Top Banner

of 14

Makalah Industri Pengolahan Kayu

Aug 07, 2018

Download

Documents

Muhammad Sarip
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    1/30

     

    Joint Secretariat:Jl. Gandaria Tengah VI No. 2 Kebayoran Baru Jakarta 12130 Tel. 021-7279 7226 Fax. 021-7280 1148

    Kertas Kerja No. 08

    Industri Pengolahan Kayu

    Evolusi terhadap Mekanisme Perizinan, Kewenangan, danPembinaan Industri Pengolahan Kayu

    Oktober 2004

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    2/30

     

    i

    DDAAFFTTAARR IISSII 

    I. Pendahuluan 1

    1.1. Latar Belakang 1

    1.2. Tujuan 1

    1.3. Metodologi 1

    1.4. Cakupan Pembahasan 2

    II. Evolusi Perizinan Industri Pengolahan Kayu 3

    2.1. Industri Pengolahan Kayu sebagai Mesin Pembangunan Ekonomi 3

    2.2. Rasionalisasi Industri Pengolahan Kayu 5

    2.3. Penurunan Kapasitas Izin Industri Pengolahan Kayu 6

    III. Evolusi Kewenangan Perizinan Industri Pengolahan Kayu 8

    3.1. Kewenangan Sentralistik  8

    3.2. Desentralisasi Kewenangan 8

    3.3. Kewenangan Industri Primer Hasil Hutan Kayu 10

    IV. Pembinaan Industri Pengolahan Kayu 12

    4.1. Penertiban Tata Usaha Kayu 12

    4.1.1. Tata Usaha Kayu Olahan 12

    4.1.2. Tata Usaha Ekspor Kayu Olahan 13

    4.2. Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku Industri 16

    4.3. Evaluasi Kinerja Industri Pengolahan Kayu 19

     

    V. Kesimpulan dan Rekomendasi 22

    5.1. Kesimpulan 22

    5.2. Rekomendasi 23

    Referensi 25

    Lampiran 26

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    3/30

     

    ii

    DDAAFFTTAARR TTAABBEELL 

    Tabel 1. Industri Pengolahan Kayu yang Terbuka bagi Penanaman Modal 6

    Tabel 2. Kewenangan Perizinan Industri Pengolahan Kayu 9

    Tabel 3. Perizinan Industri Primer Hasil Hutan Kayu 10

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    4/30

     

    iii

    DDAAFFTTAARR IISSTTIILLAAHH 

     APL Areal Penggunaan Lain

    BKT Bagan Kerja Tahunan

    BRIK Badan Revitalisasi Industri Kehutanan

    BUMD Badan Usaha Milik Daerah

    BUMN Badan Usaha Milik Negara

    BUMS Badan Usaha Milik Swasta

    Dirjen BPK Dirjen Bina Produksi Kehutanan

    Dirjen IHPK Dirjen Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan

    Dirjen PH Dirjen Pengusahaan Hutan

    DKB Daftar Kayu Bulat

    DKO Daftar Kayu Olahan

    DPV Dewan Pertimbangan Verifikasi

    DR Dana Reboisasi

    ETPIK Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan

    HPH Hak Pengusahaan Hutan

    HPHH Hak Pemungutan Hasil Hutan

    HTI Hutan Tanaman Industri

    IHH Iuran Hasil Hutan

    IMF International Monetary Fund

    IPHHK Industri Primer Hasil Hutan Kayu

    IPK Izin Pemanfaatan Kayu

    IPKH Industri Pengolahan Kayu Hulu

    ISL Izin Sah Lainnya

    IUI Izin Usaha Industri

    IUPHHBK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu

    IUPHHK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

    Kadishut Kepala Dinas Kehutanan

    Kakanwil Kepala Kantor Wilayah

    Kepmen Keputusan Menteri

    Keppres Keputusan Presiden

    LHC Laporan Hasil CruisingLMK Laporan Mutasi Kayu

    LOI Letter of Intent  

    LPI Lembaga Penilaian Independen

    LVL Industri Laminating Lumber Veneer  

    PP Peraturan Pemerintah

    RI Republik Indonesia

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    5/30

     

    iv

    RKT Rencana Kerja Tahunan

    RPBBI Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri

    RPBI Rencana Pemenuhan Bahan baku Industri

    RPKB Rekapitulasi Pemeriksaan Kayu Bulat

    SAKB Surat Angkutan Kayu Bulat

    SAKO Surat Angkutan Kayu OlahanSKB Surat Keputusan Bersama

    SKSHH Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan

    TDI Tanda Daftar Industri

    TE Tim Evaluasi

    TPK Tempat Penimbunan Kayu

    UU Undang-undang

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    6/30

     

    1

     

    II..  PPEENNDDAAHHUULLUUAANN 

    11..11..  LLAATTAARR BBEELLAAKKAANNGG 

    Industri pengolahan kayu merupakan

    barometer peningkatan perekonomian

    nasional dan faktor kunci dalam upaya

    meningkatkan penerimaan negara dari sektor

    kehutanan. Praktik-praktik eksploitatif

    terhadap sumber daya hutan telah dilakukan

    sejak diterbitkannya UU No. 5 Tahun 1967

    tentang Pokok-pokok Ketentuan tentang

    Kehutanan.

    Berbagai fasilitas dan kemudahan

    diprioritaskan untuk mendorong tercapainya

    tujuan menjadikan industri pengolahan kayu

    sebagai primadona kontributor riil sektor non

    migas terhadap pembangunan ekonomi

    nasional. Kran ekspor kayu bulat ditutup guna

    menjamin ketersediaan suplai bahan baku

    bagi industri pengolahan kayu dalam negeri,

    dengan harapan Indonesia dapat mengekspor

    produk olahan yang bernilai tambah (value

    added), yang dapat bersaing dengan produk

    olahan luar negeri, dan pada akhirnya dapat

    memberikan kontribusi signifikan terhadap

    penerimaan negara.

    Namun, fakta membuktikan bahwa tingkat

    konsumsi kayu bagi industri pengolahan kayu

    dalam negeri telah mengeruk sumber daya

    hutan kita tanpa memperhatikan daya dukung

    hutan lestari, bahkan menciptakan

    pemborosan bahan baku kayu, tetapi tidak

    pula memberikan kontribusi finansial yang

    proporsional jika dibandingkan dengankerusakan hutan yang terjadi akibat praktik-

    praktik eksploitatif tersebut.

    Laporan ini memaparkan kebijakan yang

    terkait dengan industri pengolahan kayu sejak

    tahun 1967, untuk memperlihatkan evolusi

    yang terjadi melalui titik-titik karakteristik

    kebijakan yang ditetapkan pemerintah.

    Evolusi kebijakan industri pengolahan kayu

    sangat terkait dengan tujuan kebijakan

    pemerintah di satu sisi untuk meningkatkan

    laju pembangunan, dan di sisi lain untuk

    mempertahankan sumber daya hutan melalui

    pemanfaatan hutan secara berkelanjutan dan

    memperhatikan daya dukung hutan secara

    lestari. Kedua tujuan kebijakan tersebut

    merupakan suatu dilema terhadap nasib masa

    depan hutan kita, dan juga tidak dapat

    dipungkiri untuk memperhatikan nasib masadepan industri pengolahan kayu dalam negeri.

    11..22..  TTUUJJUUAANN 

    Laporan ini bertujuan untuk memaparkan

    evolusi kebijakan industri pengolahan kayu

    sejak tahun 1967 hingga tahun 2004, yang

    terkait dengan kewenangan perizinan industri,

    fasilitas dan kemudahan bagi industri

    pengolahan kayu, ketersediaan bahan baku

    industri, serta pembinaan terhadap industri

    pengolahan kayu.

    11..33..  MMEETTOODDOOLLOOGGII 

    Laporan ini memaparkan evolusi kebijakan

    yang terkait dengan industri pengolahan kayu

    sejak tahun 1967 (masa Presiden Soeharto)

    hingga berakhirnya masa pemerintahan

    Megawati Soekarnoputri pada tahun 2004.

    Sebagai tahap awal, dilakukanpengembangan matriks peraturan dan

    ketentuan yang berlaku (Undang-undang,

    Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,

    dan Keputusan Menteri), yang dijadikan dasar

    pemaparan evolusi kebijakan yang terjadi.

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    7/30

     

    2

     

    11..44..  CCAAKKUUPPAANN PPEEMMBBAAHHAASSAANN 

    Laporan ini difokuskan pada tiga cakupan

    pembahasan. Pertama, membahas titik-titik

    karakteristik yang memperlihatkan evolusi

    perizinan industri pengolahan kayu.

    Pembahasan di sini difokuskan pada peran

    sektor industri pengolahan kayu pada masing-

    masing periode evolusi. Kedua, membahas

    evolusi kewenangan perizinan industri

    pengolahan kayu, yakni dari sistem

    sentralistik pada masa Orde Baru, menuju

    desentralisasi pada era otonomi daerah,

    hingga kewenangan yang proporsional antara

    pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

    Ketiga, membahas evolusi kebijakan yang

    menyangkut pembinaan industri pengolahan

    kayu. Bagian ini akan membahas tiga aspek,

    yakni aspek penertiban tata usaha kayu,

    aspek pemenuhan kebutuhan bahan baku

    industri, dan aspek evaluasi kinerja industri

    pengolahan kayu. Rangkaian pembahasan

    tersebut diakhiri dengan kesimpulan terhadap

    pemaparan evolusi kebijakan industri

    pengolahan kayu, serta rekomendasi teknis

    terkait bagi kebijakan industri pengolahan

    kayu di masa akan datang.

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    8/30

     

    3

     

    IIII..  EEVVOOLLUUSSII PPEERRIIZZIINNAANN 

    IINNDDUUSSTTRRII PPEENNGGOOLLAAHHAANN KKAA Y YUU

     

    22..11..  IINNDDUUSSTTRRII PPEENNGGOOLLAAHHAANN KKAA Y YUU 

    SSEEBBAAGGAAII MMEESSIINN PPEEMMBBAANNGGUUNNAANN 

    EEKKOONNOOMMII 

    Industri pengolahan kayu sebagai sektor hilir

    kehutanan dimulai ketika Soeharto berkuasa,

    yang diatur melalui UU No. 5 Tahun 1967

    tentang Pokok-pokok Ketentuan Kehutanan.

    UU tersebut secara eksplisit mengarahkan

    pemanfaatan hutan secara intensif dalamrangka pembangunan ekonomi nasional.

    Dalam pertimbangan dikeluarkannya UU No.

    5 Tahun 1967, disebutkan bahwa

    pemanfaatan hutan secara intensif tersebut

    untuk mewujudkan kesejahteraan

    masyarakat, antara lain: (a) bertambahnya

    kebutuhan penduduk akan peralatan rumah

    tangga berbahan dasar kayu, (b) makin

    majunya ekspor hasil hutan serta makin

    banyaknya permintaan dari luar negeri, (c)

    makin majunya industri plywood (untuk

    keperluan dalam negeri dan ekspor), pulp 

    (untuk bahan baku industri dalam negeri dan

    bahan setengah jadi untuk diekspor), dan

    industri rayon (untuk bahan sandang).

    Dengan pertimbangan demikian, UU No. 5

    Tahun 1967 serta peraturan pelaksananya

    mengatur secara legal pemanfaatan hutan

    yang berorientasi pada peningkatan

    pembangunan ekonomi. Atau singkatnya,

    orientasi pemanfaatan kayu secara intensif

    sebagai pendukung utama pembangunanindustri pengolahan kayu menjadi karakteristik

    penting selama Orde Baru (Greenomics

    Indonesia, 2004).

