TRAUMA PENETRASI KEPALA Latar Belakang Luka pada otak akibat trauma atau yang sering disebut traumatic brain injury (TBI), merupakan penyabab kematian terbanyak keempat di Amerika Serikat dan merupakan penyabab kematian utama pada usia 1-44 tahun. Sekitar 2 juta kasus traumatic brain injury terjadi setiap tahunnya, dan menghabiskan dana sekitar 25 milyar dolar per tahun untuk penanganan medis dan sosial bagi pasien dengan kasus tersebut. Analisis pada penelitian tentang trauma menunjukkan bahwa 50% kematian akibat trauma merupakan dampak sekunder dari traumatic brain injury, dan sekitar 35% kasus ini disebabkan oleh luka tembak pada kepala. Peningkatan kasus kekerasan dengan senjata api yang diikiuti dengan peningkatan kasus trauma penetrasi kepala menjadi perhatian khususnya bagi dokter bedah saraf dan bagi masyarakat pada umumnya. Hasil CT scan di bawah ini adalah contoh luka tembak yang mengenai otak. Seorang laki-laki muda datang ke unit gawat darurat setelah mengalami luka tembak yang mengenai otak. Luka masuk berada di regio oksipital kiri. Pada CT scan tampak fraktur
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
TRAUMA PENETRASI KEPALA
Latar Belakang
Luka pada otak akibat trauma atau yang sering disebut traumatic brain injury (TBI),
merupakan penyabab kematian terbanyak keempat di Amerika Serikat dan merupakan
penyabab kematian utama pada usia 1-44 tahun. Sekitar 2 juta kasus traumatic brain injury
terjadi setiap tahunnya, dan menghabiskan dana sekitar 25 milyar dolar per tahun untuk
penanganan medis dan sosial bagi pasien dengan kasus tersebut.
Analisis pada penelitian tentang trauma menunjukkan bahwa 50% kematian akibat
trauma merupakan dampak sekunder dari traumatic brain injury, dan sekitar 35% kasus ini
disebabkan oleh luka tembak pada kepala. Peningkatan kasus kekerasan dengan senjata api
yang diikiuti dengan peningkatan kasus trauma penetrasi kepala menjadi perhatian khususnya
bagi dokter bedah saraf dan bagi masyarakat pada umumnya.
Hasil CT scan di bawah ini adalah contoh luka tembak yang mengenai otak.
Seorang laki-laki muda datang ke unit gawat darurat setelah mengalami luka tembak
yang mengenai otak. Luka masuk berada di regio oksipital kiri. Pada CT scan tampak fraktur
pada tengkorak dengan kontusio sebrebri yang luas. Pasien dibawa ke ruang operasi untuk
debridement luka dan fraktur tengkorak, dengan perbaikan dura mater. Pasien kemudian
pulang dengan kondisi neurologis baik baik, namun dengan gangguan lapang pandang yang
signifikan.
Pengertian dari penetrating head injury adalah luka dimana proyektil dapat
menembus kranium, namun tidak dapat keluar dan tetap terperangkap di ruang intrakranial.
Terlepas dari prevalensinya, morbiditas dan mortalitas dari penetrating head injury masih
cukup tinggi. Pemahaman lebih lanjut tentang mekanisme luka dan managemen medis dan
pembedahan yang cepat dengan luka tersebut dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Sejarah Prosedur
Laporan terdahulu tentang trauma kepala dan managemennya yang terdapat pada
lembaran papirus Edwin Smith 1700 sebelum masehi, melaporkan 4 kasus fraktur depresi
tengkorak yang dirawat oleh masyarakat mesir kuno dengan membiarkan luka tidak dibebat,
sehingga dapat menjadi drainase untuk rongga intrakranial, dan melumuri luka pada kulit
kepala dengan minyak. Hippocrates (460-357 sebelum masehi) melakukan trepinasi untuk
kontusio, fraktur belah, dan indentasi tengkorak. Pengamatan Galen (130-210 sebelum
masehi) pada penanganan gladiator yang terluka, manghasilkan simpulan bahwa terdapat
keterkaitan antara lokasi luka pada kepala dengan sisi tubuh yang mengalami kelumpuhan.
Pada masa Dark Ages, terdapat sedikit peningkatan pada manajemen bedah untuk
luka di kepala, sedangkan pengobatan masih memberikan hasil yang buruk untuk luka di
kepala dengan dura mater yang robek. Pada abad ke-17, Richard Wiseman memberikan
penjelasan yang lebih baik tentang manajemen bedah untuk penetrating brain injury; dia
merekomendasikan evakuasi hematom subdural dan ekstraksi fragmen tulang. Menurutnya,
luka yang dalam memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan luka superfisial.
Kemajuan besar pada penanganan penetrating craniocerebral injury pada
pertengahan abad ke-19 berkaitan dengan penemuan Louis Pasteur (1867), Robert Koch
dalam bakteriologi, dan Joseph Lister dalam asepsis. Kemajuan ini menurunkan insidensi
ifeksi lokal dan sistemik, diikuti dengan mrnurunnya mortalitas.
Permasalahan
Selama 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan dramatis pada insidensi penetrating
head injury. Luka tembak di kepala menjadi penyebab terbanyak trauma kepala di kota-kota
di Amerika Serikat. Trauma tersebut sangat berdampak buruk bagi pasien, keluarga, dan
masyarakat.
