I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Batik merupakan warisan leluhur yang tak terpisahkan dari budaya bangsa Indonesia. Dengan berbagai keindahan, corak dan mutu, warna alami serta motif yang menarik membuat kain tradisional ini sangat populer dan diterima tidak hanya masyarakat lokal tetapi juga masyarakat internasional. Batik memberi makna yang sangat sarat akan seni dan representatif budaya dari masing-masing daerah di tanah air. Tiap daerah memiliki ciri motif maupun cara pembuatan batik yang berbeda- beda. Banyak hal yang bisa digali dari sehelai kain batik. Berdasarkan perkembangannya batik sudah menjadi industri lebih dari 300 tahun lalu sejak kain itu diperdagangkan. Kini industri batik mendapat tantangan baru. Bukan dari turunnya minat konsumen, tetapi dari cara berproduksinya ketika kini lingkungan menjadi isu penting dunia. Limbah industri dan bahan baku pembuatan batik menjadi sorotan, terlebih ketika batik Indonesia diakui sebagai warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada tahun 2009. Selain itu, sejak dilarangnya pewarna dengan gugus azo pada April 1996 oleh pemerintah Belanda, seperti telah diketahui bahwa gugus azo dalam pewarna sintetis dapat menyebabkan kanker kulit, membuat kita berpikir ulang dalam aplikasi pewarna pada kain batik. Menurut Imam dan Naima (2003), perkembangan industri tekstil telah mengalami kemajuan yang pesat baik mengenai produksi maupun mutunya. Adapun bermacam–macam produk tekstil yang ada sekarang ini lebih banyak menggunakan bahan baku sintetis. Zat warna sintetis mudah di peroleh dari bahan impor, tetapi harganya relatif lebih tinggi, penggunaan zat warna sintetis ini sangat berbahaya bagi lingkungan karena di dalam terkandung sifat karsinogenetik yang di duga kuat dapat mengakibatkan alergi kulit dan nantinya akan menjadi kanker kulit, salah satu cara untuk menanggulangi masalah tersebut
20
Embed
Pewarna Alami Batik Dari Secang, Tingi, Dan Tegaran
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
I. PENDAHULUAN
I.1Latar Belakang
Batik merupakan warisan leluhur yang tak terpisahkan dari budaya bangsa Indonesia.
Dengan berbagai keindahan, corak dan mutu, warna alami serta motif yang menarik membuat
kain tradisional ini sangat populer dan diterima tidak hanya masyarakat lokal tetapi juga
masyarakat internasional. Batik memberi makna yang sangat sarat akan seni dan representatif
budaya dari masing-masing daerah di tanah air. Tiap daerah memiliki ciri motif maupun cara
pembuatan batik yang berbeda-beda. Banyak hal yang bisa digali dari sehelai kain batik.
Berdasarkan perkembangannya batik sudah menjadi industri lebih dari 300 tahun lalu sejak
kain itu diperdagangkan. Kini industri batik mendapat tantangan baru. Bukan dari turunnya
minat konsumen, tetapi dari cara berproduksinya ketika kini lingkungan menjadi isu penting
dunia.
Limbah industri dan bahan baku pembuatan batik menjadi sorotan, terlebih ketika batik
Indonesia diakui sebagai warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu pengetahuan, dan
Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada tahun 2009. Selain itu, sejak
dilarangnya pewarna dengan gugus azo pada April 1996 oleh pemerintah Belanda, seperti telah
diketahui bahwa gugus azo dalam pewarna sintetis dapat menyebabkan kanker kulit, membuat
kita berpikir ulang dalam aplikasi pewarna pada kain batik.
Menurut Imam dan Naima (2003), perkembangan industri tekstil telah mengalami
kemajuan yang pesat baik mengenai produksi maupun mutunya. Adapun bermacam–macam
produk tekstil yang ada sekarang ini lebih banyak menggunakan bahan baku sintetis. Zat warna
sintetis mudah di peroleh dari bahan impor, tetapi harganya relatif lebih tinggi, penggunaan zat
warna sintetis ini sangat berbahaya bagi lingkungan karena di dalam terkandung sifat
karsinogenetik yang di duga kuat dapat mengakibatkan alergi kulit dan nantinya akan menjadi
kanker kulit, salah satu cara untuk menanggulangi masalah tersebut adalah dengan
menggunakan zat warna alami yaitu zat yang ramah lingkungan, dapat di produksi di dalam
negeri, tidak berbahaya bagi kulit, dan warna yang di peroleh lebih beragam serta kualitas zat
warna alami tidak kalah dengan zat warna sintetis, sehingga memberi tampilan yang lebih
mewah, menarik, dan natural.