    ‘Arahan eksploitatif’ dari UU No. 5 Tahun

    1967 menunjukkan industri pengolahan kayu

    mendapat perhatian khusus karena

    merupakan instrumen peningkatan ekonomi

    Orde Baru. Pemegang HPH diwajibkan untuk

    mendirikan industri pengolahan kayu, yang

    secara tegas diatur dalam PP No. 21 Tahun

    1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan

    Hak Pemungutan Hasil Hutan dan beberapa

    ketentuan pelaksanaannya. Bahkan, PP No.

    21 Tahun 1970 menyebutkan bahwa izin HPH

    dapat dicabut jika pemegang HPH tidak

    mendirikan Industri Pengolahan Hasil Hutan,yang juga diatur lebih lanjut dalam Kepmenhut

    sebagai peraturan pelaksana PP No. 21

    Tahun 1970.

    Perhatian khusus terhadap industri

    pengolahan kayu juga dapat dilihat pada

    ketentuan yang mengatur bahwa

    perpanjangan izin HPH hanya dapat diberikan

    kepada pemegang HPH yang memiliki industri

    pengolahan kayu dan atau memiliki

    keterkaitan melalui saham dengan industri

    kayu. Alasan ketentuan tersebut setidaknyadapat dilihat dalam pertimbangan Kepmenhut

    No. 027/Kpts-II/1988, yakni kelanjutan HPH

    sangat penting artinya bagi peningkatan

    ekspor non migas dan pembangunan nasional

    serta diperlukan untuk memenuhi kebutuhan

    bahan baku industri perkayuan dalam negeri.

    Kepmenhut ini dicabut dengan Kepmenhut

    No. 245/Kpts-II/1989 yang mengatur bahwa

    HPH yang telah berakhir masa berlakunya

    dapat diperpanjang apabila memenuhipersyaratan perpanjangan HPH dan tidak

    bertentangan dengan kepentingan umum.

    Kepmenhut tersebut mengatur ketentuan

    bahwa perpanjangan HPH diberikan kepada

    pemegang HPH yang memiliki industri

    pengolahan kayu dan atau mempunyai

    keterkaitan melalui saham dengan industri

    kayu. Sehingga, jelas di sini bahwa

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    9/30

     

    4

     

    keberadaan industri pengolahan kayu sangat

    menentukan keberlanjutan kegiatan usaha

    pemanfaatan hutan alam, mengingat industri

    pengolahan kayu merupakan barometer

    penunjang keberhasilan sektor kehutanan

    pada masa Orde Baru.

    Keterkaitan antara pemegang HPH dan

    pemegang izin industri pengolahan kayu

    berpotensi menimbulkan kerugian negara

    melalui manipulasi pelaporan realisasi

    penerimaan kayu hasil tebangan. Keppres

    mengenai Dana Reboisai (DR) dan Iuran Hasil

    Hutan (IHH) mengatur bahwa DR dan IHH

    dipungut melalui pengusaha izin industri

    pengolahan kayu. Artinya, DR dan IHH baru

    dipungut setelah kayu hasil tebangan diterima

    di lokasi industri pengolahan kayu, bukan padasaat kayu ditebang di areal konsesi HPH.

    Guna menghindari potensi kerugian tersebut,

    pemerintah mengatur bentuk pemilikan dan

    keterkaitan HPH dengan Industri Pengolahan

    Kayu Hulu (IPKH) yang mewajibkan dibuatnya

    Surat Pernyataan Bersama Tanggung Jawab

    Renteng, menyangkut kewajiban pembayaran

    iuran kehutanan dan kewajiban finansial

    lainnya. Surat pernyataan tersebut memuat:

    •  Jika perusahaan pemegang izin IPKH

    tidak menyetor Iuran Kehutanan yang

    dipungut dari pemegang HPH, maka

    kedua perusahaan secara bersama-sama

    sanggup menerima sanksi menurut

    ketentuan yang berlaku

    •  Jika perusahaan pemegang izin IPKH

    melakukan pelanggaran atas ketentuan

    PP No. 28 Tahun 1985 tentang

    Perlindungan Hutan, maka kedua

    perusahaan, baik sendiri-sendiri maupun

    bersama-sama sanggup menerima sanksi

    menurut ketentuan yang berlaku•  Jika kedua perusahaan tidak membuat

    Surat Pernyataan Bersama Tanggung

    Jawab Renteng, maka semua kewajiban

    pembayaran dan penyetoran Iuran

    Kehutanan terhadap kayu bulat dan/atau

    bahan baku serpih yang dikirim oleh

    pemegang HPH kepada pemegang izin

    IPKH, menjadi tanggung jawab pemegang

    izin HPH untuk melunasinya.

    Sistem ekonomi konglomerasi dalam kegiatan

    usaha pemanfaatan hutan tidak dapat

    dihindarkan dengan adanya kewajiban

    pemegang izin HPH untuk juga memiliki izin

    industri pengolahan kayu. Meskipun

    diarahkan untuk menjamin ketersediaan

    pasokan bahan baku industri sehingga

    mampu mengekspor produk bernilai tambah

    (value added), kewajiban tersebut telah

    menciptakan konsentrasi eksesif pada aspek

    pemenuhan bahan baku kayu secara

    maksimal tanpa memperhatikan tingkat

    optimalitas produksi hutan alam (GreenomicsIndonesia, 2004).

    Setelah munculnya inisiasi pembangunan

    hutan tanaman industri (HTI) pada tahun 1986

    melalui Kepmenhut No. 320/Kpts-II/1986,

    pemerintah mengatur ketentuan mengenai

    pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). IPK

    diberikan untuk melakukan penyiapan lahan

    HTI (land clearing). 

    Dengan pertimbangan pengaturan kembali

    ketentuan dan tata cara pemanfaatan kayu

    dari areal hutan yang ditetapkan untuk

    keperluan non kehutanan dan HTI dalam

    rangka deregulasi dan debirokratisasi di

    bidang kehutanan, serta terkait dengan

    prioritas pemerintah terhadap industri

    pengolahan kayu, pemerintah juga

    mewajibkan pemegang IPK untuk memiliki

    keterkaitan dengan industri. Hal ini diatur

    dalam Kepmenhut No. 495/Kpts-II/1989, yang

    menyebutkan bahwa IPK hanya dapat

    diberikan jika ada bukti keterkaitan sebagaipemasok kayu bulat kepada industri

    pengolahan kayu. Artinya, pemanfaatan kayu

    oleh pemegang IPK juga diarahkan untuk

    mensuplai kebutuhan bahan baku industri

    pengolahan kayu domestik.

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    10/30

     

    5

     

    22..22..  RRAASSIIOONNAALLIISSAASSII PPEERRIIZZIINNAANN IINNDDUUSSTTRRII 

    PPEENNGGOOLLAAHHAANN KKAA Y YUU 

    Setelah lengsernya rezim Orde Baru pada Mei

    1998, seluruh ketentuan tentang pemilikan

    dan keterkaitan HPH dengan industri

    pengolahan kayu yang berlaku selama Orde

    Baru dihapuskan, terhitung per 9 September

    1998. Alasan yang melatarbelakangi

    penghapusan ketentuan tersebut adalah

    adanya perkembangan kebijakan

    pembangunan nasional serta adanya LOI

    antara RI-IMF yang disepakati pada akhir Juli

    1998 untuk memisahkan keterkaitan antara

    HPH dan industri pengolahan kayu.

    Sebelumnya, Menteri Kehutanan telah

    mengeluarkan Kepmenhut No. 620/Kpts-

    II/1998 yang mencabut ketentuan pemilikandan keterkaitan HPH dengan IPKH.

    Lengsernya Soeharto mendorong

    dilakukannya pembaharuan kebijakan izin

    konsesi dengan mengeluarkan PP No. 6

    Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan

    Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan

    Produksi untuk menggantikan PP No. 21

    Tahun 1970. PP ini secara tegas mencabut

    dan menyatakan tidak berlaku lagi segala

    ketentuan dan kewajiban keterkaitan HPH

    dengan IPKH seperti yang tertuang dalam PP

    No. 21 Tahun 1970. Artinya, pemegang HPH

    tidak lagi diwajibkan mendirikan unit industri

    pengolahan kayu.

    Tujuan dari kebijakan mencabut kewajiban

    tersebut adalah untuk mengurangi sistem

    konglomerasi di sektor usaha kayu. Sehingga,

    karakteristik yang muncul di sini adalah

    dimulainya tahap peletakan ‘awal pembaruan’

    anti ekonomi monopolistik dalam

    pengusahaan hutan. Namun, PP No. 6 Tahun1999 terbit sebelum UU No. 41 Tahun 1999

    diterbitkan, sehingga masih membawa

    amanat UU No. 5 Tahun 1967 yang

    menjadikan industri pengolahan kayu sebagai

    penopang perekonomian.

    Orientasi UU No. 41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan terhadap pemanfaatan sumber

    daya hutan sangat berbeda dengan UU No. 5

    Tahun 1967 yang berorientasi pada

    pemanfaatan hutan secara ekstraktif. Terkait

    dengan kegiatan industri pengolahan kayu,

    UU No. 5 Tahun 1967 mengamanatkan

    berbagai fasilitas dan kemudahan guna

    menjadikan sektor industri hilir kehutanan

    sebagai sumber devisa negara, sedangkan

    UU No. 41 Tahun 1999 telah menyebutkan

    ketentuan bahwa pengolahan hasil hutan

    tidak boleh melebihi daya dukung hutan

    secara lestari. Artinya, UU No. 41 Tahun 1999

    telah mempertimbangkan faktor menurunnya

    produktivitas sumber daya hutan saat ini.

    Setelah diterbitkannya UU No. 41 Tahun 1999tersebut, dan sebagai peraturan pelaksana

    UU Otonomi Daerah, Keppres No. 96 Tahun

    2000 dikeluarkan. Aspek penurunan

    produktivitas hutan alam sebagai pemasok

    bahan baku industri dituangkan dalam upaya

    pembenahan industri pengolahan kayu

    melalui Keppres tersebut, yang mengatur

    bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha

    yang terbuka dengan persyaratan tertentu

    bagi penanaman modal. Pertimbangan

    dikeluarkannya Keppres tersebut adalah

    dalam rangka untuk menghadapi

    perkembangan ekonomi global dan untuk

    lebih meningkatkan arus penanaman modal di

    Indonesia serta untuk mewujudkan struktur

    perekonomian nasional yang kokoh.

    Khusus untuk industri pengolahan kayu,

    Keppres tersebut antara lain mensyaratkan

    bahwa izin baru bagi industri kayu gergajian di

    luar Propinsi Papua hanya akan diberikan jika

    menggunakan bahan baku kayu bulat yang

    berasal dari non hutan alam (lihat Tabel 1). Artinya, ketentuan dalam Keppres tersebut

    telah sejalan dengan amanat UU No. 41

    Tahun 1999 bahwa pengolahan hasil hutan

    tidak melebihi daya dukung hutan secara

    lestari.

