2 PENDAHULUAN Batik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang saat ini telah berkembang pesat, baik lokasi penyebaran, teknologi maupun desainnya. Semula batik hanya dikenal di lingkungan keraton di Jawa dan dibuat dengan sistem tulis sedangkan pewarna yang digunakan berasal dari alam baik tumbuh – tumbuhan maupun binatang (Atikasari,2005). Bahan pewarna alami ini meliputi pigmen yang sudah terdapat dalam bahan atau terbentuk pada proses pemanasan, penyimpanan, atau pemrosesan. Beberapa pigmen alami yang banyak terdapat di sekitar kita antara lain: klorofil, karotenoid, tanin, dan antosianin. Umumnya, pigmen - pigmen ini bersifat tidak cukup stabil terhadap panas, cahaya, dan pH tertentu (Kwartiningsih dkk.,2009). Salah satu bahan alam yang akan dimanfaatkan yaitu limbah teh, berupa ampas daun-daun teh dalam jumlah besar dari pusat-pusat produksi minuman berbahan dasar teh. Pada umumnya, cara pembuangan dan penanganan limbah teh ke tempat - tempat pembuangan tidak sesuai bila dilakukan pada kuantitas limbah yang sangat besar, karena dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain itu, sampai saat ini pemanfaatan limbah teh masih sangat sederhana yaitu sebagai pupuk kompos serta campuran makanan ternak. Maka dari itu, akan dilakukan suatu penelitian untuk lebih memaksimalkan potensi dari limbah teh yaitu sebagai pewarna alami. Dengan memanfaatkan pewarna alami dari bahan alam nantinya akan dapat mengurangi adanya pencemaran lingkungan. Limbah teh berpotensi untuk memberikan warna yang dapat dijadikan sebagai pewarna batik tulis. Secara visualisasi, warna dari limbah teh sendiri adalah cokelat kehijau- hijauan dan itu secara kimia dapat dikategorikan sebagai pigmen warna yaitu tanin. Tanin dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda. Di Indonesia sumber tanin antara lain diperoleh dari jenis bakau-bakauan atau jenis-jenis dari Hutan Tanaman Industri seperti akasia (Acacia sp), ekaliptus (Eucalyptus sp), pinus (Pinus sp), teh (Camellia sinensis) dan sebagainya (Risnasari,2002). Zat warna alam mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan zat warna alam adalah beban pencemaran yang relatif rendah dan tidak beracun, sedangkan kekurangan zat warna alam adalah belum mempunyai standar warna, ketahanan luntur
14
Embed
Limbah Teh Hijau sebagai Pewarna Alami Batik Tulis ...€¦ · Limbah teh berpotensi untuk memberikan warna yang dapat dijadikan sebagai pewarna batik tulis. Secara visualisasi, warna
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
2
PENDAHULUAN
Batik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang saat ini telah berkembang
pesat, baik lokasi penyebaran, teknologi maupun desainnya. Semula batik hanya dikenal
di lingkungan keraton di Jawa dan dibuat dengan sistem tulis sedangkan pewarna yang
digunakan berasal dari alam baik tumbuh – tumbuhan maupun binatang
(Atikasari,2005). Bahan pewarna alami ini meliputi pigmen yang sudah terdapat dalam
bahan atau terbentuk pada proses pemanasan, penyimpanan, atau pemrosesan. Beberapa
pigmen alami yang banyak terdapat di sekitar kita antara lain: klorofil, karotenoid,
tanin, dan antosianin. Umumnya, pigmen - pigmen ini bersifat tidak cukup stabil
terhadap panas, cahaya, dan pH tertentu (Kwartiningsih dkk.,2009).
Salah satu bahan alam yang akan dimanfaatkan yaitu limbah teh, berupa ampas
daun-daun teh dalam jumlah besar dari pusat-pusat produksi minuman berbahan dasar
teh. Pada umumnya, cara pembuangan dan penanganan limbah teh ke tempat - tempat
pembuangan tidak sesuai bila dilakukan pada kuantitas limbah yang sangat besar,
karena dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain itu, sampai saat ini
pemanfaatan limbah teh masih sangat sederhana yaitu sebagai pupuk kompos serta
campuran makanan ternak. Maka dari itu, akan dilakukan suatu penelitian untuk lebih
memaksimalkan potensi dari limbah teh yaitu sebagai pewarna alami. Dengan
memanfaatkan pewarna alami dari bahan alam nantinya akan dapat mengurangi adanya
pencemaran lingkungan.
