Page 1
MAKALAH AGAMA ISLAM
HUKUM KORUPSI MENURUT ISLAM
Dosen Pembimbing : Nur Chanifah MPd.I
Disusun oleh:
Getty Amura Lafali ( 125130101111019 ) 2012
Upakarti Dwi Mentari ( 125130101111031 ) 2012
Sandra Rini Sulistyaningtyas ( 125130101111034 ) 2012
Balqis Arum Amalia ( 125130101111036 ) 2012
Sulthon Nurur Rizki (125130100111034 ) 2012
Ahya Nur Afida Alfa ( 125130107111012 ) 2012
PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
Page 2
BAB I
PENDAHULUAN
Kata politik berasal dari bahasa Latin politicos atau politicus yang berarti relating to
citizen (hubungan warga Negara ) , keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota . Dalam
bahasa arab , politik biasa diterjemahkan dengan kata siyasah , kata ini diambil dari kata
saasa-yasuusu yang diartikan mengemudi, mengendalikan dan mengatur (M. Quraish Shihab ,
2000).
Istilah politik pertama kali dikenal melalui buku Plato yang berjudul Politeia yang
dikenal juga dengan “Republik” . Karya itulah yang kemudian dianggap sebagai pangkal
pemikiran politik yang sampai saat ini terus berkembang . Dari karya itu pula dapat diketahui
bahwa politik merupakan istilah yang digunakan untuk konse p pengaturan masyarakat ,
sebab yang dibahas dalam buku tersebut adalah mengenai hal-hal yang berkenaan dengan
masalah bagaimana pemerintahan dijalankan agar terwujud sebuah masyarakat Negara yang
baik. Jadi kata politik diartikan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan mengurus ,
mengatur kepentingan masyarakat. Pemikiran itu sendiri dapat berupa pedoman , keyakinan ,
hukum .
Sedikitnya ada lima kerangka konseptual yang dapat digunakan untuk memahami
poltik. Ynag pertama , politik dimaknai sebagai usaha warga Negara dalam membicarakan
dan mewujudkan kebauikan bersama . Kedua , politik sebagai segala hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintah . Ketiga , politik sebagai segala kegiatan
yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam maasyarakat. Keempat,
politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum.
Kelima, politk sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumber-
sumber yang dianggap penting (Tobroni. 1994).
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran utama dan pertama Agam Islam mengandung ajaran
tentang prinsip-prinsip dasar yang harus diaplikasikan dalam pengembangan system politik
Islam . Prinsip – prinsip dasar tersebut adalah :
1. Kemestian mewujudkan persatuan dan kesatuan umat .
2. Keharusan bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadnya . Seperti
dalm surat As-Syura : 38 dan Ali Imran : 159 terkandung prinsip :
a. Segala urusan diselesaikan dan diputuskan dengan jalan musyawarh di antara
umat .
b. Selalu bermusyawarah dalam setiap urusan itu .
Page 3
Dalam kata al-Amr (urusan) tercakup urusan ekonomi , politik, social ,
budaya , dan sebagainya.
3. Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum sacara adil.
Prinsip ini mengandung kewajiban setiap orang yang beriman agar menunaikan
amanat yang menjadi tanggung jawabnya , termasuk pertanggungjuawaban kekuasaan
politik.
Prinsip ini juga bermaksan bahwa setiap orang yang mepunyai kedudukan fungsional
dalam kehidupan politik dituntut agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-
baiknya dan kelalaian itu akan mengakibatkan kerugian bagi dirinya sendiri.
Di dalam Islam sendiri , kepemimpinan dipandang sebagai perjanjian ilahi yang
melahirkan suatu tanggung jawab menentang kezaliman dan menegakkan keadilan .
4. Kemestian menaati Allah dan Rasulullah dan ulil Amr .
5. Kemestian mendamaikan konflik antar keolmpok dalam masyarakat Islam .
6. Kemestian mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan melakukan agresi dan
invasi
7. Kemestian mementingkan perdamaian dalam permusuhan .
8. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan keamanan.
9. Keharusan menepati janji.
10. Keharusan mengutamakan perdamaian di antara bangsa-bangsa .
11. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat .
12. Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum , dalam hal :
a. Menyidikitkan beban ( taqlil al-takalif )
b. Berangsur-angsur ( al-tadarruj )
c. Tidak menyulitkan (‘adam al-haraj )
Salah satu aspek terpenting dari politik adalah , politik luar negeri . Politik ini
merupakan bagian yang dianggap sebagai komponen penting dari perpolitikan .Politik luar
negeri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari politik , karena politik merupakn pemikiran
tentang pemeliharaan urusan dan kepentingan masyarakat di negeri sendiri serta kepentingan
masyarakatdi negeri sendiri serta kepentingan Negara dan bangsa lain.
Politik luar negeri bermakna mengatur hubungan Negara dan rakyatnya serta instansi-
instansi yang ada di bawahnya , dengan Negara-negara lain dan organisasi-organisasi
kenegaraan lainnya , yang secara umum politik luar negeri memiliki tujuan untuk menjaga
kedaulatann Negara , keamanannya , serta menjaga kepentingan ekonominya.
Page 4
Secara global , politik luar negeri memiliki beberapa prinsip-prinsip terpenting yaitu
yang pertama adalah pokok dalam hubungan antara Negara adalah perdamaian, dengan
adanya perdamaian , maka akan memungkinkan Negara-negara untuk saling bertukar manfaat
dan saling menolong. Kedua , tidak memutuskan hubunagn damai antara satu Negara dengan
Negara lain , kecuali dalam keadaaan darurat yang paling tinggi . Ketiga , membuat kaidah-
kaidah hubungan luar negeri yang menjamin seluruh Negara dengan Negara lainnya berada
dalam keadaan damai , dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi damai ini. Keempat ,
membuat kaidah-kaidah yang menjamin seluruh Negara yang berada dalam kondisi perang ,
dengan tujuan untuk mengurangi derita perang atau menghilangkan seluruh perselisihan .
Kelima , membuat syarat-syarat bagi Negara yang ingin diakui oleh Negara-negara lain . Dan
yang terakhir adalah ketika mengumumkan perang kepada Negara lain agar ridak melakukan
khianat , tiak menggunakan senjata pemusnahan masal yang menambah derita manusia , serta
memperlakukan orang yang terluka dan tawanan dengan baik.
Dan jika berbicara tentang kontribusi umat islam dalam perpolitikan nasional ,umat
Islam cukup memberikan kontribusi yang signifikan dalam perpolitikan di Indonesia.
