BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kebudaaan merupakan hal yang sudah mulai luntur di kalangan masyarakat suatu daerah tertentu. Kebudayaan yang merupan hasil cipta, karsa, dan rasa menurut Koentjaraningrat (1976:28). Kebudayaan dimiliki oleh setiap bangsa, oleh karena itu kebudayaan dari setiap bangsa saling berbeda-beda. Wujud kebudayaan yang jumlahnya cukup banyak itu terbagi ke dalam beberapa unsur kebudayaan secara universal yang antara lain adalah sistem kepercayaan (religi), sistem pengetahuan, mata pencaharian, peraatan dan perlengkapan hidup manusia, system kemasyarakatan, bahasa, dan kesenian. Fungsi kebudayaan pada dasarnya adalah sebagai alat komunikasi, pemersatu, dan jatidiri. Oleh karena itu, kebudayaan menjadi acuan atau pedoman bagi sikap dan tingkah laku dalam pergaulan antarsesama warga masyarakat sehingga akan berpengaruh terhadap pengetahuan, pembentukan sikap, kepercayaan, dan perilaku anggota masyarakat yang bersangkutan. Pada masa sekarang, ketika kontak budaya semakin meningkat dan intensif, banyak sekali terjadi pergeseran dan perubahan dalam kehidupan masyarakat, terutama tampak sekali pada sikap dan perilaku di kalangan generasi muda. Perhatian khusus bagi generasi muda merupakan hal yang menarik karena mereka adalah penerus dan pendukung kebudayaan yang ada sekarang ini. Perubahan pandangan, pengetahuan, sikap, dan tingkah laku 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini kebudaaan merupakan hal yang sudah mulai luntur di kalangan masyarakat suatu
daerah tertentu. Kebudayaan yang merupan hasil cipta, karsa, dan rasa menurut Koentjaraningrat
(1976:28). Kebudayaan dimiliki oleh setiap bangsa, oleh karena itu kebudayaan dari setiap bangsa
saling berbeda-beda. Wujud kebudayaan yang jumlahnya cukup banyak itu terbagi ke dalam
beberapa unsur kebudayaan secara universal yang antara lain adalah sistem kepercayaan (religi),
sistem pengetahuan, mata pencaharian, peraatan dan perlengkapan hidup manusia, system
kemasyarakatan, bahasa, dan kesenian.
Fungsi kebudayaan pada dasarnya adalah sebagai alat komunikasi, pemersatu, dan jatidiri.
Oleh karena itu, kebudayaan menjadi acuan atau pedoman bagi sikap dan tingkah laku dalam
pergaulan antarsesama warga masyarakat sehingga akan berpengaruh terhadap pengetahuan,
pembentukan sikap, kepercayaan, dan perilaku anggota masyarakat yang bersangkutan.
Pada masa sekarang, ketika kontak budaya semakin meningkat dan intensif, banyak sekali terjadi
pergeseran dan perubahan dalam kehidupan masyarakat, terutama tampak sekali pada sikap dan
perilaku di kalangan generasi muda. Perhatian khusus bagi generasi muda merupakan hal yang
menarik karena mereka adalah penerus dan pendukung kebudayaan yang ada sekarang ini.
Perubahan pandangan, pengetahuan, sikap, dan tingkah laku pada diri mereka akan berdampak
besar terhadap corak dan nuansa kebudayaan di masa depan. Padahal di sisi lain, mereka itu
sangat mudah dipengaruhi oleh unsur kebudayaan baru/asing di luar kebudayaan yang dikenalnya.
Oleh karena itu, dirasa perlu untuk melakukan suatu tindakan, utamanya dalam bentuk
kampanye/pengenalan, supaya mereka mengenal kebudayaan yang hidup dan berkembang di
lingkungannya. Pengenalan tersebut pada gilirannya akan bermuara pada upaya untuk mencintai
kebudayaan sendiri, sehingga kebudayaan yang ditumbuhkembangkan tidak lepas dari akarnya.
Sebagai upaya agar memiliki keinginan dan bisa memahami perbedaan budaya, mereka harus
diperkenalkan pada aspek-aspek kebudayaan dari luar lingkup kebudayaannya sendiri. Upaya
tersebut diharapkan dapat mengikis etnosentrisme yang sempit dan meningkatkan pemahaman
bahwa budaya yang ditumbuhkembangkan masing-masing etnik merupakan jatidiri etnik yang
bersangkutan.
Dikaitkan dengan keberadaan Kampung Adat Kuta, suatu desa yang berada di penggiran
wliayah Kabupaten Ciamis, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah, sudah
memiliki ciri-ciri masyarakat yang modern, meskipun dalam pelaksanaannya masih sangat erat
kaitannya dengan aturan atau adat dan tabu yang sudah memasyarakat dari awal berdirinya
kampung adat tersebut.
1
B. Rumusan Masalah
1. Dimana letak Masyarakat Adat Kampung Kuta?
2. Bagaimanakah asal-usul Kampung Kuta?
3. Bagaimana Tradisi Khas Masyarakat Adat Kampung Kuta?
4. Bagaimana kondosi alam di dalam Kampung Kuta?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yaitu :
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
2. Untuk mengetahui dimana letak Masyarakat Adat Kampung Kuta.
3. Untuk mengetahui tradisi khas dan kebudayaan Kampung Kuta – Ciamis.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis, untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai ampung Kuta.
2. Bagi siswa, makalah ini disusun untuk membantu siswa mengetahui letak sekaligus asal-usul
Masyarakat Adat Kampung Kuta sehingga mendapat pengetahuan lebih mengenai kebudayaan
di daerah tersebut.
3. Bagi guru, makalah ini disusun untuk membantu guru agar mempermudah dalam
menyampaikan materi mengenai Masyarakat Adat Kampung Kuta dan agar dapat dijadikan
referensi bagi guru.
BAB II
KONDISI UMUM KAMPUNG KUTA
Letak Kampung Kuta
2
Kampung Kuta secara administratif berada di wilayah Kabupaten Ciamis, Kecamatan
Tambaksari, Desa Karangpaningal dan ditetapkan sebagai sebuah Dusun yaitu Dusun Kuta.
Kampung Kuta ini terdiri atas 2 RW dan 4 RT. Kampung Kuta secraa administratif berbatasan
dengan :
- Dusun Cibodas Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari di sebelah Utara.
- Dusun Margamulya Kecamatan Tambaksari di sebelah Barat
- Sungai Cijolang disebelah Selatan dan Timur yang sekaligus merupakan perbatasan
wilayah Jawa Barat dengan Jawa Tengah (Desa Bingkeng Kecamatan Dayeuhluhur
Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah)
Untuk menuju ke Kampung Kuta tersebut jarak yang harus ditempuh dari Kabupaten Ciamis
sekitar 34 km menuju ke arah utara. Dapat dicapai dengan menggunakan mobil angkutan umum
sampai ke Kecamatan Rancah. Sedangkan dari Kecamatan Rancah menggunakan sepeda motor
sewaan atau ojeg, dengan kondisi jalan aspal yang berkelok serta banyak tanjakan yang cukup
curam. Jika melewati Kecamatan Tambaksari dapar menggunakan kendaraan umum mobil sewaan
atau ojeg. dengan kondisi jalan serupa.
Secara georafis Kampung Kuta terpisah dengan kampung lain yang ada di Desa
Karangpaningal karena berada di suatu lembah yang dikelilingi tebing tegak lurus yang sekaligus
memisahkan atau menjadi batas dengan kampung lainnya. Tebing-tebing yang mangelilingi
Kampung Kuta nampak menyerupai benteng yang mengelilingi Kampung tersebut.
Sebagai daerah lembah, Kampung Kuta merupakan daerah subur. Namun demikian daerah
Kampung Kuta dan daerah lain di sekitar Desa Karanangpaningal mempunyai kondisi tanah yang
3
labil. Hal ini terjadi karena kandungan tanah di Kampung Kuta merupakan tanah gembur yang
berasal dari tanah cadas muda.
Topografi Kampung Kuta berada pada ketinggian 500 meter di atas pemukaan laut. Dengan
demikian kondisi udara Kampung Kuta cukup sejuk.
RIWAYAT SINGKAT KAMPUNG KUTA
Nama Kampung Kuta diberikan sesuai dengan lokasinya, yang berada di lembah curam
sedalam kurang lebih 75 meter dan dikelilingi oleh tebing-tebing di perbukitan, dalam bahasa Sunda
disebut Kuta (artinya pagar tembok).