     

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    11/30

     

    6

     

    Tabel 1. Industri Pengolahan Kayu yang Terbuka bagi Penanaman Modal

    JENIS INDUSTRI PERSYARATAN

    Industri Kayu Lapis dan Rotary Veneer   Hanya untuk Propinsi Papua

    Industri Kayu Gergajian •  Hanya untuk Propinsi Papua

    •  Di luar Propinsi Papua hanya menggunakan bahan baku kayu

    bulat non hutan alam (berasal dari HTI dan hutan rakyat)

    Sumber: Keppres No. 96 Tahun 2000

    Rasionalisasi perizinan industri pengolahan

    kayu semakin ketat dilakukan sejak

    dikeluarkannya PP No. 34 Tahun 2002

    sebagai pelaksana UU No. 41 Tahun 1999.

    PP tersebut merupakan titik evolusi penting

    dalam mengurus industri pengolahan kayu--

    menggunakan istilah industri primer hasil

    hutan kayu (IPHHK). Industri primer hasil

    hutan kayu adalah jenis industri yang

    langsung mengolah hasil hutan kayu, yangbertujuan untuk meningkatkan nilai tambah

    hasil hutan dan penggunaan bahan baku

    secara efisien yang meminimalkan limbah dan

    menghasilkan produk bernilai tinggi. PP No.

    34 Tahun 2002 tersebut juga mengatur bahwa

    kapasitas izin industri primer hasil hutan kayu

    tidak boleh melebihi daya dukung hutan

    secara lestari.

    22..33..  PPEENNUURRUUNNAANN KKAAPPAASSIITTAASS IIZZIINN 

    IINNDDUUSSTTRRII PPEENNGGOOLLAAHHAANN KKAA Y YUU 

     Arahan untuk menjadikan industri pengolahan

    kayu sebagai instrumen penghasil devisa

    negara secara tidak langsung telah

    mengeliminir arahan untuk memperhatikan

    daya dukung hutan lestari, di samping

    lemahnya pengaturan kapasitas izin industri

    pengolahan kayu. Dalam praktiknya,

    maraknya izin-izin industri pengolahan kayu

    tidak lagi bisa dikendalikan, mengingat izin-

    izin tersebut dapat pula diterbitkan olehdaerah. Belum lagi kesulitan untuk

    mengendalikan sumber bahan baku legal

    yang digunakan oleh industri pengolahan

    kayu.

    Fakta menunjukkan banyaknya industri-

    industri baru yang memperoleh izin dari

    Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)

    yang dikeluarkan atas nama Menteri

    Perindustrian dan Perdagangan (Greenomics

    Indonesia, 2004), di samping industri-industri

    pengolahan kayu skala kecil di daerah. Salah

    satu langkah penertiban yang dilakukan

    pemerintah adalah mewajibkan seluruh

    industri primer hasil hutan kayu yang telah

    memiliki izin untuk melakukan daftar ulang izin

    industri. Hingga Oktober 2004, pemerintah

    belum menerbitkan izin baru industri primerhasil hutan kayu, mengingat proses

    pendaftaran ulang tersebut belum selesai.

    Di samping melakukan penertiban terhadap

    izin-izin industri yang sudah ada, faktor

    menurunnya pasokan bahan baku industri

    pengolahan kayu juga mendorong pemerintah

    mengambil kebijakan untuk menurunkan

    kapasitas izin industri pengolahan kayu.

    Mekanisme penurunan kapasitas izin industri

    pengolahan kayu tersebut dilakukan melalui

    penilaian pada saat pengajuan permohonanizin industri pengolahan kayu dan penilaian

    atas kinerja industri pengolahan kayu yang

    sudah mendapatkan izin usaha industri.

    Pengaturan penurunan kapasitas izin industri

    dilaksanakan dengan mempertimbangkan

    kriteria pemenuhan bahan baku, kriteria

    kapasitas terpasang dan kapasitas izin, dan

    kriteria efisiensi penggunaan bahan baku.

    Pengaturan penurunan kapasitas izin industri

    merupakan bentuk pengaturan terhadap

    industri primer hasil hutan kayu yang terkait

    dengan kebijakan penurunan secara bertahap

     jatah produksi hasil hutan kayu secara

    nasional yang berasal dari hutan alam

    produksi serta kebijakan restrukturisasi

    industri primer hasil hutan. Bentuk kebijakan

    tersebut dinilai cukup adil sebagai upaya

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    12/30

     

    7

     

    mendorong pengelolaan industri primer hasil

    hutan kayu yang lebih profesional.

    Sebagai tindak lanjut dari PP No. 34 Tahun

    2002, Menteri Kehutanan mengeluarkan

    Kepmenhut No. 300/Kpts-II/2003 tentang

    Pendaftaran Ulang Izin Usaha Industri Primer

    Hasil Hutan Kayu. Arahan kebijakan

    Kepmenhut tersebut yakni untuk

    mengidentifikasi jumlah, sebaran, kapasitas

    izin dan kapasitas terpasang, perizinan,

    kondisi operasi, dan aset dari seluruh IPHHK

    yang diterbitkan izinnya dalam rangka

    restrukturisasi industri kehutanan.

    Pendaftaran ulang industri pengolahan kayu

    dan hasil penilaian kinerja industri tersebut

    dapat juga menjadi dasar pertimbangan

    dilakukannya penurunan kapasitas izin

    industri pengolahan kayu dari kapasiitas izin

    sebelumnya. Kinerja buruk pengelolaan

    industri pengolahan kayu juga menjadi

    pertimbangan penurunan kapasitas izin

    industri pengolahan.

     

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    13/30

     

    8

     

    IIIIII..  EEVVOOLLUUSSII KKEEWWEENNAANNGGAANN PPEERRIIZZIINNAANN 

    IINNDDUUSSTTRRII PPEENNGGOOLLAAHHAANN KKAA Y YUU 

    33..11..  KKEEWWEENNAANNGGAANN SSEENNTTRRAALLIISSTTIIKK 

    Pada masa Orde Baru, kewenangan perizinan

    industri pengolahan kayu dikuasai oleh

    pemerintah pusat (sentralistik), di bawah

    kewenangan Departemen Perindustrian dan

    Perdagangan. Upaya mempercepat

    tumbuhnya industri pengolahan kayu juga

    didukung dengan kemudahan birokrasi.Wujud sentralistik tersebut ditegaskan dalam

    PP No. 17 Tahun 1986 yang menyebutkan

    bahwa kewenangan pengaturan, pembinaan,

    dan pengembangan industri berada di tangan

    Presiden yang pelaksanaannya diserahkan

    kepada Menteri Perindustrian (pada tahun

    1986 masih ada pemisahan antara

    Departemen Perindustrian dan Departemen

    Perdagangan)), serta tanggung jawab

    menteri-menteri lain sesuai dengan

    bidangnya. Namun, PP tersebut tidak secara

    khusus mengatur kewenangan yang terkaitdengan industri pengolahan kayu. 

    PP No. 17 Tahun 1986 ditindaklanjuti dengan

    PP No. 13 Tahun 1987 tentang Izin Usaha

    Industri, yang mengatur ketentuan bahwa Izin

    Usaha Industri merupakan kewenangan

    Menteri Perindustrian. Bentuk perizinan

    industri yang menjadi kewenangan

    Departemen Perindustrian tersebut terdiri dari

    Izin Tetap dan Izin Perluasan. Kewenangan

    Departemen Perindustrian tidak hanyamencakup kewenangan perizinan, namun

     juga diperluas dalam bentuk kewenangan

    pembinaan terhadap iklim usaha, sarana,

    usaha dan produksi dari industri pengolahan

    kayu. Selain pembinaan juga dilakukan

    pengawasan terhadap perusahaan industri

    yang telah mendapatkan Izin Usaha Industri.

    Pada tahun 1997, Menteri Perindustrian dan

    Perdagangan melimpahkan kewenangan

    perizinan di bidang industri dan perdagangan

    kepada Dirjen Industri Hasil Pertanian dan

    Kehutanan, dengan pertimbangan untuk

    kelancaran proses perizinan bidang industri

    dan perdagangan. Pelimpahan kewenangan

    tersebut dituangkan dalam Kepmenperindag

    No. 255/MPP/Kep/7/1997. Menteri Kehutanan juga melimpahkan kewenangan dalam hal

    pelaksanaan kepemilikan dan keterkaitan

    HPH dengan industri pengolahan kayu

    kepada Dirjen Pengusahaan Hutan, dengan

    pertimbangan untuk efisiensi dan

    mempercepat pelayanan (Greenomics

    Indonesia, 2004). Meskipun fakta

    membuktikan bahwa industri pengolahan kayu

    belum juga mampu memberikan kontribusi

    yang proporsional terhadap penerimaan

    negara, jika dibandingkan dengan kerusakan

    hutan yang ditimbulkan.

    Bentuk kewenangan yang diberikan kepada

    Direktur Jenderal Industri Hasil Pertanian dan

    Kehutanan meliputi kewenangan dalam

    pemberian izin, kewenangan menolak

    permohonan, pemberian peringatan,

    pembekuan dan pencabutan izin industri.

    Sentralisasi perizinan industri pengolahan

    kayu sangat membatasi kewenangan daerah

    bahkan peran yang diberikan sangat kurang

    memadai.

    33..22..  DDEESSEENNTTRRAALLIISSAASSII KKEEWWEENNAANNGGAANN 

    Lengsernya rezim Orde Baru melahirkan era

    otonomi daerah, yang juga berdampak pada

    dimulainya proses desentralisasi kewenangan

    terkait dengan perizinan industri pengolahan

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    14/30

     

    9

     

    kayu. Pelimpahan sebagian urusan dan

    kewenangan pusat kepada daerah yang diatur

    melalui UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.

    25 Tahun 1999 juga mencakup kewenangan

    perizinan industri pengolahan kayu. Pada

    Oktober 1999, Menteri Perindustrian dan

    Perdagangan menetapkan pelimpahan

    kewenangan pemberian izin bidang industri

    dan perdagangan kepada Kabupaten/Kota

    dan Propinsi. Kewenangan tersebut

    mencakup kewenangan untuk memberikan

    peringatan, pembekuan, dan pencabutan izin.

    Pembagian wewenang perizinan industri

    tersebut hanya berdasarkan nilai investasi

    perusahaan industri yang bersangkutan,

    tanpa memperhatikan volume atau kapasitas

    produksi industri itu sendiri.

    Pemberian izin usaha industri pengolahan

    kayu dapat diberikan kepada perorangan,

    perusahaan, persekutuan atau badan hukum

    yang berkedudukan di Indonesia. Pelimpahan

    kewenangan pemberian perizinan industri

    pengolahan kayu tersebut mencakup Industri

    Penggergajian kayu, Industri Pengawet Kayu,

    Industri Kayu Lapis, Industri Kayu Lapis

    Laminasi termasuk Decorative Plywood,

    Industri Panel Kayu Lainnya, Industri Veneer

    dan Industri Moulding dan Komponen Bahan

    Bangunan. Dengan adanya pelimpahan

    kewenangan perizinan industri pengolahan

    kayu kepada pemerintah daerah, maka

    pemerintah pusat berperan dalam bidang

    pembinaan industri. Kewenangan pembinaan

    berada pada Direktrur Jenderal Industri Kimia,

     Agro dan hasil Hutan untuk perusahaan

    industri dengan nilai investasi di atas Rp 1

    milyar. Sedangkan untuk perusahaan industri

    dengan nilai investasi sampai dengan Rp 1

    milyar, kewenangan pembinaannya beradapada Direktur Jenderal Industri Kecil dan

    Dagang Kecil.

