LAPORAN PENDAHULUAN
CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE) Causa HT (HIPERTENSI)
dan HD (HEMODIALISA)
CKD (CRONIC KIDNEY DISEASE)A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah. (Brunner & Suddarth,
2001).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama
lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda
kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda
kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika
nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m,
sebagai berikut:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau
fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
berdasarkan: Kelainan patologik Petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan2. Laju
filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan
dengan atau tanpa kerusakan Ginjal (Chonchol, 2005)
B. ETIOLOGI
Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh
Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan
urutan etiologi terbanyak adalah glomerulonefritis (25%), diabetes
melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%)
(Roesli, 2008). a. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
b. Penyakit peradangan (glomerulonefritis) primer dan
sekunder
Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya
timbul pasca infeksi streptococcus. Untuk glomerulus akut, gangguan
fisiologis utamanya dapat mengakibatkan ekskresi air, natrium dan
zat-zat nitrogen berkurang sehingga timbul edema dan azotemia,
penigkatan aldoeteron menyebabkan retensi air dan natrium. Untuk
glomerulonefritis kronik, ditandai dengan kerusakan glomerulus
secara progresif lambat, akan nampak ginjal mengkerut, berat lebih
kurang dengan permukaan bergranula. Ini disebabkan jumlah nefron
berkurang karena iskemia, karena tubulus mengalami atropi, fibrosis
intestisial dan penebalan dinding arteri
c. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis
arteri renalis). Merupakan penyakit primer dan menyebabkan
kerusakan pada ginjal. Sebaliknya CKD dapat menyebabkan hipertensi
melalui mekanisme retensi Na dan H2O, pengaruh vasopresor dari
system renin, angiotensin dan defisiensi prostaclandin, keadaan ini
merupakan salah satu penyebab utama GGK, terutama pada populasi
bukan orang kulit putih.
d. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa,
sklerosis sitemik)
e. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal
polikistik, asidosis tubulus ginjal). Penyakit ginjal polikistik
yang ditandai dengan kista multiple, bilateral yang mengadakan
ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim
ginjal normal akibat penekanan. Asidosis tubulus ginjal merupakan
gangguan ekskresi H+ dari tubulus ginjal/kehilangan HCO3 dalam
kemih walaupun GFR yang mamadai tetap dipertahankan, akibatnya
timbul asidosis metabolic.
f. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
g. Nefropati toksik
h. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)
C. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan
diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur
lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes
melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National
Kidney Foundation, 2009).
D. KLASIFIKASI
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan
melalui penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR) dengan
melihat kadar kretatinin. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal
dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh
ginjal yang sehat.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT (
Clearance Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai
berikut :
Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum
merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada
ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal
meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100 persen, sehingga
banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam
stadium.
Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh
karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik.
Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Pada tingkat ini akumulasi sisa sisa metabolisme akan menumpuk
dalam darah yang disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang
mulai dirasakan seperti :
Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh
anemia.
Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami
pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan.
Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak
cairan yang berada dalam tubuh.
Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang
menandakan adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin
juga mengalami perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah
apabila bercampurdengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau
berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang air
kecil di tengah malam.
Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat
ginjal beradan dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai
masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.
Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk
tidur disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless
legs.
Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin
dalam waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal /
dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi
penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada
stadium ini. Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah
:
Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada
ginjal, sulit tidur
Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang
dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat
dideteksi melalui bau pernafasan yang tidak enak.
Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15
ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya
untuk bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi
pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat
bertahan hidup. Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain
:
a. Kehilangan napsu makan
b. Nausea.
c. Sakit kepala.
d. Merasa lelah.
e. Tidak mampu berkonsentrasi.
f. Gatal gatal.
g. Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
h. Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan
kaki.
i. Keram otot
j. Perubahan warna kulit
E. PATOFISIOLOGI
Infeksi (ISK, glomerulonephritis, pielonefritis), penyakit
vaskuler, adanya zat toksik serta penyakit kongenital dapat
mempengaruhi GFR. Khususnya penyakit vaskuler dapat menghambat
suplai darah ke ginjal. Hal ini menyebabkan GFR ginjal menjadi
turun. Kondisi ini menyebabkan kerusakan sebagian nefron. Nefron
yang utuh mencoba untuk meningkatkan reabsorpsi dan filtrasi,
sehingga terjadilah hipertropfi nefron. Yang akan meningkatkan
jumlah nefron yang rusak. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa.
Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih
jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira
fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal
yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit
atau lebih rendah itu.
Gagal ginjal kronis juga akan mempengaruhi aktivasi RAA. Dimaan
renin akan diproduksi dan akan merangsang angiotensin 1 yang
selanjutnya akan diubah menjadi angiotensin 2 dan akan merangsag
sekresi aldosterone. Proses ini akan menyebabkan retensi natrium
dan air sehingga terjadi peningkatan tekanan kapiler dan pada
akhirnya mempengaruhi volume interstitial yang meningkat. Pada
penderita GGK akan timbul sebagai kondisi edema yang biasanya
terjadi pada area ektremitas
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah.
Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah maka gejala akan semakin. Kemudian timbul
kondisi perpospatemia yang akan menimbulkan kondis gatal-gatal
dikulit. Sindrom uremia juga menyebabkan gangguan asam basa dalam
metabolism tubuh yang akan mempangaruhi produksi asam dalam
lambung. Produksi asam lambung ini selanjutnya akan mengiritasi
lambung.
Salah satu terapi pada penderita gagal ginjal kronik adalah
dengan menggunakan CAPD. CAPD merupakan metode pengganti ginjal
dengan memasukkan cairan dialisat dalam area peritoneal melalui
pemasangan kateter. Namun dalam penggunaan cairan dialisat ini
proses pergantian cairan dan konsentrasi cairan dialisat yang
digunakan harus diperhatikan sebab beberapa pasien akan mengalami
nyeri pada proses penggantian ini. Konsentrasi cairan dialisat yang
digunakan pun perlu diperhatikan sebab penggunaan cairan hipertonik
yang berlebih akan menyebabkan pembuangan cairan yang berlebih.
Penggunaan CAPD berkelanjutan juga perlu memperhatikan intake
cairan per oral.
F. TANDA DAN GEJALA
Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis,
effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan,
gangguan irama jantung dan edema.
b. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak,
suara krekels.
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan
metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada saluran
gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau
ammonia.
d. Gangguan musculoskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu
digerakan ), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan terbakar,
terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan
hipertropi otot otot ekstremitas.
e. Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal gatal akibat toksik, kuku tipis dan
rapuh.
f. Gangguan endokrin
g. Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun,
gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa,
gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
h. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi
kehilangan natrium dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia,
hipomagnesemia, hipokalsemia.
i. System hematology
j. Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum sum tulang
berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam
suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis
dan trombositopeni.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Urin Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada
(anuria) Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan
disebabkanoleh pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor,
kecoklatan menunjukkkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin Berat
jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat
Osmoalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakn ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1 Klirens kreatinin: mungkin
agak menurun Natrium:lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak
mampu mereabsorbsi natrium Protein: Derajat tinggi proteinuria
(3-4+) secara kuat menunjukkkan kerusakan glomerulus bila SDM dan
fragmen juga adab. Darah BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin
10 mg/dl diduga tahap akhir Ht : menurun pada adanya anemia. Hb
biasanya kurang dari 7-8 gr/dl SDM: menurun, defisiensi
eritropoitin GDA:asidosis metabolik, ph kurang dari 7,2 Natrium
serum : rendah Kalium: meningkat Magnesium;Meningkat Kalsium ;
menurun Protein (albumin) : menurunc. Osmolalitas serum: lebih dari
285 mOsm/kg\d. Pelogram retrograd: abnormalitas pelvis ginjal dan
uretere. Ultrasono ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya
masa , kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atasf.
Endoskopi ginjal, nefroskopi: untuk menentukan pelvis ginjal,
keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektifg.
Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masah. EKG: ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basaH. PENATALAKSANAAN
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat
akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal
dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet ( Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan
untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka
lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif
nitrogen. b. Kebutuhan jumlah kalori ( Kebutuhan jumlah kalori
(sumber energi) untuk GGK harus adekuatn dengan tujuan utama, yaitu
mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.c. Kebutuhan cairan ( Bila ureum
serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari. d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
( Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual
tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik ( Asidosis metabolik harus dikoreksi
karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan
mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali.
Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia ( Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC)
merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif.
Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat
menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal ( Anoreksi, cegukan, mual dan
muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan
gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari
GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit ( Tindakan yang diberikan harus tergantung
dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuscular ( Beberapa terapi pilihan yang dapat
dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat,
medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Kelainan sistem kardiovaskular ( Tindakan yang diberikan
tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita. 3. Terapi
pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut
dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi
ginjal (Suwitra, 2006).a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis
tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir
akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi
dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa
yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis,ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) >
120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG
antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat (Sukandar, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia.
Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur
lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit
sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik
disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu
keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat
ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi
dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih
seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan
2. hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah.
3. Kualitas hidup normal kembali
4. Masa hidup (survival rate) lebih lama
5. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan
dengan obat imunosupresif
6. untuk mencegah reaksi penolakan
7. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
HIPERTENSI1. PENGERTIAN
Hipertensi ( tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan
diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya, mempunyai rentang
dari tekanan darah normal tinggi sampai hipertensi maligna. Keadaan
ini dikatagorikan sebagai primer/esensial (hampir 90% dari semua
kasus) atau sekunder, terjadi sebagai akibat dari kondisi patologis
yang dapat dikenali seringkali dapat diperbaiki. (Kapita Selecta
Kedokteran ,2001 )2. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi
sekunder atau hipertensi renal.a. Hipertensi esensial
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar
95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik,
lingkungan, hiperaktifitas sistem saraf simpatis, sistem renin
angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca
intraseluler dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko seperti
obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Hipertensi primer
biasanya timbul pada usia 30 50 tahun.
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal terdapat sekitar 5 %
kasus. Penyebab spesifik diketahui, seperti penggunaan estrogen,
penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme
primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarktasio aorta,
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain lain.
a) Hipertensi pada penyakit ginjal
Penyakit ginjal dapat meningkatkan tekanan darah dan sebaliknya
hipertensi dalam jangka waktu yang lama dapat mengganggu ginjal.
Secara klinis sulit untuk membedakan dua keadaan tersebut, terutama
pada penyakit ginjal menahun. Beratnya pengaruh hipertensi terhadap
ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya
menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama
makin berat komplikasi yang mungkin ditimbulkan. Hipertensi pada
penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun
penyakit ginjal kronik, baik pada kelainan glumerolus maupun pada
kelainan vaskular. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat
dikelompokkan dalam :
1. Penyakit glumerolus akut
Hipertensi terjadi karena adanya retensi natrium yang
menyebabkan hipervolemik. Retensi natrium terjadi karena adanya
peningkatan reabsorbsi natrium di duktus koligentes. Peningkatan
ini dimungkankan abibat adanya retensi relatif terhadap Hormon
Natriuretik Peptida dan peningkatan aktivitas pompa Na K ATPase di
duktus koligentes.
2. Penyakit vaskuler
Pada keadaan ini terjadi iskemi yang kemudian merangsang sistem
renin angiotensin aldosteron.
3. Gagal ginjal kronik
Hipertensi yang terjadi karena adanya retensi natrium,
peningkatan sistem Renin Angiotensinogen Aldosteron akibat iskemi
relatif karena kerusakan regional, aktifitas saraf simpatik yang
meningkat akibat kerusakan ginjal, hiperparatiroidis sekunder, dan
pemberian eritropoetin.
4. Penyakit glumerolus kronik
Sistem Renin-Angiotensinogen-Aldoteron (RAA) merupakan satu
sistem hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan
dalm naiknya tekanan darah, pangaturan keseimbangan cairan tubuh
dan elektrolit.
b) Hipertensi pada penyakit renovaskular.Hipertensi renovaskular
merupakan penyebab tersering dari hipertensi sekunder. Diagnosa
hipertensi renovaskular penting karena kelainan ini potensial untuk
disembuhkan dengan menghilangkan penyebabnya yaitu stenosis arteri
renalis. Stenosis arteri renalis adalah suatu keadaan terdapatnya
lesi obstruktif secara anatomik pada arteri renalis. Sedangkan
hipertensi renovaskular adalah hipertensi yang terjadi akibat
fisiologis adanya stenosis arteri renalis. Istilah nefropati
iskemik menggambarkan suatu keadaan terjadinya penurunan fungsi
ginjal akibat adanya stenosis arteri renalis. Jika terjadi gangguan
fungsi ginjal, kelainan ini akan menetap walaupun tekanan darahnya
dapat dikendalikan dengan pengobatan yang meliputi medikamentosa
antihipertensi, revaskularisasi dengan tindakan bedah ataupun
angioplasti.
