BAB I
PENDAHULUANSel darah merah atau eritrosit adalah salah satu
jenis sel darah yang telah lazim dikenal dan merupakan sel yang
sangat penting dalam proses pengangkutan oksigen ke seluruh tubuh
melalui aliran darah1. Eritrosit utuh tertua pertama kali ditemukan
pada tzi the Iceman, sebuah mummi dari seorang pria yang meninggal
pada tahun 3255 sebelum masehi2. Orang pertama yang menjelaskan
tentang sel darah adalah seorang ilmuan biologi asal Belanda
bernama Jan Swammerdam dengan menggunakan mikroskop pada tahun 1658
untuk mempelajari darah pada katak. Pada tahun 1674, Anton van
Leeuwenhoek menemukan sel darah merah yang berukuran 25 ribu kali
lebih kecil dari butiran pasir1. Tahun 1901, Karl Landsteiner
mempulikasikan penemuannya tentang tiga golongan besar darah yaitu
A, B, dan C (yang kemudian diganti menjadi O). Ia menjelaskan pola
regular yang merupakan reaksi yang terjadi saat serum bercampur
dengan sel darah merah, yang mengidentifikasi cocok atau tidaknya
kombinasi antara golongan darah tersebut. Setahun kemudian Alfred
von Decastello dan Adriano Sturli, mahasiswa dari Landsteiner,
mengidentifiksi golongan darah keempat, yaitu AB2. Tahun 1959,
dengan menggunakan X-ray crystallography, Dr. Max Perutz memecahkan
misteri tentang struktur hemoglobin, suatu protein pada sel darah
merah yang dapat mengangkut oksigen1. BAB II
SEL DARAH MERAH PADA INVERTEBRATA
2. Sel Darah Merah pada Invertebrata 2.1. Sel Darah Merah pada
Organisme UniselularPada satu setengah sejarah kehidupan bumi,
hanya terdapat sedikit oksigen pada atmosfer. Bakteri mengandalkan
alur glikolisis untuk mendukung respirasi aerobnya sebelum
tersedianya oksigen yang cukup pada atmosfer. Ketika telah tersedia
oksigen yang cukup pada atmosfer, organisme eukariot mikroskopis
menggunakan hemoglobin untuk menghasilkan ATP secara anaerob jauh
sebelum adanya sistem sirkulasi untuk mengedarkan oksigen2.
Hemoglobin merupakan molekul yang telah lama dikenal (yang telah
terdapat pada organisme prokariot dan eukariot) yang mungkin telah
berkembang di dunia tanpa jumlah oksigen yang cukup. Hemoglobin
memiliki struktur yang sama dengan peroksidase, yang dapat bereaksi
dengan oksigen untuk memberikan perlindungan bagi sel3. Sebagian
organisme seperti bakteri dan organisme aerobik lain, memodifikasi
asam amino glisin untuk mensintesis porphyrin yang berfungsi
mengikat besi. Ketika besi berikatan dengan protoporphyrin,
terbentuk pigmen respirasi yaitu heme2. Pada bakteri dan yeast,
protein multi-domain berkombinasi dengan hemoglobin untuk
memproduksi protein baru seperti flavohemoglobin. Flavohemoglobin
pada bakteri ini dapat menghilangkan NO (nitrit oksida) dengan cara
mereaksikannya dengan oksigen menjadi bentuk nitrat. Ketika oksigen
tidak tersedia, flavohemoglobin menghilangkan NO dengan
mengkonversikannya menjadi N2O. Dengan demikian, molekul ini dapat
memberikan proteksi dari NO pada kondisi aerob dan anaerob. Pada
zaman dulu (dan pada komunitas di laut dalam), NO terdapat dalam
jumlah yang jauh lebih besar daripada oksigen3. 2.2. Sel Darah
Merah pada Coelomata
Pada nematoda, hemoglobin dapat berfungsi sebagai peroksidase
dan juga dapat meghilangkan NO3. Beberapa sel darah merah pada
cacing nemertine, suatu organisme primitif yang memilki sistem
sirkulasi, mengandung hemoglobin sehingga darahnya berwarna merah.
Sedikitnya pada salah satu dari cacing polychaete, yaitu magelona,
memiliki pigmen respirasi di dalam sel darahnya, sama seperti pada
sel darah pada vertebrata2. Pada hemichordata, pigmen darah
tersebut terletak di luar sel darah. Sebaliknya, sebagian besar
pigmen pada tunicata adalah hemosit yang terdapat pada pembuluh
darah atau pada ruang antar jaringan penghubung3. Pada crustacea,
hemoglobinnya terbentuk dari protein multi-subunit dengan dua grup
heme pada setiap subunit. Setiap subunit memiliki massa 30-40 kd
(kilodalton) dan protein tersebut secara keseluruhan memiliki massa
250-800 kd. Pada mollusca, hemoglobinnya terbentuk dari protein
multi-subunit dengan multiple grup heme (8-20 kd per subunit).
