BAB IIPEMBAHASAN
1. Pengertian Islam Sebagai sebuah Agama dan Pengatur Segala
Aspek KehidupanMenurut Ahmad al-Mazyad Islam adalah penyerahan
sepenuhnya kepada Allah, dengan mentauhidkan-Nya, tunduk serta taat
kepada-Nya, dan terbebas dari kemusyrikan. Islam adalah
satu-satunya agama yang telah menggariskan metode kehidupan secara
utuh, di dalamnya diatur segala urusan dan aspek kehidupan. Islam
bukan metode buatan manusia yang mengandung unsur benar dan salah,
tetapi metode robbani yang mampu mengantarkan pemeluknya kepada
kebahagiaan, ketenangan dan ketenteraman jiwa di dunia dan sukses
meraih kenikmatan abadi di akhirat (Ajat Sudrajat, dkk, 2009:
32).Spektrum Islam tidak hanya menyoroti dan mendalami masalah yang
berkaitan dengan ibadah khas atau hal yang mengatur hubungan
spiritual manusia dengan Tuhan, melainkan juga menyoroti secara
intens, comprehensive, dan integral hal yang mengatur umum, yakni
kehidupan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan H. AR. Gibb: Islam is
indeed much more than a system of theology if complete civilization
(Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia
adalah suatu kebudayaan yang lengkap) (Firdaus Syam, 2007:
295).Agama Islam memiliki cirri kesempurnaan, ajarannya tidak hanya
mencakup aspek-aspek ritual saja, melainkan Islam juga menuntut
para pengikutnya untuk mengaktualisasikan secara utuh (kaffah)
ajarannya dalam setiap segi kehidupan.Ibnu Katsir menafsirkan
kaffah adalah masuk dalam ketaatan seluruhnya. Dengan demikian
seorang yang telah menyatakan dirinya muslim dia diharuskan secara
totalitas masuk dan mentaati seluruh ajaran Islam. Muslim kaffah
disamping dia memiliki keshalehan pribadi dalam kaitannya dengan
habluminallah, juga harus mewarnai aktifitas kehidupan dalam rangka
habluminannas dengan mengikuti ketaatan aturan Islam yang terkait
dengan kehidupan duniawi, sehingga mampu menampakkan keshalehan
sosialnya (Ajat Sudrajat, dkk, 2009: 35-36). Kesempurnaan Islam
diyakini benarnya karena ia diturunkan dari yang Maha Sempurna,
yang diturunkan untuk meninggikan, mengangkat, memuliakan, dan
menyempurnakan hamba-Nya. Seorang muslim yang dengan kaffah
menjalankan Islam, akibatnya akan tercelup dan terbentuk
kesempurnaan kepribadiannya, oleh sistem ajaran yang paling
sempurna (Ajat Sudrajat, dkk, 2009: 36). Sebagian pemeluk Islam
mempercayai bahwa Islam mencakup cara hidup yang total, bahkan
sebagian lagi melangkah lebih jauh dari hal ini. Mereka menekankan
bahwa Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan
pemecahan terhadap semua masalah. Nazih Ayubi mengatakan bahwa umat
Islam percaya akan sifat Islam yang sempurna dan menyeluruh,
sehingga menurut mereka Islam meliputi din (agama), dunya (dunia),
dan dawlah (negara). Karena itu, Islam adalah sebuah totalitas yang
padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.
Islam harus diterima dalam keseluruhannya dan harus diterapkan
dalam kehidupan keluarga, ekonomi, dan politik. Bagi golongan ini,
realisasi sebuah masyarakat Islam dibayangkan dalam penciptaaan
sebuah negara Islam, yakni sebuah negara ideologis yang didasarkan
kepada ajaran-ajaran Islam yang lengkap (Ajat Sudrajat, dkk, 2009:
108-109). Pandangan seperti itu mengemuka dalam praktiknya di
berbagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Jargon-jargon yang popular terkait dengan ekspresi golongan ini
misalnya revivalisme Islam, revolusi Islam, kebangkitan Islam, atau
fundamentalisme Islam. Pandangan holistik terhadap Islam seperti di
atas mempunyai beberapa implikasi. Salah satunya, pandangan
tersebut telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk
memahami Islam secara literal yang hanya menekankan dimensi luar
(exterior)-nya. Kecenderungan seperti ini terkadang menyebabkan
terabaikannya dimensi kontekstual dan dalam (interior) dari
prinsip-prinsip Islam. Dalam contohnya yang ekstrim, kecenderungan
seperti ini telah menghalangi sementara kaum Muslim untuk dapat
secara jernih memahami pesan-pesan al-Quran sebagai instrument
Illahiah yang memberikan pandangan nilai-nilai moral dan etis yang
benar bagi kehidupan manusia (Ajat Sudrajat, dkk, 2009: 109).
