KEBIJAKAN PELARANGAN PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP TIDAK RAMAH LINGKUNGAN MAKALAH Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Laut Ditulis Oleh : Bagoes Aria 230210110024 Luky Prasetya D 230210140006 Rijal Muttaqiin 230210140027 Naomi D J Fonataba 230210140033 Muhammad Reyhan A 230210140040 Alvin Akbari S 230210140046 Nurul Aidah S 230210140050 Ajeng Wulandari 230210140055 Muthya Farah N A 230210140060 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEBIJAKAN PELARANGAN PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP TIDAK RAMAH
LINGKUNGAN
MAKALAHMakalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Laut
Ditulis Oleh :
Bagoes Aria 230210110024Luky Prasetya D 230210140006Rijal Muttaqiin 230210140027Naomi D J Fonataba 230210140033Muhammad Reyhan A 230210140040Alvin Akbari S 230210140046Nurul Aidah S 230210140050Ajeng Wulandari 230210140055Muthya Farah N A 230210140060
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................42
PENDAHULUAN
Pelaksanaan pembangunan perikanan di Indonesia oleh pemerintah mempunyai
peranan yang sangat penting untuk mengelola sumberdaya ikan, sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 33) maupun Undang-Undang Perikanan No. 31
tahun 2004, yang intinya memberikan mandat kepada pemerintah didalam mengelola
sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan kelestarian dan
keberlanjutan sumberdaya tersebut. Sumberdaya ini secara umum disebut atau termasuk
dalam kategori dapat pulih. Namun, kemampuan alam untuk memperbaharui ini bersifat
terbatas. Jika manusia mengeksploitasi sumberdaya melelebihi batas kemampuannya untuk
melakukan pemulihan, sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan
menyebabkan kepunahan. Salah satu untuk menjaga kelestarian ikan pemerintah mengatur
tentang alat tangkap ikan yang ramah lingkungan.
Penggunaan alat penangkap ikan cantrang di Indonesia banyak digunakan oleh para
nelayan di pantai utara Jawa Timur dan Jawa Tengah terutama bagian utara. Alat penangkap
ikan jenis cantrang dalam pengertian umum digolongkan pada kelompok Danish Seine yang
terdapat di Eropa dan beberapa di Amerika. Dilihat dari bentuknya alat tangkap tersebut
menyerupai payang tetapi ukurannya lebih kecil. Cantrang merupakan alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap sumberdaya perikanan demersal terutama ikan dan udang yang
dilengkapi dua tali penarik yang cukup panjang yang dikaitkan pada ujung sayap jaring.
Bagian utama dari alat tangkap ini terdiri dari kantong, badan, sayap atau kaki, mulut jaring,
tali penarik (warp), pelampung dan pemberat. Daerah penangkapan (fishing ground) cantrang
tidak jauh dari pantai, pada bentuk dasar perairan berlumpur atau lumpur berpasir dengan
permukaan dasar rata. Daerah penangkapan yang baik untuk alat tangkap Cantrang yaitu
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Dasar perairan rata dengan substrat pasir, lumpur atau tanah liat berpasir.
2. Arus laut cukup kecil (< 3 knot).
3. Cuaca terang tidak ada angin kencang.
Alat penangkap ikan jenis cantrang semakin popular di kalangan nelayan, contohnya
di daerah jawa timur khususnya di laut bagian utara, berdasarkan data tahun 2009 jumlah
nelayan perikanan tangkap di Jawa Timur sebanyak 234.467, dimana jumlah nelayan
perikanan tangkap didaerah utara sebanyak 185.846 tersebar di 14 kabupaten atau kota.
Sedangkan produksi perikanan tangkap dengan jenis alat tangkap cantrang sebanyak
15.876,50 ton ( jatimprov.go.id). Dengan melihat data tersebut sebagian nelayan Jawa Timur
bertumpu pada alat tangkap ini untuk menopang perekonomian mereka sebagai pekerjaan
primer para nelayan cantrang. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Gellwynn Jusuf
mengatakan pada berita di portalkbr.com, di Jawa Tengah penggunaan alat cantrang
bukannya berkurang malah semakin meningkat. Salah satunya, jumlah kapal yang
menggunakan alat tangkap canreang ini telah mencapai 10.758 di 2015, atau meningkat 100
persen dari 2007 yang hanya 5.100.
PEMBAHASAN
I Ajeng Wulandari
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi
Pudjiastuti mengungkapkan tujuan dibuatnya peraturan Menteri No.2 Tahun 2015 tentang
pelarangan alat tangkap yakni karena ada keprihatinan dari pemilik maskapai Susi Air
tersebut bahwa bangsa Indonesia kebanyakan tidak dapat menikmati ikan dengan ukuran
besar, tetapi hanya mujaer dan lele.