Sedangkan pada annelida, hemoglobinnya terbentuk dari protein
multi-subunit tanpa mengandung heme namun tiap subunit dapat
bergabung dengan rantai disulfida3. Annelida yang hidup di laut
dalam telah membuat hemoglobin ekstraselulernya beradaptasi
sehingga dapat mentranspor hidrogen sulfida2. BAB III.
SEL DARAH MERAH PADA VERTEBRATA
3. SEL DARAH MERAH PADA VERTEBRATA
Terdapat variasi yang sangat luas pada eritrosit vertebrata,
sebagaimana korelasi antara ukuran sel dan nukleusnya1. Eritrosit
pada mamalia tidak memiliki nukleus pada saat matur, artinya telah
kehilangan nukleusnya. Sebaliknya, eritrosit pada vertebra lainnya
memiliki nukleus, kecuali pada salamanders dari genus Batrachoseps
dan spesies ikan dari genus Maurolicus1. Sebelum masa evolusi dari
vertebrata, dua jenis duplikasi dari gen hemoglobin telah terjadi.
Duplikasi yang pertama menghasilkan mioglobin dan hemoglobin dan
duplikasi yang kedua menghasilkan gen alfa dan beta hemoglobin.
Duplikasi dari gabungan gen alfa dan beta telah menghasilkan famili
gen alfa dan beta yang berlokasi pada kromosom manusia yaitu
masing-masing pada kromosom 16 dan 11. Beberapa gen dari famili
tersebut hanya terdapat pada embrio sedangkan yang lain dan
berfungsi lebih lama. Beberapa dari pseudogen pada manusia memiliki
kemiripan fungsi dengan gen pada organisme lain. Eta hemoglobin
merupakan suatu hemoglobin embrionik pada nenek moyang mamalia
eutheria. Pada artiodactyl (rusa, sapi, jerapah, dan sejenisnya),
eta hemoglobin merupakan gen yang masih fungsional. Pada primata,
eta hemoglobin merupakan pseudogen yang tidak fungsional. Hewan
pengerat sama sekali tidak memilki sisa dari gen eta hemoglobin4.
3.1. Sel Darah Merah pada Siklostoma
Lamprey (Lampetra fluviatilis), yang merupakan vertebrata
primitif, memiliki eritrosit dengan bentuk mirip stomatosit non
aksisimetrik. Terdapat nukleus dan hemoglobin yang mengisi sitosol
dengan beberapa organela sel dan struktur vesikular. Namun anehnya
tidak terdapat marginal band pada mikrotubulusnya. Hal inilah yang
menyebabkan eritrositnya berbentuk poli invaginasi non
aksisimetrik. Diameter eritrosit berukuran sekitar 7,5 m dengan
luas permukaannya sekitar 284 m2 dan volume 288 m3. Pada spesies
yang berbeda, eritrosit matur memiliki marginal band pada
mikrotubulusnya3. Pada Pacific hagfish (Eptatretus stoutii),
perubahan sitologis menyertai maturasi dari eritrosit. Sejumlah
besar eritrosit imatur dan eritrosit dalam stadium mitosis dapat
dijumpai pada sirkulasi perifer yang mengindikasikan adanya
diferensiasi dan proliferasi yang intensif dari eritrosit yang
terjadi dalam aliran darah. Eritrosit imatur terdiri dari
mitokondria, membran Golgi, centriol, mikrotubulus, dan ribosom
dengan densitas yang tinggi pada sitoplasmanya. Pada stadium
intermediate, terlihat lisosom pada sitoplasma. Dengan diferensiasi
yang progresif, eritrosit pada hagfish mengakumulasi hemoglobin
namun kehilangan sebagian besar organela selnya. Variasi organela
pada sitoplasma hilang seiring berlangsungnya proses degenerasi
dengan adanya autolisis lisosom. Nukleolus mengalami pengurangan
ukuran seiring berjalannya proses maturasi yang progresif.
Sitoplasma pada eritrosit matur dominan terdiri dari hemoglobin4.
