Difteri Pada AnakAtvionita Sinaga102012369Mahasiswi Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Tingkat 1Alamat
Korespondensi Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
[email protected]
Abstrak:Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat
menular (contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi
bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi
saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian
antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan
difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang
tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui
batuk dan bersin penderita. Penderita difteri umumnya anak-anak,
usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat
berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.Kata Kunci :
Difteri, Abstrac:Diphtheria is a highly contagious disease
(contagious disease). The disease is caused by the bacterium
Corynebacterium diphtheriae infection, ie bacteria that infect the
respiratory tract, especially the tonsils, nasopharynx (the part
between the nose and pharynx / throat), and larynx. Transmission of
diphtheria can contact through close relationships, through
contaminated air by career or patients who will recover, as well as
through coughing and sneezing patients. Patients generally
diphtheria children, under 15 years of age. Reported 10% of cases
of diphtheria can be fatal, ie to cause death.Keywords:
Diphtheria
I. PENDAHULUANDifteria adalah suatu penyakit bakteri akut
terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, ada kalanya
menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang
konjunngtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh
cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai
suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah
inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria
faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar
limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan
sedang ditandai dengan pembengkakan dan edema dileher dengan
pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi
obstruksi jalan napas. 1Difteri hidung biasanya ringan dan kronis
dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi
(ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus
terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block
dan kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu
setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit
bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit
yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari
impetigo.Penderita difteri umumnya anak-anak, usia dibawah 15
tahun. Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu
sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad
ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan
anak-anak muda. Penyakit ini juga dijmpai pada daerah padat
penduduk dingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan diri sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan
penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyptheria, Pertusis,
Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksi imunisasi difteri
diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh
agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak
mendapatkan vaksi difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang
menyerang saluran pernafasan ini.1II. TINJAUAN PUSTAKADi dalam
proses penelusuran suatu penyakit, kita harus mempunyai pengetahuan
mengenai keluhan-keluhan yang dialami pasien serta langkah-langkah
dalam mendiagnosa suatu penyakit.
2.1 AnamnesaPada anamnesis kita tanyakan identitas pasien
terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan riwayat penyakit
sekarang, anamnesa pada riwayat penyakit sekarang Salah satu gejala
yang sering dijumpai adalah sesak nafas, biasanya disertai dengan
batuk pilek demam dan nyeri pada saat menelan, kemudian tanyakan
apakah penderita pernah berkontak dengan penderita difteri lain dan
tanyakan bagaimana riwayat imunisasi pasien apakah lengkap atau
tidak.2Keluhan dapat timbul bagi penyakit yang membahayakan jiwa
ataupun penyakit ringan yang bisa sembuh sendiri. selain anamnesis
riwayat penyakit sekarang tanyakan apakah dikeluarganya ada yang
terkena penyakit yang sama seperti ini, kemudian tanyakan pada
pasien bgaimana kehidupan sosial, yang dimaksud dengan kehidupan
sosial adalah pola makan apakah pasien suka makan makanan yang
kurang higienis. Kemudian tanyakan pasien apakah sudah pernah
berobat sebelumnya, dan setelah amanesis bisa dilanjutkan dengan
pemerikasaan fisik.2
2.2 Pemeriksaan Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik, kita
sebelumnya harus memeriksa pemeriksaan umum yaitu tanda-tanda vital
terlebih dahulu. Tanda tanda vital mencakup suhu, tekana darah,
frekuensi napas, nadi dan sebagainya.1) Pada difteri tonsil-faring
terdapat malaise, suhu tubuh lebih dari 38,9oC, terdapat
pseudomembran pada tonsil dan dinding faring, serta bullneck.2)
Pada difteri laring terdapat stridor, suara parau, dan batuk
kering, sementara pada obstruksi laring yang besar terdapat
retraksi supra sternal, subkostal, dan supra klavikula.3) Pada
difteri hidung terdapat pilek ringan, sekret hidung yang
serosanguinus sampai mukopurulen, dan membran putih pada septum
nasi.2
Pemeriksaan Penunjanga. Schick testTes kulit ini digunakan untuk
menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk
diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian.
Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan
intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1
ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul
vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu.
Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick
dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak
didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada
orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi.
Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin
antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.2b. Pemeriksaan
laboratoriumPada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar
hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah
eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albumin ringan.