“Saya prihatin bangsa ini karena tidak bisa masuk ikan–ikan berkualitas tinggi, nah karena
saat ini kami melihat di lapangan semua yang besar besar kualitas ekspor. Kemana mereka
bisanya cuma makan mujaer, dan lele,” kata Susi Pudjiastuti saat menggelar dialog dengan
para nelayan dari berbagai organisasi perikanan di Gedung Mina Bahari I, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Senin (2/2) di Jakarta.
Susi menjelaskan beberapa waktu lalu kementerian yang dia pimpin di bawah Direktorat
Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan baru saja menangkap kapal
nelayan Vietnam di Laut Arafura terkait penangkapan ikan secara ilegal yang menyalahi
Peraturan Menteri Kelautan No.1 tentang pelarangan jenis biota dan spesies laut yang
dilarang ditangkap dan Peraturan Menteri Kelautan No.2. Tahun 2015 tentang larangan
penangkapan ikan dengan alat dan kapal dengan ukuran tertentu, yang dapat mengancam
kelestarian laut.
“Saya waktu itu di Pantura Jawa kesulitan cari kakap, yang ukuran besar kalau di (Perairan
Laut) Arafura mungkin masih bisa atau di Maluku, tetapi di Jawa ini sudah sulit,” Susi
menambahkan.
Susi mengatakan alasan dikeluarkannya peraturan tersebut dengan tujuan menyelamatkan 3,5
hingga 4,5 juta ton ikan dari perairan Indonesia dapat diselamatkan.
“Kita buat peraturan itu, dan kalau bisa para pelaku kejahatan di tengah laut itu kita
masukkan ke kejahatan korporasi, karena kalau nggak kita tindak kejahatan laut itu kita tidak
bisa menyelamatkan potensi laut,” Susi menambahkan.
Susi mengamanatkan ke seluruh kepala daerah di seluruh Indonesia, dan mengingatkan
kembali tentang surat edaran No.7 Tahun 2014 yang dikeluarkan November 2014 tentang
instruksi perlindungan ekosistem laut, dan tentang pembebasan subsidi bagi kapal dengan
muatan di bawah 1000 Gross Ton.
Editor : Eben Ezer Siadari
Pembahasan:
Peraturan Menteri kelautan dan perikanan no 2 tahun 2015 yang dibuat dan disahkan
oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, menjelaskan pada larangan
penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat Tarik ( seine nets). Menurut
saya, Peraturan ini sudah mengacu pada isi dari konvensi Unclos pada bab XII yaitu tentang
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dimana pada pasal 192 dikatakan bahwa
negara-negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Dan peraturan ini menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berusaha untuk
memenuhi kewajibannya dalam melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Alasan
dibuatnya peraturan Menteri No.2 Tahun 2015 tentang pelarangan alat tangkap ini
dikarenakan keprihatinan beliau kepada rakyat Indonesia yang hanya bisa menikmati ikan
kecil dengan kualitas yg kurang baik, sedangkan hasil penangkapan yang baik hampir
seluruhnya diekspor. Alasan lain dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk mengurangi
eksploitasi sumberdaya perikanan yang berlebihan oleh kaum kaum yang mengabaikan
peraturan yang ada misalnya penangkapan ikan atau biorta laut yang dilarang oleh
pemerintah, serta penangkapan ikan atau biota laut dengan menggunakan alat tangkap ukuran
tertentu yang dapat merusak kelestarian dari laut Indonesia. Dengan dibuatnya peraturan ini
ada sekitar 3,5 - 4,5 juta ton ikan yang terselamatkan.
Dalam PERMEN KP NO 02 Tahun 2015 pada pasal 1 menjelaskan definisi alat tangkap,
setiap orang, korporasi, dan surat izin penangkapan ikan. Pasal 2 menjelaskan larangan
penggunaan pukat hela dan pukat Tarik di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia. Pasal 3 dan 4 menjelaskan jenis pukat yang dilarang penggunaannya untuk
menangkap ikan. Pasal 5 hingal pasal 8 membahas teknis dari peraturan menteri ini dimana
peraturan sebelumnya mengenai pukat hela dan pukat Tarik telah dinyatakan tidak berlaku
setelah PERMEN KP no 02 tahun 2015 ini diberlakukan. Serta berita tentang peraturan ini
ditempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
II Muthya Farah N A
Pembahasan UU No. 31 Tahun 2004 dan UU No. 45 Tahun 2009
Undang- undang No. 31 Tahun 2004 disahkan oleh presiden menjabat saat itu Ibu Megawati
Seokarno Putri pada tanggal 6 Oktober 2004. Undang- undang ini dibuat dengan tujuan untuk
menganti UU No. 9 Tahun 1985, karena dirasa belum menampung semua aspek pengelolaan
sumber daya ikan. Kemudian pada tahun 2009 beberapa pasal pada undang- undang ini
direvisi menjadi Undang- undang No. 45 dan disahkan pada tanggal 29 Oktober 2009 oleh
presiden menjabat saat itu DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Revisi ini dibuat karena UU
sebelumnya dirasa belum dapat mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan
hukum dalam rangkan pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia. Dalam kedua
undang- undang ini berisi berbagi peraturan mengenai pengelolaan sumber daya ikan.