Limbah teh berpotensi untuk memberikan warna yang dapat dijadikan sebagai
pewarna batik tulis. Secara visualisasi, warna dari limbah teh sendiri adalah cokelat
kehijau- hijauan dan itu secara kimia dapat dikategorikan sebagai pigmen warna yaitu
tanin. Tanin dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia
baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang
berbeda-beda. Di Indonesia sumber tanin antara lain diperoleh dari jenis bakau-bakauan
atau jenis-jenis dari Hutan Tanaman Industri seperti akasia (Acacia sp), ekaliptus
(Eucalyptus sp), pinus (Pinus sp), teh (Camellia sinensis) dan sebagainya
(Risnasari,2002).
Zat warna alam mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan zat warna
alam adalah beban pencemaran yang relatif rendah dan tidak beracun, sedangkan
kekurangan zat warna alam adalah belum mempunyai standar warna, ketahanan luntur
3
rendah, proses untuk mendapatkan masih sulit, proses pewarnaan rumit dan koleksi
warna terbatas. Ketahanan luntur warna merupakan unsur yang sangat menentukan
mutu suatu pakaian atau bahan berwarna. Warna yang baik pada bahan tekstil nantinya
menjadi tidak diminati konsumen jika bahan tekstil tersebut pudar warnanya (Kusriniati,
2007). Penggunaan larutan fiksatif dalam proses pewarnaan kain akan membuat warna
menjadi tidak mudah pudar (Ruwana,2008), maka dari itu perlu diketahui sejauh mana
pengaruh fiksatif terhadap ketuaan dan ketahanan luntur warna limbah teh hijau pada
kain batik dengan menggunakan metode pengolahan citra digital RGB (Arham, 2004).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk
menentukan pengaruh fiksasi terhadap ketuaan warna dan ketahanan luntur warna kain
mori dan sutra dengan menggunakan pewarna alami limbah teh hijau terhadap
pencucian dan panas penyetrikaan berdasarkan metoda pengolahan citra digital RGB.
METODOLOGI
Bahan dan piranti
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu limbah teh hijau yang
diperoleh dari PT.Coca Cola Ungaran, kain mori dan kain sutra. Sedangkan bahan kimia
yang digunakan adalah tunjung (FeSO4), tawas (KAl2(SO4)2), kapur tohor (Ca(OH)2),
asam asetat (CH3COOH) 0,014%, soda abu (Na2CO3), sabun netral dan akuades.
Piranti yang digunakan antara lain : neraca Ohaus, gelas ukur, baskom, kain
*Angka-angka yang disertai oleh huruf yang sama menunjukkan antarperlakuan tidak berbeda secara bermakna, sedangkan angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antarperlakuan berbeda secara bermakna. Keterangan ini berlaku juga untuk Tabel 2 – 6.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa rataan ketuaan warna kain mori antar berbagai
jenis fiksatif menunjukkan kain mori dengan fiksatif tawas mempunyai warna paling
terang diikuti oleh kapur dan selanjutnya fiksatif tunjung memberikan warna paling
gelap (paling tua) (Gambar 1).
Gambar 1. Diagram Batang Rataan Ketuaan Warna Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau antar Berbagai Jenis Fiksatif
Keterangan: R = Red / merah, G = Green / Hijau, B = Blue / Biru dan Gr = Grey / Abu – abu. Keterangan ini berlaku juga untuk Gambar 3, 4, 5, 6 dan 7.
