Makalah K3 KESEHATAN KESELAMATAN KERJA PADA LABORATORIUM KIMIA DALAM PEMBUATAN KOLAGEN-HIDROKSIAPATIT SEBAGAI APLIKASI SCAFFOLD TULANG RIZKA RAMADHANIA AINUNNISA 080917047 PRODI S1 TEKNOBIOMEDIK FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
Makalah K3
KESEHATAN KESELAMATAN KERJA PADA LABORATORIUM KIMIA DALAM PEMBUATAN KOLAGEN-HIDROKSIAPATIT
SEBAGAI APLIKASI SCAFFOLD TULANG
RIZKA RAMADHANIA AINUNNISA080917047
PRODI S1 TEKNOBIOMEDIKFAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGASURABAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Laboratorium merupakan sarana untuk melaksanakan kegiatan penelitian
ilmiah guna meningkatkan ketrampilan pemakaian dan pemanfaatan alat-alat
laboratorium. Tempat dengan segala kelengkapan peralatannya yang berpotensi
menimbulkan bahaya kepada penggunanya.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan perlindungan tenaga kerja
dari segala aspek yang berpotensi membahayakan dan sumber yang berpotensi
menimbulkan penyakit akibat dari jenis pekerjaan tersebut, pencegahan
kecelakaan dan penserasian peralatan kerja, dan karakteristik pekerja serta orang
yang berada di sekelilingnya. Tujuannya agar tenaga kerja mencapai ketahanan
fisik, daya kerja, dan tingkat kesehatan yang tinggi sehingga menciptakan
kesenyamanan kerja dan keselamatan kerja yang tinggi. Tidak ada sesuatu di
tempat kerja yang terjadi secara kebetulan tetapi karena ada alasan-alasan yang
jelas dan dapat diperkirakan sebelumnya. Pengawasan terhadap alat maupun
terhadap pekerja harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan.
Pada bidang Biomaterial, seringkala menggunakan bahan-bahan alami untuk
disintesis menjadi material yang aman untuk diimplankan di dalam tubuh. Salah
satunya adalah kolagen dari lele sangkuriang. Kolagen dapat dijadikan campuran
dengan Hidroksiapatit yang merupakan komponen terbesar dalam tulang,
sehingga bisa diaplikasikan sebagai scaffold.
Dalam penggunaan scaffold dibutuhkan suatu material yang tepat untuk
implantasi tulang. Tentunya biomaterial yang dipilih adalah yang mudah
diperoleh, biokompatibel atau sesuai dengan jaringan keras dalam komposisi dan
morfologi, bioaktif dan tidak toksik. Sayangnya, produk biomaterial yang ada di
Indonesia merupakan produk impor dengan harga yang sangat mahal. Adanya
keterbatasan dalam setiap material inilah yang kemudian memicu perkembangan
riset di bidang biomaterial yang berkaitan dengan pembuatan scaffold alami dari
komposit kolagen-hidroksiapatit yang menyerupai sifat asli dari tulang.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mengurangi dan juga mencegah
Kecelakaan Kerja dan juga Penyakit Akibat Kerja di dalam laboratorium dan
juga mengembangkan Aspek K3 Pada Pemanfaatan scaffold komposit
kolagen-hidroksiapatit sebagai Scaffold Tulang .
1.3 Rumusan Masalah
Tingginya angka kecelakan ataupun penyakit akibat kerja di laboratorium
disebabkan karena kurangnya pengetahuan terkait standart keamanan kerja.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Keselamatan Kerja
Safety menurut kamus adalah mutu suatu keadaan aman atau kebebasan
dari bahaya dan kecelakaan.Keselamatan kerja atau safety adalah suatu usaha
untuk menciptakan keadaan lingkungan kerja yang aman bebas dari
kecelakaan Kecelakaan adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak diinginkan
atau tidak disengaja serta tiba-tiba dan menimbulkan kerugian, baik harta maupun
jiwa manusia. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan
kerja atau sedang melakukan pekerjaan disuatu tempat kerja. Keselamatan
kerja adalah menjamin keadaan, keutuhan dan kesempurnaan, baik jasmaniah
maupun rohaniah manusia serta hasil karya dan budayanya tertuju pada
kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan manusia pada khususnya.