Dijelaskan juga beberapa pengertian mulai dari pengertian perikanan itu sendiri, pengelolaan,
hingga pelaku pengelola. Peraturan mengenai pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungan
disekitarnya juga disebutkan pada undang- undang ini.
Tidak lama ini pada tanggal 8 Januari 2015, menteri kelautan dan perikanan Republik
Indonesia, Susi Pudjiastuti, menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2
Tahun 2015 tentang pelarangan penggunaan alat tangkap pukat hela (trawls) dan pukat tarik
di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Peraturan ini dibuat mengacu
pada UU No. 31 Tahun 2004 dan UU No. 45 Tahun 2009. Pemerintah merasa penggunaan
alat tangkap tersebut merusak lingkungan dan mengganggu ekosistem ikan di laut Indonesia.
Dalam UU No.31 Tahun 2004 tepatnya pada pasal 3 yang berbunyi: ‘Pengelolaan perikanan
dilaksanakan dengan tujuan: ... mencapai pemanfatan sumber daya ikan, lahan
pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan menjamin
kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.’, dengan jelas
dipaparkan bahwa setiap kegiatan pengelolaan perikanan harus melihat juga aspek kelestarian
lingkungan dan sumber daya ikan tersebut. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan tentu saja telah melanggar satu pasal dalam undang- undang ini. Pada pasal 8
dijelaskan bahwa semua pelaku pengelolaan perikanan baik itu penangkap, pembudidaya, dan
pemilik perusahaan perikanan, dilarang menangkap dan/atau membudidaya ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau
bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Dalam UU
No. 45 tahun 2009 pasal 7 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa dalam mendukung pengelolaan
perikanan, menteri menentukan beberapa peraturan yang diantaranya adalah jenis, jumlah,
dan ukuran alat penangkapan ikan, serta tiap orang yg melakukan dan/atau pengelola
perikanan wajib mematuhi ketentuan pada ayat 1 tersebut.
Pelarangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan dinilai cukup baik dan juga
merupakan salah satu wujud pelaksanaan undang- undang yang berlaku di Indonesia. Jika
kegiatan pengelolaan dan penangkapan ikan dengan alat tersebut tetap dilanjutkan, kinerja
pemerintah dalam mengelola sumber daya terbesar di Indonesia patut dipertanyakan.
Meskipun terdapat berbagai dampak dari pelaksanaan undang- undang ini, tetapi keputusan
Menteri KP akan berdampak baik di kemudian hari khususnya dalam pengelolaan sumber
daya ikan. Dalam UNCLOS 1982, pasal 237 disebutkan bahwa ‘Manakala Negara-negara
mempunyai dasar yang cukup kuat untuk menduga bahwa kegiatan-kegiatan yang
direncanakan dalam yurisdiksi atau dibawah pengawasannya dapat menimbulkan pencemaran
yang berarti atau perubahan yang menonjol dan merugikan terahdap lingkungan laut, mereka
harus, sedapat mungkin menilai efek potensial dari kegiatan tersebut terhadap lingkungan
laut,...’ sehingga dapat dikatakan Kementrian Kelautan dan Perikanan tidak hanya
menjalankan kewajibannya dalam negara sebagaimana disebutkan dalam undang- undang
tetapi juga menjalankan tanggung jawab dan kewajiban dalam hukun laut internasional.
III Muhammad Reyhan Aziz
BERITA
Sabtu, 31 Januari 2015 - 14:18
Jaring Trawl, Dilarang karena Menguras Potensi Ikan
Uploader Herry Rosadi
Kapal dengan jaring trawl atau modifikasinya seperti cantrang, dogol dan arad menjadi mimpi buruk bagi nelayan tradisional. Penggunaannya bisa menguras potensi ikan.
Larangan penggunaan jaring trawl pun dipertegas. Kini, tak boleh lagi ada kapal yang diperkenankan menggunakan jaring trawl. Penggunaan jaring ini memang meresahkan nelayan.
Faktanya, satu kapal pukat harimau (trawl) milik pengusaha asal Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, dibakar nelayan di Pelapis, Kabupaten Ketapang Sabtu (10/1) sekitar pukul 09.00 WIB.
Nelayan setempat kesal karena sebelumnya sudah ada kesepakatan untuk tidak menggunakan jaring trawl yang menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan setempat.
"Yang dibakar adalah kapal yang sudah pernah membuat pernyataan di atas materai, yang lain tidak dibakar," kata Kepala Desa Pelapis Rosiharnadi.
