BAB I PENDAHULUAN Diskusi tutorial modul HAM pertama dengan kasus “Seorang Pasien Yang Minta Disuntik Mati” Dimulai dengan sesi pertama pada hari Selasa, 16 Juli 2013 dan dilanjutkan dengan sesi kedua pada hari Rabu, 17 Juli 2013 di ruang 708A. Pada diskusi sesi pertama dimulai dari pukul 13.00-14.30 yang dipimpin oleh Fadhilla Sekar dengan sekretaris Ricka Hardi dibimbing dr. Rudy Hartanto sebagai tutor. Pada diskusi sesi kedua dimulai dari pukul 08.00-09.30 yang dipimpin Chairunnisa dengan sekretaris Fadhilla Sekar dibimbing Prof. Murad sebagai tutor. Pada diskusi kali ini telah dibahas mengenai Seorang Pasien Yang Minta Disuntik Mati. Diskusi ini berjalan dengan lancar dengan menjawab beberapa learning issue yang sudah dibahas saat diskusi. Diskusi kasus sesi pertama dan kedua berlangsung dengan kondusif. Semua anggota yang berjumlah 13 orang ikut berpartisipasi dengan memberikan pendapatnya masing-masing berdasarkan referensi yang mereka miliki. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Diskusi tutorial modul HAM pertama dengan kasus “Seorang Pasien Yang Minta
Disuntik Mati” Dimulai dengan sesi pertama pada hari Selasa, 16 Juli 2013 dan dilanjutkan
dengan sesi kedua pada hari Rabu, 17 Juli 2013 di ruang 708A.
Pada diskusi sesi pertama dimulai dari pukul 13.00-14.30 yang dipimpin oleh Fadhilla
Sekar dengan sekretaris Ricka Hardi dibimbing dr. Rudy Hartanto sebagai tutor.
Pada diskusi sesi kedua dimulai dari pukul 08.00-09.30 yang dipimpin Chairunnisa
dengan sekretaris Fadhilla Sekar dibimbing Prof. Murad sebagai tutor.
Pada diskusi kali ini telah dibahas mengenai Seorang Pasien Yang Minta Disuntik Mati.
Diskusi ini berjalan dengan lancar dengan menjawab beberapa learning issue yang sudah dibahas
saat diskusi. Diskusi kasus sesi pertama dan kedua berlangsung dengan kondusif. Semua anggota
yang berjumlah 13 orang ikut berpartisipasi dengan memberikan pendapatnya masing-masing
berdasarkan referensi yang mereka miliki.
DAFTAR ISI
1
PENDAHULUAN 1
DAFTAR ISI 2
LAPORAN KASUS 3
PEMBAHASAN
Identifikasi Masalah 4
Pembahasan Mengenai Kondisi Pasien 5
Euthanasia dan Bunuh Diri Menurut Hukum, Bioetika dan Agama 7
Penyalahgunaan Narkotika Menurut Hukum, Bioetika dan Agama 13
TINJAUAN PUSTAKA 20
KESIMPULAN 26
DAFTAR PUSTAKA 27
BAB II
LAPORAN KASUS
2
Skenario Kasus
Mino, 27 tahun, diantar tetangganya berobat di sebuah rumah sakit pemerintah karena
demam dan batuk-batuk sudah lama dan tidak kunjung sembuh. Pasien tampak tidak terawat
dengan baik, pucat, lemah, dan kurus. Pada pemeriksaan diketahui pasien menderita pneumonia
dan positif menderita HIV/AIDS.
Dari riwayat kehidupan pribadinya diketahui, pasien adalah anak ketiga dari tiga
bersaudara. Keluarganya cukup harmonis dan kondisi sosial ekonomi juga cukup baik. Dari sejak
kecil, pasien dikenal sebagai anak yang sulit diatur. Ketika pasien duduk di kelas 5 sekolah
dasar, sudah biasa merokok dan bahkan sudah menggunakan obat-obat terlarang. Pada saat
duduk di SMP, pasien sudah berani ke prostitusi, melakukan hubungan seks dengan psk, dan
pasien sudah kecanduan heroin. Di lenganya tampak bekas-bekas tusukan jarum suntik,
Beberapa kali pasien ditangkap polisi dan dimasukan ke panti rehabilitasi, namun pasien kembali
menggunakan heroin.
