Top Banner
Definisi Asites adalah akumulasi cairan patologis dalam rongga perut. Kata "ascites" itu berasal dari kata Yunani "askos," berarti yang tas atau karung. Etiologi Liver Disease: Cirrhosis Fulminant Hepatic Failure Fatty liver of pregnancy Neoplasms: Hepatoma Liver, peritoneal or lymphatic metastases Lymphoma with Lymph Obstruction Pseudomyxoma peritonei Meig’s Syndrome (Ovarian Fibroid) Heart Failure: Cor pulmonalé heart disease & COPD ASHD or VHD with biventricular CHF Constrictive Pericarditis Infections: Tuberculosis Spontaneous Bacterial Peritonitis Pelvic Inflammatory Disease (Chlamydia) HIV Venous occlusion: Supradiaphragmatic IVC Occlusion Budd-Chiari Syndrome Veno-occlusive disease \\ Dialysis Related Nephrotic Syndrome Inflammatory: Pancreatitis Bile Peritonitis Chronic lymphatic inflammation/fibrosis Connective Tissue Disease Trauma: Ruptured Viscus Trauma to the abdominal cysterna chyli 80-85% 10% 3% 1% <1% <1% <1%
26

Makalah Ascites

Aug 05, 2015

Download

Documents

veroms16
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Makalah Ascites

Definisi

Asites adalah akumulasi cairan patologis dalam rongga perut. Kata "ascites" itu berasal dari

kata Yunani "askos," berarti yang tas atau karung.

Etiologi

Liver Disease: Cirrhosis Fulminant Hepatic Failure Fatty liver of pregnancy Neoplasms: Hepatoma Liver, peritoneal or lymphatic metastases Lymphoma with Lymph Obstruction Pseudomyxoma peritonei Meig’s Syndrome (Ovarian Fibroid) Heart Failure: Cor pulmonalé heart disease & COPD ASHD or VHD with biventricular CHF Constrictive Pericarditis Infections: Tuberculosis Spontaneous Bacterial Peritonitis Pelvic Inflammatory Disease (Chlamydia) HIV Venous occlusion: Supradiaphragmatic IVC Occlusion Budd-Chiari Syndrome Veno-occlusive disease \\Dialysis Related Nephrotic Syndrome Inflammatory: Pancreatitis Bile Peritonitis Chronic lymphatic inflammation/fibrosis Connective Tissue Disease Trauma: Ruptured Viscus Trauma to the abdominal cysterna chyli Nutritional: Marasmus Kwashiokor Endocrine: Myxedema Endometriosis

80-85%

10%

3%

1%

<1%

<1%

<1%

<1%

<1%

Page 2: Makalah Ascites

Klasifikasi Ascites:

Menurut EASL 2010:

1. Uncomplicated ascites

Kira-kira 75% pasien ascites di Eropa Barat atau AS mengalami sirosis sebagai penyebabnya.

Pada pasien lain, ascites disebabkan oleh keganasan, gagal jantung, tuberculosis, penyakit

pancreas, atau penyebab lain yang tidak diketahui. Sehingga evaluasi inisial pada pasien

dengan ascites meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, USG abdominal, pemeriksaan

laboratorium fungsi hepar, fungsi renal, elektrolit serum dan urine, kemudian analisis cairan

ascites.

Tabel grading ascites dan terapi yang sesuai

Grade ascites Definisi Terapi

1 Ascites ringan, hanya terdeteksi

dengan USG

Tidak ada terapi

2 Ascites moderat diketahui dengan

adanya distensi abdomen simetris

Restriksi intake natrium dan

diuretik

3 Ascites besar atau gross dengan

distensi abdomen terbatas

Paracentesis volume besar dengan

restriksi ntake natrium dan diuretik

(kecuali pada pasien refractory

ascites)

2. Refractory ascites

Berdasarkan kriteria the International Ascites Club, refractory ascites didefinisikan sebagai

“ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul kembali secara dini dimana (contoh:

setelah LVP) tidak dapat dicegah secara memuaskan dengan terapi medis.” Sekali ascites

tidak mempan terhadap pengobatan, rata-rata ketahanan pasien kira-kira 6 bulan.

Konsekuensinya, pasien dengan ascites refrakter harus dipertimbangkan transplantasi hepar.