Siccardi et al. (1991) meneliti 314 pasien dengan luka tembak kranioserebral dan
menemukan bahwa 73% korban meninggal di tempat kejadian perkara, 12% meninggal
dalam 3 jam sejak terjadinya luka, dan 7% meninggal setelahnya, dengan total 92%
meninggal [1]. Pada penelitian lain, luka tembak menjadi penyebab lebih dari 14% kematian
akibat trauma kepala pada tahun 1979-1986.
Age-adjusted death rates untuk luka akibat senjata api meningkat sejak 1985. Sebuah
penelitian dengan metode regresi logistik multipel menunjukkan bahwa luka akibat senjata
api meningkatkan kemungkinan kematian dan korban dengan luka tembak di kepala 35 kali
lebih mungkin untuk meninggal daripada pasien dengan nonpenetrating brain injury.
Epidemiologi
Frekuensi
Sebuah survey yang dilakukan oleh National Institutes of Health memperkirakan
bahwa di Amerika Serikat, setiap tahunnya 1,9 juta orang mengalami fraktur tengkorak atau
trauma intrakranial, dimana setengah dari kasus tersebut akan menunjukkan hasil yang
kurang bagus. Pada tahun 1992, luka akibat senjata api menempati posisi pertama penyebab
kematian akibat traumatic brain injury di Amerika Serikat, dan luka tembak merupakan
penyebab tersering kematian pada orang Afro-Amerika.
Etiologi
Penetrating head injury dapat terjadi karena hal-hal yang disengaja maupun tidak
disengaja, meliputi luka tembak. Luka tusuk, dan kecelakaan lalulintas atau kecelakaan kerja
(akibat paki atau obeng).
Luka tusuk yang menembus kranium biasanya disebabkan oleh senjata dengan ujung
sempit atau runcing, yang ditusukkan dengan kecepatan rendah. Luka yang paling sering
adalah luka tusuk akibat pisau, sedangkan penyabab luka perforasi kranioserebral yang
pernah dilaporkan antara lain disebabkan oleh, paku, tongkat logam, es tajam, kunci, pensil,
supit, dan bor.
Patofisiologi
Akibat patologis penetrating head injury tergantung pada keadaan dari luka, meliputi
jenis senjata atau peluru, energi saat tumbukan, dan lokasi serta karakteristik organ
intrakranial yang dilewati [2]. Luka sekunder umumnya akan terjadi mengikuti luka primer.
Mekanisme luka sekunder didefinisikan sebagai proses patologis yang terjadi setelah luka
primer berjalan beberapa waktu, dan mempengaruhi kemampuan otak untuk sembuh dari
luka primer. Suatu proses biokimia dimulai setelah gaya mekanis mempengaruhi integritas
sel normal, yang menghasilkan berbagai macam enzim, fosfolipid, neurotransmiter eksitasi
(glutamat), Ca, dan radikal bebas yang menimbulkan kerusakan sel yang lebih parah.
Luka Akibat Peluru
Terdapat berbagai macam peluru, mulai dari peluru berkecepatan randah yang
digunakan pada handgun, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini, atau shotgun,
hingga peluru berkecepatan tinggi berlapis logam yang ditembakkan dari senjata militer [3,4].
Luka akibat peluru berkecepatan rendah di masyarakat umumnya berasal dari proyektil
senapan angin, senjata pelontar paku, stun gun yang digunakan untuk menyembelih hewan,
atau pecahan logam yang dihasilkan akbat ledakan. Peluru dapat menyebabkan luka pada
parenkim otak melalui 3 mekanisme: (1) laserasi dan penghancuran, (2) pembentukan
rongga, dan (3) gelombang kejut. Luka dapat bervariasi dari fraktur depresi tengkorak yang
menghasilkan perdarahan fokal hingga kerusakan otak yang luas.
Seorang pria 65 tahun mengalami luka tembak pada regio frontoparietal kanan. Hasil
CT scan menunjukkan bahwa peluru melintasi midline, melukai sinus logitudinal superior,
dan menghasilkan midline subdural hematoma yang luas. Pasien datang dengan nilai
Glasgow Coma Scale (GCS) 4 dan akhirnya meninggal.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, luka dimana proyektil menembus
kranium namun tetap berada di rongga intrakranial disebut sebagai luka penetrasi, sedangkan
luka dimana proyektil melalui kepala, meninggalkan luka masuk dan luka keluar, disebut
luka perforasi. Prognosis dari kedua luka tersebut juga berbeda. Pada laporan serangkaian
luka tembak kepala selama perang Iran-Iraq, 50% pasien dengan luka perforasi menunjukkan
hasil pasca operasi yang buruk, dibandingkan dengan hanya 20% pasien dengan luka penetasi
yang menujukan hasil pasca operasi yang buruk [5].
