BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Kehamilan merupakan peristiwa alami yang
terjadi pada wanita. Namun, kehamilan dapat mempengaruhi kondisi
kesehatan ibu dan janin, terutama pada kehamilan trimester pertama.
Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mual, muntah,
nafsu makan berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita
hamil cenderung memperberat kondisi klinis wanita dengan penyakit
infeksi antara lain infeksi HIV/AIDS. HIV/AIDS adalah topik yang
sangat sensitif, sehingga banyak penelitian melibatkan anak-anak
yang rentan untuk terjangkit HIV. Setiap usaha dilakukan untuk
memastikan bahwa keluarga akan merasa baik . Penyakit AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu syndrome atau
kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang
menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya
sistem kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang
penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan
infeksi oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh
Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan virusnya ditemukan
oleh Luc Montagnier pada tahun 1983. AIDS adalah penyebab penyakit
dan kematian yang terkemuka di kalangan perempuan dan anak-anak di
negara-negara dengan tingkat infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang tinggi. Transmisi HIV dari ibu
ke anak (Mother To Child Transmission MCTC) adalah rute infeksi HIV
pada anak yang paling signifikan. Beberapa intervensi telah
terbukti efektif dalam mengurangi MTCT termasuk pilihan persalinan
secara caeseran, substitusi menyusui dan terapi antiretroviral
selama kehamilan, persalinan, dan pasca melahirkan. Jika intervensi
ini diterapkan dengan benar maka dapat mengurangi MTCT sebesar 2% .
Orang-orang yang terinfeksi positif HIV yang mengetahui status
mereka mungkin dapat memberikan manfaat. Namun, seks tanpa
perlindungan antara orang yang berisiko membawa HIV sero-positif
sebagai super infeksi, penularan infeksi seksual, dan kehamilan
yang tidak direncanakan dapat membuat penurunan kesehatan seksual
dan reproduksi. Hal ini jelas bahwa banyak pasangan yang harus
didorong untuk melakukan tes HIV untuk memastikan status mereka
dengan asumsi bahwa mereka mungkin Page | 1
terinfeksi karena pernah memiliki hubungan seksual dengan
seseorang yang telah diuji dan ditemukan sero-positif HIV.
Komunikasi seksualitas antara orangtua dan anak telah
diidentifikasi sebagai faktor pelindung untuk seksual remaja dan
kesehatan reproduksi, termasuk infeksi HIV. Meningkatkan kesehatan
seksual dan reproduksi remaja merupakan prioritas dunia. Intervensi
yang bertujuan untuk menunda perilaku seksual, mengurangi jumlah
pasangan seksual dan meningkatkan penggunaan kondom. Dari
penelitian yang dilakukan di negara berkembang menunjukkan bahwa
pendidikan seksualitas memiliki potensi untuk memberikan dampak
positif pada pengetahuan, sikap, norma dan niat, meskipun mengubah
perilaku seksual sangat terbatas. Evolusi infeksi HIV menjadi
penyakit kronis memiliki implikasi di semua pengaturan perawat
klinis. Setiap perawat harus memiliki perawatan klinis. Setiap
perawat harus memiliki pengetahuan tantang pencegahan, pemeriksaan,
pengobatan, dan kronisitas dari penyakit dalam rangka untuk
memberikan perawatan yang berkualitas tinggi kepada orang-orang
dengan atau berisiko untuk HIV.
1.2.Rumusan Masalah 1. Apakah definisi dari HIV/AIDS? 2.
Bagaimana epidemiologi ibu hamil dengan HIV/AIDS? 3. Bagaimana
etiologi dari ibu jamil dengan HIV/AIDS? 4. Bagaimana manifestasi
klinis ibu hamil dengan HIV/AIDS? 5. Bagaimana patogenesis dari ibu
hamil dengan HIV/AIDS? 6. Bagaimana cara penularan ibu hamil dengan
HIV/AIDS? 7. Apa pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan ibu
hamil dengan HIV/AIDS? 8. Apa saja klasifikasi dari ibu hamil yang
menderita HIV/AIDS? 9. Bagaimana penatalaksanaan dari ibu hamil
dengan HIV/AIDS? 10. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan ibu
hamil dengan HIV/AIDS? 11. Bagaimana asuhan keperawatan untuk ibu
hamil dengan HIV/AIDS?
Page | 2
1.3.Tujuan Penulisan 1. Agar mahasiswa dapat memahami dan
mengerti tentang HIV/AIDS. 2. Agar mahasiswa dapat memahami dan
mengerti tentang epidemiologi ibu hamil dengan HIV/AIDS. 3. Agar
mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang etiologi dari
HIV/AIDS. 4. Agar mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang
manifestasi klinis ibu hamil dengan HIV/AIDS. 5. Agar mahasiswa
dapat memahami dan mengerti tentang patogenesis ibu hamil dengan
HIV/AIDS 6. Agar mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang cara
penularan ibu hamil dengan HIV/AIDS 7. Agar mahasiswa dapat
memahami dan mengerti tentang pemeriksaan diagnostik yang bisa
dijalani ibu hamil dengan HIV/AIDS 8. Agar mahasiswa dapat memahami
dan mengerti tentang klasifikasi ibu hamil dengan HIV/AIDS. 9. Agar
mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang penatalaksanaan ibu
hamil dengan HIV/AIDS 10. Agar mahasiswa dapat memahami dan
mengerti tentang pencegahan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS 11. Agar
mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang asuhan keperawatan
ibu hamil dengan HIV/AIDS
Page | 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah
suatu penyakit yang ditimbulkan sebagai dampak berkembang biaknya
virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) di dalam tubuh manusia, yang mana virus
ini menyerang sel darah putih (sel CD4) sehingga mengakibatkan
rusaknya sistem kekebalan tubuh. Hilangnya atau berkurangnya daya
tahan tubuh membuat penderita mudah sekali terjangkit berbagai
macam penyakit termasuk penyakit ringan sekalipun. Virus HIV
menyerang sel putih dan menjadikannya tempat berkembang biaknya
virus. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan
tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika tubuh kita diserang
penyakit, tubuh kita lemah, dan tidak mampu melawan penyakit yang
datang. Akibatnya, kita dapat meninggal dunia meski terkena
influenza atau pilek biasa. Ketika tubuh manusia terkena virus HIV,
maka tidaklah langsung menyebabkan atau menderita penyakit AIDS.
Melainkan diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun
bagi virus HIV untuk menyebabkan AIDS atau HIV positif yang
mematikan. HIV dapat menular dari ibu yang terinfeksi HIV ke
bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang lebih 30 persen bayi dari
ibu yang terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Ibu dengan viral
load tinggi lebih mungkin menularkan HIV kepada bayinya. Namun,
tidak ada jumlah viral load yang cukup rendah untuk dianggap
"aman". Infeksi dapat terjadi kapan saja selama kehamilan. Namun,
biasanya terjadi beberapa saat sebelum atau selama persalinan. Bayi
lebih mungkin terinfeksi bila proses persalinan berlangsung lama.
Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya.