Tabel Definisi dan kriteria diagnostik untuk ascites refrakter pada sirosis

Ascites resisten diuretik Ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul kembali

Page 3: Makalah Ascites

secara dini yang tidak dapat dicegah karena kekurangan

respon terhadap restriksi natrium dan terapi diuretic

Ascites sulit diatasi diuretik Ascites yang tidak dapat dimobilisasi atau muncul kembali

secara dini yang tidak dapat dicegah karena perkembangan

komplikasi akibat diuretic yang mengganggu penggunaan

dosis efektif diuretic

Syarat

1. Durasi terapi Pasien harus mendapatkan terapi diuretic intensif

(spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160 mg/hari)

setidaknya 1 minggu dan pada diet rendah garam kurang dari

90 mmol/hari

2. Kurangnya respon Penurunan berat badan rata-rata <0.8 kg lebih dari 4 hari dan

natrium urine kurang dari intake

3. Rekurensi ascites dini Kemunculan kembali ascites grade 2 atau 3 antara 4 minggu

pertama mobilisasi

4. Komplikasi akibat

diuretic

Hepatic ensefalopati akibat diuretic adalah timbulnya

ensefalopati tanpa factor presipitasi lain

Kerusakan renal akibat diuretic adalah peningkatan kreatinin

serum >100% hingga nilai >2 mg/dL (177μmol/L) pada

pasien ascites yang respon terhadap terapi

Hiponatremia akibat diuretic didefinisikan sebagai

penurunan serum natrium >10 mmol/L hingga natrium serum

<125 mmol/L

Hipo atau hiperkalemia akibat diuretic didefinisikan sebagai

perubahan kalium serum <3mmol/L atau >6mmol/L

menggunakan pengukuran yang tepat

Page 4: Makalah Ascites

3. Spontaneous bacterial peritonitis

SBP merupakan infeksi bakteri yang paling umum pada pasien dengan sirosis dan asites. Saat

pertama kali dideskripsikan, angka mortalitasnya lebih dari 90% tapi turun hingga sekitar

20% dengan diagnosis dan terapi dini. Diagnosis SBP berdasarkan diagnosis paracentesis.

Semua pasien dengan sirosis dan ascites beresiko SBP dan prevalensi SBP pada pasien rawat

jalan adalah 1.5-3.5% dan sekitar 10% pada pasien rawat.

4. Hiponatremia

Hiponatremia umum pada pasin dengan sirosis dekompensata dan berkaitan dengan

ketidakseimbangan solution air bebas sekunder terhadap hipersekresi vasopressin non-

osmotik (anti diuretic hormone), yang mengakibatkan ketidakproporsionalan retensi air

relative terhadap retensi natrium. Hiponatremia pada sirosis secara sepihak didefinisikan

ketika konsentrasi natrium serum menurun hingga di bawah 130 mmol/L, namun reduksi di

bawah 135 mmol/L juga dikatakan sebagai hiponatremia, tergantung panduan hiponatremia

pada populasi umum pasien yang ada.

Pasien dengan sirosis dapat mengembangkan 2 tipe hiponatremia: hipovolemik dan

hipervolemik. Hipervolemik hiponatremia adalah yang paling umum dan dikarakteristikkan

dengan rendahnya level natrium serum dengan ekspansi volume cairan ekstraseluler, dengan

ascites dan edema. Kondisi ini dapat muncul secara spontan atau sebagai konsekuensi

kelebihan cairan hipotonik (contoh: dextrose 5% ) atau komplikasi sekunder sirosis, sebagian

akibat infeksi bakteri. Hipovolemik hiponatremia jarang terjadi dan dikarakteristikkan dengan

rendahnya level natrium serum dan tidak adanya ascites dan edema, dan paling sering terjadi

sekunder dari terapi diuretic berlebih.

Konsentrasi natrium serum adalah penanda penting prognosis sirosis dan adanya

hiponatremia dikaitkan dengan ketidakmampuan bertahan hidup. Lebih jauh lagi,

hiponatremia juga dikaitkan dengan peningkatan morbiditas, sebagian komplikasi neurologis,

dan penurunan kemungkinan hidup setelah transplantasi, meskipun hasil penelitian

menunjukkan ketidaksesuaian dengan harapan hidup.