Pemahaman Islam baik dalam masalah teologi, fikih, maupun filsafat
menunjukkan adanya variasi interpretasi (multi-interpretatif). Hal
ini ditunjukkan dengan munculnya berbagai aliran (mahzab) dalam
ketiga domain Islam tersebut. Politik islam tidak bisa dilepaskan
dari sejarah Islam yang multi-interpretatif tersebut. Dari
perjalanan wacana intelektual dan historis pemikiran dan praktik
politik Islam, ada beberapa pendapat yang berbeda-beda beberapa
bahkan saling bertentangan mengenai hubungan yang sesuai antara
Islam dan negara. Dalam salah satu bukunya, Islam dan Tata Negara:
Ajaran, Sejarah,dan Pemikiran (1993), Munawwir Sadzali menguraikan
pemikiran politik Islam dari beberapa pemikir Muslim mulai masa
klasik sampai masa modern (Ajat Sudrajat, dkk, 2009: 109-110). Dari
pikiran-pikiran mereka, Munawir Sadzali mengklasifikasikannya
menjadi tiga model atau aliran pemikiran. Aliran pertama
berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam
pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia
dan Tuhan, akan tetapi sebaliknya Islam adalah suatu agama yang
sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala asppek kehidupan
manusia, termasuk kehidupan bernegara. Aliran kedua, berpendirian
bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yakni agama tidak
mempunyai hubungan dengan urusan kenegaraan. Sedang aliran ketiga
berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi
kehidupan bernegara. Aliran ketiga ini menolak pendirian kedua
aliran sebelumnya yang sangat ekstrim (Ajat Sudrajat, dkk, 2009:
110). Terlepas dari ketiga bentuk aliran pemikiran di atas,
kenyataannya ada dua bentuk praktik politik Islam di negara-negara
yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu ada yang secara
legal-formal menjadikan Islam sebagian dasar negaranya. Syariah
(hukum Islam) dijadikan sebagai konstitusi negara. Disamping itu,
ada juga negara-negara yang tidak secara legal-formal menjadikan
Islam sebagai dasar negaranya dan syariah sebagai konstitusinya,
tetapi prinsip-prinsip atau nilai-nilai Islam yang umum dan
universal ikut mewarnai praktik politik di negara-negara tersebut.
Aliran ini lebih menekankan subtansi daripada bentuk negara yang
legal-formal. Di negara-negara dengan model ini, Islam dan negara
tetap memiliki hubungan yang harmonis dalam kancah politik dan
pemerintahan. Dua model politik Islam inilah yang hingga sekarang
terus berkembang di berbagai negara Islam atau yang mayoritas
penduduknya beragama Islam dengan perbedaan-perbedaan tertentu di
masing-masing negara tersebut (Ajat Sudrajat, dkk, 2009:
110-111).Islam sebagai sebuah agama dan pengatur segala aspek
kehidupan memiliki hukum sendiri yang dikenal dengan sebutan hukum
Islam. Ada beberapa istilah yang terkait dengan kajian hukum Islam,
yaitu syariat, fikih, ususl fikih dan hukum Islam sendiri. Pada
prinsipnya hukum Islam bersumber dari wahyu Ilahi, yaitu al-Quran,
yang kemudian dijelaskan lebih rinci oleh Nabi Muhammad saw.
melalui sunah dan hadisnya. Wahyu ini menentukan norma-norma dan
konsep-konsep dasar hukum Islam yang sekaligus merombak aturan atau
norma yang sudah mentradisi ditengah-tengah masyarakat manusia.