Elasmobransi dan hagfish memiliki sel darah merah yang besar,
kira-kira 19,7 mm x 13,9 mm. 23.2. Sel Darah Merah pada
IkanSejumlah gen yang telah ditemukan dapat mengontrol
hematopoiesis pada ikan (termasuk beberapa gen yang menyebabkan
sejumlah sel darah merah secara signifikan berkurang atau bahkan
tidak ada), sama seperti pada famili GATA dari faktor transkripsi
yang merupakan faktor yang penting pada proses hematopoiesis pada
mamalia. Mutasi pada GATA1 dapat mengganggu formasi pada sel darah
merah pada ikan3. Pada ikan teleost, jumlah normal eritrosit adalah
1,05106 3,0106 sel/mm3. 2Seperti halnya pada hematokrit, kadar
eritrosit yang rendah menunjukkan terjadinya anemia. Sedangkan
kadar tinggi menandakan bahwa ikan dalam keadaan stress4. Ikan
sebagaimana vertebrata lain, memiliki sel darah merah (eritrosit)
berinti dan berwarna merah kekuningan dengan bentuk dan ukuran
bervariasi antara satu spesies dengan lainnya. Terkadang dijumpai
bahwa bentuk eritrosit pada ikan menyerupai bentuk eritrosit pada
manusia. Eritrosit dewasa berbentuk lonjong, kecil dan berdiameter
7-36 mikron tergantung pada spesies ikannya. Jumlah eritrosit pada
masing-masing spesies juga berbeda, tergantung aktivitas ikan
tersebut. Pada ikan yang memiliki aktivitas tinggi seperti ikan
predator blue marlin (Makaria nigricans) memiliki hematokrit 43%
dan mackerel 52,5%, sedangkan pada ikan nototheniid (Pagothenia
bermachii) hanya 21%. Tiap-tiap mm darah berkisar antara
20000-3000000. Pengangkutan oksigen dalam darah bergantung kepada
jumlah hemoglobin yang terdapat dalam eritrosit4.
Gambar 3.1. Sel Darah Merah pada Ikan43.3. Sel Darah Merah pada
Amfibi
Pada amfibi, eritrositnya memiliki nukleus yang di dalamnya
terdapat DNA. Pada sebagian besar spesies urodele (kadal air,
salamander) memiliki kumpulan granul dan vakuol dalam sitoplasma
pada eritrosit matur. Eritrosit pada katak berbentuk seperti bola
dan empat kali lebih besar daripada eritrosit pada mamalia5.
Gambar 3.2. Sel Darah Merah pada Katak5Katak beradaptasi pada
dua lingkungan yaitu di darat dan di air. Oleh karena itu darah
pada katak lebih cair akibat adaptasi pada habitat air. Konsentrasi
oksigen pada lingkungan air relatif rendah sehingga tidak
dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dari eritrosit. Hal ini juga
mengakibatkan presentasi hematokrit yang rendah6.3.4. Sel Darah
Merah pada ReptilSatu-satunya vertebrata yang diketahui tidak
memiliki eritrosit adalah crocodile icefishes (family
Channichthyidae); hidup di air dingin yang kaya akan oksigen.
Oksigen dapat ditranspor secara bebas ke dalam darahnya. Walaupun
vertebrata ini tidak menggunakan hemoglobin, sisa-sisa gen dari
hemoglobin masih dapat ditemukan pada genomnya3. Sel darah merah
pada kura-kura secara biokimia sama dengan pada mamalia pada
derajat metabolisme anaerobik, yang menggunakan alur metabolisme
fosfat pentosa, dan menggunakan sedikit oksigen. Kadang-kadang
eritrosit pada reptil mengeluarkan nukleusnya dari sel darah,
peristiwa ini disebut hematogones4.
Gambar 3.3. Sel Darah Merah pada Kura-Kura43.5. Sel Darah Merah
pada Burung
Sel darah merah pada burung mempunyai nukleus. Bentuk
eritrositnya oval dengan nukleus di tengahnya yang juga berbentuk
oval. Ukuran eritrosit pada aksis terpanjang sekitar 13,5 m dan
aksis terpendek sekitar 7,5 m. Eritrosit pada burung berukuran
lebih besar daripada eritrosit mamalia. Ukuran tersebut bervariasi
pada tiap spesies7. Kromatin pada nukleusnya uniform dan berkumpul
serta semakin memadat seiring bertambahnya usia burung. Sitoplasma
memiliki tekstur uniform dan berwarna oranye-merah muda4. Pada
apusan darah burung, variasi bentuk eritrosit kadang-kadang dapat
dijumpai. Bentuknya dapat bervariasi (poikilositosis) dari
irregular sampai bulat atau memanjang7. Di samping eritrosit matur,
kadang-kadang juga dijumpai eritrosit pada stadium lain dari
perkembangan eritrosit pada darah burung yang sehat. Eritrosit
imatur atau eritrosit polikromatofilik, yaitu stadium penultimate
dari perkembangan eritrosit, memiliki bentuk yang lebih bulat
dengan nukleus yang juga berbentuk bulat. Kromatinnya lebih terang
dan tersebar dengan sitoplasma yang berwarna biru terang.
