MAKALAH DASAR-DASAR AGRONOMI PERAN SARJANA AGROTEKNOLOGI DALAM MENINGKATKAN SWASEMBADA PANGAN di INDONESIA Disusun Oleh : KELOMPOK 7 KHAIRUL MUTTAQIN / G111 14 3 IMA RAHIMA HIDAYATI / G111 14324 TIFANY MARYAM PASAKA / G111 14 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MAKALAH DASAR-DASAR AGRONOMI
PERAN SARJANA AGROTEKNOLOGI DALAM MENINGKATKAN
SWASEMBADA PANGAN di INDONESIA
Disusun Oleh :
KELOMPOK 7
KHAIRUL MUTTAQIN / G111 14 3
IMA RAHIMA HIDAYATI / G111 14324
TIFANY MARYAM PASAKA / G111 14
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya
penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Peran
Sarjana Agroteknologi Dalam Meningkatkan Swasembada Pangan di Indonesia”
guna memenuhi tugas mata kuliah Dasar-dasar Agronomi.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang
penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak,
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui tentang peran sarjana
Agroteknologi dalam meningkatkan swasembada pangan, yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa Universitas
Hasanuddin. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari para pembaca demi perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata
penulis sampaikan terimakasih.
Wassalam.
Makassar, 25 Februari 2015
Penulis
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Agro berasal dari agronomi yaitu ilmu yang mempelajari gejala (fenomena) dalam
hubungannya dengan pertanian atau teori dan praktek dalam pengelolaan tanah
dan produksi tanaman. Teknologi berkaitan erat dengan sains (science) dan
perekayasaan (engineering).
Agroteknologi atau yang disebut Agronomi Teknologi merupakan salah
satu cabang ilmu terapan dalam biologi yang mempelajari pengaruh berbagai
aspek biotik dan abiotik terhadap suatu individu atau sekumpulan individu
tanaman untuk dimanfaatkan bagi kepentingan manusia
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang
dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau
sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan
pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami
orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam, meskipun cakupannya
dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan
produk lanjutan, seperti pembuatan kejudan tempe, atau sekedar ekstraksi semata,
seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.
Bagian terbesar penduduk Indonesia bermata pencaharian dalam bidang-
bidang di lingkup pertanian. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai
sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena
sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan
pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai
wilayah Indonesia.
Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan yang
strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional, sektor ini
merupakan sektor yang tidak mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah
dalam pembangunan bangsa, perjalanan pembangunan pertanian Indonesia hingga
saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari
tingkat kesejahteraan petani dan kontribusinya pada pendapatan nasional,
pembangunan pertanian di Indonesia dianggap penting dari keseluruhan
pembangunan nasional.
I.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dirumuskan di atas, maka kami mengangkat
beberapa poin rumusan masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini,
diantaranya:
1. Masalah apa saja yang di hadapi dalam sektor pertanian di Indonesia?
2. Upaya apa saja yang harus dilakukan dalam meningkatkan swasembada
pangan di Indonesia?
3. Apa peran mahasiswa agroteknologi dalam melakukan swasembada pangan
di Indonesia?
I.2 Manfaat Penulisan
Dari penulisan makalah ini diharapkan pembaca dapat memperoleh beberapa
manfaat yaitu :
1. Mengetahui permasalahan dalam sektor pertanian yang di hadapi oleh bangsa
Indonesia.
2. Mengetahui upaya yang harus dilakukan dalam meningkatkan swasembada
pangan di Indonesia dan dapat menerapkannya.
3. Mengetahui peran mahasiswa agroteknologi dalam melakukan swasembada
pangan guna meningkatkan sektor pertanian di Indonesia.
II. PEMBAHASAN
II.1 Masalah-Masalah dalam Sektor Pertanian di Indonesia
Indonesia adalah negara yang memiliki komitmen yang tinggi untuk menjaga
stabilitas ketahanan pangan global dan juga telah menandatangani Letter of Intent
(LOI) dengan FAO pada bulan Maret 2009 sebagai bentuk dukungan terhadap
berbagai program peningkatan ketahanan pangan global dan pembangunan
pertanian negaranegara berkembang lainnya, terutama dalam kerangka Kerjasama
Selatan-Selatan (South-south Cooperation), kerjasama teknis negara-negara
berkembang (KTNB/ TCDC) dan pencapaian tujuan dari MDGs.
Penandatanganan LOI ini juga diharapkan akan semakin memperkuat peran
Indonesia dalam membantu peningkatan pembangunan pertanian di negara-negara
berkembang, terutama di negara-negara Asia Pasifik dan Afrika yang telah
berjalan sejak tahun 1980.
Pangan merupakan permasalahan bangsa yang mendesak untuk
ditindaklanjuti dan memerlukan langkah-langkah penanganan dengan pendekatan
yang sistematik, terpadu dan menyeluruh. Upaya-upaya tersebut, harus ditujukan
untuk mengurangi beban masyarakat dan memenuhi hak-hak dasar setiap warga
negara secara layak, sehingga dapat menjalani dan mengembangkan kehidupan
yang bermartabat. Mengingat pentingnya pangan untuk keberlanjutan berbangsa
dan bernegara, maka seluruh pemangku kepentingan harus mampu menyatukan
langkah dan pemikiran serta menempatkan upaya produktivitas pertanian sebagai
prioritas utama.
Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 216 juta jiwa dengan angka
pertumbuhan 1.7 % per tahun. Angka tersebut mengindikasikan besarnya bahan
pangan yang harus tersedia. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi
peningkatan produksi pangan justru menghadapi masalah bahaya latent yaitu laju
peningkatan produksi di dalam negeri yang terus menurun. Sudah pasti jika tidak
ada upaya untuk meningkatkan produksi pangan akan menimbulkan masalah
antara kebutuhan dan ketersediaan dengan kesenjangan semakin melebar.
Keragaan di atas menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi pangan
nasional rata-rata negatif dan cenderung menurun, sedangkan laju pertumbuhan
penduduk selalu positif yang berarti kebutuhan terus meningkat. Keragaan total
produksi dan kebutuhan nasional dari tahun ke tahun pada ketiga komoditas
pangan utama di atas menunjukkan kesenjangan yang terus melebar; khusus pada
kedelai sangat memprihatinkan. Kesenjangan yang terus meningkat ini jika terus
di biarkan konsekwensinya adalah peningkatan jumlah impor bahan pangan yang
semakin besar, dan kita semakin tergantung pada negara asing.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian, Indonesia masih
menghadapi berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut dapat dikelompokkan
menjadi permasalahan paradigma, produksi, distribusi, konsumsi, koordinasi dan
keuangan.