c) Hipertensi pada kelainan endokrin
Salah satu penyakit yang disebabkan oleh kerusakan endokrin
adalah aldosteronisme primer (Sindrom Conn). Hiperaldosteronisme
primer adalah sindrom yang disebabkan oleh hipersekresi aldesteron
yang tidak terkendali yang umumnya berasal dari kelenjar korteks
adrenal. Hiperaldosteronisme primer secara klinis dikenal dengan
triad terdiri dari hipertensi, hipokalemi, dan alkalosis metabolik.
Sindrom ini disebabkan oleh hiperplasi kelenjar korteks adrenal,
adenoma atau karsinoma adrenal.
d) Sindrom Cushing
Sindrom cushing disebabkan oleh hiperplasi adrenal bilateral
yang disebabkan oleh adenoma hipofisis yang menghasilkan
Adenocorticotropin Hormone (ACTH).
e) Hipertensi adrenal kongenital
Hipertensi adrenal kongenital merupakan penyabab terjadinya
hipertensi pada anak (jarang terjadi).
f) Feokromositoma
Feokromositoma adalah salah satu hipertensi endokrin yang patut
dicurigai apabila terdapat riwayat dalam keluarga. Tanda tanda yang
mencurigai adanya feokromositoma yaitu hipertensi, sakit kepala,
hipermetabolisme, hiperhidrosis, dan hiperglikemia.Feokromositomia
disebabkan oleh tumor sel kromatin asal neural yang mensekresikan
katekolamin. Sebagian besar berasal dari kelenjar adrenal, dan
hanya 10 % terjadi di tempat lain dalam rantai simpatis. 10 % dari
tumor ini ganas dan 10 % adenoma adrenal adalah bilateral.
Feokromositomia dicurigai jika tekanan darah berfluktuasi tinggi,
disertai takikardi, berkeringat atau edema paru karena gagal
jantung.
g) Koartasio aorta
Koarktasi aorta paling sering mempengaruhi aorta pada distal
dari arteri subklavia kiri dan menimbulkan hipertensi pada lengan
dan menurunkan tekanan pada kaki, dengan denyut nadi arteri
femoralis lemah atau tidak ada. Hipertensi ini dapat menetap bahkan
setelah reseksi bedah yang berhasil, terutama jika hipertensi
terjadi lama sebelum operasi.h) Hipertensi pada kehamilan
Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama peningkatan
morbiditas dan mortalitas maternal, janin dan neonatus. Kedaruratan
hipertensi dapat menjadi komplikasi dari preeklampsia sebagaimana
yang terjadi pada hipertensi kronik. Perempuan hamil dengan
hipertensi mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya komplikasi
yang berat seperti abruptio plasenta, penyakit serebrovaskuler,
gagal organ, koagulasi intravaskular. Penelitian observasi pasien
hipertensi kronik yang ringan didapatkan risiko kehamilan
preaklampsia 10 25 %, abruptio 0,7 1,5 %, kehamilan prematur kurang
dari 37 minggu 12 34 %, dan hambatan pertumbuhan janin 8 16 %.
Risiko bertambah pada hipertensi kronik yang berat pada trimester
pertama dengan didapatnya preaklampsia sampai 50 %. Terhadap janin,
mengakibatkan risiko retardasi perkembangan intrauterin,
prematuritas dan kematian intrauterin. Selain itu risiko hipertensi
seperti gagal jantung, ensepalopati, retinopati, perdarahan
serebral, dan gagal ginjal akut dapat terjadi. Sampai sekarang yang
belum jelas apakah tekanan darah yang terkontrol secara agresif
dapat menurunkan terjadinya eklampsia.
i) Hipertensi akibat dari penggunaan obat obatan.
Penggunaan obat yang paling banyak berkaitan dengan hipertensi
adalah pil kontrasepsi oral (OCP). 5% perempuan mengalami
hipertensi sejak mulai penggunaan. Perempuan usia lebih tua (>
35 tahun)lebih mudah terkena, begitupula dengan perempuan yang
pernah mengalami hipertensi selama kehamilan. Pada 50 % tekanan
darah akan kembali normal dalam 3 6 sesudah penghentian pil.
