STEP 1 1. Burning mouth sensation (BMS): Gejala berupa nyeri pada mulut yang biasanya ditemukan pada 2/3 anterior lidah, palatum durum, dan bibir, ejala berupa panas dan terbakar, gejala tidak disertai gejala klinis maupun laboratoris. 2. Kanker nasofaring: Kanker yang terdapat pada belakang antara nasofaring dan hidung yang berasal dari epitel pseudostratified columnar tipe respiratori dan epitel non keratinisasi, etiloginya yaitu virus epstein bar, genetis, faktor lingkungan, contoh: ikan asin (mengandung neutrosamin yang dapat mengaktifkan virus tersebut). 3. Apthous stomatitis: Lesi pada mukosa rongga mulut yang sering terjadi dengan ulser yang biasanya terletak pada jaringan lunak yaitu bibir, palatum durum, dan lidah. Apthus stomatitis ada dua tipe yaitu akut dan kronis. 4. Terapi radiasi: Terapi yang bertujuan untuk membunuh sel sel yang tumbuh dengan cepat seperti sel kangker yaitu dengan memenfaatkan proses ionisasi dengan dosi kurang dari 75 cgy bila lebih dari itu akan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
STEP 1
1. Burning mouth sensation (BMS):
Gejala berupa nyeri pada mulut yang biasanya ditemukan pada 2/3
anterior lidah, palatum durum, dan bibir, ejala berupa panas dan terbakar,
gejala tidak disertai gejala klinis maupun laboratoris.
2. Kanker nasofaring:
Kanker yang terdapat pada belakang antara nasofaring dan hidung
yang berasal dari epitel pseudostratified columnar tipe respiratori dan
epitel non keratinisasi, etiloginya yaitu virus epstein bar, genetis, faktor
lingkungan, contoh: ikan asin (mengandung neutrosamin yang dapat
mengaktifkan virus tersebut).
3. Apthous stomatitis:
Lesi pada mukosa rongga mulut yang sering terjadi dengan ulser
yang biasanya terletak pada jaringan lunak yaitu bibir, palatum durum, dan
lidah. Apthus stomatitis ada dua tipe yaitu akut dan kronis.
4. Terapi radiasi:
Terapi yang bertujuan untuk membunuh sel sel yang tumbuh
dengan cepat seperti sel kangker yaitu dengan memenfaatkan proses
ionisasi dengan dosi kurang dari 75 cgy bila lebih dari itu akan
menyebabkan degenerasi asinar, fibrosis, dan atropi.
STEP 2
1. Bagaimana perawatan pendahuluan untuk mencegah terjadinya efek
samping terjadinya terapi radiasi pada rongga mulut ?
2. Apa efek samping dari terapi radiasi dan penatalaksanaannya ?
3. Apa terapi yang sesuai pada skenario (BMS dan apthous stomatitis) ?
STEP 3
1. Bagaimana perawatan pendahuluan untuk mencegah terjadinya efek
samping terjadinya terapi radiasi pada rongga mulut ?
1
a. Evaluasi jaringan periodonsium dan gigi yang mejadi karies infeksi
serta merawat karies bila ada.
b. Kontrol plak.
c. Hidup sehat, contoh: olah raga dan makan makanan yang begizi.
d. Foto panoramik untuk mengetahui kelainan yang ada.
2. Efek samping dari terapi radiasi dan penatalaksanaannya ?
a. Mukosa tampak eritomathous dan terdapat perbahan histologi dan
fisiologi.
b. Perubahan pada kelenjar ludah rongga mulut karena xerostomia yang
disebkan karena sel asinar yang terganggu karena radiasi, jadi volume
saliva turun, protein saliva naik, PH rendah dan bakteri meningkat.