Pertama, dari aspek paradigma mencakup: sistem agribisnis harus digeser
menjadi berbasis kepada petani dan pengusaha, sedangkan peran pemerintah
hanya sebagai fasilitator, pendekatan masih bersifat sektoral, dan peran
pemerintah daerah masih kurang,
Kedua, dari aspek produksi mencakup: skala usaha petani masih kecil, alih
fungsi lahan pertanian ke non-pertanian masih tinggi, rusaknya infrastruktur
pertanian di berbagai daerah, melemahnya sistem penyuluhan pertanian, suplai air
semakin berkurang, laju pertumbuhan penduduk relatif tinggi, ketergantungan
masyarakat terhadap beras masih tinggi, produksi beras cenderung berfluktuasi,
adopsi inovasi teknologi relatif rendah, pemilikan lahan sangat kecil (ratarata 0,25
ha per petani), kelembagaan petani masih lemah, pascapanen tergantung alam,
keadaan cuaca dan keadaan geografi setempat.
Ketiga, dari aspek distribusi mencakup: fluktuasi harga/inflasi relatif
tinggi, pengelolaan distribusi yang belum merata di seluruh wilayah, permintaan
dari luar daerah sangat tinggi, cadangan pangan beras belum terdata dengan baik
dan biaya koleksi dan distribusi yang relatif tinggi.
Keempat, dari aspek konsumsi mencakup: keamanan pangan, kerawanan
pangan dan gizi, diversifikasi pangan serta daya beli masyarakat yang belum
memadai.
Kelima, dari aspek koordinasi mencakup: masing-masing instansi hanya
fokus pada tugas pokok fungsinya masing-masing, lemahnya koordinasi antar-
instansi dan lemahnya leadership yang dapat mengkoordinasi berbagai instansi.
Keenam, dari aspek keuangan yaitu terbatasnya akses petani terhadap sumber
permodalan serta belum adanya perlindungan keuangan terhadap petani.
Dari seluruh permasalahan yang dihadapi petani dapat dikelompokan
menjadi (1) Pengaruh lingkungan strategis bersifat global dan (2) Pengaruh
internal. Pengaruh global seperti liberalisasi, climate change, dan global price.
Namun yang sangat besar dan langsung dampaknya adalah climate change.
Climate change atau perubahan iklim global menyebabkan terjadinya anomali
iklim. Perubahan iklim ini menyebabkan meningkatnya suhu udara, musim hujan
lebih panjang atau pendek dan musim kemarau yang lebih panjang atau pendek.
Hal tersebut dapat mengakibatkan banjir, kemarau panjang dan gagal panen.
Meningkatnya suhu udara sering berdampak negatif pada pertumbuhan, seperti
melemahnya daya tahan tanaman, meningkatnya serangan hama dan penyakit
tanaman.
Melihat kenyataan tersebut seakan kita tidak percaya sebagai negara agraris
yang mengandalkan pertanian sebagai tumpuan kehidupan bagi sebagian besar
penduduknya tetapi pengimpor pangan yang cukup besar. Hal ini akan menjadi
hambatan dalam pembangunan dan menjadi tantangan yang lebih besar dalam
mewujudkan kemandirian pangan bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu
diperlukan langkah kerja yang serius untuk mengoptimalkan sumber daya yang
ada dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
II.2 Upaya dalam Meningkatkan Swasembada Pangan
Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah (a)
Penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b)Tingkat
kesuburan lahan yang terus menurun (Adiningsih, S, dkk., 1994), (c) Eksplorasi
potensi genetik tanaman yang masih belum optimal (Guedev S Kush, 2002).
Rendahnya penerapan teknologi budidaya tampak dari besarnya
kesenjangan potensi produksi dari hasil penelitian dengan hasil di lapangan yang
diperoleh oleh petani. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan penguasaan
penerapan paket teknologi baru yang kurang dapat dipahami oleh petani secara
utuh sehingga penerapan teknologinya sepotong-sepotong (Mashar, 2000). Seperti
penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara pemeliharaan yang
belum optimal diterapkan petani belum optimal karena lemahnya sosialisasi
teknologi, sistem pembinaan serta lemahnya modal usaha petani itu sendiri. Selain
itu juga karena cara budidaya petani yang menerapkan budidaya konvensional dan
kurang inovatif seperti kecenderungan menggunakan input pupuk kimia yang terus
menerus, tidak menggunakan pergiliran tanaman, kehilangan pasca panen yang masih
tinggi 15 – 20 % dan memakai air irigasi yang tidak efisien. Akibatnya antara lain
berdampak pada rendahnya produktivitas yang mengancam kelangsungan usaha tani dan
daya saing di pasaran terus menurun. Rendahnya produktivitas dan daya saing komoditi
tanaman pangan yang diusahakan menyebabkan turunnya minat petani untuk
mengembangkan usaha budidaya pangannya, sehingga dalam skala luas mempengaruhi
produksi nasional.
Tingkat kesuburan lahan pertanian produktif terus menurun; revolusi hijau
dengan mengandalkan pupuk dan pestisida memiliki dampak negatif pada
kesuburan tanah yang berkelanjutan dan terjadinya mutasi hama dan pathogen
yang tidak diinginkan. Sebagai contoh lahan yang terus dipupuk dengan Urea (N)
cenderung menampakkan respon kesuburan tanaman seketika, tetapi berdampak
pada cepat habisnya bahan organik tanah karena memacu berkembangnya
dekomposer dan bahan organik sebagai sumber makanan mikroba lain habis (<
1%). Pemakaian pupuk kimia, alkali dan pestisida yang terus menerus
menyebabkan tumpukan residu yang melebihi daya dukung lingkungan yang jika
tidak terurai akan menjadi “racun tanah” dan tanah menjadi “Sakit”. Akibatnya
disamping hilangnya mikroba pengendali keseimbangan daya dukung kesuburan
tanah, ketidak-seimbangan mineral dan munculnya mutan-mutan Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) yang kontra produktif. Di lahan sawah/irigasi
dengan berbagai upaya program revolusi hijau yang telah ada tidak lagi
memberikan kontribusi pada peningkatan produktivitas karena telah mencapai
titik jenuh (Levelling Off) dan produktivitas yang terjadi justru cenderung
menurun.
Upaya yang harus dilakukan adalah melakukan Soil Management untuk
mengembali-kan kesuburan tanah dengan memasukkan berbagai ragam mikroba
pengendali yang mempercepat keseimbangan alami dan membangun bahan
organik tanah, kemudian diikuti dengan pemupukan dengan jenis dan jumlah yang
tepat dan berimbang serta teknik pengolahan tanah yang tepat. Telah diketahui
bahwa mikro-organisme unggul berguna dapat diintroduksikan ke tanah dan dapat
diberdayakan agar mereka berfungsi mengendalikan keseimbangan kesuburan
tanah sebagaimana mestinya. Selain itu, sekumpulan mikro-organisme diketahui
menghuni permukaan daun dan ranting. Sebagian dari mereka ada yang hidup
mandiri, bahkan dapat menguntungkan tanaman (Mashar, 2000). Prinsip-prinsip
hayati yang demikian telah diungkapkan dalam kaidah-kaidah penerapan pupuk
hayati (misal : Bio P 2000 Z).
Eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal tampak
pada kesenjangan hasil petani dan hasil produktivitas di luar negeri atau hasil
dalam penelitian. Dalam hal ini teknologi pemuliaan telah mengalami kemajuan
yang cukup berarti dalam menciptakan berbagai varietas unggul berpotensi
produksi tinggi. Meskipun upaya breeding modern, teknologi transgenik dan
hibrida dirancang agar tanaman yang dikehendaki memiliki kemampuan genetik
produksi tinggi (Gurdev S Kush, 2002), tetapi jika dalam menerapkannya di
lapangan asal-asalan, maka performa keunggulan genetiknya tidak nampak. Hasil
penggunaan varietas unggul di lapangan seringkali masih jauh dari harapan.
Penyebabnya adalah masih belum dipahaminya teknik budidaya sehingga hasil
yang didapat belum menyamai potensinya, apalagi melebihi.
Untuk mendapatkan performa hasil maksimal dari tanaman unggul baru
yang diharapkan memerlukan persyaratan-persyaratan khusus “Presisi” dalam
budidayanya seperti kesuburan lahan, pemupukan, mengamankan dari OPT
dan/atau perlakuan spesifik lainnya. Pada kenyataannya baik tanaman unggul
seperti padi VUB, Hibrida dan PTB; dan kedelai serta Jagung hibrida akan
mampu berproduksi tinggi jika pengawalan manajemen budidayanya dipenuhi
dengan baik, tetapi jika tidak justru terjadi sebaliknya. Hasilnya lebih rendah dari
varietas lokal. Hal ini berarti bakal calon penerapan varietas unggul
berproduktivitas tinggi harus dilakukan pengawalan dan manajemen teknologi
penyerta dengan baik dan diterapkan secara paripurna. Untuk hal tersebut petani
harus diberikan dampingan dan memanejemen budidaya secara intensif.
Dari sisi perluasan areal lahan tanaman pangan ini upaya yang dapat
ditempuh adalah: (1) Memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut termasuk di
kawasan pasang surut (Alihamsyah, dkk, 2002) (2) Mengoptimalkan lahan tidur
dan lahan tidak produktif di pulau Jawa. Kedua pilihan di atas mutlak harus di
barengi dengan menerapkan teknologi produktivitas mengingat sebagian besar
lahan tersebut tidak subur untuk tanaman pangan.
Luas lahan pasang surut dan Lebak di Indonesia diperkirakan mencapai
20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2
juta hektar telah di reklamasi untuk pertanian (Ananto, E.,2002). Memanfaatkan
lahan lebak dan Pasang Surut dipandang sebagai peluang terobosan untuk
memacu produksi meskipun disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih
rendah. Produktivitas rata-rata tanaman pangan padi, Jagung dan Kedelai di lahan
lebak/pasang surut dengan penerapan teknologi konvensional hasilnya masih
rendah yaitu : secara berturut turut sekitar 3,5 ton/ha; 2,8 ton/ha dan 0,8 ton/ha.
Kendala utama pengembang di lahan ini adalah keragaman sifat fisiko-kimia
seperti pH yang rendah, kesuburan rendah, keracunan tanah dan kendala Bio fisik
seperti pertumbuhan gulma yang pesat, OPT dan cekaman Air (Moeljopawiro, S.,
2002).
Membangun Ketahanan pangan berbasis Agribisnis pangan rakyat di
Indonesia perlu mendapatkan perhatian serius. Pada tahun 1984 swasembada
pangan pernah tercapai yang diukir sebagai prestasi gemilang saat itu, namun
tahun-tahun selanjutnya semakin merosot sehingga upaya-upaya mempertahankan
dan mencukupi kebutuhan pangan nasional semakin terancam. Proyek pembukaan
lahan pertanian sejuta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah, implementasi
BIMAS, INSUS, SUPRA INSUS; tampaknya tidak memberikan manfaat bahkan
dalam dasawarsa terakhir kita terjebak dalam kesejangan pangan dan dengan
produksi pangan nasional semakin terancam dan impor pangan dijadikan sebagai
solusi instan. Seharusnyalah dibangun kembali kerangka pembangunan pertanian
berkerakyatan dan berorientasi kemandirian dan kesejahteraan yang merata di
dalam sistem agribisnis yang terpadu. Masalah penyediaan pangan untuk
penduduk harus dipandang secara utuh, bukan sekedar dinilai secara untung rugi
saja tetapi lebih jauh dicermati pada aspek politik, dan sosialnya karena di dalam
pandangan nasional ketahanan pangan harus merupakan bagian dari ketahanan
nasional.
Menempatkan pangan sebagai bagian menempatkan kepentingan rakyat,
bangsa dan negara serta rasa nasionalisme untuk melindungi, mencintai dan
memperbaiki produksi pangan lokal harus terus dikembang-majukan. Pertanian
pangan termasuk di kawasan transmigrasi hendaknya jangan dipandang sebagai
lahan untuk menyerap tenaga kerja atau petani dikondisikan untuk terus
memberikan subsidi bagi pertumbuhan ekonomi sektor lain dengan tekanan nilai
jual hasil yang harus rendah dan biaya sarana produksi terus melambung. Tetapi
seharusnya petani pangan mendapatkan prioritas perlindungan oleh pemerintah
melalui harga jual dan subsidi produksi karena petani membawa amanah bagi
ketahanan pangan, petani pangan perlu mendapatkan kesejahteraan yang layak.
Dalam hal ini adalah wajar jika pemerintah berpihak kepada petani dan pelaku
produksi pertanian pangan karena merupakan golongan terbesar dari masyarakat
Indonesia .
Kebijakan Impor pangan yang menonjol sebagai program instant untuk
mengatasi kekurangan produksi justru membuat petani semakin terpuruk dan
tidak berdaya atas sistem pembangunan ketahanan pangan yang tidak tegas.
Akibat over suplai pangan dari impor seringkali memaksa harga jual hasil panen
petani menjadi rendah tidak sebanding dengan biaya produksinya sehingga petani
terus menanggung kerugian. Hal ini menjadikan bertani pangan tidak menarik lagi
bagi petani dan memilih profesi lain di luar pertanian, sehingga ketahanan pangan
nasional mejadi rapuh.
Melihat kondisi saat ini dan trend produksi pangan yang semakin
tergantung impor dan bergesernya pola konsumsi masyarakat maka untuk
mencapai kemandirian pangan ke depan harus dilakukan melalui upaya-upaya
terpadu secara terkonsentrasi pada peningkatan produksi pangan nasional yang
terencana mulai “presisi” di sektor hulu – proses (on farm) dan hilirnya. Yang
perlu ditekankan adalah: peningkatan produktivitas dan penerapan teknologi
bio/hayati organik, perluasan areal pertanian pangan dan optimalisasi
pemberdayaan sumber daya pendukung lokalnya, kebijakan tataniaga pangan
dan pembatasan impor pangan, pemberian kredit produksi dan subsidi bagi
petani pangan, pemacuan kawasan sentra produksi dan ketersediaan silo untuk
stock pangan sampai tingkat terkecil dalam mencapai swasembada pangan di
setiap daerah. Untuk itu pemacuan peningkatan produksi pangan nasional harus
ditunjang dengan kesiapan dana, penyediaan lahan, teknologi, masyarakat dan
infrastrukturnya yang dijadikan sebagai kebijakan ketahanan pangan nasional.