Namun demikian, hukum Islam juga mengakomodasi berbagai aturan dan
tradisi yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam wahyu
Ilahi tersebut (Marzuki, 2013: 10-11).Hukum Islam bertujuan untuk
mewujudkan kesejahteraan umat manusia seluruhnya, baik individu
maupun masyarakat. Karena itu, kecenderungan yang dominan dari
hukum Islam adalah komunal. Komunal berbeda dengan sosialistik.
Komunal memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup segi
materi dan segi-segi lain yang meliputi seluruh hak dan kewajiban,
sedangkan sosialistik mempunyai pengertian khusus yang terbatas
pada materi. Kecenderungan hukum Islam yang komunal ini dapat
terlihat dengan jelas baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Semua
aturan hukum Islam dalam kedua bidang ini bertujuan mendidik
individu untuk mewujudkan kesejahteraan dirinya dan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan (Marzuki, 2013: 39).Hukum Islam
bersifat elastis (lentur, luwes) yang meliputi segala bidang dan
lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan
jasmani dan rohani, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan sesama
makhluk, serta tuntutan hidup dunia dan kahirat terkandung dalam
ajaran hukum Islam. Hukum Islam juga memperhatikan berbagai segi
kehidupan, baik bidang ibadah, muamalah, maupun bidang-bidang yang
lain (Marzuki, 2013: 41).Pada bagian lain Fazlur Rahman menyatakan
bahwa Islam memerintahkan agar persoalan-persoalan kaum muslimin
ditanggulangi melaui syura atau konsultasi timbal balik. Seperti
kita ketahui bahwa syura merupakan salah satu perintah Allah kepada
kaum muslimin dalam menyelesaikan persoalan-persoalan umat yang
terdapat dalam banyak ayat dalam al-Quran dan hadist-hadist nabi
saw. Nilai dan etika dalam bentuk syura ini telah dijadikan sebagai
dasar dalam penyelenggaraan negara oleh Fazlur Rahman. Demikian
juga Fazlur Rahman mengemukakan bahwa kebebasan untuk mengemukakan
pendapat dan kritik yang konstruktif yang ditujukan kepada
pemerintah dianggap sebagai tugas keagamaan (M. Hasbi Aminuddin,
2000: 80).Fazlur Rahman memberi wewenang kepada kepala negara hanya
sebagai pelaksana eksekutif, sebagaimana ia kemukakan Kepala negara
menurut Islam merupakan pusat dari segala kekuasaan eksekutif,
kekuasaan sipil dan militer, serta kekuasaan yang secara teknis
dikenal dengan istilah kekuasaan keagamaan. Dengan demikian kepala
negara merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dari bidang eksekutif
tidak dalam bidang legislative dan yudikatif. Sementara kekuasaan
legislative merupakan satu lembaga tertentu yang mewakili kehendak
rakyat terpisah dengan kekuasaan eksekutif, namun tetap menjadi
mitra eksekutif dalam menyelenggarakan negara (M. Hasbi Aminuddin,
2000: 81).Fazlur Rahman memberi kekuasaan agama itu pada kepala
negara. Tetapi kekuasaan agama yang dimaksud Fazlur Rahman disini
tidak sama dengan kekuasaan agama yang dipegang oleh Paus. Kepala
negara menurut Fazlur Rahman, tidak berhak merumuskan atau
menetapkan dogma agama menurut kemauannya sendiri sebagaimana hak
yang diberikan kepada Paus dalam agama Kristen Khatolik. Kekuasaan
kepala negara dalam masalah ini adalah berupa pengawasan tertinggi
dan bimbingan terhadap pengalaman kehidupan beragama dalam
masyarakat (M. Hasbi Aminuddin, 2000: 82).Menurut Farabi kepala
bagi negara yang utama haruslah seorang pemimpin yang arif dan
bijaksana, yang memiliki dua belas kualitas luhur yang sebagian
telah ada pada pemimpin itu sewaktu lahir sebagai watak yang alami
atau tabiat yang fitri, tetapi sebagian yang lain masih perlu
ditumbuhkan melalui pengajaran yang terarah, pendidikan serta
latihan yang menyeluruh, dengan disiplin yang ketat. Oleh karenanya
pembinaan dan pembentukan pribadi calon-calon pemimpin melalui
pengajaran, pendidikan, pengamatan dan pengawasan amat diperlukan.