Page 5: Makalah Ascites

5. Hepatorenal syndrome

Hepatorenal syndrome (HRS) didefinisikan sebagai kemunculan gagal ginjal pada pasien

dengan penyakit hepar berat dengan tidak adanya penyebab gagal ginjal yang dapat

diidentifikasi. Diagnosis ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab gagal ginjal lain.

Pada kondisi ini, vasodilatasi terutama terjadi pada arteri splanchnicus, sehingga cardiac

output pasien HRS dapat rendah atau normal (sedikit meningkat), namun tidak mencukupi

kebutuhan pasien, dimana pemicu paling penting perkembangan HRS tipe 1 adalah infeksi

bakteri, dan fungsi renal dapat ditingkatkan dengan terapi obat.

Table criteria diagnosis hepatorenal syndrome pada sirosis

Sirosis dengan ascites

Serum kreatinin >1.5 mg/dL (133μmol/L)

Tidak ada shock

Tidak ada hipovolemia yang didefinisikan dengan tidak adanya perkembangan berkelanjutan

fungsi renal (penurunan kreatinin hingga <133μmol/L) diikuti setidaknya 2 hari withdrawal

diuretic (jika menggunakan diuretic), dan ekspansi volume dengan albumin 1 g/kg/hari

hingga maksimum 100g/hari

Tidak ada terapi dengan obat nephrotoxic

Tidak ada penyakit parenkim ginjal yang didefinisikan dengan proteinuria <0.5 g/hari, tidak

mikrohematuria (<50 sel darah merah/ LPB), dan USG ginjal normal

Tabel Penyebab Ascites

Penyebab %

Penyakit Hepar:

Sirosis

Gagal hepar fulminan

Perlemakan hati pada kehamilan

80-85%

Neoplasma: 10%

Page 6: Makalah Ascites

Hepatoma

Metastase ke hepar, peritoneal atau limfatik

Limfoma dengan obstruksi limfe

Pseudomyxoma peritonei

Meig’s syndrome (fibroid ovarium)

Gagal jantung:

Cor pulmonale & PPOK

ASHD atau VHD dengan biventricular CHF

Perikarditis konstriktif

3%

Infeksi:

Tuberkulosis

Peritonitis bakterialis spontan

PID (Chlamydia)

HIV

<1%

Oklusi vena:

Oklusi Supradiafragmatika IVC

Sindroma Budd-Chiari

Veno-occlusive disease 2o to toxin (seneciosis)

<1%

Renal:

Kaitan dengan dialysis

Sindroma nefrotik

<1%

Page 7: Makalah Ascites

Inflamasi:

Pancreatitis

Peritonitis bilier

Inflamasi limfatik kronik/fibrosis

Penyakit jaringan ikat

<1%

Trauma:

Viscus yang rupture

Trauma abdomen sisterna chili

<1%

Nutrisi:

Marasmus

Kwashiorkor

<1%

Endokrin:

Myxedema

Endometriosis

<1%

Patofisiologi

Terdapat 3 teori mengenai pembentukan asites, yaitu : teori underfilling, overflow, dan vasodilatasi arteri perifer.

Teori underfilling menunjukkan bahwa kelainan utama adalah penyerapan cairan dalam pembuluh darah splenikus yang tidak baik karena hipertensi porta dan penurunan volume darah yang beredar efektif. Ini mengaktivasi plasma renin, aldosteron, dan sistem saraf simpatik, sehingga terjadi retensi natrium dan air pada ginjal.

Teori overflow menunjukkan bahwa kelainan utama adalah terjadinya retensi natrium dan air pada ginjal padahal tidak terdapat penurunan volume vaskular. Teori ini dikembangkan karena pada pengamatan pasien dengan sirosis memiliki hipervolemia intravaskular daripada hipovolemia.

Page 8: Makalah Ascites

Teori yang diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer. Sirosis (pembentukan jaringan

parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid. Akibatnya terjadi

peningkatan resistensi sistem porta yang berujung kepada hipertensi porta. Hipertensi porta

ini dibarengi dengan vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh darah splanknik) akibat adanya

vasodilator endogen (seperti NO, calcitone gene related peptide, endotelin dll). Dengan

adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan menyebabkan peningkatan aliran

darah yang justru akan membuat hipertensi porta menjadi semakin menetap.  Hipertensi porta

tersebut akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di daerah sinusoid dan kapiler usus.

Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum dan selanjutnya menyebabkan asites.

Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic bed, vasodilator endogen juga akan

mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan penurunan

volume efektif darah (underfilling relatif) arteri. Sebagai respons terhadap perubahan ini,

tubuh akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan sumbu sistem renin-

angiotensin-aldosteron serta arginin vasopressin. Semuanya itu akan meningkatkan

reabsorbsi/penarikan garam (Na) dari ginjal dan diikuti dengan reabsorpsi air (H20) sehingga

menyebabkan semakin banyak cairan yang terkumpul di rongga tubuh.

Page 9: Makalah Ascites

Komplikasi

Asites yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berdampak komplikasi yaitu spontaneus

bacterial peritonitis (mengancam nyawa), sindrom hepatorenal (vasokonstriksi renal akibat

aktivitas penarikan garam dan cairan dari ginjal), malnutrisi, hepatik-ensefalopati, serta

komplikasi lain yang dikaitkan dengan penyakit penyebab asites.

Dasar Diagnosis

Anamnesis

Ascites bisa timbul mendadak atau perlahan – lahan tergantung pada penyebabnya.

Ascites ringan mungkin tidak bergejala, moderate ascites mungkin memberi gejala

peningkatan berat badan dan rasa berat di perut, ascites dalam jumlah besar juga memberi

gejala rasa tidak nyaman di perut, dapat menimbulkan hernia umbilicalis, serta menyebabkan

elevasi dari diafragma yang akan menimbulkan gejala sesak napas.

Pada penderita ascites harus ditanyakan gejala penyakit atau faktor risiko dari penyakit

yang dipikirkan merupakan penyebab timbulnya ascites. Pada penyakit hati, harus ditanyakan

kebiasaan mengkonsumsi alkohol, penggunaan jarum suntik bergantian, riwayat transfusi,

serta riwayat hepatitis. Untuk cardiac ascites harus ditanyakan riwayat penyakit jantung atau

penyakit pericardial. Riwayat keganasan mengarah ke malignant ascites, terutama keganasan

payudara, saluran pencernaan, ovarium, atau lymphoma. Untuk negara berkembang, harus

juga dipikirkan kemungkinan tuberculosis, harus disertai demam dan gejala konstitusi dari

tuberculosis. Mungkin juga terjadi pancreatic ascites, pada pasien dengan riwayat pancreatitis

kronis. Harus diingat bahwa pada seorang pasien mungkin ditemukan lebih dari satu faktor

predisposisi.

Pemeriksaan Fisik

Ascites harus dibedakan dengan pembesaran perut lainya, misalnya obesitas, dispepsia,

obstruksi usus, serta massa atau kista abdomen. Pada ascites dalam jumlah besar, ascites

mudah ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, untuk ascites dalam jumlah sedang atau kecil,

ketepatan pemeriksaan fisik hanya mencapai 50%. Pemeriksaan fisik untuk ascites berupa,

flank dullness (90% positif pada pasien dengan ascites), sifting dullness, fluid wave, serta

Page 10: Makalah Ascites

puddle sign, bila jumlah cairan ascites < 120 ml. fluid wave dapat juga positif untuk kista

ovarium yang besar dan kehamilan dengan polihidramnion.

Pemeriksaan fisik juga dapat digunakan sebagai petunjuk etiologi ascites. Pada penyakit

hati kronis mungkin ada palmar eritem, spider naevi, jaundice, dll. Splenomegaly dan

pelebaran vena merupakan tanda hipertensi porta. Pada pasien dengan cardiac ascites akan

ditemukan peningkatan JVP. Perbesaran KGB mengarah ke tuberculosis atau lymphoma.

Pemeriksaan Penunjang

Parasintesis abdomen

Dulu, parasintesis dilakukan diantara pubis dan umbilicus, karena merupakan daerah

avascular. Saat ini, karena parasintesis juga ditujukan untuk pengambilan cairan dalam

jumlah besar, dan peningkatan persentase orang – orang dengan obesitas, yang menyebabkan

penebalan dinding abdomen, kuadran kiri bawah lebih direkomendasikan, karena dinding

abdomen pada kuadran kiri bawah, 2 jari caudal dan 2 jari medial SIAS lebih tipis, serta

cairan lebih terakumulasi di daerah tersebut dibanding di daerah umbilicus. Kuadran kanan

bawah kurang optimal karena sering kali ada scar post appendectomy, lokasi antara pubis dan

SIAS harus dihindari karena ada arteri epigastric inferior. Bila lokasi ascites sulit ditentukan

karena obesitas atau jumlah yang kecil, dapat digunakan bantuan USG.