    Tabel 2. Kewenangan Perizinan Industri Pengolahan Kayu

    KEWENANGAN IZIN YANG DIBERIKAN NILAI INVESTASI

    PERUSAHAAN INDUSTRI

    TDI (Tanda Daftar Industri) Sampai dengan Rp 200 jutaKakandepperindag Kabupaten/Kota

    IUI (Izin Usaha Industri) Di atas Rp 200 juta s.d. Rp 1 milyar

    Kakanwil Depperindag Propinsi IUI (Izin Usaha Industri) Di atas Rp 1 milyarKeterangan:

    •  Kewenangan perizinan tersebut mencakup izin Industri Penggergajian Kayu, Industri Pengawet Kayu,

    Industri Kayu Lapis, Industri Kayu Lapis Laminasi, termasuk Decorative Plywood , Industri Panel Kayu

    lainnya, Industri Veneer , dan Industri Moulding dan Komponen Bahan Bangunan Lainnya).

    •  Besarnya nilai investasi perusahaan industri tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

    Sumber: Kepmenperindag No. 590/MPP/Kep/10/1999

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    15/30

     

    10

     

    33..33..  KKEEWWEENNAANNGGAANN IINNDDUUSSTTRRII PPRRIIMMEERR HHAASSIILL 

    HHUUTTAANN KKAA Y YUU 

    Pelimpahan kewenangan perizinan industri

    pengolahan kayu dari pemerintah pusat

    kepada pemerintah daerah masih belum

    memperhatikan aspek kelestarian sumber

    daya hutan. Sehingga, perizinan yang

    dikeluarkan oleh pemerintah daerah menjadi

    tidak terkendali, tanpa memperhatikan daya

    dukung hutan lestari, dan hanya berorientasi

    kepada pemanfaatakan industri pengolahan

    kayu sebagai barometer peningkatan

    perekonomian daerah. Artinya, orientasi

    eksploitatif yang dulu terjadi ketika perizinan

    industri pengolahan kayu merupakan

    kewenangan pemerintah pusat, kembali

    terulang ketika kewenangan tersebut beradapada pemerintah daerah.

    Evolusi penting yang terkait dengan

    kewenangan perizinan industri pengolahan

    kayu yakni sejak diterbitkannya PP No. 34

    Tahun 2002 sebagai peraturan pelaksana UU

    No. 41 Tahun 1999. PP tersebut memberi

    kewenangan kepada Menteri Kehutanan dalam

    hal pengaturan, pembinaan, dan

    pengembangan industri primer hasil hutan--

    yang sebelumnya merupakan kewenangan

    Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

    Industri primer hasil hutan kayu adalah industri

    hulu hasil hutan kayu, yang mengolah kayu

    bulat dan atau kayu bahan baku serpih

    menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.

    PP tersebut mengatur ketentuan bahwa

    perizinan industri primer hasil hutan kayu

    merupakan kewenangan Menteri Kehutanan,

    yang meliputi industri: (a) pengolahan kayu

    bulat menjadi kayu gergajian dan (b)

    pengolahan kayu bulat menjadi serpih kayu

    (chip wood), veneer, kayu lapis (plywood),

    Laminating Veneer Lumber (LVL). Sedangkan

    pengaturan, pembinaan, dan pengembangan

     jenis-jenis industri hasil hutan lainnya masih

    menjadi kewenangan Menteri Perindustrian

    dan Perdagangan.

    Karakteristik menarik di sini adalah adanya

    pelimpahan kewenangan dari Menteri

    Kehutanan kepada Gubernur. Permohonan

    izin industri primer hasil hutan kayu dengan

    kapasitas produksi di atas 6.000 m³ per tahun

    diajukan kepada Menteri Kehutanan dengan

    tembusan kepada Menteri Perindustrian dan

    Perdagangan dan Gubernur. Sedangkanpermohonan izin industri primer hasil hutan

    kayu dengan kapasitas produksi sampai

    dengan 6.000 m³ per tahun diajukan kepada

    Gubernur dengan tembusan kepada Menteri

    Kehutanan dan Bupati/Walikota.

    Kepmenhut No. 125/Kpts-II/2003 sebagai

    peraturan pelaksana PP No. 34 Tahun 2002

    mengatur ketentuan bahwa kewenangan

    Gubernur tersebut hanya dapat berlaku sah

     jika seizin Menteri Kehutanan, khusus yang

    terkait dengan ketersediaan bahan baku.

    Namun, Menteri Kehutanan juga harus

    memperhatikan rekomendasi Gubernur dan

    Bupati/Walikota serta hasil penilaian Dirjen

    Bina Produksi Kehutanan. Artinya, ketentuan

    ini menunjukkan perlunya inisiasi koordinasi

    tiga pihak antara Menteri Kehutanan,

    Gubernur, dan Bupati/Walikota.

    Tabel 3. Perizinan Industri Primer Hasil Hutan Kayu berdasarkan PP No. 34 Tahun 2002

    JENIS IZIN KAPASITAS PRODUKSI (M3

    ) PEMBERI IZINs. d. 2.000 GubernurIzin prinsip industri penggergajian kayu

    2.000 - 6.000 Gubernur

    s. d. 6.000 GubernurIzin prinsip industri veneer, plywood, Laminated

    Lumber Veneer  (LVL), dan Serpihan Kayu (chip

    wood) 

    > 6.000 Menteri Kehutanan

    s. d. 6.000 Gubernur

    > 6.000 Menteri Kehutanan

    Izin usaha industri penggergajian kayu, veneer,

     plywood , Laminated Lumber Veneer (LVL), dan

    Serpihan Kayu (chip wood)  > 6.000 Menteri Kehutanan

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    16/30

     

    11

     

    Izin Usaha Industri dan izin perluasan Industri

    Primer Hasil Hutan Kayu dapat diberikan

    kepada perorangan, koperasi, BUMN, BUMD,

    dan BUMS. Sementara Izin Usaha Industri

    Penggergajian Kayu dengan kapasitas

    produksi sampai dengan 2.000 m³ per tahun

    hanya dapat diberikan kepada perorangan

    dan koperasi. Industri penggergajian kayu

    dengan kapasitas produksi sampai dengan

    2.000 m3 per tahun hanya diperuntukkan bagi

    pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Masa

    berlakunya izin industri primer hasil hutan

    kayu tidak dibatasi. Artinya, izin tersebut

    berlaku selama industri yang bersangkutan

    beroperasi. Meskipun masa berlakunya izin

    industri primer hasil hutan kayu tidak diatur,

    namun PP No. 34 Tahun 2002 telah mengatur

    ketentuan bahwa evaluasi terhadap industri

    primer hasil hutan kayu dilakukan paling

    kurang 3 tahun sekali. Sehingga, karakteristik

    evolusi di sini adalah dilakukannya evaluasi

    terhadap industri primer hasil hutan kayu.

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    17/30

     

    12

     

    IIVV..  PPEEMMBBIINNAAAANN IINNDDUUSSTTRRII PPEENNGGOOLLAAHHAANN KKAA Y YUU 

    44..11..  PPEENNEERRTTIIBBAANN TTAATTAA UUSSAAHHAA KKAA Y YUU 

    44..11..11..  TTAATTAA UUSSAAHHAA KKAA Y YUU OOLLAAHHAANN 

    Dalam rangka lebih meningkatkan dan

    mengamankan penerimaan negara,

    pemerintah mengeluarkan kebijakan

    peredaran dan pemasaran hasil hutan melalui

    instrumen tata usaha kayu. Pada tahun 1990,

    sebagai tindak lanjut ketentuan-ketentuan

    tentang DR dan IHH, Menteri Kehutanan

    menerbitkan Kepmenhut No. 402/Kpts-IV/1990 tentang Tata Usaha Kayu untuk mulai

    melakukan penertiban tata usaha kayu.

    Kepmenhut tersebut mengatur bahwa:

    •  Pengusaha Industri Pengolahan Kayu

    Hulu (IPKH) setiap menerima kayu bulat

    dan atau bahan baku serpih wajib

    melaporkan kepada instansi kehutanan

    daerah setempat untuk dilakukan

    pemeriksaan dan pengetokan atau

    penandaan atas kayu bulat dan atau

    bahan baku serpih yang diterima di

    Tempat Penimbunan Kayu (TPK) industri

    yang bersangkutan dan dibuatkan berita

    acara pemeriksaan.

    •  Pejabat instansi kehutanan daerah

    setempat setiap bulannya membuat

    Rekapitulasi Pemeriksaan Kayu Bulat

    (RPKB) berdasarkan BAP.

    •  Pengusaha IPKH setiap bulan juga wajib

    membuat Laporan Mutasi Kayu (LMK)yang memuat laporan perolehan,

    penggunaan dan persediaan kayu bulat

    dan atau bahan baku serpih serta laporan

    produksi, penjualan, pemakaian sendiri,

    dan persediaan kayu olahan.

    •  Setiap kayu olahan yang diangkut dari

    IPKH wajib disertai dokumen SAKO (Surat

     Angkutan Kayu Olahan) yang dibuat oleh

    petugas perusahaan yang ditunjuk oleh

    pimpinan perusahaan (self-assessment).

    Ketentuan dalam Kepmenhut No. 402/Kpts-

    IV/1990 tersebut diperbaharui melalui

    Kepmenhut No. 525/Kpts-II/1991 yang

    menambahkan aturan bahwa setiap kayu

    olahan yang diangkut baik dari IPKH ataupun

    selain dari IPKH, wajib disertai dokumenSAKO yang dibuat oleh petugas perusahaan

    yang ditunjuk oleh pimpinan perusahaan yang

    bersangkutan (masih tetap menerapkan

    mekanisme self-assessment). Diatur pula

    ketentuan bahwa dokumen SAKO hanya

    diberikan atas kayu olahan yang diproduksi

    dari kayu bulat yang berasal dari penebangan

    yang sah.

    Namun, pengusaha industri diberi keleluasaan

    untuk dapat mengeluarkan sendiri dokumen

    SAKO tersebut. Sehingga, sah atau tidaknya

    kayu yang ditebang tidak dapat dijamin

    keakuratannya.1 Dalam konteks mengurangi

    birokrasi dan efisiensi waktu dan biaya,

    mekanisme self-assessment  tersebut bernilai

    positif, namun menjadi kontraproduktif jika

    dalam kenyataannya ketentuan-ketentuan

    tersebut justru hanya membuka kesempatan

    1 Sebenarnya ketentuan bahwa industri pengolahan

    kayu juga harus terlibat dalam usaha perlindunganhutan telah diatur dalam PP No. 28 Tahun 1985tentang Perlindungan Hutan. Artinya, pengusahaindustri pengolahan kayu juga diwajibkan untukbertanggung jawab terhadap perlindungan hutan.Namun, sanksi yang ditetapkan dalam PP tersebutmenjadi ‘lemah’ dengan adanya hak pengusahaindustri pengolahan kayu untuk menerbitkan sendiridokumen angkutan legal melalui mekanisme self-assessment .

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    18/30

     

    13

     

    bagi pengusaha IPKH untuk memanipulasi

    dokumen SAKO.

    Selama kurun waktu enam tahun mekanisme

    self-assessment  tersebut diterapkan, fakta di

    lapangan menunjukkan sebagian besar IPKH

    yang tidak didukung atau terkait dengan HPH

    telah menyalahgunakan kepercayaan

    pemerintah dengan melakukan manipulasi

    penerbitan SAKO secara self-assesment .

    Sehingga, pada tahun 1996 Menteri

    Kehutanan menerbitkan Kepmenhut No.

    590/Kpts-II/1996 yang mengatur ketentuan

    mengenai penerbitan dokumen SAKO secara

    official assessment  untuk IPKH yang tidak

    didukung HPH.

