengerti bahwa daerah yang mati rasa merupakan tempat
risiko terjadinya luka
o pasien harus melindungi tempat risiko tersebut (dengan kaca
mata, sarung tangan, sepatu, dll)
o pasien mengetahui penyebab luka (panas, tekanan, benda tajam
dan kasar)o pasien dapat melakukan perawatan kulit (merendam,
menggosok,
melumasi) dan melatih sendi bila mulai kakuo penyembuhan luka
dapat dilakukan oleh pasien sendiri dengan
membersihkan luka, mengurangi tekanan pada luka dengan cara
istirahat
Penularan Kusta
Sampai saat ini penyebab penularan penyakit Kusta yang pasti
masih belum diketahui, namun para ahli mengatakan bahwa penyakit
Kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan juga melalui
kulit.
Walau tidak terdapat hukum-hukum pasti penularan Kusta ini,
perlu diketahui bahwa jalan keluar dari kuman Kusta ini adalah
melalui selaput lendir hidung penderita. Namun ada beberapa artikel
yang menyatakan bahwa penularan Kusta ini melalui sekret hidung
penderita yang telah mengering dimana basil dapat hidup 2 -7 hari.
Cara penularan lain yang umumnya diungkapkan adalah melalui kulit
ke kulit, namun dengan syarat tertentu. Karena tidak semua sentuhan
kulit ke kulit itu dapat menyebabkan penularan.
Sampai saat ini masih belum ditemukan vaksinasi terhadap Kusta,
namun berdasarkan beberapa sumber, dikatakan bahwa apabila kuman
Kusta tersebut masih utuh bentuknya maka memiliki kemungkinan
penularan lebih besar daripada bentuk kuman yang telah hancur
akibat pengobatan. Sehingga, perlu ditekankan bahwa pengobatan
merupakan jalan untuk mencegah penularan penyakit Kusta ini.
Penanggulangan Kusta
-
Tujuan utama adanya upaya penanggulangan Kusta adalah memutus
mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati,
dan menyembuhkan penderita, serta mencegah timbulnya cacat. Salah
satu cara penanggulangan penyakit Kusta yang telah lama
dilaksanakan adalah melalui program MDT (Multi Drug Therapy).
Program MDT ini dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika Kelompok
Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi
pengobatan Kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal
sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi
obat-obat dapson, rifampisin, dan klofazimin. Selain untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT
dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan
menurunkan angka putus-obat (drop-out rate) yang cukup tinggi pada
masa monoterapi dapson. Di samping itu diharapkan juga MDT dapat
mengeliminasi persistensi kuman Kusta dalam jaringan. Namun dalam
pelaksanaan program MDT-WHO ada beberapa masalah yang timbul, yaitu
adanya persister, resistensi rifampisin dan lamanya pengobatan
terutama untuk kusta MB.
Terdapat juga beberapa metode penanggulangan Kusta, yakni metode
pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari
rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan
metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari
rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga
tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan
suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa penyakit Kusta
bukan hanya permasalahan medis saja, namun menyangkut psikis,
sosial, budaya, bahkan ekonomi. Anggapan salah mengenai penyakit
Kusta tidak akan membantu terputusnya mata rantai penularan kusta.
Namun, melalui dukungan dan himbauan kepada pasien tersebut lah
yang akan meminimalisir jumlah pasien kusta di satu wilayah.
Segera temui dokter sesaat setelah menemui bercak putih di kulit
dan mati rasa, himbau Prof dr. Jusuf Barakbah, SpKK. Hal tersebut
juga diungkapkan oleh dr. Ina Aniati, bahwa pasien tidak perlu
bingung atau malu untuk memeriksakan dirinya ketika mencurigai ada
bercak putih mati rasa di kulit. Seluruh Puskesmas, terutama di
Kota Surabaya, dapat melayani permasalahan tersebut. Semakin dini
diatasi maka semakin kecil kemungkinan penularan. Kusta tidak
menular, apabila kita peduli dan memiliki niat kuat untuk
menanggulanginya.(fie)
LAPORAN KASUS
SMF PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
I.IDENTITAS PENDERITA
II.ANAMNESIS
-
1. Keluhan Utama
Bercak kemerahan pada pipi dan tidak terasa raba
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 tahun yang lalu, penderita mengeluh munculnya bercak
kemerahan pada
punggung, timbul mendadak dan terasa gatal. Karena dianggap
sebagai panu,
penderita membiarkannya. Tidak lama kemudian muncul bercak yang
sama di
bagian dada dan tangan. Gatal namun tidak terasa nyeri. Selain
itu muncul
benjolan pada cuping telinga kiri. Lama-kelamaan bercak menajdi
semakin
banyak dan penderita mengeluh tidak dapat merasakan apa-apa
ketika bercak
tersebut disentuh. Penderita kemudian berobat ke RSUD Balung dan
dibilang
sakit kulit. Penderita diberi obat kapsul 3 macam dan pil 2
macam. Penderita lupa
nama obatnya. Setelah minum obat tersebut, penderita merasa
sakitnya berkurang.
