BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang di lakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa umat islam akan maju dapat menyusul orang-orang barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Proses Islamisasi ilmu pengetahuan tidak lain adalah proses pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan yang ada kepada konsep yang hakiki yaitu tauhid, kesatuan makna kebenaran dan kesatuan sumber. Dari ketiga proses inilah kemudian diturunkan aksiologi (tujuan), epistemologi (metodologi), dan ontologi (obyek) ilmu pengetahuan. Di pandang dari sisi aksiologis (tujuan) ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini
yang di lakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran
beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa umat
islam akan maju dapat menyusul orang-orang barat apabila mampu
mentransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan
dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Proses Islamisasi ilmu pengetahuan tidak lain adalah proses pengembalian
atau pemurnian ilmu pengetahuan yang ada kepada konsep yang hakiki yaitu
tauhid, kesatuan makna kebenaran dan kesatuan sumber. Dari ketiga proses inilah
kemudian diturunkan aksiologi (tujuan), epistemologi (metodologi), dan ontologi
(obyek) ilmu pengetahuan.
Di pandang dari sisi aksiologis (tujuan) ilmu dan teknologi harus memberi
manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi
menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu
pengetahuan dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kehidupan manusia.
Untuk mencapai sasaran tersebut, maka diperlukan suatu upaya
mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umm, sehingga akan
tercapailah kemajuan yang seimbang antara kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan kemajuan dalam bidang ilmu agama, moral dan etika.
Sejalan dengan sasaran tersebut, maka pembahasan dalam makalah ini
diarahkan pada upaya mendeskripsikan bangunan pohon ilmu-ilmu agama islam
dan ilmu-ilmu umum secara utuh dan komprehensif sambil mengupayakan
1
integrasinya dngan menggunakan pendekatan normatif teologis, historis dan
filosofis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam
pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
Pengertian Dan Model Integrasi Keilmuan
Pendekatan Islam Terhadap Dikotomi Ilmu
Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu-Ilmu Agama Islam dan Ilmu-Ilmu
Umum
Paradigma Ilmu-Ilmu Agama Islam Dan Ilmu-Ilmu Umum
Ilmu-ilmu Agama Islam
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan dalam
pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
Untuk Mengetahui Pengertian Dan Model Integrasi Keilmuan
Untuk Mengetahui Pendekatan Islam Terhadap Dikotomi Ilmu
Untuk Mengetahui Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu-Ilmu Agama
Islam dan Ilmu-Ilmu Umum
Untuk Mengetahui Paradigma Ilmu-Ilmu Agama Islam Dan Ilmu-Ilmu
Umum
Untuk Mengetahui Ilmu-ilmu Agama Islam
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Dan Model Integrasi Keilmuan
Salah satu istilah yang paling popular dipakai dalam konteks integrasi
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata “Islamisasi”. Menurut Echols
dan Hasan Sadily, kata Islamisasi berasal dari bahasa Inggris Islamization yang
berarti pengislaman. Makna yang lebih luas adalah menunjuk pada proses
pengislaman, dimana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu
pengetahuan maupun objek lainnya.
Dalam konteks Islamisasi, ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan
dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmunya, bukan ilmu itu sendiri. Karena
yang menentukan adalah manusia, manusialah yang menghayati ilmu.
Penghayatan para pencari ilmu itulah yang menentukan, apakah ilmunya
beroientasi pada nilai-nilai Islam ataukah tidak.
Lebih lanjut, Islamisasi ilmu pengetahuan, menurut Faruqi, menghendaki
adanya hubungan timbale balik antara realitas dan aspek kewahyuan. Dalam
konteks ini, untuk memahami nilai-nilai kewahyuan, umat islam harus
memanfaatkan ilmu pengetahuan. Karena realistasnya, saat ini, ilmu
pengethuanlah yang amat berperan dalam menentukan kemjuan umat manusia.
Sejak abad kemunduran islam (abad ke-12 M), karena para penguasa
Muslim kurang memberikan penghargaan terhadap ilmu pengethuan hingga akhir
abad ke-16, dimana mulai terputus hubungan antara Dunia Islam dengan aliran
utama dalam sains dan teknologi, umat Islam sangat tertinggal jauh disbanding
masyarakat Barat justru mulai bengkit dari kegelapan pengetahuan setelah sekian
lama terbelenggu dalam indoktrinasi teologi Kristiani.