    Berdasarkan ketentuan tersebut, seluruhpenerbitan dokumen SAKO untuk IPKH yang

    tidak didukung HPH dilakukan secara official

    assessment oleh Pejabat Kehutanan yang

    ditunjuk oleh Kakanwil Kehutanan Propinsi.

    Pemegang izin IPKH juga diwajibkan

    melampirkan DKO (Daftar Kayu Olahan)

    untuk dapat diperiksa dan disahkan. Sebagai

    tindak lanjut dari Kepmenhut tersebut, Dirjen

    Pengusahaan Hutan menetapkan nama-nama

    perusahaan IPKH yang tidak didukung/terkait

    dengan HPH.

    Kebijakan tata usaha kayu disempurnakan

    lagi melalui Kepmenhut No. 316/Kpts-II/1999

    tentang Tata Usaha Hasil Hutan2 , yang

    merupakan peraturan pelaksana PP No. 6

    Tahun 1999. Kepmenhut tersebut diterbitkan

    untuk melakukan penertiban peredaran hasil

    hutan, kayu rakyat/hasil hutan yang

    dibudidayakan, dan kayu hasil perkebunan.

    Secara rinci Kepmenhut tersebut mengatur

    ketentuan pelaksanaan tata usaha kayu

    olahan dan pelaksanaan tata usaha eksporkayu olahan. Kepmenhut tersebut mengatur

    2 Terbitnya Kepmenhut No. 316/Kpts-II/1999 ini

    sekaligus mencabut ketentuan dalam Kepmenhut No.402/Kpts-IV/1990 jo Kepmenhut No. 525/Kpts-II/1991

     jo Kepmenhut No. 532/Kpts-IV/1995. Artinya,Kepmenhut No. 316/Kpts-II/1999 mencabut ketentuantata usaha kayu rezim Orde Baru, termasukmekanisme self-assessment .

    bahwa pemegang izin IPKH diwajibkan

    melaporkan dokumen surat angkutan resmi

    setiap menerima kayu bulat, bahan baku

    serpih dan atau limbah pembalakan dan

    mengangkut kayu olahan, berupa Surat

     Angkutan Kayu Bulat (SAKB) yang dilampirkan

    dengan Daftar Kayu Bulat (DKB), SAKO yang

    dilampirkan dengan DKO, dan Laporan Mutasi

    Kayu (LMK).

    Pada tahun 2000, dalam rangka penertiban

    peredaran dan pemasaran hasil hutan melalui

    instrumen tata usaha kayu, Surat Keterangan

    Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) diberlakukan

    sebagai pengganti Surat Angkutan Kayu Bulat

    (SAKB) dan Surat Angkutan Kayu Olahan

    (SAKO), yang diatur melalui Kepmenhut No.

    132/Kpts-II/2000. Kepmenhut ini mengaturketentuan bahwa dokumen angkutan resmi

    untuk peredaran dan pemasaran hasil hutan

    dari sektor hulu hingga sektor hilir kehutanan

    dilakukan oleh petugas kehutanan yang

    ditunjuk, bukan lagi melalui mekanisme self-

    assessment .

    Sebagai peraturan pelaksana PP No. 34

    Tahun 2002, Kepmenhut No. 126/Kpts-II/2003

    tentang Penatausahaan Hasil Hutan

    diterbitkan untuk memberikan pedoman

    kepada semua pihak yang melakukan usaha

    di bidang kehutanan sehingga penatausahaan

    hasil hutan berjalan dengan tertib dan lancar,

    dan agar kelestarian hutan, pendapatan

    negara, dan pemanfaatan hasil hutan secara

    optimal dapat tercapai. Obyek penatausahaan

    hasil hutan terdiri dari semua jenis hasil hutan

    yang berasal dari hutan negara, hutan

    hak/rakyat, hasil olahan dari industri primer

    hasil hutan dan industri pengolahan kayu

    lanjutan (wood working), serta hasil hutan

    lelang.

    44..11..22..  TTAATTAA UUSSAAHHAA EEKKSSPPOORR KKAA Y YUU OOLLAAHHAANN 

    Dalam kaitannya dengan ketentuan

    pelaksanaan tata usaha ekspor kayu olahan,

    Kepmenhut No. 316/Kpts-II/1999 mengatur

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    19/30

     

    14

     

    bahwa eksportir produsen maupun non

    produsen kayu olahan dapat melakukan

    ekspor kayu olahan, dengan syarat harus

    melaporkan jumlah rencana dan realisasi

    ekspor kayu olahan per tahunnya. Artinya,

    pemerintah membuka kesempatan yang sama

    bagi eksportir produsen ataupun bukan untuk

    melakukan ekpor kayu olahan, meskipun

    berpotensi mengurangi nilai keuntungan

    pengusaha industri.

    Pada tahun 2001, pemerintah melarang

    ekspor kayu bulat dan atau bahan baku

    serpih, yang diatur melalui penerbitan Surat

    Keputusan Bersama Menteri Perindustrian

    dan Perdagangan dengan Menteri Kehutanan

    No. 1132/Kpts-II/2001 dan No.

    292/MPP/Kep/10/2001.

    Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin

    ketersediaan suplai bahan baku bagi industri

    dalam negeri, sehingga dapat mendorong

    upaya peningkatan nilai tambah (value added)

    industri pengolahan kayu dalam negeri.

     Artinya, melalui kebijakan tersebut diharapkan

    Indonesia tidak lagi hanya mengekspor kayu

    bulat dan atau bahan baku serpih. Namun,

    fakta menunjukkan bahwa ketika bahan baku

    industri berlimpah demikian, tidak juga

    mampu meningkatkan penerimaan negara.3  

    Justru, yang terjadi adalah pemborosan

    penggunaan bahan baku (lihat kotak ilustrasi

    berikut). Bahkan, penebangan liar dan

    penyelundupan kayu secara ilegal ke luar

    negeri marak terjadi.4 

     

    3 Nilai akumulatif penerimaan negara dari sektor hulu

    kehutanan (HPH/HTI) selama periode 2000-2003hanya sebesar Rp11,8 triliun atau hanya rata-rata1,47% per tahun terhadap nilai Penerimaan Dalam

    Negeri dalam APBN. Artinya, sebesar 98,5%Penerimaan Dalam Negeri sangat didominasi olehsektor-sektor ekonomi lainnya.4 Selama 38 tahun (1966-2003), secara akumulatif

    hutan alam Indonesia telah dieksploitasi sumber dayakayunya sekitar 750 juta m

    3. Bahkan, selama 23

    tahun, hutan alam Indonesia dieksploitasi sebanyakrata-rata lebih dari 25 juta m

    3/tahun. Angka tersebut

    belum termasuk eksploitasi kayu dari praktik illegallogging  yang dilakukan di hutan alam produksi dankawasan hutan lindung. 

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    20/30

     

    15

     

    Sumber: Analisis Greenomics Indonesia (2004)

    PP No. 34 Tahun 2002 secara tegas

    mengatur bahwa industri primer hasil hutanbertujuan untuk meningkatkan nilai tambah

    hasil hutan dan untuk penggunaan bahan

    baku secara efisien. Ditegaskan pula bahwa

    untuk memenuhi kebutuhan bahan baku

    industri primer hasil hutan, harus diperhatikan

    kemampuan daya dukung hutan secara

    lestari.

    Terkait dengan upaya untuk mendukung

    kegiatan ekspor, pada Desember 2002

    Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustriandan Perdagangan mengeluarkan Surat

    Keputusan Bersama tentang Pembentukan

    Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK).

    Pembentukan BRIK tersebut antara lain

    sebagai suatu upaya kesepahaman dan aksi

    bersama antara pelaku usaha industri

    kehutanan dengan instansi terkait untuk

    mewujudkan kelestarian hutan, penyediaan

    bahan baku industri kehutanan yang

    berkelanjutan. 

    SKB tersebut mengatur bahwa industri primer

    hasil hutan kayu yang diizinkan melakukan

    ekspor hanya industri yang merupakan

    produsen. Untuk melakukan ekspor tersebut,

    pemegang izin industri primer hasil hutan

    kayu diwajibkan melampirkan Surat

    Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH),

    bukti eksportir yang terdaftar di Depperindag

    berupa Eksportir Terdaftar Produk Industri

    Kehutanan (ETPIK), rekomendasi dari BRIK,dan surat-surat kelengkapan ekspor lainnya.

    Ketentuan prasyarat yang menarik di sini

    adalah disebutkan bahwa dokumen SKSHH

    hanya dapat diberikan jika pemegang izin

    telah menyusun Rencana Pemenuhan Bahan

    Baku Industri (RPBBI). Artinya, penyusunan

    RPBBI merupakan syarat pengajuan

    permohonan dokumen SKSHH.

    Ilustrasi. Pada periode 1966-1980, ”over-supply” produksi kayu hutan alam mencapai 220% per tahun

    dengan ekspor kayu bulat hutan alam sebagai andalan. Periode 1981-1990, tingkat ”over-supply” produksi

    kayu hutan alam mulai menurun, menjadi rata-rata sebesar 141% per tahun, di mana pada periode 1981-

    1984, ekspor log hutan alam masih dilakukan. Periode 1991-2001, hutan alam hanya mampu menyediakan

    rata-rata 88% per tahun dari total konsumsi kayu bulat legal industri kayu. Pada periode 1985-1997,larangan ekspor kayu bulat hutan alam diberlakukan—yang kemudian kran ekspor kayu bulat hutan alam

    tersebut dibuka lagi pada periode 1998-2001. Periode 2002-2004, kontribusi suplai kayu dari hutan alam

    diturunkan secara regulatif oleh pemerintah, yang hanya rata-rata sebesar 20% per tahun terhadap total

    konsumsi kayu bulat legal untuk industri kayu. Kebijakan tersebut diikuti oleh larangan ekspor kayu bulat

    hutan alam (lihat Grafik).

    Tren Kontribusi Produksi Log Hutan Alam terhadap

    Total Konsumsi Log Legal Industri Kayu 1996-2004

    20

    88

    141

    220

    2002-2004

    1991-2001

    1981-1990

    1966-1980

          P    e    r      i    o      d

    Persentase (%)

     

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    21/30

     

    16

     

    44..22..  PPEEMMEENNUUHHAANN KKEEBBUUTTUUHHAANN BBAAHHAANN BBAAKKUU 

    IINNDDUUSSTTRRII 

    Terkait dengan keberlanjutan sumber daya

    alam hutan sebagai penghasil kayu bulat

    untuk pemenuhan bahan baku IPKH, pada

    tahun 1996 diterbitkan Kepmenhut No.

    594/Kpts-II/1996 yang mengatur ketentuan

    bahwa pemenuhan bahan baku IPKH perlu

    disesuaikan dengan daya dukung sumber

    daya alam hutan.

    Pertimbangan diterbitkannya Kepmenhut

    tersebut adalah bahwa sumber daya alam

    hutan sebagai penghasil kayu bulat untuk

    pemenuhan bahan baku IPKH perlu dikelola

    secara lestari, dan pemenuhan bahan baku

    IPKH perlu disesuaikan dengan daya dukungsumber daya alam hutan untuk menjamin

    kelestarian sumber daya alam hutan tersebut.

    Kepmenhut tersebut mengatur bahwa

    pemegang IPKH diwajibkan menyusun

    Rencana Pemenuhan Bahan baku Industri

    (RPBI) setiap tahunnya, yang didasarkan

    pada kapasitas izin industri yang dimiliki dan

    bahan baku dari hasil penebangan yang sah.