Menganai asal-usul Kampung Kuta, dalam beberapa dongeng buhun yang tersebar di
kalangan masyarakat Sunda sering di sebut adanya nagara burung atau daerah yang tidak jadi atau
batal menjadi ibukota Kerajaan Galuh. Daerah ini dinamai Kuta Pandak. Masyarakat Ciamis dan
sekitarya menganggap Kuta Pandak adalah Kampung Kuta di Desa Karangpaningal sekmang.
Masyarakat Cisaga menyebutnya dengan nama Kuta Jero. Dongeng tersebut ternyata mempunyai
kesamaan dengan ceriata asal-usul Kampung Kuta. Mereka menganggap dan mengakui dirinya
sebagai keturunan Raja Galuh dan keberadaannya di Kampung Kuta sebagai penunggu atau
penjaga kekayaan Raja Galuh.
Sejak kapan berdiri Kampung Kuta, maupun asal-usul kampung tersebut, belum diketahui
secara pasti. Namun demikian, ada beberapa versi asal-usul Kampung Kuta yang diturunkan
Kuncen Kampung Kuta. Asal-usul Kampung Kuta terdiri atas dua bagian yang masing-masing
berbeda, yaitu Kampung Kuta pada masa kerajaan Galuh dan pada masa Kerajaan Cirebon.
Versi Kampung Kuta pada masa Kerajaan Galuh ini dimulai pada awal pendirian kerajaan
Galuh. Seorang raja Galuh bernama Prabu Alor Sukaresi sedang mengembara bersama beberapa
pengawal terpilih dan berpangalaman. Pengembala dilatugaskan untuk mencari daerah yang cocok
untuk mendirikan pusat pemerintahan kerajaan. Pada saat rombongan Prabu Ajar Sukaresi tiba di
tepi sungai yang bernama Cijolang, Raja melihat daereh seberang sungai atau sebelah barat cukup
menarik dan menurut penglihatannya cocok untuk di jadikan pusat kerajaan. Prabu Ajar Sukaresi
segera memerintahkan para pengawalnya untuk beristirahat dan membangun tempat peristirahatan
di ternpat tersebut. Dia sendiri akan meneliti dan maninjau secara seksama daerah seberang Sungai
Cijolang.
4
Setelah melakukan penelitian, Prabu Ajar Sukaresi memerintahkan para pengawalnya untuk
membongkar tempat peristirahatan sementara dan segera pindah ke seberang sungai untuk
memulai persiapan membuka daerah yang akan dijadikan pusat kerajaan. Bekas tempat
peristirahatan sementara yang terdapat di tepi sungai Cijolang ini, sampai sekarang daerah itu di
sebut Dodokan, artinya daerah tempat duduk atau tempat peristirahatan raja.
Prabu Ajar Sukaresl bekeliling ke daerah tersebut dan ternyata daerah tersebut dikelilingi
tebing-tebing tinggi. Melihat kondisi ini, Prabu Ajar Sukaresi beranggapan bahwa daerah ini tidak
5
dapat berkembang dan diperluas karena dibatasi tebing. Dengan terpaksa, segala persiapan yang
telah dilaksanakan untuk membangun pusat pemerintahan dibatalkan dan ditinggalkan.
Penamaan kampung ini sesuai dengan letaknya yang berada di sebuah lembah dan dikelilingi
tebing. Dalam bahasa Sunda daerah dengan kondisi demikian ini disebut Kuta.
Prabu Ajar Sukaresi dan rombongan melanjutkan pengembaraan. Setelah mengembara lama
akhirnya berhasil menemukan daerah pertemuan dua sungai yaitu Sungai Cimuntur dan Sungai
Citanduy yang cocok untuk pusat pemerintahan. Daerah ini kemudian dibangun menjadi pusat
kerajaan Galuh dan sekarang menjadi kawasan situs Karang Kamulyan.
Setelah ditinggalkannya Prabu Ajar Sukaresi, daerah Kampung Kuta tidak diketahui
kelanjutan ceritanya.
6
Versi asal-usul Kampung Kuta pada masa Kerajaan Cirebon. Diawali oleh dua kerajaan yang
menaruh perharian besar terhadap Kampung Kuta, yaitu Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Mataram
Solo. Perhatian kedua kerajaan tersebut, disebabkan para penguasanya mendapat wasiat dan
wangsit dari leluhurnya untuk memelihara dan menjaga daerah bekas peninggalan Prabu Ajar
Sukaresi.
Raja Cirebon mengutus kepercayaannya yang bernama Raksabumi agar menetap di Kuta.
Kepada Raksabumi, Raja Cirebon berpesan bahwa apabila di Kuta telah ada utusan dari kerajaan
Mataram maka sebaiknya mengalah (ngelehan maneh) dan Raksabumi tidak boleh kembali ke
Cirebon. Demikian juga Raja Solo berpesan kepada utusannya bahwa jika utusan Cirebon telah ada
di Kuta lebih dulu maka harus mengalah dan tidak boleh kembali ke Solo. Dengan adanya perintah
tersebut maka kedua utusan berusaha keras agar dapat mencapai Kuta lebih dulu.
Sebenarnya kedua utusan tiba di daerah Kuta hampir bersamaan. Akan tetapi, setelah tiba di
daerah Kuta tanpa sebab yang pasti utusan kerajaan Solo meninggalkan daerah Kuta. Raksabumi
sendiri segera membuka hutan dan membangun pemukiman di sekitar situ (danau, rawa) dan di
kenal dengan nama pamarakan, artinya tempat marak atau menangkap ikan dengan cara
mengeringkan airya. Saat ini sebagian masyarakat menyebutnya pamrekan bukan pamarakan
(pamrekan berarti dekat). Disebut demikian karena Raksabumi membangun pemukiman dekat
dengan daerah dimaksud.
Demikianlah, akhirya Raksabumi menjadi pemimpin di Kampung Kuta atau penunggu dan
penjaga daerah Kuta hingga akhir hayatnya. Setelah meninggal Raksabumi dimakamkan di Cibodas
dan dikenal kenal dengan nama Ki Bumi. Dia dianggap sebagai cikal bakal dan leluhur yang
menurunkan masyarakat Kuta.
Raksabumi adalah pemimpin pertama dan sampai sekarang Kampung Kuta tetap dipimpin
oleh keturunan Ki Bumi (Raksabumi). Keberadaan Ki Bumi di Kampung Kuta yang ditugaskan oleh
Raja Cirebon agar menjaga dan memelihara daerah bekas peninggalan Prabu Ajar Sukaresi yang
terdapat di Kampung Kuta. Peninggalan tersebut umumnya berupa tempat yang dilihat dari namanya
menunjukkan persiapan membangun pemukiman, antara lain Panday Domas (Pandai Besi tempat
pembuatan senjata dan peralatan pembangunan), Panyipuhan (tempat menyepuh peralatan perang
atau emas), gunung Apu, Gunung Semen, dan Gunung Barang yang terletak di hutan keramat.
Masyarakat Kampung Kuta mempercayai bahwa peninggalan itu di simpan di tempat keramat
yang di jaga oleh mahluk gaib yang bernama Bima Raksa Kalijaga, Sang Maetil Putih, Kyai Bima
Rakasnagara, dan Prabu Mangkurat Jagat. Oleh karena itu, masyarakat sangat patuh untuk
rnemelihara dan menjaga hutan Keramat. (1998:18)
Versi lain ditulis mengenai Pemukiman Tradisional Kampung Kuta, bahwa Kampung Kuta
telah ada sejak jaman dulu. Dimulai dengan datangnya Ampu Raksa Bima Kalijaga suruhan Prabu
7
Siliwangi untuk membuka pusat Kerajaan Galuh di Kuta. Bukit-bukit persrapan tersebut sampai kini
masih tersimpan di antaranya persiapan semen merah masih tersmpan di Gunung Semen :
peralatan rumah tangga tersimpan di Gunung Padaringan dan Panday Domas . peralatan Kesenian
tersimpan di gunung Wayang dan Gunung Batu Goong. Namun pada saat akan mendirikan kerajaan
tidak mencapai Patang Ngewu Domas pendirian keraton digagalkan, semua barang-barang yang
telah dipersiapkan seluruhnya disimpan di Gunung Barang.