Keberadaan sel imatur ini dalam jumlah yang kecil (antara 1-5% dari
total eritrosit dalam sirkulasi) pada apusan darah perifer adalah
keadaan yang normal pada burung yang sehat namun peningkatan jumlah
dari eritrosit imatur ini mendeskripsikan suatu polikromasia atau
polikromatofilia yang mengindikasikan adanya peningkatan
eritropoiesis sebagaimana terlihat pada anemia degeneratif. Pada
frekuensi yang kecil, stadium lain dari perkembangan eritrosit,
seperti rubrisit, dapat dijumpai pada apusan darah perifer7.
Gambar 3.4. Sel Darah Merah pada Burung7Pada jumlah yang sangat
kecil (kurang dari 1%) dari eritrosit burung dalam sirkulasi, dapat
dijumpai eritrosit yang tidak memiliki nukleus, yang mengacu pada
eritroplastida3. Eritropoiesis normalnya terjadi pada sumsum tulang
walaupun eritropoiesis ektopik kadang-kadang dapat ditemukan pada
lien dan hepar2. Proses perkembangan eritrosit pada burung terdiri
dari tujuh stadium, yaitu: 71) Stadium rubriblas (atau eritroblas)
adalah stadium pertama dalam perkembangan eritrosit. Selnya
berukuran besar dengan nukleus bulat di tengahnya dan kromatin yang
kasar serta nukleolus yang besar. Sitoplasmanya sangat basofilik
dengan ruang yang luas (ruang mitokondrial).
2) Prorubrisit adalah stadium kedua yang menyerupai rubriblas.
Perbedaannya adalah pada stadium ini nukleolus dan ruang
mitokondrialnya menghilang. 3) Basofilik rubrisit adalah stadium
ketiga yang pada stadium ini sitoplasmanya basofilik homogen dan
nukleus berbentuk bulat dengan kromatin yang terkumpul. 4)
Polikromatik rubrisit awal adalah stadium keempat di mana pada
stadium ini sitoplasmanya basofilik namun sedikti eosinofilik, yang
mengindikasikan permulaan dari sintesis hemoglobin.
5) Polikromatik rubrisit akhir adalah stadium kelima. Sitoplasma
menjadi oval dan lebih eosinofilik. 6) Eritrosit polikromatik
adalah stadium keenam. Sel pada stadium ini menyerupai eritrosit
matur namun bentuknya lebih oval, sitoplasma sedikit basofilik
dengan kromatin yang kurang padat. 7) Eritrosit matur yang
merupakan stadium terakhir.
Eritropoiesis pada burung dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
hormon dan konsentrasi oksigen dalam jaringan. Hipoksia merangsang
produksi dan pelepasan hormon eritropoietin (suatu glikoprotein
yang diproduksi di ginjal) yang memberikan efek positif bagi proses
eritropoiesis. Hormon lain seperti androgen dan adrenokortikoid
juga memberikan efek positif pada proses ini. Pada kondisi lain
seperti polisitemia cenderung menekan eritropoiesis.7 Eritrosit
burung memiliki waktu paruh yang lebih pendek (25-45 hari) daripada
eritrosit mamalia. Pergantian sel yang cepat ini mungkin
berhubungan dengan temperatur tubuh yang tinggi pada burung dan
laju metabolisme yang cepat pada eritrosit burung, yang memakai
oksigen dan nutisi lebih banyak daripada mamalia4. 3.6. Sel Darah
Merah pada MamaliaEritrosit pada mamalia memiliki keunikan
dibandingkan pada vertebrata lain karena tidak mempunyai nukleus
pada bentuk maturnya. Sel ini memiliki nukleus selama awal dari
fase eritropoiesis namun nukleus dibuang selama perkembangannya
menjadi matur agar dapat menyediakan ruang yang lebih luas untuk
hemoglobin. Pada mamalia, eritrosit juga kehilangan organela selnya
seperti mitokondria, aparatus Golgi, dan retikulum endoplasma1.