Penggunaan estrogen pascamenopause bersifat kardioproteksi dan
tidak meningkatkan tekanan darah. Obat lain yang terkait dengan
hipertensi termasuk siklosporin, eritopoietin, dan kokain.3.
KLASIFIKASI HIPERTENSI
JNC VII membuat pembagian hipertensi menjadi empat berdasarkan
tekanan siatolik dan diastolik diatas 120/80 mmHg.KategoriTekanan
Sistolik Tekanan Diastolik
Normal 20-30 mg%/hari, Serum kreatinin > 2 mg%/hari,
Hiperkalemia, Overload cairan yang parah, Odem pulmo akut yang
tidak berespon dengan terapi medis
Pada crf: Bun > 200 mg%, Creatinin > 8 mg%, Hiperkalemia,
Asidosis metabolik yang parah.
C. Kontra Indikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor,
penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan
menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses
vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra
indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit
alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati
lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI,
2003).
D. Alat-Alat Hemodialisa1. Dialyzer
Dialyzer adalah suatu alat tempat terjadinya proses dialisa yang
berisi ribuan serat berupa membran semipermeable yang memisahkan
kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Membran semipermeable
adalah lapisan sangat tipis dan memiliki pori-pori mikroskopik.
Partikel kecil dan air bisa lewat, sel-sel darah tak bisa lewat.
Lewat membran inilah terjadi proses difusi dan konveksi, antara
kompartemen darah dengan kompartemen dialisat. Membran dialyzer
dapat berupa hollow fiber atau parallel plate.
a) Hollow-fiber
Penggunaan dialyzer hollow fiber mempunyai beberapa keuntungan,
yaitu volume priming dan compliance yang rendah dan untuk reuse
mudah. Jumlah darah yang dibutuhkan untuk mengisi sebuah dialyzer
hollow fiber dengan luas membran 1,0 m sekitar 65 86 ml, sedangkan
untuk dialyzer plate dengan ukuran yang sama adalah 70 100 ml.
Kerugian hollow fiber adalah adanya volume darah residu yang lebih
besar karena kloting dan adanya potting compound yang digunakan
untuk tempat pelekatan serabut-serabut pada tabung dialyzer. Adanya
potting compound menyebabkan lebih sulitnya untuk membersihkan
residu ethylene oxide yang digunakan untuk sterilisasi.
b) Membran
Material membran. Terdapat tiga tipe membran yang digunakan
dalam dialyzer: selulosa, substituted selulosa dan sintetik. Yang
paling sering dipakai adalah membran selulosa dengan bermacam-macam
nama (regenerated selulosa, cuprammonium selulosa (=Cuprophan),
cuprammonium rayon, saponified selulosa ester). Selulosa mempunyai
banyak gugus hidroksil pada permukaannya. Pada membran selulosa
asetat, gugus hidroksil ini secara kimia terikat pada asetat. Pada
selulosa yang dimodifikasi (modified cellulose = Hemophan),
beberapa gugus hidroksil terikat pada senyawa amino tersier. Pada
bentuk sintetik tidak mengandung selulosa, tetapi menggunakan
polyacrilonitrile (PAN), polysulfone dan polymethylmethacrylate
(PMMA). Aktifasi komplemen. Gugus hidroksil bebas pada permukaan
membran selulosa dipercaya dapat mengaktifkan sistem komplemen
dalam darah yang melalui dialyzer. Aktifasi komplemen lebih jarang
pada pemakaian membran substituted cellulose (asetat selulosa dan
modified cellulose) dan sintetik. Aktifasi komplemen dapat
dikurangi dengan dialyzer re-used.Permeabilitas membran terhadap
solut dan air. Permeabilitas membran terhadap solut dan air dapat
diubah dengan mengubah ketebalan membran dan ukuran pori-pori
c) Metode Sterilisasi. Metode sterilisasi dialyzer yang paling
sering adalah dengan gas ethylene oxide. Pemakaian ethylene oxide
dikaitkan dengan terjadinya reksi anafilaksis saat dialisa. Metode
lain menggunakan iradiasi gamma atau autoclav.2. Air untuk
DialisaSekali terapi dialisa, diperlukan sekitar 120 liter air.