Karena merasa sudah sembuh, penderita menghentikan minum obat
dan tidak
kontrol. Sekitar 1 bulan yang lalu muncul bercak kemerahan di
leher dan bercak
putih di kaki disertai dengan bengkak pada punggung kaki kanan.
Kemudian
Pasien berobat ke Puskesmas Lojejer dan diberi obat satu
grenjeng warna putih
dan coklat diminum 1x perhari. Semakin lama bercak menjadi
semakin banyak
dan pasien mengeluh kulitnya terasa tebal. Karena merasa takut,
penderita
akhirnya berobat ke RSUD dr. SOEBANDI Jember.
1. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
1. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga yang tinggal bersama pasien saat ini tidak ada yang
menderita penyakit
seperti ini.
1. Riwayat Pengobatan
-
Pernah berobat ke RSUD Balung dan Puskesmas namun pasien tidak
tahu nama
obatnya.
1. Riwayat Alergi
Pasien tidak punya riwayat alergi obat maupun makanan, dan
pasien tidak pernah
melakukan pemeriksaan alergi sebelumnya.
III.PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Kesadaran: komposmentis
Keadaan Umum: baik
Kepala/Leher: dalam batas normal
Thorak
Cor: S1S2 tunggal, lain-lain dalam batas normal
Pulmo: Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-, lain-lain dalam batas
normal
Abdomen: Soepel, bising usus (+), lain-lain dalam batas
normal
Ekstremitas: dalam batas normal
Genitalia: dalam batas normal
1. Status Lokalis
Regio EffloresensiFasialis Makula hiperpigmentasi dengan
hipoanestesi,
batas tegas, plakat, permukaan halusAuricularis Cuping telinga
menebal, iktiosis, simetris
bilateral
-
Torakalis Makula hiperpigmentasi, numular, batas
tegas, menyebar, hipoanestesiAmtebrachii dextra/sinistra et
dosrum
manus
Makula hiperpigmentasi dengan hipoanestesi,
numular sampai plakat, batas tegas, iktiosis,
skuama kasarCruris Oedema, eritematus, hangat pada perabaan,
iktiosisDorsum et plantar pedis Oedema eritematus, iktiosis,
ulserasi
Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan saraf tepi
N. Auricularis magnus: menebal D/S (+), nyeri D/S (-)
N. Ulnaris: menebal D/S (-), nyeri D/S (-)
N. Peroneus lateralis: menebal D/S (-), nyeri D/S (-)
Fungsi saraf tepi
a.Sensorik
Sensasi raba: terganggu di dalam lesi dan tidak di luar lesi
Sensasi nyeri: terganggu pada lesi
Sensasi suhu: terganggu di dalam lesi
b.Motorik
Mata: lagoftalmus (+)
Ekstremitas superior: tahanan sedang
Ekstremitas inferior: tahanan sedang
-
c.Otonom
Kulit tampak kering dan retak-retak (fisura), ekstremitas
inferior tampak oedema
Pemeriksaan komplikasi
R. Fasialis: Fascies leonina (-), madarosis (-), saddle nose
(-), lagoftalmus (+)
Pemeriksaan bakteriologis
BI = +2,MI= -
IV.RESUME
Sejak 2 tahun yang lalu pasien mengeluh bercak kemerahan,
berawal dari punggung yang
kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Pasien merasa pada bercak
tersebut terasa menebal
dan tidak terasa apa-apa ketika disentuh. Kaki bengkak berwarna
merah kehitaman,
terasa nyeri pada punggung kaki dan pada telapak kaki terasa
tebal. Pada pemeriksaan di
regio pedis didapatkan oedema eritematus pada dorsum pedis dan
ulserasi pada plantar
pedis. Pada seluruh tubuh didapatkan makula hiperpigmentasi,
batas tegas, sentral
healing (-), tepi sedikit meninggi, iktiosis dan terdapat
penebalan cuping telinga bilateral.
Pada pemeriksaan tambahan didapatkan tes sensibilitas (-)
penebalan N. Aurikularis
magnus. Bakteriologi indeks +2 dan morfologi indeks (-).
V.DIAGNOSIS BANDING
1. Ptiriasis alba
2. Ptiriasis rosea
VI.DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen tipe Multibasiler
VII.PENATALAKSANAAN
1. Nonmedikamentosa
-
a.Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan,
tetapi
pengobatan akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu
pasien harus
rajin mengambil obat di puskesmas dan tidak boleh putus
obat.
b.Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi
demam, nyeri di
seluruh tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus
segera mencari
pertolongan ke saranan pelayanan kesehatan.
c.Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan terjadi
kecacatan jika
tidak ada tindakan pencegahan. Pencegahan
oCuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun,
terutama yang
banyak mengandung pelembab, bukan detergen.
oRendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin.
