Nama : Ihwan Ukhrawi Ali Stambuk : N 101 11 008 Kelompok : 5 (lima) Paper Tutorial Blok 19 “ Berkurangnya Rasa Pada Kulitku “ 1. Mengapa terjadi kurangnya rasa pada kulit? 2. Dermatom pada kulit? 3. Patofisiologi (papula,vesikel,urticaria)? 4. DD & DB (etio-prognosis) DD? 5. Mengapa benjolan hanya terjadi pada daerah tertentu? 6. Kaitan kedua keluhan pada scenario? 7. Efek farmakologi pada pengobatan di scenatio? 8. Management terapi pada infeksi kulit dan jenis" infeksi kulit? 9. Cara klasifikasi pada penyakit kulit? 10. Cara pengobatan topikal dan sistemik? 11. Pemeriksaan untuk kedua keluhan pada scenario? 12. Tipe" MH? Jawaban 1. Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya basil yang dapat menginfeksi sistem saraf tepi dan merupakan penyebab infeksi tersering neuropati perifer. Perubahan patologis pada saraf disebabkan oleh invasi M.leprae pada sel Schwann. Inflamasi dengan infiltrasi selular dan edema menyebabkan pembengkakan pada saraf dan penekanan serabut saraf. Kerusakan saraf pada kusta mengenai peripheral nerve trunk dan small dermal nerve. Saraf tepi yang terlibat yaitu pada fibro-osseus tunnel dekat permukaan kulit meliputi Nervus (N.)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Nama : Ihwan Ukhrawi Ali
Stambuk : N 101 11 008
Kelompok : 5 (lima)
Paper Tutorial Blok 19
“ Berkurangnya Rasa Pada Kulitku “
1. Mengapa terjadi kurangnya rasa pada kulit?2. Dermatom pada kulit?3. Patofisiologi (papula,vesikel,urticaria)?4. DD & DB (etio-prognosis) DD?5. Mengapa benjolan hanya terjadi pada daerah tertentu?6. Kaitan kedua keluhan pada scenario?7. Efek farmakologi pada pengobatan di scenatio?8. Management terapi pada infeksi kulit dan jenis" infeksi kulit?9. Cara klasifikasi pada penyakit kulit?10. Cara pengobatan topikal dan sistemik?11. Pemeriksaan untuk kedua keluhan pada scenario?12. Tipe" MH?
Jawaban
1. Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya basil yang dapat menginfeksi sistem saraf tepi dan merupakan penyebab infeksi tersering neuropati perifer. Perubahan patologis pada saraf disebabkan oleh invasi M.leprae pada sel Schwann. Inflamasi dengan infiltrasi selular dan edema menyebabkan pembengkakan pada saraf dan penekanan serabut saraf. Kerusakan saraf pada kusta mengenai peripheral nerve trunk dan small dermal nerve. Saraf tepi yang terlibat yaitu pada fibro-osseus tunnel dekat permukaan kulit meliputi Nervus (N.) auricularis magnus, ulnaris, medianus, radiculocutaneus, poplitea lateralis, dan tibialis posterior. Keterlibatan pada saraf ini menyebabkan pembesaran saraf, dengan atau tanpa nyeri dengan pola penurunan fungsi sensoris dan motoris regional. Kerusakan small dermal nerve menyebabkan keluhan anestesi parsial pada kusta tipe tuberkuloid dan borderline tuberculoid, serta glove and stocking sensory loss pada tipe lepromatosa.
2. Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis. Ada 8 saraf
servikal, 12 saraf torakal, 5 saraf lumbal dan 5 saraf sakral. Dermatom sangat bermanfaat dalam
bidang neurologi untuk menemukan tempat kerusakan saraf saraf spinalis.
3. Spongiosis:
Disebabkan karena masuknya cairan dan leukosit dari dermis à edema interselular di antara
sel-sel keratinosit à ikatan antar sel melebar à ikatan putus. Contoh: dermatitis kontak alergi
(DKA)
Degenerasi balon:
Disebabkan karena infeksi intraseluler à degenerasi balooning à lisis sel à celah à
vesikel/bula.