Selain masalah ketertinggalan dalam penguasaan ilmu pengetahuan, hal
terbesar yang dihadapi umat islam dewasa ini adalah berkaitan dengan paradigm
berfikir. Umat Islam masih berpikir secara absurd. Bukan justru mengembangkan
wacana-wcana keimanan, kemanusiaan, dan pengetahuan. Ini jelas menunjukan
sebuah pola berpikir partikularistik dan ritualistik (Hidayat, 2000: 10).
3
Dari definisi Islamisasi pengetahuan diatas, ada beberapa model Islamisasi
pengetahuan yang bisa dikembangkan dalam menatap era globlisasi, antara lain:
model purifikasi, model moderenisasi Islam, dan model neo-moderenisme.
Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian ilmu pengetahuan agar
sesuai dengan nilai dan norma Islam.
Model moderenisasi Islam ini berangkat dari kepedulian terhadap
keterbelakangan umat islam di dunia kini, yang disebabkan oleh kepicikan
berpikir, kebodohan, dan keterpurukan dalam memahami ajaran agamanya,
sehingga system pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal
jauh dibelakang non-Muslim (Barat).
Sedangkan model neo-modernisme berusaha memahami ajaran-ajaran dan
nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan
mempertimbangkan khaznah intelektual Muslim klasik serta mencermati
kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia iptek.
Landasasan metodologis Islamisasi pengetahuan model ini, menurut Saiful
Muzani (1993) adalah sebagai berikut:pertamporera, persoalan-persoalan
kontemporer umat islam harus dicari penjelasannya dari tradisi dan hasil ijtihad
para ulama yang merupakan hasil interpretasi terhadap Al-Quran. Kedua, bila
dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kondisi kontemporer,
harus menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat Al-Quran yang menjadi
landasan ijtihad para ulama tersebut. ketiga, melalui telaah historis akan terungkap
pesan moral Al-Quran. Keempat, setelah itu baru menelaahnya dalam konteks
umat Islam dewasa ini dengan bantuan hasil-hasil studi yang cermat dari ilmu
pengetahuan atas persoalan yang bersifat eavaluatif dan legiminatif sehingga
memberikan pendasaran dan arahan moral terhadap persoalan yang ditanggulangi.
Dari berbagai pengertian dan model Islamisasi pengetahuan diatas dapat
disimpulkan bahwa Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali
semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui
kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis
dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-Quran dan sunnah Nabi, sehingga
umat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketertinggalannya dari umat lain,
khususnya Barat.
4
2.2 Pendekatan Islam Terhadap Dikotomi Ilmu
Berbeda dengan Barat, bagi dunia Islam dikotomi bisa mengandung bahaya.
Pandangan dikotomi dapat mengancam realisasi Islam dalam ke hidupan pribadi dan
kebersamaan bermasyarakat, bahkan dikhawatirkan mendistorsi syari’ah. Akibat
yang dirasakan di dalam masyarakat ilmu, seni, dan teknologi adalah menjadi
wajarnya pendapat yang berpendirian ilmu, seni, dan teknologi adalah bebas nilai.
Oleh karena itu, ilmu berkembang tanpa arah yang jelas dari perspektif kesejahteraan
umat manusia.
Di negara-negara maju (Barat), para ilmuwan seperti berlomba
mengembangkan sains dan teknologi yang mempunyai potensi destruktif sangat
tinggi bukan saja terhadap komunitas lain, melainkan juga terhadap komunitasnya
sendiri. Bisa dibayangkan jika saja beberapa negara maju terlibat perang dengan
menggunakan kemampuan senjata dan rudal andalannya, hampir bisa dipastikan
dunia ini akan hancur.
Bila dikotomi ilmu berkembang di dunia Islam, maka di antara akibatnya
adalah tersosialisasikan adanya pembelahan antara ilmu pengetahuan umum dan
agama. Pengetahuan umum di samping pengetahuan yang mencakup berbagai
disiplin dan bidang kehidupan manusia secara kompleks dan plural, juga
dimaksudkan sebagai ilmu yang tidak ada kaitan sama sekali dengan agama.