Meskipun demikian tentang Islam dan tata Negara belum sempat berklembang jauh . Sejak
awal 1930-an sampai akhir 1960-an sebasgian pembicaraan politik di Indonesia berkenaan
dengan pertentangan antara golongan agama dengan golongan nasionlis/sekuler, atau
setidaknya golongan yang netral agama. Golongan agama sering dilihat sebagia golongan
yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar Negara , sementara golongan nasionalis adalah
mereka yang ingin membedakan antara persoalan agama dan Negara dengan Pancasila
sebagai dasar Negara.
Namun demikian , Soekarno yang dianggap sebagai salah seorang pemimpin golongan
nasionalis ternyata tidak sepenuhnya menghilangkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan politik
kenegaraannya. Seperti diketahui , Soekarno diketahui , Soekarno merupakan kepala Negara
yang pertama kali melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam forum internasional seperti PBB .
Demikian pula , ia yang memulai penyelenggaraan perayaan hari-hari besar Islam di Istana
Negara. Dia pula yang mendirikan masjid di komplek Istana Negara (Effendy , 1999).
Hal itu pula dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru dengan mendirikan banyak
masjid di beberapa daerah Indonesia melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Lebih
dari itu , ditahun-tahun terakhir Orde Baru terdapat sikap akomodatif Negara terhadap
aspirasi-aspirasi Islam. Kenyataan itu dapat dilihat dari eksistensi umat Islam Indonesia ini
sebagai umat yang mayoritas , sehingga wajar bila nilai-nilai Islam turut membentuk dan
mempengaruhi kehidupan politik nasional.
Page 5
Namun, kenyataannya sejarah juga membuktikan bahwa tahun 1973 pemerintah orde
baru mengharuskan PPP yang merupakan basis Islamm saat itu , untuk megganti symbol
Ka’bah dan asanya dengan symbol Bintang dan asas Pancasila . Walaupun demikian ,
kebijakan tersebut tidak menutup ruang gerak dan kegiatan politik Islam pada umumnya dan
politik Islam tetap turut mewarnai kehidupan politik meliputi Golkar , birokrat dan bahkan
dari organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan NU serta ICMI . Melalui institusi-institusi
seperti itu , antara lain politik Islam bisa hidup.
Sekarang pada masa reformasi , tepatnya sejak Mei 1998 , pemerintah orde baru
runtuh . Keadaan demikian mendorong umat Islam untuk mengembangkan peran politiknya
setelah selama orde baru terpuruk. Hal ini ditandai dengan semangat luar biasa dari para
cendikiawan , tokoh-tokoh islam dan ulama dalam mendirikan partai-partai politik atau
sekedar bergabung dengan suatu partai tertentu .
Namun , menjamurnya partai-partai Islam atau partai yang berbasdis umat Islam
dengan gelanggang perpolitikan nasional belum bisa dikatakan sebagai indicator kebangkitan
peran politik umat Islam . Dibidik dari segi manapun politik umat islam masih lemah .
Ditengah gejala perkembangan politik Islam terjebak oleh kekeliruan-kekeliruan lama.
Mereka juga lebih suka marah dari pada melakukan politisasi , mereka masih terpesona pada
ketokohan atau figure bukan pada nilai-nilai dan wacana yang diproduksinya, perilaku umat
Islam banyak dilakukan sebagai reaksi daripada sebagai sebuah proaksi , kalangan umat Islam
masih suka membuat kerumunan daripada sebuah barisan yang kokoh (Ridwan , 2000)
Masing-masing kelompok umat Islam mengidolakan seorang tokoh yang kebetulan
menjadi tokoh partainya . Mereka rela mati bukan semata-mata tentang politik , ideology , dan
program partainya , melainkan karena melihat sosok , figure seseorang tadi . Kecintaan
mereka pada sang tokoh jauh lebih melekat dari pada kecintaan mereka terhadap partai . Hal
ini menunjukkan bahwa sebagian umat islam masih tertuju pada sosok/figure , bukan kepada
nilai-nilai Islam itu sendiri .
Kontribusi umat islam tidak bisa diukur hanya dengan banyaknya partai Islam , tetapiu
yang lebih penting adalah rasa saling percaya yang dilakukan umat Islam , sehingga
kebangkitan umat Islam melalui partai-partai politik bukan merupakan ancaman bagi
golongan lain . Kemenangan politik Islam adalah kemenangan politik Universal . Karena itu ,
pemberdayaan umat Islam harus tetap berpijak pada prinsip social yang bercorak pruralitas.
Page 6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Secara harfiah sendiri korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus-politisi maupun pegawai negeri, yang secara
tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Bahkan
secara harfiah lainnya korupsi diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah.
Korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah usaha
memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kartini Kartono mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku individu yang
menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan
kepentingan umum dan negara.
Dalam surat Ali Imran ayat 161 lebih spesifik disebutkan tentang ghulul yang
bermakna khianat, maksudnya mengkhianati kepercayaan Allah Swt dan manusia terutama
dalam pengurusan dan pemanfaatan harta ghanimah. Lebih jelas Ibnu Katsir menyebutkan
dari Aufy dari Ibnu Abbas bahwa ghulul adalah membagi sebagian hasil rampasan perang
kepada sebagian orang sedangkan sebagian lagi tidak diberikan. Asbabunnuzul ayat ini adalah
ketika sebuah harta rampasan perang setelah perang badar hilang, orang-orang munafiq
menuduh bahwasanya Nabi Saw menggelapkan barang tersebut, sehingga turunlah ayat ini.
Ayat ini merupakan peringatan untuk menghindarkan diri dari pengkhianatan amanat dalam
segala bentuk. Ibnu Arabi menyebutkan bahwa secara bahasa makna ghulul ada tiga, yaitu
khianat, busuk hati, dan khianat terhadap amanat ghanimah. Ayat ini secara khusus ditujukan
kepada Nabi Saw tentang keadilan di dalam pembagian harta ghanimah yang berasal dari
rampasan perang, tetapi maksud ayat ini ditujukan umum kepada seluruh umat Islam. Ketika
Muadz diutus ke Yaman, Rasulullah Saw juga memberikan nasehat untuk tidak berlaku
ghulul, sebagaimana disebutkan di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Analog korupsi dengan ghulul menurut penulis adalah cukup dekat dengan alasan-
alasan sebagai berikut:
Page 7
1. Korupsi adalah penyalahgunaan harta negara, perusahaan, atau masyarakat. Ghulul juga
merupakan penyalahgunaan harta negara, karena memang pemasukan harta negara pada
zaman Nabi Saw. adalah ghanimah. Adapun saat ini permasalahan uang negara
berkembang tidak hanya pada ghanimah, tetapi semua bentuk uang negara.