Konflik serupa juga terjadi di Bengkulu, karena sebagian besar nelayan meminta agar ada langkah tegas untuk menindak kapal dengan jaring "trawl".
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu kemudian mengumpulkan nelayan pengguna jaring trawl dan meminta mereka mengganti dengan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Akibat penggunaan trawl, pendapatan nelayan tradisional di Kota Bengkulu menurun drastis. Sebab, selain merusak terumbu karang, alat tangkap itu juga menangkap seluruh ukuran ikan, sehingga menghambat kelangsungan regenerasi ikan.
Gambar 5. Pengoperasian Trawl (Pukat Harimau).
Pukat harimau (trawl) yang merupakan salah satu alat penangkap ikan saat ini telah dilarang di wilayah perairan Indonesia sesuai Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl, namun pada kenyataannya masih banyak nelayan yang melanggar dan mengoperasikan alat tersebut untuk menangkap ikan. Indikatornya adalah karang mati, atau sulit bertahan hidup di daerah dimana nelayannya sering menggunakan pukat harimau untuk menangkap ikan.
Menurut data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bombana terdapat 105 unit kapal dengan alat tangkap trawl yang beroperasi di perairan Selat Tiworo yang berasal dari daerah kecamatan Rumbia. Sedangkan nelayan yang menggunakan trawl sebanyak 127 orang (23 %) dari keseluruhan nelayan.
Namun Keberadaan trawl (pukat harimau) di Kabupaten Bombana hingga saat ini membawa dampak negatif yang sangat besar terhadap nelayan tradisional. Keberadaan nelayan trawl sangat menggangu nelayan lainnya dan tidak sedikit kerugian yang diderita oleh nelayan tradisional karena ulah nelayan trawl, dan yang paling menyedihkan adalah banyaknya alat tangkap bubu yang hilang setiap malam dan rusaknya alat tangkap lainnya seperti bagan dan sero karena tertabrak oleh kapal trawl, sehingga hampir seluruh nelayan tradisional dililit utang bukan karena hasil tangkapan kurang, melainkan alat tangkap mereka raib di perairan. Rata-rata alat tangkap bubu yang hilang setiap malamnya hingga mencapai 100 buah. Jika dirupiahkan harga 1 unit bubu adalah Rp. 15.000,-. Jadi kerugian nelayan setiap malamnya mencapai Rp. 1.500.000,-. Kondisi ini sudah berlangsung sejak tahun 1998.
Dampak keberadaan Trawl terjadinya perselisihan antara nelayan trawl dengan nelayan tradisional sudah berulangkali terjadi; bahkan sudah mengarah ke tingkat anarkis. Upaya melakukan perdamaian sudah sering dilakukan melalui pembagian jalur penangkapan tetapi kesepakatan ini selalu dilanggar oleh nelayan trawl. Kesepakatan tidak dibarengi dengan pengawasan, sehingga aksi penolakan terhadap trawl semakin gencar dilakukan oleh nelayan tradisional.
Kendala penghapusan trawl di Kabupaten Bombana mengalami kendala karena tidak adanya sarana pengawasan dan lemahnya penegakkan hukum, HNSI tidak memperlihatkan peranannya dalam menyelesaikan masalah ini bahkan HNSI sebagai wadah seluruh nelayan justru memperparah permasalahan ini, sehingga nelayan tradisional semakin tertindas. Jika kondisi ini dibiarkan, maka kemungkinan terjadi anarki antara nelayan trawl dengan nelayan tradisional.
Para nelayan, kata Maksum, sebenarnya berharap pemerintah segera merevisi peraturan
tersebut. Namun, setelah tiga bulan, nelayan sudah tak sanggup lagi untuk bertahan. “Nelayan
nekat melaut meski ada risiko ditangkap aparat Kepolisian Air dan Udara (Polairud).”
Kondisi yang sama dialami anak buah kapal cantrang, Kusmini. Dia mengaku terpaksa melawan
peraturan pemerintah karena sudah tidak sanggup lagi menanggung biaya hidup. “Selama ini
nelayan bekerja baik-baik di laut. Kami tidak mau sampai melawan pemerintah, tapi kami juga
butuh hidup,” ujarnya.
Pria yang sudah melaut sejak usia 14 tahun ini mengatakan alat tangkap cantrang sama sekali
tidak mengganggu terumbu karang di dasar laut. Sebab, alat ini sangat berbeda dengan pukat
harimau atau trawl.
Menurut Kusmini, cara kerja alat tangkap itu berbeda. Untuk alat tangkap ikan trawl sendiri lebih
bersifat aktif. Pada saat menebar alat tangkap, mesin kapal dalam keadaan hidup. Kondisi ini
berpotensi merusak karang karena ada papan dalam jaringnya.
Berbeda dengan cantrang. Saat jaring disebar, posisi mesin kapal dalam keadaan mati. Posisi
jaring ikan tidak sampai ke dasar laut, melainkan hanya mengambang di permukaan. Setelah
jaring ditebar dan ikan didapatkan, nelayan pun segera menariknya.