II.2.1 Bidang-bidang Pertanian yang Perlu Diperhatikan
Peran utama Departemen Pertanian dalam membina hubungan kerja sama
dengan pemerintah daerah. Departemen Pertanian secara jelas mempunyai
peranan penting dalam usaha menjawab tantangan di atas. Program-program dari
Departemen Pertanian harus dilengkapi dengan bermacam-macam inisiatif dari
badan pemerintahan nasional lainnya, pemerintahan lokal yang akan berada di
garis depan dalam pemgimplementasian program, organisasi produsen di
pedesaan yang bergerak di bidang agribisnis, dan para petani yang harus menjadi
partner penting demi mendukung proses perubahan ini. Cara ini memerlukan
usaha terpadu lebih besar dan kerjasama dari Departemen Pertanian dan
Departemen pemerintah lainnya yang menangani infrastruktur, pemasaran
pertanian, proses pertanian, fasilitas perdagangan. Dengan desentralisasi, staf
dinas di kabupaten telah dipindahkan ke tingkat pemeritahan lokal, bersamaan
dengan implementasi fungsi-fungsi pemerintahan, seperti penyuluhan, regulasi
(contoh: standar input, kualitas produk [pemeriksaan mutu daging], karantina),
dan pelaporan statistik. Departemen Pertanian pusat sedang mengkaji ulang
peranannya dalam menanggapi permasalahan, dengan fokus yang lebih besar pada
penyediaan fasilitas, rangka kerja kebijakan dan penggunaan sumber daya.
Departemen Pertanian mempunyai peranan penting dalam menjamin bahwa
sistem nasional tersebut dapat dipertahankan dan dibentuk khusus untuk
penyediaan barang-barang publik, terutama dalam rangka penyuluhan, regulasi
dan penelitian dalam bidang pertanian. Setiap sistem ini berada di bawah tekanan
yang berat.
Perlu meningkatkan pendapatan petani melalui diversifikasi lebih
lanjut. Diperkirakan sekitar 24 juta hektar lahan kering memiliki potensi yang
belum dikembangkan. Rumah tangga miskin di daerah ini memiliki tingkat
ketergantungan lebih tinggi pada pertanian, karena sektor perekonomian yang
bukan berasal dari pertanian tidak dapat berkembang. Diversifikasi di dalam hal
ini menjadi penting, begitu pula berbagai kebijakan yang merangsang tumbuhnya
usaha peternakan, tumpang sari sayuran, penanaman kembali hutan-hutan di
daerah-daerah kecil dengan tumbuhan berkayu dengan nilai tinggi, serta
difersifikasi kacang mete atau buah-buahan. Seluruh usaha tersebut dapat
berperan serta untuk mencapai penghasilan yang lebih stabil, dan mengurangi
tingkat kemiskinan di daerah tersebut. Terdapat bermacam-macam kesempatan
untuk menunjang pertumbuhan di daerah-daerah tersebut. Sebagai contoh, antara
tahun 1996-2002, walaupun terjadi krisis ekonomi, konsumsi makanan per kapita
di Indonesia meningkat sebanyak 8% secara riil. Peningkatan tersebut dialami
oleh bahan makanan dengan nilai tinggi seperti produk peternakan, buah-buahan,
sayur-mayur, ikan, lemak dan minyak, dan makanan siap saji. Di lain pihak,
konsumsi per kapita bahan makanan dengan nilai rendah malah menurun.
Perubahan ini telah mendorong perkembangan pesat supermarket, yang mana
telah mempengaruhi struktur produksi pertanian, penyiapan, penanganan dan
pemasaran. Hal yang serupa terjadi dalam ekspansi pesat hasil pertanian biji
coklat, kacang mete dan biji kopi, terlebih lagi setelah tahun 1997. Perkembangan
ini menunjukan adanya kebutuhan untuk membentuk kerjasama dengan sektor
swasta baik lokal maupun internasional yang menciptakan kesempatan untuk
mengurangi beban penyediaan pelayanan dari badan pemerintah. Aspek penting
bagi pertanian di daerah-daerah tersebut adalah meningkatnya fokus pada usaha
pertanian yang menghasilkan uang dan akhirnya ketertarikan dari pihak swasta
untuk membiayai pengembangan ini. Hal ini memerlukan kualitas produksi yang
lebih baik. Hal ini tentunya memerlukan mekanisme regulasi pemerintah yang
lebih baik (dalam kerjasama dengan pihak swasta), dan juga akses lebih mudah
untuk mendapatkan pinjaman bank. Departemen Pertanian dapat mendukung
agribisnis dan sistim pemilikan pertanian skala kecil yang kompetitif dan efisien
melalui pengembangan rangka kerja efektif yang legal diatur oleh regulasi
(misalnya untuk mengamankan hak properti, dan pelaksanaan kontrak) dan
institusional, untuk mempromosikan komersialisasi dan integrasi vertikal.
Memperkuat kapasitas regulasi. Departemen Pertanian mengatur dan
mengawasi berbagai standar yang mempengaruhi produktifitas petani (misalnya
mencegah agar pupuk palsu, bibit bermutu rendah, dan pestisida berbahaya tidak
beredar di pasar; melaksanakan sistim karantina untuk mencegah penularan
penyakit binatang ternak dan tanaman dari luar) dan melindungi konsumen
produk pertanian (misalnya melalui inspeksi mutu daging). Kerangka regulasi
Indonesia untuk hal-hal tersebut telah cukup berkembang, akan tetapi diperlukan
perhatian untuk pembangunan kapasitas, pemeliharaan integritas sistim nasional
dengan desentralisasi, dan fokus pada penyediaan bantuan bagi pemilik skala kecil
untuk memenuhi ketentuan spesifikasi perdagangan. Pasar swasta tergantung pada
lingkungan yang memiliki regulasi efektif dan efisien, termasuk didalamnya
pengelompokan kelas mutu dan standar, keamanan makanan, bio-safety, dan
regulasi lingkungan hidup, untuk mengurangi harga transaksi. Akan tetapi,
regulasi saja tidak mencukupi, harus juga disertai dengan kerjasama bersama para
pedagang, pengolah dan penghasil dalam suatu sistim regulasi diri. Departemen
Pertanian perlu mendukung adanya sistim regulasi produk pertanian yang
kompeten dan fungsional, yang mana juga penting tidak hanya untuk
perlindungan dan keamanan konsumer domestik, tetapi juga untuk mendapatkan
dan memelihara akses ke pasar internasional, terutama karena negara pengimpor
secara bertahap terus memperketat persyaratan kualitas/ keamanan produk
makanan. Tanpa adanya perhatian yang khusus, fokus peningkatan hasil
produktivitas petani demi peningkatan kesejahteraan petani akan gagal apabila ada
pembatasan jalur ke pasar.