Hubungan antara dosis penyinaran dan sekresi saliva adalah:
1) Dosis <10 gray dapat menyebabkan penurunan volume saliva
2) Dosis 10-15 gray dapat menyebabkan hiposalivasi
3) Dosis 15-40 gray dapat menyebabkan reduksi sliva semakin nyata
dan reversibel
4) Dosis > 40 gray dapat menyebabkan kerusakan sel kelenjar saliva
memperparah kelenjar salivasi
c. Osteoradionekrosis adalah nekrosis pada tulang yang disebabkan oleh
radiasi. Gejalanya adalah rasa sakit yang berdenyut-denyut, tulang
yang nekrosis dengan adanya fistula orokutaneus dan sequester, fraktur
patologis, supurasi, dan halitosis karena adanya jaringan yang
nekrosis.
d. Mukositis yaitu rasa nyeri pada saat menelan mukosa tampak berwarna
putih yang terpinya yaitu denga makan makanan yang bernutrisi,
pemberian obat kumur, obat sedatif dan vitamin C serta kontrol OH,
pakai anastesi lokal serta antiseptik.
e. Gigi dapat terjadi mengalami hiperemia sensitif terhadap termis dan
dapat terjadi gangguan erupsi gigi yang sedang berkembang tumbuh.
Karies radiasi juga dapat terjadi untuk melindungi terjadinya karies
2
radiasi tersebut menggunakan pasta gigi yang berflour atau flour
topikal.
f. Kasus TMJ dapat dilatih membuka dan menutup mulut.
Efek samping dari terapi radiasi dapat diminimalkan dengan
penggunaan radioprotektor amyfostine. Dalam penelitian, amyfostine
dapat melindungi mice, rat, guinea pig, anjing dan monyet dari dosis
radiasi yang mematikan. Jaringan normal yang dapat dilindungi oleh
amyfostine yaitu kelenjar saliva, sumsum tulang, ginjal, kulit, mukosa
oral, sistem imun, testis, dan esofagus.
3. Terapi pada skenario (BMS dan apthous stomatitis) ?
a. Terapi BMS:
Dapat disesuaikan pada penyebabnya yaitu ada 4:
1) Sistemik
2) Lokal
3) Idiopatik
4) Psikologi
Contoh yang dapat dilakukan yaitu:
1) Meningkatkan asupan nutrisi pada pasien yang defisiensi nutrisi
2) Mengotrol penyakit sistemik
3) Mengganti resep obat yang menyebabkan BMS
4) Xerostomia dapat memakai obat kumur
5) Depresi menggunakan obat anti depresan
b. Terapi apthous stomatitis
1. Menggunakan obat kortikosteroid topikal, analgesik dan anti
mikroba.
2. Menggunakan clorheksidin
3. Terapi dapat difokuskan pada simtom, kausatif atau suportif.
3
STEP 4
Mapping:
STEP 5
Mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan pasien yang sedang
melakukan terapi radiasi, pra-terapi, selama terapi, dan pasca radiasi yang
berhubungan dengan kedokteran gigi.
STEP 6
Mandiri
STEP 7
Penatalaksanaan Efek Samping Pada Rongga Mulut Dari Radioterapi Secara
Umum:
1. Pra Radioterapi
Sebelum dilakukan terapi radiasi, rongga mulut pasien terlebih
dahulu diperiksa dan dirawat oleh dokter gigi. Hal ini mencegah fokal
infeksi. Perawatan yang dapat dilakukan sebelum radioterapi yaitu
4
Terapi Radiasi
Efek Samping Di Rongga Mulut
GigiBurning Mouth Sensation
TulangMukosa Kelenjar Saliva
Penatalaksanaan
restorasi, skalling, pemolesan dan perawatan endodonti pada gigi non vital
serta yang terpenting adalah meningkatkan mutu dan kecekatan gigi tiruan.
Untuk mencegah karies radiasi, pasien diwajibkan melakukan
topical aplikasi fluor 1% digunakan 2 hari sekali selam 5 menit/
penggunaan pasta gigi dengan kandungan fluor 3% NaF dua kali sehari.
Selain itu juga perlu mengistruksikan pada pasien untuk mengonsumsi diet
yang tidak kariogenik. Penggunaan bulu sikat gigi yang lembut, kumur-
kumur dengan khlorheksidin, pemakaina dental floss dpat pula digunakan
untuk memaksimalkan pembersihan plak (Ginting, 2009).