2.2 Alat dan Bahan Dalam Laboratorium
Bahan yang digunakan untuk pembuatan sampel dalam penelitian ini yaitu
hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2], kolagen, aquades, NaOH, eter, hexane, asam
asetat, NaCl, NH4OH, H3PO4, Ca(NO3)2, NaHCO3, KCl, Na2HPO4.2H2O,
MgCl2.6H2O, CaCl2.2H2O, Na2SO4 (CH2OH)3CNH2 dan pepsin. Dalam penelitian
ini, digunakan hidroksiapatit produk bank jaringan RSUD. DR. Soetomo.
Adapun alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah pisau,
freezer, lyophilizer, stopwatch, pH-meter, beker glass, gelas ukur, kertas saring
doble layer, plastik polietilen, termometer, sentrifuse, inkubator, pengaduk, pipet,
baskom, food save box, aluminium foil dan neraca digital, sentrifugator, magnetik
stirer, tabung silica.
2.3 Prosedur Penelitian
Adapun tahapan-tahapan dalam melakukan penelitian ekstraksi kolagen
dari ikan Lele Sangkuriang untuk pembuatan komposit kolagen-HA adalah
sebagai berikut.
2.3.1 Persiapan Sampel
Menyiapkan kulit ikan lele (Clarias gariepinus) lalu dipotong kulit ikan
dengan ukuran 25 mm pada suhu 0 oC, kemudian potongan kulit ikan dicuci
dengan air dingin pada suhu 4 oC selama 20 menit. Untuk menghilangkan protein
non-kolagen dan residu lain, kulit ikan yang telah dicuci lalu dicampur dengan 8
volume 0,1 M NaOH pada suhu 4 oC sebanyak delapan kali, lalu kulit ikan dicuci
dengan aquades pada suhu 4 oC sampai pH dasar aquades. Setelah dicuci dengan
aquades, kemudian dikeringkan dengan menggunakan freezer pada high vacuum
(lyophilized) pada suhu -20oC (Liu et al., 2006).
2.3.2 Ekstraksi Kolagen
Lemak pada kulit ikan dimasrasi selama 2 hari dengan hexane (4 oC)
dengan rasio 1:1, lalu dicuci dengan aquades pada suhu 4oC. Residu yang
terbentuk diekstrak dengan 0,5 M asam asetat (1 gr kulit per 20 ml dari 0,5 M
asam asetat) selama 24 jam, kemudian sampel disaring dengan ayakan double
layer. Larutan kental yang terbentuk disentrifuse pada 4000 g selama 30 menit.
Hasil filtrasi dan sentrifuse, dicampur dan di ekstrak kembali dengan 0,5 M asam
asetat (1 gr dari residu per 20 ml asam asetat) selama 24 jam, kemudian
disentrifuse pada 4000 g selama 30 menit. Supernatan yang terbentuk dicampur
dan digaramkan dengan menambahkan NaCl hingga konsentrasi akhirnya
mencapai 0,9 M. Endapan kolagen dipisahkan dengan mensentrifugasi pada 4000
g, lalu dilarutkan kembali dalam 0,5 M asam asetat dan dipresipitasi dengan NaCl
lagi. Hasil presipitasi kemudian didialisis dengan 0,5 M asam asetat, 0,1 M asam
asetat, aquades dan di-lyopilisasi. Residu hasil filtrasi dan sentrifuse kemudian
disuspensi dalam 0.5 M asam asetat, kemudian melakukan digesti dengan 0.1%
pepsin selama 72 jam pada suhu 4oC (Liu et al., 2006), lalu larutan disentrifuse
pada 12.000 rpm dalam 10% asam asetat dan kemudian digaramkan dengan
NaCl. Pada proses selanjutnya, larutan yang terbentuk didialisis dengan aquades
selama 4 hari dengan mengganti airnya setiap hari sehingga didapatkan kolagen.