Meningkatkan pengeluaran untuk penelitian pertanian. Pertumbuhan
produktifitas di daerah pedesaan adalah dasar utama bagi pengentasan kemiskinan
di daerah tersebut. Hal ini membutuhkan sistim yang solid dalam proses produksi,
adaptasi dan pemerataan teknologi yang dibutuhkan oleh produser berskala kecil.
Penelitian pertanian yang kuat dan sistim penyuluhan sangat penting untuk
menggerakan produktivitas ke jalur pertumbuhan yang lebih pesat. Sistim
penelitian pertanian di Indonesia terdiri dari pusat penelitian komoditas nasional
dan institut adaptasi di tingkat wilayah. Akan tetapi, pengeluaran utnuk penelitian
pertanian di Indonesia turun secara drastis sejak awal tahun 1990an dibandingkan
dengan negara tetangga. Pengeluaran riil untuk penelitian pertanian umum di
2001 tidak lebih besar dari tahun 1995. Saat ini, kedudukan tingkat pengeluaran
untuk penelitian pertanian tersebut, dihitung dalam persentasi dari PDB dan total
pengeluaran negara untuk pertanian, termasuk paling rendah di antara negara asia
lainnya. Indonesia menyediakan sekitar 0,1% dari PDB sektor pertanian untuk
membiayai penelitian pertanian di dalam negeri (bahkan lebih rendah
dibandingkan dengan Bangladesh, dan jauh dibawah tingkat rekomendasi 1%);
dan, jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang menyediakan lebih
dari 10% dari total pengeluaran negara untuk sektor pertanian untuk mendukung
penelitian pertanian, maka porsi di Indonesia kurang dari 4%. Tantangan yang
langsung dihadapi di dalam sistim penelitian pertanian adalah untuk: (i)
menaikkan tingkat total pengeluaran umum untuk membiayai penelitian berskala
nasional walaupun saat ini terdapat berbagai proyek penelitian yang dibatalkan;
(ii) menjelaskan tanggung jawab pembiayaan publik untuk institusi adaptasi di
tingkat wilayah; (iii) melawan efek desentralisasi atas kenaikan biaya operasional
administrasi di tingkat lokal; (iv) meremajakan proporsi besar peneliti senior yang
akan segera pensiun; (v) mengintegrasi kapasitas penelitian pertanian sektor
swasta sebagai bagian dari strategi nasional; (vi) memperkuat strategi penelitian
bioteknologi; dan (vii) sementara menggalakan penggunaan dan penelitian pada
berbagai jenis beras, perlu pula menyeimbangkan pengembangan komoditas
selain beras.
Mendukung cara-cara baru dalam penyuluhan pertanian. Seperti halnya
sistim penyuluhan di negara-negara lainnya, Indonesia menghadapi tantangan
besar dalam pengembangan mekanisme institusional yang efektif dalam
menyalurkan teknologi yang sesuai bagi produsen berskala kecil. Walaupun
pengalaman dalam pelayanan bantuan pertanian masih sangat minim, bukti-bukti
kuat yang mendukung manfaat desentralisasi penyuluhan terus bertambah,
termasuk yang melibatkan pihak swasta maupun masyarakat umum. Serangkaian
debat dan ekperimen pengelolaan yang positif telah diadakan. Termasuk
didalamnya pergeseran ke metode partisipasi, penyaluran input dan teknologi
sampai dengan pembagian pasar dan awal informasi serta teknologi. Terlihat pula
adanya perluasan pelayanan yang dikelola secara terpusat sampai pelayanan yang
didesentralisasi, serta pergeseran ke arah privatisasi penyuluhan. Privatisasi
pelayanan penyuluhan akan memainkan peranan lebih penting di sub-sektor lahan
kering penghasil pertanian yang mendatangkan uang di daerah timur Indonesia,
serta produksi komoditas ekspor yang lebih didukung oleh sektor swasta. Staf
penyuluhan umum saat ini bertanggung jawab kepada pemerintahan propinsi yang
sekarang bekerja berdasarkan 2 model: (1) servis penyuluhan umum dibawah
suatu organisasi perwakilan, dan (2) kapasitas penyuluhan yang dipilah-pilah ke
beberapa badan yang berorientasi ke produk dan independent. Model yang
pertama didukung oleh Proyek Desentralisasi Penyuluhan Pertanian dan
Kehutanan (DAFEP) dengan dana dari Bank Dunia, akan tetapi kurang dari
sepertiga pemerintahan propinsi yang memilih model tersebut sampai saat ini.
Tingkat kualifikasi pendidikan untuk penyuluh-penyuluh publik sedang
ditingkatkan, tetapi tampaknya kompensasi jauh menurun sejak adanya
desentralisasi, dengan turunnya jumlah personel berkualifikasi yang mencari
lapangan pekerjaan di tempat lain. Iklim politik dewasa ini di Indonesia juga
berperan serta dalam penyediaan lingkungan yang kondusif bagi serangkaian
organisasi produsen pedesaan (RPOs) dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.
Pemerintah, khususnya pemerintah setempat, terus mencari jalan untuk menjalin
kerja sama dengan organisasi-organisasi tersebut, tetapi juga menghadapi
kesulitan, karena cepatnya perubahan yang terjadi di dalam organisasi berorientasi
keanggotaan tersebut. Untuk semua inisiatif diperlukan cara-cara untuk
menentukan hubungan mana yang lebih baik antara penelitian pertanian dan
penyuluhan; pemisahan fungsi di dalam organisasi di Departemen Pertanian
(antara IAARD dan AAHRD) telah menghambat usaha dalam memusatkan
perhatian atas berbagai masalah yang diahadapi petani dan juga menentukan
agenda penelitian, serta penyebaran hasil penelitian yang efektif. Proposal
Pengerjaan Petani melalui proyek Teknologi dan Informasi Pertanian (FEATI),
yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian dan didukung oleh Bank,
menjawab serangkaian masalah-masalah di atas, dan akan bertujuan untuk
menggiatkan penelitian pertanian dan penyuluhan, dan dengan demikian,
memperkokoh hubungan antara agribisnis dan komunitas pertanian.
Mendukung pertumbuhan ICT. Inisiatif untuk mengembangkan
teknologi informasi dan komunikasi (ICT) di daerah rural membuka kesempatan
bagi penyaluran informasi ke komunitas pedesaan, memperbaiki hubungan antar
penelitian dan penyuluhan, serta mendukung pengembangan daerah pedesaan.
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman-pengalaman di negara lain.
