BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah perusahaan memiliki berbagai macam bentuk, seperti PerusahaanTerbatas (PT), Commandite Value (CV), Firma (Fa), dan Koperasi. Dalam menjalankannya setiap bentuk usaha memiliki ciri atau corak yang berbeda, tetapibentuk usaha yang paling sering terlihat dan banyak digunakan didalam masyarakat adalah Perusahaan Terbatas (PT) karena perusahaan terbatasmerupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang dianggap oleh masyarakat dapatmemberikan keuntungan dengan mudah dan cepat. Perseroan Terbatas adalah perusahaan berbadan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian. Perseroan Terbatas menjadi badan hukum setelah adanya akta pendirian yang didirikan oleh dua orang atau lebih dan mendapatkan pengesahan dari DepartemenKehakiman dan Hak Asasi Manusia. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai perseroan terbatas adalah Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Dalam mendirikan suatu usaha terdapat faktor atau penyebab mengapa badan-badan usaha banyak yang mengalami kemerosotan dan yang pada akhirnya mengalami kebangkrutan. Faktor tersebut antara lain mulai dari 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebuah perusahaan memiliki berbagai macam bentuk, seperti
PerusahaanTerbatas (PT), Commandite Value (CV), Firma (Fa), dan Koperasi.
Dalam menjalankannya setiap bentuk usaha memiliki ciri atau corak yang
berbeda, tetapibentuk usaha yang paling sering terlihat dan banyak digunakan
didalam masyarakat adalah Perusahaan Terbatas (PT) karena perusahaan
terbatasmerupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang dianggap oleh
masyarakat dapatmemberikan keuntungan dengan mudah dan cepat.
Perseroan Terbatas adalah perusahaan berbadan hukum yang didirikan
berdasarkan perjanjian. Perseroan Terbatas menjadi badan hukum setelah adanya
akta pendirian yang didirikan oleh dua orang atau lebih dan mendapatkan
pengesahan dari DepartemenKehakiman dan Hak Asasi Manusia. Ketentuan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perseroan terbatas adalah Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Dalam mendirikan suatu usaha terdapat faktor atau penyebab mengapa badan-
badan usaha banyak yang mengalami kemerosotan dan yang pada akhirnya
mengalami kebangkrutan. Faktor tersebut antara lain mulai dari
hubungannyadengan urusan internal perusahan sampai pada eksternal
perusahaan, seperti adanya akibat dari utang-piutang, perjanjian wanprestasi,
hingga sampai menyebabkan perusahaan tersebut tidak dapat melakukan kegiatan
usaha lagi.
Jika perusahaan masih bisa atau dapat membayar utang (solvable), hal itu
karena perusahaan sudah memperhitungkan modalpinjaman tersebut apakah bisa
mengembalikannya atau tidak serta bagaimana mengelola dan memanfaatkan
modal yang telahdidapat. Sedangkan perusahan yang tidak mampu membayar lagi
utang-utangnyadisebut sebagai perusahaan yang insolvable atau tidak mampu
membayar utang-utangnya. Hal ini tidak wajar atau tidak dibenarkan apabila
1
perusahaantidak mampu mengembalikan atau membayar utang yang telah
dimiliki.
Ketidakmampuan perusahaan dalam mengembalikan utang adalah merugikan
baik dari perusahaan yang meminjam maupun pihak yang meminjamkan.Jika
perusahaan mengalami kasus di mana perusahaan tidak mampu membayar utang-
utangnya maka dapat dikatakanbahwa perusahaan tersebut sudah tidak sehat.
Perusahaan sudah tidak bisamenjalankan kegiatan usahanya dan masih memiliki
tanggungan utang padapihak lain yaitu pihak yang memberikan pinjaman. Bila
suatu perusahaan sudah berada dalam keadaan berhenti membayaratau sudah tidak
mampu lagi membayar utang-utangnya, implikasinya perusahaan dapat dijatuhi
putusanpailit oleh Pengadilan Niaga baik atas permohonan kreditur
maupun debitursendiri atau pihak lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang
Nomor 37 Tahun2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
Pada hakikatnya, kepailitan adalah suatu sitaan umum yang bersifat
konservatoir atas semua kekayaan debitur yang dinyatakan pailit. Pihak yang
dinyatakan pailit kehilangan penguasaan terhadap harta benda yang ia miliki.