Kolagen yang tebentuk disimpan dalam suhu 4 oC (Rodrigues et al., 2003).
2.3.3 Pembuatan Scaffold Kolagen-Hidroksiapatit
Proses-proses yang harus dilakukan dalam pembuatan Scaffold Kolagen
Hidroksiapatit adalah sebagai berikut :
1. Persiapan Larutan Kolagen Netral
Kolagen 5% dilarutkan dalam 0,5 mol/L asam asetat dingin, kemudian
ditambahkan dengan Na2HPO4.12H2O 0.02 mol/L pada saat terakhir dan pH
dikontrol hingga 7,2 dengan menggunakan NaOH pada suhu di bawah 10oC
(Feng, et al., 2009).
2. Sintesis Scaffold Kolagen-Hidroksiapatit
Larutan kolagen netral dengan kandungan kolagen sebesar 5% ditambah
dengan hidroksiapatit kemudian diaduk secara perlahan selama 2 jam dengan
menggunakan NH4OH pada suhu di bawah 10 oC dan pH diatur 7,2, lalu
dilakukan inkubasi pada suhu 35 oC selama 20 jam. Hasil yang diperoleh,
kemudian dicuci dengan aquades, lalu disentrifugasi, sehingga campuran kolagen-
HA didapatkan dalam bentuk hidrogel. Teknik pemisahan fasa padat-
cair dilakukan dengan pendinginan komposit hingga -20 oC selama 24 jam,
sedangkan pelarutnya dihilangkan dengan freeze-drying (Feng, et al., 2009), dan
kemudian dilakukan proses sterilisasi scaffold kolagen-hidroksiapatit.
2.4 Sistem Keselamatan Kerja
Percobaan-percobaan dalam laboratorium dapat meliputi berbagai jenis
pekerjaan diantaranya mereaksikan bahan-bahan kimia, destilasi, ekstraksi,
memasang peralatan, dan sebagainya. Masing-masing teknik dapat mengandung
resiko yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu diperlukan
standart khusus saat berada di dalam laboratorium,yaitu :
1. Jas laboratorium merupakan pengaman langsung, terbuat dari bahan yang baik,
yaitu tidak mudah terbakar, tidak berupa bahan konduktor listrik maupun panas,
tahan bahan kimia.
2. Ventilasi, desain laboratorium yang baik harus memiliki ventilasi yang cukup
dan memadai dengan sirkulasi udara segar yang baik.
3. Alat Pemadam Kebakaran, mutlak dimiliki setiap laboratorium karena
kebanyakan laboratorium telah terhubung dengan arus listrik tegangan tinggi
sebagai sumber energinya terhadap alat praktikum yang digunakan didalamnya.
2.5 Peningkatan Kemampuan Pekerja (Praktikan)
Memberikan pengetahuan praktis kepada pekerja tentang prosedur
penggunaan alat serta prosedur melakukan kegiatan laboratorium yang sesuai
dengan penerapan keselamatan kerja. Ada bagian-bagian terpenting dalam hal
Keselamatan Kesehatan Kerja di Laboratorium yang perlu diperhatikan pada saat
melakukan sintesis kolagen-hidroksiapatit untuk aplikasi scaffold :
1. Reaksi Kimia
Semua reaksi kimia menyangkut perubahan energi yang diwujudkan dalam
bentuk panas. Kebanyakan reaksi kimia disertai dengan pelepasan panas (reaksi
eksotermis), meskipun adapula beberapa reaksi kimia yang menyerap panas
(reaksi endotermis). Bahaya dari suatu reaksi kimia terutama adalah karena proses
pelepasan energi (panas) yang demikian banyak dan dengan kecepatan yang
sangat tinggi, sehingga tidak terkendali dan bersifat destruktif (merusak) terhadap
lingkungan.