Apabila kulit
sudah lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering
terkelupas.
oUntuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil).
oSecara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau
nyeri dan
segera mencari pertolongan medis.
oProteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari
berjalan
jauh atau menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam
1. Medikamentosa
Terapi MDT-MB (Rifampisin, Lampren, dan DDS) selama 12-18
bulan.
VIII.PROGNOSIS
Pada umumnya baik, hanya jika pasien mampu mengikuti program
secara teratur..
REFLEKSI KASUS
-
PEMERIKSAAN DAN TERAPI MORBUS HANSEN
I.SINONIM
Morbus Hansen juga dikenal dengan nama lepra, penyakit kusta,
leprosy, Hansens
disease, dan Hanseniasis.
II.DEFINISI
Penyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa
kronik pada
manusia yang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan
saraf perifer (Fauci,
2008). Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni
kushtha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga
Morbus Hansen, sesuai
dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun
1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Zulkifli,
2:2003).
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang
menimbulkan masalah
yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari
segi medis tetapi
meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional.
Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara
yang sedang
berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam
pemberian pelayanan
kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Penyakit
kusta sampai saat ini
masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas
kesehatan. Hal ini
disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan
yang keliru terhadap
kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Hiswani, 1:2001).
III.ETIOLOGI
Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil,
bersifat aerob yang
tidak membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan
baik, segera setelah
diwarnai mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau
alkohol, oleh karena itu
dinamakan basil cepat asam (Brooks, 453:2005). Mycobacterium
leprae merupakan
agen causal pada lepra. Kuman ini berbentuk batang tahan asam
yang termasuk familia
-
Mycobacteriaeceae atas dasar morfologik, biokimia, antigenik,
dan kemiripan genetik
dengan mikobakterium lainnya (Isselbacher, 808:1999).
Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop
adalah bentuk utuh,
bentuk pecah pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated
), bentuk globus dan
bentuk clumps. Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh,
mengambil zat warna
merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk
pecah pecah, dimana
dinding selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan
zat warna tidak
merata. Bentuk granular, dimana kelihatan seperti titik titik
tersusun seperti garis lurus
atau berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh
atau fragmented atau
granulated mengandung ikatan atau berkelompok kelompok. Kelompok
kecil adalah
kelompok yang terdiri dari 40 60 BTA sedangkan kelompok besar
adalah kelompok
yang terdiri dari 200 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa
bentuk granular
membentuk pulau pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA
(Wahyuni, 4-
5:2009).
IV.EPIDEMIOLOGI
4.1 Distribusi Menurut Geografi
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar kasus
lepra terjadi pada
wilayah dengan iklim tropis.
Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006
didapatkan
jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727
penderita. Dari data tersebut
didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah
pasien yang terdaftar
sebanyak 116.663 dan dari data didapatkan India merupakan negara
dengan jumlah
penduduk terkena kusta terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita.
Namun Micronesia
F. S merupakan negara dengan jumlah rata-rata prevalensi per
10.000 penduduk
terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64 per 10.000 jumlah
penduduk. Sementara Indonesia
pada 2006 tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175
(WHO). Pada Poli Kulit
dan Kelamin RSUD dr. SOEBANDI, Jember dari tahun 1999 sampai
tahun 2001
-
didapatkan jumlah pasien sebanyak 140 penderita, dengan 74
pasien dengan tipe
multibasiler dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler (Erlan. J.S.
et all, 21:2003).
4.2 Distribusi Menurut Waktu
Seperti terlihat pada tabel di bawah, ada 17 negara yang
melaporkan 1.000 atau
lebih kasus baru selama tahun 2005. Tujuh belas negara ini
memiliki kontribusi 94% dari
seluruh kasus baru di dunia (Depkes, 7:2006).