Setelah itu Kerajaan Galuh berpindah ke Karang Kamulyan, sebagai gantinya ia menunjuk
anak buahnya yang berasal dari Solo yang bernama Aki Batasela untuk memelihara Kampung Kuta,
selanjutnya menugaskan anak buahnya yang lain yang berasal dari Cirebon yang bernaman Aki
Bumi. Di antara anak buah yang di tugaskan ke Kampung Kuta hanya Aki Bumi yang dapat sampai
ke Kampung Kuta, sedangkan Aki Batasela karena lambat hanya sampai Kampung Cibodas, untuk
selanjutnya bermukim di Cibodas sampai meninggal. Oleh sebab itu sampai kini setiap penduduk
Kampung Kuta yang meninggal akan dikuburkan di Cibodas, hal ini sebagai bentuk penghormatan
terhadap leluhur yaitu Aki Batasela yang meninggal di Cibodas.
Pemeliharaan Kampung Kuta selanjutnya diserahkan kepada turunan-turunan Aki Bumi secara
turun temurun yang biasa disebut dengan kuncen atau kunci. Keturunan dari Aki Bumi, yang menjadi
kuncen di Kampung Kuta adalah Aki Dano, Aki Maena, Aki Surabangsa dan Aki Rasipan.
Ada beberapa bagian yang hampir mirip dengan cerita yang dikemukakan dalam naskah dan
ada pula yang berbeda jalan ceritanya. Adapun mengenai kebenaran isi cerita atau mitos tersebut
bukanlah suatu permasalahan. Setidaknya, mitos-mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh
masyarakatnya. Lebih jauh, bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari
bentuk pemikiran mistis.
Luas Lahan dan Penggunaannya
Luas wilayah Kampung Kuta sekitar 97 hektar tanah, yang didalamnya mencakup 40 hektar
merupakan hutan lindung maupun hutan keramat dan sisanya diperuntukkan bagi pemukiman,
sawah, ladang, kebun, kolam, jalan, tanah lapang, gunung keramat, mata air keramat, dan sarana
lainnya.
Gunung yang terdapat di Kampung Kuta terdiri dari Gunung Semen, Gunung Panday Domas,
Gunung Wayang, Gunung Barang, Gunung Batu Goong, dan Gunung Barang. Nama gunung
gunung tersebut sesuai dengan legenda yang hidup di masyarakat Kampung Kuta. Serta empat
mata air yang dikeramatkan karena airya menjadi sumber kebutuhan penduduk dan tidak pernah
kering sepanjang masa. Mata air kenal mayarakat setempat dengan nama mata air Panyingkiran,
Cinangka, Cibanggara dan Ciasihan.
8
Tempat Keramat
Kepercayaan terhadap tempat-tempat keramat sama kentalnya dengan kepercayaan
terhadap makhluk gaib/makhtuk halus. Di Kampung Kuta terdapat beberapa tempat yang
kekeramatannya masih terjaga dengan baik. Tempat-tempat tersebut adalah:
1. Leuweng Gede (Leuweung Keramat)
Leweung Gede atau dikenal juga dengan nama hutan keramat, merupakan kawasan hutan
lindung yang dikeramatkan. Letak hutan ini berada di sebelah Selatan Kampung Kuta dengan luas
hampir separuh luas Kampung Kuta yaitu seluas kurang lebih 40 hektar. Selain hutannya sendiri
yang dikeramatkan, di dalamnya terdapat danau kecil (disebut kawah) dan batu (disebut kuburan)
yang sama-sama dikeramatkan. Cara atau bentuk penghormatan terhadap hutan tersebut
diberlakukan sejumlah tabu atau pamali yang diberlakukan untuk semua warga.
Kampung Kuta merupakan masyarakat adat yang masih teguh memegang dan menjalankan
tradisi dengan pengawasan kuncen dan ketua adat. Kepercayaan terhadap larangan dan adanya
mahluk halus atau kekuatan gaib masih tampak pada pandangan mereka terhadap tempat keramat
berupa hutan keramat. Hutan keramat tersebut sering didatangi oleh orang-orang yang ingin
mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup. Hanya saja, di hutan keramat tersebut tidak
boleh meminta sesuatu yang menunjukkan ketamakan seperti kekayaan.
2. Gunung Wayang
Gunung Wayang merupakan gunung yang dikeramatkan penduduk Kampung Kuta tepatnya
di sebelah Utara kampung. Gunung ini dikeramatkan karena terkait erat dengan kisah asal-usul
Kampung Kuta. Menurut penuturan beberapa informan, disebut Gunung Wayang karena di gunung
itulah beberapa persiapan kesenian termasuk wayang disimpan, pada saat Ambu Rama Raksa Bima
Kalijaga akan menjadikan kawasan Kuta sebagai pusat pemerintahan Raja Galuh.
9
3. Gunung Pandai Domas / Gunung Tahanan
Lokasi gunung ini terletak di sebelah Barat Kampung Kuta, dikeramatkan karena masih
memiliki rangkaian cerita dengan gunung-gunung lainnya yang dikeramatkan.
4. Gunung Barang
Gunung Barang yang terletak di sebelah Barat Daya kampung, dikeramatkan oleh penduduk
karena memiliki nilai historis, yaitu gunung ini dijadikan tempat menyimpan barang-barang yang
akan dipakai untuk membuka pusat kerajaan Galuh. Barang-barang yang telah dipersiapkan
ternyata tidak dipergunakan mengingat pembukaan pusat kerajaannya tidak jadi maka barang-
barang tersebut tidak di bawa pulang, melainkan disimpan dan ditimbun di Gunung Barang.
5. Gunung Batu Goong
Gunung Batu Goong masih berada di kawasan Kampung Kuta letaknya di sebelah Timur Laut.
Gunung ini dikeramatkan karena di gunung ini tersimpan goong (gong) pada saat akan dibuka wilayah
pusat pemerintahan Kerajaan Galuh. Menurut cerita di gunung ini terdapat sebuah batu yang
bentuknya mirip goong (gong).
6 Ciasihan
Ciasihan merupakan sebuah mata air terletak hampir di tengah-tengah Kampung Kuta.
Ciasihan dikeramatkan karena sepanjang masa airnya tidak pernah surut atau tidak pernah meluap.
Jika dilihat dari namanya, Ciasihan yaitu cai (air) yang memiliki asih (kasih sayang) artinya air
tersebut dipercaya dapat menimbulkan rasa kasih sayang dari seseorang kepada orang lain.
Untuk sarana perlengkapan lain seperti sumber air di kampung Kuta tidak ada yang
menggunakan sumur, tetapi mereka menggunakan sumber mata air yang berasal dari perbukitan
sekitar tempat tinggal mereka yang biasa mereka sebut ci asihan (air kehidupan). Ci asihan tersebut
terdapat di beberapa titik sekitar pemukiman dan sumber airnya tidak akan habis atau kering
walaupun dimusim kemarau, melainkan hanya sedikit berkurang saja. Dalam pemanfaatan guna
keperluan sehari-hari warga hanya boleh mengambil dari sumbernya sebanyak apapun mereka 10
membutuhkan, akan tetapi tidak boleh dialirkan langsng ke rumah menggunakan pipa. Air dari ci
asihan sangatlah jernih dan tidak berkerak jika di rebus untuk keperluan minum, maka air itu
memang layak konsumsi selain juga digunakan untuk mandi jika yang memiliki kamar mandi
sederhana di rumahnya.
Cara lain sebagai bentuk penghormatan atau pengkeramatan tabet-tabet tersebut yaitu
dengan memelihara kelestarian lingkungan alamnya dengan cara memberlakukan beberapa tabu di
tempat-tempat itu, serta ancaman yang keras bagi setiap perusak atau pelanggar tabu.
KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Jumlah penduduk Dusun Kuta pada tahun 2010 sebanyak 325 jiwa terdiri atas jumlah
penduduk laki-laki sebanyak 159 jiwa dan panduduk perempuan 166 jiwa dengan jurmlah kepala
keluarga sebanyak 126 Kepala Keluarga. Jumlah rumah yang berada di kawasan Kuta Dalam (Kuta
Jero) sebanyak 116 rumah, sedangkan di Kuta Luar sebanyak 5 rumah.
