BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangKondisi pertanian dewasa ini
semakin memprihatinkan. Tanah semakin rusak akibat pemupukan
kimiawi/sintetis yang tidak berimbang. Penggunaan pestisida
sintetis yang berlebihan menyebabkan kerusakan ekosistem. Tentu
dibalik kondisi ini masih ada semangat untuk kembali kepada
pertanian yang sehat dan alami. Salah satunya adalah gencarnya
penggunaan pestisida nabati dan agen hayati dalam pengendalian
organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Pengendalian hayati
akhir-akhir ini juga banyak mendapat perhatian dunia dan seringkali
dibicarakan di dalam seminar atau kongres, serta ditulis dalam
naskah jurnal atau pustaka khususnya yang berkaitan dengan penyakit
tanaman. Pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan agens
pengendali hayati muncul karena kekhawatiran masyarakat dunia
akibat penggunaan pestisida kimia sintetis. Adanya kekhawatiran
tersebut membuat pengendalian hayati menjadi salah satu pilihan
cara mengendalikan patogen tanaman yang harus dipertimbangkan.Agens
Hayati adalah setiap organisme yang dapat merusak, mengganggu
kehidupan atau menyebabkan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) sakit
atau mati. Agens Hayati dapat berupa predator, parasitoid, patogen
dan agens antagonis. Penggunaan agens hayati dalam budidaya
pertanian layak untuk dikembangkan secara masif mengingat fungsinya
yang mengikuti keseimbangan ekosistem. Bakteri dilaporkan bisa
menekan pertumbuhan patogen dalam tanah secara alamiah, beberapa
genus yang banyak mendapat perhatian yaitu Agrobacterium, Bacillus,
dan Pseudomonas. Penggunaan mikroorganisme antagonis sebagai agen
pengendalian hayati juga mampu memberikan harapan baru untuk
pengendalian hama pertanian terutama fungi yang bersifat patogen.
Secara alamiah, pada tanah terdapat mikroorganiasme yang berpotensi
untuk menekan perkembangan patogen dalam tanah karena dpat bersifat
antagonis. Sehingga dalam agen hayati ini mampu memberikan manfaat
yang besar dalam bidang sektor pertanian apabila diterapkan.
1.2 Rumusan MasalahPertanian adalah cara bagaimana kita bisa
hidup. Namun demikian tidak semua pertanian mampu menghidupi
masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, mahasiswa sebagai insan
akademis, pencipta, dan pengabdi sudah seharusnya mempunyai andil
besar dalam hal penyediaan pangan yang sehat atau dalam hal ini
disebut pertanian sehat.Diantara penyebab rusaknya lahan adalah
permasalahan penggunaan bahan kimia untuk pemberantasan OPT
berlebihan yang juga berdampak terhadap degradasi lahan. Apalagi
penggunaan produk kimia juga mempunyai efek samping yang sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia.Untuk mengatasi hal tersebut, maka
diperlukan pengendali OPT yang lebih ramah lingkungan dan tidak
berbahaya terhadap kesehatan manusia.1.3 TujuanMakalah ini
bertujuan untuk:a. Mengetahui penyakit tanaman pangan serta tata
cara pengendaliannya secara hayatib. Mengetahui penyakit tanaman
holtikultura serta tata cara pengendaliannya secara hayatic.
Mengetahui penyakit tanaman perekebunan serta tata cara
pengendaliannya secara hayati
BAB IIPEMBAHASAN2.1 Tanaman Pangan2.1.1 Penyakit Fusarium sp.
Pada Tongkol JagungFusarium sp. telah dilaporkan sebanyak 31
spesies dan menyerang pada berbagai jenis tanaman (Gleen et al.,
2001 dalam Pakki, 2005). Spesies F. verticillioides adalah sinonim
dari spesies F. moniliforme, merupakan spesies dominan yang
menginfeksi pada bagian morfologi jagung antara lain : akar,
batang, pelepah, tongkol, dan terutama biji (Schutless et al., 2002
dalam Pakki, 2005). Di Indonesia (Dharmaputra et al.,1993 dalam
Pakki, 2005), menemukan 6 spesies, salah satu di antaranya adalah
F. moniliforme dan berdasarkan warna koloni (Mardinus, 1989 dalam
Pakki, 2005) juga mengidentifikasi bahwa pada biji jagung di
Sumatra Barat terdapat spesies F. moniliforme, sekitar 20,44 %.