Dari Gambar 1,terlihat bahwa kain mori dengan fiksatif tunjung memberikan
warna yang paling tua yaitu coklat kehijauan karena dalam pencelupan terjadi reaksi
Gambar 4. Diagram Batang Rataan Ketuaan Warna Kain Sutra Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau antar Berbagai Jenis Fiksatif
Pengaruh dari ketiga jenis fiksatif (tunjung, kapur dan tawas) terhadap ketuaan
warna kain sutra ternyata sama dengan kain mori. Dengan menggunakan fiksatif
tunjungakan menghasilkan garam kompleks sedangkan dengan fiksatif kapur dan tawas
tidak menghasilkan garam kompleks, tetapi senyawa berikatan ionik yang sangat
berperan penting dalam ketuaan warna. Menurut (Djufri (1985) dalam Asih, 2008)
pewarna yang telah menempel pada serat kain sutra setelah difiksasi dengan tunjung
akan menyebabkan ikatan serat kain dengan pewarna tersebut menjadi lebih kuat karena
terjadi reaksi antara pewarna dengan fiksatif tunjung yang menghasilkan garam
kompleks.
Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain sutra dengan pewarnaan limbah teh hijau terhadap pencucian
Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain sutera dengan pewarnaan limbah teh
hijau antar berbagai jenis fiksatif yang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey
berkisar antara 0,6223 ± 0,0732 sampai dengan 0,8379 ± 0,0468 (Tabel 5).
12
Tabel 5. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Sutra Hasil Pewarnaan Limbah Teh HijauTerhadap Pencucian
Dari Tabel 5 terlihat bahwa ketahanan luntur warna kain sutra terhadap
pencucian menunjukkan bahwa kain sutra dengan fiksatif tawas dan kapur luntur
terhadap perlakuan pencucian, sebaliknya dengan fiksatif tunjung lebih tahan luntur
dengan perlakuan pencucian (Gambar 5).
Gambar 5. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Sutra
Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau Terhadap Pencucian
Dari Gambar 5 terlihat bahwa fiksatif tunjung mempunyai ketahanan luntur
yang paling kuat dibandingkan fiksatif tawas dan kapur. Kain sutra dengan fiksatif
tunjung tidak luntur apabila diberi perlakuan pencucian, karena pada proses fiksasi
terjadi reaksi yang menghasilkan garam kompleks antara bahan sutra dengan tannin
(asam tanat atau asam galotanat) pada limbah teh hijau dan ferrosulfat. Hal tersebut
dapat terjadi karena fiksatif tunjung merupakan zat pewarna yang reaktif sehingga akan
Jenis Fiksatif
Tu 2% Tw 5% Ka 2,5%
Red (R) W = 0,0662
0,7167 ± 0,0954 (a)
0,8166 ± 0,0540 (b)
0,8379 ± 0,0468 (b)
Green (G) W = 0,0662
0,6669 ± 0,0914 (a)
0,7809 ± 0,0580 (b)
0,8130 ± 0,0432 (b)
Blue (B) W = 0,0692
0,6223 ± 0,0732 (a)
0,7470 ± 0,0562 (b)
0,7981 ± 0,0380 (b)
Grey (Gr) W = 0,0783
0,6682 ± 0,1109 (a)
0,7935 ± 0,0678 (b)
0,8217 ± 0,0512 (b)
13
menjadikan kain mempunyai ketahanan luntur yang kuat baik terhadap pencucian
maupun penyetrikaan (Asih,2008).
Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain sutra dengan pewarnaan limbah teh hijau terhadap panas penyetrikaan
Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain sutera antar berbagai jenis fiksatif
terhadap panas penyetrikaan yang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar
antara 0,6443 ± 0,0938 sampai dengan 0,7719 ± 0,1467 (Tabel 6).
Tabel 6. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Sutra Hasil Pewarnaan Limbah Teh HijauTerhadap Panas Penyetrikaan
Jenis Fiksatif
Tw 5% Ka 2,5% Tu 2%
Red (R) W = 0,1014
0,7365 ± 0,0814 (a)
0,7410 ± 0,0703 (a)
0,7719 ± 0,1467 (a)
Green (G) W = 0,0825
0,6911 ± 0,0701 (a)
0,7050 ± 0,0521 (a)
0,7188 ± 0,1109 (a)
Blue (B) W = 0,1575
0,6598 ± 0,1384 (a)
0,6576 ± 0,1801 (a)
0,6443 ± 0,0938 (a)
Grey (Gr) W = 0,0831
0,6894 ± 0,0710 (a)
0,7048 ± 0,0536 (a)
0,7478 ± 0,1162 (a)
Dari Tabel 6 terlihat bahwa ketahanan luntur kain sutra terhadap panas
penyetrikaan menunjukkan bahwa tunjung, kapur, dan tawas pada kain sutra tidak akan
luntur oleh adanya perlakuan penyetrikaan(Gambar 6).