Mata Pencaharian Penduduk Kampung Kuta
Mata pencaharian utama penduduk kampung Kuta adalah bertani, menggarap padi di
sawah dengan sistem dan peralatan pertanian yang tradisional. Mata pencaharian lain juga
dilakukan hampir semua penduduk adalah pembuatan atau pengolahan gula kawung. Mata
pencaharian warga yang terkonsentrasi kedua bidang dikarenakan adanya aturan adat yang tidak
membolehkan arganya untuk menjadi pegawai negeri sipil maupun militer, selain itu dikarenakan
faktor lingkungan alam yang menunjang untuk kedua bidang tersebut.
Kegiatan mengolah tanah dalam proses pertanian merupakan kegiatan rutin yang sepanjang
tahun dilakukan. Sistem pengairan yang bersistem tadah hujan atau hanya mengandalkan air pada
musim hujan menjadi kelemahan sistem pertanian di kampung adat Kuta dan hal itulah yang
membuat musim panen terjadi hanya 2 kali dalam setahun. Pola persawahan di dusun Kuta
berbentuk terasering atau sengked, maka sistem pengairannya bergantian dari sawah yang lebih
tinggi mengalir ke sawah yang lebih rendah itu dimaksudkan agar pengairannya merata ke setiap
sawah warga.
Masa tanam padi dari menanamkan benih padi berumur 100-120 hari tergantung varietas
padi yang di tanam. Cara membajak atau mengolah tanah pertanian ada yang masih menggunakan
kerbau dalam membajak dan masih menggunakan pupuk organik dari kotoran hewan ternak. Hasil
panen dalam 1 hektar bisa mencapai 35 Kwintal. Jika terjadi kekeringan maka padi mereka akan
puso atau gagal panen dan berganti menanam tanaman palawija.
11
Dalam proses pengolahan lahan pertanian, masyarakat Kampung Kuta memiliki tradisi
secara turun-temurun dijadikan pedoman dalam bertani. Tradisi itu antara lain:
1. Setelah musim hujan tiba, penduduk secara gotong royong membersihkan saluran air dari
kotoran sampah dan rumput-rumput yang dapat mengganggu kelancaran air.
2. Ketika sawah mulai basah, petani mulai menggarap lahan dengan melakukan nyambut
dengan dicangkul atau menggunakan sapi dan bersamaan dengan itu pada lahan yang lebih
kecil mereka melakukan tebar. Nyambut (membajak) adalah kegiatan yang dilakukan untuk
menggemburkan tanah yang dalamnya lebih kurang 30 cm sehingga lahan yang semula tidak
rata dan keras karena sebelumnya dipergunakan untuk menanam palawija menjadi lahan
yang memungkinkan untuk ditanami padi. Sedangkan tebar adalah kegiatan dimana petani
menaburkan bibit padi dalam jarak yang sangat rapat pada lahan dengan jumlah dan ukuran
yang relative karena disesuaikan dengan kebutuhan bibit yang akan ditanam di sawah kelak
(umumnya dalam ukuran 1 x 3 meter). Tebar biasanya memerlukan waktu 25 hari sampai
dengan bibit siap tanam.
3. Setelah nyambut. Berikutnya menghaluskan galeungan (pematang sawah) agar air disawah
tidak cepat mengering karena asanya rembesan dan sawah yang usai disambut dibiarkan
selama lebih kurang empat hari agar rumput dan tanaman lain yang ada di sawah membusuk
dan menjadi pupuk organic.
4. Ngagaru adalah tahapan berikutnya dimana dalam kegiatan ini tanah yang sudah gembur
sehabis disambut diratakan sehingga tidak ada lagi bagian-bagian tanah yang terlalu menonjol
ke permukaan atau terlalu menjorok kedalam. Dalam proses ngagaru selain manusia yang
memegang peran sentral sebagai pengendali.
12
5. Ngangler, adalah masa penantian dimana tanah yang sudah ngaci (gembur) dibiarkan
selama dua atau tiga hari agar tanah menjadi agak padat.
6. Pagi hari menjelang tandur yang biasanya dilakukan oleh ibu-ibu, para bapak melakukan
ngagarit. Ngagarit adalah kegiatan membuat garis dengan ukuran 22 x 22 cm pada lahan
yang akan ditanami padi. Kegiatan ini dilakukan agar padi yang akan ditanam (ditandur) selain
tegak berdiri juga berbaris rapi sejajar.
7. Selang tujuh sampai sepuluh hari setelah tandur danpadi sudah dianggap mampu
menyesuaikan diri dengan kondisi sawah, petani melakukan pemupukan.
8. Lima belas sampai dua puluh hari setelah pemupukan biasanya diantara tanaman padi
tumbuh rerumputan yang jika dibiarkan akan mengganggu pertumbuhan padi. Kegiatan untuk
membersihkan rumput di sekitar padi itu disebut ngoyos/ngabaladah yang dilakukan oleh ibu-
ibu secara gotong-royong.
Dalam sekali musim tanam, ngoyos biasanya dilakukan lebih dari satu kali, biasa dua atau tiga
kali tergantung pada cepat dan banyaknya rumput yang tumbuh dan mengganggu
perkembangan padi. Kegiatan ngoyos yang kedua atau ketiga disebut malenan
(pengulangan). Setelah kegiatan malenan, petani kembali melakukan pemupukan dan
bersamaan dengan itu melakukan babad galeng.
9. Penyemprotan dengan menggunakan insektisida dilaksanakan setelah padi berusia 40 hari
dan dimaksudkan agar gulma dan hama pengganggu tanaman dapat dimusnahkan.
10. Setelah berusia 105 hari sejak ditandur, biasanya padi sudah siap di panen. Malam hari
menjelang panen, pemilik sawah mengundang para tetangga datang ke rumahnya untuk
melaksanakan doa-doa (maleman) guna mensyukuri berkah dari karuhun karena diberi
kesempatan untuk memetik hasil pertaniannya. Sebagian kecil sesaji yang dihidangkan dalam
acara maleman disisihkan, kemudian dipincuk dan menjelang matahari terbit pemilik sawah
menyimpan pincukan sesaji itu di pematang sawah yang siap dipanen, proses ini disebut
nyangkreb.
11. Setelah panen, padi dijemur sampai kering dan siap ditumbuk. Padi digiling atau di heleur,
tetapi menurut adat sebagian padi harus ditumbuk di lisung yang dikerjakan oleh ibu dan anak
gadisnya, sisa padi yang belum ditumbuk disimpan di leuit (di gudang) dan diambil sesuai
kebutuhan.
12. Beras hasil tumbukan pertama disebut beas anyar yang dianggap beras yang paling enak
karena hasil yang baru di panen, beras ini juga tidak dinikmati untuk sendiri namun sebagian
dikirim kepada orang yang paling dihormati atau disayangi seperti kepada sanak saudara.
13
Selain hidup dari hasil pertanian, masyarakat dusun kuta juga melakukan pembuatan gula
kawung. Proses pembuatan gula kawung ini tidak hanya dilakukan para bapak sebagai penyadap
kawung, namun juga melibatkan ibu-ibu dalam pengolahannya. Pembuatan gula kawung dilakukan
hamper seluruh masyarakat kampung Kuta juga mengiuti aturan secara turun temurun. Adapun
aturan itu adalah:
1. Pohon kawung yang sudah mengeluarkan empat sampai lima tagkai caruluk dan satu atau
dua leungan langari, pertanda pohon kawung sudah siap di deres (diambil lahangnya). Pohon
kawung yang untuk pertama kalinya dideres disebut dijenah.
2. Kawung yang sudah layak deres selain pohonnya sudah cukup tinggi biasanya juga dipenuhi
kotoran yang menempel dan harus dibersihkan (ngabalukang) diperlukan alat berupa tangga.
Tangga terbuat dari batang bamboo yang tiap ruasnya dilubangi kedua sisinya untuk
ditancapkan sepotong kayu sebagai pijakan. Bamboo sebagai tangga ini disebut sigay yang
akan terus menempel di pohon selama pohon itu layak deres.
3. Setelah sigay ditempelkan, didikat kuat dipohon dan langari sudah dapat dijangkau dengan
tangan, selanjutnya dilakukan ninggur, ninggur merupakan proses penggemburan langari
dengan cara dipukul berulang-ulang selama satu sampai dua minggu agar lahang terangsang
keluar.