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan
kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan. Pemeriksaan
bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah
membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood Lekosit
dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis
sel darah merah Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis
menunjukkan sedikit peningkatan protein.2
2.3 DiagnosisDiagnosis dini difteri sangat penting karena
keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa
penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan
gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. karena
preparat smear kurang dapat di percaya, sedangkan untuk biakan
membutuhkan waktu beberapa hari.Adanya membran di tenggorok tidak
terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga
dapat ditemui adanya membrane, tetapi membran pada difteri agak
berbeda dengan membran penyakit lain,warna membran pada difteri
lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak
fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Bila diangkat terjadi
pendarahan.biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.3
Different DiagnosisPada difteri nasal perdarahan yang timbul
Harus dibedakan dengan perdarahan akibat luka dalam hidung,korpus
alienium atau sifilis kongenital.a. Abses PeritonsilAbses
peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling
sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi
kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa
menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan
perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan
multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan
predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses
peritonsiler.Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang
bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang
paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus
pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus
aureus, dan Haemophilus influenzae. Selain gejala dan tanda
tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga
(otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore),
banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan
kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan
kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. Bila ada nyeri di leher
(neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in neck
mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot
tengkuk (cervical muscle inflammation).3
b. Abses Retrofaringeal Abses Retrofaringeal adalah suatu
penimbunan nanah di dalam jaringan tenggorokan bagian belakang.
Abses biasanya disebabkan oleh infeksi streptokokus yang berasal
dari amandel, tenggorokan, sinus, adenoid, hidung atau telinga
tengah.Kadang cedera pada tenggorokan bagian belakang akibat
tertusuk duri ikan juga bisa menyebabkan abses retrofaringeal.
Meskipun jarang, abses retrofaringel juga bisa disebabkan oleh
tuberkulosis.Abses retrofaringeal biasanya menyerang anak yang
berumur kurang dari 5 tahun. Jaringan pada tenggorokan bagian
belakang anak-anak memungkinkan terbentuknya rongga berisi nanah
(dimana hal ini tidak terjadi pada orang dewasa).Infeksi di daerah
ini bisa terjadi selama atau segera setelah infeksi tenggorokan
oleh bakteri. Gejalanya berupa, Riwayat nyeri tenggorokan, infeksi
hidung atau abses gigi, demam tinggi, nyeri tenggorokan hebat,
pembengkakan kelenjar getah bening leher, kesulitan menelan,
ngiler, gangguan pernafasan, retraksi interkostal (penarikan otot
sela iga ketika penderita berusaha keras untuk bernafas), stridor
(suara pernafasan yang kasar).3
Working DiagnosisDifteri Difteria adalah suatu penyakit infeksi
mendadak yang di sebabkan oleh kuman corynebacterium
diphtheria.mudah menular dan yang di serang terutama traktus
respiratorius bagian atas dengan tanda khas terbentuknya
pseudomembran dan di lepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan
gejala umum dan lokal.
2.4 Klasifikasi Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri
dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:a) Infeksi ringan bila pseudomembran
hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri
menelan.b) Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai
faring (dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan
pembengkakan pada laring.c) Infeksi berat bila terjadi sumbatan
nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti
miokarditis (radang otot jantung), paralisis(kelemahan anggota
gerak) dan nefritis (radang ginjal).3Disamping itu, penyakit ini
juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien,
yaitu:1. Difteri hidungGejala paling ringan dan paling jarang (2%).
Mula-mula tampak pilek, kemudian secret yang keluar tercampur darah
sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran
dapat mencapai faring dan laring.2. Difteri faring dan tonsil (
Difteri Fausial ).Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat
karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Paling
sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan
pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada
penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang
tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu
tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan
yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan
ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi (bulls
neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor
inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.4
3. Difteri laring dan trakeaLebih sering merupakan penjalaran
difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala gangguan
nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih
berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi
suprasternal serta epigastrium. Ada bulls neck, laring tampak
kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh
pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu
dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.4. Difteri
kutaneus dan vaginalDengan gejala berupa luka mirip sariawan pada
kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak
seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah
konjungtiva dan umbilikus.5. Diphtheria Kulit, Konjungtiva,
TelingaDiphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan
terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun.
Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,
edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa
otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.4
2.5 Etiologi Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri
gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak
membentuk spora. Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau
biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung
dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan
palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi
mirip huruf cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media
sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit
atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat
hidup bersama-sama dengan kuman diphteroid saprofit yang mempunyai
morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang
diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen,
kanji,glukosa, maltosa dan sukrosa.5Basil ini hanya tumbuh pada
medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium tellurite, medium
fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini
tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular,
berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat.Menurut bentuk,
besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis
basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu: 1. Gravis, koloninya
besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan
hemolisis eritrosit.2. Mitis, koloninya kecil, halus, warna hitam,
konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.3. Intermediate,
koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan
dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.Jenis gravis dan intermediate
lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis
gravisialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen,
sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa
memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda.5Sebagian
besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis,
kadang-kadang ada bentuk grafis atauintermediate yang tidak virulen
terhadap manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi
non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di
laboratorium atau karena pengaruh pemberian bakteriofag. Ciri khas
C.diphteriaeadalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo
maupunin vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi
toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa
diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang
mengandung toxigene.Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis
mitis dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koleni dalam
biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.5Basil dapat
membentuk : Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan
berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin,
leukosit, jaringan nekrotik dan basil. Eksotoksin yang sangat ganas
dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan
memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot
jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose (MLD)
toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml toksin dapat
membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji
Schick.Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri.
Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan
beberapa jenis bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat kuat,
yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa
inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada
pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai
beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah
mengering.5
2.6 Epidemiologi 1. Person (Orang)Difteri dapat menyerang
seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-anak yang
belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di
bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri
merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.Data
menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak
mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100
kelahiran anak akan meninggal karena penyakit campak, 2 dari 100
kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100
kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari
setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.6
2. Place (Tempat)Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat
penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan
penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan
Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi
difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem
kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak
yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.3. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa
mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh
kita tidak mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu
kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit
difteri.6
2.7 Patofisiologi1. Tahap InkubasiKuman difteri masuk ke hidung
atau mulut dimana baksil akan menempel di mukosa saluran nafas
bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan
biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan.
Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa
menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan
pernafasan.Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk
penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh
bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin
atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung
dan saraf.Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara
2-5 hari. Sedangkan masa penularan beragam, dengan penderita bisa
menularkan antara dua minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat
lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium
karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.62. Tahap
Penyakit DiniToksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya
saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada
minggu pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai
minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan
tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan
tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi
kapan saja selama minggupertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan
bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian
mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan
buruk, tak jarang difteri juga menyetang kulit.3. Tahap Penyakit
lanjutPada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran,
yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati,
bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan
yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika
membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya
akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara
atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara,
sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.6
2.8 Manifestasi KlinisTanda dan gejala difteri tergantung pada
focus infeksi, status kekebalan dan apakah toksin yang
dikeluarkanitu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa
inkubasi difteri biasanya 2-5 hari , walaupun dapat sngkat hanya
satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan
penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokanyang
ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8 C 38,9C. Pada
mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah
terjadi membrane putih/keabu-abuan.7Dalam 24 jam membrane dapat
menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula
membrane tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal,
abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan
masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas
jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya, shingga sukar
diangkat sehingga jika diangkat secara paksa menimbulkan
perdarahan. Jaringan yang tidak ada membrane biasanya tidak
membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan
menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak
diberikan.7Gejala local dan sistemik secara bertahap menghilang dan
membrane akan menghilang dan membrane akan menghilang. Bentuk
difteri antara lain bentuk Bullneck atau malignant difteri. Bentuk
ini timbul dengan gejala gejala yang lebih berat dan membrane
secara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema
tonsil dan uvula dapat timbul, dapat disertai nekrosis.
Pembengkakan kelenjar leher, infiltrate ke dalam sel-sel jaringan
leher, dari satu telinga ke telinga yang lain dan mengisi bagian
bawah mandibula sehingga member gambaran bullneck.7 Gejala umum,
kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan.a.
Gejala local, yang tamapak berupa tonsil yang membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas, dan dapat
menyumbat saluran nafas. Pseudomembran ini melekat erat pada
dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini infeksi berjalan terus, kelenjar limfe
leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai
sapi( bullneck ). Bila difteria mengenai hidung (hanya 2% dari
jumlah pasien difteria) gejala yang timbul berupa pilek, sekret
yang keluar bercampur darah yang berasal dari pseudomembran dalam
hidung. Biasanya penyakit ini akan meluas ke bagian tenggorak pada
tonsil, faring dan laring.b. Gejala akibat eksotoksin yang
dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh yaitu miokarditis, mengenai saraf cranial
menyebabakan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan.7
2.9 Komplikasi1. Gangguan pernapasan C. Diphtheriae dapat
menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di daerah hidung dan
tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih
keabu-abuan (psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati,
bakteri dan zat lainnya. Membran ini dapat menghambat pernapasan.2.
Kerusakan jantung Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui
aliran darah dan merusak jaringan lain dalam tubuh Anda, seperti
otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti radang pada
otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis
muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang
menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak. 3.