Akibat tidak memiliki mitokondria, eritrosit tidak menggunakan
oksigen sebagai bahan energi, malah sel ini memproduksi ATP melalui
glikolisis dari fermentasi glukosa dan asam laktat untuk
menghasilkan piruvat3. Akibat kehilangan nukleus dan organela sel,
eritrosit matur tidak mengandung DNA dan tidak dapat mensintesis
RNA sehingga menyebabkan tidak dapat membelah diri serta memiliki
kemampuan memperbaiki diri yang terbatas. Hal ini memastikan bahwa
virus tidak dapat menginfeksi eritrosit pada mamalia6. Eritrosit
pada mamalia berbentuk piringan bikonkaf, pipih di tengah dan tebal
pada tepinya. Bentuk yang spesifik ini memungkinkan aliran
benda-benda darah dalam pembuluh darah besar, seperti memaksimalkan
aliran laminar dan meminimalkan penyebaran platelet. Hal ini dapat
menekan aktivitas atherogenik pada pembuluh darah besar 1. Namun
terdapat pengecualian mengenai bentuk eritrosit pada ordo
artiodactyl (termasuk sapi, rusa, dan yang sejenisnya), yang
morfologi eritrosinya tampak aneh: eritrosit yang kecil dan sangat
oval pada lama dan unta (famili Camelidae), bentuk bola yang sangat
kecil pada famili Tragulidae, dan eritrosit dengan bentuk fusiform,
bulan sabit, irregular poligonal, dan bentuk angular lain pada rusa
merah dan wapiti (famili Cervidae). Anggota dari ordo ini mempunyai
peningkatan yang jelas pada cara perkembangan eritrosit berbeda
dengan pada mamalia. Secara keseluruhan, eritrosit pada mamalia
sangat fleksibel dan dapat berubah bentuk sehingga dapat melewati
kapiler yang sangat kecil4. Pada mamalia, nukleus dari sel darah
merah dikeluarkan sebelum sel tersebut masuk ke dalam sirkulasi,
sehingga pada setiap mililiter dari darah dapat terisi lebih banyak
dengan sel darah merah (dengan demikian lebih banyak terisi dengan
hemoglobin). Beberapa marsupial memiliki sel darah merah yang
mempunyai nukleus ketika dewasa8. Pada pembuluh darah besar,
eritrosit kadang-kadang terlihat seperti suatu tumpukan yang rata
pada tiap sisinya. Bentuk ini dikenal sebagai formasi rouleaux. Hal
ini sering terjadi jika terjadi peningkatan level protein serum,
contohnya selama proses inflamasi1.
Limpa berfungsi sebegai tempat penyimpanan eritrosit, namun
fungsi ini sedikit terbatas pada manusia. Pada beberapa mamalia
seperti anjing dan kuda, limpa menyimpan banyak eritrosit yang akan
dilepaskan ke darah saat tubuh mengalami stres sehingga dapat
menghasilkan kapasitas transpor oksigen yang tinggi6.
Gambar 3.5. Sel Darah Merah pada Manusia6Eritrosit pada manusia
memiliki diameter kira-kira 6.2-8.2 m dan ketebalan pada bagian
yang tipis 2-2.5m serta ketebalan minimum pada tengahnya 0.8-1m.
Eritrosit memiliki volume rata-rata sekitar 90 fL dengan luas
permukaannya sekitar 136 m2 dan dapat mengembang seperti sebuah
bola dengan volume 150 fL tanpa adanya distensi membran2. Manusia
dewasa mempunyai 23 1013 (20-30 triliun) eritrosit, yang merupakan
seperempat dari total sel pada tubuh manusia (wanita memiliki 4-5
juta eritrosit per mikroliter dari darah dan laki-laki sekitar 5-6
juta); orang yang tinggal di dataran tinggi dengan tekanan udara
yang rendah memiliki eritrosit dengan jumlah yang lebih banyak1.
Warna merah dari darah disebabkan oleh adanya kandungan besi pada
hemoglobin. Tiap eritrosit manusia mengandung kira-kira 270 juta
hemoglobin. Tiap hemoglobin membawa empat grup heme. Protein heme
ini bertugas untuk mentranspor lebih dari 98% oksigen (sisanya
dibawa oleh plasma darah). Eritrosit pada kebanyakan laki-laki
menyimpan sekitar 2,5 gram besi, yang mewakili 65% total besi pada
tubuh manusia1. Pada manusia, tiap eritrosit membawa sekitar
250.000 molekul hemoglobin yang memiliki kemampuan mentranspor
oksigen dan karbondioksida. Hemoglobin adalah suatu molekul yang
terbentuk dari dua komponen yang terpisah: komponen protein yaitu
globin dan komponen bukan protein yaitu heme. Heme merupakan
molekul yang diklasifikasikan sebagai porphyrin6. Pada kromosom
manusia yaitu kromosom 16, terdapat suatu kelas gen hemoglobin yang
merupakan hasil dari duplikasi gen nenek moyang yang membentuk
famili gen alfa hemoglobin2.