Dari tabel terlihat bahwa secara global terjadi penurunan
penemuan kasus baru,
akan tetapi sejak tahun 2002 pada berbagai negara terjadi
peningkatan kasus baru seperti
di Republik Demokrasi Kongo, Indonesia, dan Filipina (Depkes RI,
7:2006)
Tabel Penemuan kasus baru di 17 negara dengan jumlah pasien
kusta terbanyak
No. Negara Jumlah kasus baru ditemukan1993 2002 2003 2004 20051
Angola 339 4.727 2.933 2.109 1.8772 Bangladesh 6.943 9.844 8.712
8.242 7.8823 Brazil 34.235 38.365 49.206 49.384 38.4104 China 3.755
1.646 1.404 1.499 1.6585 D. R. Congo 3.927 5.037 7.165 11.781
10.7376 Egypt 1.042 1.318 1.412 1.216 1.1347 Ethiopati 4.090 4.632
5.193 4.787 4.6988 India 456.000 473.658 367.143 260.063 161.4579
Indonesia 12.638.740 12.377 14.641 16.549 19.69510 Madagascar 740
5.482 5.104 3.710 2.70911 Mozambique 1.930 5.830 5.907 4.266
5.37112 Myanmar 12.018 7.386 3.808 3.748 3.57113 Nepal 6.152 13.830
8.046 6.958 6.15014 Nigeria 4.381 5.078 4.799 5.276 5.02415
Philippines 3.442 2.479 2.397 2.254 3.13016 Sri Lanka 944 2.214
1.952 1.995 1.92417 U.R.Of Tanzania 2.731 6.497 5.279 5.190
4.237
Jumlah555.307
(94%)
599.945
(97%)
495.074
(96%)
389.027
(95%)
279.664
(94%)Jumlah Global 590.933 620.638 514.718 407.791 296.499
.
-
4.3 Distribusi Menurut Faktor Manusia
a. Etnik atau Suku
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi
dapat dilihat
karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara
atau wilayah yang sama
kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat
terjadi karena faktor etnik.
Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada
etnik Burma
dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga
mengindikasikan hal yang
sama: kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China
dibandingkan etnik
Melayu atau India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia
etnik Madura dan Bugis
lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu
(Depkes RI, 8:2006).
b. Faktor Sosial Ekonomi
Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting
dalam kejadian
kusta. Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan
adanya peningkatan sosial
ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan
hilang. Kasus kusta imor
pada negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang
sosial ekonomi tinggi.
Kegagalan kasus kusta impor untuk menularkan pada kasus kedua di
Eropa juga
disebabkan karena tingkat sosial ekonomi yang tinggi (Depkes RI,
8:2006).
c. Distribusi Menurut Umur
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta
menurut umur
berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden,
kaena pada saat
timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengn kata lain
kejadian penyakit sering
terkait pada umur pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit
kronik seperti kusta,
informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat
timbulnya penyakit
mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta
diketahui terjadi pada semua
umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih
dari 70 tahun).
Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif (Depkes
RI, 8:2006).
-
d. Distribusi Menurut Jenis Kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan
sebagian besar
negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan
bahwa laki-laki lebih
banyak terserang dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian
kusta pada perempuan
kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi.
Seperti kebanyakan penyakit
menular lainnya, laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor
resiko akibat gaya
hidupnya (Depkes RI, 8:2006).
4.4 Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Penyakit Kusta
a. Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai
sumber
penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo,
simpanse, dan pada
telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus (Depkes
RI, 9:2006).
b. Cara Keluar dari Pejamu (Host)
Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman.
Suatu kerokan
hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati
menunjukkan jumlah kuman
sebesar 10-10. Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian
atas dari penderita tipe
Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting dalam
lingkungan (Depkes RI,
9:2006).
c. Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan
tetapi dapat juga
bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh
(hidup) keluar dari tubuh
penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui
secara pasti bagaimana
cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini
dapat terjadi dengan cara
kontak yang lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum
obat sesuai dengan
regimen WHO tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain
(Depkes RI, 10:2006).
-
d. Cara Masuk ke Pejamu
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini
belum dapat
dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran
pernapasan bagian atas
dan melalui kontak kulit yang tidak utuh (Depkes RI,
10:2006).
e. Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak
dengan penderita,
hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk
kuman obligat
intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem
kekebalan seluler. Faktor
fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor
infeksi dan malnutrisi
dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi
keluarga kembar
didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang
berkembang setelah
infeksi (Depkes RI, 10:2009).
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir
sebagian kecil (5%)
dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70%
dapat sembuh sendiri dan
hanya 30% yang dapat menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).
V.PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC
(Antigen
Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan
signal kedua. Signal
pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T
cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan
signal kedua adalah
produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul
kostimulator APC yang
berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua
signal ini akan
mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1
dan Th2. Adanya TNF
dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni,
6:2009).
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan
fagositosis
makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari
M.leprae akan berikatan
-
dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu
akan difagositosis)
dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan
CTL lalu CD8+.Di dalam
fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari
penghancuran oksidatif oleh
anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan
secara kimiawi.
Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors
akan terus dihasilkan
dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus
diaktifkan dan lama kelamaan
sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang
makrofag seudah
disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini
akan membentuk granuloma
(Wahyuni, 6-7:2009).
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan
mengaktifasi dari
eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL
4akan mengaktifasi sel B
untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan
mengaktifasi sel mast
(Wahyuni, 7:2009).
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T
anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke
arah Th2. Pada
Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih
tinggi dibandingkan
denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih
tinggi dibandingkan
dengan Th1(Wahyuni, 7:2009).