    Pemegang izin IPKH juga diwajibkan

    membuat laporan realisasi pemenuhan bahan

    baku IPKH secara berkala setiap bulannya.

    Melalui Kepmenhut itu pula, kapasitas

    produksi industri dan pemenuhan bahan baku

    secara sah mulai diatur. Kepmenhut tersebut

    mengatur bahwa persetujuan RPBI bagi

    industri berkapasitas izin di atas 6.000 m³ per

    tahun merupakan wewenang Dirjen

    Pengusahaan Hutan, sementara persetujuan

    RPBI bagi industri berkapasitas izin sampai

    dengan 6.000 m³ per tahun merupakan

    wewenang Kakanwil Kehutanan Propinsi

    (sekarang Kepala Dinas Kehutanan Propinsi).Pengusaha industri diwajibkan membuat

    realisasi bahan baku yang terpenuhi serta

    dilakukan pengecekan terhadap RPBI yang

    telah disahkan. Jika terdapat revisi RPBI,

    maka revisi tersebut juga harus mendapatkan

    persetujuan secara sah.

    Kewajiban penyusunan RPBI serta laporan

    realisasinya tersebut idealnya dapat

    memberikan perbandingan antara kebutuhan

    bahan baku industri tersebut dan kemampuan

    pengusaha IPKH memenuhinya secara

    aktual. Kapasitas produksi masing-masing

    industri seharusnya hanya diberikan

    berdasarkan kemampuan pemenuhan bahan

    baku oleh pengusaha industri tersebut dengan

    memperhatikan aspek pengelolaan hutan dan

    kemampuan daya dukung hutan secara

    lestari.

    Namun dalam praktiknya, dokumen RPBI

    tersebut sering hanya dijadikan dokumen

    ‘formalitas’ saja. Kemampuan pemenuhan

    bahan baku secara legal jauh di bawah target

    dalam RPBI, sehingga pengusaha industripengolahan kayu menerima bahan baku kayu

    dari sumber lain yang tidak sah demi

    memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Belum

    lagi, banyak pengusaha industri pengolahan

    kayu yang sengaja membeli kayu ilegal

    dengan harga yang jauh lebih murah

    dibandingkan kayu legal.

    Setelah UU No. 41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan diterbitkan, kapasitas produksi

    industri pengolahan kayu diamanatkan untuk

    dibatasi secara optimal. Hal ini penting untuk

    menjaga keseimbangan antara kemampuan

    penyediaan bahan baku dengan industri

    pengolahannya, sehingga kapasitas produksi

    industri pengolahan kayu tidak mendorong

    permintaan bahan baku yang melebihi

    kapasitas suplai dari pengusahaan hutan

    secara lestari. Dalam Penjelasan UU No. 41

    Tahun 1999, secara jelas disebutkan bahwa

    upaya pengolahan hasil hutan tidak boleh

    mengakibatkan rusaknya hutan sebagai

    sumber bahan baku industri.

    Orientasi pembangunan kehutanan sejak

    diterbitkannya PP No. 34 Tahun 2002, lebih

    banyak diarahkan pada upaya konservasi

    sumber daya hutan dan penyelamatan industri

    pengolahan kayu yang mengalami

    kelangkaan sumber bahan baku.

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    22/30

     

    17

     

    Pemerintah juga telah menetapkan jatah

    produksi hasil hutan kayu dari hutan alam

    sebagai upaya konservasi dan pengurangan

    atas tekanan sumber daya hutan, meskipun

    kebijakan tersebut dianggap kurang

    ‘memihak’ pada industri pengolahan kayu.

    Pada tahun 2003 Menteri Kehutanan

    mengeluarkan Kepmenhut No. 326/Kpts-

    II/2003 yang mengatur ketentuan bahwa

    pemohon izin industri primer hasil hutan kayu

    diwajibkan untuk melengkapi jaminan

    pasokan bahan baku kayu yang berkelanjutan

    dan menyusun rencana pemenuhan bahan

    baku industri (RPBBI). Pertimbangan

    dikeluarkannya Kepmenhut tersebut adalah

    perlunya menyesuaikan jaminan pasokan

    bahan baku yang berkelanjutan bagi industriprimer hasil hutan kayu dengan daya dukung

    sumber daya hutan, dalam rangka menjamin

    kelestarian hutan tersebut. Kepmenhut ini

    sekaligus mencabut Kepmenhut No.

    594/Kpts-II/1996 tentang Rencana

    Pemenuhan Bahan Baku Industri Pengolahan

    Kayu Hulu.

    Pemohon izin usaha industri primer hasil

    hutan kayu diwajibkan menyusun dan

    melampirkan buku jaminan pasokan bahan

    baku yang berkelanjutan dalam proposal

    pendirian izin usaha industri primer hasil

    hutan kayu, dengan mempertimbangkan

    bahan baku dari sumber atau asal usul yang

    sah, jenis produk industri, dan kapasitas izin

    dan kapasitas terpasang industri primer hasil

    hutan kayu untuk masing-masing jenis

    produk. Sumber bahan baku yang sah

    tersebut dapat berasal dari hutan alam, hutan

    tanaman, dan hutan hak atau hutan rakyat. Di

    samping itu, juga terdapat sumber bahan

    baku sebagai pendukung, yang dapat berasaldari hasil pemanfaatan kayu peremajaan

    tanaman perkebunan, impor, dan hasil lelang

    dari hasil hutan sitaan, temuan dan atau

    rampasan.

    Pemegang izin usaha industri primer hasil

    hutan kayu juga wajib menyusun buku usulan

    RPBBI yang memuat resume jaminan

    pasokan bahan baku, jenis industri, kapasitas

    izin, dan kapasitas terpasang. Buku usulan

    RPBBI tersebut disusun berdasarkan:

    •  Buku jaminan pasokan bahan baku

    berkelanjutan

    •  Potensi hutan alam yang berpedoman

    pada pemanfaatan hutan secara lestari

    •  Potensi hutan tanaman

    •  Penetapan kuota tebangan tahunan dan

     jatah produksi tahunan

    •  Kapasitas izin industri primer hasil hutan.

    Kepmenhut No. 326/Kpts-II/2003 mengatur

    ketentuan bahwa usulan RPBBI perlu

    dilengkapi dengan dokumen pendukung

     jaminan bahan baku berupa:

    •  Kontrak jual beli bahan baku denganpengelola sumber bahan baku, baik dari

    hutan negara maupun hutan hak

    •  Jika bahan baku berasal dari IUPHHK

    atau IUPHHBK tahun sebelumnya, agar

    dilengkapi dengan copy keputusan RKT

    (rencana kerja tahunan) atau BKT (bagan

    kerja tahunan) tahun sebelumnya dan

    dilengkapi dengan Berita Acara

    Pemeriksaan stock opname selambat-

    lambatnya 1 (satu) bulan sebelum RPBBI

    diajukan.•  Jika bahan baku berasal dari IUPHHK

    pada hutan alam tahun berjalan perlu

    dilengkapi dengan penetapan kuota

    tebangan tahunan dan atau jatah produksi

    tahunan yang didasarkan LHC tebang

    tahun berjalan dari Dinas Kabupaten/Kota,

    dan untuk bahan baku yang berasal dari

    tahun sebelumnya agar dilengkapi dengan

    Berita Acara Pemeriksaan stock opname.

    •  Jika bahan baku berasal dari izin sah

    lainnya (ISL), perlu dilengkapi dengan

    copy keputusan ISL, yaitu IPK dari areal

    penggunaan lain (APL), ijin usaha

    pemanfaatan kayu dari penggunaan

    kawasan hutan dan atau dari areal yang

    diubah statusnya (peruntukan) dari

    kawasan hutan menjadi bukan kawasan

    hutan

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    23/30

     

    18

     

    •  Jika bahan baku berasal dari areal hutan

    hak atau dari bukan kawasan hutan

    (perkebunan), perlu diketahui oleh Dinas

    Kabupaten/Kota asal bahan baku tersebut

    •  Jika bahan baku berasal dari lelang tahun

    sebelumnya, perlu dilengkapi surat bukti

    peserta lelang dan pemenang lelang yang

    dikuatkan dengan hasil risalah lelang dari

    Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara

    setempat

    •  Jika bahan baku berasal dari impor, perlu

    dilengkapi perjanjian kontrak impor untuk

    tahun berjalan yang dilegalisir oleh

    pimpinan industri primer hasil hutan dan

    atau bukti pemasukan bahan baku impor

    tahun sebelumnya yang diketahui Kepala

    Dinas Propinsi setempat.

    Karakteristik penting dalam Kepmenhut No.

    326/Kpts-II/2003 tersebut antara lain

    dibukanya peluang impor sebagai alternatif

    pemenuhan bahan baku industri primer hasil

    hutan kayu. Artinya, untuk meningkatkan daya

    saing, bahan baku kayu bagi industri primer

    hasil hutan kayu dapat pula berasal dari

    impor, di samping kondisi hutan alam yang

    terus menurun kemampuannya mensuplai

    bahan baku bagi industri pengolahan kayu.

    Impor bahan baku bagi kegiatan industri

    pengolahan kayu sebenarnya telah dilakukan

    pula pada masa Orde Baru, meskipun hanya

    terbatas pada impor fancy wood secara

    individual perusahaan industri. Sedangkan

    impor yang dimaksud di sini adalah impor

    untuk memenuhi bahan baku kayu bulat yang

    tidak dapat lagi dimanfaatkan dari hutan alam

    produksi.

    Selain membuka peluang impor bahan baku

    bagi industri pengolahan kayu, dalam rangka

    menghasilkan produk bernilai tinggi danefisiensi bahan baku, pada tahun 2003

    pemerintah mengambil langkah percepatan

    hutan tanaman dan rekayasa mesin untuk

    industri primer hasil hutan kayu yang mampu

    menghasilkan hasil hutan kayu olahan bernilai

    tinggi. Rekayasa mesin yang dilakukan adalah

    mengganti mesin-mesin lama yang tidak

    efisien dengan mesin-mesin baru yang lebih

    efisien, atau tetap menggunakan mesin-mesin

    lama dengan melakukan modifikasi mesin.

    Khusus untuk pemegang izin usaha industri

     pulp dan kertas, PP No. 34 Tahun 2002

    mewajibkan untuk membangun hutan

    tanaman, di samping juga membuka peluang

    untuk melakukan impor bahan baku pulp dan

    kertas.

    Kebijakan perlunya pengusaha industri

    menyusun RPBBI dan buku jaminan pasokan

    bahan baku yang berkelanjutan memberikan

    dampak positif terhadap upaya ‘menyeleksi’

    industri-industri yang mampu melaksanakan

    kegiatannya dengan memperhatikan aspek

    keberlanjutan sumber daya hutan. Diharapkan

    hanya pengusaha industri yang memiliki jaminan sumber bahan baku yang sah yang

    akan diberikan izin industri pengolahan kayu,

    dan hal ini juga merupakan perwujudan upaya

    rasionalisasi kapasitas produksi industri

    pengolahan kayu.

    Semangat desentralisasi juga tertuang dalam

    Kepmenhut No. 326/Kpts-II/2003, yakni

    diberikannya kewenangan kepada Gubernur

    untuk menyetujui dan mengesahkan usulan

    RPBBI untuk industri primer hasil hutan kayu

    dengan kapasitas produksi sampai dengan

    6.000 m3 per tahun. Kepmenhut tersebut

    mengatur bahwa Gubernur berwenang untuk

    menyetujui dan mengesahkan usulan RPBBI

    tersebut dengan pertimbangan teknis dari

    Kadishut Kabupaten/Kota dan Kadishut

    Propinsi. Sedangkan untuk industri primer

    hasil hutan dengan kapasitas di atas 6.000 m3 

    per tahun, kewenangan pengesahan usulan

    RPBBI berada pada Direktur Jenderal Bina

    Produksi Kehutanan dengan memperhatikan

    pertimbangan dari Kadishut Propinsi.