2. Selama Radioterapi
Selama pelaksanaan radioterapi kanker pada daerah leher dan
kepala, dokter gigi melakukan perawatan–perawatan terhadap efek
samping di rongga mulut:
a. Pada pasien yang mengalami xerostomia saat radioterapi maka dapat
diberikan terapi pilocarpine dan saliva pengganti.
b. Pada pasien yang mengalami kerusakan kuncup kencap saat
radioterapi dapat dengan memberikan supplemen makanan yang
mengandung mineral besi.
c. Pada pasien yang mengalami mukositis saat radioterapi dierikan terapi
analgesic, tablet hisap yang berisikan campuran antimikroba
polimiksin E, Tobramisin, dan amfoterisin B.
d. Pada pasien yang mengalami karies radiasi dapat dilakukan perawatan
restorative gigi.
e. Pada pasien yang mengalami trismus dapat dilakukan latihan secara
simultan membuka dan menutup mulut agar tidak terjadi fibrois otot
dan ligamen yang mengelilingi temporo mandibular joint, sehingga
otot pengunyahan dan ligament kehilangan elastisitasnya.
f. Pada pasien yang mengalami osteoradionekrosis dapat diberikan
pembuangan ttulang yang nekrosis, perbaikan vaskularisasi dan
jaringan yang rusak, terapi antibiotik (Ginting, 2009).
5
3. Pasca Radioterapi
Setelah pelaksanaan radioterapi berakhir, dokter gigi dapat,
melakukan pemeriksaan kondisi rongga mulut pasien setiap tiga bulan
sekali. Kondisi mutu dan kecekatan gigi tiruan pasien harus diperiksa. Jika
dilakuakn pencabutan gigi, maka diberikan terapi hyperbaric oxygen dan
antibiotic sistemik pada pasien. Dan perlu menginstruksikan pasien untuk
tetap memelihara kebersihan rongga mulut pasien (Ginting, 2009).
a. Penatalaksanaan Sindrom Mulut Terbakar (BMS)
Sindrom mulut terbakar (BMS) digunakan untuk menerangkan
adanya keluhan rasa terbakar pada lidah, palatum, atau bibir. Dimasa
lampau istilah glosodinia, stomatopirosis, dan diestesia oral digunakan
untuk menerangkan kondisi ini (Lewis, 1998).
Pemeriksaan mukosa mulut pada BMS tidak menunjukkan adanya
suatu abnormalitas. Kadang-kadang pasien menunjukkan daerah yang
dicurigakan tapi umumnya itu hanya merupakan papilla lingual yang
menonjol atau kelenjar sebasea (Lewis, 1998).
Ada 3 tipe penderita BMS itu sendiri:
Tipe 1 rasa terbakar tidak terjadi pada waktu bangun tidur dipagi
hari tetapi akan terasa bila hari telah siang.
Tipe 2 rasa terbakar dirasakan pada pagi hari segera setelah bangun
dan menetap sampai penderita tidur lagi.
Tipe 3 rasa terbakar hilang timbul dan menyerang tempat-tempat
yang tidak umum, seperti dasar mulut dan tenggorokan
(Lewis, 1998).
Sindrom mulut terbakat (BMS) ini merupakan kondisi
multifaktorial dengan berbagai faktor presipitasi. pengobatan awal
meliputi penyelidikan semua penyebab potensial dan oleh karena itu kita
perlu dilakukan bebagai tes (Lewis, 1998).
6
Pemeriksaan hematologi harus bias membedakan sindrom ini
dengan defisiensi nutrisi dan diabetes militus. Kandidosis dapat dideteksi
dengan melakukan pengapusan, usapan, dan kumur-kumur (Lewis, 1998).
Pengobatan pada kasus ini adalah dengan pemeriksaan yang telah
diuraikan. Pengobatan yang pertama harus mencakup member penjelasan
kepada pasien tentang sifat masalah dan bahwa ada gangguan serius
terutama kanker pada mulut. Pasien harus diberikan vitamin B1 300 mg
sekali seharidan vitamin B6 50 mg setiap 8 jam untuk waktu 1 bulan
(Lewis, 1998).