Gambar 3.6. Struktur Hemoglobin pada Manusia1Semua vertebrata,
termasuk manusia, mempunyai embrionik sel darah merah yang
bernukleus bermula dari yolk sac. Ketika fetus manusia mengalami
hipoksia, jumlah sel darah merah yang bernukleus semakin
meningkat3. Fungsi utama dari sel darah merah adalah mengangkut
hemoglobin yang selanjutnya mengangkut oksigen dari paru-paru ke
jaringan. Selain mengangkut hemoglobin, sel darah merah mengandung
banayak karbonik anhidrase yang mengatalisis reaksi antara
karbondioksida dan air sehingga meningkatkan kecepatan reaksi
bolak-balik ini. Cepatnya reaksi ini membuat air dalam darah dapat
bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida. Dengan demikian,
mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion
bikarbonat. Hemoglobin dalam sel juga merupakan dapar asam basa
sehingga sel darah merah bertanggung jawab untuk sebagian besar
daya pendaparan seluruh darah1. Ketika eritrosit mengalami stres
akibat konsriksi pembuluh darah, eritrosit melepaskan ATP yang
menyebabkan dinding pembuluh darah berelaksasi dan berdilatasi agar
aliran darah dapat kembali normal. Ketika hemoglobin mengalami
deoksigenasi, eritrosit melepaskan S-nitrosothiol yang juga
menyebabkan pembuluh darah berdilatasi dengan tujuan mengerahkan
lebih banyak darah pada area tubuh yang mengalami kekurangan
oksigen4. Baru-baru ini telah dipresentasikan bahwa eritrosit juga
dapat mensintesis enzim nitrit oksida dengan menggunakan L-arginine
sebagai substrat, seperti halnya sel endotelial. Terpaparnya
eritrosit dengan stres fisiologis mengaktifkan sinntesis nitrit
oksida kemudian menyebarkan nitrit oksida yang berperan dalam
regulasi tonus vaskular2. Eritrosit juga dapat memproduksi hidrogen
sulfida, suatu gas pemberi sinyal yang berperan dalam relaksasi
dinding pembuluh darah. Eritrosit juga memiliki peranan dalam
respon imun tubuh, ketika terinfeksi oleh patogen seperti bakteri,
hemoglobin melepaskan radikal bebas yang dapat menghancurkan
dinding dan membran sel bakteri sehingga bakteri tersebut
mati2.3.6.1. Produksi Sel Darah MerahDalam minggu-minggu pertama
kehidupan embrio, sel darah merah primitif banyak diproduksi di
yolk sac. Selama pertengahan trimester masa gestasi, hati adalah
organ utama yang memroduksi sel darah merah meskipun banyak sel
darah merah ditemukan dalam limpa dan limfonodus. Lalu selama bulan
terakhir kelahiran dan sesudah lahir sel darah merah hanya
diproduksi di sumsum tulang. Pada dasarnya sumsum tulang dari semua
tulang memroduksi sel darah merah sampai usia 5 tahun, tapi sumsum
dari tulang panjang kecuali bagian proksimal humerus dan tibia
menjadi sangat berlemak dan tidak memroduksi sel darah merah
setelah kurang lebih berusia 20 tahun. Setelah usia ini kebanyakan
sel darah merah diproduksi dalam sumsum tulang membranosa, seperti
vertebra, iga, dan ilium. Bahkan dalam tulang-tulang ini sumsum
menjadi kurang produktif seiring bertambahnya usia6. Dalam sumsum
tulang terdapat sel stem hematopoietik pluripoten, yang merupakan
asal sel dalam darah sirkulasi. Karena sel darah ini diproduksi
terus-menerus sepanjang hidup, ada bagian dari sel-sel ini masih
tepat seperti sel-sel pluripoten asalnya dan disimpan dalam sumsum
tulang guna memertahankan suplainya. Namun, sebagian sel stem yang
direproduksi akan berdeferensiasi membentuk sel lain. Asal sel yang
paling mula masih tidak dapat dikenali sebagai suatu sel yang
berbeda dari dari stem sel pluripoten, walaupun sel ini membentuk
suatu jalur sel khusus disebul stem sel commited. Berbagai sel stem
commited bila ditumbuhkan dalam biakan akan menghasilkan koloni
tipe sel darah yang spesifik. Sel stem comitted yang menghasilkan
eritrosit disebut unit pembentuk koloni eritrosit dan singkatan
CFU-E menandai jenis sel stem ini. Unit pembentuk koloni
garanulosit dan monosit disingkat CFU-GM4. Sel pertama yang
dikenali sebagai bagian dari rangkaian eritrosit adalah
proeritroblas. Dengan rangsangan yang sesuai maka dari sel stem
CFU-E dapat dibentuk banyak sekali sel ini. Sekali proeritroblas
terbentuk, ia akan membelah beberapa kali sampai akhirnya terbentuk
eritrosit matur. Sel generasi pertama disebut basofil eritroblas
karena dapat dipulas dengan zat warna basa. Pada saat ini, sel
mengumpulkan sedikit sekali hemoglobin. Generasi berikutnya, sel
sudah dipenuhi hemoglobin dengan konsentrasi 34% sehingga nukleus
memadat menjadi kecil dan sisanya terdorong keluar sel. Pada saat
yang sama, retikulum endoplasma direabsorbsi. Pada saat ini sel
disebut retikulosit karena masih mengandung sedikit bahan
basofilik, yaitu terdiri dari sia-sisa aparatus Golgi, mitokondria,
dan sedikit organel sitoplasmik lainnya. Selama tahap retikulosit
sel berjalan dari sumsum tulang masuk ke dalam kapiler darah dengan
cara diapedesis (terperas melalui pori-pori membran kapiler). Bahan
basofilik yang tersisa dalam retikulosit normalnya akan menghilang
dalam waktu 1-2 hari dan sel menjadi eritrosit matur6. Pada proses
pembentukan eritrosit normal, sel stem pluripoten menghasilkan
erythroid burst-forming unit. Eritropoietin (EPO) dan sitokin
seperti interleukin-3 dan granulocytemacrophage colony-stimulating
factor menstimulasi sel ini untuk membentuk erythroid
colony-forming unit pada sumsum tulang. Eritropoietin merangsang
erythroid colony-forming unit untuk memproduksi proeritroblas.