Data-data tersebut memberi gambaran bahwa spesies yang banyak
menginfeksi tanaman jagung, terutama biji adalah F.
verticillioides. Cendawan Fusarium sp. pada jagung ditemukan pada
akar, kemudian berkembang pada batang, pelepah, dan tongkol lalu
menginvasi pada biji bagian ujung tongkol. Gejala visual khas pada
bagian yang terserang dicirikan dengan terkadang adanya kumpulan
miselia pada bagian permukaan batang, pelepah dan tongkol, berwarna
merah jambu (pink) atau dominan memperlihatkan warna
keputih-putihan, pada batang biasanya dijumpai bagian yang
membusuk. Infeksi dari biji adalah berawal dari ujung tongkol,
selanjutnya menginvasi biji yang terletak pada bagian dalam tongkol
(Munklov and Derjdais, 1997 dalam Pakki, 2005). Hasil penelitian
(Shutless and Cardwile, 1999 dalam Pakki, 2005) menunjukkan bahwa
efek sistemik F. verticilliodes pada batang dan tongkol pada
umumnya adalah hasil kolonisasi serangga dari ordo lepidoptera
(Sesamia calomistis dan Eldana sacarina) dan coleoptera. Pada
penelitian yang dilakukan (Munklov and Derjdais, 1997 dalam Pakki,
2005) bahwa sebagian biji yang terinfeksi F. verticillioides
bersifat endophytic atau tidak menampakkan gejala (Symptomless),
serta dapat ditularkan melalui biji, gejala akan tampak setelah
tanaman tumbuh. Infeksi sistemik fusarium pada tanaman jagung
adalah dimulai dari konidia atau miselia yang berasal dari dalam
ataupun bagian permukaan biji kemudian berkembang pada tanaman muda
dari akar ke batang dan terakhir menginfeksi kebagian tongkol dan
biji ( Oren et al, 2003 dalam Pakki, 2005).
BA
Gambar 01. Gejala Fusarium sp. pada tongkol jagung (A),
Mikroskopis Jamur Fusarium sp. (B) (Sumber: Pakki dkk., 2005)Gejala
khas patogen ini adalah terdapat kumpulan miselia pada bagian
permukaan batang atau tongkol dan biji jagung, berwarna keputihan
dan terdapat warna merah jambu. Infeksi pada batang jagung biasanya
menyebabkan pembusukan, invasi ke dalam biji melalui rambut jagung
pada ujung tongkol, selanjutnya menginfeksi biji pada bagian dalam
tongkol, bersifat symptomless atau dapat ditemukan pada biji yang
tidak bergejala, menginfeksi ke bagian internal biji jagung, dan
dapat ditularkan melalui biji.2.1.2 Biologi penyakit Fusarium
sp.Bentuk morfologi cendawan Fusarium sp. yaitu spora dalam bentuk
konidia dibentuk diujung tangkai konidia atau klamidospora. Konidia
ada yang bersekat satu dan tidak bersekat, sedangkan makrokonidia
ada yang bersekat sampai 10 walaupun ada yang tidak bersekat
(Talanca, 2007).
Gambar 02. Beberapa bentuk tangkai konidia dan bentuk konidia
cendawan Fusarium (Sumber: Booth, 1971 dalam Talanca, 2007).2.1.3
Ekologi Penyakit Fusarium sp.Daerah sebaran Fusarium spp. meliputi
daerah dingin dengan suhu 5oC sampai daerah tropik dengan suhu
20oC, dan dapat hidup baik pada wilayah kering dengan curah hujan
tahunan < 250 mm sampai daerah basah dengan curah hujan di atas
1000 mm per tahun. Di Indonesia baru dilaporkan enam spesies dan
satu di antaranya adalah F. moniliforme yang dominan menginfeksi
jagung (Bachri 2001 dalam Pakki, 2005).Fusarium sp. adalah patogen
tular benih yang banyak menginfeksi biji di areal pertanaman maupun
pada tempat penyimpanan hasil panen jagung. Patogen Fusarium sp.
dapat berkembang baik dalam suhu dan kelembaban yang ideal pada
tempat penyimpanan benih jagung. Patogen tersebut dapat memproduksi
senyawa beracun yang disebut mikotoksin. Keadaan iklim tropis,
seperti suhu dan kelembaban yang tinggi, sangat membantu
perkembangan mikroorganisme Fusarium sp. (Pakki, 2005).2.1.4 Faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan penyakitCendawan Fusarium sp.
biasanya melakukan infeksi melalui kutikula atau lubang alamiah.