Bagi Farabi, pemimpin negara itu bolehlah seorang filsuf yang
mendapatkan kemakrifatan atau kearifannya melalui pikiran dan
rasio, dan dapat juga seorang nabi yang mendapatkan kebenarannnya
lewat wahyu. Adapun dua belas kualitas luhur itu ialah: (1) lengkap
anggota badannya, (2) baik daya pemahamannya, (3) tinggi
intelektualnya, (4) pandai mengemukakan pendapatnya dan mudah
domengerti uraiannya, (5) pencita pendidikan dan gemar mengajar,
(6)tidak loba atau rakus dalam makanan, minuman dan wanita, (7)
pencinta kejujuran dan pembenci kebohongan, (8) berjiwa besar dan
berbudi luhur, (9) tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan
duniawi yang lain, (10) pencinta keadilan dan pembenci perbuatan
zalim, (11) tanggap dan tidak sukar diajak menegakkan keadilan dan
sebaliknya sulit untuk melakukan atau menyetujui tindakan keji dan
kotor, dan (12) kuat pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya
harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme, bukan
penakut dan tidak berjiwa lemah dan kerdil (H. Munawir Sjadzali,
1993: 55-56).Sementara itu Mawardi menyebutkan tentang imamah
(kepemimpinan) dengan imam adalah seorang khalifah, raja, sultan
atau kepala negara, dan dengan demikian Mawardi memberikan juga
baju agama kepada jabatan kepala negara di samping baju politik.
Menurutnya, Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai
pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan agama, dengan disertai
mandate politik. Dengan demikian seorang iman di saatu pihak adalah
pemimpin agama, dan di lain pihak pemimpin politik (H. Munawir
Sjadzali, 1993: 63).Dalam komunitas Islam yang menjadi symbol dari
kepemimpinan sosialnya adalah Ulama, Kyai, Guru Ngaji atau
Muballiq, dan mereka ini menurut Mulkhan merupakan elit sosial
sekaligus sumber utama sosialitas Islam. Hubungan antara elit
pemimpin dengan umat diikat oleh ikatan teologis atau ikatan yang
bersifat mekanis sebagaimana konsep Durkheim tentang solidaritas
mekanik. Setiap perilaku sosial pemimpin dalam suatu komunitas
memiliki berbagai makna sosial, ekonomi dan politik. Menurut
Soedjito bahwa perilaku politik elit sosial Islam merupakan fungsi
dari kondisi sosial dan ekonomi dan fungsi kepentingan. Perilaku
pemimpin Islam dibingkai dalam satu ikatan sosial yang dilandasi
oleh doktrin teologis terhadap nilai sacral pada tingkat hubungan
sosialnya, walaupun pada tingkat personal terdapat kekhasan
masing-masing (Syarifuddin Jurdi, 2006: 69-70).Kepemimpinan Islam
adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu,
pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi.
Setelah para imam atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang
oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila tak
seorang pun faqih yang memenuhi syarat, maka harus dibentuk majelis
fukaha (http://fosmaiweb.fisip-untirta.ac.id/?p=223).Sesungguhnya,
dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan
suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia
(rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lilalamin) adalah
Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya
:Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
(QS.al-Ahzab [33]: 21).Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin,
minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap
pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala
kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda
Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut :Ingatlah! Setiap
kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang
kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia
akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita
adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya,
dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya.
Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai
pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya (Al-Hadits)
(http://fosmaiweb.fisip-untirta.ac.id/?p=223).Kemudian, dalam Islam
seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki
sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan
kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah
(STAF):(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;(2) Tabligh
(penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;(3)
Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;(4) Fathanah
(cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan
mengimplementasikannya.Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam
dimana Nabi Saw pernah bersabda: Pemimpin suatu kelompok adalah
pelayan kelompok tersebut. Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia
melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju
(http://fosmaiweb.fisip-untirta.ac.id/?p=223).Dr. Hisham Yahya
Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang
menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu: Pertama, Setia kepada
Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan
kepada Allah, Kedua, Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin
melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan
kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang
lebih luas, Ketiga, Berpegang pada syariat dan akhlak Islam.
Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin
selama ia berpegang teguh pada perintah syariah. Dalam
mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam,
khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang
yang tak sepaham, Keempat, Pengemban amanat. Pemimpin menerima
kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt., yang disertai oleh
tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin
melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik
kepada pengikut atau bawahannya
(http://fosmaiweb.fisip-untirta.ac.id/?p=223).
2. Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Politik dalam IslamMenarik
untuk mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam Islam. Dienul
Islam, merupakan doktrin tidak sekadar memberikan nilai, tetapi
merupakan wahana untuk pembinaan budi pekerti manusia (akhlak),
sekaligus sebagai sumber inspirasi, aspirasi, motivasi, dan
pencerahan kebudayaan. Kebudayaan adalah kebudayaan Islam, satu
kebudayaan di mana antara satu dimensi dengan dimensi lainnya
merupakan ikatan yang bersumber dari Al-Quran. Disebutkan bah wa
antara satu dimensi dengan dimensi lainnya berasal dari satu
sumber, karena untuk tegaknya suatu kebudayaan dalam masyarakat
perlu dipenuhi oleh tiga dimensi yang merupakan komponen dari
kebudayaan. Diantara dimensi itu yang pertama adalah dimensi ideal,
yang merupakan hal yang menjadi cita-cita suatu masyarakat,
sekaligus landasan kebudayaan yang digunakannya. Kedua, dimensi
fisik, yaitu merupakan bangunan, teknologi kebudayaan yang
dilahirkan termasuk nilai estetis. Ketiga, dimensi tingkah laku,
yang merupakan sifat, sikap, budi pekerti dari masyarakat (Firdaus
Syam, 2007: 292-293).Islam dengan ajarannya telah membuktikan bahwa
Al-Quran dan Sunnah Rasul ketika menjadi sumber inspirasi umatnya
secara orisinal dan arif melahirkan sejarah gemilang. Berabad-abad
lamanya kebudayaan Islam tampil memimpin dunia, sebagai penerang
(enlight) kebudayaan manusia. Kebudayaan Islam yang dilandasi
aqidah (keyakinan), syariah (aturan-aturan) sebagai jalan petunjuk
melahirkan bangunan, teknologi dan estetisnya, kemudian akhlak
(pancaran sikap, budi pekerti) manusia dan masyarakat berkebudayaan
itu. Tiga dimensi ini merupakan esensi ajaran Islam. Tiga dimensi
itu telah dibuktikan umat dalam perjalanan sejarah awal dan saat
kegemilangan peradaban Islam (Firdaus Syam, 2007: 293).Dalam Islam
untuk memecahkan problematika yang berkembang di tengah masyarakat
(ummat) dikenal dengan adanya konsep ijtihad, yaitu merupakan
bagian dari kemampuan berpikir untuk melakukan interpretasi apa
yang terkandung di dalam pedoman utama ajaran Islam dalam menjawab
berbagai masalah yang ada di tengah masyarakat, termasuk masalah
sosial dan politik. Adanya pintu ijtihad itu, bagian dari
konsekuensi atas universalis nilai-nilai Islam. Faktor lingkungan
dan kemampuan menuntut muslim untuk mengkaji sekaligus
menginterpretasikan berbagai persoalan yang harus direspon (Firdaus
Syam, 2007: 294).Spektrum Islam tidak hanya menyoroti dan mendalami
masalah yang berkaitan dengan ibadah khas atau hal yang mengatur
hubungan ritual manusia dengan Tuhan, melainkan juga menyoroti
secara intens, comprehensif, dan integral hal yang mengatur umum,
yakni kehidupan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh H.AR.