Kerusakan saraf Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf
khususnya pada tenggorokan, di mana konduksi saraf yang buruk dapat
menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan saraf pada lengan dan kaki
juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi lemah. Jika racun
ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas, maka
otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka
diperlukan alat bantu napas.7
2.10 Penatalaksanaana. Isolasi dan karantina Penderita di
isolasi sampai biakan negative tiga kali berturut-turut setelah
masa akut terlampaui. Kontak penderita di isolasi sampai
tindakan-tindakan berikut terlaksana:a) Biakan hidung dan
tenggorokb) Seyogyanya dilakukan tes SCHICK (tes kerentanan
terhadap diftery)c) Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa
tunas terlewati.Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster dengan toksoid diftery.Bila kultur (-) / SCHICK test - :
bebas isolasi.Bila kultur + / SCHICK test - : pengobatan karierBila
kultur + / SCHICK test + / gejala - : anti toksin diftery +
penisilinBila kultur - / SCHICK test + : toksoid (imunisasi
aktif).
b. Pengobatan UmumTujuan pengobatan penderita difteria adalah
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan
mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi
penyerta dan penyulit difteria.Pasien diisolasi sampai masa akut
terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali
berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan humidifier, jamin kemudahan defekasi. Jika perlu
berikan obat-obat pembantu defekasi (klisma, laksansia,stool
softener) untuk mencegah mengedan berlebihan, bila anak gelisah
beri sedative : diazepam/luminal, pemberian antitusif
untukmengurangi batuk (difteri laring), aspirasi sekret secara
periodic terutama untuk difteri laring.8Bila ada tanda-tanda
obstruksi jalan nafas berikan oksigen, penderita tenang dengan
cekungan ringal suprasternal, retraksi suprasternal lebih dalam +
cekungan epigastrium dan penderita gelisah, retraksi supra dan
infrasternal, penderita gelisah, penderita sangat gelisah,
ketakutan, muka pucat kelabu dan akan kehabisan tenaga, lalu tampak
seolah-olah tenang, tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia
Trakeostomi hanya diindikasikan pada tingkat II dan III.
c. Pengobatan Khusus1) Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka
kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan
lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat
sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau
uji mata terlebih dahulu.Dosis diberikan berdasar atas luasnya
membrane dan beratnya penyakit.a) 40.000 IU untuk difteri sedang,
yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh tonsil secara
unilateral/bilateral.b) 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas
membran menutupi hingga melewati tonsil, meluas ke uvula, palatum
molle dan dinding faring.c) 120.000 IU untuk difteri sangat berat,
yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring dan faring.SAD
diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara
melarutkannya dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam
waktu 2 jam (sekitar 34 tetes/menit). Oleh karena SAD merupakan
suatu serum heterolog maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik
pada pemberiannya.82) Antibiotik Antibiotik diberikan bukan sebagai
pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan
menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan
eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin
prokain.a. Penicillin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari.
Maksimal 3 gram/harib. Eritromisin (bila alergi PP) 50 mg/kg BB
secara oral 3-4 kali/hari selama 10 hari.
3) Kortikosteroid Untuk mencegah timbulnya komplikasi
miokarditis yang sangat membahayakan, Dianjurkan pemberian
kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.a. Indikasi
: Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull
neck)b. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.c. Dexamethazon
0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk toksemia)
c. Pengobatan Penyulit Pengobatan terutama ditujukan untuk
menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh
toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas
serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi
tindakan trakeostomi.d. Pengobatan Kontak Pada anak yang kontak
dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut
terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis
diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan
serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi
dasar diberikan booster toksoid difteria.
e. Pengobatan Karier Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan
keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil
difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin
40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.
2.12 Pragnosis Prognosis untuk penderita difteri tergantung pada
virulensi organisme (subspesies gravis mempunyai kematian
tertinggi), umur, status imunisasi, tempat infeksi dan kecepatan
pemberian antitoksin. Penyumbatan mekanik karena difteri laring
atau bull neck dan komplikasi miokarditis menyebabkan kematian
difteri yang paling besar. Angka kematian kasus hampir 10% untuk
difteri saluran pernapasan dan tidak berubah dalam 50 tahun. Pada
penyembuhan, pemberian toksoid difteri teindikasi untuk
menyempurnakan seri primer atau dosis imunisasi booster, karena
tidak semua penderita mengembangkan antibodi pascainfeksi.