Meminum air susu dari ibu yang terinfeksi dapat juga mengakibatkan
infeksi pada bayi. Ibu yang HIV-positif sebaiknya tidak memberi ASI
kepada bayinya. Untuk mengurangi risiko infeksi ketika sang ayah
yang HIV-positif, banyak pasangan yang menggunakan pencucian sperma
dan inseminasi buatan. Pada negara berkembang, isteri tidak berani
mengatur kehidupan seksual suaminya di luar rumah. Kondisi ini
dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan
isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah
seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan. Page | 4
Wanita hamil lebih berisiko tertular HIV dibandingkan dengan
wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil lebih
sering dapat menularkan HIV kepada mereka yang tidak terinfeksi
daripada wanita yang tidak hamil (International Microbicides
Conference 2010, abstract #8). Sebagaimana diketahui, penderita HIV
dan AIDS meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia, terutama di
Afrika dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat puluhan juta
penderita HIV/AIDS. Sekitar 80% penularan terjadi melalui hubungan
seksual, 10% melalui suntikan obat (terutama penyalahgunaan
narkotika), 5% melalui transfusi darah dan 5% dari ibu melalui
plasenta kepada janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya
transmisi vertikal berkisar antara 13-48%. Pada pemeriksaan
antenatal care (ANC), biasanya dilakukan pemeriksaan laboratorium
terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki
otonomi untuk menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV
setelah diberikan penjelasan yang tidak memuaskan mereka, dan
dokter harus menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang
diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu diberi kesempatan
untuk konseling mengenai pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko
penularan dari ibu ke anak, tentang pemeriksaan dan terapi selama
hamil, rencana persalinan, masa nifas dan masa menyusui.
Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV
sero-positif. Dalam hal ini, diserahkan kepada ibu yang
bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya kepada pasangannya, perlu
dipertimbangkan untuk ruginya membuka rahasia pekerjaan dokter.
Tentulah dalam membuka rahasia ini akan berpengaruh terhadap
hubungannya dengan keluarga, teman-teman, dan kesempatan kerja,
juga
berkurangnya kepercayaan pasien terhadap dokternya. Untuk
pasangan infertil yang menginginkan teknologi reproduksi yang
dibantu dan salah satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis,
jika kepada mereka diberikan pelayanan tersebut. Dengan kemajuan
pengobatan masa kini, penderita HIV dapat hidup lebih panjang dan
risiko penularan dari ibu ke anak berkurang. Dokter dengan HIV
positif tidak perlu memberitahukan pasiennya tentang dirinya,
tetapi harus berhati-hati melakukan tindakan-tindakan medik yang
mengandung risiko, seperti pembedahan obstetrik dan ginekologi,
serta berhati-hati dengan alat-alat yang digunakan.
Page | 5
Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual.
Kehamilan pada ibu dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu
perkembangan penyakit, pilihan penatalaksanaan, dan kemungkinan
transmisi vertikal pada saat persalinan. Transmisi infeksi lewat
plasenta ke janin lebih dari 80%. Antibodi ibu melewati plasenta,
dan dapat diteliti melalui uji bayi mereka. Uji antibodi bayi dapat
menentukan status HIV ibu. Uji terbaru untuk bayi adalah reaksi
rantai polimer (Polymerase Chain Reaction PCR) yang
mengidentifikasi virus HIV neonatus. Diperlukan pemeriksaan virus
HIV yang terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu hamil untuk
melindunginya.
2.2 Epidemiologi Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit
dihampir setiap negara di dunia (pandemi), termasuk di antaranya
Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah terdapat
sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang
dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Di Indonesia, berdasarkan data-data
yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP Departemen
Kesehatan RI sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS
sebanyak 685 orang yang dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia.
Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya bukanlah
merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada penyakit
ini berlaku teori Gunung Es dimana penderita yang kelihatan hanya
sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan
bahwa dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang
lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui. Sampai saat ini
obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah
penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif
dalam upaya menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus
meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan semua pihak yang
mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi
yang memungkinkan dapat terserang HIV. Epidemi HIV di Indonesia
telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000 epidemi tersebut sudah
mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko
tinggi (dengan prevalens > 5%), yaitu pengguna Napza suntik
(penasun), Wanita Penjaja Seks (WPS), dan waria. Situasi demikian
menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada pada tahap
concentrated epidemic. Situasi penularan ini disebabkan kombinasi
transmisi HIV melalui penggunaan jarum suntik tidak steril dan
transmisi seksual di antara populasi berisiko tinggi. Page | 6
Di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), keadaan yang
meningkat ini ternyata telah menular lebih jauh, yaitu telah
terjadi penyebaran HIV melalui hubungan seksual berisiko pada
masyarakat umum (dengan prevalens > 1%). Situasi di Tanah Papua
menunjukkan tahapan telah mencapai generalized epidemic. Epidemi
HIV yang terkonsentrasi ini tergambar dari laporan Departemen
Kesehatan (Depkes) tahun 2006. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai
konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
tertentu. Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006 prevalens
HIV berkisar 21% 52% pada penasun, 1%-22% pada WPS, dan 3%-17% pada
waria. Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil Estimasi
Populasi Dewasa Rawan Tertular HIV pada tahun 2006. Diperkirakan
ada 4 juta sampai dengan 8 juta orang paling berisiko terinfeksi
HIV dengan jumlah terbesar pada sub-populasi Pria Penjaja Seks
(PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya
sebanyak 1,8 juta. Sekalipun jumlah sub-populasinya paling besar,
namun kontribusi pelanggan belum sebanyak penasun dalam infeksi
HIV. Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil estimasi orang
dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia tahun 2006, yang jumlahnya
berkisar 169.000-217.000, dimana 46% diantaranya adalah penasun
sedangkan PPS (Pria Penjajah Seks)14%. Prevalensi HIV-AIDS menurun
di kalangan wanita hamil berdasarkan hasil survey di daerah
perkotaan Kenya terutama di Busnia, Meru, Nakura, Thika, dimana
rata-rata prevalensi HIV menurun tajam dari kira-kira 28% pada
tahun 1999 menjadi 9% pada tahun 2003. Di wilayah India, prevalensi
secara nasional di kalangan wanita hamil masih rendah di daerah
miskin padat penduduk yang terletak di negara bagian utara Uttar
Pradesh dan Bihar. Peningkatan angka penularan relatif kecil, dapat
diartikan bahwa sejumlah besar orang terinfeksi karena wilayah
tersebut dihuni oleh seperempat dari seluruh populasi India.
Prevalensi HIV lebih dari 1% ditemukan di kalangan wanita hamil, di
wilayah industri di bagian barat dan selatan India. Namun data
terbaru dari Afrika Selatan memperlihatkan bahwa prevalensi HIV di
kalangan wanita hamil saat ini telah mencapai angka tertinggi,
yaitu 29,5% dari seluruh wanita yang mengunjungi klinik bersalin
yang positif terinfeksi HIV di tahun 2004. Prevalensi tertinggi
adalah dikalangan wanita usia 25-34 tahun yaitu satu dari tiga
wanita yang diperkirakan akan terinfeksi HIV. Tingkat prevalensi
yang tertinggi melebihi 30% di kalangan wanita hamil masih terjadi
juga pada empat negara lain di wilayah Botswana, Lesotho, Nambia
dan Swaziland. Page | 7
2.3 Etiologi Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong
Retrovirus yang disebut HIV. Virus ini pertama kali diisolasi oleh
Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika
Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986, nama virus dirubah
menjadi HIV. Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus
RNA yang merupakan partikel inert, tidak dapat berkembang atau
melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini
terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Di dalam sel Lymfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama
dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian, virus dalam
tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat
dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.
Secara mortologis, HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian
inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk
silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim
reverce transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung
terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120
berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena
bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas dan merupakan bahan
kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh
lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan
dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium
hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi
dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen,
air mata, dan mudah mati di luar tubuh. HIV dapat juga ditemukan
dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan otak.
2.4 Manifestasi Klinis Pada bayi dan anak yang terinfeksi HIV
yang didapat pada masa prenatal, tampak normal dan mulai timbul
gejala pada 2 tahun pertama kehidupan. Manifestasi kliniknya antara
lain : 1. Berat badan lahir rendah 2. Gangguan tumbuh kembang 3.
Sinusitis 4. ISPA 5. Parotitis Page | 8
Lima puluh persen anak-anak dengan infeksi HIV terkena syarafnya
yang memanifestasikan klinisnya sebagai enselopati progresif,
perkembangan yang terhambat atau hilangnya perkembangan motoris.