Gibb, Islam is indeed much more than a system of theology if
complete civilization (Islam itu sesungguhnya lebih dari satu
sistem agama saja, dia adalah suatu kebudayaan yang lengkap)
(Firdaus Syam, 2007: 295).Dalam kehidupan masyarakat Islam,
khususnya di lapangan pemikiran dan aliran teologis maupun politik
telah mengalami varian-variannya. Di lapangan sosial politik
misalnya, telah lahir pandangan Islam dengan varian Sunni, Syiah,
dan Khawarij, tiga aliran politik ini kuat mewarnai berbagai aspek
pemikiran, nilai-nilai kebudayaan politik, struktur, dan sistem
politik yang dikembangkan dalam Islam di tengah umatnya hingga
dewasa ini. Bahkan juga telah mewarnai gerakan baik yang bersifat
dakwah-pendidikan, sampai kepada gerakan (harakah) yang bersifat
dakwah politik kemasyarakatan sebut saja misalnya gerakan Ikhwanul
Muslimin, Gerakan Hizbur Tahrir, dan Gerakan Pan Islamisme. Atau
bersifat perkumpulan Islam yang memiliki pengaruh dukungan sangat
luas seperti Ahmadiyah, Muhammadiyah, Nahdhlatul Ulama, dan Jamaah
Tabligh. Ada pula partai politik yang pernah memiliki pengaruh
sangat kuat di kalangan Islam seperti Partai Jamiat ala Islam di
Pakistan dan Partai Masyumi di Indonesia, kedua partai ini memiliki
pendukung sangat besar dari kalangan Islam (Firdaus Syam, 2007:
295).Islam berisikan ajaran atau petunjuk yang berhubungan dengan
masalah dunia dan akhirat yang bersifat universal. Nilai-nilai
ajaran Islam tidak dipengaruhi ruang dan waktu, berlaku sepanjang
zaman, karena merupakan wahyu dari pencipta Alam semesta. Ideologi,
berisikan ajaran yang berhubungan dengan masalah kehidupan dunia,
kenegaraan, dan politik. Karena hasil kreativitas manusia,
masyarakat, sangatlah dipengaruhi ruang dan waktu (relatively).
Oleh sebab itu, Islam lebih tinggi dari sekadar ideology. Islam
sebagai agama, sekaligus sebagai dien, pandangan hidup yang
membahas masalah hubungan vertical (ibadah-ritual) dan hubungan
horizontal (muamalah-syiasah) (Firdaus Syam, 2007: 298).Agama Islam
dikembangkan secara ideologis, secara nyata sejak Nabi Muhammad
saw. hijrah ke Madinah. Ia bersama sahabat dan pengikutnya mulai
membina diri dalam membentuk masyarakat yang corak, tujuan, dan
dasar bersama hadir pada waktu bersamaan. Para sahabat, di kemudian
hari menyebut dirinya sebagai khilafah Rasulullah (penerus
Rasulullah). Julukan itu tidak lain dimaksud untuk menekankan
fungsi para khalifah sebagai pelanjut melalui bimbingan yang pernah
dilakukan Rasulullah dan meneruskan pesannya. Ini juga sekaligus
sebagai indikasi dalam format kekuasaan politik bahwa khalifah
tidak dapat disamakan dengan raja atau penguasa. Dalam sejarah
Islam, sistem pemerintahan khalifah mengalami pasang surut baik
perubahan secara struktur kekuasaan sampai kepada tingkah laku,
istilah maupun bentuk pemerintahan. Hal ini didasari karena kondisi
geografis serta peran pemimpin Islam yang waktu itu semakin luas
dan besar. hal ini lebuh penting adalah mulai terjadinya perubahan
orientasi dalam berjuang (Firdaus Syam, 2007: 299-300).Setelah
wafatnya Rasulullah Saw, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan
antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa
pengganti Rasulullah di Saqifah yang pada gilirannya menjadi
perdebatan sengit dikalangan pemikir politik Islam tentang siapa
yang berhak menggantikan Rasulullah dalam kepemimpinan agama dan
politik. Permasalahan awal setelah wafatnya Rasulullah tentang
siapa pengganti Rasulullah membuktikan bahwa sejak awal karakter
yang diperlihatkan umat Islam begitu serius dalam membicarakan
persoalan politik (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008:
26).Berbagai peristiwa politik dalam proses penggantian kekuasaan
yang diperlihatkan oleh Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib menjadi sejarah penting
bagi umat Islam. Proses pergantian kekuasaan yang tidak sama di
masing-masing periode kekuasaan (Abu Bakar As-Shiddiq dipilih
dengan jalan musyawarah terbatas antara kelompok Muhajirin dan
Anshar, Umar ditunjuk oleh Abu Bakar As-Shiddiq, Utsman bin Affan
menjadi khalifat berdasarkan musyawarah tim formatur, dan Ali bin
Abi Thalib menjadi khalifah dalam situasi politik yang
terpecah-pecah dan hanya dibaiat oleh sebagian kelompok umat Islam)
telah memunculkan perdebatan tentang mekanisme apa yang harusnya
dilakukan untuk mengganti penguasa. Perdebatan ini menyangkut
mekanisme dan sistem politik yang dipraktikkan oleh Islam (Mujar
Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008: 27).Peristiwa paling
menegangkan dalam sejarah Islam adalah peristiwa tahkim yang
terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan
yang menjadi puncak perdebatan politik di kalangan umat Islam.