Banyak kejadian dan kecelakaan di dalam laboratorium sebagai akibat reaksi
kimia yang hebat atau eksplosif (bersifat ledakan). Namun kecelakaan tersebut
pada hakikatnya disebabkan oleh kurangnya pengertian atau apresiasi terhadap
faktor-faktor kimia-fisika yang mempengaruhi kecepatan reaksi kimia. Beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan suatu reaksi kimia adalah konsentrasi
pereaksi, kenaikan suhu reaksi dan adanya katalis. Sesuai denga hukum aksi
massa, kecepatan reaksi bergantung pada konsentrasi zat pereaksi. Oleh karena
itu, untuk percobaan-percobaan yang belum dikenal bahayanya, tidak dilakukan
dengan konsetrasi pekat, melainkan konsentrasi pereaksi kira-kira 10% saja.
Kalau reaksi telah dikenal bahayanya, maka konsetrasi pereaksi cukup 2 – 5 %
saja sudah memadahi.
Pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi kimia berbanding lurus, dimana
kecepatan reaksi bertambah secara eksponensial dengan bertambahnya suhu. Di
sinilah pentingnya untuk melakukan kendali terhadap suhu reaksi, misalnya
dengan pendinginan apabila reaksi bersifat eksotermis.
Pada sintesis ini terdapat beberapa larutan kimia yang harus diwaspadai dalam
penggunaanya,
Nama
Larutan
Identifikasi Bahaya
mata kulit tertelan terhirup
HCl iritasi dan buta luka
bakar
keracunan dan luka bronchitis
NaOH kerusakan
pada kornea
luka
bakar
luka bakar pada
saluran pencernaan
iritasi pada saluran
pernapasan
Asam
Asetat
iritasi dan buta iritasi ketidaknyamanan
pencernaan
iritasi pada saluran
pernapasan
nama larutan
Pertolongan Pertamamata kulit tertelan terhirup
HCl bilas dengan air
bilas dengan air
berikan 1-2 gelas air putih sebagai pelarut
berikan oksigen atau ke tempat dengan udara cukup
NaOH bilas dengan air
cuci dengan air
jangan simuntahkan,bawa ke dokter segera
lepaskan ke udara segar
Asam Asetat
siram dengan air sebanyak-banyaknya
cuci dengan air
jangan muntah dan bawa ke dokter
berikan oksigen jika kesulitan bernafas
2. Pemanasan
Dapat dilakukan dengan listrik, gas, dan uap. Untuk laboratorium yang jauh
dari sarana tersebut, kadang kala dipakai pula pemanas kompor biasa. Pemanasan
tersebut biasanya digunakan untuk mempercepat reaksi, pelarutan, destilasi,
maupun ekstraksi. Untuk pemanasan pelarut-pelarut organik (titik didih di bawah
100oC), seperti eter, metanol, alkohol, benzena, heksana, dan sebagainya, maka
penggunaan penangas air adalah cara termurah dan aman. Pemanasan dengan api
terbuka, meskipun dengan api sekecil apapun, akan sangat berbahaya karena api
tersebut dapat menyambar ke arah uap pelarut organik. Demikian juga pemanasan
dengan hot plate juga berbahaya, karena suhu permukaan dapat melebihi jauh dari
titik nyala pelarut. Pemanasan pelarut yang bertitik didih lebih dari 100oC, dapat
dilakukan dengan aman apabila memakai labu gelas borosilikat dan pemanas
listrik (heating mantle). Pemanas tersebut ukurannya harus sesuai besarnya labu
gelas.
3. Pengukuran Volume Cairan
Memipet cairan atau larutan dalam volume tertentu dengan pipet secara umum
tidak diperkenankan memakai mulut untuk menghindari bahaya tertelan dan
kontaminasi. Uap dan gas beracun dapat larut dalam air ludah ( saliva). Memakai
pompa karet ( rubber bulb) untuk mengisi pipet merupakan cara yang paling aman
dan praktis, meskipun memerlukan sedikit latihan. Sedangkan untuk cairan yang
korosif dapat dilakukan dengan pipet isap (hypodermic syringe). Apabila
menuangkan cairan korosif dari sebuah botol, lindungi label botol terhadap
kerusakan oleh tetesan cairan. Untuk menuangkan cairan ke dalam gelas ukur
bermulut kecil, perlu dipakai corong gelas agar tidak tumpah.