Dicurigai AIDS pada anak dengan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor,
dan tidak terdapat sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker dan malnutrisi yang berat. 1. Gejala mayor yang biasanya
terjadi pada anak penderita AIDS antara lain : a. Penurunan berat
badan atau pertumbuhan yang lambat dan abnormal b. Diare kronok
lebih dari satu bulan c. Demam lebih dari satu bulan 2. Gejala
minor meliputi : a. Batuk persisten b. Infeksi HIV pada ibunya c.
Kandidiasis orofaring d. Limfadenopati generalisata e. Dermatitis
generalisata 3. Gejala dari infeksi akut HIV terjadi sekitar 50%
kepada seseorang yang baru terinfeksi. Gejala yang ditimbulkan
adalah[6]: a. Demam b. Malaise c. Ruam d. Myalgia e. Sakit kepala
f. Meningitis g. Kehilangan napsu makan h. Berkeringat 4. Adapun
gejala infeksi HIV kronis sebagai berikut[6]: a. Infeksi bakteri
berulang b. Candidiasis di saluran bronkus, trachea, paru dan
esophagus c. Herpes simpleks kronis d. Kaposi sarcoma (proliferasi
vaskuler neoplastik ganas yang multi sentrik dan ditandai dengan
nodul-nodul kutan berwarna merah kebiruan, biasanya pada pada
ekstremitas bawah yang ukuran dan jumlahnya membesar dan menyebar
ke daerah yang lebih proksimal) Page | 9
e. Pneumoncystis f. Wasting syndrome Gejala infeksi HIV pada
wanita hamil, umumnya sama dengan wanita tidak hamil atau orang
dewasa. infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik
dengan spektrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala
(asimtomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang
berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakitnya lambat
dan rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat
lebih lama lagi. Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan
gejala apapun. Mereka merasa sehat dan tampak sehat-sehat saja.
Namun, orang yang terinfeksi HIV akan menjadi pembawa dan penular
HIV kepada orang lain. Kelompok orang-orang HIV tanpa gejala dapat
dibagi menjadi dua kelompok yaitu : 1. Kelompok yang sudah
terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes darahnya negatif. Pada
tahap dini ini, antibodi terhadap HIV belum terbentuk. Waktu antara
masuknya HIV disebut window period yang memerlukan waktu antara 15
hari sampai 3 bulan setelah terinfeksi HIV. 2. Kelompok yang sudah
terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah positif. Keadaan
tanpa gejala ini dapat berlangsung lama sampai 5 tahun atau lebih.
CDC (Center for Disease Control, USA, 1986) menetapkan klasifikasi
infeksi HIV pada orang dewasa sebagai berikut[6]: 1. Kelompok I 2.
Kelompok II 3. Kelompok III 4. Kelompok IV : infeksi akut : infeksi
asimptomatik : infeksi Limpadenopati Generalisata Persisten (LGP) :
penyakit-penyakit lain.
2.5.Patogenesis HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan
dalam darah, sperma, cairan vagina, dan ASI. Cara penularan telah
dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah yaitu secara hubungan
seksual, kontak dengan darah atau produk darah, eksposur perinatal,
dan menyusui. HIV muncul sebagai epidemik global pada akhir tahun
1970. Pada tahun 2007, diperkirakan 33 juta orang di seluruh dunia
hidup dengan HIV. 2 juta orang meninggal dari komplikasi AIDS, dan
15 juta anak-anak menjadi yatim piatu akibat kehilangan salah satu
atau kedua orang tua mereka karena AIDS. Page | 10
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan
suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent,
host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portd
entre). Transmisi HIV terjadi terutama melalui pertukaran cairan
tubuh (misalnya darah, semen, peristiwa perinatal). Depresi berat
pada sistem imun selular menandai sindrom immunodefiensi didapat
(AIDS). Walaupun populasi berisiko tinggi telah didokumentasi
dengan baik, semua wanita harus dikaji untuk mengetahui. Begitu HIV
memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10 minggu pertama
pemaparan. Walaupun perubahan serum secara total asimptomatik,
perubahan ini disertai viremia, respons tipe-influenza terhadap
infeksi HIV awal. Gejala meliputi demam, malaise, mialgia, mual,
diare, nyeri tenggorok, dan ruam dan dapat menetap selama dua
sampai tiga minggu. Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya
menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya.
Virus HIV sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. Sebagai
vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan
kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang
terbukti menularkan di antaranya semen, cairan vagina atau servik
dan darah penderita.
2.6.Cara Penularan Banyak cara yang diduga menjadi cara
penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang
diketahui adalah melalui: 1. Transmisi Seksual Penularan melalui
hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan
penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini
berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi
dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan
seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan
seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian
Darrow (1985), ditemukan resiko seropositif untuk zat anti terhadap
HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada
pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan
berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi
terinfeksi virus HIV.
Page | 11
a. Homoseksual Di dunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat
promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun
dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal
merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV,
khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen
dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa
rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaran pada
saat berhubungan secara anogenital. b. Heteroseksual Di Afrika dan
Asia Tenggara, cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual
pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur
seksual aktif, baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak
pasangan dan berganti-ganti. 2. Transmisi Non Seksual a. Transmisi
Parenteral Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk
lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada
penyalahgunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Di samping itu, dapat juga terjadi
melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa
disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi
parental ini kurang dari 1%.
Darah / Produk Darah Transmisi melalui transfusi atau produk
darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah
tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat
jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum
ditransfusikan. Resiko tertular infeksi HIV lewat trasfusi darah
adalah lebih dari 90%.
b. Transmisi Perinatal Hampir 85-90 % kasus AIDS pada anak-anak
dapat disebabkan oleh transmisi perinatal. Perkiraan prevalensi
infeksi HIV secara nasional pada wanita usia subur adalah 1,7
wanita terinfeksi HIV per 1000 wanita usia subur. Sekitar 7000
wanita terinfeksi HIV melahirkan setiap tahun, dengan tingkat
transmisi perinatal berkisar dari 13-40 % . Page | 12
Beberapa faktor memengaruhi transmisi perinatal. Bayi prematur
memiliki kemungkinan lebih besar terinfeksi HIV daripada bayi lahir
cukup bulan. Pada kembar identik, kedua bayi cenderung terinfeksi
atau tidak terinfeksi secara bersama. Sementara pada kembar
fraternal hanya satu bayi yang akan terinfeksi, tetapi kedua bayi
memiliki tingkat resiko yang sama. Bayi baru lahir yang dilahirkan
dengan seksio sesarea sedikit lebih jarang terinfeksi HIV dibanding
mereka yang dilahirkan pervaginam (14% : 20%). Prosedur invasif
seperti episiotomi, pemantuan janin internal, pengambilan sampel
kulit kepala janin, penggunaan forseps, dan ekstraksi vakum, selama
persalinan dan pelahiran meningkatkan resiko transmisi perinatal.
Ibu HIV-positif dapat mengurangi risiko bayinya tertular dengan :
1. Mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV) Resiko penularan sangat
rendah bila terapi ARV dipakai. Angka penularan hanya 1% bila ibu
memakai ARV. Angka ini 4 persen bila ibu memakai ARV selama minggu
enam bulan terakhir kehamilannya dan bayinya diberikan ARV selama
enam pertama hidupnya. Namun, jika ibu tidak memakai ARV sebelum
dia mulai sakit melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi
separuh penularan ini. ARV dan 3TC dipakai selama persalinan, dan
untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir. Satu tablet
Nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet
lagi diberi pada bayi 2-3 hari setelah lahir. Menggabungkan
Nevirapine dan ARV selama persalinan mengurangi penularan menjadi
hanya 2%. Namun, resistansi terhadap Nevirapine dapat muncul pada
hingga 20% perempuan yang memakai satu tablet waktu hamil. Hal ini
mengurangi keberhasilan ARV yang dipakai kemudian oleh ibu.