Contohnya, India telah melalui proses pengembangan inisiatif informasi dan
komunikasi di daerah pedesaan beberapa tahun terakhir. Berbagai macam model,
didukung baik oleh sektor umum maupun swasta, telah diuji-coba dengan sukses.
Misalnya adalah satu model dari ITC, perusahaan swasta besar, yaitu e-choupal
initiative, adalah intervensi informasi teknologi terbesar yang dimiliki suatu
perusahaan di daerah pedesaan India. Dengan menyampaikan informasi secara
langsung dan pengetahuan yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk
meningkatkan kemampuan petani dalam membuat keputusan, e-choupal
membantu menyelaraskan antara hasil pertanian dan kebutuhan pasar, serta
menuju tercapainya perbaikan kualitas, produktifitas, dan meningkatkan
pendeteksian harga. Dimulai tahun 2000, e-choupal sekarang ini telah mencakup 6
negara bagian, 25.000 desa, dan melibatkan 2,5 juta petani. Di dalam 10 tahun
kedepan, ITC memperkirakan akan dapat mencapai 15 negara bagian dengan lebih
dari 100.000 desa (1/6 dari total desa-desa di India) dan membantu 10 juta petani.
Tantangan yang dihadapi dalam mengembangan ICT di India sama dengan di
Indonesia - jaringan yang buruk, infrastruktur rural yang lemah dan kapasitas
sumber daya manusia yang rendah. Akan tetapi, inisiatif ICT di daerah pedesaan
telah melambung di India dalam kurun waktu 5-8 tahun terakhir ini. Kios di
daerah pedesaan berfungsi sebagai pusat komunikasi, pusat pelatihan virtual,
pusat bantuan untuk pengusaha di daerah pedesaan, tempat perdagangan, pusat
layanan finansial dan asuransi, dan lain-lain. Proyek-proyek ini memberikan
pengaruh penting untuk kawula muda, wanita dan anak-anak secara tidak
langsung. Dengan adanya desentralisasi dan lingkungan politik serta institutional
yang baru di Indonesia, kemungkinan pengembangan ICT di Indonesia untuk
mendukung pembangunan daerah pedesaan sangatlah besar.
Usaha Departemen Pertanian untuk menyediakan bantuan dana yang
sesuai melalui dana APBN yang didekonsentrasikan adalah langkah menuju arah
yang tepat; selain itu juga harus mengembangkan alat DAK untuk bekerja sama
dan membantu pemerintah daerah. Departemen Pertanian telah menggunakan asas
desentralisasi, tetapi pengembangan alat-alat bantu baru saja dimulai, seperti
insentif fiskal yang memudahkan kerja kolaborasi dengan pemerintah sub-
nasional untuk mendukung program pertanian. Walau begitu, cara pendekatan ini
tidak digunakan secara proaktif dalam memantau reformasi. Yang digunakan
adalah dana terdekonsentrasi yang diserahkan ke distrik-distrik dengan beberapa
syarat. Jenis kerjasama dana bantuan yang disesuaikan dengan kebutuhan ini
adalah pendekatan praktis yang dapat digunakan untuk melakukan eksperimen.
Sementara itu, Departemen Pertanian harus melaksanakan manajemen yang kuat
dan tetap mengacu kepada cara pendekatan tersebut. (misalnya pondasi strategi
yang matang, tujuan hasil yang jelas, pengawasan dan pertanggungan-jawaban).
Disamping itu, inisiatif Departement Pertanian baru-baru ini yaitu
mengembangkan DAK untuk memenuhi kebutuhan pertanian harus didukung
secara penuh, dengan tujuan untuk menetapkan standar nasional dalam
memperbaiki mutu pelayanan.
Sumber daya Departemen Pertanian dialokasi ulang agar pemutaran dana
bagi grup petani dapat lebih efektif digunakan jika diarahkan melalui penyaluran
dana yang sesuai ataupun mekanisme DAK. Unit Departemen Pertanian pusat
secara agresif juga telah menggunakan transfer langsung dana APBN ke rekening
bank milik grup petani untuk membiayai kegiatan produksi yang dibantu oleh unit
teknis. Diperkirakan sekitar 40% dari APBN Departemen Pertanian 2002
menggunakan mekanisme transfer tersebut. Dukungan untuk penyaluran dana ini
berasal dari para reformis di dalam Departemen Pertanian itu sendiri, serta dari
DPR, yang memandang cara ini sebagai satu jalan untuk menyalurkan dana
tersebut langsung kepada yang berhak dan secara bersamaan menghindari
penyalahgunaan dan kebocoran dana yang selalu terjadi di dalam usaha publik
memperoleh penyaluran proyek tersebut. Sumber-sumber ini umumnya
disediakan dalam bentuk dana bantuan sebagai mekanisme pemutaran kredit di
tingkat grup petani. Akan tetapi, sumber-sumber dana tersebut di alokasikan ke
hasil produksi tertentu saja, tanpa adanya perhatian yang cukup untuk mencapai
finansial mikro yang stabil. Hal ini berdampak pada pembayaran kredit yang
buruk, dan penurunan mutu dana bantuan yang diputarkan. Kepentingan nasional
akan terpenuhi dengan cara terbaik jika program transfer langsung dikurangi dan
sumber-sumber Departemen Pertanian pusat disalurkan langsung untuk
memfasilitasi sistim nasional yang kuat dalam penyediaan kepentingan umum
(penelitian, regulasi, dan penyuluhan) berbentuk suatu kerjasama dengan provinsi,
dengan menggunakan dana bantuan sesuai sebagai insentif atau mekanisme DAK.
Menjamin berlangsungnya manajemen irigasi. Departemen Pertanian
berperanan penting dalam kerjasama dengan institusi terkait lainnya dalam
menghadapi masalah utama ini yaitu bertambah langkanya sumber air yang
mengakibatkan lambatnya pertumbuhan hasil pertanian yang teririgasi. Tantangan
dalam menghadapi langkanya sumber air diperbesar dengan terus bertambahnya
biaya dalam penyediaan sumber air yang baru, pencemaran tanah di daerah irigasi,
penipisan persediaan air tanah, polusi air dan penurunan mutu ekosistem yang
berhubungan dengan air, serta pemborosan penggunaan air di tempat suplai air
yang telah selesai dibangun. Kelalaian pemeliharaan melalui pembiayaan O&M
secara sistematik telah mengakibatkan sedikitnya sepertiga dari 3 juta hektar
skema irigasi hasil rancangan pemerintah, telah direhabilitasi sebanyak 2 kali
selama 25 tahun teakhir ini, serta penggunaan sumber air yang tidak
memperhatikan prinsip keberlanjutan. Batas air bagian atas di Indonesia juga
mengalami penurunan mutu sebagai akibat hilangnya lapisan tumbuhan pelindung
karena penggundulan hutan dan praktek pengelolaan tanah yang buruk. Erosi
bagian atas lereng yang curam, terutama di Jawa di asosiasikan dengan hilangnya
lapisan tumbuhan pelindung dan menyebabkan pendangkalan sungai-sungai,
waduk dan kanal irigasi, yang pada akhirnya menimbulkan bencana banjir.
Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah Indonesia telah mengembangkan model
pengelolaan air lokal yang menempatkan perkumpulan pengguna sumber air
sebagai pusat pengambilan keputusan, di dalam suatu kerjasama yang erat dengan
pemerintah setempat. Pengalaman menunjukan bahwa jenis asosiasi tersebut
efektif dalam meningkatkan efektifitas penggunaan air, yang mengakibatkan
produktivitas lebih tinggi, penggunaan air yang inovatif (diversifikasi pertanian,
pengembangan perikanan, dan lain-lain); kesempatan lebih baik untuk
menciptakan penghasilan; mempertahankan usaha pencegahan; dan kerjasama
yang lebih positif antara pemerintah setempat, komunitas petani dan perwakilan di
tingkat nasional. Model ini telah diuji-coba dan disebarkan secara bertahap ke
banyak propinsi di Indonesia. Walau begitu, karena aktivitas ini mempunyai
karakter antar-sektor, Departemen Pertanian didorong untuk mengembangkan
lebih jauh keberhasilan tersebut, serta memperluas kerjasama dan koordinasi
dengan perwakilan lainnya yang memiliki otoritas per sektor dalam pertanian
irigasi dan dukungan terhadap pemerintah setempat, khususnya dengan
Departemen Pekerjaan Umum, serta Departemen Dalam Negeri. Selain itu,
jaminan keamanan dan hukum untuk melindungi hak kebiasaan informal setempat
atas sumber air akan menjadi syarat demi terciptanya proses yang teratur, adil dan
transparan dalam mengalokasi ulang sumber air, agar dapat secara terus menerus
memenuhi kebutuhan masyarakat yang berubah-rubah. Hal ini akan memerlukan
pemantapan manajemen sumber air melalui organisasi yang sedang berkembang
(Balai PSDAs) agar dapat mengelola sumber air yang langka dan
mengalokasikannya secara optimal.
Memperbaiki infrastruktur rural. Sementara tanggung jawab untuk
penyediaan infrastruktur pedesaan, khususnya jalan raya di daeral rural, bukanlah
tanggung jawab Departemen Pertanian, jelas terlihat bahwa investasi infrastruktur
daerah setempat yang menjadi penghubung penting antara pasar dan pusat
pelayanan, telah melambat secara tajam, mengakibatkan deteriosasi fasilitas yang
telah dibangun. Walaupun titik berat pembangunan telah ditempatkan pada
pembangunan jalan penghubung penting, pengembangan dan perbaikan jaringan
jalan di daerah pedesaan dibutuhkan dengan segera. Jalan penghubung antara desa
dan pasar sangat dibutuhkan di daerah pedesaan untuk mendukung intensifikasi
pertanian. Jalan-jalan di kabupaten berjumlah sekitar 72% dari jaringan jalan
terdaftar; hampir separuhnya berada di kondisi buruk atau ditelantarkan, dan
hanya sekitar 19% berada dalam kondisi bagus. Bukti dari Indonesia dan negara-
negara berkembang lainnya menunjukan bahwa di daerah rural, pendapatan lebih
tinggi dari hasil nonagraris terjadi di daerah-daerah yang memiliki infrastruktur
pedesaan yang baik yang disebabkan oleh hubungan kuat antara pertanian-bukan
pertanian, rural-urban, dan pengembangan usaha kecil menengah.2 Terlebih lagi,
hasil studi mengindikasikan bahwa tingginya biaya transaksi di Indonesia, yang
disebabkan oleh berbagai faktor termasuk infrastruktur rural yang buruk,
mengakibatkan rendahnya bagian petani. Hanya sebesar 25%-30% dari nilai kotor
untuk hasil produk yang memiliki nilai tinggi.
II.3 Peran Mahasiswa Agroteknologi dalam Melakukan Swasembada
Pangan di Indonesia
Indonesia sebagai salah satu negara agroindustri yang sangat potensial. Hal ini
dibuktikan dengan metamorfosa kemakmuran pertanian dan keasrian alam yang
terhampar luas di dataran bumi pertiwi Indonesia. Realita tersebut
bersinambungan dengan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia yang
melimpah-ruah pula. Sehingga dengan kemakmuran sumber daya tersebut
seyogyanya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh penduduknya.
Letak geografis Indonesia yang tepat berada di jalur katulistiwa juga
menguntungkan bagi varietas-varietas bahan pertanian di Indonesia. Sehingga
hampir semua jenis varietas pertanian bisa dibudidayakan secara berkelanjutan
dengan penerapan tradisional maupun penerapan teknologi (Agroteknologi) di
ranah Indonesia. Realita sumber daya alam yang melimpah ruah seperti itu
sewajarnya mampu membangkitkan Indonesia dari limbung negara miskin
menjadi negara kaya karena hasil pertaniannya.
Hal-hal ini yang seharusnya menjadi titik acuan kita terutama sebagai
mahasiswa. Ironis memang, menilik kondisi perekonomian bangsa yang kritis
dengan hutang negara terhadap Bank Dunia yang menumpuk. Bangsa yang
dahulu bangga akan alamnya yang disebut agraris dan lohjenawi. Sekarang,
bagaimana lagi Indonesia dikatakan negara agraris kalau petani semakin merintih
karena bahan pangan saja harus bergantung pada impor. Dan bagaimana juga
Indonesia masih bisa dikatakan sebagai negara yang lohjenawi kalau dari Sabang
sampai Merauke masih banyak rakyatnya yang mati kelaparan? termasuk berbagai
permasalahan bangsa berhubungan dengan krisis pangan dan energi yang tidak
sinkron dengan realita potensi sumber daya alam di bumi pertiwi ini yang sangat
melimpah. Ini adalah sebuah bukti anomali. Seperti uraian pak Edi Santosa, dosen
Agronomi dan Hortikultura, saat memberi materi mengenai Swasembada Pangan
Berkelanjutan. Beliau mengutip pernyataan Tejo Pramono, “coba tunjukkan
apakah ada satu negara pun di dunia yang alamnya kaya tetapi petaninya
miskin...’’ jawabnya ada satu, yaitu Indonesia.
Pada tahun 2003 Indonesia mengikatkan diri ke dalam perdagangan bebas
AFTA. Tahun 2005 dengan WTO (World Trade Organization). Sedangkan pada
tahun 2020 dengan AFEC. Dan esok hari Indonesia bergelut dengan ACFTA. Era
ACFTA (Asean China Free Trade Area) yang juga merupakan situasi krusial bagi
negara-negara berkembang seperti negara Indonesia. Karena komoditi pertanian
dalam negeri harus mampu bersaing dengan komoditi luar.