Pada luka tembak, besarnya kerusakan pada otak bergantung pada berbagai faktor
antara lain (1) energi kinetik saat paluru masuk, (2) lintasan peluru dan fragmen tulang yang
mengenai otak, (3) perubahan tekanan intrakranial saat tumbukan, dan (4) mekanisme luka
sekunder. Energi kinetik dihitung dengan rumus 1/2mv2, dengan “m” adalah massa peluru
dan “v” adalah kecepatan saat tumbukan
Pada saat tumbukan, luka terkait dengan (1) hancurnya jaringan atau organ akibat
tumbukan peluru, (2) lubang yang ditmbulkan oleh gaya sentrifugal peluru pada parenkim,
dan (3) gelombang kejut yang menyebabkan luka tarikan (stretch injury). Karena peluru
melalui kepala, jaringan menjadi hancur dan terlempar melalui luka masuk atau luka keluar,
atau terdesak pada ujung lintasan peluru di rongga intrakranial. Hal ini menyebabkan rongga
permanen yang 3-4 kali lebih lebar dari diameter peluru dan rongga bergetar sementara yang
mengembang keluar. Rongga sementara ini dapat 30 kali lebih besar dari diameter peluru dan
menyebabkan luka pada struktur yang cukup jauh dari lintasan peluru.
Luka Tusuk
Luka jenis ini, seperti tambak pada gambar di bawah, menunjukkan pecahan tulang
yang lebih kecil pada luka kepala. Luka ini dapat disebabkan oelh pisau, paku, duri, garpu,
gunting, dan bebagai jenis peralatan [6]. Penetrasi umumnya terjadi pada tulang yang lebih
tipis dari tengkorak, khususnya permukaan orbital dan bagian squamous dari tulang temporal.
Mekanisme luka vaskuler dan saraf yang disebabkan oleh luka tusuk dapat berbeda dari
trauma kepala jenis lainnya. Tidak seperti pada luka akibat peluru, pada luka tusuk tidak
terdapat nekrosis koagulatif berbentuk lingkaran akibat energi tumbukan. Tidak seperti
kecelakaan kendaraan bermotor, luka tusuk tidak menyebabkan robekan pada otak.
Gambar di atas menunjukkan hasil CT scan dari seorang wanita muda yang datang ke
unit gawat darurat dengan luka tusuk di kepala akibat pisau besar, dengan kerusakan
intrakranial luas, yang mempengaruhi struktur midline.
Kerusakan otak yang disebabkan oleh tusukan sangat terbatas pada rongga akibat
tusukan saja, kecuali jika terdapat infark atau hematom. Kerusakan memanjang yang sempit,
atau yang sering disebut slot facture, kadang ditimbulkan oleh luka tusuk, dan dapat
didiagnosis segera setelah ditemukan. Pada beberapa kasus dimana terdapat penetrasi
tengkorak, kelainan pada pemeriksaan radiologis tidak dapat ditemukan. Pada serangkaian
luka tusuk de Villiers (1975) melaporkan angka kematian adalah sebesar 17%, dengan
penyabab terbanyak terkait dengan trauma vaskuler dan hematom intraserebral masif [7].
Luka tusuk pada fossa temporal umumnya menyebabkan kerusakan neurologis yang
parah karena tipisnya squama temporal dan pendeknya jarak ke batang otak dan struktur
vaskuler. Pasien luka tusuk yang datang dengan benda yang masih menancap di kepala
memiliki tingkat mortalitas 11%, angka ini lebih rendah dibandingkan jika benda yang
menusuk kepala sudah diambil sebelumnya, yaitu sekitar 26%.
Perforasi dan Fraktur Tengkorak
Variasi ketebalan dan kekuatan tengkorak dan sudut tumbukan menentukan tingkt
keparahan fraktur dan luka pada otak, seperti ditunjukkan di bawah ini. Tumbukan yang
mengenai tengkorak secara tegak lurus dapat menyebabkan pecahan tulang bergerak searah
dengan benda yang menusuk, menyebabkan tengkorak hancur dengan pola ireguler, atau
menyebabkan fraktur linier yang menyebar dari luka masuk. Tumbukan tangensial atau yang
hanya menyerempet menyebabkan kelainan tunggal yang kompleks yang diikuti
pembengkokan internal atau eksternal pada tengkorak, dengan kerusakan otak yang
bervariasi.
Gambar di atas merupakan hasil sinar x pasien dengan luka intrakranial parah akibat
pukulan tongkat golf.
Gejala
Keadaan klinis pasien sangat tergantung pada mekanisme luka (kecepatan, energi
kinetik), lokasi anatomis dari luka, dan luka sekunder.
Hematom Intrakranial akibat Trauma
Gejala ini dapat terjadi sendiri atau terjadi bersamaan dengan gejala lain dan
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang umum dan dapat diobati, yang terjadi
karena pergeseran otak, pembengkakan pada otak, iskemi serebral, dan peningkatan
intrakranial. Pasien datang dengan gejala dan tanda massa intrakranial, dan perjalanan klinis
bervariasi tergantung pada lokasi dan tingkat akumulasi hematom. Gambaran klasik dari
hematom epidural dideskripsikan dengan terjadinya lucid interval yang mengikuti terjadinya
luka; pasien pingsan akibat hantaman, kemudian sadar, dan kembali pingsna karena bekuan
darah meluas.
Hematom Epidural
Hematom epidural akibat trauma pada umumnya akan menunjukkan gejala yang jelas
pada perjalanannya menuju koma. Hematom subdural akut berhubungan dengan tingginya
tingkat akselerasi dan deselerasi dari kepala yang terjadi saat trauma. Luka ini masih
merupakan luka yang mematikan dibandingkan luka kepala lainnya karena tumbukan yang
menyebabkan hematom subdural biasanya menyebabkan luka pada parenkim otak yang
parah.