Resistansi ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui.
Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di
negara berkembang. 2. Menjaga proses kelahiran tetap singkat
waktunya Semakin lama proses kelahiran, semakin besar risiko
penularan. Bila si ibu memakai ARV dan mempunyai viral load di
bawah 1000, risiko hampir nol. Ibu dengan viral load tinggi dapat
mengurangi risiko dengan memakai bedah Sesar.
Page | 13
3. Menghindari menyusui Kurang lebih 14% bayi terinfeksi HIV
melalui ASI yang terinfeksi. Risiko ini dapat dihindari jika
bayinya diberi pengganti ASI (PASI, atau formula). Namun jika PASI
tidak diberi secara benar, risiko lain pada bayinya menjadi semakin
tinggi. Jika formula tidak bisa dilarut dengan air bersih, atau
masalah biaya menyebabkan jumlah formula yang diberikan tidak
cukup, lebih baik bayi disusui. Yang terburuk adalah campuran ASI
dan PASI. Mungkin cara paling cocok untuk sebagian besar ibu di
Indonesia adalah menyusui secara eksklusif (tidak campur dengan
PASI) selama 3-4 bulan pertama, kemudian diganti dengan formula
secara eksklusif (tidak campur dengan ASI).
Mengkaji Resiko Wanita untuk Terpajan HIV Perawat dapat
menggunakan pertanyaan ini sebagai bagian dari wawancara pranatal
untuk mengkaji resiko wanita terpajan infeksi HIV 1. Berapa banyak
pasangan sekual yang anda miliki dalam 10 tahun terakhir? 2. Apakah
pasangan seksual anda memiliki beberapa pasangan seksual dalam 10
tahun terakhir? 3. Apakah anda pernah memiliki pasangan seksual
yang biseksual atau homoseksual? 4. Apakah anda pernah melakukan
hubungan seksual melalui anus? 5. Apakah anda pernah memiliki
pasangan seksual yang uji HIV-nya positif atau menderita sakit
AIDS? 6. Apakah anda pernah mendapatkan transfusi darah dari USA
atau dari negara lain? 7. Apakah anda mendapatkan inseminasi buatan
dengan menggunakan donor yang belum diperiksa? 8. Apakah anda atau
pasangan seksual anda menggunakan obat-obatan terlarang via IV? 9.
Apakah anda pernah terpajan darah atau cairan tubuh dalam kerja
anda (misal perawat, dokter, dokter gigi) ?
Page | 14
2.7.Pemeriksaan Diagnostik Indikasi pemeriksaan darah terhadap
HIV antara lain: 1. Atas permintaan sendiri (pasien merasa mungkin
dirinya terinfeksi HIV) 2. Atas kecurigaan terhadap pasien a.
Mempunyai banyak mitra seksual (premiskuitas) b. Pernah atau sering
mendapat transfusi darah c. Mempunyai mitra seksual pengidap
HIV
Pemeriksaan secara Umum 1. Pemeriksaan laboratorium a. Test
serologis b. Pemeriksaan histologis, sitologis urin, darah, feses,
cairan spina, luka, sputum dan sekresi. c. Tes neurologis : EEG,
MRI, CT Scan otak, EMG 2. Test antibodi a. Test ELISA, untuk
menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi HIV.
b. Western blot asay / indirect fluorescent Antibody (IFA), untuk
mengenali antibodi HIV dan memastikan seroposifitas HIV. c.
Indirect immunoflourresence, sebagai pengganti pemeriksaan western
blot untuk memastikan seropositifitas. d. Radio immuno
precipitation assay, mendeteksi protein pada antibodi.
Pemeriksaan Pada Wanita Hamil CDC telah merekomendasikan
skrining rutin HIV secara sukarela pada ibu hamil sejak tahun 2001.
Banyak dokter telah mengadopsi kebijakan universal opt-out skrining
HIV (yang berarti bahwa pengujian adalah otomatis kecuali jika
wanita secara khusus memilih untuk tidak di uji) pada wanita hamil
selama tes kehamilan rutin dan telah dieliminasi persyaratan untuk
konseling sebelum uji dilakukan dan persetujuan tertulis untuk tes
HIV. Penelitian dianalisis oleh Angkatan US Preventive Services
Task mengungkapkan bahwa pada tahun 1995 tingkat tes HIV di antara
wanita hamil di Amerika Serikat adalah 41% (dianjurkan dilakukan
tes universal pada tahun pertama kehamilan) dan meningkat menjadi
60% pada 1998. Pada tahun 2005, di negara bagian dan provinsi
Kanada yang telah menerapkan pengujian "opt-out", angka tes HIV di
antara perempuan hamil berkisar antara 71% sampai 98%, Page |
15
dibandingkan dengan 15% menjadi 83% dalam keadaan dan provinsi
yang memiliki Kebijakan opt-in yang membutuhkan seorang wanita
untuk secara khusus meminta tes HIV. Identifikasi dini pada wanita
hamil memungkinkan untuk pemberian pengobatan terapi antiretroviral
untuk mendukung kesehatan dan mengurangi risiko penularan bayinya.
Tes HIV direkomendasikan untuk semua wanita hamil pada kunjungan
prenatal pertama. Tes HIV kedua, selama trimester ketiga sebelum 36
minggu kehamilan, juga dianjurkan bagi wanita yang berisiko,
tinggal di daerah prevalensi HIV tinggi, atau memiliki tanda-tanda
atau gejala yang konsisten dengan infeksi HIV akut. Jika seorang
wanita yang berstatus HIV belum didokumentasikan ketika dia tiba
saat persalinan dan melahirkan, tes cepat HIV harus ditawarkan.
Jika hasil tes awal positif, segera inisiasi ARV profilaksis yang
tepat intravena harus direkomendasikan tanpa menunggu konfirmasi
hasil. Jika wanita menolak pengujian, bayi baru lahir harus
menerima pengujian cepat sesegera mungkin setelah lahir sehingga
profilaksis antiretroviral dapat ditawarkan jika terdapat indikasi.
Pemeriksaan Pada BBL Antibodi ibu (IgG Anti HIV) melewati plasenta
dan terdapat dalam serum BBL sampai mereka berumur 18 bulan.
Sebagian besar BBL dari ibu seropositif juga menjadi seropositif,
meskipun hanya 10-30% yang benar-benar terinfeksi HIV, sedangkan
BBL yang tidak terinfeksi lambat laun kehilangan antibodi maternal
yang diperolehnya secara pasif. Sulit mendiagnosa infeksi HIV pada
BBL seropositif dengan menggunakan pemeriksaan antibodi karena
adanya transfer antibodi maternal. Pada BBL seropositif,
pemeriksaan PCR dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV
aktual. Teknik DNA ini memungkinkan analisis sejumlah kecil materi
genetik dengan amplifikasi (penggandaan salinan) DNA atau RNA
organisme yang terinfeksi. Amplifikasi gen yang tepat memungkinkan
deteksi HIV dalam bentuk provirus DNA dari 1-2 salinan genomik/ml
serum. Pemeriksaan PCR HIV sangat sensitif dan spesifik, sekitar
20x lebih sensitif dibandingkan kultur jaringan HIV. BBL yang
terinfeksi HIV dalam uterus secra khas dapat menunjukkan
mikrosefalus, kegagalan pertumbuhan, pelebaran bibir, penonjolan
dahi sehingga menyerupai kotak, pendataran batang hidung, pelebaran
kantus mata, sklera biru, dan kemiringan mata ringan. Usia
pertengahan munculnya gejala AIDS pada anak-anak adalah 9 bulan,
dan 82% mengalami gejala pada usia 3 tahun. Gejala ini meliputi
kegagalan tumbuh, infeksi berulang, infeksi Epstein-Barr, pneumonia
limfositik Page | 16
interstisial, hepatosplenomegali, dan abnormalitas neurologis.