Fig. 1. Diagram of the abdomen showing the three usual sites for abdominal paracentesis.

The author prefers the left lower quadrant site. Reproduced from Thomsen TW, Shaffer RW,

Page 11: Makalah Ascites

White B, Setnik GS. Paracentesis. N Engl J Med 2006;355:e21, with permission from the

Massachusetts Medical Society(2006) Massachusetts Medical Society.

Analisis Cairan Ascites

Page 12: Makalah Ascites

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan, prognosis, dan pencegahan pada ascites menurut European Association for

the Study of the Liver (EASL) dibagi berdasarkan penyakit yang menyertai timbulnya ascites,

antara lain :

1. Ascites tanpa komplikasi

Pasien dengan cirrhosis dan ascites merupakan resiko tinggi untuk komplikasi lain dari

penyakit liver, termasuk ascites berulang, peritonis bakterialis spontan (spontaneous

bacterial peritonitis, SBP), hiponatremia, maupun sindroma hepatorenal (HRS). Ascites

tanpa komplikasi didefinisikan sebagai ascites yang bukan disebabkan komplikasi tersebut

di atas.

a. Penatalaksanaan

Grade 1. Ascites hanya terdiagnosis dengan USG. Untuk grade ini, tidak dilakukan

terapi apapun.

Grade 2. Ascites sedang yang ditandai dengan distensi abdomen yang simetris. Pasien

seperti ini dapat diterapi sebagai pasien rawat jalan dan tidak dilakukan opname kecuali

pada pasien tersebut ditemukan komplikasi lain dari cirrhosis. Terapi yang diberikan

bertujuan untuk meniadakan retensi natrium dan menghasilkan keseimbangan natrium

negatif. Hal ini dilakukan dengan mengurangi asupan natrium dan meningkatkan

ekskresi natrium dengan diuretik.

- Pembatasan natrium, rekomendasi untuk asupan natrium adalah 80-120 mmol/hari

atau setara dengan 4,6-6,9 gram garam / hari.

- Diuretik yang dapat diberikan antara lain Furosemid (dimulai dengan dosis 40 mg/hari

dinaikkan setiap 7 hari sampai dengan 160 mg/hari), maupun Spironolakton (100

mg/hari, dimana jika tidak responsif dapat dinaikkan setiap 7 hari sampai mencapai 400

mg/hari). Pemberian diuretik ini diberikan hingga didapatkan penurunan berat badan

harian tidak lebih dari 0,5 kg/hari pada pasien tanpa oedem perifer dan 1 kg/hari pada

pasien dengan oedem perifer, hal ini untuk menghindari gagal ginjal terkait pemberian

diuretik dan/atau hiponatremia.

Grade 3. Ascites dalam jumlah yang besar yang ditandai dengan distensi abdomen.

Paracentesis volume besar (Large-volume Paracentesis, LVP) merupakan pilihan terapi

dimana penelitian menunjukkan (1) LVP yang dikombinasi dengan albumin lebih

efektif ketimbang diuretik dan secara nyata mempersingkat durasi rawat inap di RS. (2)

LVP dengan albumin lebih aman ketimbang diuretik dalam frekuensi kejadian

hiponatremia, gagal ginjal, dan ensefalopati hepatik. (3) Tidak ada perbedaan yang

Page 13: Makalah Ascites

menjamin rawat ulang maupun angka keberhasilan antara keduanya. (4) LVP adalah

prosedur yang aman dengan resiko komplikasi lokal seperti perdarahan atau perforasi

usus yang rendah.

Ketika ascites kurang dari 5 liter dikurangi, pemberian dextran-70 maupun polygeline

setara dengan pemberian albumin, tetapi pemberian albumin lebih bermakna pada

penarikkan cairan ascites yang lebih dari 5 liter. Hal ini bertujuan untuk mencegah

terjadinya disfungsi dari sirkulasi setelah LVP.

b. Prognosis

Perkembangan ascites pada cirrhosis mengindikasikan prognosis yang buruk. Angka

kematian diperkirakan mencapai 40% pada tahun pertama dan 50% pada tahun kedua.