Terapi obat antidepresi trisiklik mempunyai peran pada penderita
BMS yang tidak mempunyai faktor-faktor presipitasi lainnya. Karena
beberapa obat trisiklik mempunyai aktivitas anxiolytic, antidepresan dan
relaksan otot, obat-obat ini bermanfaat bagi mereka yang menderita
ansietas, depresi, fobia akan kanker atau yang mempunyai aktivitas
parafungsional. Pada umumnya prognosis untuk BMS tipe 1 lebih baik
dari pada tipe 2, karena tipe yang disebutkan terakhir, kecemasan kronis
merupakan penghambat kesembuhan. Prognosis BMS tipe 3 umumnya
baik, asalkan faktor diet baik dan tidak dijumpai adanya faktor alergisecara
keseluruhan, pasien penyakit BMS ini 70% dapat disembuhkan (Lewis,
1998).
b. Penatalaksanaan Mukositis Oral
Mukositis:
Mukositis oral didefinisikan sebagai suatu eritem dan ulserasi di
mukosa oral yang terjadi pada pasien dengan kanker yang dirawat dengan
kemoterapi dan/atau radiasi di daerah yang berdekatan dengan rongga
mulut. Lesi mukositis oral seringkali terasa sangat sakit dan mengganggu
asupan nutrisi, kebersihan mulut sehingga meningkatkan resiko terjadinya
infeksi lokal dan sistemik. Oleh karena itu, mukositis oral merupakan
komplikasi perawatan kanker yang sangat berpengaruh padaa terapi
7
kanker dan seringkali terkait dengan komplikasi yang berhubungan dengan
dosis terapi (Vera, 2007).
Gambar 1. Lesi mukositis oral pada mukosa (A) bukal dan (B) lateral
lidah yang terjadi pada pasien dengan karsinoma sel skuamosa di lidah
yang menerima radiasi dan kemoterapi.
Mukositis oral terjadi akibat efek inflamasi dan sitotoksik dari
pemberian radioterapi dan atau kemoterapi. Mukositis oral akibat
radioterapi secara patofisiologis merupakan efek langsung sitotoksik
terhadap epitel dan respon inflamasi lokal. Selain itu, radiasi juga akan
mengenai struktur fasial dan oral termasuk kelenjar saliva mayor. Saliva
membantu mengatur homeostasis oral dengan perannya sebagai pelembab,
pelumas, bufer, dan antimikroba. Perubahan kuantitas dan kualitas saliva
akan berefek pada fisiologi, pertahanan, dan ekologi mikrobial orofaring,
sehingga menurunkan kemampuan proteksi mukosa mulut (Leung, 2003).
Insidensi mukositis oral biasanya ditemukan cukup tinggi pada
pasien dengan tumor primer di rongga mulut, orofaring atau nasofaring,
pasien dengan perawatan kemoterapi konkomitan, pasien yang
menerima radiasi lebih dari 5000 cGy dan pasien yang menerima terapi
radiasi fraksinasi (Lalla, 2008).
Beberapa faktor diketahui mempunyai peran dalam membedakan
timbulnya mukositis oral pada pasien yang menjalani kemoterapi dan/ atau
radiasi untuk kanker di regio kepala dan leher. Faktor-faktor tersebut
adalah usia, jenis kelamin, penyakit sistemik, ras dan faktor spesifik
yang terkait dengan jaringan. Faktor spesifik jaringan meliputi jenis
8
jaringan epitel, kebersihan rongga mulut yang terkait dengan mikroba
oral dan fungsi jaringan (Lalla, 2005).
Penatalaksanaan Mukositis Oral:
Sampai saat ini, terapi paliatif merupakan pilihan untuk
menatalaksana pasien dengan mukositis oral. Beberapa upaya
penatalaksanaan dengan intervensi terapi saat ini sedang dikembangkan.
Berdasarkan rekomendasi dari MASCC/ISOO, penatalaksanaan klinis
mukositis oral yang disebutkan dalam “Panduan Mukositis Oral”
mencakup: asupan nutrisi yang adekuat, kontrol rasa sakit, kontrol