Cendawan ini berkembang pada suhu 20 - 220 C., dengan PH netral
dengan kandungan N tanah tinggi. Pola sebaran cendawan Fusarium sp.
mulai dari daerah dingin (suhu < 50 C) smpai daerah tropika
(suhu diatas 250 C), dari daerah kering (curah hujan tahunan <
250 mm) sampai daerah basah (curah hujan tahunan > 1000 mm).
Cendawan Fusarium sp. dapat bertahan hidup pada sisa-sisa tanaman
terinfeksi, sedangkan konidianya tidak dapat bertahan lama dalam
tanah tanpa adanya sisa-sisa tanaman inang (Talanca, 2007).2.1.5
Pengendalian penyakit Fusarium sp.Penyakit ini dapat dikendalikan
secara hayati dengan pemberian cendawan antagonis Trichoderma sp.
satu sampai dua minggu setelah adanya pathogen Fusarium sp. pada
tanaman jagung (Talanca, 2007).
2.2 Tanaman Holtikultura2.2.1 Penyakit Antraknosa pada Buah
AvokadAntraknosa adalah penyakit utama pasca panen yang disebabkan
oleh C. gloeosporioides yang menyerang buah-buahan di daerah tropis
dan sub tropis (Capdeville, 2007), salah satunya adalah buah avokad
(Nelson, 2008). Penyakit ini menyerang semua bagian tanaman kecuali
akar. Bagian yang terinfeksi berwarna cokelat karat, kemudian daun,
bunga, buah atau cabang tanaman yang terserang akan gugur (Rukmana,
1995).Colletotrichum sp. adalah penyebab penyakit antraknosa dan
memainkan peranan penting pada ekonomi sub sistem pertanian di
seluruh dunia. Patogen ini menginfeksi sejumlah tanaman mulai dari
monokotil hingga tanaman dikotil. Meskipun infeksi antraknosa dapat
terjadi pada semua stadia tanaman, namun stadia yang harus
diwaspadai adalah terjadinya infeksi pada berbagai macam
buah-buahan pasca panen (Dickman, 1993).C. gloeosporioides
merupakan bentuk anamorf dari Glomerella cingulata, sedangkan G.
cingulata merupakan bentuk teleomorf dari cendawan patogen ini (CAB
Internasional, 2007). Patogen dapat menginfeksi buah dan batang
avokad, mempunyai kisaran inang yang luas, merupakan patogen
parasit fakultatif, mampu hidup sebagai saprofit pada bagian
tanaman yang mati dan sisa-sisa tanaman sakit dan mengkolonisasi
bagian tanaman avokad yang telah mati yang terkumpul di bawah tajuk
tanaman atau berada di permukaan tanah. Cendawan dapat menyebabkan
beberapa masalah selama musim buah (Nelson, 2008). C.
gloeosporioides menyerang avokad yang belum matang di kebun buah.
Spora yang berkecambah membentuk apresorium dan menembus kutikula
tetapi hifa yang telah mencapai subkutikula menjadi quiescent dan
tidak berkembang sampai buah dipanen dan matang. Perubahan
fisiologi yang signifikan terjadi pada buah yang dapat mengaktivasi
patogen quiescent. Terdapat empat dugaan yang dapat menjelaskan
mengapa buah yang belum matang lebih tahan terhadap serangan
patogen: (i) kurangnya nutrisi yang diperlukan oleh patogen, (ii)
adanya komponen anti cendawan, (iii) adanya induksi komponen anti
cendawan, dan (iv) kurangnya faktor yang mengaktivasi patogenesitas
cendawan. Ketahanan avokad yang belum matang terhadap serangan C.
gloeosporioides berkaitan dengan adanya komponen anti cendawan
1-acetoxy-2-hydroxy-4-oxoheneicosa-12,15-diene (diene) pada
perikarp buah yang belum matang (Beno Moualem & Prusky,
2001).2.2.2 Gejala Penyakit Antraknose pada Buah AvokadGejala
serangan penyakit antraknosa dapat muncul di seluruh bagian tanaman
yang terserang. Gejala serangan pada daun adalah terjadinya bercak
coklat sampai ungu dan daun cepat rontok. Gejala pada cabang dan
ranting adalah terjadinya kematian ujung ranting (die back),
sedangkan pada bunga adalah terjadinya perubahan warna bunga
menjadi cokelat tua dan mudah rontok/ berguguran (Rukmana,
1995).