Keluarga pasien merasa kewalahan mengurus pasien. Sesudah pasien diberi warisan yang
menjadi haknya, keluarganya tidak mau lagi berurusan dengan pasien. Segala perbuatannya
harus ia tangguung sendiri dan keluarganya sudah lepas tangan. Uang dari warisan sudah habis
digunakan untuk membeli heroin dan berfoya-foya dengan psk. Sebelum dirawat, pasien sering
tampak mengemis di jalan untuk menyambung hidupnya. Kepada dokter yang merawat, pasien
berkali-kali minta agar disuntik saja obat yang mematikan karena hidupnya sudah tidak ada
manfaatnya lagi bahkan sering menyusahkan orang lain.
Pasien tampak begitu sedih dan kecewa ketika dokter tidak kunjung mau menyuntikan
obat yang mematikan. Dengan sisa tenaga yang masih ada, pasien lalu terjun bebas dari lantai 5
tempat ia dirawat. Beruntung pasien pasien masih bisa diselamatkan, namun ia menderita cedera
kepala parah dan tidak sadarkan diri.
Tiga hari kemudian pasien meninggal dunia.
BAB III
3
PEMBAHASAN
I. Identifikasi Masalah
1. Pasien mengalami demam dan batuk tidak sembuh sembuh, dan pada
pemeriksaan lanjutan pasien didapatkan menderita pneumonia dan HIV/AIDS.
Penyakit lain pasien mungkin merupakan manifestasi dari HIV/AIDS sehingga
kesembuhan pasien terganggu.
2. Pergaulan bebas dan penggunaan narkotika jarum suntik, dimana kedua hal ini
merupakan faktor resiko terbesar yang menjadi cara penyebaran HIV/AIDS.
Penggunaan narkotika juga menimbulkan masalah ketergantungan yang dapat
berdampak pada masalah ekonomi dan sosial.
3. Keluarga pasien tidak mau lagi berurusan dengan pasien, segala perbuatan pasien
harus ditanggung sendiri , dan keluarganya sudah lepas tangan. Menurut pendapat
kelompok kami, keluarga pasien seharusnya tidak bersikap demikian, sebab
pasien sedang dalam keadaan yang sangat terpuruk. Hal ini justru hanya akan
memperparah kondisi pasien yang masih dibawah pengaruh obat-obatan terlarang.
Dalam keadaan begini ada baiknya, dokter yang bersangkutan memberikan
edukasi juga kepada keluarga agar seharusnya pasien didukung dan diberikan
pendekatan secara agama .
4. Pasien berkali-kali minta agar disuntik saja obat yang mematikan karena
menurutnya hidupnya sudah tidak ada manfaatnya lagi. Terlihat bahwa pasien,
sedang berada pada fase depresi (menurut teori Elizabeth Kubbler Ross). Pasien
putus asa, dan disinilah peran dokter untuk merangkul pasien agar kembali
bangkit.
5. Dokter menolak untuk menyuntikkan obat-obat yang mematikan bagi pasien.
Dokter disini sudah bersikap dengan benar sebab euthanasia , di Indonesia baik
dimata hukum, etik, dan agama tidak dibenarkan.
6. Keesokan harinya pasien bunuh diri, mengalami cedera kepala yang parah, lalu 3
hari kemudian pasien meninggal dunia. Dalam hal ini, pasien mengambil langkah
yang sangat ‘nekat’, puncak depresi pasien dan juga kemungkinan ada pengaruh
4
obat-obatan. Secara agama jelas, tindakan bunuh diri merupakan hal yang sangat
dilarang, karena seyogyanya, yang menentuka hidup-mati seseorang itu adalah
Tuhan YMK.
II. Pembahasan Tentang Kondisi Pasien
Dalam kondisi apapun, sesungguhnya keluarga pasien tidak pantas untuk
menelantarkan pasien begitu saja, meskipun pasien telah diberi hak warisannya.
Bagaimanapun keadaan pasien, keluarga harus tetap mendukung dan memberikan
semangat kepada pasien. Dengan sikap keluarga seperti dalam kasus ini, maka dapat
memperburuk keadaan pasien, seharusnya keluarga pasien dengan lapang dada
menerima kembali dan merawat pasien sebagai keluarga.