Ensefalopati dengan perlambatan perkembangan atau kehilangan
ketrampilan lain terjadi pada 50-90 % anak-anak penderita AIDS
2.8.Klasifikasi Center for Disease Control USA (CDC)
mengklasifikasikan infeksi HIV dengan mengkombinasikan kondisi
klinis yang ditimbulkan oleh HIV yaitu sebagai berikut : a.
Kategori klinis A Individu dengan kategori klinis ini adalah HIV
positif. Penderita mungkin tanpa gejala, tapi dengan limpadenopati
generalisata yang persisten ataupun infeksi HIV yang akut. b.
Kategori klinis B Penderita dikategorikan ke dalam tipe ini adalah
yang mengalami satu atau lebih di antara keadaan klinis yang timbul
karena infeksi HIV ataupun indikasi penurunan sel immunitas medial
serta merupakan komplikasi dari infeksi HIV. Keadaan klinis
tersebut seperti endokarditis bakterial, meningitis, pneumonia,
sepsis, vulvovaginal candidiasis persisten, orophayrngeal
candidiasis (trush), carcinoma, gejala konstitusional seperti
demam, diare selama satu bulan atau lebih. c. Kategori klinis C
Seseorang diklasifikasikan dalam tipe C bila mengalami satu dari
tanda dan gejala atau penyakit kandidiasis broncial, trakeal,
pulmonal dan esofageal, kanker serviks invasif, herfes simplek,
imunoblastik limfoma kanker otak.
2.9.Penatalaksanaan Pengalaman program yang signifikan dan bukti
riset tentang HIV dan pemberian makanan untuk bayi telah
dikumpulkan sejak rekomendasi WHO untuk pemberian makanan bayi
dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada tahun 2006. Secara
khusus, telah dilaporkan bahwa antiretroviral (ARV) intervensi baik
ibu yang terinfeksi HIV atau janin yang terpapar HIVsecara
signifikan dapat mengurangi risiko penularan HIV pasca kelahiran
melalui menyusui. Bukti ini memiliki implikasi besar untuk
bagaimana perempuan yang hidup dengan HIV mungkin dapat memberi
makan bayi mereka, dan bagaimana para pekerja kesehatan harus
nasihati ibu-ibu ini. Page | 17
Bersama-sama, intervensi ASI dan ARV memiliki potensi secara
signifikan untuk meningkatkan peluang bayi bertahan hidup sambil
tetap tidak terinfeksi HIV. Meskipun rekomendasi 2010 umumnya
konsisten dengan panduan
sebelumnya, mereka mengakui dampak penting dari ARV selama masa
menyusui, dan merekomendasikan bahwa otoritas nasional di setiap
negara untuk memutuskan praktik pemberian makan bayi, seperti
menyusui yaitu dengan intervensi ARV untuk mengurangi transmisi
atau menghindari menyusui, harus dipromosikan dan didukung oleh
layanan Kesehatan Ibu dan Anak mereka. Hal ini berbeda dengan
rekomendasi sebelumnya di mana petugas kesehatan diharapkan untuk
memberikan nasihat secara individual kepada semua ibu yang
terinfeksi HIV tentang berbagai macam pilihan pemberian makanan
bayi, dan kemudian ibu-ibu dapat memilih cara untuk pemberian
makanan bayinya. Dimana otoritas nasional mempromosikan pemberian
ASI dan ARV, ibu yang diketahui terinfeksi HIV sekarang
direkomendasikan untuk menyusui bayi mereka setidaknya sampai usia
12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh digunakan
kecuali jika dapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan
aman (AFASS). Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load
rendah sehingga jumlah virus yang ada dalam darah dan cairan tubuh
kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa dipilih untuk
negara berkembang adalah Nevirapine, pada saat ibu saat persalinan
diberikan 200 mg dosis tunggal, sedangkan bayi bisa diberikan 2
mg/kgBB/72 jam pertama setelah lahir dosis tunggal. Obat lain yang
bisa dipilih adalah ARV yang diberikan mulai kehamilan 36 minggu 2
x 300 mg/hari dan 300 mg setiap jam selama persalinan
berlangsung.
A. Intervensi Terapeutik Antiretrovirus Terapi yang sekarang
berlaku menghadapi masalah membidik berbagai harapan dalam proses
masuknya virus ke dalam sel dan replikasi virus, memanipulasi gen
virus untuk mengendalikan produksi protein virus, membangun kembali
sistem imun, mengkombinasikan terapi, dan mencegah resistensi obat.
Dua pemeriksaan laboratorium, hitung sel T CD4+ dan kadar RNA HIV
serum, digunakan sebagai alat untuk memantau risiko perkembangan
penyakit dan menentukan waktu yang tepat untuk memulai atau
memodifikasi regimen obat.
Page | 18
Hitung sel T CD4+ memberikan informasi mengenai status
imunologik pasien yang sekarang, sedangkan kadar RNA HIV serum
(viral load) memperkirakan prognosis klinis (status hitung sel T
CD4+ dalam waktu dekat). Hitung RNA HIV sebesar 20.000 salinan/ml
(2 x 104) dianggap oleh banyak pakar sebagai indikasi untuk
memberikan terapi antiretrovirus berapa pun hasil hitung sel T
CD4+. Pengukuran serial kadar RNA HIV dan sel T CD4+ serum sangat
bermanfaat untuk mengetahui laju perkembangan penyakit, angka
pergantian virus, hubungan antara pengaktivasian sistem imun dan
replikasi virus, dan saat terjadinya resistensi obat antiretrovirus
disebabkan oleh penurunan kadar RNA HIV. Tujuan utama terapi
antivirus adalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan jumlah
virus, pemulihan atau pemeliharaan (atau keduanya) fungsi
imunologik, perbaikan kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas
dan mortalitas HIV.
Prinsip pengobatan untuk infeksi HIV 1. Replikasi HIV yang
berlangsung terus-menerus menyebabkan sistem imun rusak dan
berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV selalu merugikan dan
kesintasan jangka-panjang sejati yang bebas dan disfungsi sistem
imun sangat jarang terjadi. 2. Kadar RNA HIV dalam plasma
menunjukkan besarnya replikasi HIV dan berkaitan dengan laju
destruksi limfosit T CD4+ untuk yang terinfeksi oleh HIV, perlu
dilakukan pengukuran periodik berkala kadar RNA HIV plasma dan
hitung sel T CD4+ untuk menentukan faktor risiko perkembangan
penyakit serta mengetahui saat yang tepat untuk memulali atau
memodifikasi regimen terapi antiretrovirus. 3. Karena laju
perkembangan penyakit berbeda di antara orang-orang yang terinfeksi
HIV, maka keputusan tentang pengobatan harus disesuaikan orang per
orang berdasarkan tingkat risiko yang ditunjukkan oleh kadar RNA
HIV plasma dan hitung sel T CD4+. 4. Pemakaian terapi
antiretrovirus kombinasi yang poten untuk menekan replikasi HIV
dibawah kadar yang dapat dideteksi oleh pemeriksaanpemeriksaan RNA
HIV plasma yang sensitif akan membatasi kemungkinan munculnya
varian-varian HIV resisten-penyakit. Karena itu, tujuan terapi
seyogyanya adalah penekanan replikasi HIV semaksimal yang dapat
dicapai. Page | 19
5. Cara paling efektif untuk menekan replikasi virus dalam
jangka panjang lama dalah pemberian secara simultan kombinasi
obat-obat anti-HIV yang efektif yang belum pernah diterima oleh
pasien dan tidak memperlihatkan resistensi silang dengan obat
antiretrovirus yang pernah diterima oleh pasien. 6. Setiap obat
antiretrovirus yang digunakan dalam regimen terapi kombinasi harus
selalu dipakai sesuai jadwal dan dosis yang optimal. 7. Jumlah dan
mekanisme kerja obat-obat antiretrovirus efektif yang tersedia
masih terbatas, karena telah terbukti adanya resistensi-silang di
antara obatobat spesifik. Karena itu, setiap perubahan dalam terapi
antiretrovirus meningkatkan pembatasan-pembatasan terapeutik di
masa mendatang. 8. Perempuan harus mendapat terapi antiretrovirus
yang optimal, tanpa memandang status kehamilan. 9. Prinsip terapi
antiretrovirus yang sama juga berlaku pada anak, remaja dan dewasa
yang terinfeksi HIV, walaupun terapi pada anak yang terinfeksi oleh
HIV memerlukan pertimbangan farmakologik, virologik, dan imunologik
tersendiri. 10. Individu yang terdeteksi pada infeksi HIV akut
harus diterapi dengan terapi antiretrovirus kombinasi untuk menekan
replikasi virus sampai ke kadar batas deteksi
pemeriksaanpemeriksaan RNA HIV plasma sensitif. 11. Individu yang
terinfeksi oleh HIV, walaupun dengan kadar virus yang dibawah batas
yang dapat dideteksi, harus terap dianggap menular. Dengan
demikian, para pasien harus diberi penyuluhan untuk menghindari
perilaku seksual dan penyalahgunaan obat yang berkaitan dengan
penularan atau akuisisi HIV dan patogen menular lainnya.