2. Korupsi dilakukan oleh pejabat yang terkait, demikian juga ghulul merupakan
pengkhianatan.
Dalam Surat Al-Maidah ayat 33 dan 38 disebutkan secara khusus tentang hirabah dan
sariqah. Ayat pertama adalah pengambilan harta orang lain dengan terang-terangan yang bisa
disertai dengan kekerasan, atau dengan cara melakukan pengrusakan di muka bumi.
Sedangkan yang kedua adalah pengambilan harta orang lain atau pencurian dengan diam-
diam.
Abd al-Qadir ‘Awdah mendefinisikan hirabah sebagai perampokan (qath,u at-thuruq)
atau pencurian besar. Lebih lanjut beliau mengatakan pencurian (sariqah) memang tidak sama
persis dengan hirabah. Hirabah mempunyai dampak lebih besar karena dilakukan dengan
berlebihan. Hal ini karena hirabah kadang disertai dengan pembunuhan dan pengambilan
harta atau kadang pembunuhan saja tanpa pengambilan harta.
Secara khusus korupsi adalah sesuatu yang identik dengan pencurian atau sariqah,
akan tetapi pelaksanaan korupsi disertai dengan berbagai macam dalih yang lebih
membutuhkan penelitian dan pembuktian. Korupsi memberikan dampak negatif yang sangat
besar di masyarakat, tidak hanya merugikan satu dua orang akan tetapi korupsi telah menjadi
ancaman bagi kestabilan keamanan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat.
2.2 Konsep-Konsep Korupsi Dalam Hukum Islam
a. Ghulul
Ghulul adalah penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu,
penyalahgunaan terhadap amanat hukumnya haram dan termasuk perbuatan tercela. Perbuatan
ghulul misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak
semestinya dia terima. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
�ول� غ�ل ف�ه�و� �ك� ذ�ل �ع�د� ب خ�ذ�� أ ف�م�ا ق�ا ر�ز� �اه� ق�ن ز� ف�ر� �ع�م�ل ع�ل�ى �اه� �ن �ع�م�ل ت اس� م�ن�
“Barangsiapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu, dan kami
beri upah menurut semestinya, maka apa yang ia ambil lebih dari upah yang semestinya,
maka itu namanya korupsi”. (HR. Abu Dawud dari Buraidah)
Ghulul juga meliputi pencurian dana (harta kekayaan) sebelum dibagikan, termasuk di
dalamnya adalah dana jaring pengaman sosial. Contohnya adalah kasus pencurian barang-
Page 8
barang bantuan yang seharusnya diserahkan kepada korban bencana alam. Bentuk lain dari
penyalah gunaan jabatan (ghulul) adalah perbuatan kolutif , yaitu mengangkat orang-orang
dari keluarga, teman atau sanak kerabatnya yang tidak memiliki kemampuan untuk
menduduki jabatan tertentu, padahal ada orang lain yang lebih mampu dan pantas menduduki
jabatan tersebut.
b. Sariqah
Syekh Muhammad An-Nawawi al-Bantani mendefinisikan sariqah dengan “Orang
yang mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang dilarang mengambil
dari tempat tersebut”. Jadi syarat sariqah harus ada unsur mengambil yang bukan haknya,
secara sembunyi-sembunyi, dan juga mengambilnya pada tempat yang semestinya. Kalau ada
barang ditaruh di tempat yang tidak semestinya untuk menaruh barang menurut beliau bukan
termasuk kategori sariqah. Menurut Syarbini al-Khatib yang disebut pencurian adalah
mengambil barang secara sembunyi-sembunyi di tempat penyimpanan dengan maksud untuk
memiliki yang dilakukan dengan sadar atau adanya pilihan serta memenuhi syarat-syarat
tertentu.
Islam mengakui dan membenarkan hak milik pribadi, oleh karena itu, Islam akan
melindungi hak milik tersebut dengan undang-undang. Orang yang melakukan pencurian
berarti ia tidak sempurna imannya, karena seorang yang beriman tidak mungkin akan
melakukan pencurian sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
م�ؤ�م�ن� و�ه�و� ر�ق� �س� ي ح�ين� ار�ق� الس/ ر�ق� �س� ي ال
“Pencuri tidak akan mencuri ketika dia dalam keadaan beriman” (HR al-Bukhari-Muslim
dari Abu Hurairah)
Dalam konteks Indonesia, umat Islam-lah yang paling banyak akan memanfaatkan
uang tersebut karena mereka adalah mayoritas. Namun demikian umat non-Muslim juga
berhak memanfaatkan uang negara tersebut karena Islam menyuruh supaya memenuhi hak-
hak mereka secara sempurna dengan tidak dikurangi dan supaya hidup damai berdampingan
dengan mereka serta saling menjaga jiwa dan harta mereka. Namun yang menyebabkan suatu
kondisi ekonomi suatu negara terlihat bobrok yaitu apabila pencurian tersebut dilakukan oleh
petugas atau pejabat negara yang memang bertugas untuk mengurus uang atau kekayaan
negara tersebut.
c. Khianat
Khianat adalah tidak menepati amanah, ia merupakan sifat tercela. Sifat khianat
adalah salah satu sifat orang munafik sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bahwa tanda-
Page 9
tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu apabila berkata berdusta, apabila berjanji ingkar, dan
apabila diberi amanah berkhianat. Karenanya Allah SWT melarang dengan tegas umatnya
berkhianat seperti firmannya sebagai berikut:
�م�ون� �ع�ل ت �م� نت� و�أ �م� �ك �ات م�ان
� أ � �وا �خ�ون و�ت س�ول� و�الر/ /ه� الل � �وا �خ�ون ت � ال � �وا آم�ن /ذ�ين� ال 9ه�ا ي� أ �ا ي
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan
janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui”. (QS al-Anfâl [8]: 27)
Khianat adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang
dipercayakan kepada seseorang. Ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang
melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak
perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah mu’amalah. Jarimah khianat terhadap
amanah adalah berlaku untuk setiap harta bergerak baik jenis dan harganya sedikit maupun
banyak.