Contoh: varicela, herpes simpleks
Akantolisis:
Disebkan karena proses akantolisis, yakni hilangnya spina atau akanta atau jembatan antar sel,
sehingga terbentuk celah atau rongga yang berisi cairan.Biasanya disebabkan autoimun.
Contoh : pemfigus
Sitolisis
Disebabkan kerusakan/ketidaksempurnaan komponen sel/struktur lapisan kulit à sitolisis à
sehingga terbentuk celah. Contoh : epidermolisis bulosa
4. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Keluhan 2 : Lepra/Kusta
a. Epidemiologi
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel rambut,
kelenjar keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum dapat mengandung
banyak M.leprae yang berasal dari mukosa traktus respiratorius bagian atas. Tempat
implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur,
anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak
dibawah umur 14 tahun didapatkan 13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang
sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur anatar 25-35 tahun.
b. Etiologi
Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A
HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dibiakkan
dalam media artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8Um x 0.5 Um,
tahan asam dan alkohol serta Gram-positif.
Gambar :Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen
c. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan
pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering adalah melalui
kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin. Penularan melalui kontak
langsung antar kulit yang erat dan lama merupakan anggapan klasik. Anggapan kedua
ialah secara inhalasi dan melalui mukosa nasal, sebab M. Leprae masih dapat hidup
beberapa hari dalam droplet. Pengaruh M. Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor
imunitas seseorang.
Bila basil M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung kepada sistem
imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan tampak gambaran klinis kearah
tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa.
d. Gejala Klinis
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk
makula saja, infiltrat saja , atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada
tidaknya anestesia sangat membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas.
Hal ini mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap
rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut barulah pengujian
terhadapa rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.
Dehidrasi diperhatikan di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, dipertegas
dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara mengoresnya mulai dari tengah
lesi kearah kulit normal. Diperhatikan juga ada atau tidak alopesia di daerah lesi.
Pada pemeriksaan saraf perifer diperhatikan apakah ada pembesaran, konsistensi,
dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan perlu diperiksa
yaitu, N. Fasialis, N. Arikulus magnus, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Radialis, N. Tibialis
posterior dan N Poplitea lateralis. Bagi tipe lepromataso, kelainan saraf biasanya bilateral
dan menyeluruh sedangkan bagi tipe tuberkuloid , kelainan sarafnya lebih terlokalisasi
mengikut tempat lesinya.
Deformitas pada kusta , dibagi menjadi deformitas primer dan sekunder.
Deformitas primer sebagai akibat langsung granuloma yang terbentuk sebagai reaksi
terhadap M. Leprae , yang mendesak dan merusak jaringan sekitarnya, yaitu kulit,
mukosa respiratorius bagian atas, tulang-tulang jari dan wajah. Deformitas sekunder
terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umunya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi
terutama kerana keruskaan saraf.
Keluhan 1 : Dermatitis Kontak
DKI DKADefinisi Reaksi peradangan kulit
non-imunologik, kerusakan kulit terjadi langsung tanpa tanpa didahului proses sensitisasi.
Terjadi pada seseorang yang telah mengallami sensitisasi terhadap suatu allergen.
epidemiologi Dapat diderita semua gologan ras, umur, dan jenis kelamin. Jumlah penderita diperkirakan cukuo banyak, terutama berhubungan dengan pekerjaan.
Lebih sedikit disbanding DKI Karena hanya terjadi pada orang dengan kulit yang hipersensitif.
etiologi Bahan yang bersifat iritan seperti pelarut, deterjen , minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya rendah (<1.000 dalton), merupakan allergen
yang belum diproses, disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif.
patoenesis Kelainan timbul akibat kerusakan yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan memasuki lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit.merusak membrane lemak keratinosit , sebagian dapat menembus membrane sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membrane mengaktifkan fosolipase dan melepaskan AA, Diasilgliserida (DAG), platelet activating factor (PAF), dan inositida (IP3). AA disubah menjadi PG dan Leukotrien (LT). PG dan PT menginduksi vaodilatasi meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin, dan rentetan kejadian lainnya.