B. Regimen Pengobatan yang Direkomendasikan dan Regimen yang
Dihindari Obat yang direkomendasikan yaitu zidovudine (ZDV) yang
menjadi bagian dari beberapa regimen untuk pengobatan wanita hamil,
kecuali terdapat dokumentasi riwayat keparahan ZDV-berhubungan
dengan toksisitas atau resisten. Untuk wanita yang memiliki riwayat
keracunan ZDV atau resisten, regimen sebaiknya termasuk sedikitnya
1 obat antiretroviral yang melewati plasenta untuk memberikan fetus
preexposure prophylaxis. Obat antiretroviral lainnya yang melewati
plasenta manusia termasuk didanosine, lamivudine (3TC), tenofovir,
nevirapine (NVP), dan lopinavir. Beberapa dari inhibitor protease
juga memiliki variabel yang sedikit ke bagian plasenta[21]. Page |
20
Ketika memilih regimen yang sesuai untuk wanita hamil, kombinasi
regimen antiretroviral terdiri dari 3 obat yang direkomendasikan.
Pada umumnya, prinsip pedoman pengobatan untuk wanita yang tidak
hamil sebaiknya benar-benar dipertimbangkan. Harus terdapat dua
kekuatan inhibitor nukleosida reversetranskriptase dengan inhibitor
nonnukleosida reverse-transkriptase atau inhibitor pratease yang
cocok. Efavirenz pada umumnya dihindari selama trimester pertama
kehamilan, karena menyangkut teratogenitas. NVP tidak
direkomendasikan untuk wanita dengan jumlah sel CD4 > 250
sel/mm3 karena meningkatkan risiko terjadinya ruam dan
hepatotoksik. Tetapi jika si wanita telah toleransi terhadap NVP-
terdiri dari regimen sebelumnya saat kehamilan, regimen ini
sebaiknya dilanjutkan selama kehamilan[21]. Kombinasi dari
stavudine dan didanosine sebaiknya dihindari selama kehamilan
karena berpotensi menyebabkan toksisitas mitokondrial dan asidosis
laktat. Pada umumnya, monoterapi sebaiknya dihindari selama
kehamilan karena berpotensi dalam menyebabkan perkembanagan
resistensi antiretroviral.
Pengobatan ZDV intravena intrapartum direkomendasikan untuk
semua wanita yang terinfeksi HIV kecuali terdapat riwayat
hipersensitif terhadap ZDV[21]. Yang paling utama, dan mungkin
sangat penting, langkah dalam mencegah MTCT merupakan uji umum HIV
dari seemua wanita yang hamil untuk diidentifikasi mana yang
berisiko menularkan virus untuk janinnya. Di negara berkembang,
terapi kombinasi antiretroviral direkomendasikan selama masa
kehamilan tanpa memperhatikan jumlah sel CD4 atau jumlah virus
untuk menurunkan risiko penularan HIV kepada fetus. Jadwal operasi
caesar direkomendasikan untuk wanita hamil dengan muatan plasma RNA
HIV > 1000 kopi/ mL. Di United States dan negara berkembang
lainnya, hindarkan pemberian air susu direkomendasikan untuk
menurunkan lebih lanjut risiko penularan perinatal. Dari sumber-
negara terbatas, penelitian yang sederhana dan singkat dari regimen
antiretroviral juga berperan dalam mengurangi transmisi MTCT.
Terapi yang optimal untuk infeksi maternal dalam kehamilan, dan
perawatan untuk janin akan sukses dengan pendekatan multidisiplin
untuk merawat wanita hamil yang terinfeksi HIV[21].
Page | 21
Keterangan untuk obat yang digunakan pada pasien HIV/AIDS[23]:
1. 3TC (nama dagang) Lamivudine 150 mg. Indikasi Pengobatan HIV
pada dewasa dengan progresive immunodefeciency dengan atau tanpa
pengobatan sebelumnya dengan antiretroviral, infeksi HIV pada
anak-anak (umur 3 bulan) dengan progresif immunodefeciency dengan
atau tanpa pengobatan sebelumnya dengan retrovir. 2. Norvir (nama
dagang) Ritonavir a. Indikasi Monoterapi untuk infeksi HIV. b.
Kontra indikasi Hipersensitifitas c. Efek samping Astenia, gangguan
GI dan neurologi, termasuk mual, muntah, diare, anoreksia, nyeri
abdomen, gangguan pengecapan, prestesis perifer dan sirkum oral. d.
Dosis Kapsul / solid sehari 2 x 600 mg 3. Reyataz (nama dagang)
Atazanavir sulfat a. Indikasi Terapi untuk infeksi HIV-1 dalam
kombinasi dengan obat antiretroviral lain. b. Kontra indikasi
Hipersensitifitas terhadap atazanavir, kombinasi dengan midazolam,
dihiroergotamin, ergotamin, ergonovin, metilergonovin, cisapride,
dan pimozid.
Page | 22
c. Efek samping Sakit kepala, mual, ikterus, muntah, diare,
nyeri abdomen, pusing, insomnia, gangguan saraf perifer, ruam
kulit. d. Dosis Dewasa (pasien yang belum pernah mendapat terapi)
sehari 1 x 400 mg, dewasa (pasien yang sudah pernah mendapat
terapi) sehari 1 x 300 mg, pasien ditambah dengan ritnovir sehari 1
x 100 mg + efavirenz.
Pengobatan untuk ibu hamil dengan HIV salah satunya dapat
menggunakan obat anti-HIV dimana menurut penelitian dapat mencegah
terjadinya transmisi virus HIV kepada janin dengan cara penggunaan
sebagai berikut[23]: 1. Selama kehamilan, setelah trimester
pertama, diberikan anti-HIV sedikitnya tiga anti-HIV yang berbeda
yang dikombinasikan (atripla). 2. Selama labor dan persalinan,
diberikan AZT (zidovudine) IV, kemudian diberikan anti-HIV yang
lain secara oral. 3. Setelah melahirkan, diberikan cairan AZT
selama 6 minggu.