Gambar 03. Gejala penyakit antraknosa pada buah avokad: gejala
awal (a dan b), gejala di penyimpanan (c) (sumber: Nelson,
2008)Serangan cendawan C. gloeosporioides pada buah menimbulkan
gejala bercak berwarna gelap, cekung, berbentuk bulat pada kulit
buah yang meluas secara cepat dan menjadi lunak, menyebabkan
pembusukan (Nelson, 2008). Warna gelap/coklat akibat serangan C.
gloeosporioides muncul karena cendawan tersebut menghasilkan enzim
selulase yang dapat menghidrolisis selulosa kulit buah sehingga
kulit buah terdisintegrasi dan lunak sehingga berubah warna menjadi
coklat yang dapat meluas dan akhirnya membusuk. Proses pembusukan
semakin cepat ketika buah mencapai kematangan puncak (Ippolito
& Nigro, 2000).Ciri khas dari penyakit ini adalah terbentuknya
massa spora lengket. Bercak memiliki ukuran yang bervariasi dan
dapat terjadi di setiap bagian buah avokad yang dapat berkembang
dan berwarna salmon. Gejala dapat muncul secara cepat selama 1 atau
2 hari terutama dalam kondisi penyimpanan hangat dan lembab. Bercak
berbentuk bulat, berwarna gelap ini biasanya muncul dalam infeksi
laten pada kulit buah setelah panen dan pematangan buah. Ukuran
diameter Bercak bervariasi tergantung kultivar avokad dan berkisar
antara millimeter sampai sentimeter (Nelson, 2008). 2.2.3 Biologi
dan Ekologi C. gloeosporioidesCendawan C. gloeosporioides mempunyai
miselium berwarna putih hingga keabu-abuan, memiliki konidia yang
berbentuk oval dengan ujung tumpul atau membulat, hialin, bersel
satu, tidak bersekat, terbentuk dalam aservulus, dan berukuran 915
x 37 m. Massa konidia berwarna merah muda seperti warna salmon.
(Dickman, 1993; Semangun, 2000). Konidiofor berukuran 18 x 3 m,
berbentuk silinder, hialin atau agak kecoklatan. Aservulus dangkal
dengan diameter 90270 m, memiliki seta dengan konidiofor yang
sederhana, pendek, dan tegak.
Gambar 04. Massa konidia (a) dan miselium (b) C. gloeosporioides
pada media PDA (sumber: Dickman, 1993; Semangun, 2000)
Gambar 05. Tubuh buah C. gloeosporioides di bawah mikroskop:
aservulus (a), seta (b), konidia (c), dan miselium (d)C.
gloeosporioides merupakan cendawan yang umum terdapat di berbagai
tanaman. Cendawan ini merupakan parasit lemah yang dapat
menginfeksi dan berkembang pada jaringan yang telah menjadi lemah,
khususnya karena proses penuaan. Cendawan ini dapat menginfeksi
melalui luka atau lentisel. Konidium jamur dipencarkan oleh angin
dan air hujan. Infeksi buah banyak terjadi dari konidium yang
berasal dari bercak pada daun dan tangkai daun. Pada cuaca
menguntungkan, cendawan membentuk konidium. Konidium dipencarkan
oleh percikan air hujan dan siraman karena terbentuk dalam massa
spora yang lengket. Cendawan dapat diisolasi dari jaringan tanaman
tropis yang tampak sehat dan berada baik di permukaan mikroflora
maupun sebagai endofit. Patogen ini menimbulkan serangan berat pada
kondisi kelembaban dan suhu yang tinggi. Cendawan dapat tumbuhan
pada suhu rendah 4 0C, tetapi optimum pada suhu 2529 C.
Perkecambahan spora, infeksi dan produksi askospora memerlukan
kelembaban relatif mendekati 100%, namun ekspresi penyakit akan
muncul pada kondisi kering karena infeksi laten atau quiescent akan
aktif pada jaringan yang rusak (CAB Internasional, 2007).Kondisi
iklim yang sesuai pada saat terjadinya infeksi sangat menentukan
terjadinya epidemi penyakit. Penyakit antraknosa ini dapat
menimbulkan kehilangan yang signifikan pada iklim hangat dan lembab
(CAB Internasional, 2007). Spora hanya dapat berkecambah bila ada
air bebas, atau bila kelembaban nisbi udara tidak kurang dari 95%.
Infeksi tidak akan terjadi bila kelembaban udara tidak kurang dari
96%. Spora tumbuh paling baik pada suhu 2528 0C, sedang dibawah 5
0C dan di atas 40 oC spora tidak dapat berkecambah. Bailey dan
Jeger (1992) menyatakan bahwa infeksi cendawan pada percobaan di
rumah kaca dan laboratorium terjadi pada kelembaban lebih dari 96%
pada suhu 2631 0C (Semangun, 2000).