Semua bahan dengan molekul kecil yang ada dalam air akan
berhubungan langsung dengan aliran darah pasien seperti halnya jika
diberikan secara injeksi intravena. Atas dasar ini, kemurnian air
untuk dialisa menjadi hal yang sangat penting dan harus tetap
terkontrol. a) Pentingnya kontaminan dalam air. Beberapa kontaminan
kadang-kadang terdapat dalam air yang digunakan untuk dialisa.
Aluminium dapat menyebabkan penyakit tulang, kemunduran neurologik
progresif dan anemia. Tembaga dapat menyebabkan anemia hemolitik.
Hemolitik anemia juga bisa akibat kloramin, suatu bahan kimia yang
digunakan untuk mengendalikan kontaminasi bekteri.b) Sterilitas.
Air untuk dialisa tidak harus steril, karena membran dialyzer
sendiri dapat berfungsi sebagai barier yang efektif terhadap
bakteri dan endotoksin. Meskipun demikian, hitung bakteri harus
kurang dari 200 koloni/ml dalam air dan kurang dari 2000 koloni/ml
dalam dialisat. Secara periodik harus dilakukan desinfeksi pada
sistem water treatment. Penggunaan membran high-flux dapat
mempermudah masuknya endotoksin dan produk-produk bakteri kedalam
sirkulasi darah yang dapat merangsang sel-sel monosit untuk untuk
memproduksi sitokin (interleukin-1; IL-1) yang menimbulkan panas
badan.c) Metode pemurnian air untuk dialisa. Metode reverse
osmosis, yaitu dengan mendorong air melalui membran semipermeabel
dengan pori-pori yang cukup kecil untuk menahan masuknya solut
dengan BM yang kecil seperti urea, natrium dan klorida. Metode ini
dapat membuang lebih dari 90% kotoran yang sudah cukup murni untuk
dialisa. Metode lain dengan resin penukar ion (ion exchange resins)
membuang semua ion bermuatan dari sumber air dan harus digunakan
bersama dengan karbon aktif untuk membuang kontaminan non-ionik.
Dapat juga metode gabungan, pertama dengan reverse osmosis
dilanjutkan dengan resin penukar ion dan karbon. 3. Cairan
Dialisa
a) Mengandung Asetat. Dialisat asetat biasanya dijual sebagai
cairan konsentrat yang diencerkan dengan air murni oleh mesin
dialisa (biasanya dalam perbandingan 1 : 34).
b) Mengandung Bikarbonat. Kalsium dan magnesium tidak dicampur
secara langsung dalam konsentrat yang mengandung bikarbonat, karena
dapat menyebabkan pengendapan kalsium dan magnesium karbonat. Untuk
mengatasi masalah ini konsentrat bikarbonat dibuat dalam dua
komponen, yaitu komponen bikarbonat dan komponen asam. Komponen
asam mengandung sejumlah kecil asam laktat atau asam asetat
ditambah kalsium dan megnesium. Mesin dialisa yang didesain khusus
mencampur kedua komponen secara simultan dengan air murni untuk
menghasilkan cairan dialisat. Selama pencampuran, asam dalam
konsentrat asam akan bereaksi dengan bikarbonat untuk menghasilkan
karbondioksida (CO2). Selanjutnya CO2 akan membentuk asam karbonik
yang akan menurunkan pH dialisat bikarbonat menjadi kira-kira 7.0
7.4. Dengan rentang pH seperti ini dan lebih rendahnya kadar
kalsium dan magnesium dalam campuran final, maka kadar keduanya
tetap dalam larutan. Meski demikian kadang-kadang masih terjadi
endapan mikro yang mengendap dalam pipa-pipa mesin dialsa.
Tabel 1 . Komponen standar cairan dialisa asetat dan
bikarbonat
Komponen Kandungan Asetat (mEq/liter)Kandungan Bikarbonat
(mEq/liter)
Natrium 135 145135 145
Kalium0 4.0 0 4.0
Kalsium2.5 3.52.5 3.5
Magnesium0.5 1.00.5 1.0
Klorida100 119100 119
Asetat35 382 4
Bikarbonat030 38
Dekstrosa1111
PCO 2 (mm Hg)0.540 -100
pH Variasi 7.1 7.3
4. Mesin Hemodialisa
a) Blood pump. Pompa darah memompa darah dari pasien ke dialyzer
dan kembali ke pasien. Percepatan aliran untuk pasien dewasa
biasanya 200-300 ml/mnt (sampai 600 ml/mnt untuk dialysis efisiensi
ultra-high)
b) Sistem Delivery Cairan dialisa.