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari
sum sum tulang
dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel
dendritik merupakan APC
yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di
tempat tempat mikroba dan
antigen asing masuk tubuh serta organ organ yang mungkin
dikolonisasi mikroba. Sel
denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan
dari IDC menjadi DC. Idc
akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel,
selain itu dengan
adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40.
Setelah DC
matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi
limfatik karena adanya
ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu satunya yang
diekspresikan oleh DC
matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 TLR 1
heterodimer dan
diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda
lipoprotein. TLR 2
-
polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap
leprosy (Wahyuni,
8:2009).
5.1 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta
M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks
protein laminin 2
yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor
dystroglikan lalu akan
mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+
akan mengaktifkan
Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag.
Makrofag gagal
memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang
melindunginya di dalam
makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja
terus menerus
untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi.
Sitokin dan GF tidak
mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf
dan saraf yang rusak
akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah
penebalan saraf tepi. Sel
schwann merupakan APC non professional (Wahyuni, 8:2009).
5.2 Patogenesis reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis
penyakit kusta yang
dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi
penyakit kusta. Ada dua
tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi
kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I
sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi
hipersensitifitas tipe IV
( Delayed Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering
kita jumpai pada BT dan
BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan
mengakibatkan perubahan
sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada
dua yaitu upgrading
reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah
tuberkoloid ( peningkatan
sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon
terhadap terapi, dan
downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous (
penurunan sistem
imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi
(Wahyuni, 8:2009).
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya
hipersensitivitas tipe
III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum
lepromatous. Reaksi ini sering
terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan
antibodi membentuk
-
kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan
berikatan pada
komples imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim
lisosom. Enzim
lisosom akan melisis sel (Wahyuni, 8:2009).
VI.Gambaran Klinis
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang
dalam hal ini
dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal,
kesemutan, kelemahan otot-otot
dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat.
Gejala klinis yang terjadi
dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot,
tulang, mata, dan testis.
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa
satu atau beberapa,
dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada
bagian tengah dapat
ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi
dapat bersisik dengan
tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis
atau tinea sirsinata.
Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit
rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya
respon imun pejamu yang
adekuat terhadap kuman kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau
plakat yang
sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu
atau beberapa, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak
sejelas tipe TT. Adanya
gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris.
Lesi satelit biasanya ada dan
terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe Mid Borderline (BB)
-
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai
bentuk dismorfik
dan jarang dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk
makula infiltratif,
permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri
khasnya adalah lesi
punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian
tengah oval dan berbatas
jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan
dengan cepat
menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul
lebih tegas dengan
distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul
nampaknya melekuk pada bagian
tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan
infiltrasi di pinggir dan
beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf
lebih cepat muncul
dibandingkan dengan tipe LL.
5. Tipe Lepromatous Leprosy
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan
halus, lebih
eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium
dini tidak ditemukan anestesi
dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah,
mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang
dingin, seperti lengan,
punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut,
tampak penebalan kulit
yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina,
madarosis, iritis, keratitis,
deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis
yang selanjutnya dapat
menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan
gejala stocking and glove
anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer
mengalami degenerasi
hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan
otot tangan dan kaki.
Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling
SifatLepromatous
Leprosy (LL)
Borderline
Lepromatous (BL)Mid Borderline (BB)
LesiBentuk Makula, Infiltrat Makula, Plakat, Papul Plakat, Dome
Shaped
-
Difus, Papul, Nodul (Kubah), Punched Out
Jumlah
Tidak terhitung,
praktis tidak ada kulit
sehat
Sukar dihitung, masih
ada kulit sehat
Dapat dihitung, kulit
sehat jelas ada
Distribusi Simetris Hampir Simetris AsimetrisPermukaan Halus
Berkilat Halus Berkilat Agak Kasar/berkilatBatas Tidak Jelas Agak
Jelas Agak JelasAnastesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas Lebih
JelasBTALesi Kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak BanyakSekret
Hidung Banyak (ada globus) Biasanya Negatif NegatifTes Lepromin
Negatif Negatif Biasanya Negatif
Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi
Ridley dan
Jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu
tipe Intermediate (I). Lesi
biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan
kulit disekitarnya
normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong
atau muka, kadang-
kadang dapat ditemukan makula hipostesia atau sedikit penebalan
saraf.
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai
patofisiologinya ada dua
yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat
langsung oleh granuloma
yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak
dan merusak jaringan
disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas,
tulang tulang jari, dan
wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan
saraf, umumnya deformitas
diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan
saraf.