Faktor lain yang menentukan prognosis yang buruk, antara lain : hiponatremia, tekanan

arterial yang rendah, peningkatan serum kreatinin, dan kadar natrium yang rendah

dalam urine.

Pada pasien dengan ascites grade 2 dan 3, transplantasi liver dapat dipertimbangkan

sebagai pilihan terapi yang potesial.

2. Ascites Refrakter

Ascites refrakter didefinisikan sebagai ascites yang tidak dapat dimobilisasi ataupun

berulang dengan segera setelah LVP yang tidak dapat dicegah dengan pengobatan.

a. Penatalaksanaan

Large-volume Paracentesis. Merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman.

Pemberian albumin mencegah disfungsi sirkulasi yang terkait LVP.

Diuretik. Pada sekitar 90% pasien, pemberian diuretik tidak cukup efektif untuk

mencegah maupun memperlambat rekurensi ascites setelah LVP. Diuretik harus

dihentikan secara permanen pada pasien dengan komplikasi terkait permberian diuretik

(ensefalopati hepatik, gagal ginjal, maupun kelainan elektrolit).

Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS). TIPS terbukti efektif dalam

mengendalikan ascites berulang. Efek jangka pendek dari TIPS adalah meningkatkan

cardiac output, tekanan atrial kanan, dan tekanan arteri pulmonal yang mengurangi

resistensi pembuluh darah sistemik dan volume darah arteri menjadi efektif. Efek yang

menguntungkan pada fungsi ginjal termasuk meningkatkan ekskresi natrium dan GFR.

TIPS juga memiliki keuntungan dalam menjaga keseimbangan nitrogen dan berat

badan.

Page 14: Makalah Ascites

3. Peritonitis Bakterialis Spontan (SBP)

SBP sering ditemukan pada pasien dengan cirrosis dan ascites, dimana terjadi peningkatan

angka kematian mencapai 90% yang dapat ditekan hingga 20% dengan diagnosis dan

terapi dini.

a. Penatalaksanaan

Terapi antibiotik empiris.Terapi dengan antibiotik empiris perlu segera diberikan

setelah SBP didiagnosis, tanpa menunggu hasil kultur cairan ascites. Antibiotik yang

berpotensi nefrotoksik (seperti aminoglikosida) tidak boleh diberikan sebagai terapi

empiris. Cefotaxime yang merupakan generasi ketiga dari cephalosporin, diberikan

secara luas pada pasien dengan SBP karena dapat mengatasi kebanyakan organisme

yang menjadi penyebab. Angka kesembuhan ditemukan pada 77-98% pasien dengan

dosis 4 mg/hari sama efektif dengan dosis 8 mg/hari dan terapi selama 5 hari sama

efektifnya dengan terapi selama 10 hari.

Alternatif lain, Amoxicillin / asam Clavulanat yang pertama-tama diberikan secara IV

kemudian per oral memberi hasil serupa dengan angka kesembuhan dan angka

kematian dibandingkan dengan cefotaxime dan tentu dengan harga yang lebih murah.

Ciprofloxacin diberikan selama 7 hari IV; ataupun 2 hari IV dan diikuti 5 hari per oral

memberi hasil serupa dalam angka kesembuhan dibanding cefotaxime, tetapi dengan

harga yang lebih mahal.

Jika pada hitung jenis neutrofil yang didapat dari cairan ascites tidak berkurang kurang

dari 25% dibanding nilai sebelum terapi setelah pemberian terapi antibiotik selama 2

hari, kemungkinan besar terapi gagal dan diperkirakan infeksi yang terjadi disebabkan

bakteri yang resisten terhadap terapi antibiotik.