C. Terapi Obat-obat bekerja pada reverse transcriptase atau
mengganggu sintesis DNA provirus. Pada wanita hamil yang terinfeksi
HIV, jumlah CD4 harus diukur pada saat datang untuk perawatan
pranatal, dengan pengulangan pemeriksaan sebagai berikut. a. >
600 sel/L b. 200-600 sel/L c. < 200 sel/L : tidak diperlukan
pengulangan pemeriksaan : diulang setiap trimester : diulang setiap
3 bulan untuk memonitor terapi antiretrovirus atau memulai terapi
preventif baru melawan infeksi seperti yang diindikasikan oleh
gejala klinis. Apabila jumlah CD4 < 500 sel / L, wanita hamil
harus ditawarkan terapi antiretrovirus dengan zidovudine.
Page | 23
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati HIV 1. Zidovudine
(Retrovir, ZVD, AZT) a. Titer antigen p24 menurun b. Sel T CD4
meningkat c. Infeksi oportunistik menurun d. Perkembangan AIDS
melambat, dan daya tahan hidup meningkat e. Penggunaan pada klien
yang terinfeksi HIV tak bergejala masih diperdebatkan f. Resistensi
obat sering kali terjadi g. Efek samping terdiri atas anemia,
neutropenia, mual, muntah, sakit kepala, letih, kebingungan,
malaise, miopati, dan hepatitis h. Teratogenisitas dalam kehamilan
belum dipelajari dengan baik, tetapi beberapa data menemukan bahwa
obat ditoleransi dengan baik dan tidak dihubungankan dengan
malformasi janin atau efek lain yang tidak diinginkan 2. Didanosine
(DDI, Videx) a. Digunakan pada klien yang tidak dapat menggunakan
zidovudine b. Menurunkan antigen p24 c. Meningkatkan sel T CD4 d.
Menyebabkan pertambahan berat badan pada klien AIDS dan ARC e.
Perburukan klinis melambat jika digunakan setelah zidovudine f.
Efek samping Neuropati perifer, pankreatitis akut, gangguan
gastrointestinal, dan kegagalan hepar 3. Zaicitabine (DDC, Hivid)
a. Digunakan pada klien yang penyakitnya telah lanjut b. Sering
kali digunakan dalam bentuk kombinasi dengan zidovudine c. Efek
samping Neuropati perifer, ruam, stomatitis, ulkus esofagus, demam,
dan pankreatitis
Page | 24
2.10.
Pencegahan Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui
empat cara, mulai saat
hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu[17] a.
Penggunaan antiretroviral selama kehamilan. b. Penggunaan
antiretroviral saat persalinan dan bayi-bayi yang baru dilahirkan.
c. Penatalaksanan selama menyusui
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody
terhadap virus tersebut hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir
karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus plasenta. Karena itu,
uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG,
merupakan hal yang sia-sia. Sebab, uji ini tidak dapat membedakan
antibody bayi dari antibody ibu. Sebagian besar dari bayi ini,
seiring dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibody ibu dan
juga tidak membentuk sendiri antibody terhadap virus, yang
menunjukkan status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat
diketahui melalui pemeriksaanpemeriksaan seperti biakan virus,
antigen P24, atau analisis PCR untuk RNA atau DNA virus. PCR DNA
HIV adalah uji virologik yang dianjurkan karena sensitif untuk
mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus[20]. Selama ini,
mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum
diketahui pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada
populasi yang tidak menyusui dan tidak diobati di negara-negara
industri sampai sekitar 40% pada populasi serupa di negara-negara
yang sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi
HIV pada bayi terjadi in utero dan 80% terjadi selama persalinan
dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat terjadi melalui
kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15%
penularan perinatal[20]. Faktor ibu yang berkaitan dengan
peningkatan risiko penularan mencakup penyakit ibu yang lanjut,
kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang
rendah. Pada tahun 1994, studi 076 dari The Pediatric AIDS Clinical
Trials Group (PACTG) membuktikan bahwa pemberian zidovudin kepada
perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke
bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%.
Page | 25
Di Amerika Serikat, insiden AIDS yang ditularkan pada masa
perinatal turun 67% dari tahun 1992 hingga 1997, akibat uji HIV ibu
prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin. Sekitar
20% perempuan terlibat kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan
dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih
banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain
pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama masa hamil,
tindakan-tindakan lain yang dianjurkan untuk mengurangi risiko
penularan HIV ibu kepada anak antaea lain[20]: a. Seksio sesaria
sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka
penularan sebesar 50%); b. Pemberian zidovudin intravena selama
persalinan dan pelahiran; c. Pemberian sirup zidovudin kepada bayi
setelah lahir; d. Tidak memberi ASI
2.11.
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian. 1. Riwayat kehamilan Tes HIV positif, riwayat
perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat. 2. Penampilan umum
Pucat, kelaparan. 3. Gejala subyektif Demam kronik, dengan atau
tanpa menggigil, keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah,
anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur. 4. Psikososial
Kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup,
ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis. Status mental Marah atau
pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang interest
pada lingkungan sekitar, gangguan proses pikir, hilang memori,
gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi. 5. HEENT
Nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus,
ulser pada bibir atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia,
epsitaksis. 6. Neurologis Gangguan refleks pupil, nystagmus,
vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia. Page |
26
7. Muskuloskletal Focal motor defisit, lemah, tidak mampu
melakukan ADL. 8. Kardiovaskuler Takikardi, sianosis, hipotensi,
edem perifer, dizziness. 9. Pernapasan Dyspnea, takipnea, sianosis,
SOB, menggunakan otot bantu pernapasan, batuk produktif atau non
produktif. 10. Gastrointestinal Intake makan dan minum menurun,
mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia, perut kram,
hepatosplenomegali, kuning. 11. Gu Lesi atau eksudat pada genital,
12. Integument Kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie
positif.
B. Diagnosa keperawatan 1. Resiko gangguan tumbuh kembang janin
berhubungan dengan status nutrisi ibu yang jelek 2. Resiko infeksi
berhubungan dengan immunodefesiensi 3. Intoleransi aktivitas
berhubungan dengan immunodefesiensi 4. Ketidaktahuan yang
berhubungan dengan cara pencegahan penularan HIV 5. Kecemasan
berhubungan dengan ketakutan kecacatan dan penularan pada
janin.
C. Intervensi Keperawatan 1. Diagnosa 1 Resiko gangguan tumbuh
kembang janin berhubungan dengan status nutrisi ibu yang jelek a.
Kriteria hasil b. Intervensi Keperawatan 1) Pantau BB, asupan
makanan, hasil pengukuran antropometrik. R/ memantau perubahan dan
mengevaluasi intervensi 2) Menjelaskan pentingnya nutrisi untuk
tumbuh kembang janin. R/ mencegah pasien terpapar oleh kuman
patogen yang diperoleh di rumah sakit. Page | 27
3) Kaji faktor-faktor yang mengganggu asupan oral seperti
anoreksia, infeksi kandida pada ulut serta esophagus,mual, nyeri,
kelemahandan keadaan mudah letih serta intoleransi laktosa. R/
mencegah bertambahnya infeksi. 4) Anjurkan pasien meakan makanan
yang mudah ditelan dan menghindari akanan yang kasar, pedas,
ataupun lengket serta terlalu panas dan dingin. R/ meyakinkan
diagnosis akurat dan pengobatan. 5) Anjurkan pasien melakukan
hygiene oral sebelum dan sesudah makan. R/ mempertahankan kadar
darah yang terapeutik, dan pasien akan bebas infeksi oportunistik
dan komplikasinya.
2. Diagnosa 2 Resiko infeksi berhubungan dengan
immunodefesiensi. a. Kriteria Hasil Infeksi HIV tidak
ditransmisikan, tim kesehatan memperhatikan universal precautions
dengan kriteriaa kontak pasien dan tim kesehatan tidak
terpapar HIV, tidak terinfeksi patogen lain seperti TBC. b.
Intervensi 1) Pantau tanda-tanda infeksi. R/ pasien dan keluarga
mau dan memerlukan informasikan ini.