Gambar 06. Siklus hidup C. gloeosporioidesPatogen bertahan di
dalam biji, sampah, dan gulma inang, dan dipencarkan melalui
percikan air, aliran air, serangga atau benda lain yang menyentuh
cendawan. C. gloeosporioides menyebabkan penyakit pada bagian daun,
bunga dan buah. Pada jaringan tua, perkembangan penyakit lebih
lambat, seringkali quiescent atau tinggal sebagai cendawan endofit
yang tidak berbahaya hingga kondisi fisiologi memungkinkan untuk
perkembangan cendawan (Rukmana, 1995).2.2.4 Penggunaan Khamir untuk
Pengendalian Hayati PenyakitPada awal tahun 1990, berbagai mikroba
antagonis dilaporkan dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai
patogen pada beberapa buah. Salah satu mikroba antagonis tersebut
adalah khamir (Druvefors, 2005). Khamir merupakan kelompok
mikroorganisme uniseluler termasuk dalam filum Ascomycota dan
Basidiomycota. Beberapa khamir dan mikroorganisme lain telah
dilaporkan dapat menghambat patogen tanaman, khususnya patogen yang
berada di dalam buah dan sayuran, serta beberapa produk komersial
(Janisiewicz & Korsten, 2002). Beberapa khamir antagonis juga
telah dilaporkan efektif untuk menghambat patogen pasca panen pada
beberapa buah-buahan dan dapat digunakan sebagai agens pengendali
hayati cendawan pasca panen penyebab busuk pada buah apel, grey dan
blue mold yang disebabkan oleh Botrytis cinerea dan Penicillium
italicum, dan pada buah jeruk (McLaughlin et al., 1990). Secara
khusus, kehadiran khamir secara alami pada buah-buahan dan sayuran
berpotensi sebagai antagonis penyakit pasca panen (Droby, 2006).
Khamir (Pichia guilliermondii strain US-7 dan Hanseniaspora uvarum
strain 138) diketahui dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai
patogen penyebab pembusukan pada jeruk, buah pome, dan tomat
(Chalutz & Wilson, 1990). Debaromyces hansenii dilaporkan dapat
mengendalikan busuk buah jeruk pasca panen (Wisniewski et al. 1991)
dan beberapa spesies Cryptococcus sp. dapat digunakan untuk
mengendalikan pembusukan pasca panen pada buah apel dan pir.
Keberadaan mikroba antagonis baik secara alami maupun buatan dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif penggunaan fungisida untuk
mengendalikan penyakit pasca panen (Wisniewski & Wilson, 1992).
Keuntungan dari penggunaan khamir antagonis, dapat diisolasi dari
alam, bersifat non patogenik terhadap tanaman dan binatang termasuk
manusia, mudah dibiakkan, dan reproduksinya cepat. Khamir juga
memiliki banyak kegunaan, biasanya tidak menghasilkan spora alergik
atau mikotoksin seperti cendawan miselial. Sel khamir juga
mengandung vitamin, mineral, dan asam amino penting yang telah
dimanfaatkan dalam makanan dan pakan (Indratmi, 2008).Khamir
Debaryomyces sp. efektif menghambat perkembangan penyakit
antraknosa yang disebabkan oleh C. gloeosporioides. Debaryomyces
sp. dan konidia patogen C. gloeosporioides. Penghambatan patogen C.
gloeosporioides oleh Debaryomyces sp. terjadi melalui mekanisme
kompetisi dan parasitisme (Indratmi, 2008). Kompetisi nutrisi
diduga sebagai mode of action beberapa agens pengendali hayati,
seperti P. guilliermondii dalam mengendalikan Penicillium digitatum
(Droby et al., 1989), Candida guilliermondii, Cryptococcus
laurentii dan Metschnikowia pulcherima dalam mengendalikan Botrytis
cinerea dan Penicillium expansum. Penggunaan khamir menunda
pemasakan buah saat penyimpanan. Konsentrasi suspensi khamir yang
digunakan di laboratorium umumnya 107 cfu/ml. Suspensi sel khamir
pada konsentrasi 106 sampai 107 cfu/ml efektif menghambat
perkembangan penyakit (Droby et al., 1997).