Mekanisme mengikuti proses imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV, hipersensitivites tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi.
Fase sensitisasi: hapten masuk kedalam epidermis melewati stratum korneum ditangkap oleh sel langerhans dengan cara pinositosis dan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasi oleh molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Setelah keratinosit terpajan oleh hapten yang juga memiliki sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang mengaktifkan sel langerhans sehingga mampu menstimulasi sel-T, dan rentetan kejadian lainnya.
Fase elisitasi : terjadi pada pajanan ulang allergen (hapten), seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel langerhans.
Gejala klinis Bergantung sifat bahan iritan. Iritan yang kuat memberikan gejala akut.
DKA akut seperti larutan asam sulfat dan asam hidroklorid atau basa kuat. Kulit terasa pedih, panas, terbakar, kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis., pinggir kelainan kulit berbeatas tegas pada
Penderita umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut, dimulai dengan bercak erimatosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula yang dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut misalnya kelopak mata, penis, skrotum, eritema dan edema lebih dominan
umumnya asimetris.DKA lambat: gajala sama
dengan DKA akut, tapi baru muncul 8-24 jam atau lebih setelah kontak, misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida, seprti halnya bulu serangga dimana pada awalnya hanuya terlihat eritema dan sore harinya sudah menjadi vesikel atah bahkan nekrosis.
daripada vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas.
diagnosis DKI akut lebih mudah didiagnosis karena munculnya lebih cepat. DKI lambat/kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, untuk itu diperlukan uji temple dengan bahan yang dicurigai.
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai. Pemeriksaan fisik sangat perlu utnutk karena dengan melihat lokasi dan pola kelainan pada kulit dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Pengobatan Yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan. Jika hal ini dapat disingkirkan DKI dapat sembuh dengan sendirinya. Jika diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortkosteroid topical, misalnya hidrokortison, jika kelainan yang lebih kuat, dapat diberikan kortikosteroid yang lebih kuat.
Yang terpenting yaitu upaya pencegahan berulangnya kontak dengan allergen penyebab. Kortiosteroid dapat diberikan jangka pendek, misalnya prednisone 30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal atau larutan air salisil 1 : 1000. Setelah reda, cukup berikan kortikosteroid atau makrolaktam secara topical.
Prognosis Jika bahan iritan tidak dapat disembuhkan dengan sempurna, prognosisnya kurang baik. Keadaaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifactor.
Umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik jika bersamaan dengan oleh faktor endogen karena dapat menjadi kronis.
5. benjolan terjadi pada daerah yang terpapar langsung sehingga hanya terjadi pada daerah
tertentu, sedangkan lepra dapat menyebar karena melibatkan reaksi imunitas.
6. tidak terdapat hubungan dari kedua skenario.
7. Efek samping obat yang diberikan adalah warna kulit dapat kecoklatan sampai kehitam-
hitaman tetapi dapat hilang bila pemberian obat dihentikan, gangguan pencernaan dapat berupa
diare dan nyeri pada lambung.
9. Klasifikasi penyakit kulit
klasifikasi penyakit kulit berdasarkan penyebabnya:
Beberapa perbedaan mekanisme kerja obat topical disebabkan komponen sediaan
yang larut dalam lemak dan larut dalam air.
1. Cairan
Pada saat diaplikasikan di permukaan kulit, efek dominan cairan akan berperan
melunakkan karena difusi cairan tersebut ke masa asing yang terdapat di atas permukaan
kulit; sebagian kecil akan mengalami evaporasi. Dibandingkan dengan solusio, penetrasi
tingtura jauh lebih kuat. Namun sediaan tingtura telah jarang dipakai karena efeknya
mengiritasi kulit. Bentuk sediaan yang pernah ada antara lain tingtura iodi dan tingtura
spiritosa.