Tahap selanjutnya menghasilkan basophilic erythroblasts,
polychromatic erythroblasts, pyknotic erythroblasts, retikulosit,
dan akhirnya eritosit. Selama proses ini berlangsung, nukleus
semakin mengecil pada setiap tahap dan akhirnya menghilang9.
Keterangan: EPO: erythropoietinGM-CSF: granulocyte-macrophage
colony-stimulating factorIL-3: interleukin-3Gambar 3.7. Produksi
Sel Darah Merah pada Manusia93.6.2. Metabolisme Besi
Jumlah rata-rata besi dalam tubuh manusia sekitar 4-5 gram, 65%
dijumpai dalam bentuk hemoglobin, 4 % dalam bentuk mioglobin, 1 %
dalam bentuk macam-macam senyawa heme yang meningkatkan oksidasi
intraseluler, 0,1 % bergabung dengan protein transferin dalam
plasma darah, 15-30 % disimpan dalam sistem retikuloendotelial
dalam sel parenkim hati, khususnya dalam bentuk feritin6. Besi
diabsorbsi dari semua bagian usus halus. Hati menyekresi
apotransferin dalam jumlah sedang ke dalam empedu yang mengalir
melalui duktus empedu ke dalam duodenum. Daalm usus halus,
apotransferin berikatan dengan besi bebas dan dengan beberapa
senyawa besi, seperti hemoglobin dan mioglobin, membentuk
transferin. Transferin tertarik dan berikatan dengan reseptor
membran sel epitel usus. Molekul transferi diabsorbsi ke dalam sel
epitel dengan cara pinositosis dan dilepaskan dalam sisi darah dari
sel lain dalam bentuk transferi plasma. Kecepatan absorbsi besi
sangat lambat dengan kecepatan maksimum hanya beberapa mg/hari.
Molekul transferi berikatan secara kuat dengan reseptor pada
membran sel eritroblas dalam sumsum tulang. Selanjutnya, transferin
bersama besi yang terikat masuk kedalama eritriblas dengan cara
endositosis. Di sini, transferin mengirimkan besi secara langsung
ke mitokondria, tempat heme disintesis9. 3.6.3. Sintesis
HemoglobinSintesis hemoglobin dimulai dari proeritroblas kemudian
dilanjutkan sedikit dalam stadium retikulosit karena ketika
retikulosit meninggalkan sumsum tulang dan masuk ke dalam aliran
darah, maka retikulosit tetap membentuk sedikit hemoglobin selama
beberapa hari berikutnya. Pertama, suksisnil ko-A yang dibentuk
dalam siklus Krebs berikatan dengan glisin untuk membentuk molekul
pirol. Empat pirol bergabung untuk membentuk protoporfirin IX yang
kemudian bergabung dengan besi untuk membentuk molekul heme.
Akhirnya setiap molekul heme bergabung dengan rantai polipeptida
panjang yang disebut dengan globin membentuk suatu subunit
hemoglobin yang disebut rantai hemoglobin. Tiap atom besi dalam
setiap molekul hemoglobin dalam berikatan dengan 1 molekul
oksigen9.3.6.4. Destruksi Sel Darah MerahSel darah merah mengalami
hemolisis yang lebih cepat dibanding dengan pembentukan atau
produksi sel darah yang baru. Proses penggantian sel darah merah
dari atau oleh sel darah yang baru terjadi setelah sirkulasi 3
hingga 4 bulan. Sel fagosit memecah eritrosit tua tidak hanya di
limpa tetapi juga di sumsum tulang. Asam amino dilepaskan dari
rantai globin dan kembali ke amino acid pool. Enzim heme oksigenase
bekerja pada struktur porfirin heme untuk membentuk biliverdin dan
melepaskan besi. Besi kembali ke iron pool untuk dapa digunakan
kembali. Biliverdin mengalami katabolisme menjadi bilirubin.
Bilirubin dilepaskan ke dalam plasma lalu berikatan dengan albumin
dan ditranspor ke hati. Kemudian bilirubin mengalami konjugasi
glukoronide dan diekskresikan ke kantong empedu9.