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada
ujung jari
anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari
manis, dan atrofi
hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial. Pada N.medianus
adalah anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah, tidak
mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, ibu jari kontraktur, dan
juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral. Pada
N.radialis adalah anestesi
dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop) dan tak
mampu ekstensi jari jari atau pergelangan tangan. Pada N.
Poplitea lateralis adalah
anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop) dan
-
kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah
anestesi telapak kaki, claw toes
, dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada
N. Fasialis adalah cabang
temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal,
mandibular serta
servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan
mengatupkan bibir. Pada
N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva
mata.
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan
alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya.
Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat
paralisis
N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya.
Secara sendirian atau
bersama sama akan menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas
jaringan keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit
kering dan alopesia. Pada
tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan
keseimbangan hormonal
dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus
testis.
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous
yang titandai dengan
adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus
yang berbatas tegas, dapat
juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya
timbul sebagai kasus
relapse sensitive atau relape resistent. Relapse sensitive
terjadi, bila penyakit kambuh
setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang
ditentukan. Dapat terjadi
oleh karena kuman yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang
diselesaikan tisak
adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya.
Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit,
demam yang tidak
begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi,
multiple small satellite skin
makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi
kusta tipe I dapat
dibedakan atas reaksi ringan dan berat.
Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi,
dan komplikasi
organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas
reaksi ringan dan berat.
-
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda,
bentuk tidak teratur,
dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura,
bula, terjadi nekrosis dan
ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan
parut. Dari hasil
histopatologi ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem,
proliferasi endotelial
pembuluh darah dan banyak basil M.leprae di endotel kapiler.
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang
nyeri tekann
dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan
selama satua atau dua
minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi
demam, limfadenopati, dan
athralgia.
VII.Pemeriksaan Pasien
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik,
lesi kulit juga harus
diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan
pemeriksaan dengan
menggunakan alat alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri,
kapas untuk rasa raba,
tabung reaksi masing masing dengan air panas dan es, pensil
tinta Gunawan (tanda
Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi
yang dapat jelas dan dapat
pula tidak dan sebagainya. Cara menggoresnya mulai dari tengah
lesi, yang kadang
kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit
berambut sedikit,
sangat sukar untuk menentukannya.
7.1 Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi
dan nyeri atau
tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis,
N.aurikularis magnus,
N.radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N.
Tibialis posterior. Pada
pemeriksaan saraf tepi dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan
kanan, adanya
pembesaran atau tidak, pembesaran reguler/irreguler, perabaan
keras/kenyal, dan yang
terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak (Daili, 21:2003).
Pada tipe lepromatous
biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh sedangkan
tipe tuberkoloid
terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
-
Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah
menebal dan
saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak
(Daili, 21:2003).
Cara pemeriksaan saraf tepi
d.N. Aurukularis magnus
Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf
yang terlibat
akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah
bisa terlihat bila saraf
membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan
jalannya saraf tersebut
dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara
seksama akan
menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Jangan lupa
membandingkan antara yang
kiri dan yang kanan (Daili, 21:2003).
e.N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya
diletakkan di atas
satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan
di bawah siku
(sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau
tidak. Perlu
dibandingkan antara yang kanan dan yang kiri untuk melihat
adanya perbeedaan atau
tidak (Daili, 22:2003).
f.N. Paroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah
lateral dari
capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Daili,
22:2003).
7.2 Tes Fungsi Saraf
a. Tes Sensoris
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan
dingin.
-. Rasa Raba
-
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk
memeriksa perasaan
rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang
diperiksa harus duduk
pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas
menerangkan bahwa
bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia
harus menunjukkan kulit
yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan
mata terbuka. Bilamana
hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau
perlu matanya ditutup dengan
sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya
juga diperiksa pada kulit yang
sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya
(Daili, 22:2003).
-. Rasa Nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan
ujung jarum
yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien
harus mengatakan
tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul (Daili,
22:2003).
-. Rasa Suhu
Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi
air panas
(sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar
200C). Mata pasien ditutup
atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung
tersebut ditempelkan pada
daerah kulit yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada
kulit yang sehat. Bila
pada daerah tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka
dapat disebutkan
sensasi suhu di daerah tersebut terganggu (Daili, 22:2003).
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada
penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes
anhidrosis.
1. Tes dengan pensil tinta
Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang
dicurigai terus sampai
ke daerah kulit normal.
-
1. Tes pilokarpin
Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan
pilokarpin subkutan.
Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat,
sedangkan daerah
lesi tetap kering.
c. Tes Motoris (Voluntary muscle test)
Cara memeriksa:
Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:
-. Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari
kelingking pasien. Peganglah jari
telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah
pasien untuk merapatkan jari
kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya,
taruhlah kertas diantara
jari kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan
kertas tersebut. Bila pasien
mampu menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk
mengetahui ketahanan
ototnya.
-. Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke
atas. Minta pasien
mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah
benar-benar bergerak ke atas
dan jempolnya lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian
tekan atau dorong ibu
jari pada bagian telapaknya.
-. Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk
menggerakkna pergelangan
tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan
gerakan tersebut.
-. Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien
melakukan gerakan
fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk
melakukan gerakan ke lateral,
lalu nilai kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan
tersebut.
7.3 Pemeriksaan Bakterioskopis
-
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit
atau usapan
mukosa hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON.
Pertama
tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat
oleh basil setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk
riset dapat diperiksa 10
tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua
cuping telinga bagian
bawah dan 2 -4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling
eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau
tidaknya lesi di tempat
tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati
banyak M.leprae.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan
dengan jumlah
solid dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %
Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100
BTA, I.B 1+
tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus
mencari dalam 1.000
sampai 10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100
lapangan.
-
7.4 Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe
tuberkoloid adalah
tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil
atau hanya sedikit dan non
solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone )
yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya
tidak patologik. Bisa
dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline
terdapat campuran unsur
unsur tersebut.
Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai
tempat
berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
7.5 Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis
serologis
merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan
serologik, didasarkan
terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
M.leprae. Pemeriksaan
serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), uji ELISA dan
ML dipstick.
7.6 Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan
prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem
imun penderita
terhadap M.leprae. O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak
basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (
reaksi Fernandez) atau
3 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila
terdapat indurasi dan
eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M.
Leprae yaitu respon
imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada
tuberkolosis.
Reaksi Mitsuda bernilai :
0Papul berdiameter 3 mm atau kurang
-
+ 1 Papul berdiameter 4 6 mm
+ 2Papul berdiameter 7 10 mm
+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan
ulserasi
VIII.Diagnosis
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena
memberikan gejala
yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit
kusta didasarkan pada
penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
1.Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat
tubuh yang lain,
maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus,
mendatar (makula) atau
meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau
sebagian saja terhadap rasa
raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.
2.Penebalan saraf tepi
Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau
tanpa gangguan fungsi
saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema,
pertumbuhan
rambut yang terganggu.
3.Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi
kulit pada bagian
yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau
saraf.
-
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus
ditemukan satu
tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita
hanya dapat
mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan
diperiksa ulang setelah 3-6
bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau
disingkirkan.
IX.Diagnosis Banding
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo,
Ptiriasis
versikolor,Ptiriasis alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi
papul, Granuloma annulare, lichen
planus dll. Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea,
psoriasis dll. Pada lesi nodul,
Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf,
Amyloidosis, diabetes, trachoma
dll.
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh
yang
mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis
idiopatik yang ditandai
dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada
beberapa yaitu hipotesis
autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan
pajanan terhadap bahan
kimia.
Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto,
anemia
pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena
melanosit terbentuk dari
neural crest maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil
metabolisme tirosin adalah
melanin dan katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari
katekol yang
mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada
gangguan keringat, dan
pembuluh darah, terhadap respon transmitter saraf misalnya
setilkolin. Hipotesis
autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan
diubah menjadi dopaquinon.
Produk produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin.
Pajanan terhadap bahan
kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan
fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi
perifolikuler. Daerah yang
paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama
bagian atas jari, periofisial
pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan
tangan bagian fleksor.Lesi
-
bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang kadang
mengenai genitalia
eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata.
Vitiligo lokal dapat
dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih
tetapi tidak segmental,
vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang
distribusinya sesuai dengan
dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo
generalisata juga
dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi
hanya pada bagian distal
ekstremitas dan muka serta merupakan stadium awal vitiligo
generalisata, vitiligo
vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu
pola, dan vitiligo
campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh
merupakan vitiligo
total.
Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur.
Patogenesisnya adalah terdpat
flora normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu
Pitysporum orbiculare
bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora
dan miselium. Faktor
predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen.
Faktor endogen adalah
akibat rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah
suhu, kelembapan
udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh
terjadinya asam dekarbosilat
yang diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor
kompetitif terhadap enzim
tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat
superfisialis, bercak berwarna
warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai
difus, fluoresensi dengan
menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda,
papulovesikular dapat ada tetapi
jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh
hifa dan spora ( spaghetti
and meat ball).
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut
(glabrous skin) .
Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema,
skuama, kadang papul dan
vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan
krusta karena kerokan, lesi
-
umumnya bercak bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat
polisiklik, dan ada center
healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul papul yang mempunyai
warna dan
konfigurasi yang khas. Papul papul berwarna merah, biru,
berskuama, dan berbentuk
siku siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput
lendir, dan alat kelamin.
Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 2 tahun. Hipotesis
mengatakan liken
planus merupakan infeksi virus.
Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif.
Ditandai
dengaadanya bercak bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
kasar, berlapis
lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz,
Koebner. Gejala klinisnya
adalah tidak ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan,
kelainan pada kulit
terdiri bercak bercak eritema yang meninggi atau plak dengan
skuama diatasnya,
eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah
tidak merata. Kelainan
bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat
konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel
pilosebaseayang umumnya
pada remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah
sering polimorf yang
terdiri dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul,
pustul, nodus dan jaringan
parut akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik
maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis
neuropatik dan saraf
yang terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak
menunjukkan gejala apapun.
Gejala ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi
setelah beberapa tahun.
Gejala kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki,
tangan , pergelangan
tangan, dan jari jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi,
masalah pada urinasi,
lemas, disfungsi ereksi dll.
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik
dermatitis, cheilotis,
glossitis, mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis
menunjukka penurunan
propiosepsi dan vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi
temperatur, refleks achilles
menurun atau tidak ada.
-
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan
defisiensi
kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien
mengalami
sensorimotor poly neuropathy dan demensia.
X.Pengobatan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah
timbulnya penyakit, untuk
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan
atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu
mengahalangi atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis
kompetitif dari para-
aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk
sintesis folat oleh
bakteri. Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin
rash, anoreksia, nausea,
muntah, sakit kepala, dan vertigo.
Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat
menekan reaksi
kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan
transpor dari NA/K
ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna
ungu
kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut
dihentikan, diare, nyeri
lambung.
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan
berikatan pada
subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan
nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas
Ferrosus untuk
penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita
kusta dgn kekeringan kulit
dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk
penderita kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang
direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan
menjadi:
-
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug
treatment.Kegunaan MDT
untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat,
mengatasi ketidakteraturan
penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada
pemakaian monoterapi
Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi
tunggal
diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat
sekali saja langsung
RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas.
Anak-anak Ibu hamil
tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas
diobati dengan
regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn
pembesaran saraf diberikan:
regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin
Dewasa
(50-70 kg)
600 mg 400 mg 100 mg
Anak
(5-14 th)
300 mg 200 mg 50 mg
PB dengan lesi 2 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan
selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From
Treatment) yaitu
berhenti minum obat.
Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hr diminum di
rumah
-
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
50 mg/hari diminum di
rumah
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18
bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan
RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT
dilakukan secara
pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5
tahun.
Rifampicin Dapson Lamprene
Dewasa 600 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hari diminum
di rumah
300 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
diminum di depan
petugas
50 mg/hari diminum
di rumah
150 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari diminum
di rumah
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan
cepat dan tepat
maka dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen
seperticlaw hand , drop
foot , claw toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal
tersebut diatas dilakukan
pengobatan Prinsip pengobatan Reaksi Kusta yaitu immobilisasi /
istirahat,
pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti
reaksi, MDT diteruskan
dengan dosis yang tidak diubah.
-
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian
analgetik dan
obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150
mg 31 selama 3-5 hari,
dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian
analgesik dan
sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah,
pemberian obat-obat
anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya
prednison.Obat-obat anti
reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 6x/hari
) , Klorokuin dengan
dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon
per ml ) yang diberikan
2-3 ml secara selang-seling dan dosis total tidak melebihi 30
ml. Antimon jarang dipakai
oleh karena toksik. Thalidomide juga jarang dipakai,terutama
padawanita
(teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan sampai
mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau
sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada
pagi hari lebih baik
walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan
perlahan-lahan (tapering
off) setelah terjadi respon maksimal.
XI.Pengobatan Kusta Untuk Situasi Khusus
Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan,
WHO expert
committe pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus,
yaitu:
a.Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada
penyakit penyerta
atau resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini,
adalah:
Lama Pengobatan Jenis Obat Dosis6 Bulan Klofazimin
Ofloksasin
Minosiklin
50 mg/hari
400 mg/hari
100 mg.hariDiikuti dengan 18 bulan Klofazimin dengan Ofloksasin
50 mg/hari
-
atau
Minosiklin 400 mg/hari
100 mg/hari
Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy
menyatakan
klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau
minosiklin pada regimen
di atas.
b.Penderita yang menolak kofazimin
Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan
kulit. Untuk itu
klofazimin pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400
mg/hari selama 12 bulan
atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan.
Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy
merekomendasikan juga
regimen MDT-MB alternatis selama 24 bulan:
-. Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,
-. Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan
-. Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan
c.Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS
Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada
penderita PB maupun
MB, obat ini harus dihentikan.
Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan
cara:
Rifampisin KlofaziminDewasa 600 mg/bln 50 mg/hari dan 300
mg/bulanAnak-anak 450 mg/bln 50 mg/hari dan 150 mg/bulan
XII.Komplikasi