MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK II “ASUHAN KEPERAWATAN HIPERTENSI PADA LANSIA” Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Gerontik II. Disusun Oleh : Kelompok Deshy Lia S. (09060035) Muhamad Ghufron (09060059) Indriawati I. (09060022) Diah Nurul H. (090600 Nina dwi A. (090600 Muhammad Tong (08060125) PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MAKALAH
KEPERAWATAN GERONTIK II
“ASUHAN KEPERAWATAN HIPERTENSI PADA LANSIA”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Gerontik II.
Disusun Oleh :
Kelompok
Deshy Lia S. (09060035)
Muhamad Ghufron (09060059)
Indriawati I. (09060022)
Diah Nurul H. (090600
Nina dwi A. (090600
Muhammad Tong (08060125)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam,atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini penulis buat dengan tujuan
memenuhi tugas Keperawatan Gerontik II.
Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada :
1.Team dosen mata kuliah Keperawatan Gerontik selaku dosen pembimbing mata kuliah.
2.Teman – teman dan berbagai pihak yang telah membantu terselasaikannya makalah ini.
Penulis berharap agar setelah membaca makalah ini , para pembaca dapat memahami dan
mendapatkan pengetahuan yang lebih baik, sehingga dapat di aplikasikan untuk
mengembangkan kompetensi dalam bidang keperawatan. Penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu penulis membuka diri
menerima berbagai saran dan kritik demi perbaikan di masa mendatang.
2
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Pengertian hipertensi pada lansia
2.2 Klasifikasi hipertensi pada lansia
2.3 Etiologi hipertensi pada lansia
2.4 Patofisiologi hipertensi pada lansia
2.5 Tanda dan gejala hipertensi pada lansia
2.6 Pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia
2.7 Komplikasi hipertensi pada lansia
2.8 Penatalaksanaan hipertensi pada lansia
2.9 Asuhan keperawatan hipertensi pada lansia
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penduduk Lanjut Usia merupakan bagian dari anggota keluarga dan anggota
masyarakat yang semakin bertambah jumlahnya sejalan dengan peningkatan usia
harapan hidup. Pada tahun 1980 penduduk lanjut usia baru berjumlah 7,7 juta jiwa
atau 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk. Pada tahun 1990 jumlah penduduk
lanjut usia meningkat menjadi 11,3 juta orang atau 8,9 persen. Jumlah ini meningkat
di seluruh Indonesia menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari
seluruh penduduk. Dan diperkirakan pada tahun 2020 akan menjadi 29 juta orang atau
11,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia meningkat secara
konsisten dari waktu ke waktu. Angka harapan hidup penduduk Indonesia
berdasarkan data Biro Pusat Statistik pada tahun 1968 adalah 45,7 tahun, pada tahun
1980 : 55.30 tahun, pada tahun 1985 : 58,19 tahun, pada tahun 1990 : 61,12 tahun,
dan tahun 1995 : 60,05 tahun serta tahun 2000 : 64.05 tahun (BPS.2000)
Dengan makin meningkatnya harapan hidup penduduk Indonesia, maka dapat
diperkirakan bahwa insidensi penyakit degeneratif akan meningkat pula. Salah satu
penyakit degeneratif yang mempunyai tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi adalah
hipertensi. Hipertensi pada usia lanjut menjadi lebih penting lagi mengingat bahwa
patogenesis, perjalanan penyakit dan penatalaksanaannya tidak seluruhnya sama
dengan hipertensi pada usia dewasa muda. Pada umumnya tekanan darah akan
bertambah tinggi dengan bertambahnya usia pasien, dimana tekanan darah diastolik
akan sedikit menurun sedangkan tekanan sistolik akan terus meningkat.