Penelantarkan rumah tangga termasuk tindakan yang tidak baik dan tercela,
dalam pandangan masyarakat umum orang menelantarkan keluarga dinilai telah
melakukan tindakan tidak terpuji dan secara sosial akan mendapatkan sanksi berupa
cap tercela pada pelaku penelantaran. Dalam hukum positif, penelantaran dalam
rumah tangga dapat digolongkan sebagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga
(domestic violence) dan merupakanstrafbaar feit dengan pengertian perbuatan yang
dilarang oleh peraturan hukum pidana dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi
siapa saja yang melanggarnya.
Dalam kasus kekerasan rumah tangga seperti tindakan penelantaran, memang
yang paling rentan untuk menjadi korban adalah wanita/isteri dan anak. Salah satu
penyebabnya karena berbagai keterbatasan natural yang dimiliki wanita/isteri serta
anak dibandingkan kaum pria, baik secara fisik maupun psikis.
Kondisi tersebut diperburuk dengan persepsi sebagian masyarakat. Bahwa
peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik maupun penelantaran
masih dianggap persoalan dalam rana domestik, yang tidak perlu orang luar
mengetahui dan penyelesaiannya cukup diselesaikan secara internal kekeluargaan.
Dengan keluarnya Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
5
Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, bukan lagi persoalan pribadi, internal keluarga, yang penyelesaiaannya
cukup secara kekeluargaan, namun domestic violence telah merangkap rana pidana.
Penelantaran yang dimaksud penulis di sini adalah penelantaran menurut pasal
9 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga yang berbunyi:
“setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharan
kepada orang tersebut”.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut jelas, bahwa yang dimaksud dengan
penelantaran adalah setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggung jawab seseorang
dalam rumah tangga yang menurut hukum seseorang itu telah ditetapkan sebagai
pemegang tanggung jawab terhadap kehidupan orang yang berada dalam lingkungan
keluarganya.
Jadi konkretnya penelantaran rumah tangga yang dimaksud disini adalah
penelantaran yang dilakukan misalnya oleh orang tua terhadap anak. namun
penelantaran yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak hanya sebatas keluarga inti,
berdasarkan pasal 2 di atas, juga dapat disebut melakukan penelantaran bila
menelantarkan keluarga lain yang tinggal bersamanya dan menggantungkan
kehidupannya kepada kepala rumah tangga.
III. Euthanasia dan Bunuh Diri Menurut Hukum, Bioetika dan Agama
A. Menurut Hukum
6
i. UU no 39/1999 tentang HAM
Hak yang paling utama dimiliki manusia adalah hak untuk hidup, di mana
didalam hak untuk hidup tersebut tercakup pula didalamnya hak untuk mati,
meskipun hak tersebut tidak mutlak.
ii. KUHP pasal 304
Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam
keadaan sengsara, padahal menurut hokum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
iii. KUHP pasal 306 (2)
Jika mengakibatkan kematian perbuatan tersebut dikenakan pidana maksimal 9 tahun.
iv. KUHP pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
v. KUHP pasal 340
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.
vi. KUHP pasal 344
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.
Bentuk pelanggaran disiplin kedokteran (KKI)
Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kiehidupan pasien atas permintaan
sendiri dan atau keluarganya
7
Setiap dokter tidak dibenarkan melakukan perbuatan mengakhiri kehidupan
manusia, karena bertentangan dengna sumpah kedokteran, etika, tujuan
profesi, aturan hukum pidana.
Pada kondisi terminal, dimana upaya kedokteran futile/sia-sia menurut SOTA
ilmu kedokteran maka dengan persetujuan pasien/keluarga, dokter dapat
menghentikan pengobatan, tapi tetap memberi perawatan yang layak.
Dianjurkan untuk berkonsultasi dengan sejawatnya atau komisi etis rumah
sakit tersebut.
vii. KUHP pasal 345
Barang siapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan atau memberi sarana kepadanya untuk itu,
diancam dengan pidana paling lama 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
viii. KUHP pasal 356(3)
Kejahatan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum.
B. Menurut Etika
a. Euthanasia
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani, yaitu eu (baik)
dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak
atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain
yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku
menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat) yang berarti “mati
dengan mudah“, “mati dengan baik” atau “kematian yang baik”. (1) Secara
etimologis, euthanasia di zaman kuno berarti kematian yang tenang tanpa
penderitaan yang hebat. Dalam arti aslinya (Yunani) kata ini lebih berpusat pada
cara seseorang mati yakni dengan hati yang tenang dan damai, namun bukan pada
percepatan kematian. Dalam arti yang lebih sempit, euthanasia dipahami
8
sebagai mercy killing, membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi
penderitaan, entah terhadap anak cacat, orang sakit jiwa, atau orang sakit tak
tersembuhkan.