Penyelesaian harta pailit diserahkan kepada seorang kurator yang dalam
menjalankan tugasnya dibantu oleh Hakim Pengawas yang ditunjuk dari Hakim
Pengadilan Niaga.1
Dari ringkasan singkat diatas, penulis tertarik untuk menganalisis Putusan
Mahkamah Agung No. 080 PK/ Pdt.Sus/ 2009 tentang kepailitan atas
permohonan Peninjauan Kembali oleh PT Arta Glory Buana (selanjutnya disebut
PT AGB), yang mana PT AGB mendapatkan gugatan kepailitan oleh Serikat
Pekerja Serikat Pekerja Nasional (PSP SPN) dikarenakan setelah dilakukan
perundingan-perundingan antara kedua belah pihak, ternyata tidakterjadi
pemenuhan atas utang/kewajiban Termohon Pailit(PT AGB). Pemohon Pailit pun
telah berkali-kali memperingatkan Termohon Pailit melalui somasi termasuk di
dalamnya memberikan batas waktu pemenuhan kewajiban/ utang Termohon Pailit
kepada Pemohon Pailit.
1Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, 2006, Yogyakarta, hlm. 263-264
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah prinsip-prinsip kepailitan yang diundangkan dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang?
2. Bagaimana kriteria kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
3. Bagaimana akibat hukum dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 080
PK/Pdt//Sus/2009 terhadap PT Arta Glory Buana?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip Kepailitan yang Dinormakan dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang
Prinsip hukum merupakan ratio legis dari norma hukum.2 Selain itu juga
merupakan metanorma yang dapat dijadikan landasan pembentukan peraturan
perundang-undangan serta dapat pula dijadikan dasar bagi hakim dalam
menentukan suatu hukum terhadap kasus-kasus yang sedang dihadapinya untuk
diputuskan ketika hakim tidak dapat merujuk kepada norma hukum positifnya.3
Penggunaan prinsip hukum sebagai dasar bagi hakim untuk memutus perkara
kepailitan memperoleh legalitasnya dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan) yang secara expressis verbis
menyatakan bahwa sumber hukum tidak tertulis, termasuk pula prinsip-prinsip
hukum dalam kepailitan dapat dijadikan hakim sebagai dasar untuk memutus4.
Dalam pasal 8 Ayat (6) Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa
putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada Ayat (5) wajib memuat pula5:
a. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili; dan
b. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota
atau ketua majelis.
Terdapat 10 prinsip hukum kepailitan yang terdapat dalam berbagai macam
sistem hukum kepailitan di berbagai negara, yaitu6:
1. Prinsip paritas creditorium;
2 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik Peradilan, Jakarta, 2008, hlm. 253 Ibid., hlm. 274 Ibid.,5 Ibid.,6 Ibid., hlm. 353