1.13 Pencegahana. Isolasi penderitaPenderita harus diisolasi dan
baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali
berturut-turut negatif.b. Pencegahan terhadap kontakTerhadap anak
yang kontak dengan difteri harus diisolasi selama 7 hari. Bila
dalam pengamatan terdapat gejala-gejala maka penderita tersebut
harus diobati. Bila tidak ada gejala klinis, maka diberi imunisasi
terhadap difteri.8c. ImunisasiPenurunan drastis morbiditas diftery
sejak dilakukan pemberian imunisasi. Imunisasi DPT diberikan pada
usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan boster dilakukan pada usia 1 tahun
dan 4 sampai 6 tahun. Di indonesia imunisasi sesuai PPI dilakukan
pada usaia 2, 3 dan 4 bulan dan boster dilakukan pada usia 1 2
tahun dan menjelang 5 tahun. Setelah vaksinasi I pada usia 2 bulan
harus dilakukan vaksinasi ulang pada bulan berikutnya karena
imunisasi yang didapat dengan satu kali vaksinasi tidak mempunyai
kekebalan yang cukup proyektif. Dosis yang diberikan adalah 0,5 ml
tiap kali pemberian.8
Cara Pencegahan1. Kegiatan penyuluhan sangatlah penting: beri
penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada para orang tua tentang
bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada
bayi dan anak-anak.2. Tindakan pemberantasan yang efektif adalah
dengan melakukan imunisasi aktif secara luas (missal) dengan
Diphtheria Toxoid (DT). Imunisasi dilakukan pada waktu bayi dengan
vaksin yang mengandung diphtheria toxoid, tetanus toxoid, antigen
acellular pertussis: (DtaP, yang digunakan di Amerika Serikat) atau
vaksin yang mengandung whole cell pertusis (DTP). Vaksin yang
mengandung kombinasi diphtheria dan tetanus toxoid antigen whole
cell pertussis, dan tipe b haemophillus influenzae (DTP-Hib) saat
ini juga telah tersedia.3. Jadwal imunisasi berikut ini adalah yang
direkomendasikan di Amerika Serikat (Negara lain mungkin
menggunakan jadwal lain dan tidak memberikan 4 dosis sebagai
imunisasi dasar).a) Untuk anak-anak berusia kurang dari 7
tahun.Imunisasi dasar untuk vaksin DtaP atau DTP-Hib, 3 dosis
pertama diberikan dengan interval 4-8 minggu. Dosis pertama
diberikan saat bayi berusia 6-8 minggu; dosis ke-4 diberikan 6-12
bulan setelah dosis ke-3 diberikan. Jadwal ini tidak perlu diulang
kembali walaupun terjadi keterlambatan dalam pelaksanaan jadwal
tersebut. Dosis ke-5 diberikan pada saat usia 4-6 tahun (usia masuk
sekolah); dosis ke-5 ini tidak perlu diberikan jika sudah mendapat
dosis ke-4 pada usia 4 tahun. Bila komponen pertusis dari DTP
merupakan kontraindikasi, sebagai pengganti dapat diberikan vaksin
DT.b) Untuk usia 7 tahun ke atasMengingat efek samping pemberian
imunisasi meningkat dengan bertambahnya usia maka dosis booster
untuk anak usia di atas 7 tahun, vaksin yang dipakai adalah vaksin
dengan konsentrasi / kadar diphtheria toxoid (dewasa) yang rendah.
Sedangkan untuk mereka yang sebelumnya belum pernah diimunisasi
maka diberikan imunisasi dasar berupa 3 dosis vaksin serap tetanus
dan diphtheria toxoid (Td). Dua dosis pertama diberikan dengan
interval 4-6 minggu dan dosis ke-3 diberikan 6 bulan hingga 1 tahun
setelah dosis ke-2.8
III. PENUTUP3.1 KesimpulanDifteri adalah penyakit yang
disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, oleh karena itu
penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya. Menurut
tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat. Menurut lokasi
gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring,
difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginalGejala klinis
penyakit difteri ini adalah :a) Panas lebih dari 38 Cb) Ada
psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc) Sakit waktu
meneland) Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck),
disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher
3.2 Daftar Pustaka1. Rampengan, H.T, dkk. Penyakit Infeksi
Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC.2008.h.365-92. Welsby PD.
Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2010.h.77,80-88.3. SudoyoAW,Setiyohadi B,
Simadibrata MK. Buku ajar ilmu penyakit dalam Edisi 4,jilid
1.Jakarta: Interna Publishing.2009.h.721-44. Price SA, Wilson LM.
Patofisiologi konsep klinis proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC;2010.h.461-55. Staf Pengajar
ll Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehalan Anak.
Jakarta : Info Medika.2007.h.110-36. HougtonRA, Gray D. Gejala dan
tanda dalam kedokteran klinis. Hati dan bilier. Jakarta:PT
Indeks.2012.h.127-597. Hayes PC, Mackay TW. Buku saku diagnosis dan
terapi. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC;2007.h.163-58.
Laurenius A, Lesmana. Penyakit Infeksi Pada Anak.Edisi ke-4.
Jakarta;EGC .2006.h.478-81
17