Indonesia sebagai salah satu negara tropis memiliki potensi besar untuk dapat
menghasilkan dan membuat batik sehat serta ramah lingkungan dengan memanfaatkan
berbagai sumberdaya yang sudah tersedia di alam. Setiap proses dalam pembuatan batik dapat
memanfaatkan bahan-bahan alam yang ada di lingkungan sekitar sebagai pengganti bahan-
bahan sintetik sehingga pencemaran lingkungan dapat diminimalkan. Upaya memproduksi
batik secara ramah lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan warna-warna yang
diperoleh dari hasil ekstrak bagian-bagian tumbuhan yang memiliki kandungan pigmen dengan
warna yang menarik.
Zat pewarna alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil ekstrak
berbagai bagian tumbuhan salah satunya adalah dari kayu. Kayu tingi (Ceriops candolleana)
yang menghasilkan arah warna cokelat, kayu tegeran (Maclura cochinchinensis) yang
menghasilkan arah warna kuning, dan kayu secang (Caesalpia sappan) yang cenderung
mengarah ke warna merah merupakan beberapa jenis tumbuhan yang sangat potensial untuk
dijadikan sebagai zat pewarna alami.
Namun, terdapat beberapa kendala pada pewarnaan batik yang menggunakan zat warna
alam antara lain: prosesnya tidak praktis karena diperlukan proses pencelupan berulang-ulang,
ketersediaan variasi warnanya agak terbatas hanya untuk warna-warna cerah, dan ketersediaan
bahannya yang tidak siap pakai. Hal inilah yang membuat diperlukannya proses-proses dan
formulasi khusus agar pewarna alami dapat dijadikan sebagai pewarna batik yang berkualitas.
Sebagai upaya mengangkat kembali penggunaan zat warna alam untuk tekstil maka perlu
dilakukan pengembangan teknologi agar kendala-kendala yang terjadi dapat diatasi. Teknologi
yang sedang menjadi tren akhir-akhir ini adalah nanoteknologi.
Nanoteknologi secara umum dapat didefinisikan sebagai perancangan, pembuatan, dan
aplikasi struktur/material yang berdimensi nanometer (Tatang dan Sinta 2008). Nanoteknogi
ini diterapkan pada sistem emulsi yang dibuat dari kayu secang, tegeran, dan tingi yang sudah
diekstrak (nanoemulsi). Nanoemulsi sendiri tidak hanya sebatas bagaimana menghasilkan
material atau partikel emulsi yang berukuran nanometer, melainkan bagaimana cara
memproduksi serta mengetahui kegunaan dari sifat baru yang muncul dari material nano yang
telah dibuat.
Untuk mengaplikasikan pewarna alami nanoemulsi pada proses pewarnaan batik, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut tentang formulasi dan proses yang dibutuhkan agar kegunaan
dan sifat baru yang muncul dapat mengatasi kelemahan pada zat pewarna alami.
I.2Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui formulasi terbaik dari ekstrak kayu
secang, tegeran, dan tingi menjadi zat pewarna alami dalam bentuk nanoemulsi serta
mengetahui kegunaan dan sifat baru apa yang muncul pada pewarna alami tersebut, sehingga
dapat mengatasi kendalanya saat diaplikasikan pada kain batik. Dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi tentang pewarna batik alami dalam bentuk nanoemulsi dan
peluang pemanfaatanya untuk diaplikasikan pada kain batik di seluruh Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Zat Warna
Menurut Isminingsih (1978), zat warna untuk bahan tekstil dapat dibedakan menjadi
dua yaitu:
1. Zat Pewarna Alam (ZPA) yaitu zat warna yang berasal dari bahan-bahan alam pada
umumnya dari hasil ekstrak tumbuhan (akar, batang, daun, buah, kulit dan bunga ) atau hewan
(lac dyes). Keuntungan dari pemakaian zat warna alam pada batik ialah merupakan warisan
leluhur, mempunyai nilai jual atau nilai ekonomi tinggi karena memiliki seni dan warna yang
khas, ramah lingkungan sehingga berkesan etnik dan eksklusif, intensitas warna terhadap mata
manusia terasa sangat menyejukkan. Adapun kerugian dari zat warna alam yaitu ketersediaan
variasi warna sangat terbatas, kurang praktis dikarenakan ketersediaan bahan yang tidak siap
pakai sehingga diperlukan proses – proses khusus untuk menjadikan larutan pewarna tekstil.
2. Zat Pewarna Sintesis (ZPS) yaitu zat warna buatan atau sintesis dibuat dengan reaksi kimia
dengan bahan dasar arang batu bara atau minyak bumi yang merupakan hasil senyawa turunan
hidrokarbon aromatik seperti benzen, naftalen dan antrasen. Keuntungan dari pemakaian zat
warna sintetis ialah bahan mudah didapat, terdapat variasi warna, dan proses yang dikerjakan
singkat. Kerugian dari zat pewarna sintetis adalah limbah dari zat pewarna tersebut tidak
ramah lingkungan.
Zat warna alam untuk bahan tekstil pada umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai
bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga. Pengrajin-pengrajin batik telah
banyak mengenal tumbuhan-tumbuhan yang dapat mewarnai bahan tekstil beberapa
diantaranya adalah : daun pohon nila (indofera), kulit pohon soga tingi (Ceriops candolleana