2. Bedak
Oxydum zincicum sebagai komponen bedak bekerja menyerap air, sehingga memberi
efek mendinginkan. Komponen talcum mempunyai daya lekat dan daya slip yang cukup
besar. Bedak tidak dapat berpenetrasi ke lapisan kulit karena komposisinya yang terdiri
dari partikel padat, sehingga digunakan sebagai penutup permukaan kulit, mencegah dan
mengurangi pergeseran pada daerah intertriginosa.
3. Salep
Salep dengan bahan dasar hidrokarbon seperti vaselin, berada lama di atas permukaan
kulit dan kemudian berpenetrasi. Oleh karena itu salep berbahan dasar hidrokarbon
digunakan sebagai penutup. Salep berbahan dasar salep serap (salep absorpsi) kerjanya
terutama untuk mempercepat penetrasi karen Dasar salep yang dapat dicuci dengan air
dan dasar salep larut dalam air mampu berpenetrasi jauh ke hipodermis sehingga banyak
dipakai pada kondisi yang memerlukan penetrasi yang dalam.
4. Krim
Penetrasi krim jenis W/O jauh lebih kuat dibandingkan dengan O/W karena komponen
minyak menjadikan bentuk sediaan bertahan lama di atas permukaan kulit dan mampu
menembus lapisan kulit lebih jauh. Namun krim W/O kurang disukai secara kosmetik
karena komponen minyak yang lama tertinggal di atas permukaan kulit. Krim O/W
memiliki daya pendingin lebih baik dari krim W/O, sementara daya emolien W/O lebih
besar dari O/W.
5. Pasta
Sediaan berbentuk pasta berpenetrasi ke lapisan kulit. Bentuk sediaan ini lebih dominan
sebagai pelindung karena sifatnya yang tidak meleleh pada suhu tubuh. Pasta berlemak
saat diaplikasikan di atas lesi mampu menyerap lesi yang basah seperti serum.
6. Bedak kocok
Mekanisme kerja bedak kocok ini lebih utama pada permukaan kulit. Penambahan
komponen cairan dan gliserin bertujuan agar komponen bedak melekat lama di atas
permukaan kulit dan efek zat aktif dapat maksimal.
7. Pasta pendingin
Sedikit berbeda dengan pasta, penambahan komponen cairan membuat sediaan ini lebiha
komponen airnya yang besar. mudah berpenetrasi ke dalam lapisan kulit, namun
bentuknya yang lengket menjadikan sediaan ini tidak nyaman digunakan dan telah jarang
dipakai.
8. Gel
Penetrasi gel mampu menembus lapisan hipodermis sehingga banyak digunakan
padakondisi yang memerlukan penetrasi seperti sediaan gel analgetik. Rute difusi jalur
transfolikuler gel juga baik, disebabkan kemampuan gel membentuk lapisan absorpsi.
11. Manajemen pemeriksaan
Penegakan Diagnosis Lepra (level 4A)
Diawali dari Anamnesis dari keluhan pasien : Misalnya keluhan berupa : terdapat lesi di hampir seluruh kulit, dengan ciri khas : berbatas tegas berbentuk lingkaran, berwarna cokelat dan Kemerahan. Adanya kehilangan sensibilitas dan sensitivitas raba kulit. Dan sebagainya.
Tanyakan riwayat penyakit terdahulu, Sekarang dan keluarga : apabila ada penyakit Metabolik dan penyakit kulit serta penyakit lain yang pernah di derita sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik :
Berdasarkan gejala:
Keluhan :
Bercak kulit berwarna merah atau putih berbentuk plakat, terutama di wajah dan telinga. Bercak kurang/mati rasa, tidak gatal. Lepuh pada kulit tidak dirasakan nyeri. Kelainan kulit tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi.
a. Faktor Risikob. Sosial ekonomi rendah.c. Kontak lama dengan pasien, seperti anggota keluarga yang didiagnosisd. dengan leprae. Imunokompromaisf. Tinggal di daerah endemik lepra
Pemeriksaan Fisik
Tanda Patognomonis
a. Tanda-tanda pada kulitPerhatikan setiap bercak, bintil (nodul), bercak berbentuk plakat dengan kulit mengkilat atau kering bersisik. Kulit tidak berkeringat dan berambut. Terdapat baal pada lesi kulit, hilang sensasi nyeri dan suhu, vitiligo. Pada kulit dapat pula ditemukan nodul.