2.6. Pengenalan Bahan Beracun dan Berbahaya
1. Bahan-bahan buangan yang umum terdapat di laboratorium
Diantaranya adalah sebagai berikut :
(1).Fine chemicals.
Fine chemicals hanya dapat dibuang ke saluran pembuangan atau tempat sampah
jika:
-Tidak bereaksi dengan air.
-Tidak eksplosif (mudah meledak).
-Tidak bersifat radioaktif.
-Tidak beracun.
-Komposisinya diketahui jelas.
(2) Larutan basa.
Hanya larutan basa dari alkali hidroksida yang bebas sianida, ammoniak, senyawa
organik, minyak dan lemak dapat dibuang kesaluran pembuangan. Sebelum
dibuang larutan basa itu harus dinetralkan terlebih dahulu.Proses penetralan
dilakukan pada tempat yang disediakan dan dilakukan menurut prosedur mutu
laboratorium.
(3).Larutan asam.
Seperti juga larutan basa, larutan asam tidak boleh mengandung senyawa-senyawa
beracun dan berbahaya dan selain itu sebelum dibuang juga harus dinetralkan
pada tempat dan prosedur sesuai ketentuan laboratorium.
(4).Pelarut.
Pelarut yang tidak dapat digunakan lagi dapat dibuang ke saluran pembuangan
jika tidak mengandung halogen (bebas fluor, klorida, bromida, dan iodida). Jika
diperlukan dapat dinetralkan terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran air
keluar. Untuk pelarut yang mengandung halogen seperti kloroform (CHCl3)
sebelum dibuang harus dilakukan konsultasi terlebih dahulu dengan pengurus atau
pengelola laboratorium tempat dimana bahan tersebut akan dibuang.
(5).Bahan mengandung merkuri.
Untuk bahan yang mengandung merkuri (seperti pecahan termometer merkuri,
manometer, pompa merkuri, dan sebagainya) pembuangan harus ekstra hati-hati.
Perlu dilakukan konsultasi terlebih dahulu dengan pengelola laboratorium
sebelum bahan tersebut dibuang.
(6).Bahan radiokatif.
Sampah radioaktif memerlukan penanganan yang khusus. Otoritas yang
berwenang dalam pengelolaan sampah radioaktif di Indonesia adalah Badan
Tenaga Atom Nasional (BATAN).
(7).Air pembilas.
Air pembilas harus bebas merkuri, sianida, ammoniak, minyak, lemak, dan bahan
beracun serta bahan berbahaya lainnya sebelum dibuang ke saluran pembuangan
keluar.
2. Penanganan Kebakaran
Beberapa bahan kimia seperti eter, metanol, kloroform, dan lain-lain bersifat
mudah terbakar dan mudah meledak. Apabila karena sesuatu kelalaian terjadi
kecelakaan sehingga mengakibatkan kebakaran laboratorium atau bahan-bahan
kimia, maka kita harus melakukan usaha-usaha sebagai berikut:
(1).Jika apinya kecil, maka lakukan pemadaman dengan Alat Pemadam Api
Ringan (APAR).
(2).Matikan sumber listrik/gardu utama agar listrik tidak mengganggu upaya
pemadaman kebakaran.
(3).Lokalisasi api supaya tidak merember ke arah bahaan mudah terbakar lainnya.
(4).Jika api mulai membesar, jangan mencoba-coba untuk memadamkan api
dengan APAR. Segera panggil mobil unit Pertolongan Bahaya Kebakaran (PBK)
yang terdekat.
(5).Bersikaplah tenang dalam menangani kebakaran, dan jangan mengambil
tidakan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain
2.6 Penanganan Kecelakaan Kerja
Hal – Hal yang dapat menyebabkan kecelakaan ada dua hal, yaitu :
1. Terjadi secara kebetulan.
Dianggap sebagai kecelakaan dalam arti asli (genuine accident) sifatnya tidak
dapat diramalkan dan berada di luar kendali manejemen perusahaan. Misalnya,
seorang karyawan tepat berada di depan jendela kaca ketika tiba-tiba seseorang
melempari kaca sehingga mengenainya.