Hematom Intraserebral
Hematom intraserebral terjadi karena pecahnya pembuluh darah kecil dari parenkim
saat terjadinya tumbukan. Pasien mungkin menunjukkan gejala defisit neurologis yang terkait
dengan lokasi hematom atau dengan tanda peningkatan massa atau tekanan intrakranial. Pada
jurnal ini juga akan dibahas mengenai hematom intraserebral tertunda.
Hematom Intraserebral Tertunda
Interval waktu perkembangan hematom intraserebral bervariasi mulai dari hitungan
jam hingga hitungan hari. Meskipun lesi ini dapat terjadi pada area yang mengalami kontusio,
namun umumnya gambaran pada CT scan menunjukkan hasil yang normal. Pasien
didiagnosis hematom intraserebral tertunda dengan ktiteria: (1) riwayat trauma yang jelas, (2)
terdapat interval tanpa gejala, dan (3) terjadi deteriorasi klinis secara mendadak.
Kontusio
Kontusio terdiri atas daerah hemoragis perivaskuler yang mengenai pembuluh darah
kecil dan neuritic brain. Biasanya tampak sebagai gambaran menyerupai taji, yang
memanjang melalui korteks menuju ke white matter. Jika lapisan pia-arachnoid robek, luka
digolongkan sebagai laserasi serebral. Secara klinis, kontusio serebral dianggap sebagai
sumber dari perdarahan yang tertunda dan pembengkakan otak, yang dapat menyebabkan
deteriorasi klinis dan luka otak sekunder.
Perdarahan Subarachnoid akibat Trauma
Perdarahan jenis ini umumnya terjadi karena bebagai macam gaya yang menyebabkan
tekanan yang cukup untuk merusak struktur superfisial yang berada pada ruang subarachnoid.
Perdarahan subarachnoid akibat trauma dapat menjadi penyebab vasospasme serebral dan
mengurangi pasokan darah ke otak, sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas karena
kerusakan iskemik sekunder.
Luka Akson Menyebar atau Shearing Injury
Luka jenis ini cukup dikenal karena merupakan salah satu jenis luka primer yang
paling sering pada otak. Pada keadaan yang parah, pasien tidak sadarkan diri segera setelah
trauma terjadi dan menetap dalam waktu yang cukup lama, dengan fungsi vegetatif yang
normal atau sangat terganggu.
Indikasi
Faktor penting pada penatalaksanaan segera dan hasil jangka panjang setelah
terjadinya penetrating head injury adalah tingkat kesadaran pasien. Meskipun banyak metode
yang dapat digunakan untuk menentukan status kesadaran pasien, namun yang paling banyak
digunakan adalah Glasgow Coma Scale (GCS) yang diperkenalkan oleh Teasdale dan
Jennett pada tahun 1974.
Tingkat kesadaran juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi shock,
hipoksia, hipotermia, intoksikasi alkohol, postictal state, serta penggunaan narkotik dan
sedatif. Oleh karena itu, untuk menentukan tingkat keparahan dan prognosis pasien, tingkat
kesadaran yang diukur adalah skor GCS setelah resusitasi, yang dinilai dalam 6-8 jam
pertama sejak terjadinya luka. Dengan GCS, pasien dapat digolongkan menjadi 3 kriteria:
o Luka ringan, meliputi pasien dengan skor GCS 13-15
o Luka sedang, meliputi pasien dengan skor GCS 9-12
o Luka parah, meliputi pasien dengan skor GCS 3-8 atau pasien dengan deteriorasi yang
jelas dengan skor GCS kurang atau sama dengan 8.
Pasien dengan luka kepala parah umumnya memenuhi kriteria koma, memiliki lesi
intrakranial yang luas, dan memerlukan perawatan medis intensif, dan biasanya, dapat berupa
pembedahan.
Anatomi
Benda yang menembus kranium akan melalui kulit kepala, tulang tengkorak, dan dura
mater sebelum mencapai otak. Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan anatomis meliputi kulit (S);
jaringan subkutan (C); galea aporeunica (A), yang berlanjut dengan sistem
muskuloaponeurotik frontalis, oksipitalis, dan fasia temporal superfisial; jaringan areolar
longgar (L); dan periosteum tengkorak (P).
Lapisan subkutan memiliki banyak pembuluh darah yang saling terkait yang akan
menyebabkan blood loss yang signifikanan jika kulit kepala mengalami laserasi. Karena
ikatan yang longgar antara galea dan periosteum tengkorak menyebabkan pertahanan yang
rendah terhadap luka gores, sehingga dapat menyebabkan luka yang luas pada kulit kepala.
Lapisan ini juga memiliki pertahanan yang rapuh terhadap pembentukan hematom atau abses,
dan akumulasi cairan yang terjadi di kulit kepala umumnya terjadi di lapisan subgaleal.
Tulang kalvaria memiliki 3 lapisan pada orang dewasa: table layer luar dan dalam
yang keras, serta cancellous middle layer, atau diploe.Meskipun ketebalan rata-rata sekitar 5
mm, lapisan paling tebal umumnya adalah tulang oksipital dan lapisan paling tipis adalah
tulang temporal. Kalvaria diselubungi oleh periosteum pada permukaan luar dan dalam. Pada
permukaan dalam, kalvaria menyatu dengan dura menjadi lapisan luar dari dura.