Gambar 3.8. Destruksi Sel Darah Merah pada Manusia9BAB
IVKESIMPULANEritrosit adalah salah satu jenis sel darah yang sangat
penting dalam proses pengangkutan oksigen ke seluruh tubuh melalui
aliran darah. Eritrosit pada setiap organisme memiliki keunikan
masing-masing namun tidak semua organisme memiliki eritrosit di
dalam darahnya1. Bakteri mengandalkan alur glikolisis untuk
mendukung respirasi aerobnya sebelum tersedianya oksigen yang cukup
pada atmosfer. Ketika telah tersedia oksigen yang cukup pada
atmosfer, organisme eukariot mikroskopis menggunakan hemoglobin
untuk menghasilkan ATP. Bakteri memodifikasi asam amino glisin
untuk mensintesis porphyrin yang berfungsi mengikat besi2. Lamprey
memiliki eritrosit dengan bentuk mirip stomatosit non aksisimetrik.
Terdapat nukleus dan hemoglobin yang mengisi sitosol dengan
beberapa organela sel dan struktur vesikular3. Ikan memiliki
eritrosit berinti dan berwarna merah kekuningan dengan bentuk dan
ukuran bervariasi antara satu spesies dengan lainnya. Terkadang
dijumpai bentuk eritrosit pada ikan menyerupai bentuk eritrosit
pada manusia. Jumlah eritrosit pada masing-masing spesies berbeda,
tergantung aktivitas ikan tersebut4. Amfibi memiliki eritrosit yang
bernukleus dan pada sitoplasmanya terdapat kumpulan granul dan
vakuol. Eritrosit pada katak berbentuk seperti bola dan empat kali
lebih besar daripada eritrosit pada mamalia5. Eritrosit pada reptil
secara biokimia sama dengan eritrosit pada mamalia. Satu-satunya
vertebrata yang tidak memiliki eritrosit adalah crocodile icefishes
yang hidup di air dingin dan kaya akan oksigen. Oksigen dapat
ditranspor secara bebas ke dalam darahnya3. Sel darah merah pada
burung mempunyai nukleus. Bentuk eritrositnya oval dengan nukleus
di tengahnya yang juga berbentuk oval. Eritrosit pada burung
berukuran lebih besar daripada eritrosit mamalia. Ukuran tersebut
bervariasi pada tiap spesies. Di samping eritrosit matur,
kadang-kadang juga dijumpai eritrosit pada stadium lain dari
perkembangan eritrosit pada darah burung yang sehat7. Eritrosit
pada mamalia memiliki keunikan dibandingkan pada vertebrata lain
karena tidak mempunyai nukleus dan organela sel pada bentuk
maturnya. Sel ini memiliki nukleus selama awal dari fase
eritropoiesis namun nukleus dibuang selama perkembangannya menjadi
matur agar dapat menyediakan ruang yang lebih luas untuk
hemoglobin. Eritrosit pada mamalia tidak menggunakan oksigen
sebagai bahan energi, malah sel ini memproduksi ATP melalui
glikolisis dari fermentasi glukosa dan asam laktat untuk
menghasilkan piruvat1. DAFTAR PUSTAKA
1. Gazarion, K. and Smirnov. 2010. Erythrocyte.
www.encyclopedia2.thefreedictionary.com. Diakses tanggal 27
Februari 2013.2. Glomski, C. and Tamburlin. 2010. The Phylogenetic
Odyssey of the Erythrocyte. Department of Anatomical Sciences.
School of Medicine and Biomedical Sciences. State University of New
York.3. Hartenstein, V. 2006. Blood Cells and Blood Cell
Development in the Animal Kingdom. Department of Molecular Cell and
Development Biology. University of California.
4. Snyder, G. And Sheafor. 1999. Red Blood Cell: Centerpiece in
the Evolutionof the Vertebrate Circulatory System. Department of
Environmental, Population, and Organismic Biology. University of
Colorado.
5. Davidson, M. 2013. Amphibian Red Blood Cell.
www.micro.magnet.fsu.edu. Diakses tanggal 23 Februari 2013.6. Blow,
B. and Bob, J. 2004. Mammalian and Amphibian Erythrocyte Analysis.
www.ncbi.nim.nih.gov. Diakses tanggal 28 Februari 2013.7.
Gunnarson, M. 2009. Avian Hematology. Institute for Clinical
Chemistry. Swedish Agricultural University. 8. Sherwood, L,
Klansman, H, Yancey, P. 2005. Animal Physiology. Brooks/Cole
Cengage Learning. 9. Dipiro, JT. 2011. Maturation and Development
of Red Blood Cells. www.accesspharmacy.com. Diakses tanggal 25
Ferbruari 2013. 2