Orang-orang yang beriman mestinya menjauhi sifat tercela ini, bahkan seandainya
mereka dikhianati Rasulullah SAW melarang untuk membalasnya dengan pengkhianatan
pula, seperti sabda beliau:
�ك� ان خ� م�ن� �خ�ن� ت � و�ال �ك� �م�ن �ت ائ م�ن� �ل�ى إ �ة� م�ان� األ �د< أ
“Sampaikan amanat kepada orang yang mempercayaimu dan jangan berkhianat
kepada orang yang mengkhianatimu” (H.R. Ahmad dan Abu Daud dari Abu Hurairah).
d. Risywah
Secara harfiyah risywah atau suap adalah suatu tindakan dengan memberikan sesuatu
sebagai balasan tutup mulut untuk menutupi sesuatu hal yang buruk. Beberapa ulama
mendefinisikan suap yaitu, memberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi
pelaksanaan mashlahat (tugas, kewajiban) yang tugas itu harus dilaksanakan tanpa menunggu
imbalan atau uang tip. Sedangkan menurut terminologi fiqih, suap adalah segala sesuatu yang
diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan
suatu perkara untuk kepentingannya atau agar ia mengikuti kemauannya. Dasar hukum
pelanggaran suap adalah firman Allah SWT:
�ن� ف�ل �ه�م� ع�ن �ع�ر�ض� ت �ن� و�إ �ه�م� ع�ن ع�ر�ض�� أ و�� أ �ه�م� �ن �ي ب �م� ف�اح�ك اء�وك� ج� �ن� ف�إ �لس9ح�ت� ل �ون� /ال ك
� أ �ذ�ب� �ك �ل ل م/اع�ون� س�
�م�ق�س�ط�ين� ال �ح�ب9 ي /ه� الل �ن/ إ �ق�س�ط� �ال ب �ه�م� �ن �ي ب �م� ف�اح�ك �م�ت� ح�ك �ن� و�إ �ا �ئ ي ش� وك� �ض�ر9 ي
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan
yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka
Page 10
putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu
berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun.
Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara
mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.“ (QS al-Mâidah
[5]: 42)
Suap bisa terjadi apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur suap meliputi,
pertama yang disuap (al-Murtasyi), kedua, penyuap (al-Rasyi), dan ketiga, suap (al-Risywah).
Suap dilarang dan sangat dibenci dalam Islam karena perbuatan tersebut termasuk perbuatan
yang bathil. Allah SWT berfirman:
�م� نت� و�أ � �م �ث �اإل ب /اس� الن م�و�ال�
� أ م<ن� ف�ر�يق�ا � �وا �ل ك� �أ �ت ل � /ام �ح�ك ال �ل�ى إ �ه�ا ب � �وا �د�ل و�ت �اط�ل� �ب �ال ب �م �ك �ن �ي ب �م �ك م�و�ال
� أ � �وا �ل �ك �أ ت � ال
�م�ون� �ع�ل ت
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS al-Baqarah [2]: 188)
Baik yang menyuap maupun yang disuap dua-duanya dilaknat oleh Rasulullah SAW,
sebagai bentuk kebencian beliau terhadap perbuatan keduanya. Rasulullah SAW bersabda:
ي� – – �ش� ت �م�ر� و�ال اش�ي �لر/ ا وسلم عليه الله صلى /ه� �لل ا س�ول� ر� �ع�ن� ل
“Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang disuap”. Riwayat yang lain, Ahmad ibn
Hanbal dari Tsauban r.a. berkata:
�ه�م�ا �ن �ي ب �م�ش�ي ي /ذ�ي ال �ي �ع�ن ي �ش� ائ و�الر/ �ش�ي� ت �م�ر� و�ال اش�ي� الر/ /م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل /ه� الل ص�ل/ى /ه� الل س�ول� ر� �ع�ن� ل
“Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang disuap dan si perantara. Artinya orang yang
menjadi perantara suap bagi keduanya”.
Suap dengan segala bentuk haram hukumnya, diantara bentuk suap adalah hadiah.
Seorang pejabat haram hukumnya menerima hadiah, bahkan termasuk hadiah yang
diharamkan bagi seorang pejabat yang meski tidak sedang terkait perkara atau urusan, telah
membiasakan saling memberi hadiah jauh sebelum menjadi pejabat, namun setelah
menduduki jabatan terjadi peningkatan volume hadiah dari kebiasaan sebelumnya. Seorang
pejabat juga haram menerima hadiah dari seseorang yang jika bukan karena jabatannya,
niscaya orang tersebut tidak akan memberikannya.
Umar bin Abdul Aziz suatu ketika diberi hadiah oleh seseorang tapi ditolaknya karena
waktu itu dia sedang menjabat sebagai khalifah. Orang yang memberi hadiah kemudian
berkata: “Rasulullah pernah menerima hadiah”. Lalu Umar menjawab, “Hal itu bagi
Page 11
Rasulullah merupakan hadiah tapi bagi kita itu adalah risywah (suap)”. Oleh karena itu
setiap hadiah yang diberikan kepada pejabat karena posisinya sebagai seorang pejabat tidak
boleh diterima dan haram hukumnya. Karena andaikan pejabat tersebut tidak sedang menjabat
dan hanya tinggal di rumahnya niscaya tidak akan ada orang yang memberinya hadiah.
Seorang pejabat boleh menerima hadiah dengan beberapa syarat:
a. Pemberi hadiah bukan orang yang sedang terkait perkara dan urusan.
b. Sudah terjadi semacam tradisi saling tukar-menukar hadiah antara pejabat tersebut
dengan pemberi hadiah sebelum ia menduduki jabatannya, baik karena pertemanan
atau saudara.
c. Pemberian tersebut tidak melebihi kadar volume kebiasaan sebelum menjabat.
Jika seseorang kehilangan haknya dan dia hanya bisa mendapatkan hak tersebut
dengan cara menyuap seseorang tertindas, ia tidak mampu menolaknya kecuali dengan
menyuap, maka lebih baik ia bersabar sampai Allah memudahkan baginya kepada jalan
terbaik untuk menghilangkan ketertindasan tersebut dan bisa memperoleh haknya. Tetapi
apabila tetap menggunakan suap dalam kondisi seperti itu, maka dosanya ditanggung orang
yang menerima suap sedangkan orang yang menyuap tidak berdosa.