Albumin IV pada pasien SBP tanpa syok septik.Hepatorenal Syndrome (HRS) terjadi

pada sekitar 30% pasien dengan SBP yang menerima terapi antibiotik tunggal memiliki

prognosis yang buruk. Pemberian albumin (1,5 g/kg pada saat didiagnosis dan 1 g/kg

pada hari ketiga) menurunkan frekuensi HRS dan terbukti meningkatkan angka

keberhasilan.

b. Pencegahan

Agen profilaksis yang ideal harus aman, terjangkau, dan efektif dalam menurunkan

jumlah organisme ini di usus. Tiga populasi pasien beresiko tinggi yang perlu dikenali,

antara lain : (1) pasien dengan perdarahan GIT akut, (2) pasien dengan kadar protein

Page 15: Makalah Ascites

total dalam cairan ascites yang rendah dan tidak memiliki riwayat SBP sebelumnya, (3)

pasien dengan riwayat SBP sebelumnya.

(1) Pasien dengan perdarahan GIT akut. Infeksi bakterial termasuk SBP merupakan

masalah serius pada pasien cirrhosis dan perdarahan GIT akut yang terjadi antara 25%

dan 65% pada pasien dengan perdarahan GIT. Pada hasil meta-analisis didapatkan

bahwa pemberian antibiotik profilaksis terbukti menurunkan insidensi perburukan

infeksi dan angka kematian.

Pada pasien dengan perdarahan GIT dan penyakit liver yang berat ceftriaxone

merupakan pilihan antibiotik profilaksis. Namun, apabila pasien dengan penyakit liver

yang tidak terlalu berat dapat diberikan norfloxacin per oral maupun kuinolon untuk

mencegah perburukan dari SBP.

(2) pasien dengan kadar protein total dalam cairan ascites yang rendah dan tidak

memiliki riwayat SBP sebelumnya. Pada pasien dengan penyakit liver sedang dengan

konsentrasi protein dalam cairan ascites kurang dari 15 g/liter dan tanpa riwayat SBP

sebelumnya, efektivitas kuinolon dalam mencegah SBP atau membuktikan angka

keberhasilan profilaksis tidak terlalu terbukti.

(3) pasien dengan riwayat SBP sebelumnya. Pasien yang dalam masa pemulihan dari

SBP memiliki resiko tinggi terjadinya SBP berulang. Pemberian antibiotik profilaksis

mengurangi resiko terjadinya SBP berulang. Norfloxacin (400 mg/hari, per oral)

merupakan pilihan terapi. Pilihan lainnya termasuk Ciprofoxacine (750 mg sekali

seminggu, per oral) atau Co-trimoxazole (800 mg Sulfamethoxazole dan 160 mg

Trimethroprim per hari, per oral) tetapi efek yang didapatkan tidak sebaik Norfloxacin.

4. Hiponatremia

Hiponatremia pada pasien cirrhosis didefinisikan ketika konsentrasi natrium serum

dibawah 130 mmol/L, tetapi reduksi di bawah 135 mmol/L perlu disadari sebagai

hiponatremia pada populasi pasien secara umum.

a. Penatalaksanaan

Terapi untuk hiponatremi hipovolemik adalah dengan pemberian natrium bersamaan

dengan identifikasifaktor penyebabnya (biasanya disebabkan karena pemberian diuretik

berlebih). Kunci dari terapinya adalah membuat balance air negatif dengan

meningkatkan total cairan tubuh, dimana hasil yang diharapkan untuk mengembalikan

keadaan natrium.

Page 16: Makalah Ascites

Pemberian natrium klorida yang hipertonis sering digunakan untuk keadaan

hiponatremia hipervolemik yang berat. Efektivitasnya partial, seringkali bertahan

sementara, dan meningkatkan jumlah ascites dan oedem. Pemberian albumin

nampaknya lebih terbukti memperbaiki konsentrasi natrium serum, tetapi masih

dibutuhkan lebih banyak bukti penunjang. Pengunaan obat-obatan secara dini seperti

demeclocycline atau κ-opioid antagonist kurang berhasil dikarenakan efek samping

yang ditimbulkannya. Beberapa tahun terakhir, telah dikembangkan penelitian

mengenenai vaptans, obat yang diberikan secara aktif per oral dan menyebabkan blok

selektif terhadap reseptor-V2 dari AVP pada sel prinsipal dari ductus coligens. Obat ini

terbukti efektif dalam memperbaiki konsentrasi natrium serum pada kondisi dengan

level vasopresin yang tinggi, seperti syndrome of inappropriate antidiuretic hormone

secretion (SIADH), gagal jantung, atau cirrhosis. Hasil penelitian dengan pemberian