Secara estetik, tulang frontal adalah yang paling penting karena hanya sebagian kecil
tulang frontal yang tertutup oleh rambut. Oleh karena itu, kalvaria membentuk atap dan lantai
dinding medial dan lateral pada mata. Fraktur geser tulang frontal dapat menyebabkan
deformitas yang signifikan, eksoptalmus, atau enoptalmus. Tulang frontal juga mengandung
sinus frontalis, yang merupakan rongga berpasangan yang terletak di antara lamela luar
dalam dalam dari tulang frontal. Dinding anterior yang lebih tipis dari sinus frontalis
menyebabkan area ini lebih rawan terhadap fraktur daripada area tempora-orbita di
sekitarnya.
Dura mater atau pachymeninx adalah meninx yang paling tebal dan paling superfisial.
Dura mater terdiri atas 2 lapisan: lapisan superfisial yang menyatu dengan periosteum dan
lapisan dalam. Pada daerah yang sama di antara kedua lapisan, terdapat ruang untuk vena
besar dan sinus. Laserasi pada struktur ini dapat menyebabkan blood loss yang signifikan dan
menyebabkan hematom epidural atau subdural.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
o Pemeriksaan pasien dengan penetrating brain injury harus menyertakan pemeriksaan
laboratorium, elektrolit, dan profil pembekuan darah secara rutin.
o Banyak pasien kehilangan darah yang signifikan sebelum sampai di unit gawat
darurat atau datang dengan disseminated intravascular coagulation (DIC); sehingga,
pemeriksaan hemoglobin dan hitung jenis platelet juga penting.
o Pemeriksaan golongan darah dan cross match harus dilakukan.
o Pmeriksaan toksikologi meliputi kadar alkohol dapat dilakukan.
Pemeriksaan Radiologis
o Evaluasi radiologis
o Metode evaluasi radiologis tergantung pada kondisi pasien.
o Umumnya radiografi dada dan tulang leher dilakukan di ruang resusitasi
o CT scan kepala harus didapatkan segera setelah kondisi kardiopulmoner pasien stabil
untuk menentukan besarnya kerusakan intrakranial dan adanya pecahan logam di
rongga intrakranial. Pemeriksaan juga menyertakan bone window untuk mengevaluasi
fraktur, khususnya jika terdapat kelainan pada basis cranii dan orbita.
o Beberapa rumah sakit melakukan computed tomographic angiography (CTA) untuk
evaluasi pembuluh darah intrakranial dan ekstrakranial.
o Angiografi serebral: Jika ada kecurigaan luka vaskuler dan kondisi pasien stabil,
angiografi serebral sering digunakan untuk mendiagnosis luka seperi diseksi arteri
vertebral dan/atau karotis, pseudoaneurisma akibat trauma, atau fistula arteriovena.
o Magnetic resonance imaging (MRI)
o Pada pasien dengan penetrating injury dan pecahan logam dalam rongga intrakranial,
scan MRI memberikan informasi struktur fossa posterior dan pelebaran luka robek.
o Pemeriksaan fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) memungkinkan evaluasi
kontusio dan perdarahan.
o Scan perfusi atau difusi memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengevaluasi
area stroke atau iskemi serebral
o Magnetic resonance angiography (MRA) dan magnetic resonance venogram (MRV)
sangat berguna jika terdapat luka vaskuler atau luka pada sinus.
Penatalaksanan
Terapi Medis
Pada pasien dengan luka penetrasi yang parah harus dilakukan resusitasi berdasarkan
petunjuk Advanced Trauma Life Support. Indikasi khusus untuk intubasi endotrakeal meliputi
ventilasi yang tidak adekuat, kegagalan airway karena luka pada leher atau faring,
perlindungan airway yang buruk terkait dengan penurunan tingkat kesadaran, dan/atau
kemungkinan deteriorasi.
Pada hampir semua pasien dengan skor GCS 8 atau kurang didapatkan kriteria
berikut. Tekanan darah sistolik minimal harus 90 mm Hg. Pada serangkaian pasien dengan
traumatic brain injury yang parah, episode tunggal dimana tekanan darah sistolik turun
hingga di bawah 90 mm Hg meningkatkan angka kematian hingga 85%. Larutan garam
fisiologis (NaCl 0,9%) adalah preparat yang umumnya digunakan untuk pengembalien
volume. Secara umum, kehilangan darah akut sebesar 20% dapat diganti dengan infus larutan
kristaloid, sedangkan kehilangan darah sebesar 30% atau lebih memerlukan transfusi darah.
Cervical spine dipasang, pemeriksaan luka pada leher, dada, perut, pelvis, dan
ekstremitas dilakukan dengan hati-hati. Kateter Foley dipasang, jalur intravena dipasang, dan
penggantian volume dimulai.
Pada pasien dengan fraktur basis cranii anterior, pemasangan nasogastric tube selalu
dihindari karena meningkatkan resiko pemasangan selang intrakranial. Sebuah orogastric
tube dapat dipasang, tentunya dengan pengawasan. Selama dan setelah resusitasi perjalanan
penyakit dan semua tindakan dicatat, dan pemeriksaan fisik dan neurologis dilakukan.