Para ulama mendasarkan pendapat tersebut kepada hadis orang-orang yang menjilat
yang meminta zakat kepada Nabi kemudian Nabi memberi kepada mereka padahal mereka
tidak berhak. Diriwayatkan dari �Abu Ya’la , Nabi bersabda:
�ع�ط�يه� , : ت �ف� �ي ك ، الله س�ول� ر� �ا ي ق�ل�ت� �ار� ن �ه� ل ه�ي� /م�ا �ن و�إ ، /ط�ه�ا ب� �أ �ت ي �د�ي ع�ن م�ن� �ه� �ص�د�ق�ت ب ج� �خ�ر� �ي ل �م� ح�د�ك
� أ �ن/ و�إ
�خ�ل� : , , �ب ال �ي� ل و�ج�ل/ ع�ز/ الله �ى ب� �أ و�ي ، �ي �ت ل
� أ م�س� / �ال إ �ون� ب� �أ ي �ع� ص�ن
� أ ف�م�ا ق�ال� ؟ �ار� ن �ه� ل /ه�ا ن� أ �م�ت� ع�ل و�ق�د�
“Apabila salah satu di antara kamu mengeluarkan zakat dari sisiku dengan cara
mengempitnya―membawa zakat tersebut di bawah ketiaknya―sesungguhnya zakat itu
baginya adalah api! Wahai Rasulullah bagaimana anda memberikan kepadanya padahal
anda tahu bahwa zakat itu baginya adalah api? Rasulullah mejawab: apa yang harus aku
lakukan? Mereka menolak kecuali masalahku dan Allah menolak kekikiran untukku”.(HR
Ahmad ibn Hanbal dari Abu Ya’la)
2.3 Hukum Korupsi Menurut Islam
Sebagaimana telah dipaparkan di atas bahwa tindak pidana korupsi menurut mayoritas
ulama Syafi’iyyah dikatagorikan dalam Al-Ghulul (pengkhianatan terhadap harta yang
diamanahkan) dan Al-Ghasysy (penipuan) maka secara substansinya korupsi dikembalikan
pada hukum Al-Ghulul dan Al-Ghasysy itu sendiri.
Page 12
a. Hukum Al-Ghulul
Berkaitan dengan masalah al-ghulul, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ال� و�ه�م� �ت� ب �س� ك م�ا ��ف�س ن �ل9 ك �و�ف/ى ت �م/ ث �ام�ة� �ق�ي ال �و�م� ي غ�ل/ �م�ا ب ت�� �أ ي �ل� �غ�ل ي و�م�ن� �غ�ل/ ي ن�
� أ hي� �ب �ن ل �ان� ك و�م�ا
�م�ون� �ظ�ل ي
“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.
Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia
akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi
pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka
tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran: 161)
Menurut para mufassirin ayat ini turun pada perang Badar, disebabkan ada sebagian
shahabat yang berkhianat dalam masalah harta perang. Dalam sebuah hadits yang shahih
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berlaku zhalim (khianat dalam masalah harta) sejengkal tanah maka
kelak pada hari kiamat akan digantungkan tujuh lapis bumi di lehernya.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim).
Dan masih banyak lainnya yang menjelaskan tentang keharaman ghulul dan ancaman
yang berat bagi para pelakunya pada hari kiamat. Mengenai hukuman bagi pelaku Al-Ghulûl
(berkhianat dengan mengambil harta ghanîmah sebelum dibagikan), Imam Asy-Syâfi’î pernah
ditanyai, apakah ia disuruh turun dari tunggangannya dan berjalan kaki, dibakar pelananya
atau dibakar harta bendanya. asy-Syâfi’î menjawab: “Tidak di hukum (`Iqâb) seseorang pada
hartanya, tetapi pada badannya. Sesungguhnya Allah menjadikan Al-Hudûd pada badan,
demikian pula Al-`Uqûbât (sanksi), adapun atas harta maka tidak ada `uqûbah atasnya.”
Jenis-jenis hukum ta`zîr yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi adalah, penjara,
pukulan yang tidak menyebabkan luka, menampar, dipermalukan (dengan kata-kata atau
dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan hukuman cambuk di bawah empat puluh kali.
Khusus untuk hukuman penjara, Qulyûbî berpendapat bahwa boleh menerapkan hukuman
penjara terhadap pelaku maksiat yang banyak memudharatkan orang lain dengan penjara
sampai mati (seumur hidup).
a. Hukum Al-Ghasysy
Berkaitan dengan masalah penipuan (al-ghasysy), Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang menipu maka dia bukanlah dari golongan umatku.” (HR. Muslim dan
yang lainnya).
Page 13
b. Hukum Koruptor.
Dibagian depan telah diuraikan tindak korupsi yang dilakukan dengan alat kekuasaan
maupun bukan , maka sangsi hukumnya juga disesuaikan dengan latar belakang tersebut .
Dengan kekuatan apa dia melakukan korupsi tersebut.
a. Dianalogikan dengan perampokan , yaitu korupsi dilakukan dengan kekuatan dan
kekuasaan dan yang telah dikorupsi telah mencapai satu nishab / batas minimal maka
dikenakan dengan hukum potong tangan secara bersilangan sebatas pergelangan tangan.
( Nishabnya seberat emas 93,6 gram, tahun 2011 emas 1 gram seharga Rp.400.000,00
maka nishabnya = Rp. 38.520.000,00). Apabila akibat perbuatan tersebut menyebabkan
korbannya meninggal dunia dia dapat dikenakan hukuman mati. Sebagaimana firman
Allah:
� �وا /ل �ق�ت ي �ن أ اد�ا ف�س� ر�ض�� �أل ا ف�ي ع�و�ن� �س� و�ي �ه� ول س� و�ر� الله� �ون� ار�ب �ح� ي /ذ�ين� ال اؤ�ا ج�ز� /م�ا �ن إ
�ك� ذ�ال ر�ض�� �أل ا م�ن� �نف�و�ا ي و�
� أ ��ف خ�ال م<ن� �ه�م ل ج� ر�� و�أ �د�يه�م� ي
� أ �ق�ط/ع� و�ت� أ �وا /ب �ص�ل ي و�
� أ
�م� ع�ظ�ي ع�ذ�اب� ة� خ�ر�� �أل ا ف�ي �ه�م� و�ل �ا �ي الد9ن ف�ي ي� خ�ز� �ه�م� ل
“ Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RosulNya dan
membuat kerusakan di muka bumi , bagi pembunuh hendaknya dibunuh, bagi perampok yang
membunuh korbannya hendaknya disalibkan , bagi perampok yang hanya merampas harta
korbannya maka hukum mannya dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan sebatas
pergelangannya “.(Q.S Al Maaidah ayat 33)
b. Dianalogikan dengan pencurian, maka hukumnya adalah potong tangan sebatas
pergelangan apabila telah mencapai satu nishab ( 93,6 gram emas).
c. Hukum Munafik
Munafik sering diistilahkan orang yang bermuka dua atau ular kepala dua. Adapun arti
istilah adalh seseorang berprilaku antar ucapan dan gerak hati berbeda/ bertentangan .