b. Tanda-tanda pada saraf
Penebalan nervus perifer, nyeri tekan dan atau spontan pada saraf, kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak, kelemahan anggota gerak dan atau wajah, adanya deformitas, ulkus yang sulit sembuh. Kerusakan saraf tepi biasanya terjadi pada saraf yang ditunjukkan pada gambar berikut:
Pada umumnya 3 saraf penting yang di nilaiSaraf ulnaris - untuk memeriksa sarafulnaris kiri, pegang lengan bawah kiripenderita dengan tangan kiri Anda;raba di bawah siku penderita dengantangan kanan Anda. Anda akanmenemukan saraf ulnaris di cekunganpada sisi median (dalam). Lakukansebaliknya untuk memeriksa sarafulnaris lengan kanan.
Saraf medianus - untuk memeriksasaraf medianus, pegang pergelanganpenderita dengan telapak tangannya
menghadap ke atas; raba hati-hati ditengah-tengah pergelangan. Sarafmedianus mungkin tidak teraba, tapiada tidaknya nyeri tekan tetap dapatterdeteksi.
Saraf peroneus - untuk meraba saraf peroneuskanan, minta penderita duduk di kursi dankemudian Anda duduk atau berlutut didepannya. Gunakan tangan kiri Anda untukmeraba saraf di sisi luar betis sedikit dibawah lutut dan lekukan sekitar tulang dibawah lutut. Gunakan tangan kanan Andauntuk memeriksa saraf Peroneus kiri.Apabila Anda menemukan nyeri tekan yangjelas, catat pada rekam medis atau formulirperawatan rutin.
12. Klasifikasi MH
Klasifikasi MH
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit lepra yang
terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
Li: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tipe 1 (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar,
yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL
adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li
disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa.
BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini
adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL.Zona spektrum
kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat dibawah.
Tabel : Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB).
Yang termasuk multibasilar adalah tipe LL,BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling
dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT
dengan IB kurang dari 2+.
Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan . Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negetif pada pemeriksaan kerokan
kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut klasifikasi Ridley- Jopling. Sedangkan kusta MB
adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya degan
BTA positif , harus diobati dengan rejimen MDT-MB.
Kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil kulit hapusan.
Dalam klasifikasi berdasarkan apusan kulit, pasien menunjukkan apusan negatif yang
dikelompokkan sebagai paucibacillary kusta (PB), sementara mereka yang menunjukkan
apusan positif di situs manapun dikelompokkan sebagai memiliki kusta multibasiler
(MB).Namun, dalam praktiknya, sebagian besar program menggunakan kriteria klinis untuk
mengklasifikasikan dan menentukan rejimen pengobatan yang tepat untuk setiap pasien,
terutama mengingat tidak-tersediaan layanan apusan kulit. Sistem klasifikasi klinis untuk
tujuan pengobatan meliputi penggunaan jumlah lesi kulit dan saraf yang terlibat sebagai
dasar untuk pengelompokan pasien kusta multibasiler ke (MB) dan paucibacillary (PB) kusta.
Klasifikasi Zona Spektrum Kusta
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB
PB MB
Lesi kulit ( makula datar,
papul yang meninggi, nodus)
- 1-5 lesi
- Hipopigmentasi/
eritema
- Distribusi yang tidak
simetris
- Hilangnya sensasi
yang jelas
- >5 lesi
- Distribusi yang
simetris
- Hilangnya sensasi
kurang jelas
Kerusakan saraf
( menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
terkena)
- Hanya satu cabang
saraf
- Banyak cabang saraf
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)
Daftar Pustaka
Djuanda, Adhi (2000), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jilid III, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Guyton, 2010, buku ajar anatomi dan fisiologi manusia, EGC, jakarta Sobbota, 2010, Atlas