vaptan untuk periode singkat (1 minggu sampai 1 bulan) menunjukkan peningkatan

volume urine dan ekskresi cairan bebas, serta memperbaiki level natrium serum yang

rendah pada 45-82% pasien. Vaptan tidak boleh diberikan pada pasien dengan

gangguan kesadaran (seperti ensefalopati) yang tidak dapat meminum cukup cairan

karena beresiko terjadinya dehidrasi dan hipernatremia. Vaptan dimetabolisme oleh

nzim CYP3A di liver, tetapi pemberian obat-obatan kuat CYP3A-inhibitor seperti

ketoconazole, jus anggur, dan clarithromycin yang diberikan secara bersamaan dapat

meningkatkan efek dari vaptan dalam meningkatkan konsentrasi natrium serum dalam

jumlah yang besar. Namun, obat-obatan seperti rifampin, barbiturat, dan phenytoin

dapat mengurangi efektivitas dari vaptan.

Di Amerika pemberian tolvaptan telah diakui sebagai terapi untuk hiponatremi

hipervolemik berat (<125 mmol/L) yan terkait dengan cirrhosis, ascites, gagal jantung,

dan SIADH. Conivaptan juga diterima di Amerika untuk terapi singkat (5 hari) dengan

pemberian secara IV. Pemberian tolvaptan dimulai dengan dosis 15 mg/hari dan di

titrasi sampai 30 dan 60 mg/hari. Pada penelitian berbeda dilaporkan meningkatkan

kejadian perdarahan GIT dengan pemberian tolvaptan.

5. Sindroma hepatorenal (HRS)

HRS didefinisikan sebagai kejadian gagal ginjal pada pasien dengan penyakit liver dimana

penyebab gagal ginjalnya tidak diketahui.

a. Penatalaksanaan

Page 17: Makalah Ascites

Terapi suportif termasuk pengawasan ketat terhadap tanda-tanda vital, fungsi liver dan

ginjal, dan evaluasi tanda klinis dari komplikasi cirrhosis. Pemberian cairan berlebihan

harus dihindari untuk mencegah overload cairan dan progresivitas dari hiponatremia.

Diuretik rendah kalium tidak boleh diberikan karena beresiko terjadinya hiperkalemia

berat.

Terapi spesifik dapat diberikan obat-obatan dengan efek vasokonstriktor. Penggunaan

vasokonstriktor secara luas diberikan obat dengan sifat vasopresin analog seperti

terlipressin. Terapi ini cukup efektif 40-50% pasien. Umumnya, terlipressin dimulai

dengan dosis 1 mg/4-6 jam dan dinaikkan sampai dosis maksimum 2 mg/4-6jam jika

tidak didapatkan penurunan kadar kreatinin serum setidaknya sebanyak 25% terhadap

nilai awal pada hari ketiga terapi. Terapi dipertahankan sampai kreatinin serum turun di

bawah 1,5 mg/dL (133 μmol/L), biasanya sekitar 1-1,2 mg/dL (88-106 μmol/L).

TIPS. TIPS juga memperlihatkan memperbaiki fungsi ginjal dan mengontrol ascites

pada pasien HRS.

Terapi transplantasi ginjal. Terapi sebaiknya segera dilakukan pada keadaan

hiperkalemia berat, asidosis metabolik, dan overload cairan pada pasien HRS stadium

dini.

Transplantasi liver. Merupakan terapi pilihan yang dapat meningkatkan angka

keberhasilan sampai 65% pada pasien HRS

b. Pencegahan

Pasien dengan SBP perlu diterapi dengan albumin IV menunjukkan penurunan

insidensi HRS dan terbukti meningkatkan angka keberhasilan.

Page 18: Makalah Ascites

Daftar Pustaka

1. Clinical Practice Guideline, EASL clinical practice guideline on the management of

ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis.

Journal of Hepatology, 2010, Vol. 53, p 397-417.

2. Runyon, Bruce A. Management of Adult Patients with Ascites Due to Cirrhosis: An

Update from AASLD PRACTICE GUIDELINES, hepatology, Vol. 49, No. 6 on

http://www.aasld.org/practiceguidelines/Documents/Bookmarked%20Practice

%20Guidelines/Ascites%20Update6-2009.pdf