Ukuran jaring cantrang, kata dia, adalah 1,5-6 inci dan akan robek jika tersangkut karang di laut.
“Jadi sangat tidak mungkin kami ambil risiko menangkap ikan di wilayah yang banyak terumbu
karangnya,” kata Kusmini.
Ketua Relawan Cantrang, Suyoto, mengatakan kapal nelayan saat ini sudah dilengkapi alat yang
bisa mendeteksi benda di dasar laut. “Nelayan akan menghindari karang karena merugikan
mereka nantinya,” ujarnya.
Dia meminta pemerintah mengkaji sejumlah alat tangkap ikan. “Mohon dilakukan studi lebih
mendalam alat mana yang bisa dan tidak bisa digunakan. Kalau sudah ada bukti merugikan,
kami tidak bisa membantahnya.”
Pembahasan:
Peran pemerintah sangatlah penting pada kasus ini karena ada kepentingan-
kepentingan yang berlawanan. dimana pemerintah ingin melaksanakan pembangunan
perikanan berkelanjutan dengan menjaga populasi ikan, disisi lain banyak masyarakat
nelayan yang bertumpu pada penggunaan alat cantrang dan ingin terus menggunakan alat
tersebut untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Pemerintah seharusnya selain membuat peraturan untuk melarang alat tangkap yang
tidak ramah lingkungan juga memberikan rekomendasi alat tangkap yang bisa dipakai
nelayan untuk tetap menangkap ikan. Karena pada dasarnya hampir semua alat tangkap dapat
merusak ekosistem perairan
Dampak yang terjadi akibat pemerintah melarang penggunaan alat tangkap yang tidak
ramah lingkungan tanpa memberikan rekomendasi alat tangkap yang dapat digunakan yaitu
nelayan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, karena walaupun sudah menggunakan
alat tangkap yang dilarang pemerintah yang berpotensi menangkap ikan secara besar-besaran,
nyatanya nelayan hanya mendapat sedikit ikan.
Oleh karena itu ada beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah
antara lain, Penggantian alat tangkap yang merusak lingkungan dengan alat penangkap ikan
yang ramah lingkungan secara bertahap dan adanya pendampingan terus menerus oleh pihak
pemerintah. Pemerintah harus terus mensosialisasikan Permen NO. 2/PERMEN-KP/2015
kepada nelayan yang menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan di seluruh Indonesia
dengan melibatkan pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat., dan nelayan itu sendiri di
setiap daerah masing-masing. Redesign alat tangkap nelayan cantrang agar alat tangkap
tersebut menjadi ramah lingkungan sesuai petunjuk teknis Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 2 Tahun 2011, tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat
penangkap ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia.
VII Bagoes Aria
Pembahasan:
Berdasarkan hasil penilaian pakar, 17 jenis alat penangkapan ikan yang dilarang oleh
pemerintah termasuk dalam salah satu kategori sebagai berikut:
1) Seluruh alat tangkap (17 jenis alat penangkapan ikan) diperkirakan memberikan dampak
negatif secara ekologis. Lebih dari 50% (9 dari 17) diduga menyebabkan kerusakan habitat
dan juga penurunan stok sumber daya ikan;
2) Seluruh jenis alat tangkap memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek kepada
nelayan dan rumah tangga perikanan (RTP). Alat tangkap ini cenderung untuk dipertahankan
oleh nelayan, kecuali terdapat alat pilihan ekonomi jangka pendek yang lebih
menguntungkan;
3) Sejumlah enam jenis alat penangkapan ikan (35%) yang dalam operasinya tidak
menimbulkan kecemburuan nelayan lain dan tidak menimbulkan konflik. Terdapat sembilan
jenis alat yang dalam operasinya dirasakan menimbulkan kecemburuan sosial dari nelayan
lainnya dan terkadang menimbulkan konflik di permukaan. Sisanya, ada dua jenis alat
tangkap (Cantrang dan Lampara Dasar) yang sering menimbulkan konflik dengan nelayan
lainnya;
Secara keseluruhan, terdapat dua jenis alat tangkap yang diduga memberikan dampak negatif
cukup parah (dengan total nilai -2), ialah: Cantrang dan Pukat Hela Dasar Berpalang (Tabel
1). Kedua alat ini, selain menyebabkan terjadinya tangkap lebih, juga menyebabkan
kerusakan habitat dan menimbulkan konflik dengan nelayan pengguna alat tangkap lainnya.