Skor GCS harus dicatat pada pada waktu-waktu berikut, saat pasien datang ke unit
gawat darurat, dan setelah pasien dilakukan resusitasi. Jika zat paralisis diberikan selama
resusitasi, efek zat tersebut harus dihilangkan sebelum pemeriksaan neurologis dilakukan.
Pencegahan tetanus dilakukan. Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan, seperti hitung jenis
darah, elektrolit, profil pembekuan darah, golongan darah dan crossmatch, kadar alkohol,
skrining penggunaan obat. Pembebatan dengan kassa steril dilakukan pada luka masuk dan
keluar, dan jika hemodinamik stabil, pasien dievaluasi ke bangsal.
Pasien ditriase berdasarkan kondisi klinis dan hasil CT scan/angiografi. Pasien tanpa
massa yang signifikan pada CT scan dimasukkan ke intensive care unit (ICU) untuk
penanganan lebih lanjut. Monitor tekanan intrakranial dipasang pada pasien dengan skor GCS
8 atau kurang. Ventrikulostomi lebih diutamakan karena berguna dalam pengawasan tekanan
intrakranial dan drainase cairan serebrospinal untuk pengawasan tekanan intrakranial. Elevasi
kepala 30º sangat bermanfaat dalam drainase vena dan menurunkan tekanan intrakranial.
Sedasi memberikan manfaat pada pasien koma untuk mengontrol tekanan intrakranial.
Sedasi yang bersifat reversibel harus digunakan karena memudahkan untuk evaluasi pasien
per jam. Penulis lebih memilih propofol, suatu hipnotik lipofilik onset cepat dengan waktu
paruh singkat yang dapat dititrasi untuk mengontrol tekanan intrakranial. Sebagai tambahan
dalam pengawasan tekanan intrakranial, penulis mengevaluasi penggunaan peralatan yang
lebih invasif, seperti kateter vena jugularis dan oksimeter serebral, untuk mengidentifikasi
penyebab iskemia serebral pada pasien dengan luka serebral yang parah.
Mannitol diberikan dengan bolus intravena dengan tujuan menurunkan tekanan
intrakranial; mengurangi viskositas darah, meningkatkan aliran darah ke otak; dan sebagai
pelarut radikal bebas. Osmolalitas serum tidak boleh berada di atas 320 mOsm/kg untuk
menghindari asidosis sistemik dan gagal ginjal. Jika tekanan intrakranial tidak dapat
dikontrol, maka pasien dapat diprogramkan untuk menjalani kraniektomi dekompresif atau
mendapatkan preparat barbiturat. Terapi pemberian preparat barbiturat dapat menurunkan
tekanan intrakranial, cerebral metabolic rate of oxygen (CMRO2), dan aliran darah ke otak.
Pemberian barbiturat atau kraniektomi dekompresif harus digunakan dengan kateter Swan-
Ganz untuk mendapatkan cardiac output yang ideal. Barbiturat tidak boleh digunakan pada
pasien dengan hipotensi.
Penatalaksanaan rutin tambahan yang umumnya diberikan adalah profilaksis kejang
(phenytoin 15-18 mg/kg IV bolus dilanjutkan dengan 200 mg IV q12h) dan antibiotik. Jika
Kejang tidak ditemukan pada fase akut, antikonvulsan tidak dilanjutkan setelah 1 minggu.
Lamanya waktu penggunaan antiepilepsi masih menjadi perdebatan, namun penggunaan
jangka panjang tidak memberikan hasil yang lebih baik. Antibiotik spektrum luas harus
diberikan selama beberapa hari pasca operasi. Lamanya waktu pemberian antibiotik juga
masih menjadi perdebatan dan umumnya dikembalikan berdasarkan pengalaman masing-
masing dokter.
Karena luka kepala merupakan faktor resiko independen untuk terjadi ulkus akibat
stress dan gastritis, maka profilaksis dengan histamine blocker atau antasida harus diberikan.
Stres akibat luka kepala, yang sering terjadi pada luka akibat trauma lainnya, akan
menyebabkan peningkatan konsumsi energi pada pasien; oleh karena itu, kecukupan energi
harus tetap terjaga selama beberapa hari sejak pasien dirawat di rumah sakit. Di rumah sakit
tempat penulis bekerja, nutrisi enteral harus diberikan bila tidak terdapat kontraindikasi;
sedangkan nutrisi parenteral diberikan pada pasien dengan luka abdominal.
Meskipun hiperventilasi dapat dengan cepat menurunkan tekanan intrakranial pada
beberapa pasien, namun penggunaannya tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan
penurunan aliran darah ke otak yang signifikan, dan dapat memperburuk kondisi neurologis
jangka panjang. Manfaat hipotermia juga masih diperdebatkan, meskipun beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan kondisi pasien yang terjadi bila pasien mengalami hipotermia
sedang.
Terapi Pembedahan
Berikut merupakan beberapa indikasi untuk pembedahan: (1) untuk mengangkat
massa seperti hematom epidural, subdural, atau intraserebral; (2) untuk mengangkat jaringan
otak yang mengalami nekrosis dan mencegah pembengkakan dan iskemia lebih lanjut; (3)
untuk mengontrol perdarahan aktif; dan (4) untuk mengangkat jaringan nekrotik, pecahan
tulang atau logam, atau benda asing lainnya untuk mencegah infeksi. Pendekatan untuk
tindakan bedah sendiri sangat bervariasi; beberapa dokter bedah lebih konservatif, sedangkan
yang lainnya bersifat agresif.