2.3 Tanaman Perkebunan2.3.1 Biologi Penyakit Patik pada Tanaman
TembakauPenyakit bopeng atau patik pada tanaman tembakau disebabkan
oleh jamur C. nicotinae Ell. et Ev. Jamur ini dalam klasifikasinya
termasuk: Kingdom: Fungi Phylum: Ascomycota Class: Dothideomycetes
Subclass: Dothideomycetidae Order: Capnodiales Family:
Mycosphaerellaceae Genus: Cercospora Spesies: C. nicotinae Jamur
Cercospora mempunyai konidiofor berwarna coklat yang bersekat-sekat
dengan ukuran 20 s/d 600 x 5 m. Konidiofor berbentuk panjang, agak
membengkak dan mempunyai sekat yang banyak serta tidak berwarna
(hyalin). Konidia mempunyai ukuran yang bervariasi yaitu sekitar 25
s/d 370 x 6,1 m (Erwin,1997).
Gambar 07. Bentuk jamur C. nicotianae dan infeksi jamur ke dalam
jaringan daun. (Sumber: Erwin, 1997)2.3.2 Gejala
SeranganC.nicotianae dapat berkembang sejak dipembibitan, tanaman
di lapangan, bahkan setelah yang daun di petik dan selama proses
pengeringan daun tembakau dibangsal/ gudang. Daun yang sakit
mempunyai bercak-bercak garis tengahnya dapat mencapai 2 15 mm.
Mula-mula bercak berwarna coklat lalu menjadi kering dan berwarna
putih dengan tepi coklat yang akhirnya bagian ini pecah dan
berlubang. Ditengah-tengah bercak terdapat titik titik hitam yang
sangat halus yaitu berupa kumpulan konidiofor jamur. Bercak
biasanya terjadi pada daun-daun bawah atau daun tua dan daun-daun
yang telah matang, karena umumnya daun daun ini lebih rentan dari
pada daun-daun yang masih muda (Semangun, 2000).Meskipun demikian
bila cuaca lembab dan mendukung untuk perkembangan jamur serta
penyakit sudah menyebar secara luas, maka serangan dapat terjadi
juga pada daun-daun yang muda. Di Deli daun tembakau yang terdapat
bercak putih disebut dengan bopeng putih. Bila konidia C.nicotianae
jatuh pada daun tembakau yang akan dipetik, konidia ini akan
melekat pada daun dan selanjutnya berkembang pada waktu daun
digantung didalam bangsal. Udara diantara daun-daun ini yang lembab
sangat cocok untuk perkembangan jamur, sehingga pada daun yang
telah kering akan terbentuk bercak-bercak coklat kehijauan yang
disebut bercak gudang ataubopeng hijau (Erwin, 1997).
Gambar 08. Gejala serangan C. nicotianae2.3.3 Faktor yang
MempengaruhiJamur patik mengadakan infeksi melalau mulut kulit.
Agar konidium dapat berkecambah pada permukaan daun, disitu harus
ada air. Konidium disebarkan oleh angin atau percikan air. Jamur
patik dapat bertahan lama dalam sisa tumbuhan tembakau, misalnya
batang-batang tembakau yang sudah kering. C.nicotianae mempunyai
banyak tumbuhan inang. Konidium jamur ini dapat ditularkan ke 19
macam tumbuhan, antara lain terung (Solanum melongena L.), Cabai
(Capsicum annum L.), dan kecubung (Datura stramonium L.) (Semangun,
2000). Perubahan cuaca dari panas kemusim hujan sangat cepat
memacau perkembangan penyakit ini, terlebih lagi bila peristiwa itu
berlangsung pada bulan juni di Sumatera atau tepatnya didaerah Deli
(Erwin, 1997). Jamur ini menginfeksi tanaman melalui mulut
daun(stomata). Untuk dapat berkecambah konidia membutuhkan air.
Konidia menyebar oleh angin ataupun percikan air. Sporulasi jamur
pada permukaan daun terjadi pada suhu 18-27 C (Semangun, 2000).
Jamur C. nicotinae dapat mempertahakan diri dalam waktu yang lama
pada sisa-sisa tanaman tembakau, misalnya batang atau daun yang
sudah kering. Bila melekat pada biji tembakau C.nicotianae dapat
hidup sampai satu tahun (Erwin, 1997). Konidia dapat juga
mempertahakan didalam tanah yang halus seperti tanah debu hitam.