Selain itu, juga diduga terdapat empat jenis alat penangkapan ikan dengan total nilai 0
(bersifat netral). Ke-empat tipe alat ini (Tabel 1) diduga memberikan keuntungan ekonomi
dan menimbulkan dampak sosial yang paling rendah. Alat tangkap tersebut ialah: Pukat Hela
Pertengahan dua Kapal, Pukat hela Pertengahan Udang,
Ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari kebijakan PERMEN-KP No. 2 Tahun 2015,
sebagai berikut:
(1) Pada kondisi sumber daya ikan yang mengalami tangkap lebih dan kerusakan habitat
seperti di Indonesia saat ini, pemberlakukan PERMEN-KP No. 2 tahun 2015 akan berdampak
pada pemulihan stok dan habitat sumber daya ikan. Hal ini akan meningkatkan hasil tangkap
per satuan usaha (CpUE) dari nelayan karena stok mengalami pemulihan (heal the ocean);
(2) Konsekuensi dari PERMEN-KP No. 12 / 2015 penghentian operasi alat penangkapan ikan
yang sudah sangat dominan di masyarakat. Hal ini akan menurunkan hasil tangkapan ikan
secara nyata (dugaan sekitar 30%) dan penghasilan atau sumber mata pencaharian sebagian
besar nelayan di Indonesia. Pemerintah diduga tidak bisa menciptakan kompensiasi dari
kerugian ekonomis tersebut dalam waktu singkat;
(3) Kerugian ekonomis dari PERMEN-KP No. 2 /2015 diduga akan menimbulkan dampak
sosial yang cukup tinggi dan tidak mampu diatasi oleh pemerintah saja.
VIII Alvin Akbari S
Trawls yang Dilarang di Indonesia
Alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) terdiri dari:a. pukat hela dasar (bottom trawls);b. pukat hela pertengahan (midwater trawls);c. pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls); dand. pukat dorong.
Pukat hela dasar (bottom trawls) terdiri dari:a. pukat hela dasar berpalang (beam trawls);b. pukat hela dasar berpapan (otter trawls);c. pukat hela dasar dua kapal (pair trawls);d. nephrops trawls; dane. pukat hela dasar udang (shrimp trawls), berupa pukat udang.
Pukat hela pertengahan (midwater trawls) terdiri dari: a. pukat hela pertengahan berpapan (otter trawls), berupa pukat ikan; b. pukat hela pertengahan dua kapal (pair trawls); dan c. pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls).
Alat penangkapan ikan pukat tarik (seine nets) terdiri dari:a. pukat tarik pantai (beach seines); danb. pukat tarik berkapal (boat or vessel seines).
Pukat tarik berkapal (boat or vessel seines) terdiri dari: a. dogol (danish seines); b. scottish seines; c. pair seines; d. payang; e. cantrang; dan f. lampara dasar.
Pembahasan:
Menurut kutipan dari isi UNCLOS pasal 61 tentang konservasi sumber daya hayati, yang
berisi:
“Negara pantai, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia baginya
harus menjamin dengan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat
sehingga pemeliharaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tidak dibahayakan
oleh eksploitasi yang berlebihan. Di mana Negara pantai dan organisasi internasional
berwenang, baik sub-regional, regional maupun global, harus bekerja sama untuk tujuan ini.”
“Tindakan demikian juga bertujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis
yang dapat dimanfaatkan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari,
sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan, termasuk
kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dan kebutuhan khusus Negara
berkembang”
“Dalam mengambil tindakan demikian, Negara pantai harus memperhatikan akibat
terhadap jenis-jenis yang berhubungan atau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan dengan
tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan atau tergantung
demikian di atas tingkat dimana reproduksinya dapat sangat terancam”
Dari 3 kutipan dari isi UNCLOS dapat kita simpulkan bahwa, memang sudah
seharusnya trawl-trawl tersebut dilarang karena dapat membahayakan biota-biota laut, lalu
dapat pula terjadi penangkapan yang berlebih sehingga bisa menyebabkan kepunahan atau
ketidakstabilan dari suatu spesies ikan
IX Rijal Muttaqiin
Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pelarangan Penggunaan Pukat Tarik
atau Pukat Hela penuh dengan pro kontra. Peraturan ini dibuat melihat berdasarkan
kondisi SDI (Sumberdaya Ikan) yang semakin lama menunjukkan gejala Over Fishing,
bahkan beberapa WPP sudah dalam kategori merah zona overfishing. Kerusakan
terumbukarang akibat sapuan dari alat tangkap pukat tarik dinilai akan merusak
ekosistem perairan, karena terumbukarang punya peran sangat besar dalam menunjang
keberlangsungan ekosistem.
Beberapa pihak penggiat lingkungan sudah pasti menyambut gembira permen ini
karena dinilai akan menyelamatkan laut Indonesia. SDI akan berkembangbiak dengan
normal karena juvenille terjaga sampai dewasa. Terumbukarang akan tumbuh menjadi
tempat ikan berkembangbiak dan mencari makan.