Alasan utama dilakukannya operasi adalah untuk megangkat hematom; namun ukuran
minimum hematom yang memerlukan evakuasi bedah tergantung pada berbagai faktor,
meliputi usia pasien dan kondisi klinis dan lokasi dari hematom itu sendiri. Hematom dan
kontusio pada regio temporal atau fossa posterior harus ditangani dengan lebih agresif karena
lebih sering menyebabkan herniasi daripada lesi serupa di area lain dan lebih sering terkait
dengan luka vaskuler.
Peluru dan fragmen dapat mengandung logam yang menyebabkan elektrolisis, dapat
menyebabkan jaringan parut fibroglia dengan epilepsi sekunder, atau dapat berpindah pada
daerah lain di dalam ruang intrakranial, atau berpindah ke ruang intraspinal. Karena fragmen
yang tertinggal tidak selalu terkait dengan infeksi, sebagian besar penulis menganjurkan
bahwa fragmen harus diambil hanya jika mudah untuk diraih. Jaringan kulit kepala, pakaian,
dan rambut umumnya terbawa bersama dengan tulang masuk ke dalam otak, dimana hal ini
lah yang paling sering menyebabkan infeksi. Hal ini tergantung pada kecepatan peluru dan
ukuran penetrasi. Pada kebanyakan kasus, pengangkatan peluru yang menancap terlalu dalam
tidak diperlukan, namun beberapa penulis merekomendasikan penggunaan computer-image
guided procedure untuk pengangkatan proyektil atau fragmen peluru.
Persiapan Sebelum Operasi
Pendekatan yang digunakan pada prosedur bedah bervariasi; beberapa dokter bedah
bersifat konservatif, sedangkan yang lainnyalebih agresif. Manajemen bedah luka penetrasi,
seperti prosedur bedah saraf, memerlukan perencanaan yang hati-hati.
o Pada persiapan sebelum pembedahan, rambut pasien dicukur dan diberi larutan
antiseptik pada kondisi steril.
o Kepala pasien diposisikan lebih tingga dari dada.
o Permukaan kepala yang terbuka sebisa mungkin menjangkau seluruh area yang
memungkinkan, agar perluasan insisi dapat dilakukan hingga di luar batas luka, atau
agar prosedur rotasi kulit kepala dapat dilakukan.
o Insisi kulit harus direncanakan sehingga suplai darah ke kulit kepala tidak terganggu.
o Fresh frozen plasma dan platelet harus diberikan (1) jika peningkatan prothrombin
time (PT) atau peningkatan activated partial thromboplastin time (aPTT)
menunjukkan koagulopati pada pasien yang memerlukan evakuasi hematom
intrakranial atau (2) jika dicurigai terjadi koagulopati selama operasi.
Rincian Selama Operasi
o Seringkali kraniotomi atau kranioektomi dengan pengangkatan pecahan tulang dan
benda asing dapat dilakukan.
o Debridemen yang dilakukan dengan hati-hati atas jaringan otak yang sedah mati,
dilakukan dengan kombinasi suction dan irigasi.
o Pada luka tembak, peluru tidak diambil kecuali jika dapat diraih dengan mudah
karena resiko kerusakan otak akibat tindakan pengambilan peluru jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan manfaat jika peluru diambil.
o Pada kasus luka tusuk, pisau atau benda yang menancap tidak boleh diambil sebelum
lapisan dura dibuka di ruang operasi dan tindakan dapat dilakukan dibawah
pengawasan langsung.
o Pada semua kasus, dokter bedah harus mempersiapkan potensi luka vaskuler yang
mungkin terjadi. Yang terpenting adalah bahwa watertight dural closure tidak boleh
terlalu ketat untuk mencegah infeksi sentripetal dan fistula cairan serebrospinal.
o Jika terdapat kelainan pada dura, fasia perikranium atau temporalis diperlukan untuk
mengganti dura. Penggunaan bahan sintetis atau alami untuk pengganti lapisan dura
harus dihindari.
o Pasien dengan luka penetrasi kepala seringkali memerlukan kranioplasti sebagai
tindakan sekunder dari kraniektomi dan/atau kerusakan akibat peluru. Kranioplasti
harus ditunda hingga kurang lebih 1 tahun, jika kondisi pasien stabil dan resiko
komplikasi yang berupa infeksi kecil.
Rincian Pasca Operasi
Pada prinsipnya terapi medis pasca operasi trauma penetrasi kepala sama dengan
terapi pasca operasi lainnya. Monitor tekanan intrakranial atau ventricular drain biasanya
dipasang pada pasien dengan skor GCS 8 atau kurang. Alat tersebut tersambung dengan layar
komputer dan menjaga tekanan perfusi serebral tetap baik. Jika kondisi neurologis pasien
stabil, CT scan dilakukan 24-72 pasca operasi.
Follow-up
Pasien di-folloow-up dengan pemeriksaan neurologis standar, dan tanda vital
diperiksa setiap jam. Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan bila perlu. Perlunya
pemeriksaan radiologis tergantung pada perkembangan neurologis pasien, dimana
pemeriksaan ini terdiri atas serangkaian pemeriksaan CT scan.