C.nicotianae mempunyai banyak inang, antara lain terong (Solanum
melongena), cabai (Capsicum annum), kecubung (Datura stramonium)
dan masih banyak lagi yang lainnya (Erwin, 1997). Pengalaman
sewaktu menanam tembakau dibekas areal yang telah dirotasikan
dengan kelapa sawit selama 25 tahun, ternyata tanaman tembakau
masih terserang penyakit bopeng ini (Erwin, 1997).2.3.4
Pengendalian Agen HayatiUntuk mengatasi kerugian akibat penyakit
patik ini maka perlu adanya upaya pengendalian. Upaya pengendalian
dengan cara kultur teknis seperti rotasi tanaman dan secara kimiawi
dengan fungisida sintetik masih kurang efektif. Diketahui bahwa
jamur ini mempunyai beberapa tanaman inang lain misalnya terung
(Solanum melongena L.), cabai (Capsicum anuum L.), dan Kecubung
(Datura stramonium) (Dalmadiyo, 1999) yang merupakan tempat
bertahan bagi jamur selama bukan musim tanam tembakau (Vermeulen,
1999). Penggunaan fungsida sintetik telah banyak dilaporkan
menimbulkan risiko terhadap mutu daun tembakau terutama adanya
penumpukan residu fungisida yang semakin tinggi, dan juga dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, untuk
menghindari dampak negatif pengendalian kimiawi maka diperlukan
upaya pengendalian yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan
agensia pengendali hayati. Pseudomonas pendar fluor (fluorescent
pseudomonads) merupakan kelompok bakteri yang banyak digunakan
sebagai agensia pengendali hayati dan dikenal pula sebagai Plant
Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (Sigee, 1993). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa bakteri dari kelompok ini mampu
mengendalikan penyebab jamur penyakit baik yang terbawa tanah
(Whippes, 2001; Kazempour, 2004) maupun terbawa udara (Blakeman,
1985). Kemampuan bakteri antagonis bertahan hidup di rizosfer dan
filosfer merupakan salah satu faktor penting dalam mengendalikan
patogen yang menginfeksi pada daun. Park et al., (1991) melaporkan
bahwa bakteri pseudomonas mampu bertahan hidup baik di rizosfer
maupun di filosfer tanaman. Pemanfaatan pseudomonas pendar fluor
sebagai agensia pengendali hayati telah banyak dilakukan karena
kemampuannya dalam menghasilkan senyawa antimikrobia seperti
siderofor, antibiotik, senyawa volatil, asam sianida (Whippes,
2001; de Boer et al., 2003; Kazempour, 2004).
BAB IIIPENUTUP3.1 KesimpulanDari makalah diatas dapat
disimpulkan bahwa:1. Pada tanaman pangan, Fusarium sp adalah
penyakit yang paling sering menyerang. Fusarium sp mampu menyerang
tanaman mulai dari penanaman bahkan hingga pasca panen. Penyakit
ini dapat dikendalikan secara hayati dengan pemberian cendawan
antagonis Trichoderma sp.2. Colletotrichum sp. adalah penyebab
penyakit antraknosa. Gejala serangan penyakit antraknosa dapat
muncul di seluruh bagian tanaman yang terserang. Gejala serangan
pada daun adalah terjadinya bercak coklat sampai ungu dan daun
cepat rontok. Gejala pada cabang dan ranting adalah terjadinya
kematian ujung ranting (die back), sedangkan pada bunga adalah
terjadinya perubahan warna bunga menjadi cokelat tua dan mudah
rontok/ berguguran. Untuk mengatasi ganasnya penyakit antraknosa
pada tanaman holtikultura bisa digunakan khamir antagonis yang
telah diproduksi secara komersil.3. Pada tanaman tembakau, penyakit
bopeng atau patik adalah penyakit yang sering menyerang. Tembakau
merupakan perwakilan dari tanaman perkebunan yang berada di
Indonesia yang memprihatinkan jika ditilik melalui penyakit yang
sering menyerang. Namun demikian, pseudomonas pendar fluor bisa
menjadi solusi karena dianggap mampu mengendalikan penyakit ini.3.2
SaranDari hasil makalah ini, penulis menyarankan supaya penggunaan
agens hayati dapat dilakukan dalam pengendalian penyakit. Meskipun
demikian, penulis merasa bahwa apa yang telah ada dalam tulisan
ini, masih sangat jauh dari sempurna. Baik tata cara penulisan
maupun macam-macam pengendalian yang penulis sampaikan.Untuk
menindaklanjuti hal tersebut, mari bersama-sama melakukan kajian
ulang serta mengaplikasikan beberapa ilmu yang dianggap relevan
guna pertanian yang lebih sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Bailey, J. A and M. J. Jeger. 1992. Colletotrichum : Biology,
Pathology, and Control. The British Society for Plant Pathology.
London.CAB International, 2007. Crop Protection Compedium.