Penyakit degeneratif dan penyakit tidak menular mengalami peningkatan
resiko penyebab kematian, dimana pada tahun 1990, kematian penyakit tidak menular
48 % dari seluruh kematian di dunia, sedangkan kematian akibat penyakit jantung dan
pembuluh darah, gagal ginjal dan stroke sebanyak 43% dari seluruh kamatian di dunia
dan meningkat pada tahun 2000 kematian akibat penyakit tidak menular yaitu 64 %
dari seluruh kematian dimana 60% disebabkan karena penyakit jantung dan pembuluh
darah, stroke dan gagal ginjal. Pada tahun 2020, diperkirakan kematian akibat
4
penyakit tidak menular sebesar 73% dari seluruh kematian di dunia dan sebanyak
66% diakibatkan penyakit jantung dan pembuluh darah, gagal ginjal dan stroke,
dimana faktor resiko utama penyakit tersebut adalah hipertensi. (Zamhir, 2006).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyebab kematian dan
kesakitan yang tinggi. Darah tinggi sering diberi gelar The Silent Killer karena
hipertensi merupakan pembunuh tersembunyi karena disamping karena prevalensinya
yang tinggi dan cenderung meningkat di masa yang akan datang, juga karena tingkat
keganasannya yang tinggi berupa kecacatan permanen dan kematian mendadak.
Sehingga kehadiran hipertensi pada kelompok dewasa muda akan sangat membebani
perekonomian keluarga, karena biaya pengobatan yang mahal dan membutuhkan
waktu yang panjang, bahkan seumur hidup. (Bahrianwar, 2009)
Di Indonesia dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995,
prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 8.3% (pengkuran standart WHO yaitu pada
batas tekanan darah normal 160/90 mmHg). Pada tahun 2000 prevalensi penderita
hipertensi di indonesia mencapai 21% (pengukuran standart Depkes yaitu pada batas
tekanan darah normal 139 / 89 mmHg). Selanjutnya akan diestimasi akan meningkat
menjadi 37 % pada tahun 2015 dan menjadi 42 % pada tahun 2025. (Zamhir, 2006).
Penyebab hipertensi tidak diketahui pada sekitar 95 % kasus. Bentuk
hipertensi idiopatik disebut hipertensi primer atau esensial. Patogenesis pasti
tampaknya sangat kompleks dengan interaksi dari berbagai variabel, mungkin pula
ada predisposisi genetik. Mekanisme lain yang dikemukakan mencakup perubahan –
perubahan berikut: (1). Eksresi natrium dan air oleh ginjal, (2). Kepekaan
baroreseptor, (3). Respon vesikuler, dan (4). Sekresi renin. Sedangkan 5% penyakit
hipertensi terjadi sekunder akibat proses penyakit lain seperti penyakit parenkhim
ginjal atau aldosterronisme primer (Prince, 2005).
Beberapa organisasi dunia dan regional telah memproduksi, bahkan
memperbaharui pedoman penanggulangan hipertensi. Dari berbagai strategi dapat
disimpulkan bahwa penanggulangan hipertensi melibatkan banyak disiplin ilmu.
Kunci pencegahan atau penanggulangan perorangan adalah gaya hidup sehat.
Masyarakat juga perlu tahu risiko hipertensi agar dapat saling mendukung untuk
mencegah atau menanggulangi agar tidak menyebabkan peningkatan yang signifikan
sampai mencegah terjadinya komplikasi. (Bahrianwar,2009).
Di Indonesia, Pemerintah bersama Departemen Kesehatan RI memberi
apresiasi dan perhatian serius dalam pengendalian penyakit Hipertensi. Sejak tahun
5
2006 Departemen Kesehatan RI melalui Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular yang bertugas untuk melaksanakan pengendalian penyakit jantung dan
pembuluh darah termasuk hipertensi dan penyakit degenaritaif linnya, serta gangguan
akibat kecelakaan dan cedera. (Depkes, 2007).
Untuk mengendalikan hipertensi di Indonesia telah dilakukan beberapa
langkah, yaitu mendistribusikan buku pedoman, Juklak dan Juknis pengendalian
hipertensi; melaksanakan advokasi dan sosialisasi; melaksanakan intensifikasi,
akselerasi, dan inovasi program sesuai dengan kemajuan teknologi dan kondisi daerah
setempat (local area specific); mengembangkan (investasi) sumber daya manusia
dalam pengendalian hipertensi; memperkuat jaringan kerja pengendalian hipertensi,
antara lain dengan dibentuknya Kelompok Kerja Pengendalian Hipertensi;
memperkuat logistik dan distribusi untuk deteksi dini faktor risiko penyakit jantung
dan pembuluh darah termasuk hipertensi; meningkatkan surveilans epidemiologi dan
sistem informasi pengendalian hipertensi; melaksanakan monitoring dan evaluasi; dan
mengembangkan sistem pembiayaan pengendalian hipertensi. (Depkes, 2007).