Misalnya seseorang mengatakan beriman padahal hatinya menghina /mencibirkan
terhadap aspek-aspek keimanan teresebut. Rasulullah SAW pernah bersabda mengenai
tanda-tanda orang munafik tersebut, yaitu ;
, , ن� : ت�م� إ�ذ�ا و� ل�ف� أخ و�ع�د� إ�ذ�ا و� ك�ذ�ب� د�ث� ح� إ�ذ�ا ث�ال�ث� ن�اف�ق� ال م� �ي�ة ا
“ Tanda-tanda orang munafik ada tiga yaitu apabila berkata dia berdusta, apabila dia
benjanji dia mwengingkari, apabila dia dipercaya dia berkhianat ”( HR. Bukhary Muslim )
Pada diri koruptor secara sempurna terdapat ciri-ciri di atas khusus masalah amanah.
Pada zaman Rosulullah seseorang yang menggelapkan rampasan perang tidak boleh disholati,
Page 14
lebih-lebih seorang munafik dalam Al Qur-an surat Attaubah ayat 84, jelas-jelas haram
disholati, dido’akan, yaitu:
/ه�م� �ن إ �ر�ه� ق�ب ع�ل�ى �ق�م� �ت و�ال �د�ا ب� أ م/ات� �ه�م م<ن �ح�د
� أ ع�ل�ى �ص�ل< �ت و�ال
ق�ون� ف�اس� و�ه�م� �وا و�م�ات �ه� ول س� و�ر� �الله� ب وا �ف�ر� ك
” Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan jenasah seseorang mati di antara mereka
( munafik) dan janganlah berdo’ah dikuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada
Allah dan RosulNya dan mereka mati dalam keadaan fasik”.
2.4 Sanksi-Sanksi Korupsi Menurut Islam
Sanksi merupakan sesuatu yang sangat penting kedudukannya dalam rangka
penegakan supremasi hokum, karena sehebat apapun sebuah produk hukum tanpa adanya
sanksi atau hukuman juga tidak memiliki kekuatan memaksa yang sangat kuat. Kadang ditaati
atau tidaknya suatu hukum atau peraturan tergantung dari berat ringannya sanksi dan
tergantung pada ditegakkannya sanksi tersebut atau tidak.
Jenis sanksi ada empat, yaitu:
Pertama, al-’Uqubah al-Asliyyah yaitu hukuman yang telah ditentukan dan merupakan
hukuman pokok seperti ketentuan qishas dan hudud.
Kedua, al-’Uqubah al-Badaliyyah yaitu hukuman pengganti. Hukuman ini bisa dikenakan
sebagai pengganti apabila hukuman primer tidak diterapkan karena ada alasan hukum
yang sah seperti diyat atau ta’zir.
Ketiga, al-’Uqubah al-Tab’iyyah yaitu hukuman tambahan yang otomatis ada yang
mengikuti hukuman pokok atau primer tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti
hilangnya mewarisi karena membunuh.
Keempat, al-’Uqubah al-Takmiliyyah yaitu hukuman tambahan bagi hukuman pokok
dengan keputusan hakim tersendiri seperti menambahkan hukuman kurungan atau diyat
terhadap al-’Uqubah al-Ashliyyah.
Tujuan adanya sanksi atau hukuman ada tiga, yaitu:
Pertama, al-himayah (preventif), yaitu supaya seseorang berfikir dan menyadari akibat
yang akan dialami bila suatu jarimah dilakukan.
Kedua, al-Tarbiyyah, yaitu supaya seseorang memperbaiki diri atau menjauhkan dirinya
dari jarimah dengan pertimbangan dijatuhi hukuman yang setara dengan perbuatannya.
Page 15
Ketiga, al-‘Adalah, yaitu terciptanya rasa keadilan. Jadi hukuman harus ditegakkan tanpa
pandang bulu sebagaimana hadis Rasulullah mengenai pemberlakuan potong tangan
terhadap pencuri termasuk terhadap Fatimah sekalipun putri beliau seandainya ia mencuri.
Adapun sanksi dari jenis jarimah yang telah disebutkan di atas (ghulul, sariqah,
khianat, dan risywah) sebagai berikut:
Pertama, sanksi atau hukuman ghulul. Di dalam hadis-hadis Rasulullah disebutkan bahwa
sanksi terhadap pelaku ghulul adalah membakar harta ghululnya dan memukul pelakunya.
Hadis yang menjelaskan bentuk sanksi tersebut adalah hadis nomor 2598 dalam Kitab
Sunan Abu Daud. Lengkapnya sebagai berikut:
Dari Shalih bin Muhammad bin Zaidah dia berkata, “Aku pernah memasuki negeri
Rumawi bersama Maslamah, lalu didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang
melakukan ghulul.” Maslamah menanyakan hal itu kepada Salim bin Abdillah bin Umar,
lalu dia berkata, Aku mendengarkan ayah menuturkan hadis dari Umar bin Khattab r.a.,
Nabi SAW bersabda: “Apabila kamu mendapatkan orang melakukan ghulul, maka
bakarlah barangnya, dan pukullah dia”kata Shalih. “Jika kami mendapatkan sebuah
mushaf di dalam barang itu”, lalu Maslamah bertanya tentang itu kepada Salim. Salim
menjawab,“Juallah barangnya, dan sedekahkanlah harganya”.
Pada hadis yang lain disebutkan bahwa sanksi ghulul adalah dengan membakar
hartanya, mengarak keliling pelakunya dan tidak memberikan bagiannya. Diriwayatkan
“dari Shalih bin Muhammad dia berkata: pernah kami berperang bersama Walid bin
Hisyam, sedang kami bersama Salim bin Abdillah bin Umar bin Abdil Aziz. Kemudian
ada seorang laki-laki melakukan ghulul, maka Walid memerintahkan, agar barangnya
dibakar. Setelah dibakar, orang itu diarak berkeliling, dan bagiannya tidak diberikan”.
Menurut Abu Dawud hadis ini yang paling sahih di antara hadis yang lainnya.
Sanksi atau hukuman bagi penyalah gunaan wewenang atau jabatan bahkan bisa
sampai hukuman mati. Al-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain yang
mengutip pendapat al-Muhib al-Thabary dari kitabnya Al-Tafqih menyatakan bahwa
vonis mati boleh dijatuhkan pada seorang pejabat negara yang menyalahgunakan tugas-
tugasnya untuk menindas rakyat, dan hal itu disamakan dengan lima macam kefasikan
(membunuh, zina, mencuri, memutus persaudaraan dan keluar dari Islam), karena
kerugian (korban) yang diakibatkan dari kejahatan pejabat ini jauh lebih besar. Ibn
Taimiyyah menyatakan bahwa siapapun yang kalau kejahatannya hanya bisa dihentikan
dengan vonis mati, maka ia harus divonis mati, meski itu masih bagian dari ta’zir. Ibn
Taimiyyah menganalogikan kejahatan itu dengan kejahatan al-Soil.