2) Pantau hasil laboratorium yang menunjukkan infeksi R/
mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain. 3) Penyuluhan pasien
mencangkup strategi pencegahan infeksi
3. Diagnosa 3 Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
immunodefesiensi a. Kriteria Hasil Pasien berpartisipasi dalam
kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan takikardi selama
aktivitas. b. Intervensi 1) Monitor respon fisiologis terhadap
aktivitas. R/ respon bervariasi dari hari ke hari. 2) Berikan
bantuan perawatan yang pasien sendiri tidak mampu. Page | 28
R/ mengurangi kebutuhan energi. 3) Jadwalkan perawatan pasien
sehingga tidak mengganggu istirahat. R/ ekstra istirahat perlu jika
karena meningkatkan kebutuhan metabolik.
4. Diagnosa 4 Ketidaktahuan yang berhubungan dengan cara
pencegahan penularan HIV a. Krtiteria Hasil Pasien mempunyai intake
kalori dan protein yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol, pasien
makan TKTP, serum albumin dan protein dalam batas normal, BB
mendekati seperti sebelum sakit. b. Intervensi 1) Beritahukan
kepada keluarga dan sahabat-sahabat pasien tentang carcara
penularan AIDS. Bicarakan masalah ketakutan dan kesalahpahaman
dengan seksama. R/ intake menurun dihubungkan dengan nyeri
tenggorokan dan mulut. 2) Sampaikan tindakan penjagaan yang
diperlukan untuk mencegah penularan virus HIV, termasuk penggunaan
kondom selama melakukan hubungan seksual. R/ menentukan data
dasar.
5. Diagnosa 5 Kecemasan berhubungan dengan ketakutan kecacatan
dan penularan pada janin. a. Kriteriaa hasil Pasien merasa nyaman
dan mengontrol diare, komplikasi minimal dengan kriteria perut
lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal, kram perut
hilang b. Intervensi 1) Kaji tingkat kecemasan pasien. R/
mendeteksi adanya darah dalam feses 2) Kaji pengetahuan pasien
tentang penularan HIV pada janinnya. R/ hipermotiliti umumnya
dengan diare. Page | 29
3) Jelaskan pada pasien cara penularan HIV dari ibu ke janin dan
bayi yang dilahirkan R/ mengurangi motilitas usus yang pelan, dan
buruknya perforasi pada intestinal 4) Jelaskan tentang cara
pencegahan penularan dengan pengobatan dan pertolongan persalinan
yang benar. R/ menghilangkan distensi
D. Implementasi No. Dx 1. 3. 5. Page | 30 Implementasi Memonitor
tanda-tanda infeksi baru. Menggunakan teknik aseptik pada setiap
tindakan invasif. Cuci tangan sebelum memberikan tindakan.
Menganjurkan pasien menggunakan metoda mencegah terpapar terhadap
lingkungan yang patogen. Mengumpulkan spesimen untuk tes lab sesuai
order. Mengatur pemberian antiinfeksi sesuai order
2.
Menganjurkan
pasien
atau orang penting lainnya metode mencegah
transmisi HIV dan kuman patogen lainnya. Menggunakan darah dan
cairan tubuh precaution bial merawat pasien. Memonitor respon
fisiologis terhadap aktivitas. Memberikan bantuan perawatan yang
pasien sendiri tidak mampu Menjadwalkan perawatan pasien sehingga
tidak mengganggu isitirahat. 4. Memonitor kemampuan mengunyah dan
menelan. Memonitor BB, intake dan output. Mengatur antiemetik
sesuai order Merencanakan diet dengan pasien dan orang penting
lainnya. Mengkaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.
Mengauskultasi bunyi usus Mengatur agen antimotilitas dan psilium
(Metamucil) sesuai order
6.
Memberikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside Mengkaji
koping keluarga terhadap sakit pasein dan perawatannya Membiarkan
keluarga mengungkapkana perasaan secara verbal Mengajarkan kepada
keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.
E. Evalusi Setelah diberikan asuhan keperawatan kepada klien,
kebutuhan klien sedikit demi sedikit terpenuhi.
Page | 31
BAB III PENUTUP
a. Kesimpulan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah
suatu penyakit yang ditimbulkan sebagai dampak berkembang biaknya
virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) di dalam tubuh manusia,
yang mana virus ini menyerang sel darah putih (sel CD4) sehingga
mengakibatkan rusaknya sistem kekebalan tubuh. Hilangnya atau
berkurangnya daya tahan tubuh membuat penderita mudah sekali
terjangkit berbagai macam penyakit termasuk penyakit ringan
sekalipun. Wanita hamil lebih berisiko tertular HIV dibandingkan
dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil
lebih sering dapat menularkan HIV kepada mereka yang tidak
terinfeksi daripada wanita yang tidak hamil. HIV dapat ditularkan
melalui transmisi seksual (homoseksual, heteroseksual) dan
transmisi non seksual (transmisi parenteral, transmisi perinatal).
HIV dapat menular dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa
upaya pencegahan, kurang lebih 30 persen bayi dari ibu yang
terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Infeksi dapat terjadi kapan
saja selama kehamilan. Namun, biasanya terjadi beberapa saat
sebelum atau selama persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila
proses persalinan berlangsung lama. Selama persalinan, bayi yang
baru lahir terpajan darah ibunya. Meminum air susu dari ibu yang
terinfeksi dapat juga mengakibatkan infeksi pada bayi.
b. Saran Semakin meningginya angka ibu hamil dengan HIV-AIDS
maka setiap perawat harus memiliki perawatan klinis. Setiap perawat
harus memiliki pengetahuan tantang pencegahan, pemeriksaan,
pengobatan, dan kronisitas dari penyakit dalam rangka untuk
memberikan perawatan yang berkualitas tinggi kepada orang-orang
dengan atau berisiko untuk HIV. Ibu hamil harus dapat mencegah
terjadinya HIV-AIDS baik sebelum, selama, atau sesudah hamil.
Karena sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat
membantu memecahkan masalah penanggulangan HIV/AIDS belum
ditemukan.
Page | 32
DAFTAR PUSTAKA
Trsetianingsih Y. 2011. Keperawatan Ibu Hamil. Yogyakarta:
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES A. Yani.
Hartati Nyoman, Suratiah, Mayuni IGA Oka. Ibu Hamil dan
HIV-AIDS. Gempar: Jurnal Ilmiah Keperawatan Vol. 2 No.1 Juni 2009.
Doku Paul Narh. Parental HIV/AIDS status and death, and Childrens
Phychological Wellbeing. International Journal of Mental Health
system 2009;3(26):1-8
Djuanda A, Djuanda S, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin. Edisi kedua. Jakarta: Fakultas kedokteran
Universitas indonesia. 1993.
Buku keperawatan maternitas kesehatan wanita, bayi, &
Keluarga volume 1 edisi 18. Reeder Martin Koniak-Griffin. EGC.
Jakarta
http://www.remajaindonesia.org/forum/topic/77Risiko_Penularan_HIV_dari_Ibu_ke_Bayi_Dapat_Dikurangi.html
http://maternitas-askep.blogspot.com/2010/06/ibu-hamil-dengan-aids.html
http://yopangumilar.blogspot.com/2012/03/makalah-askep-pada-ibu-hamil-dengan.html
Page | 33
LAMPIRAN
AIDS PADA IBU HAMIL/KEHAMILANInfeksi pada kehamilan adalah
penyebab morbiditas ibu dan
neonatal yang sudah diketahui. Banyak kasus dapat dicegah, dan
dalam makalah ini akan dibahas mengenai penyakit infeksi yang
sering ditemukan yang dapat terjadi dalam kehamilan.
Periode-periode penjangkitan HIV pada ibu hamil:periode
prenatal,periode intrapartum, periode postpartum
Page | 34
Page | 35