4. Magas yaitu memotong bagian ujung langari yang sudah ditinggur sehingga yang tersisa
dipohon tinggal 30-40 cm. kemudian dibungkus dengan kaworo dan injuk. Setelah dibiarkan
dalam kondisi itu dalam waktu seminggu barulah lodong berfungsi sebagai penampung lahang
atau nira didalamnya sudah diisi batu beneur sebesar jempol kaki, beberapa ranggeuy atau
helai padi, dan beberapa helai daun raru dimasukan, diikat dipohon dibiarkan untuk beberapa
lama. Pembungkusan langari dengan daun kaworo dan injuk, serta dimasukannya batu
beneur, daun raru dan beberapa ranggeuy padi kedalam lodong ini diyakini akan merangsang
lahang juuh (air nira keluar banyak). Proses memasukan langari yang sudah siap di magas
kedalam lodong penampungan lahang disebut nyadap.
5. Nyadap biasanya dilakukan di pagi hari sebelum pergi atau sore hari sepulang bekerja
disawah atau ladang. Jika nyadap dilakukan sore hari, maka lodong yang terisi lahang akan
diambil dan diganti dengan lodong baru pada pagi hari berikutnya, untuk kemudian diambil
dan diganti lagi dengan lodong baru pada sore hariya. Demikian seterusnya, hingga satu
pohon akan berproses selama satu sampai tiga bulan sampai lahang tidak menetes lagi
6. Tahap berikutnya adala proses pengolahan lahang menjadi gula, disinilah ibu-ibu yang
memegang peran. Lahang yang terkumpul dari beberapa lodong dimasukan kedalam kuali
besar yang kemudian digodog atau dimasak diatas tungku yang biasa disebut hawu dengan
api bersumber dari kayu yang membara sambil diaduk terus menerus dalam waktu empat
14
sampai enam jam hingga lahang menjadi peu’eut (lahang yang mengental dan berwarna
merah.
7. Selanjutnya ke dalam peu’eut dimasukan biji pohon jarak, yang bertujuan agar cepat
mengeras ketika dicetak.
8. Untuk memasyikan peu’eut siap dicetak maka dilakukan duga (kira-kira) dengan cara
mengambil lima sampai sepuluh tetes peu’eut lalu dimasukan kedalam air mentah. Jika
peu’eut yang dimasukan kedalam air itu mengeras dalam waktu beberapa detik itu pertanda
peu’eut siap dicetak.
9. Kuali yang berisi peu’eut diangkat dari hawu dan diletakan diatas leuleur 9berbentuk
lingkaran dan terbuat dari kayu waru) agar posisi stabil. Setelah itu, cetakan gula yang terbuat
dari irisan bambu gelondongan yang jumlahnya banyak diletakan diatas ebeg (nyiru berukuran
30 x 50 cm), kemudian diisi dengan peu’eut yang diambil dari kuali dengan mengguanakan
guguis (sendok kayu) sampai peueut habis. Untuk membersihkan kuali digunakan sosodok
yang terbuat dari ruyung kawung. Peu’eut yang sudah mengeras dalam cetakan itulah yang
selanjutnya disebut gula kawung. Setelah gula kawung dilepas dari cetakannya maka dikemas
dengan daun aren sehingga siap jual.
Disamping penduduk kuta sebagai petani dan penyadap kawung, mereka umumnya juga
melakukan kegiatan yang bisa menghasilkan uang, sperti halnya bertanam palawija disawah yang
kekeringan saat kemarau. Adapun juga mereka memelihara ikan di kolam yang mereka miliki untuk
dinikmati hasilnya baik untuk konsumsi sendiri maupun untuk dijual. Pengairan kolam hanya
mengandalkan air hujan dan sember mata air di kampung Kuta yang biasa disebut ciasihan (air
kehiduan) yang dialirkan oleh warga.ckeuntungan merekamemelihara ikan di kolam adalah bisa
dipakai sebagai tempat buang air besar yang sekaligus sebagai sumber makanan ikan.
Tidak hanya itu saja, penduduk juga biasa memelihara hewan ernak sperti kambing atau
sapi yang biasanya bisa dijual saat musim kurban ataupun bisa dijual saat ada keperluan mendesak.
Perawatan hewan ternak yang bisa dilakukan sambil bertani maka warga kampung kuta bisa dengan
mudah merawat dan mengurusnya, karena cukup diberi makan rumput yang di arit (di apotong) dari
perswahan atau kebun serta tidak kalah penting secara rutin membersihkan kandangnya.
Keuntungan dari beternak hewan adalah kotorannya yang bisa dijadikan pupuk kandang tanaman
bahkan tanaman padi juga menggunakannya.
Mata pencaharian penduduk Kampung Kuta secara umum tidak terlepas dari dunia pertanian
namun jika dilihat dari masing-masing pekerjaan nya cukup bervariasi antara lain, pengrajin gula
aren, pengrajin anyaman bambu, kuli bangunan, mandor, bertani, beternak dan jenis pekerjaan lain
yang sesuai dengan keadaan lingkungannya.
15
Pengrajin gula aren menjadi mata pencaharian sebagian besar penduduk, sehingga produksi
gula aren dapat dianggap sebagai produk unggulan di Kampung Kuta. Jumlah pohon aren yang ada
di Kampmg Kuta sebanyak 985 pohon yang masih produktif. Setiap keluarga di Kampung Kuta rata-
rata memiliki 7 atau 8 pohon aren produktif yang setiap harinya dideres (diambil air niranya), dengan
penghasilan gula aren sebanyak 1,5 kg per hari. Hasil gula mereka dijual ke kota, termasuk
diantaranya ke Jaliarta.
Kini, beberapa penduduk Kampung Kuta mencoba membudidayaan udang windu.
Percontohan budidaya udang windu ini dilakukan di pinggir surgai Cijolang yang kualitas dan
kuantitas airnya telah diyakini dapat dipakai rurtuk mengairi empang-empang udang. Budidaya
udang windu ini jika berhasil akan menambah jumlah komoditi usaha masyarakat yang memiliki nilai
jual tinggi.
Tingkat Pendidikan Penduduk Kampung Kuta
Minat penduduk Kampung Kuta terhadap pendidikan relatif rendah, terutama minat untuk
melanjutkan ke jenjang Sekolah Lanjutan Menengah Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah
Tinglat Atas (SLTA), meskipun sudah ada salah satu putra daerah dari kampung kuta yang telah
meyelesaikan jenjang pendidikan sarjana (S1)1. Rata-rata penduduk hanya menamatkan jenjang
Sekolah Dasar (SD). Pada tahun 2010, penduduk yang berhasil menamatkan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama hanya 24 orang dan menamatkan sekolah Lanjutan Tingkat Atas hanya 24 orang.
Alasan utama melaksanakan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi disebabkan oleh
kondisi serta alasan lainnya termasuk jarak ke lokasi sekolah yang jauh.
Jarak tempuh ke SLTP terdekat terletak di Kecamatan Tambaksari yang membutuhkan waktu
dua jam berjalan kaki. Jarak ke SLTA harus ke Kota Ciamis atau Banjar.
Sebagai pengisi kekosongan waktu anak-anak (usia sekolah), mereka membantu orang
tuanya menyadap aren, menyabit rumput, atau pekerjaan rumah tangga. Walaupun secara
akademis penduduk Kampung Kuta relatif rendah namun etos kerja mereka relatif tinggi. Mereka
bersedia melakukan apa saja yang dinilainya halal, terutama pekerjaan-pekerjaan yang
berhubungan dengan pertanian dan perkebunan, apalagi jika pekerjaan-pekerjaan tersebut dinilai
dapat meningkatkan potensi kampung.
TABU DAN ATURAN/ADAT SERTA UPACARA ADAT
Tabu
Uraian berikut beberapa Tabu masyarakat Kampung Kuta dalam bahasa Sunda dengan
terjemahannya dalam bahasa lndonesia serta penjelasan nilai-nilai yang terkandung dalam
ungkapan tersebut.
16
1. Teu kenging disapatu atawa disendal, teu kenging make emas lamun rek asup ka tempat
keramat, artinya: Tidok boleh menggunakan sepatu atau sandal, tidak boleh memakai perhiasan dari
emas jika mau memasuki tempat-tempat keramat. Tabu ini mengandung nilai bahwa masyarakat
Kampung Kuta sangat menghormati sikap-sikap yang sederhana, bersahaja. "kebersamaan dan
patuh kepada norma-norma sosial yang berlaku. Mereka memiliki sifat religius yang sangat tinggi
serta menghormati peningglan leluhur, yaitu tempat keramat. Tempat keramat yang dimaksud
adalah sebuah kawasan hutan yang dihuni oleh makhluk-makhluk gaib yang baik, yang menguasai
dan senantiasa menjaga Kampung Kuta. Setiap orang yang akan memasuki hutan tenebu tidak
boleh menggunakan sepatu sandal serta perhiasan.