Page 16
Kedua, sanksi atau hukuman sariqah adalah didasarkan pada firman Allah SWT. dalam
QS al-Maidah [5]: 3 :
ح�كيم� ع�زيز� /ه� الل و� /ه� الل م�ن� � �كاال ن با �س� ك �ما ب ج�زاء� �ه�ما �د�ي ي� أ ف�اق�ط�ع�وا ار�ق�ة� الس/ و� ار�ق� الس/ و�
“Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangannya sebagai pembalasan
terhadap apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah SWT. dan Allah
Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana”.
Di dalam hadis disebutkan:
�ف�س�ي ن /ذ�ي و�ال ر�يف� الش/ �ون� ك �ر� �ت و�ي �و�ض�يع� ال ع�ل�ى �ح�د/ ال �ق�يم�ون� ي �وا �ان ك /ه�م� ن� أ �م� �ك �ل ق�ب �ان� ك م�ن� ه�ل�ك� /م�ا �ن إ
�د�ه�ا ي �ق�ط�ع�ت� ل �ك� ذ�ل ف�ع�ل�ت� ف�اط�م�ة� ن/� أ �و� ل �د�ه� �ي ب
“Bahwasanya yang menyebabkan kehancuran umat sebelum kamu ialah mereka
menegakkan had terhadap kaum lemah dan meninggalkan had terhadap kaum
bangsawan. Saya bersumpah demi Allah seandainya Fatimah (mencuri) niscaya akan
kupotong tangannya”.(H.R. Ahmad, Muslim, Nasai dari Aisyah)
Hukuman potong tangan bisa dilaksanakan apabila harta yang dicuri telah sampai
senisab. Adapun nisab potong tangan adalah seperempat dinar ke atas sebagaimana hadis
yang diriwayatkan dari ‘Amrah dari ‘Aisyah ra. bahwa sesungguhnya Nabi SAW. biasa
memotong tangan karena pencuriannya senilai seperempat dinar ke atas. Hadis tersebut
begitu populer karena dikeluarkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Turmudzi,
Imam an-Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah. Hadis dengan redaksi yang hampir sama juga
diriwayatkan oleh Urwah dan ‘Amrah juga dikeluarkan oleh para Imam yang telah disebut
di atas.
Ada beberapa kasus pencurian yang tidak dipotong tangannya, yaitu pada
pencurian buah-buahan dan umbat, mencuri untuk memakannya karena suatu hajat (di
tempat itu) tanpa mengantonginya, kemudian orang gila, dan terakhir pencurian yang
dilakukan dalam peperangan. Imam Abu Hanifah mengatakan tidak dipotong tangan pada
pencurian harta dalam keluarga yang inti karena mereka diiperbolehkan keluar masuk
tanpa izin. Jadi kasus pencurian antara suami istri tidak dipotong tangan. Menurut Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad, seorang ayah tidak dikenai hukuman potong tangan karena
mencuri harta anaknya, cucunya, dan seterusnya ke bawah. Demikian pula sebaliknya,
anak tidak dapat dikenai sanksi potong tangan, karena mencuri harta ayahnya, kakeknya,
dan seterusnya ke atas.
Sedangkan menurut Muhammad Syahrur hukuman bagi pencurian tidak harus
dipotong tangan. Hukuman tersebut bisa diganti dengan hukuman lain yang lebih rendah
Page 17
tetapi tidak boleh diganti dengan hukuman yang lebih tinggi. Teori Muhammad Syahrur
mengenai hal ini terkenal dengan teori limit.
Hukuman pengganti potong tangan dalam kasus pencurian menurut Ahmad Abu
al-Rus bisa diganti dengan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang tidak lebih dari
dua tahun, tetapi barang yang dicuri hanya terbatas pada barang-barang yang ketika dicuri
tidak sangat berpengaruh terhadap korban pencurian. Namun apabila pencurian tersebut
masih diulang hakim diperbolehkan menghukum lebih dari had yang lebih tinggi yang
ditetapkan undang-undang untuk tindak pidana dengan syarat tidak melewati kelipatan
had sebelumnya.
Ketiga, sanksi atau hukuman bagi pengkhianatan. Orang yang berkhianat tidak dikenakan
potong tangan sesuai dengan hadis Nabi:
ق�ط�ع� ، ��ل�س ت م�خ� و�ال� ، ��ه�ب �ت م�ن و�ال� ��ن ائ خ� ع�ل�ى �س� �ي ل
“Tidak dikenakan hukuman potong tangan terhadap pengkhianat, orang yang merampas,
dan atau mencopet”. (HR Ahmad dari Jabir bin Abdullah)
Namun demikian pengkhianatan yang sifatnya sariqah (pencurian) hukumannya bisa
disamakan dengan sariqah (pencurian). dalam beberapa kasus, khianat dapat dijatuhi
hukuman mati. Misalnya pengkhianatan terhadap agama (murtad) dan negara
(bughat/pemberontakan), orang yang lari dari medan pertempuran melawan kaum
musyrik.
Keempat, sanksi atau hukuman terhadap pelaku tindak kejahatan risywah (suap)
bervariasi, sesuai dengan tingkat kejahatannya; mulai dari sanksi material, penjara,
pemecatan jabatan, cambuk, pembekuan hak-hak tertentu sampai hukuman mati. Hal ini
karena tidak ada nash qath’i yang berkaitan dengan tindak pidana ini. Sanksi Material (al-
Ta’zir bi al-Mal) adalah bentuk hukuman material, yaitu dengan cara menyita harta yang
dijadikan pelicin atau suap, kemudian dimasukkan ke dalam kas negara. Para ulama’
berbeda pendapat tentang kebolehan sanksi ini, namun terlepas dari pro dan kontra, sanksi
ini cukup efektif untuk membuat para pelakunya jera.
Bentuk sanksi material bisa berupa
a) Al-Itlaf, perusakan atau penghancuran sebagaimana pemusnahan minuman keras dan
penghancuran sarananya,
b) Al-Taghyir (mengubah), sebagaimana merubah tempat maksiat menjadi tempat yang
bermanfaat,
Page 18
c) Al-Tamlik (penguasaan/pemilikan) sebagaimana tindakan sahabat Umar ra. menyita
dan kemudian memasukkan hadiah yang diberikan kepada Abu Hurairah ke dalam
Baitul Mal.