Sistem delivery sentral dan individual. Pada sistem delivery
sentral, semua larutan untuk unit dialisa dihasilkan oleh satu
mesin dan hasil akhirnya akan dipompa melalui pipa ke setiap mesin
dialisa. Sedangkan sistem individual, setiap mesin mencampur
sendiri konsentrat cairan dengan air murni untuk dialisanya.
Heating dan Degassing. Cairan dialisat harus dipanaskan dulu
oleh mesin sebelum dipompa ke dialyzer pada suhu yang tepat (34-39
C). Begitu juga dengan bahan terlarut (udara) harus dibuang sebelum
digunakan. Proses degassing ini biasanya dikerjakan dengan
memberikan tekanan negatif pada air yang sudah dipanaskan.
Tekanan Negatif: Pompa dialisat terletak pada line dari dialyzer
ke drain. Lokasi ini memungkinkan mesin untuk membuat tekanan
negatif dalam kompartemen dialisat dari dialyzer untuk melakukan
ultrafiltrasi. Tekanan negatif dihasilkan dengan melakukan oklusi
parsial line jalur dialisat ke dialyzer.
c) Alat Monitor
1. Sirkuit Darah
Monitor Tekanan (pressure monitor)
Lokasi alat monitor tekanan umumnya pada proksimal dari pompa
darah dan distal dari dialiser. Monitor yang berlokasi disini
digunakan untuk menjaga penyedotan akses vaskuler yang berlebihan
oleh pompa darah, sedangkan monitor di distal dari dialyzer
(monitor vena) berguna untuk menjaga adanya tahanan berlebihan
kembalinya darah pada akses vaskuler dan juga dapat untuk estimasi
tekanan kompartemen darah pada dialiser.
Kadang-kadang monitor arteri diletakkan pada distal dari pompa
darah dan proksimal dari dialyzer. Monitor ini digunakan untuk
mendeteksi kloting dalam dialyzer dan untuk membantu mesin agar
lebih tepat memperkirakan tekanan dalam kompartemen darah
dialiser.
Perangkap (trap) dan detektor udaraAlat ini berlokasi distal
dari monitor tekanan vena. Tujuan detektor dan perangkap udara ini
adalah untuk mencegah gelembung udara masuk dalam sirkuit darah
yang kembali ke pasien.
2. Sirkuit Cairan Dialisat
Konduktivitas dialisat
Jika sistem pencampuran (proporsi) yang melarutkan konsentrat
dengan air terganggu tidak tepat dapat timbul masalah. Paparan
darah pada dialisat yang hiperosmoler menyebabkan hipernatremia dan
kelainan elektrolit yang lain. Paparan pada dialisat yang
hipoosmoler menyebabkan hemolisis atau hiponatremia. Oleh karena
solut dalam dialisat adalah elektrolit, maka derajat kadar dialisat
direfleksikan oleh konduktivitas elektriknya, dan proporsi
konsentrat terhadap air dapat dimonitor dengan suatu pengukur yang
secara terus-menerus mengukur konduktifitas dari dialisat yang
dihasilkan yang akan ke dialyzer.
Temperatur Dialisat
Gangguan pada elemen pemanas dalam mesin dialisa dapat
menyebabkan dialisat yang sangat dingin atau panas. Pemakaian
dialisat yang dingin tidak berbahaya, pasien hanya akan mengeluh
dingin dan menggigil, kecuali pasien tidak sadar karena dapat
terjadi hipotermia. Jika tertalu panas (>420C) dapat menyebabkan
hemolisis. Katub bypass. ( Bekerja jika konduktivitas dialisat atau
suhu diluar batas.
Detektor kebocoran darah( Detektor kebocoran darah terletak pada
line outflow dialisat.
Monitor tekanan outflow dialisat.
d) Lain-lain
1. Pompa Heparin
2. Bikarbonat
3. Sodium: Kadar Na biasanya diubah dengan mengubah proporsi
kadarnya terhadap air.
4. Pengontrol UF
E. Komplikasi HemodialisisKomplikasi yang paling sering
hemodialisa berturut-turut dari yang tertinggi adalah hipotensi
(20-30%), kramp (5-20%), nausea dan vomiting (5-15%), nyeri dada
(2-5%), back pain (2-5%), gatal (5%) panas/nggigil (