2. Teu kenging nyiduh, kahampangan, kabeuratan ditempat karamat, artinya: Tidak boleh
meludah, buang air kecil, buang air besar di tempat keramat. Tabu tersebut merupakan kearifan
tradisional yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersihan dan kesopanan. Pemeliharaan
hubungan alam dengan manusia yang selaras dan seimbang pun tercermin dalam ungkapan
tersebut. Jika orang meludah, membuang air kecil bahkan air besar maka akan menyebabkan
lingkungan alam akan terc€mar'
3. Jalma nu maot teu meunang dipendem di Kuta, artinya; Setiap orang yang meninggal
tidak boleh dikubur di Kampung Kuta. Tabu ini mencerminkan keprercayaan masyarakat Kampung
Kuta terhadap mitos leluhur dan penghargaan terhadap leluhurnya' Salah seorang karuhun
masyarakat Kampung Kuta yaitu Ki Bumi dimakamkan di cibodas, maka sebagai bentuk
penghormatan terhadapnya, setiap yang meninggal akan dikuburkan di Dusun Cibodas. Mitos yang
dipercayai masyarakat Kampung Kuta bahwa dibawah tanah Kampung Kuta tersimpan harta karun
peninggalan nenek moyangnya, yaitu Ratu Galuh. Mereka berkewajiban untuk memelihara harta
karun tersebut oleh karena itu, dilarang menggali tanah di Kampung Kuta karena kalau digali
(melanggar tabu) maka arwah para leluhur akan murka dan Kampung Kuta dapat musnah tertimbun
tanah. Kepercayaan mereka ini, didukung dengan keadaan tanah di Kampung Kuta yang merupakan
endapan rawa yang sifatnya labil sehingga kalau digali terlalu dalam akan mengakibatkan longsor.
Selain itu dalam persepsi masyarakat terdapat kepercayaan bahwa tanah Kuta harus selalu suci,
sedangkan mayat sifatrya kotor karena telah banyak dosa. Maka untuk tetap memelihara kesucian
tanah setiap orang yang meninggal, terutama orang dewasa dilarang untuk dimakamkan di
Kampung Kuta.
4. Teu kenging ngadamel bumi ku tembok, suhunan teu kenging ku kenteng, namung kedah
ku kiray atanapi injuk, artinya : Tidak boleh membuat rumah dari bahan tembok atap tidak boleh
menggunakan genting tetapi harus menggunakan alang- alang atau ijuk.
Tabu ini menunjukkan satu simbol jika bahan-bahan yang berasal dari tanah (tembok dan
genting) serta tempatnya melebihi batas kepala manusia sama artinya manusia berada dalam tanah
17
atau dikubur, artinya sama dengan orang yang mati, padahal di dunia ini manusia hidup tidak boleh
seperti orang mati yang tidak berdaya. Tujuan lain dari tabu ini sama halnya dengan tabu-tabu lain
yang berhubungan dengan kondisi tanah di Kampung Kuta yang labil. Jika rumah dari tembok dan
beratap genting tentu akan menambah bobot tekanan terhadap tanah, hal ini dikhawatirkan rumah
akan melesat dan ambruk, kemungkinan akan membahayakan keselamatan penghuninya.
5. Teu kenging ka cai wayah bedug, artinya : Tidak boleh pergi ke air/ kejamban pada saat
tengah hari atau dzuhur. Tabu ini menunjukkan kepercayaan masyarakat Kampung Kuta terhadap
mahluk atau roh halus sebagai pengganggu dan pemelihara. Roh/mahluk pengganggu biasanya
berkeliaran pada waktu dzuhur dan menjelang maghrib (sareupna) ditempat-tempat pemandian. Jika
hal ini dilanggar, sipelanggar akan kesurupan atau akan sakit.
Secara logis larangan tersebut sangat berhubungan dengan kesehatan manusia. Tengah hari
matahari sedang pada puncaknya termasuk suhu tubuh' jika pada saat suhu tubuh disiram air dingin
akan menyebabkan penurunan yang drastis suhu tubuh Secara mendadak akibatnya yang
bersangkutan akan pingsan atau masuk angin. Begitupun pada saat maghrib udara sudah dingin,
jika memaksakan mandi tubuh akan kedinginan yang tentunya akan berakibat sakit.
6. Lalaki teu kenging ka goah, artiya : Laki- laki tidak boleh memasuki tempat penyimpanan
beras atau keperluan dapur (apalagi mengambilnya). Tabu ini mengandung nilai bahwa di Kampung
Kuta telah menetapkan pembagian kerja antara laki- laki dan perempuan. Laki -laki bertugas
mencari nafkah (di luar rumah) dan perempuan memasak serta menyiapkan makanan di dapur (di
dalam rumah). Jika seorang laki- laki mengerjakan pekerjaan perempuan dipandang rendah dalam
kultur masyaraka! demikian pula sebaliknya, situasi terebut menunjukkan adanya saling percaya
antara suami dan istri.
7. Teu kenging diuk dina lawang panto, artinya : Tidak boleh duduk diambang pintu. Tabu ini
biasanya ditujukan kepada anak-anak. Kepada anak perempuan biasanya ditambah dengan kalimat
bisi nongtot jodo maksudnya susah mendapatkan jodoh, dan kepada anak laki-laki menggunakan
kalimat bisi loba halangan maksudnya dikhawatirkan banyak rintangan dalam melakukan suatu
pekerjaan.
Dalam tabu ini mengandung ajaran pendidikan agar anak laki-laki mau berusaha dan bekerja
keras, sedangkan perempuan harus dapat menjaga harga diri kawaanitaannya, secara logis
larangan ini dimaksudkan agar yang duduk tidak menghalangi orang lain yang lalu lalang, tidak
mustahil tamu yang akan datang pun dapat membatalkan kunjungan. Duduk di ambang pintu pun
dapat menyebabkan masuk angln sebab angin yang masuk melalui pintu sangat kencang.
8. Teu kenging nyiaran sareupna, artinya ; Tidak mencari kutu pada saat magrib. Tabu ini
ditujukan kepada anak perempuan, orang tua dilarang melakukan pekerjaan itu karena pada waktu
18
maghrib adalah waktu untuk beribadah. Secara harfiah, apabila pekerjaan ini dilakukan akan dapat
membuat kerusakan pada mata karena telah berkurangnya sinar matahari.
9. Ngaran teu meunang tina bahasa jawa kudu sunda, Nama tidak boleh menggunakan
bahasa jawa, harus dari bahasa Sunda. Dalam tabu tersebut tercermin fanatisme daerah. Daerah
Sunda adalah peninggalan nenek moyangnya, oleh karena itu, untuk menjaga kelestariannya maka
nama orang sunda harus menggunakan Bahasa Sunda tidak boleh dari Bahasa Jawa.
10. Teu meunang turun ka ranjang atawa naek ka raniang, artinya : Tidak boleh menikahi adik
ipar atou kakak ipar apabila salah satu pasangan suami atau istri meninggal dunia. Tabu ini
ditujukan kepada orang yang ditinggal mati oleh suami atau istrinya, tidak boleh menikahi adik atau
kakak suami atau istrinya' Maksudnya untuk memperluas persaudaraan sebab jika perkawinan
hanya dilakukan antar saudara akan mempersempit tali persaudaraan, jika hal tersebut dilakukan
anggapan masyarakat Kampung Kuta akan menyebabkan anak yang lahir akan cacat bawaan.
11. Istri nu ngandeg teu kenging nganggo sinjang jangkung, artinya : Tidak boleh memakai
kain panjang terlalu tinggi ke atas. Tabu ini ditujukan kepada perempuan yang sedang hamil agar
tidak terlihat aurat.