2. Kondisi kerja yang tidak aman.
Kondisi kerja yang tidak aman dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan adalah sebagai
berikut :
1. Peralatan yang tidak terlindungi secara benar.
2. Peralatan yang rusak.
3. Prosedur yang berbahaya dalam, pada, atau di sekitar mesin atau peralatan
gudang yang tidak aman (terlalu penuh).
4. Cahaya tidak memadai, suram, dan kurang penerangan.
5. Ventilasi yang tidak sempurna, pergantian udara tidak cukup, atau sumber
udara tidak murni.
Pemilihan terhadap faktor-faktor ini adalah dengan meminimalkan kondisi
yang tidak aman, misalnya dengan cara membuat daftar kondisi fisik dan mekanik
yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan.Pembuatan cheklist ini akan
membantu dalam menemukan masalah yang menjadi penyebab kecelakaan.
Oleh karena itu diperlukan penerapan prosedur keselamatan kerja yang
meliputi beberapa aspek sebagai berikut:
1. Penyediaan P3K, meskipun penerapan prosedur keselamatan kerja telah
diberlakukan, bukan tidak mungkin terjadi kecelakaan yang tidak diinginkan.
2. Pengadaan Tanda-tanda Peringatan Bahaya, mengurangi statistik
kecelakaan dalam laboratorium dengan alarm, kode tertulis seperti poster dan
sebagainya.
Dalam pelaksanaan K3 laboratorium perlu memperhatikan dua hal yakni
indoor dan outdoor. Baik perhatian terhadap konstruksi gedung beserta
perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta kode
pelaksanannya maupun terhadap jaringan elektrik dan komunikasi, kualitas udara,
kualitas pencahayaan, kebisingan, tata ruang dan alat, sanitasi, psikososial,
pemeliharaan maupun aspek lain mengenai penggunaan alat laboratorium.
Bab 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Laboratarium kimia dengan segala kelengkapan peralatan dan bahan kimia
merupakan tempat berpontensi menimbulkan bahaya kepada para penggunanya
jika para pekerja didalamnya tidak dibekali dengan pengetahuan. Dengan
keselamatan dan kesehatan kerja maka para penguna diharapkan dapat melakukan
pekerjaan dengan aman dan nyaman. Pekerjaan dikatakan aman jika apapun
dilakukan oleh pekerja tersebut, resiko yang mungkin muncul dapat dihindari.
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu aspek perlindungan tenaga
kerja dengan cara penerapan teknologi pengendalian segala aspek
yang berpontensi membahayakan para perkerja. Peningkatan kemampuan dalam
membuat alat teknologi baru yang mungkin timbul akibat dari perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi antra lain menyangkut ukuran alat,
alat pengendali, kemampuan dan ketrampilan pekerja, alat
penanggulangan musibah, dan pengawasan yang dilakukan. Sedangkan Scaffold
sendiri digunakan sebagai biomaterial untuk patah tulang akibat patah tulang.
3.2 Saran
Sebaiknya para praktikan harus mengetahui sifat-sifat atau hal-hal yang
berkaitan dengan bahan-bahan yang dikerjakan di ruangan laboratorium supaya
tidak menimbulkan bahaya atau masalah lainnya. .
DAFTAR PUSTAKA
Rodrigues, C.V.M. Serricellab, P. Linhares, A.B.R. Guerdes, R.M. Borojevic, R. Rossi, M.A. Duarte, M.E.L. Farinac, M. Characterization of Bovine Collagen-Hydroxyapatite Composite Scaffold for Bone Tissue Engginering. Biomaterials, 2003; 24:4987-4997
Song, Eun. Kim, So Yeon. Chun, Taehoon. Byun, Hyun Jung. Lee, Young Moo. 2006. Collagen Scaffolds Derived from a Marine Source and Their Biocompatibility. Biomaterials, 2006;27:2951–2961
Tresningsih, Erna. 2010. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Laboratorium Kesehatan. Pengembangan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Laboratorium Analisis Kesehatan. Pusat Kesehatan Kerja DEPKES R.I