Gambar 6. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Sutra
Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau Terhadap Panas Penyetrikaan
14
Dari Gambar 6 terlihat bahwa ketahanan luntur warna pada kain sutra
terhadap panas penyetrikaan menunjukkan ketiga jenis fiksatif (tawas, kapur, dan
tunjung) tidak mengalami kelunturan. Hal ini dapat terjadi karena tannin (asam tanat
atau asam galotanat) dari limbah teh hijau pada kain sutra masih dapat tahan panas pada
penyetrikaan yang bersifat suam – suam kuku (suhu sedang). Lebih jelasnya, menurut
(Soeprijono (1974) dalam Atikasari, 2005) serat kain sutra bersifat tahan terhadap panas
sampai suhu 64° C dalam waktu yang tidak lama. Itu sebabnya zat warna tanin yang ada
di dalam serat kain sutra tidak akan luntur setelah disetrika.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan :
1. Fiksatif tunjung pada kain mori dan sutra menghasilkan warna yang paling gelap, diikuti kapur dan tawas menghasilkan warna paling terang.
2. Kain mori dengan fiksatif tunjung dan tawas tidak luntur terhadap pencucian, sedangkan fiksatif kapur menunjukkan kelunturan. Sebaliknya kain sutra dengan fiksatif tunjung tidak luntur terhadap pencucian, sedangkan fiksatif tawas dan kapur menunjukkan adanya kelunturan.
3. Kain mori dengan fiksatif kapur dan tawas tidak luntur terhadap panas penyetrikaan, sedangkan dengan fiksatif tunjung menunjukkan adanya kelunturan untuk rona merah (Red). Sebaliknya kain sutra tidak luntur terhadap penyetrikaan untuk ketiga jenis fiksatif.
DAFTAR PUSTAKA
Arham, Z., 2004.Evaluasi Mutu Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia Swingle) Dengan
Pengolahan Citra Digital dan Jaringan Syaraf Tiruan. [Diunduh tanggal 16 Februari 2010]
Asih, P., 2008. Perbandingan Kualitas Kain Batik Sutra dengan Berbagai macam proses Fiksasi.Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Yogyakarta
Atikasari, A., 2005.Kualitas Tahan Luntur Warna Batik Cap Di Griya Batik Larissa Pekalongan.Universitas Negeri Semarang. Semarang
Kusriniati, D., 2007.Pemanfaatan Daun Sengon (Albizia falcataria) Sebagai Pewarna Kain Sutera MenggunakanMordan Tawas Dengan Konsentrasi Yang BerbedaPada BusanaCamisol.Universitas Negeri Semarang. Semarang
Kwartiningsih.,D.A Setyawardhani, A. Wiyatno, A.Triyono.2009.Zat Pewarna Alami Tekstil Dari Kulit Buah Manggis. Universitas Negeri Semarang. Semarang
Risnasari, 2002.Pemanfaatan Tanin Sebagai Bahan Pengawet Kayu. Universitas Negeri Semarang. Semarang
15
Ruwana, I., 2008.Pengaruh Zat Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur Warna Pada Proses Pencelupan Kain Kapas Dengan Menggunakan Zat Warna Dari Limbah Kayu Jati(Tectonagrandis).Universitas Negeri Semarang. Semarang
Steel, R.G.D. dan J.H.Torrie.1980.Prinsip Dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia, Jakarta.
Sulasminingsih, 2006.Studi Komparasi Kualitas Kain Kapas Pada Pencelupan Ekstrak Kulit Kayu Pohon Mahoni Dengan Mordan Tawas Dan Garam Diazo.Universitas Negeri Semarang. Semarang
Taofik., E. Yulianti, A. Barizi, E.K Hayati. 2010. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Ekstrak Air Daun Paitan (Thitonia diversifolia) Sebagai Bahan Insektisida Botani Untuk Pengendalian Hama Tungau Eriophyidae. Universitas Maulana Malik Ibrahim. Malang