Komplikasi
Pasien yang selamat dari luka penetrasi kranioserebral beresiko untuk mengalami
berbagai komplikasi, meliputi defisit neurologis menetap, infeksi, epilepsi, kebocoran cairan
serebrospinal, defisit saraf kranial, pseudoaneurisma, fistula arteri atau vena, dan
hidrosefalus.
Infeksi Intrakranial
Infeksi ini terjadi pada 11% luka penetrasi kranioserebral. Oleh karena itu, sangat
penting untuk dilakukan pencegahan dan penatalaksanaan infeksi yang adekuat, sehingga
hasil yang didapatkan pasien akan lebih baik. Pasien dapat mengalami meningitis, abses
epidural, empyema subdural, atau abses otak.
o Meningitis pasca trauma biasanya berhubungan dengan fraktur tengkorak atau
kebocoran cairan serebospinal.
o Abses epidural kranial merupakan infeksi yang jarang terjadi, dimana umumnya
merupakan gejala sekunder pada osteomielitis atau karena adanya benda asing. Cairan
purulen tetap terkumpul dengan baik dan terlokalisasi karena ketatnya ikatan dura
pada kalvaria; namun, abses epidural kranial dapat menyebabkan meningitis dan
empyema subdural, yang terkait dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas yang
signifikan.
o Sumber empyema subdural yang paling sering adalah penetrasi melalui infeksi di
sekitar wajah, seperti sinusitis atau mastoiditis paranasal.
o Abses otak dapat terjadi setelah silent infection berlangsung cukup lama. Hida et al.
(1978) melaporkan kasus abses otak tertunda yang mengikuti luka tembak penetrasi,
38 tahun setelah kejadian [8]. Penatalaksanaan abses epidural, empyema subdural,
dan abses otak terdiri atas pembedahan segera, diikuti dengan pemberian antibiotik
dalam waktu yang cukup lama.
Epilepsi
Epilepsi pasca trauma terkait dengan disabilitas psikososial dan merupakan faktor
yang berkontribusi menyebabkan kematian prematur setelah luka penetrasi kepala [4].
Insidensi epilepsi pasca trauma bervariasi, tergantung pada jenis dan tingkat keparahan dari
luka. Pada luka kepala tertutup, insidensi epilepsi pasca trauma berkisar antara 2,9-17%
untuk luka kepala sedang dan berat. Dalam militer, insidensi epilepsi pada luka tembak
kranioserebral mencapai angka 2 kali lebih besar; suatu penelitian menyebutkan insidensi
kejang dalam 5-10 tahun mencapai 32-51%. Hampir 50% korban trauma penetrasi kepala
dari personil militer akan menderita epilepsi.
Patofisiologi pasti epilepsi pasca trauma setelah luka penetrasi kepala atau luka
tertutup pada kepala masih belum diketahui. Terdapat banyak faktor resiko, seperti pecahan
logam yang tertinggal, perluasan luka, tingkat kesadaran, defisit fokal menetap, dan
komplikasi, yang telah diteliti untuk mengetahui peran masing-masing faktor pada
mekanisme terjadinya epilepsi pasca trauma.
Kebocoran Cairan Serebrospinal
Trauma kepala nerupakan penyebab paling umum kebocoran cairan serebrospinal.
Meningitis 20% terjadi dalam fase akut (dalam 1 minggu) kebocoran pasca trauma dan 75%
dalam fase delayed kebocoran pasca trauma. Penggunaan antibiotik profilaksis untuk
kebocoran cairan serebrospinal, dalam suatu studi, disebutkan dapat menyebabkan infeksi
serius, meliputi drug-resistant meningitis.
Pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal pasca trauma utamanya mendapatkan
penatalaksanaan konservatif dengan bed rest pada posisi yang dapat menyebabkan penurunan
atau penghentian drainase fistula. Jika drainase tidak berhenti dalam 24-48 jam, drain lumbal
dipasang pada kecepatan 10 cc CSF (cerebrospinal fluid) per jam selama 5-7 hari. Drain
lumbal tidak boleh dipasang pada pasien dengan pneumosefalus. Selama drainase cairan
serebrospinal, jika terjadi penurunan kesadaran progresif pada pasien, dokter harus mulai
waspada akan kemungkinan terjadinya pneumosefalus. Jika kebocoran cairan serebrospinal
tidak berhenti dengan drainase lumbal, maka dapat direncanakan terapi bedah untuk
memperbaiki saluran yang terdapat fistula.
Luka vaskuler dapat terjadi karena luka langsung pada pembuluh darah akibat benda
yang menembus, efek ledakan saat trauma, atau karena oklusi vaskuler akibat fragmen tulang
atau fraktur tengkorak. Luka vaskuler langsung yang terjadi sejak terjadinya trauma kepala
dapat tidak menunjukkan gejala dan berlangsung selama beberapa minggu, bulan, atau tahun.
Pseudoaneurisma tertunda pasca trauma dapat muncul beberapa minggu hingga beberapa
bulan setelah terjadinya luka.
Defisit Nervus Kranialis
Pasien yang mengalami luka pada area temporal dan mengalami fraktur tulang
temporal memiliki resiko kerusakan arteri karotis dan pada nervus facialis. Oleh karena itu,
pada pasien yang mengalami penetrating brain injury, sangat penting untuk dilakukan