    Terkait dengan pengawasan dan pembinaan

    terhadap industri primer hasil hutan kayu, PP

    No. 34 Tahun 2002 dan Kepmenhut sebagai

    peraturan pelaksana PP tersebut mengatur

    bahwa pemegang izin usaha industri primer

    hasil hutan kayu wajib melaporkan secara

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    24/30

     

    19

     

    berkala kegiatan dan hasil industrinya kepada

    pemberi izin dan instansi yang diberikan

    kewenangan dalam pembinaan dan

    pengembangan industri primer hasil hutan.

    Pemegang izin usaha industri primer hasil

    hutan kayu yang tidak menyusun dan

    menyerahkan RPBBI pada waktunya dapat

    dikenakan sanksi penghentian sementara

    usaha industri. Bahkan, jika terbukti

    melakukan pelanggaran berupa menadah,

    menampung atau mengolah bahan baku hasil

    hutan yang berasal dari sumber bahan baku

    yang tidak sah (ilegal), izin usaha industri

    primer hasil hutan kayu dapat dicabut tanpa

    perlu didahului oleh surat peringatan tertulis.

    44..33..  EEVVAALLUUAASSII KKIINNEERRJJAA IINNDDUUSSTTRRII PPEENNGGOOLLAAHHAANN KKAA Y YUU 

    Karakteristik paling penting dalam pengelolaan

    industri pengolahan kayu adalah adanya

    kebijakan untuk melakukan evaluasi terhadap

    kinerja industri primer hasil hutan kayu, yang

    baru ada setelah diterbitkannya PP No. 34

    Tahun 2002. Kebijakan tersebut mengatur

    bahwa evaluasi terhadap kinerja industri

    dilakukan paling kurang tiga tahun sekali,

    dengan ketentuan bahwa evaluasi terhadap

    industri berkapasitas produksi sampai dengan

    6.000 m3 per tahun dilakukan oleh Dinas

    Kehutanan Propinsi. Sedangkan, evaluasi

    terhadap industri dengan kapasitas produksi

    lebih dari 6.000 m3 per tahun dilakukan oleh

    Departemen Kehutanan dan dapat pula

    dilakukan oleh Lembaga Penilaian Independen

    (LPI) Mampu bidang industri dan perdagangan.

    Kriteria dan tata cara evaluasi terhadap

    industri primer hasil hutan kayu diatur dalam

    Kepmenhut No. 6884/Kpts-II/2002. Evaluasiterhadap industri primer hasil hutan kayu

    dimaksudkan untuk: (a) memantau

    perkembangan kegiatan industri primer hasil

    hutan kayu secara periodik, (b) pengendalian

    terhadap setiap pelaksanaan kegiatan industri

    primer kayu sesuai kriteria penilaian, dan (c)

    bahan penyempurnaan kebijakan dalam

    rangka pengaturan, pembinaan dan

    pengembangan industri primer hasil hutan

    kayu. Kepmenhut tersebut secara tegas

    menyebutkan bahwa evaluasi terhadap

    kinerja industri primer hasil hutan kayu

    dengan bertujuan untuk mewujudkan industri

    primer kehutanan yang tangguh, efisien, dan

    kompetitif dengan memperhatikan

    kemampuan daya dukung hutan secara

    lestari.

    Jenis-jenis industri primer hasil hutan yang

    dievaluasi menurut Kepmenhut No.

    6884/Kpts-II/2002 tersebut meliputi Industri

    Penggergajian Kayu, Industri Veneer, Industri

    Kayu Lapis (plywood), Industri Laminating

    Veneer Lumber (LVL), dan Industri Serpih

    Kayu (chipwood). Kepmenhut tersebutmengidentifikasi 10 kriteria yang dijadikan

    sebagai bahan penilaian dalam evaluasi

    industri primer hasil hutan hutan kayu, yakni:

    1) Kriteria perizinan, 2) Kriteria pemenuhan

    bahan baku, 3) Kriteria legalitas bahan baku,

    4) Kriteria kapasitas terpasang dan kapasitas

    izin, 5) Kriteria efisiensi penggunaan bahan

    baku, 6) Kriteria kesehatan finansial, 7)

    Kriteria baku mutu lingkungan, 8) Kriteria

    dokumen RPBBI, 9) Kriteria pelaporan, dan

    10) Kriteria tenaga kerja. Hasil evaluasi

    tersebut digunakan sebagai dasar penilaian

    kinerja industri primer hasil hutan kayu.5 

    Guna menindaklanjuti Kepmenhut No.

    6884/Kpts-II/2002, Menteri Kehutanan

    menerbitkan Kepmenhut No. 303/Kpts-II/2003

    tentang Tata Cara Penilaian Kinerja Industri

    Primer Hasil Hutan Kayu. Terdapat tiga

    mekanisme tata cara dalam penilaian kinerja

    industri primer hasil hutan kayu, yakni: 1)

    Penilaian kinerja melalui pemaparan kegiatan

    5 Biaya operasional evaluasi industri primer hasil

    hutan kayu dibebankan pada anggaran Dephut. Biayaoperasional evaluasi industri primer hasil hutan kayutersebut merupakan dana yang digunakan untukbiaya operasional Tim Evaluasi, yakni tim pelaksanayang ditunjuk dengan Kepmenhut untukmelaksanakan evaluasi industri primer hasil hutankayu di daerah (diatur dalam Kepmenhut No.8778/Kpts-II/2002 tentang Standar Biaya OperasionalTim Evaluasi Industri Primer Hasil Hutan Kayu).

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    25/30

     

    20

     

    atau presentasi langsung oleh pemegang izin

    usaha primer hasil hutan kayu, 2) Penilaian

    kinerja melalui kegiatan evaluasi, dan 3)

    Evaluasi dalam rangka penilaian kinerja oleh

    Lembaga Penilaian Independen (LPI) Mampu.

    Penilaian kinerja melalui pemaparan

    kegiatan untuk industri primer hasil hutan

    kayu berkapasitas produksi di atas 6.000 m³

    per tahun merupakan kewenangan Dirjen

    Bina Produksi Kehutanan (BPK). Jika

    pengusaha industri tidak dapat melakukan

    paparan atau presentasi kegiatan, maka

    dilakukan penilaian kinerja berdasarkan data

    dan informasi di Dephut oleh pejabat yang

    berwenang melaksanakan penilaian kinerja.

    Sedangkan penilaian kinerja melalui

    pemaparan kegiatan untuk industri primerhasil hutan kayu berkapasitas produksi

    sampai dengan 6.000 m³ per tahun

    merupakan kewenangan Kadishut Propinsi.

    Jika pengusaha industri tidak dapat

    melakukan presentasi tersebut, maka

    dilakukan penilaian kinerja berdasarkan data

    dan informasi di Dishut Propinsi oleh Pejabat

    yang berwenang melaksanakan penilaian

    kinerja.

    Kewenangan penilaian kinerja industri

    primer hasil hutan kayu melalui kegiatan

    evaluasi juga diklasifikasikan berdasarkan

    kapasitas produksi industri tersebut. Penilaian

    kinerja industri primer hasil hutan kayu

    dengan kapasitas produksi di atas 6.000 m3 

    per tahun merupakan kewenangan Dirjen

    BPK, dengan menerbitkan Surat Perintah

    Tugas bagi Tim Evaluasi. Selanjutnya, Tim

    Evaluasi tersebut yang melaksanakan

    kegiatan dan melaporkan hasilnya kepada

    Dirjen BPK. Laporan Tim Evaluasi tersebut

    disampaikan oleh Dirjen BPK kepada MenteriKehutanan sebagai salah satu pertimbangan

    penetapan kebijakan pengaturan dan

    pembinaan industri primer hasil hutan kayu

    yang bersangkutan.

    Sedangkan, penilaian kinerja industri primer

    hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi

    sampai dengan 6.000 m3 per tahun

    merupakan kewenangan Kadishut Propinsi,

    yang menugaskan Tim Evaluasi untuk

    melaksanakan penilaian kinerja industri primer

    hasil hutan kayu tersebut. Tim Evaluasi

    tersebut terdiri dari unsur-unsur Dishut

    Propinsi, Dishut Kabupaten/Kota, balai dan

    instansi terkait, yang ditugaskan berdasarkan

    Surat perintah Tugas bagi Tim Evaluasi oleh

    Kadishut Propinsi. Hasil evaluasi tersebut

    dilaporkan kepada Kadishut Propinsi dengan

    tembusan kepada Menteri Kehutanan melalui

    Dirjen BPK. Selanjutnya, Kadishut Propinsi

    menggunakan hasil laporan Tim Evaluasi

    sebagai salah satu pertimbangan penetapan

    kebijakan pengaturan dan pembinaan industri

    primer hasil hutan kayu yang bersangkutan.

    Sementara itu, evaluasi dalam rangka

    penilaian kinerja industri primer hasil

    hutan kayu oleh Lembaga Penilaian

    Independen (LPI) Mampu6 dilakukan

    berdasarkan pertimbangan volume kegiatan,

    yakni hanya dilakukan pada industri primer

    hasil hutan kayu berkapasitas produksi di atas

    6.000 m3 per tahun. LPI Mampu yang dapat

    melakukan evaluasi adalah LPI Mampu yang

    telah mendapat pengakuan dari Menteri

    Kehutanan. Sasaran kegiatan evaluasi

    ditetapkan oleh Dirjen BPK melalui Surat

    Perintah Tugas bagi pelaksanaan evaluasi

    oleh LPI Mampu. Langkah-langkah evaluasi

    melalui mekanisme penilaian kinerja oleh LPI

    adalah sebagai berikut:

    •  LPI melaksanakan evaluasi terhadap

    kinerja industri primer hasil hutan kayu

    berdasarkan kriteria dan indikator yang

    telah ditetapkan

    •  LPI melaporkan hasil evaluasi kepada Tim

    Evaluasi (TE) dan/atau kelompok kerja

    yang dibentuk Menteri Kehutanan dengan

    6 Biaya untuk pelaksanaan evaluasi dalam rangka

    penilaian industri primer hasil hutan kayu oleh LPImampu selama 3 tahun pertama (sejak tahun 2003),dibebankan pada anggaran Departemen Kehutanan.Sedangkan, untuk pelaksanaan evaluasi tahunberikutnya akan dibebankan kepada masing-masingperusahaan industri. 