Sementara itu, bagi nelayan pukat tarik peraturan ini sangat kejam karena akan
membunuh nelayan secara berlahan-lahan. Kebanyakan nelayan terutama di pantura
jawa menggunakan pukat tarik dalam operasi penangkapannya. Adanya permen ini
otomatis membuat nelayan harus beralih dengan alat tangkap lain. Faktor kebiasaan
akan menjadi kendala bagi nelayan, karena tidak semua nelayan mampu menggunakan
alat tangkap yang berbeda. Bahkan yang paling besar adalah dampak ekonomi, selama
ini pukat dinilai memberikan hasil tangkapan paling banyak dibanding alat tangkap lain.
Dengan penggunaan pukat tarik saja kesejahteraan masih kurang, apalagi dengan alat
tangkap lain yang katanya lebih selektif dan ramah lingkungan. Jika mengacu pada
daerah penangkapan ikan (DPI), sebenarnya alat tangkap jenis ini di operasikan pada
daerah berpasir bukan karang, seandainyapun di karang justru nelayan akan merugi
karena terjadi kerusakan pada alat tangkapnya.
Terlepas dari itu semua tujuan baik pemerintah patut kita hargai untuk menjaga
lingkungan laut guna mensejahterakan nelayan dalam jangka panjang. Namun
pemerintah seharusnya tidak arogan dalam mengeluarkan permen secara seketika dan
sepihak tanpa ada solusi dari pemerintah sampai saat ini.
Jika nelayan harus beralih dengan alat tangkap lain apakah pemerintah mau
menyediakan alat tersebut, karena nelayan pasti akan keluar biaya yang tidak sedikit
dalam pengadaan alat tangkap baru. Jika pemerintah tidak bergeming untuk merivisi
permen tersebut alangkah baiknya pemerintah juga tegas dalam hal pengawasan pasar
ikan hasil nelayan. Antara modal melaut nelayan dan hasil penjualan sangat tidak
seimbang, semua kebutuhan naik dan harga ikan tidak pernah ikut naik secara drastis
mengikuti kenaikan perbekalan.
Permen tersebut mesti di revisi oleh pemerintah. Pelarangan pukat tarik harus melihat
mana itu nelayan kecil atau nelayan besar tidak bisa disamaratakan, karena
kemampuan untuk beralih dengan alat lain sangat berbeda. Nelayan tradisional harus
diberi sedikit kelonggaran, misalnya dengan beberapa modifikasi pada alat tangkap
pukat dengan memperbesar ukuran mata jaring (mesh size) pada bagian kantong
sehingga juvenille ikan bisa terlepas. Pemerintah juga bisa memberi sedikit toleransi
waktu untuk nelayan tradisional (10GT kebawah), mereka dapat menggunakan pukat
tarik dengan modifikasi sampai beberapa tahun kedepan supaya nelayan tidak kaget
dan ada persiapan.
Pembahasan:
Dampak penggunaan cantrang dikhawatirkan akan menghambat keberlanjutan
sumberdaya ikan demersal. Ikan demersal mempunyai nilai ekonomis tinggi karena
citarasanya khas dan digemari konsumen. Ikan demersal adalah ikan yang hidup di dasar
perairan. Jenis-jenis memilki sifat ekologi yaitu sebagai berikut : 1. Mempunyai adaptasi
dengan kedalaman perairan 2. Aktifitasnya relatif rendah dan mempunyai daerah kisaran
ruaya yang lebih sempit jika dibandingkan dengan ikan pelagis 3. Jumlah kawanan relatif
kecil jika dibandingkan dengan ikan pelagis 4. Habitat utamanya berada di dekat dasar laut
meskipun berbagai jenis diantaranya berada di lapisan perairan yang lebih atas. 5. Kecepatan
pertumbuhannya rendah 6. Komunitas memiliki seluk beluk yang komplek 7. Dibanding
sumberdaya ikan pelagis, potensi sumberdaya ikan demersal relatif lebih kecil akan tetapi
banyak yang merupakan jenis ikan dengan nilai ekonomis yang tinggi. Kecepatan
pertumbuhan yang rendah dan potensi yang relatif kecil sehingga rentan dari kepunahan
akan tetapi bernilai ekonomis tinggi , maka perikanan demersal harus dikelola dengan baik.
Selain dampak ekologis, cantrang juga berdampak sosial yaitu rawan terjadinya konflik hal
terjadi antar nelayan akibat penggunaan cantrang.
PENUTUP
KESIMPULAN
Undang- undang No. 31 Tahun 2004 disahkan oleh presiden menjabat saat itu Ibu
Megawati Seokarno Putri pada tanggal 6 Oktober 2004. Undang- undang ini dibuat dengan
tujuan untuk menganti UU No. 9 Tahun 1985, karena dirasa belum menampung semua aspek
pengelolaan sumber daya ikan. Kemudian pada tahun 2009 beberapa pasal pada undang-
undang ini direvisi menjadi Undang- undang No. 45 dan disahkan pada tanggal 29 Oktober
2009 oleh presiden menjabat saat itu DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Revisi ini dibuat
karena UU sebelumnya dirasa belum dapat mengantisipasi perkembangan teknologi dan
kebutuhan hukum dalam rangkan pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia. Dalam
kedua undang- undang ini berisi berbagi peraturan mengenai pengelolaan sumber daya ikan.