Sedangkan ilmu pengetahuan agama dimaksudkan sebagai ilmu pengetahuan yang
terbatas bahasannya pada persoalan-persoalan akidah, ibadah, dan akhlak semata.
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan agama adalah ilmu pengetahuan yang wilayah
bahasannya terbatas pada keimanan, ritual, dan ethik.
Selanjutnya Umat Islam akan mengalami salah paham terhadap Islam sendiri.
Agama Islam yang seharusnya memiliki ajaran yang universal, ternyata
disalahpahami, sehingga dianggap hanya memiliki ruang gerak pranata kehidupan
yang sempit sekali. Oleh karena itu, pembagian pengetahuan yang bersifat dikotomis
itu, tentu tidak diterima oleh Islam, karena berlawanan dengan kandungan ajaran
Islam sendiri. Jika ini terjadi terus-menerus, maka akan menjadi malapetaka bagi
masa depan umat dan peradaban Islam, sehingga harus ada usaha keras untuk
meluruskannya dalam perspektif Islam.
5
2.3 Latar Belakang Perlunya Integrasi Ilmu-Ilmu Agama Islam dan Ilmu-
Ilmu Umum
Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (Islamisasi ilmu
pengetahuan) dewasa ini yang santer didengungkan oleh kalangan intelektual
muslim, antara lain Naquib Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi (1984: ix-xii),
tidak lepas dari kesadaran berislam ditengah pergumulan dunia global yang sarat
dengan kemajuan ilmu teknologi.
Potensi keyakinan terhadap sistem Islam yang bisa mengungguli sistem
ilmu pengetahuan Barat yang tengah mengalami krisis identitas inilah yang
kemudian memberikan kesadaran baru kepada umat islam untuk melakukan upaya
Islamisasi ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9,
meski mengalami pasang surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H/890 M)
gagasan tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil
penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi
penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Tak peduli dari saluran mana
saja, manusia – pencari ilmu pengetahuan – mendapatkan ilmu itu (osman Bakar,
1998:61-2). Dengan demikian, gagasan integrasi keilmuan Al-Farabi dilakukan
atas dasar wahyu Islam dari ajaran-ajaran Al-Quran dan Hadist.
Usaha Natsir untuk mengintegralkan sistem pendidikan Islam
direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang menyatukan
dua kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah tradisional yang
lebih banyak memuat pelajaran umum (Arman Arief, tt:iii). Tidak beda jauh
dengan gagasan yang dikembangkan Harun Nasution dalam upayanya
menyatukan dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga
pendidikan tinggi Islam.
Setidaknya ada dua sebab utama kelemahan pendekatan ini.
Pertama, akar keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-
ilmu umum.
Kedua, modernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan melalui kurikulum
dan kelembagaan, walaupun dilakukan dengan tujuan terciptanya
6
integralisme dan integrasi keilmuan Islam Islam dan umum, sampai
kapanpun akan tetap menyisakan dikotomi keilmuan.
Berbagai dikotomi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum
pada kenyataanya tidak mampu diselesaikan dengan pendekatan modernisasi
sebagaimana dilakukan Abduh dan Ahmad Khan atau Mukti Ali dan Harun
Nasution, amak Ismail Raji Al-Faruqi dan Naquib Al-Attas melakukan
pendekatan berbeda dalam rangka Islamisasi pengetahuan (integrasi keilmuan),
yakni dengan pendekatan purifikasi atau penyucian.
Dikotomi keilmuan sebagai penyebab kemunduran berkepanjangan umat
Islam ini sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 yang dikenal
sebagai abad stagnasi pemikiran Islam. Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan
ilmu-ilmu umum juga disebabkan karena adanya kolonialisme Barat atas Dunia
Islam sejak abad ke-18 hingga abad ke-19, dimana negara-negara Islam tidak
mampu menolak upaya-upaya yang dilakukan Barat, terutama injeksi budaya dan
peradabannya.
Dikotomi ini pada kelanjutannya, berdampak negatif terhadap kemajuan
Islam. Menurut Ikhrom (2001: 87-89), setidaknya ada empat masalah akibat
dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.
Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam; dimana
selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah
mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak
tafaqquh fi al-din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan
mereka; sementara itu modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan
kurikulum pendidikan umum kedalam lembaga tersebut telah mengubah
citra pesantren dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi al-din tersebut.
Kedua, munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan Islam dan ajaran
Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan
dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum
(Kuntowijoyo, 1991: 352).
Ketiga, terjadinya didintegrasi sistem pendidikan Islam, dimana masing-
masing sistem: (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh
mempertahankan kediriannya.
7
Keempat, munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam.
Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Barat yang pada kenyataanya
kurang menghargai nilai-nilai kultural dan moraltelah dijadikan tolak ukur
kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan bangsa kita.
Dengan demikian, paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum
muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagian pemikir muslim terhadap ancaman
yang sangat dominan terhadap pandangan non-muslim, khususnya pandangan
ilmuwan Barat sehingga umat Islam harus menyelamatkan identitas dan otoritas
ajaran agamanya.
2.4 Paradigma Ilmu-Ilmu Agama Islam Dan Ilmu-Ilmu Umum
a. Paradigma Integrasi-Interkoneksi
Paradigma Integrasi-interkoneksi itu muncul karena adanya dikotomi
pendidikan agama sains, dan filsafat. Selain itu disebabkan oleh perilaku manusia
yang berperilaku tidak pada mestinya. Ditambah pula krisis lingkungan energi dan
lain lain. Faktanya dikotomi pendidikan lah yang menjadi pangkal dari segala
faktor munculnya paradigma integrasi-interkoneksi. Dengan adanya paradigma
integrasi-interkoneksi ini diharapkan mampu mencapai keterpaduan antara
pedidikan agama, sains, dan filsafat. Segala krisis dapat teratasi atau paling tidak
berkurang.
b. Pengertian, Tujuan, dan Harapan Integrasi-Interkoneksi
Integrasi-interkoneksi dalah suatu paradigma, pendekatan, sebagai upaya
mempertemukan ilmu agama (Islam), dengan ilmu-ilmu umum dengan filsafat.
Salah satu universitas yang menggunakan paradigma ini adalah Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. UIN Sunan Kalijaga menggunakan pedoman
ini untuk menyatukan ilmu umum/sains, agama dan filsafat agar bias tercapai
kesatuan ilmu yang intergratif dan interkonektif. Prof. H. Amin Abdullah adalah
tokoh penggagas integrasi di UIN Sunan Kalijaga. Integrasi-interkoneksi
keilmuan diemban sebagai visi dan misi dari UIN Sunan Kalijaga sebagai awal
perubahan atau transformasi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan
Kalijaga menjadi UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2004. Dialog keilmuan yang
bersifat integrasi-interkoneksi dilakukan dalam wilayah internal ilmu-ilmu
8
keislaman, juga dikembangkan integrasi-interkoneksi ilmu-ilmu keislaman
dengan ilmu umum. Diantara ilmu umum dan ilmu keislaman menyadari akan
keterbatasan pada masing-masing ilmu. Oleh karena itu perlu adanya dialog
diantara keduanya, kerjasama, guna melengkapi kekurangan pada masing-masing
ilmu jika masing-masing berdiri sendiri. Paradigma integrasi-interkoneksi ini
diharapakan mampu mendialogkan segitiga keilmuan UIN Sunan Kalijaga yang
dikenal dengan sudut hadarah al-nas, hadarah al-‘ilm, dan hadarah al-falsafah.
Sehingga semua matakuliah yang disampaikan dan dikembangkan di UIN Sunan
Kalijaga harus mencerminkan sebuah keilmuan yang terpadu. Saling menunjang
diantara ketiga entitas keilmuan yang ada (pengembangan keilmuan tidak secara
dikotomis). Selain itu, integrasi-interkoneksi diharapkan mampu menjadi solusi
dari berbagai krisis yang melanda manusia dan alam dewasa ini sebagai akibat
dari ketidakpedulian suatu ilmu terhadap ilmu yang lain.
c. Landasan Integrasi-Interkoneksi
Ada beberapa landasan dalam membangun integrasi-interkoneksi,