Wallingford, UK. 2007. Edition.Capdeville GD, Souza MT, Santos JRP,
Miranda SP, Caetano AR, Torres FAG. 2007. Selection and testing of
epiphytic yeasts to control anthracnose in post-harvest.Dalmadiyo,
G. 1999. Pengendalian penyakit tembakau secara terpadu. Pros.
Semiloka Teknologi Tembakau. Malang, 31 Maret 1999. Balai
Penelitian Tembakau dan Serat Malang, Malang.Dickman, M. B. 1993.
Plant Disease Pathogen : Colletotrichum gloeosporioides. Department
of Plant Pathology University of Hawaii at Hilo. Hawai. Yakoby, N.,
Beno-Moualem, D., Keen, N. T., Dinoor, A., Pines, O., and Prusky,
D. 2001. Colletotrichum gloeosporioides pelB is an important
virulence factor in avocado fruit-fungus interaction. Mol.
Plant-Microbe Interact.Druvefors U, Passoth V, and Schnurer J.
2005. Nutrient Effect on Biocontrol of Penicillium requeforti by
Pichia anomala J121 During Airtight of Wheat. Applied and
Environmental Microbiology.Droby S. E. Chalutz . 1997 . Mode of
action of biocontrol agents of postharvest disease. In: Wilson CL.
Wisniewski ME (Eds.). Biological Control of Postharvest Diseases of
Fruits and Vegetables-Theory and Practice. CRC Press.Erwin dan
Simarmata. 1997. Percobaan tanaman tembakau di Areal Ekskayu Hutan
Tanaman Sengon Umur Dua Tahun, Bull, no. 3 Desember 1997.Indratmi,
D. 2008. Mekanisme Penghambatan Colletotricum gloeosporioides
Patogen Penyakit Antraknosa pada Cabai dengan Debaryomyces sp.
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.Ippolito,A., Nigro, F.,
2000. Impact Of Preharvest Application Of Biological Control Agents
On Postharvest Disease Of Fresh Fruits And Vegetables.Janisiewicz,
W. J., and L. Korsten. 2002. Biological Control Of Postharvest
Diseaces Of Fruits. Kazempour, M. N. 2004. Biological control of
Rhizoctonia solani, the causal agent of rice sheath blight by
antagonistics bacteria in greenhouse and field conditions. Plant
Pathology Journal.McLaughlin, R.J. and T.A. Chen. 1990. Methods for
plant pathogenic prokaryots. Pp. 197-202. In: R.O. Hampton, E.M.
Ball, and S.H. de Boer (Eds.), Serological Methods for Detection
and Identification of Viral and Bacterial Plant pathogens, A
Laboratory Manual. The American Phytopathol. Soc., St. Paul, Minn.
Nelson S. 2008. Antrachnose of avocado [internet]. [diunduh 20 Mei
2014]. Tersedia pada:
http://www.ctarh.hawaii.edu./oc/freepub/pdf/PD-58.pdf.Pakki
Syahrir. 2005. Patogen Tular Benih Fusarium sp. dan Aspergillus sp.
pada Jagung serta Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanamna
Serealia: Prosiding Seminar Nasional JagungPakki Syahrir dan
Talanca Haris, A. _______. Pengelolaan Penyakit Pascapanen Jagung.
Balai Penelitian Tanaman Serealia, MarosPark, J.L, R.E. Rand and
E.B. King. 1991. Biological control of phytium damping-off and
Aphenomyces root rot of peas by application of Pseudomonas cepacia
or Blakeman, J. P. 1985. Ecological succession of leaf surface
microorganisms in relation to biological control. In Windelss C.E.,
Lindow, S.E., eds. Biological control on theRukmana R. 1995.
Pepaya: Budidaya dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius.
Jakarta.Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Holtikultura
di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Semangun, H.
2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Sigee, D. C. 1993.
Bacterial Plant Pathology: Cell and Molecular Aspect. Cambridge
University Press. Cambridge.Talanca Haris, A. 2007. Penyakit Busuk
Batang Jagung (Fusarium sp.) dan Pengendaliannya. Prosiding Seminar
Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda Sul-Sel. Balai
Penelitian Tanamna Serealia, Maros.Vermeulen, H. 1999. Cercospora
nicotianae Ellis & Everhart the fungal patogen causing frogeye
and barnspot lessions on tobacco leaves. Whippes, J.M. 2001.
Microbial interactions and biocontrol in the rhizosphere. Journal
of Experimental Botany.Wilson, C.L., A.E. Ghaouth, E. Chalutz, S.
Droby, C. Stevens, J.Y. Lu, V. Khan, and J. Arul 1994. Potential of
induced resistance to control postharvest diseases of fruits and
vegetables. Plant Dis.
19