Pada usia lanjut aspek diagnosis selain kearah hipertensi dan komplikasi,
pengenalan berbagai penyakit yang juga diderita oleh orang tersebut perlu
mendapatkan perhatian oleh karena berhubungan erat dengan penatalaksanaan secara
keseluruhan. Dahulu hipertensi pada lanjut usia dianggap tidak selalu perlu diobati,
bahkan dianggap berbahaya untuk diturunkan. Memang teori ini didukung oleh
observasi yang menunjukkan turunnya tekanan darah sering kali diikuti pada jangka
pendeknya oleh perburukan serangan iskemik yang transient (TIA). Tetapi akhir-akhir
ini dari penyelidikan epidemiologi maupun trial klinik obat-obat antihipertensi pada
lanjut usia menunjukan bahwa hipertensi pada lansia merupakan risiko yang paling
penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler, strok dan penyakit ginjal. Banyak
data akhir-akhir ini menunjukan bahwa pengobatan hipertensi pada lanjut usia dapat
mengurangi mortalitas dan morbiditas.
6
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa itu hipertensi pada lansia?
1.2.2 Apa saja klasifikasi hipertensi pada lansia?
1.2.3 Bagaimana etiologi hipertensi pada lansia?
1.2.4 Seperti apa patofisiologi hipertensi pada lansia?
1.2.5 Bagaimana Tanda dan Gejala hipertensi pada lansia?
1.2.6 Apa saja pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia?
1.2.7 Apa saja komplikasi hipertensi pada lansia?
1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan hipertensi pada lansia?
1.2.9 Bagaimana Asuhan Keperawatan hipertensi pada lansia?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar pembaca dapat memahami lebih jauh tentang penyakit hipertensi pada
lansia.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui pengertian hipertensi pada lansia.
1.3.2.2 Untuk mengetahui klasifikasi hipertensi pada lansia.
1.3.2.3 Untuk mengetahui etiologi hipertensi pada lansia.
1.3.2.4 Untuk mengetahui patofisiologi hipertensi pada lansia.
1.3.2.5 Untuk mengetahui Tanda dan Gejala hipertensi pada lansia.
1.3.2.6 Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang hipertensi pada lansia.
1.3.2.7 Untuk mengetahui komplikasi hipertensi pada lansia.
1.3.2.8 Untuk mengetahui penatalaksanaan hipertensi pada lansia.
1.3.2.9 Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan hipertensi pada lansia.
1.4 Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik bagi tenaga
kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai Hipertensi pada lansia.
7
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hipertensi Pada Lansia
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik yang
intermiten atau menetap.
Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan
tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001).Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah
sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan
Mempunyai efek mengurangi tekanan darah dengan cara menyebabkan
vasodilatasi perifer yang berkaitan dengan refleks takikardi yang kurang nyata
dan retensi cairan yang kurang daripada vasodilator lainnya.
Preparat yang biasa digunakan seperti nifedipin, nikardipin, felodipin,
amilodipin, verapamil dan diltiazem.
6. Antagonis Reseptor Angiotensin II (AIIRA / ARB)
22
Merupakan golongan obat antihipertensi terbaru, tidak mempengaruhi
produksi Angiotensin II tetapi memblok di tempat kerja pada organ target.
Kelebihannya adalah tidak menimbulkan batuk karena tidak mempengaruhi
metabolisme bradikinin.
Proses apoptosis dan regenerasi jaringan juga tetap berlangsung karena
reseptor tidak dipengaruhi.
Prinsip pemberian obat anti hipertensi pada lansia :
Dimulai dengan 1 macam obat dengan dosis kecil (START LOW GO SLOW)
Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk penyesuaian
autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.
Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari
Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi
Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi efektivitas pengobatan
Setelah tercapai target maka pemberian obat harus disesuaikan kembali untuk
maintenance (Gambar 2)
Pengobatan harus segera dilakukan pada hipertensi berat dan apabila terdapat
kelainan target organ. Oleh karena fungsi ginjal telah menurun dan terdapat gangguan
metabolisme obat, sebaiknya dosis awal dimulai dengan dosis yang lebih rendah. Pada
hipertensi tanpa komplikasi golongan diuretik dosis rendah (HCT 12,5 – 25 mg atau
setara) yang dikombinasi dengan diuretik hemat kalium dapat diberi sebagai
pengobatan awal. Obat anti hipertensi lain dapat diberikan atas indikasi spesifik.
Pada pasien dengan payah jantung, obat penghambat ACE dan diuretik
merupakan obat pilihan pertama. Tetapi pada pemberian diuretika sering menimbulkan
efek hipokalemia dan hiponatremia karena kedua mineral tadi ikut terbuang bersama
urine.
Pada pasien pascainfark miokard, pemakaian penyebat β yang kardioselektif
dianjurkan. Akan tetapi pada umumnya pemakaian penyekat β tidak begitu disukai oleh
karena menimbulkan perburukan penyakit vaskuler perifer dan bronkospastik.
Penghambat α merupakan pilihan pada pasien dengan dislipidemia dan hipertrofi
prostat, akan tetapi harus hati-hati terhadap efek hipotensi ortostatik, karena hal ini
dapat menyebabkan lansia jatuh bahkan sampai mengalami komplikasi fraktur.
23
Antagonis kalsium jangka panjang cukup efektif, terutama karena mempunyai
efek natriuretik dan dianjurkan pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Pada
pasien dengan diabetes dan proteinuria diindikasikan pemakaian obat penghambat
ACE.
Obat simpatolitik sentral seperti metildopa, klonidin dan guanfasin walaupun
efektif, pemakaiannya kurang dianjurkan pada usia lanjut karena efek samping sedasi,
mulut kering dan hipotensi ortostatik. Dan obat-obat yang mempunyai pengaruh pada
susunan saraf pusat, α dan ß bloker dapat mengakibatkan depresi serta penurunan
kesadaran/fungsi kognitif.
Pemberian antihipertensi pada lansia harus hati-hati karena pada lansia terdapat :
Penurunan refleks baroreseptor sehingga meningkatkan risiko hipotensi ortostatik.
Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan hanya
sedikit penurunan tekanan darah sistemik.
Penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi akumulasi obat.
Pengurangan volume intravaskular sehingga sensitif terhadap deplesi cairan.
Sensitivitas terhadap hipokalemi sehingga mudah terjadi aritmia dan kelemahan otot.
Pemberian obat juga harus dipikirkan mengenai penyakit komorbid yang ada pada
lansia itu. Jangan sampai obat antihipertensif yang kita beri mempunyai efek
samping yang dapat memperberat gejala penyakit komorbid.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka sebaiknya obat-obat yang dapat menyebabkan
hipotensi ortostatik, yaitu guanetidin, guanadrel, alfa bloker dan labetolol sebaiknya
dihindarkan atau diberikan dengan hati-hati, tekanan darah diturunkan perlahan-lahan
dengan cara memberi dosis awal yang lebih rendah dan peningkatan dosis yang lebih
kecil dengan interval yang lebih panjang dari biasanya pada penderita yang lebih muda,
dan pilihan antihipertensi harus secara individual, berdasarkan pada kondisi penyerta.
Tahap-tahap yang perlu diperhatikan agar terapi hipertensi dapat berhasil adalah :
1. Diagnosis yang tepat dan sedini mungkin (pengukuran beberapa kali dan kalau
perlu lebih dari 1 kali kunjungan)
2. Pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan bahaya hipertensi
dan makna serta manfaat bila tekanan darah dapat dinormalkan.
3. Menyampaikan data yang akurat dari studi klinik pada tenaga kesehatan maupun
masyarakat, khususnya mengenai manfaat penurunan/terapi hipertensi.
4. Meningkatkan kepatuhan berobat atau control pasien.
24
5. Memotivasi para tenaga kesehatan untuk berusahamenurunkan tekanan darah
pasien hipertensi.