10. Prinsip commercial exit from financial distress.
Dari prinsip-prinsip universal tersebut, terdapat beberapa prinsip yang
dinormakan dalam Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, di antaranya:
1. Prinsip Paritas Creditorium
Bersama prinsip pari passu prorata parte dan prinsip structured
prorata, prinsip paritas creditorium merupakan prinsip utama penyelesaian
utang dari debitur kepada krediturnya.7 Prinsip paritas creditorium
(kesetaraan kedudukan para kreditur) menentukan bahwa para kreditur
mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitur.8 Apabila
debitur tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitur
menjadi sasaran kreditur.9 Prinsip paritas creditorium mengandung makna
bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak ataupun
barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur
dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada
penyelesaian kewajiban debitur.10
Filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa merupakan
suatu ketidakadilan jika debitur memiliki harta benda sementara utang
debitur terhadap para krediturnya tidak terbayarkan. 11
7 Ibid., hlm. 278 Ibid.,9Mahadi, dalam M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik Peradilan, Jakarta, 2008, hlm. 2710 Kartini Mulyadi, dalam Ibid., hlm 27-2811 M. Hadi Shubhan, op.cit. hlm. 28
5
Prinsip ini harus digandengkan dengan prinsip pari passu prorata
parte dan prinsip structured creditors karena prinsip paritas creditorium
tidak membedakan perlakuan terhadap kreditur yang memiliki piutang
besar maupun kreditur yang memiliki piutang kecil, baik kreditur yang
memegang jaminan maupun kreditur yang tidak memegang jaminan.12 Hal
ini agar tercapai keadilan di antara para kreditur.
Prinsip paritas creditorium ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang
Kepailitan).13
Terkait dengan kasus PT Arta Glory Buana maka dalam kasus tersebut
Mahkamah Agung menyatakan pendapat bahwa menurut Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan, baik kreditur konkuren, kreditur separatis,
maupun kreditur preferen dapat mengajukan permohonan pailit.
2. Prinsip Pari Passu Prorata Parte
Prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan debitur
merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus
dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika di antara para
kreditur itu ada yang menurut Undang-Undang harus didahulukan dalam
menerima pembayaran tagihannya.14 Prinsip ini menekankan pada
pembagian harta debitur untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditur
secara berkeadilan dengan cara sesuai porsinya dan bukan dengan cara
sama rata. Prinsip ini dapat dilihat dalam Pasal 189 Ayat (4), (5), dan
Penjelasan Pasal 176 Huruf a. Undang-Undang Kepailitan.15
3. Prinsip Structured Creditors
Penggunaan prinsip paritas creditorium yang dilengkapi dengan
prinsip pari passu prorata parte dalam konteks kepailitan juga masih
memiliki kelemahan jika antara kreditur tidak sama kedudukannya. Bukan
12 Ibid., hlm. 2913 Ibid.,hlm. 35414 Kartini Mulyadi dalam Ibid., hlm 2915 M. Hadi Shubhan, op.cit. hlm. 354
6
persoalan besar kecilnya piutang saja tetapi tidak sama kedudukannya
karena ada sebagian kreditur yang memegang jaminan kebendaan dan/atau
kreditur yang memiliki hak preferensi yang telah diberikan oleh Undang-
Undang. Prinsip structured creditors mengklasifikasikan dan
mengelompokkan berbagai macam debitur sesuai dengan kelasnya
masing-masing.16 Dalam kepailitan, kreditur dikelompokkan menjadi 3
macam:
a. Kreditur separatis: kreditur yang memiliki jaminan kebendaan;
b. Kreditur preferen: hanya kreditur yang menurut Undang-Undang
didahulukan pembayaran piutangnya;
c. Kreditur konkuren
Di dalam Undang-Undang Kepailitan, prinsip ini diatur dalam Pasal 1
Ayat (2) dan Penjelasan Pasal 1 Ayat (1).17
1. Prinsip Debt Collection
Prinsip debt collection mempunyai makna sebagai konsep pembalasan
dari kreditur terhadap debitur pailit dengan menagih klaimnya terhadap
debitur atau harta debitur.18 Pada hukum kepailitan modern, prinsip debt
collection dimanifestasikan dalam bentuk antara lain likuidasi asset.
Manifestasi dari prinsip debt collection dalam kepailitan adalah
ketentuan-ketentuan untuk melakukan pemberesan asset dengan jalan
likuidasi yang cepat dan pasti, prinsip pembuktian sederhana,
diterapkannya keputusan kepailitan secara serta-merta, adanya ketentuan
masa tunggu bagi pemegang jaminan kebendaan, dan kurator sebagai
pelaksana pengurusan dan pemberesan.
Prinsip debt collection tercermin beberapa di antaranya yakni dalam