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    26/30

     

    21

     

    tembusan kepada perusahaan industri

    yang dievaluasi

    •  Jika perusahaan industri berkeberatan

    atas proses dan/atau hasil evaluasi, dapat

    mengajukan keberatan kepada Dewan

    Pertimbangan Verifikasi (DPV) yang

    dibentuk oleh Menteri Kehutanan

    •  DPV menyampaikan hasil

    penyelesaiannya kepada TE dan/atau

    kelompok kerja serta bersifat final

    •  TE dan/atau kelompok kerja melaporkan

    hasil penilaian kinerja industri primer hasil

    hutan kayu kepada Dirjen BPK

    •  Dirjen BPK menyampaikan laporan TE

    kepada Menteri Kehutanan sebagai salah

    satu pertimbangan penetapan kebijakan

    pengaturan dan pembinaan industri primer

    hasil hutan kayu yang bersangkutan

    Hasil penilaian kinerja industri primer hasil

    hutan kayu dari masing-masing mekanisme

    penilaian tersebut di atas akan digunakan

    sebagai salah satu bahan penetapan

    kebijakan pengaturan dan pembinaan

    terhadap industri tersebut. Bentuk kebijakan

    tersebut antara lain berupa pemberian

    penghargaan dan/atau insentif bagi industri

    primer hasil hutan kayu yang penilaian

    kinerjanya termasuk dalam peringkat sangat

    baik, atau penurunan kapasitas produksi jika

    penilaian kinerjanya termasuk dalam

    peringkat buruk.

     

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    27/30

     

    22

     

    VV..  KKEESSIIMMPPUULLAANN DDAANN RREEKKOOMMEENNDDAASSII 

    55..11..  KKEESSIIMMPPUULLAANN 

    •  Orientasi pemanfaatan kayu secara

    intensif sebagai pendukung utama

    pembangunan industri pengolahan

    kayu menjadi karakteristik penting

    selama Orde Baru, yang dimulai

    ketika Soeharto berkuasa. Industri

    pengolahan kayu merupakan

    barometer peningkatan penerimaan

    negara di sektor kehutanan selamaperiode 1967-1999. Pemegang Hak

    Pengusahaan Hutan dan Izin

    Pemanfaatan kayu diwajibkan untuk

    mendirikan atau memiliki keterkaitan

    dengan industri pengolahan kayu.

    Ketentuan tersebut terus berlangsung

    hingga dicabut pada tahun 1999

    setelah lengsernya rezim Orde Baru,

    dengan pertimbangan untuk

    mengurangi sistem konglomerasi di

    sektor usaha kayu.

    •  Daya dukung hutan lestari mulai

    diperhatikan sejak diterbitkannya UU

    No. 41 Tahun 1999. Aspek penurunan

    produktivitas hutan alam sebagai

    pemasok bahan baku industri secara

    eksplisit telah dituangkan dalam

    upaya pembenahan industri

    pengolahan kayu melalui Keppres No.

    96 Tahun 2000, yang antara lain

    mengatur bahwa izin baru bagi

    industri kayu gergajian di luar PropinsiPapua hanya akan diberikan jika

    bahan baku kayu bulat yang

    digunakan berasal dari non hutan

    alam.

    •  Faktor menurunnya pasokan bahan

    baku industri pengolahan kayu juga

    mendorong pemerintah mengambil

    kebijakan penurunan kapasitas izin

    industri primer hasil hutan kayu.

    Pengaturan penurunan kapasitas izin

    industri primer hasil hutan kayu

    merupakan bentuk pengaturan

    terhadap industri primer hasil hutan

    kayu yang terkait dengan kebijakan

    penurunan secara bertahap kuota

    tebangan secara nasional yang

    berasal dari hutan alam produksi sertakebijakan restrukturisasi industri

    primer hasil hutan kayu. Bentuk

    kebijakan tersebut dinilai cukup adil 

    sebagai upaya mendorong

    pengelolaan industri primer hasil

    hutan kayu yang lebih profesional.

    •  Kewenangan perizinan industri

    pengolahan kayu mengalami evolusi,

    yakni dari Menteri Perindustrian dan

    Perdagangan pada masa Orde Baru,

    pelimpahan kewenangan kepada

    Dinas Perindustrian dan Perdagangan

    di daerah, serta diaturnya

    kewenangan perizinan industri primer

    hasil hutan kayu kepada Menteri

    Kehutanan. Dilihat dari aspek

    desentralisasi kewenangan, Menteri

    Kehutanan melakukan pelimpahan

    kepada Gubernur untuk kewenangan

    perizinan industri primer hasil hutan

    kayu berkapasitas produksi sampai

    dengan 6.000 m3

     per tahun.

    •  Kebijakan tata usaha kayu mengalami

    evolusi sejak diterapkannya

    mekanisme self-assessment , yang

    kemudian digantikan dengan

    mekanisme official assessment.

    Kebijakan ekspor kayu bulat juga

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    28/30

     

    23

     

    mengalami evolusi. Pada masa Orde

    Baru, kran ekspor kayu bulat ditutup

    untuk menjamin pasokan bahan baku

    industri dalam negeri, namun setelah

    diterbitkannya UU No. 41 Tahun 1999

    dan PP No. 34 Tahun 2002, kran

    ekspor kayu bulat ditutup dengan

    pertimbangan bahwa produktivitas

    hutan alam telah semakin menurun.

    Hal ini sejalan dengan kebijakan kuota

    tebangan tahunan dari hutan alam

    produksi secara nasional sejak tahun

    2003. Karakteristik penting terkait

    dengan kegiatan ekspor adalah

    dibentuknya Badan Revitalisasi

    Industri Kayu (BRIK) yang berfungsi

    untuk memperlancar kegiatan ekspor,

    dengan melakukan ‘seleksi’ terhadapindustri pengolahan kayu. Hal ini

    berdampak positif terhadap upaya

    menciptakan kinerja industri

    pengolahan kayu eksportir yang

    profesional.

    •  Karakteristik penting terkait dengan

    evolusi kebijakan pemenuhan bahan

    baku industri adalah adanya kebijakan

    untuk mewajibkan pengusaha industri

    pengolahan kayu menyusun Buku

    Jaminan Pasokan Bahan Baku

    Berkelanjutan dan Rencana

    Pemenuhan Bahan Baku Industri

    (RPBBI). Karakteristik penting lainnya

    adalah dibukanya peluang

    pemenuhan bahan baku industri yang

    berasal dari impor. Jika dibandingkan

    dengan kebijakan impor fancy wood

    pada masa Orde Baru, kebijakan

    impor saat ini adalah untuk memenuhi

    kekurangan bahan baku kayu bulat

    dari dalam negeri.

    •  Karakteristik paling penting dalam

    evolusi kebijakan terkait dengan

    pengelolaan industri pengolahan kayu

    adalah adanya kebijakan untuk

    melakukan evaluasi terhadap kinerja

    industri primer hasil hutan kayu, yang

    belum pernah diatur sebelum

    diterbitkannya PP No. 34 Tahun 2002.

    Kebijakan tersebut mengatur bahwa

    evaluasi terhadap kinerja industri

    dilakukan paling kurang tiga tahun

    sekali. Evaluasi tersebut berdampak

    positif bagi upaya mendorong

    terciptanya kinerja industri pengolahan

    kayu yang profesional dan

    memperhatikan aspek pengelolaan

    hutan lestari.

    55..22..  RREEKKOOMMEENNDDAASSII 

    •  Kebijakan penurunan kapasitas izin

    industri pengolahan kayu perlu

    dipertahankan, di samping juga perlumemberlakukan kuota izin industri

    pengolahan kayu. Artinya, jika proses

    daftar ulang industri pengolahan kayu

    telah selesai, pemberian izin industri

    baru masih perlu ditangguhkan,

    hingga dapat menjawab ketimpangan

    antara permintaan dan penawaran

    kayu secara realistis. Hal ini

    mengingat fakta bahwa sumber ilegal

    masih menjadi sumber pasokan

    bahan baku industri pengolahan kayu.

    •  Kebijakan pemberlakuan Jaminan

    Pasokan Bahan Baku Industri

    Berkelanjutan dan Rencana

    Pemenuhan Bahan Baku Industri

    (RPBBI) harus dipertahankan, di

    samping terus membuka dan

    mempromosikan opsi impor bahan

    baku industri guna mengurangi

    tekanan-tekanan terhadap hutan alam

    produksi. Percepatan pembangunan

    hutan tanaman sebagai upaya untukmengurangi tekanan terhadap hutan

    alam perlu dioptimalkan guna

    mendukung upaya pemenuhan

    kebutuhan bahan baku industri.

    Namun, perlu diatur kebijakan secara

    komprehensif sehingga tidak

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    29/30

     

    24

     

    dilakukan melalui praktik konversi

    hutan alam.

    •  Kegiatan evaluasi terhadap kinerja

    industri pengolahan kayu perlu terus

    dilakukan guna menciptakan industri-

    industri pengolahan kayu dalam

    negeri yang tangguh dan profesional,

    serta memiliki daya saing

    dibandingkan dengan industri luar

    negeri. Hal ini untuk mendorong agar

    industri pengolahan kayu dalam

    negeri memiliki kreativitas tinggi dalam

    menghasilkan produk olahan bernilai

    tambah (value added), efisien dalam

    penggunaan bahan baku, serta

    memperhatikan daya dukung hutan

    lestari dalam pengelolaannya.

    •  Sektor hilir kehutanan (industri

    pengolahan kayu) saat ini tidak bisa

    lagi diharapkan sebagai roda

    penggerak perekonomian. Hal ini

    mengingat bahwa kemampuan

    sumber daya hutan semakin menurun,

    sedangkan yang harus djiadikan

    prioritas dalam jangka panjang adalah

    mengembalikan fungsi dan manfaat

    hutan sebagai penggerak ekonomi

    dan penyangga kehidupan.

     

  • 8/20/2019 Makalah Industri Pengolahan Kayu

    30/30

     

     

    RREEFFEERREENNSSII 

    Effendi, E. dan Vanda M. D. 2003. A Review of Legal Requirements with Regard to Timber

    Plantation Concessions in Indonesia. Greenomics Indonesia. Jakarta.

    ------------------. 2002. A Legal-Based Mapping Out of Costs and Revenues Associated with

    Legal Timber Harvesting, Processing, Transporting and Trading in Indonesia. 

    Greenomics Indonesia. Jakarta.

    Effendi, et al. 2004. Politik Ekonomi Kayu antar Generasi Presiden. Greenomics Indonesia.

    Jakarta.

    -------------------. 2004. Landing Timber-Dependent Economy Softly. Greenomics Indonesia

    Technical Paper, April 2004. Jakarta.

    --------------------. 2003. Mekanisme Pemberian IUPHHK pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman

    Melalui Penawaran dalam Pelelangan. Jakarta.

    --------------------. 2003. A Review of Legal Requirements with regard to Timber Plantation

    Concessions in Indonesia. Jakarta. September 2003.

    Indonesia Corruption Watch dan Greenomics Indonesia. 2004. Praktik Korupsi Bisnis

    Eksploitasi Kayu. Analisis Kinerja Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan

    Hutan Tanaman. Kertas Kerja No. 05, Agustus 2004. Jakarta.

    -------------------. 2004. Evolusi Hak, Kewajiban, dan Sanksi terhadap Sektor Hulu & Hilir

    Kehutanan. Kertas Kerja No,. 09, Agustus 2004. Jakarta.

    -------------------. 2004. Interpretasi Perspektif terhadap Pelelangan IUPHHK pada Hutan

    Tanaman. Laporan Observasi Lapangan di Propinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan

    Barat. Jakarta.

    ------------------. 2004. Pungutan Usaha Kayu. Evolusi terhadap Mekanisme Perhitungan,

    Pemungutan, dan Penggunaan Pungutan Usaha Kayu. Kertas Kerja No. 07, September

    2004. Jakarta.

    -----------------. 2004. Evolusi Mekanisme Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayupada Hutan Alam dan Hutan Tanaman. Kertas Kerja No. 06, September 2004. Jakarta.

    Kartodihardjo, H. dan Agus S. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan

    Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. 

    CIFOR Occasional Paper No. 26 (I). Bogor.