6. Menggunakan obat antihipertensi yang dapat ditoleransi dengan baik dan yang
dapat dimakan sekali sehari.
Terapi Kombinasi
Biasanya bila terapi dengan satu macam obat gagal untuk mencapai sasaran,
maka perlu ditambahkan obat ke-2 dengan dosis rendah dahulu dan tidak meningkatkan
dosis obat pertama. Hal ini adalah upaya untuk memaksimalkan efek penurunan
tekanan darah dengan efek samping seminimal mungkin. Pada penelitian HOT, terapi
kombinasi diperlukan pada sekitar 70% penderita. Dalam JNC-VII, para ahli bahkan
menganjurkan terapi antihipertensi kombinasi langsung pada penderita yang ada pada
stadium 1. Walaupun dosis campuran tetap banyak disediakan oleh pabrik farmasi,
upaya titrasi dosis secara individual dianggap lebih baik. Berikut diberikan pedoman
yang dianut oleh para ahli hipertensi di Inggris yang disebut sebagai The Birmingham
Hypertension Square.
The Birmingham Hypertension Square
25
ACE Inhibitor atau Bloker Reseptor
Angiotensin II
Diuretik
Nasihat nonfarmakologik : garam, berat badan, alkohol, olahraga, rokok
Bloker Kanal Kalsium golongan
dihidropiridine β-Bloker
Mulai terapi pada kotak manapun dan gunakan terapi tambahan dengan obat yang
ditunjuk oleh panah. Obat-obatan pada kotak yang berdekatan memiliki efek
antihipertensi tambahan, aksi yang saling melengkapi dan biasanya ditoleransi dengan
baik.
2.9 Asuhan Keperawatan Hipertensi Pada Lansia
No DIAGNOSA NOC NIC RASIONAL1 Gangguan rasa
nyaman nyeri b.d peningkatan tekanan intra kranial
Tujuan: Menghilangkan rasa nyeriKriteria hasil :
Melaporkan ketidakyamanan hilang atau terkontrol.
Mengikuti regimen farmakologi yang diresepkan.
Intervensi : Pertahankan
tirah baring selama fase akut.
Berikan tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala, misalnya kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher.
Hilangkan/ minimalkan aktifitas vasokontraksi yang dapat meningkatkan sakit kepala, misalnya batuk panjang, mengejan saat BAB.
Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan.
Meminimalkan stimulasi dan meningkatkan relaksasi.
Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler serebral,efektif dalam menghilangkan sakit kepala dan komplikasinya.
Aktifitas yang
meningkatkan vasokontraksi menyebabkan sakit kepala pada adanya peningkatan vaskuler serebral.
Meminimalkan penggunaan oksigen dan aktivitas yang berlebihan
26
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, anti ansietas, diazepam dll.
yang memperberat kondisi klien.
Analgetik menurunkan nyeri dan menurunkan rangsangan saraf simpatis.
2 pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi inadekuat
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil: Klien
menunjukkan peningkatan berat badan
Menunjukkan perilaku meningkatkan atau mempertahankan berat badan ideal
Intervensi: Bicarakan
pentingnya menurunkan masukan lemak, garam dan gula sesuai indikasi.
Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet.
Dorong klien untuk mempertahankan masukan makanan harian termasuk kapan dan dimanamakan dilakukan,
Kesalahan kebiasaan makan menunjang terjadinya atero sklerosis, kelebihan masukan garam memperbanyak volume cairan intra vaskuler dan dapat merusak ginjal yang lebih memperburuk hipertensi.
Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dalam program diit terakhir.
Memberikan data dasar tentang keadekuatan nutrisi yang dimakan dan kondisi emosi saat makan, membantu untuk
27
lingkungan dan perasaan sekitar saat makanan dimakan.
Intruksikan dan bantu memilih makanan yang tepat, hindari makanan dengan kejenuhan lemak tinggi (mentega, keju, telur, es krim, daging dll) dan kolesterol (daging berlemak, kuning telur, produk kalengan, jeroan).
Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi.
memfokuskan perhatian pada factor mana pasien telah/dapat mengontrol perubahan.
Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol penting dalam mencegah perkembangan atero genesis.
Memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi kebutuhan diet individual
3 Intoleransi aktifitas b.d kelemahan umum.
Tujuan : tidak terjadi Intoleransi aktifitas.
Kriteria Hasil : Klien dapat
berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan atau diperlukan
Melaporkan peningkatan
Intervensi : Kaji toleransi
pasien terhadap aktivitas dengan menggunkan parameter : frekwensi nadi 20x/menit diatas frekwensi istirahat, catat peningkatan TD, dipsnea, atau nyeri
Parameter menunjukan respon fisiologis pasien terhadap stress, aktivitas dan indikator derajat pengaruh kelebihan kerja jantung.
28
dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur.
dada, kelelahan berat dan kelemahan, berkeringat, pusing atau pingsan.
Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh : penurunan kelemahan/kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.
Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat gigi/rambut dengan duduk dan
Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual.
Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan sehingga membantu keseimbangan suplai dan
29
sebagainya.
Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.
kebutuhan oksigen.
Jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah kelemahan.
4 Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi pembuluh darah.
Tujuan : Tidak terjadi penurunan curah jantung
Kriteria Hasil : Klien
berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah/beban kerja jantung
Mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapat diterima,
Memperlihatkan normal dan frekwensi jantung stabil dalam rentang normal pasien.
Intervensi: Observasi
tekanan darah.
Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas.
Perbandingan dari tekanan darah memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang keterlibatan vaskuler.
Denyutan karotis, jugularis, radialis dan femoralis mungkin teramati saat palpasi. Denyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek dari vasokontriksi dan kongesti vena.
ICS4 umum terdengar pada pasien hipertensi berat karena adanya hipertropi
30
Amati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, kurangi aktivitas atau keributan ligkungan, batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal.
Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi dan distraksi.
Kolaborasi dengan dokter dalam pembrian terapi anti hipertensi dan diuretik.
atrium, perkembangan ICS3 menunjukan hipertropi ventrikel dan kerusakan fungsi, adanya krakels, mengidapat mengindikasikan kongesti paru sekunder terhadap terjadinya atau gagal jantung kronik.
Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler lambat mencerminkan dekompensasi/penurunan curah jantung.
Membantu untuk menurunkan rangsangan simpatis, meningkatkan relaksasi.
Dapat menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress,
31
membuat efek tenang,sehingga akan menurunkan tekanan darah.
Menurunkan tekanan darah.
BAB III
32
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia, kejadian hipertensi
pada populasi ini meningkat pula. Meningkatnya tekanan darah sudah terbukti
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut. Salah satu karakteristik
hipertensi pada usia lanjut adalah terdapatnya berbagai penyakit penyerta (komorbid)
dan komplikasi organ target, seperti kejadian penyakit kardiovaskuler, ginjal,
gangguan pada sistem saraf pusat dan mata. Dengan menurunkan tekanan darah
sampai target 140/90 mmHg dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
Selain diagnosis yang sangat teliti, tatalaksana hipertensi pada usia lanjut harus
juga memperhatikan kedua hal tersebut di atas. Penatalaksanaan hipertensi pada lansia
tidak berbeda dengan penatalaksanaan hipertensi pada umumnya, yaitu merubah pola
hidup dan pengobatan anti hipertensi. Dan saat ini berbagai pilihan obat-obat anti
hipertensi telah beredar di pasaran. Pemakaian berbagai obat tersebut bisa disesuaikan
dengan penyakit komorbid yang menyertai keadaan hipertensi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
33
1. Chobanian A . 2003. JNC VII Report 18th Annual Scientific Meeting and
Exposotion of American Society of Hypertension. New York, USA.
2. Martono, H. (2004). Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia Lanjut, Buku Ajar
Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi Ke-3. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
3. Geratosima, Salma 2004. Buku Ajar GERIATRI (ilmu kesehatan usia lanjut)
edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
4. Ganiswarna S., et al. 1995. Farmakologi & Terapi Edisi 4. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
5. Stanley, Mickey. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta :
EGC.
6. Stocklager, Jaime L. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatric Edisi 2. Jakarta :
EGC.
7. Kowalski, Robert E. 2010. Terapi Hipertensi. Bandung : Mizan Pustaka.