Inti dari permasalahan tersebut terkandung dalam ketidakstabilan ekonomi negara
karena fakirnya kesadaran masyarakat mengenai masih banyaknya potensi-potensi
alam yang senantiasa diacuhkan begitu saja. Nyatanya sumber daya alam
Indonesia merupakan satu-satunya harta yang paling besar dan nyata yang dimilki
oleh Indonesia dan berpotensi besar mengangkat sektor ekonomi negara. Alih-alih
berbicara mengenai ACFTA, Indonesia pun kini masih belum bisa
memaksimalkan SDA sendiri.
Solusi real dalam usaha memaksimalkan SDA adalah berwirausaha
berbasis pertanian modern. Membangun negeri ini menjadi negara agroindustri
dengan memaksimalkan SDA. Berwirausaha di bidang pertanian merupakan
apresiasi nyata yang bisa diwujudkan oleh segenap masyarakat serta sebagai
tantangan bagi generasi muda, khususnya mahasiswa dalam mengaplikasikan
potensi akademiknya untuk berwirausaha dalam bidang pertanian.
Pangan, benang kehidupan. Dan solusi kemandirian pangan.
Beranjak dari semangat juang yang dituangkan oleh presiden Soekarno, pada saat
peresmian kampus IPB, yang pada intinya beliau menyampaikan bahwa dengan
memaksimalkan fungsi pertanian sebuah negara mampu memenuhi kebutuhan
fundamental negara yaitu berupa kesejahteraan pangan dan perekonomian.
Sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor yang mampu bertahan bahkan
mengalami surplus atau swasembada pada tahun 1998 dan 2008. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa potensi yang sangat besar yang bisa dijadikan benteng
pada saat era ACFTA adalah sektor pertanian. Sehingga, meskipun ACFTA tetapi
Indonesia tidak mengalami keterpurukan pangan.
Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian FAO, Dr. Jacques
Diouf, mengemukakan bahwa setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan
kelangkaan pangan dunia hingga menyebabkan melambungnya harga pangan di
berbagai negara termasuk Indonesia. Pertama, meningkatnya kebutuhan bahan
pangan di negara-negara yang sedang tumbuh ekonominya seperti China dan
India, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Faktor kedua, rendahnya stok
pangan dunia. Diperkirakan stok pangan dunia akan turun menjadi 405 juta ton
pada akhir 2008. Kenyataan ini tentu mengejutkan sebab jika hal ini terjadi, maka
akan menyebabkan stok pangan dunia menyusut, stok terendah setelah tahun
1982. Ketiga, banyaknya peristiwa bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan
badai yang terkait dengan adanya perubahan iklim global. Sementara itu, melalui
data statistik diperoleh bahwa produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia
mengalami penurunan sebanyak 11,1% selama empat tahun terakhir. Hal ini jelas
menggambarkan berkuranganya ketersediaan pangan.
Sehingga diperlukannya inovasi agroindustri yang mengedepankan
pemuliaan sumber daya hayati tanaman, menekankan penarapan dan
pengembangan teknologi sebagai basis dalam mengembangkan pertanian untuk
mewujudkan kemandirian pangan. Teknik-teknik pemuliaan tanaman baik berupa
hidroponik, green house sangat potensional bila diterapkan di tanah Indonesia
yang memilki iklim basah.
Budidaya varietas secara ilmiah dan kompleks dengan metode
bioteknologi kultur jaringan mampu menambahkan keragaman genetasi varietas.
Secara tidak langsung memperkokoh ketahanan pangan negeri sehingga mampu
berswasembada. Menjadi penunjang devisa negara dari pondasi produk-produk
pertaniannya yang mencakup Hortikultura, Perikanan, Kehutanan, Peternakan
yang memilki nilai jual tinggi atau laris manis saat dipasarkan secara global
melalui agribisnis Multinasional maupun Internasional. Inovasi baru
agroteknologi sebagai dasar pengembangan agroindustri juga merupakan hal yang
essensial lain bagi perkembangan pertanian. Salah satu penerapan agroteknologi
ialah menambah daya guna produk pertanian menjadi alat-alat yang sangat
berguna bagi kehidupan sehari-hari yang dikenal dengan Bioenergi. Seperti
penemuan tentang batang pohon karet yang mengandung daya hantar listrik dan
bisa dijadikan sebagai charger pada kondisi darurat. Dan penemuan mengenai
energi alternatif yang banyak dihasilkan dari produk pertanian. Bila
dikembangkan dengan penelitian yang berkelanjutan, penemuan-penemuan ini
merupakan potensi baru sebagai penambah devisa negara.
Namun, siapa menduga karena kebijakan ini nyatanya semakin
menekankan masalah pangan. Menggerogoti petani dan menambah jumlah
kelaparan. Ini adalah sebuah kesalahan prespektif dalam memposisikan peranan
agroteknologi. Secara besar-besaran pemerintah menerapkan agroteknologi dari
produk pertanian untuk memproduksi energi tanpa memperhatikan situasi pangan
dan menyebabkan merosotnya ketersediaan pangan.
Berawal dari niat pemerintah meningkatkan National net production
(NNP) dan Personal income (PI), akan tetapi semakin meningkatkan food crisis.
Seperti itulah sketsa Indonesia dewasa ini. Pangan merupakan benang kehidupan
bagi rakyat. Apabila skenario menyedihkan itu tidak dihentikan, maka terjadilah
kehancuran struktural pangan Indonesia.
Essensinya, agroteknologi dalam penafsiran yang lebih bijaksana bisa
menjadi alat bantu untuk meningkatkan produktivitas pangan. Seorang ilmuan
pemuliaan tanaman asal rusia, Vavilov, mengatakan, “Sebuah tanaman tidak
hanya mengandung energi terpenting dalam kehidupan berupa glukosa, tetapi
setiap unsur dan molekul yang terdapat dalam sebuah tanaman bisa dimanfaatkan
untuk kesejahteraan umat..”. Dari filosofi Vavilov bisa ditarik sebuah kesimpulan
membangun bahwa sumber daya alam harus senantiasa dilestarikan dengan
mengembangkan subtansi-subtansi teknologi. Sehingga secara tidak langsung
mewujudkan kemandirian pangan.
III. PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa masih
banyak permasalahan yang ada dalam bidang pertanian di Indonesia antara lain
permasalahan paradigma, produksi, distribusi, konsumsi, koordinasi dan
keuangan.
Oleh sebab itu mahasiswa Agroteknologi mempunyai peran yang sangat
penting dalam mengatasi permasalah yang ada saat ini.
III.2 Saran
Mahasiswa agroteknologi seharusnya lebih peka terhadap permasalahan bidang
pertanian yang terjadi di sekitar kita. Namun, permasalahan ini bukan semata-
mata hanya menjadi tanggung jawab mahasiswa Agroteknologi tetapi juga untuk
semua kalangan yang ada dinegeri ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agriculture Sector Review Indonesia. Agustus 2003. Prioritas Masalah Pertanian
di Indonesia. The world bank. http://siteresources.worldbank.org. Diakses