Sanksi Penahanan dalam terminologi fiqh yuridis penahanan (al- hubs) berarti
menunda dan mencegah seseorang (terdakwa) dari kebebasan bertindak. Sanksi ini
berpijak pada al-Qur’an:
�وه�ن/ ك م�س�� ف�أ ه�د�وا ش� �ن� ف�إ �م� �ك م�ن �ع�ة� ب ر�
� أ �ه�ن/ �ي ع�ل ه�د�وا �ش� ت ف�اس� �م� �ك ائ �س� ن م�ن� ة� �ف�اح�ش� ال �ين� ت� �أ ي �ي ت و�الال/
�يال� ب س� �ه�ن/ ل /ه� الل �ج�ع�ل� ي و�� أ �م�و�ت� ال �و�ف/اه�ن/ �ت ي /ى ح�ت �وت� �ي �ب ال ف�ي
”Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaknya ada empat
orang saksi di antara kamu (yang menyaksikan), kemudian apabila di antara mereka
telah emmberikan persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”. (QS
an-Nisâ [4]: 15)
Dalam lintasan sejarah Islam yakni pada masa khalifah Umar bin Khattab, beliau
pernah membeli rumah dari Shafwan bin Umayyah seharga 4000 dirham kemudian ia
jadikan sebagai penjara. Dari sinilah mulai ada rumah tahanan dalam Islam.
Sanksi Pemecatan Jabatan. Yang dimaksud di sini adalah penghentian segala
keterikatan kerja yang berkaitan dengan jabatan. Rasulullah pernah memecat jabatan
komandan yang dipegang Sa’ad bin ‘Ubadah. Para ulama’ mazhab Hanafi dan Syafi’i
menetapkan sanksi ini kepada para pejabat yang melakukan tindak kriminal suap.
Selanjutnya adalah Sanksi Mengulangi Kejahatan. Orang yang telah pernah melakukan
kejahatan kemudian mengulanginya lagi maka dia bisa dikenakan unsur pemberatan
hukuman.
Page 19
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Korupsi adalah perbuatan yang mengandung banyak defenisi yang sesuai dengan
pemahaman dari Al-Quran, Konsepsi hukum Islam tentang korupsi khususnya di Indonesia
paling tidak ada empat, yaitu ghulul (penyalahgunaan wewenang), sariqah (pencurian atau
penggelapan), khianat, dan risywah (suap atau sogok). Apabila korupsi uang Negara
dilakukan oleh pejabat yang diberi amanat mengelola, maka termasuk pengkhianatan dan
ghulul. Apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang tidak diberi amanat
mengelola dengan cara mengambil dari tempat simpanan, maka dikategorikan pencurian dan
ghulul. Kemudian apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang diserahi uang atau
barang dan dia tidak mengakui menerima uang atau barang tersebut, maka dikategorikan
ghulul dan pengkhianatan. Terakhir apabila warga biasa memiliki prakarsa untuk
mengeluarkan dana, hadiah, jasa atau barang lainnya sebagai suap (bribery) kepada pejabat
untuk memperlancar atau untuk memenuhi tuntutan/permohonannya, atau apabila prakarsa
datangnya dari pejabat atau aparatur negara sebagai bentuk pemerasan (extortion), maka
kedua hal tersebut termasuk kategori risywah. Untuk memberantas korupsi yang sudah
merajalela, paling tidak ada empat usaha yang harus segera dilakukan, yaitu: Pertama,
Memaksimalkan Hukuman. Kedua, Penegakan Supremasi Hukum. Ketiga, Perubahan dan
Perbaikan Sistem. Keempat, Revolusi Kebudayaan (mental).
Perbuatan korupsi jelas-jelas mengarah kepada perusakan makro ekonomi dan sosial
negara, maka hal tersebut layak untuk ditetapkan sebagai kategori hirabah. Hukuman bagi
pelakunya adalah sangat berat di dalam Islam bahkan sampai hukuman mati. Sebagai para
generasi muda yang beriman kita sebagai mahasiswa muslim nantinya dituntut agar mau
berperan dalam membangun bangsa yang lebih baik, mulai dari kesadaran dan kejujuran
dalam diri yang nantinya berkembang menjadi makhluk beragama yang mampu
membangkitkan Negara bersih tanpa korupsi.
Page 20
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hamid, Syekh Muhammad.1997. Rudud ‘ala Abathil. Al-Maktabah al-‘Ashriyyah: Beirut.
Al-Khatib, Syarbini. 1958. Mughni al-Muhtaj. Dar al-Bab al-Halabi wa Auladuhu: Mesir.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1994. Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam. Al Maktab al-Islami: Beirut.
Al-Qurtuby. 1993. Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Jilid 1. Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut.
Al-Rus, Ahmad Abu. 1997. Jarâ’im al-Sariqât wa al-Nasbi wa Khiyânât al-Amânah wa al-
Syai’ bi Dûni Rasyîd. Al-Maktabah al-Jami’i al-Hadits: Iskandariyah.
An-Na’im, Abdullahi Ahmed. 1997. Dekonstruksi Syari’ah Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia Dan Hubungan Internasional Dalam Islam, alihbahasa Ahmad Suaedy dan
Amiruddin Arran. LKiS: Yogyakarta.
Arabi, Ibnu. tt. Ahkam al-Quran, Jilid 1. Dar Kutub al-Ilmiyah: Beirut.
As-Shabuny, Muhamad Ali. tt. Mukhtasar Ibnu Katsir, Jilid 1. Dar as-Shabuni: Kairo.
As-Shabuny, Muhammad Ali. tt. Rawaiulbayan Tafsir Ayat Ahkam, Jilid 1. Dar al-Fikr:
Beirut.
Awdah , Abd al-Qadir ‘. 1997. At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamy, Jilid 2. Muassah Risalah:
Beirut.
Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi. Raja Grafindo Perkasa: Jakarta.
Kartono, Kartini. 1997. Patologi Sosial. Grafindo Persada : Jakarta.
Katsir, Ibnu. 1992. Al-Quran al-Azdhim, Jilid 1. Dar al-Fikr: Beirut.
Luth, Tohir, dkk. 2005.Buku Daras Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya. Pusat
Pembinaan agama Universitas Brawijaya
Page 21
Munajat, Makhrus.2001. “Penegakan Supremasi Hukum dalam Sejarah Peradilan Islam”
dalam Asy-Syir’ah Nomor 8 Tahun 2001. Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta.
Munajat, Makhrus. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Logung Pustaka: Yogyakarta.