Sedangkan dalam sudut pandang medis, euthanasia diartikan sebagai
mengakhiri kehidupan pasien terminal dengan sengaja oleh dokter (secara aktif,
tidak digunakan lagi istilah euthanasia pasif) atas permintaan pasien sendiri.
Permintaan ini harus dilakukan pasien secara serius yaitu dengan mengajukan
permintaan berulang kali dan secara tertulis serta harus dibedakan dengan pasien
yang hanya meminta perhatian (cry for help).
Ditinjau dari sudut bioetik, euthanasia masih merupakan kontroversi.
Terdapat beberapa poin yang pro dan kontra terhadap tindakan ini, yaitu :
Argumen Pro Euthanasia Argumen Kontra Euthanasia
Menghormati hak dan otonomi pasien
(right to die, right to die with dignity)
Bertentangan dengan sifat dasar profesi
medis (berpihak pada kehidupan)
Menghilangkan penderitaan (mercy
killing, compassion)
Kemajuan ilmu dan teknologi
kedokteran (mampu membuat pasien
merasa aman dan nyaman)
Kualitas hidup pasien yang menurun Bahaya slippery slope
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan
pandangan otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai
dirinya sendiri secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan
bagaimana ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat
diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia,
manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga
seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia
menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna.
9
Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus
menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita mengorbankan
manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian
kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena
mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.(2)
Setiap orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara
intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan
berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan
orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang
harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu
masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak
pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan
tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia.
Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die.
Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta
agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh
penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar
mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”,
tanpa penderitaan yang tidak perlu.(1)
b. Bunuh Diri
Bunuh diri adalah tindakan mengakhiri hidup sendiri tanpa bantuan aktif
orang lain. Alasan atau motif bunuh diri bermacam-macam, namun biasanya
didasari oleh rasa bersalah yang sangat besar, karena merasa gagal untuk
mencapai sesuatu harapan. Dalam ilmu sosiologi, ada tiga penyebab bunuh diri
dalam masyarakat, yaitu:
1. egoistic suicide (bunuh diri karena urusan pribadi),
2. altruistic suicide (bunuh diri untuk memperjuangkan orang lain), dan
3. anomic suicide (bunuh diri karena masyarakat dalam kondisi
kebingungan).
10
Ditinjau dari pandangan moral dan etika, bunuh diri jelas tidak sesuai
keempat kaidah dasar bioetika yaitu autonomy, beneficence, non-maleficence dan
justice. Orang yang melakukan bunuh diri dinilai tidak kompeten dalam
mengambil keputusan karena ia berada dibawah pengaruh atau stress berat, oleh
karena itu tidak ada kaidah moral dan etika yang membenarkan bunuh diri.
C. Menurut Agama
i. Islam
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu
untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas
permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang
mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun
membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk
membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam :
151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang
lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang
sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia.
Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian
yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya
11
Raulullah saw bersabda:“Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu
musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan
duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya
dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
ii. Hindu
Dilihat dari sudut pandang Agama Hindu Euthanasia/hak untuk mati,
bunuh diri, dan membantu bunuh diri, semuanya itu tidak dapat dibenarkan
menurut ajaran sastra: “Berlawanan dengan ajaran Ahimsa (tidak membunuh)”.
Hanya Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa) yang berwenang menentukan lahir,
hidup, dan mati manusia (utpati, sthiti, dan pralina).
iii. Budha
Euthanasia dan Bunuh diri dalam agama buddha dilarang karena
melanggar sila pertama yaitu larangan untuk membunuh(menghilangkan nyawa
orang lain/menghilangkan nyawa sendiri).
5 sila pada agama Buddha :
1. Jangan membunuh
2. Jangan mengingini barang yang tidak diberikan kepadamu
3. Jangan melakukan asusila
4. Jangan berdusta
5. Jangan makan/minum yang melemahkan kesadaran (memabukkan)
Dalam agama Buddha tidak ada hak, termasuk hak untuk mati, yang ada adalah
kewajiban. Kewajiban sesuai dengan eksistensinya sebagai manusia : orang tua,