Perebutan kekuasaan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin
Abi Sufyan telah melahirkan persoalan teologis yang sangat kuat
(kafir dan mengkafirkan). Lahirlah aliran-aliran teologi yang
sebelumnya tidak pernah ada di masa Rasulullah dan al-Khulafa
al-Rasyidun, seperti Khawarij, Mutazilah, Ahlussunnah Waljamaah,
dan Murjiah (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008:
27).Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di kalangan umat Islam
telah melahirkan pemikiran-pemikiran politik di masa-masa
selanjutnya, yang merupakan respon terhadap peristiwa dan hasil
refleksi para pemikir politik. Munculnya sejumlah pemikir politik
Islam seperti Ibn Abi Rabi, al-Mawardi, al-Ghazali, al-Farabi, Ibn
Taymiyah, Ibn Khaldun, dan Syah Waliyullah al-Dahlawi (Mujar Ibnu
Syarif dan Khamami Zada, 2008: 28).Pemikiran politik Islam terbagi
dalam tiga periode besar, yakni periode klasik, pertengahan, dan
modern. Periode klasik berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad
ke-13 (1258M), periode pertengahan yang berlangsung sejak abad
ke-14 hingga abad ke-19(periode kejatuhan Abbasiyah hingga zaman
kolonialisme), dan periode modern yang brelangsung sejak abad ke-19
(kolonialisme) hingga sekarang (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada,
2008: 27).a. Periode Klasik Masa ini merupakan masa ekspansi,
integrasi dan keemasan Islam. Masa awal pada periode ini, yang
dimulai di masa Nabi Muhammadiyah Saw merupakan masa di mana
seluruh semenanjung Arabia telah tunduk di bawah kekuasaan Islam.
Ekspansi ke daerah-daerah luar Arabia dimulai di zaman khalifah
pertama Abu Bakar As-Shiddiq hingga masa kekuasaan Bani Umayyah dan
Dinasti Abbasiyah sebagai puncak kejayaan Islam. Di periode ini
disintegrasi Islam di bidang politik sebenarnya telah terjadi pada
akhir zaman Bani Umayyah dan memuncak di zaman Bani Abbas, terutama
setelah khalifah-khalifah menjadi bonek di tangan tentara pengawal.