Maksud sinjang jangkung adalah pemakaian kain yang dililitkan antara lutut hingga dada. oleh
karena ukuran lebar kain hanya 12 cm, maka apabila dipakai terlalu rendah akan terlihat aurat
bagian atas. Selain itu, masyarakat Kampung Kuta percaya bahwa jika Seseorang melanggar akan
mudah dimasuki oleh syetan
12. Teu meunang dahar bari nangtung, arinya : Tidak boleh makan sambil berdiri. Tabu ini
biasa digunakan orang tua untuk mendidik anaknya agar mereka senantiasa mempunyai sifat
disiplin sertra sopan santun, baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. Masyarakat
Kampung kuta beranggapan bahwa orang yang makan sambil berdiri tidak sopan terhadap orang-
orang disekitarnya serta tidak sopan terhadap leluhur.
13. Lamun indit-inditan kudu mawa obor, artinya : Apabila berpergian (diwaktu malam) harus
membawa obor (lampu minyak tanah yang biasanya terbuat dari ruas bambu). Tabu ini
menunjukkan keadaan alam Kampung Kuta yang banyak dirimbuni pepohonan membuat suasana
malam sangat gelap. Ungkapan ini biasanya ditujukan kepada orang yang akan menjemput paraji
atau dukun beranak. Dalam masyarakat Kampung Kuta terdapat kepercayaan bahwa orang yang
menjemput paraji biasanya diikuti oleh mahluk halus pengganggu seperti kuntilanak yang bertujuan
menganggu wanita sedang hamil atau mau melahirkan. Mahluk halus tersebut takut dengan cahaya,
oleh karena itu, disarankan untuk selalu menggunakan obor.
14. Lamun nyadap ulah nyolendangkeun sarung, artinya : Apabila akan menyadap (air nira)
tidak boleh berselendang sarung. Tabu ini merupakan nasihat kepada para penyadap yang akan
mengambil air lahang (air nira). Jika menyadap sambil berselendang sarung dikhawatirkan akan
19
tersangkut pada pelepah daun enau dan orang tersebut terjatuh. Dalam tabu ini terkandung pesan
bahwa dalam bekerja itu seseorang harus disiplin, baik dalam penggunaan peralatan kerja atau
dalam pakaian kerja
15. Tujuh poe sanggeus nikah teu meunang sakamar, artinya : Tujuh hari setelah menikah
(mengucapkan akad nikah) pengantin tidak boleh tidur sekamar. Larangan ini muncul karena
pernikahan jaman dulu yang terjadi dengan cara dijodohkan orang tua sangat mungkin diantara
keduanya tidak saling mencintai atau rasa cinta hanya dimiliki oleh salah satu orang, oleh sebab itu
untuk mengantisipasi perceraian akibat ketidaksukaan terhadap pasangannya, mereka tidak boleh
tidur sekamar, dengan harapan jika terjadi perceraianpun si gadis masih tetap perawan.
16. Tujuh poe samemeh disepitan, teu kenging lulumpatan, artinya : Tujuh hari sebelum
disunat, anak yang akan disunat tidak boleh berlari-lari (bermain-main). Tabu tersebut merupakan
ungkapan sayang orang tua terhadap anaknya yang akan disunat.Tabu tersebut erat hubungannya
dengan masalah kesehatan anak yang akan disunat. Dengan main berlari-larian dikhawatirkan pada
saat disunat akan sakit atau banyak mengeluarkan darah.
17. Teu menang kacai sareupna, artinya ; Tidak boleh kejamban pada hari menjelang malam
atau saat magrib. Tabu tersebut lebih ditujukan kepada wanita yang sedang hamil. Makna yang
terkandung dalam tabu tersebut berupa nasehat bahwa sebaiknya mandi tidak terlalu sore atau
malam hari karena udara dingin . Letak kamar mandi yang jauh dari rumah dikhawatirkan
membahayakan wanita hamil misalnya jatuh terpeleset, mengingat rata-rata penglihatan orang pada
saat itu sudah tidak jelas karena hari gelap.
18. Parawan teu meunang lila-lila di cai, artinya : Seorang gadis atau perawan tidak boleh
terlalu lama dijamban. Makna yang terkandung berupa nasihat kepada seorang gadis. Secara mistis
dipercaya benar bahwa kuntilanak senang bermain air, hingga jika berlama-lama di jamban
dikhawatirkan diganggu kuntilanak. Secara logis jika berlama-lama di air akan kedinginan. Alasan
lainnya berkaitan dengan masalah etika, yakni jika mandi terlalu lama, tubuh yang tidak tertutup
sehelai baju akan lama terlihat orang lain.
19. Ulah moyok urang Kampung Kuta, artinya; Tidak boleh menghina orang Kampung Kuta.
Larangan ini sebenarnya bukan hanya berlaku untuk orang kuta, tetapi berlaku juga untuk orang lain.
Sikap menghina orang lain adalah sikap salah, orang yang dihina belum tentu labih rendah daripada
orang yang menghina. Tabu ini pun bermakna bahwa manusia di mata Allah memiliki kedudukan
sama, tidak dibedakan oleh kekayaan, kedudukan, melainkan dibedakan oleh amal perbuatannya.
20. Nu kakandungan teu meunang ngadahar butuh, artinya '. wanita hamil tidak boleh
memakan kelapa yang sudah berkecambah(hampir menjadi kitri). Tabu ini berisi nasehat kepada
wanita hamil untuk tidak memakan buah kelapa yang sudah hampir tumbuh tunas. Larangan ini
berdasarkan pada kepercayaan bahwa pelanggaran terhadap larangan ini akan mengakibatkan bayi
20
yang dilahirkan kelak akan terjangkit Panas. Alasan ini sangat rasional sebab buah kelapa yang
hendak muncul tunasnya dalam keadaan asam dan dapat menggugurkan kandungan sama halnya
jika memakan buah nanas muda.
Pengetahuan masyarakat mengenai waktu khususnya tentang musim penghujan dan musim
kemarau pertama didasarkan kepada kebiasaan atau rata-rata musim berdasarkan walku. Bulan-
bulan yang berakhiran ber-beran seperti september, Oktober, Nopember, sampai Desember
dipercayai sebagai musim penghujan, sedangkan mulai bulan Maret, Suku kata ret diartikan
berhentinya kucuran air hujan, berarti mulai bulan-bulan itu akan datang musim kemarau. Tanda-
tanda alam yang menandai musim tersebut biasanya jika akan musim penghujan suhu udara
dirasakan panas, sedangkan jika akan datang musim kemarau udara dingin menusuk tulang.
Tanda-tanda musim kemarau yang dikaitkan dengan flora biasanya menjelang musim
kemarau pohon jati akan berbunga dan pohon mahoni daunnya akan berguguran. Sedangkan ciri-
ciri yang diperlihatkan oleh fauna atau binatang terutama oleh turaes (semacam serangga kecil) jika
musim kemarau akan tiba, turaes akan berbunyi terus menerus sepanjang hari, begitupun capung
akan beterbangan dalam jumlah banyak.
Pengetahuan perbintangan untuk menentukan musim tanam dan musim panen sudah tidak
digunakan lagi. Penyebabnya antara lain karena keterbatasan pengetahuan mengenai ilmu alam
falak, disamping itu iklim sekarang tidak dapat diramalkan. Penentuan musim tanam dan musim
panen, umumnya didasarkan pada kebiasaan masyarakat sekitar, dalam arti yang lain mulai
menanam, maka masyarakat Kampung Kuta pun mulai menanam, demikian seterusnya. Ditambah
lagi kepercayan masyarakat Kampung Kuta jika akan mulai musim tanam atau musim panen selalu
menanyakan kepada Puun (tetua kampung) dalam penentuan waktunya.
Pengetahuan tentang teknologi modern bagi masyarakat Kampung Kuta, seperti radio,
televisi, dan kendaraan bermotor, nampaknya hanya sekedar tahu sampai batas memakai, tanpa
mengetahui teknologinya secara mendalam.
Aturan Adat Masyarakat Kampung Kuta
Bentuk kepercayaan terhadap hari baik dan hari buruk masih dianut serta dipergunakan oleh
masyarakat Kampung Kuta. Perhitungan hari tersebut digunakan untuk menentukan saat-saat yang
baik dan kurang baik dalam memulai kegiatan, umumnya perhitungan didasarkan kepada nama
orang yang akan menyelenggarakan kegiatan berdasarkan naptu hari, naptu bulan, dan weton (hari
kelahiran), dan sebagainya.