Dijelaskan juga beberapa pengertian mulai dari pengertian perikanan itu sendiri, pengelolaan,
hingga pelaku pengelola. Peraturan mengenai pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungan
disekitarnya juga disebutkan pada undang- undang ini.
Tidak lama ini pada tanggal 8 Januari 2015, menteri kelautan dan perikanan Republik
Indonesia, Susi Pudjiastuti, menetapkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2
Tahun 2015 tentang pelarangan penggunaan alat tangkap pukat hela (trawls) dan pukat tarik
di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Peraturan Menteri kelautan
dan perikanan no 2 tahun 2015 yang dibuat dan disahkan oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan, Susi Pudjiastuti, menjelaskan pada larangan penggunaan alat penangkapan ikan
pukat hela (trawls) dan pukat Tarik ( seine nets). Peraturan ini sudah mengacu pada isi dari
konvensi Unclos pada bab XII yaitu tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Dimana pada pasal 192 dikatakan bahwa negara-negara mempunyai kewajiban untuk
melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Dan peraturan ini menunjukkan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia berusaha untuk memenuhi kewajibannya dalam melindungi dan
melestarikan lingkungan laut. Sebenarnya Trawl ini tetap bisa dioperasikan di perairan apabila
trawl ini dioperasikan di daerah yang berpasir atau tidak terdapat karang ataupun terumbu
karangnya. Dan mungkin apabila trawl ini dimodifikasi maka akan tetap bisa dioperasikan di
daerah berkarang dan tidak merusak karang sehingga tetap ramah lingkungan
Peran pemerintah sangatlah penting pada kasus ini karena ada kepentingan-
kepentingan yang berlawanan. dimana pemerintah ingin melaksanakan pembangunan
perikanan berkelanjutan dengan menjaga populasi ikan, disisi lain banyak masyarakat
nelayan yang bertumpu pada penggunaan alat cantrang dan ingin terus menggunakan alat
tersebut untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Oleh karena itu ada beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah
antara lain, Penggantian alat tangkap yang merusak lingkungan dengan alat penangkap ikan
yang ramah lingkungan secara bertahap dan adanya pendampingan terus menerus oleh pihak
pemerintah. Pemerintah harus terus mensosialisasikan Permen NO. 2/PERMEN-KP/2015
kepada nelayan yang menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan di seluruh Indonesia
dengan melibatkan pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat., dan nelayan itu sendiri di
setiap daerah masing-masing. Redesign alat tangkap nelayan cantrang agar alat tangkap
tersebut menjadi ramah lingkungan sesuai petunjuk teknis Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 2 Tahun 2011, tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat
penangkap ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Siadari, Eben Ezer.2015. Menteri Susi Prihatin Indonesia cuma Bisa Makan Lele.PT.Sinar Kasihhttp://www.satuharapan.com/read-detail/read/menteri-susi-prihatin-indonesia-cuma-bisa-makan-lele (diakses pada tanggal 18 April 2015 jam 22:05 WIB)
Anonym. 2015. Nelayan Sibolga Dukung Larangan Pukat Trawl dan Pukat Tarik. http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2015/02/04/145147/nelayan-sibolga-dukung-larangan-pukat-trawl-dan-pukat-tarik/#.VTOaRSGqqko, diakses pada 19 April 2015
Anonym. 2015. Larangan Penggunaan Cantrang dan Pukat Harus Ditegakkan. http://sp.beritasatu.com/ekonomidanbisnis/larangan-penggunaan-cantrang-dan-pukat-harus-ditegakkan/80227, diakses pada 19 April 2015
Prayogo, Cahyo. 2015. INI SYARAT HNSI DUKUNG KEBIJAKAN MENTERI SUSI. http://wartaekonomi.co.id/read/2015/02/03/44153/ini-syarat-hnsi-dukung-kebijakan-menteri-susi.html, diakses pada 19 April 2015
Putri, Ciptanti. 2015. WWF Dukung Penghentian Trawl Demi Perikanan yang Lestari dan Ketahanan Pangan Laut Nasional. http://www.wwf.or.id/?37402/WWF-Dukung-Penghentian-Trawl-Demi-Perikanan-yang-Lestari-dan-Ketahanan-Pangan-Laut-Nasional, diakses pada 19 April 2015
Sumarwoto. 2015. Nelayan Cilacap Dukung Larangan Penggunaan Jaring Trawl. http://www.antarajateng.com/detail/nelayan-cilacap-dukung-larangan-penggunaan-jaring-trawl.html, diakses pada 19 April 2015