Beberapa kegiatan/keperluan yang didasarkan kepada hari baik dan hari buruk antara lain:
21
1. Memberi nama kepada bayi; bayi yang baru lahir harus diberi nama yang baik berdasarkan
perhitungan tertentu. Harus dihindarkan nama-nama yang perhitungannya jatuh kepada perhitungan
yang mendapatkan lara (sengsara) atau pati (kematian), tetapi harus dipilih nama-nama yang
perhitungannya akan jatuh kepada kebahagiaan seperti hari yang sama dengan sri (kaya akan hasil
tanaman), lungguh (pangkat dan ilmu yang tinggi) dan dunya (kekayaan yangbanyak).
2. Melakukan pekerjaan, seseorang yang akan melakukan pekerjaan seperti akan mencari
nafkah, berdagang, bercocok tanam, menyimpan padi di lumbung, dan cara lain sebagainya harus
menghitung hari yang tepat. Jika harinya tidak tepat/buruk (apes), maka pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan tidak akan menghasilkan sesuatu yang menggembirakan.
3. Mendirikan rumah; mereka memperhitungkan hari baik dalam mendirikan rumah ataupun
memindahkan rumah. Akan tetapi tidak hanya menentukan hari baiknya saja, merekapun
menentukan arah serta tata letak rumah yang akan dibangun. Hal ini dimaksudkan agar rumah yang
dibangun menjadi rumah yang menentramkan penghuninya, terhindar dari segala macam kejahatan
baik dari manusia atau dari makhluk halus, serta penghuninya selalu diberi limpahan rejeki.
4. Menentukan hari perkawinan, khitanan; hari perkawinan atau khitanan anak merupakan
saat-saat yang monumental dan hanya dilakukan sekali seumur hidup, oleh sebab itu semua yang
terkait dengan saat-saat itu diperhitungkan dan dipertimbangkan secara matang dan hati-hati
termasuk penentuan hari pelaksaanan acara tersebut. Dengan hari yang dianggap tepat
penyelenggaraan perkawinan akan berjalan lancar, keluarga yang dibangun dari perkawinan
tersebut akan menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera, suami istri akan terhindarkan dari
masalah rumah tangga dan lain sebagainya. Bagi anak yang dikhitan selain lancar dalam
penyelenggaraannya juga anaknya diharapkan menjadi anak yang sholeh, banyak rejeki, dan
berbakti pada kedua orang tuanya.
Menentukan hari baik dan hari buruk untuk memulai suatu kegiatan tidak dapat dilakukan
sendiri setiap penduduk Kampung Kuta, mengingat keterbatasan pengetahuan mereka akan
pengetahuan tersebut, oleh sebab itu bagi penduduk yang memerlukan penentuan hari baik dan hari
buruk akan bertanya kepada orang yang menguasai ilmu tersebut yaitu puun. Puun ini adalah laki-
laki yang telah tua usianya sangat wajar orang tua dianggap puun mengingat usia yang
menunjukkan banyaknya pengalaman hidup, dan berbagai kejadian dalam kehidupan atau sudah
lama mengenal asam garam kehidupan.
Selain mengenai perhitungan hari baik dan hari buruk serta kepecayaan terhadap makhluk
gaib/halus, masyarakat Kampung Kuta sebagai warga kampung adat mempunyai beberapa aturan
adat dan tabu (pamali) yang harus ditaati. Pelanggaran terhadap tabu (pamali) dapat menyebabkan
terjadinya musibah bukan saja melanda kepada pelanggar tapi luga mengenai seluruh penduduk
kampung. Bentuk-bentuk musibah yang datang dapat bermacam-macam seperti wabah penyakit,
22
serangan hama tanaman atau gempa bumi berupa tanah longsor, angin topan atau banjir. Tabu atau
pamali terungkap dalam ungkapan-ungkapan yang dikemukakan ketua adat atau kuncen sebagai
aturan adat yang harus dipatuhi dan diyakini kebenarannya. ungkapan-ungkapan tersebut dianggap
sebagai kearifan tradisional karena berasal dari warisan leluhur yang telah berlaku secara turun
temurun. Di Kampung Kuta, ungkapan tradisional tersebut masih berlaku sebagai pranata sosial
yang dapat mengendalikan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan alam atau dengan
sesamanya.
Upacara Adat
Masyarakat Kampung Kuta hingga kini masih melaksanakan berbagai upacara adat yaitu
diantaranya :
1. Upacara mendirikan rumah atau ngadegkeun dan mendiami rumah baru. Kedua upacara
tersebut pada pokoknya bertujuan ager pekerjaan mendirikan rumah dapat diselesaikan dengan
lancar, serta rumah yang didiami dapat memberikan ketenangan bagi penghuninya. Selamatan
mendirikan rumah dimulai setelah mendapatkan " Hari baik " dari puun. Pendirian rumah diawali
dengan doa dan penguburan kepala ayam pada lahan yang akan dibangun. Terakhir pada saat tiang
atap (kuda-kuda) telah terpasang, pada tiang atap paling atas (dudukan wuwung atau genting)
disimpan sesajen berupa rangkaian (geugeus/ikatan) padi, tebu bendera merah putih dan lain-lain.
Biasanya pemilik rumah akan menyuruh puun berdoa dan disediakan tumpeng yang dimakan oleh
para pekerja. Upacara menempati rumah baru cukup dengan mengundang tetangga guna berdoa
bersama, setelah itu makan nasi tumpeng bersama-sama.
2. Upacara yang berkaitan dengan kepentingan seluruh masyarakat Kampung Kuta, yaitu :
a) Upacara Nyuguh
23
Upacara ini dilakukan oleh seluruh masyarakat Kampung Kuta bertempat di bale dusun.
Upacara ini diadakan setiap bulan Maulud, upacara ini selain memperingati Maulud Nabi Besar
Muhamad S.A.W, juga sebagai ungkapan rasa syukur atas limpahan rejeki dan terhindarnya
matapetaka yang menimpa masyarakat Kampung Kuta.
Upacara Adat Nyuguh dilakukan setiap satu tahun sekali. Upacara Adat Nyuguh ini
merupakan Upcara Ritual tradisional adat Kampung Kuta Kecamatan Tambaksari yang selalu
dilaksanakan pada tanggal 25 shapar setiap tahunnya.
Dalam sambutannya, ketua adat menyampaikan bahawa upacara ini juga harus dilaksanakan
menghadap hari senin atau jumat.
Upacara ini bertujuan sebagai persembahan bentuk syukur kepada Tuhan dan bumi yang
telah memberikan pangan kepada masayrakat Kampung Kuta. Upacara ini dimulai dengan beberapa
sambutan dari tokoh masyarakat kampung kuta, serta dari beberapa pejabat setempat seperti camat
tambaksari serta Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Ciamis. Setelah itu diadakan sebuah
24
pagelaran khusus seperti memukul-mukul alat musik tradisional diiringi dengan kesenian ibing khas
kampung kuta, dilanjut dengan pertunjukan nyanyian tradisional diirinngi dengan tarian-tarian unik
yang khas.
Bagi para tamu undangan atau yang menghadiri acara tersebut bisa berpartisipasi dalam
tarian tersebut, dengan ikut menari berpasangan bersama sinden dan penari, tidak lupa juga
sawerannya diberikan ketika selesai menari. Setelah itu barulah masuk ke acara inti yaitu
mengantarkan suguhan berupa makanan khas buatan kampung kuta ke hutan keramat, acara ini
diikuti oleh beberapa tokoh masyarakat serta para peneliti yang memang ingin lebih memperdalam
ilmu tentang kajian budayanya.
25
Esok harinya, diadakan bersih-bersih di hutan larangan, seperti membersihkan sampah atau
menyiangi alang-alang liar yang tumbuh guna menjaga dan merawat kelestarian hutan.
Jika ditinjau dari kajian ilmiah, kegiatan ini sangat baik sekali untuk menjaga kelestarian serta
kutuhan hutan tersebut agar tidak terjamah dan rusak oleh aktifitas manusia, namun jika ditinjau dari
segi adat yang telah dianutnya secara turun temurun, kegiatan pembersihan hutan keramat ini
dilakukan karena telah menjadi adat nenek moyangnya terdahulu secara turun temurun tentang
pembersihan atau kerja bakti membersihkan hutan keramat tersebut, agar makhluk gaib yang
26
diyakini oleh masayarakat setempat senantiasa betah dan selalu memberikan kesejahteraan bagi
Kampung Adat.
b. Upacara Hajat Bumi
Upacara ini dilaksanakan pada bulan September sampai bulan November yang diikuti oleh seluruh