Daerah-daerah yang jauh letaknya dari pusat pemerintahan Damaskus
dan kemudian Bagdad melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di
pusat pemerintahan dan bermunculan dinasti-dinasti kecil (Mujar
Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008: 28-29).Pada masa awal-awal
Islam hingga masa Dinasti Umayyah (661-750 M), pemikiran politik
Islam belum begitu kuat muncul di kalangan intelektual Islam,
meskipun sudah ada gerakan oposisi dari kelompok Khawarij dan
Syiah. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi Dinassti Umayyah yang
lebih banyak berorientasi pada pengembangan kekuasaan. Barulah pada
masa Dinasti Abbasiyah, pemikiran politik Islam dikembangkan oleh
sejumlah intelektual Islam seiring dengan prestasi intelektual
Dinassti Abbassiyah yang telah berhasil mengembangkan ilmu
pengetahuan dari berbagai bidang (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami
Zada, 2008: 29).Di bawah Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan
mengalami keemasan. Sastra, terkumpulnya Shahih Bukhari dan Muslim,
munculnya empat imam mazhab fiqh (Hanafi, Maliki, SyafiI, dan
Hanbali), dan teologi merupakan bukti gemerlapnya kemajuan
pengetahuan di masa Dinasti Abbasiyah. Periode ini merupakan puncak
peradaban Islam yang tertinggi dan mempunyai pengaruh bagi
peradaban di Barat (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008:
29-30).Ada beberapa cirri yang menonjol dari pemikiran politik
Islam di zaman klasik. Pertama, adanya pengaruh alam pikiran
Yunani, terutama pandangan Plato tentang asal-usul negara, meskipun
kadar pengaruhnya tidak sama. Plato dalam teori politiknya
menyatakan bahwa, negara terbentuk karena begitu banyaknya
kebutuhan manusia yang tidak dapat dipenuhi dengan kekuatan dan
kemampuan sendiri. Maka manusia bekerja sama dan bersatu.
Persekutuan hidup dan kerjasama yang semakin lama semakin
terorganisasi dengan baik itu, kemudian membentuk negara. Teori ini
kemudian diambil para pemikir politik Islam sebagai konstruksi
filosofis terbentuknya negara (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada,
2008: 30-31).Meski demikian, teori ini tidak saja diambil secara
sekuler (profan), tetapi mendapat dasar justifikasi dari bangunan
konseptual ajaran Islam. Yakni, tujuan bernegara adalah tidak
semata-mata untuk kebutuhan lahiriah manusia, tetapi juga kebutuhan
rohaniah dan ukhrawiah. Elaborasi ini oleh al-Farabi dikemukakan
dalam konsepnya tentang al-saadah (happiness) sebagai jalan rohani
dalam kekuasaan dan oleh al-Mawardi dijelaskan bahwa negara
dibentuk untuk melanjutkan misi kenabian untuk melindungi agama dan
mengatur dunia (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008:
31).Kedua, pemikiran politik yang berkembang lebih banyak berpijak
pada kondisi real (realistik) sosial-politik. Pemikiran mereka
lebih banyak dilahirkan sebagai respon terhadap kondisi
sosia-politik yang terjadi. Bahkan, di antara pemikir, ada yang
mendasarkan gagasannya pada pemberian legitimasi kepada sistem
pemerintahan yang ada atau mempertahankan status quo bagi
kepentingan penguasa, baru kemudian menawarkan saran-saran
perbaikan dan reformasi (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008:
31-32).Berbeda dengan kecenderunagn sebelumnya al-Farabi justru
berpijak pada paradigma idealistik, utopian dan cenderung tidak
realistik. Perkenalannya dengan pemikiran Yunani Kuno, seperti
Plato dan Aristoteles membuat al-Farabi memiliki
pandangan-pandangan politik yang filosofis. Karena itulah,
al-Farabi dalam teori politiknya menegaskan bahwa tujuan
didirikannya negara adalah untuk meraih kebahagiaan dan filsuflah
yang mampu mewujudkan kebahagiaan, sehingga yang pantas menjadi
kepala negara adalah para filsuf. Kecenderungan al-Farabi yang
lebih idealistik dan utopia, terutama ketika al-Farabi mengajukan
gagasan negara ideal al-madianah al-fadhilah, yakni kota utama. Ia
menggambarkan kota utama sebagai suatu keseluruhan dari
bagian-bagian terpadu (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008:
32-33).
b. Periode PertengahanPeriode pertengahan dibagi dalam dua masa,
masa kemunduran pertama dan masa tiga kerajaan besar (Usmani di
Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India). Periode pertengahan
ditandai dengan hancurnya dinasti Abbasiyah di tangan tentara
Mongol 1258 M, yang pada gerak selanjutnya kemudian politik Islam
mengalami kemunduran, sehingga orientasi pemikiran politiknya pun
berubah. Islam mengalami perpecahan dengan munculnya banyak
dinasti-dinasti kecil dalam kekhalifahan Islam. Jatuhnya Dinasti
Abbasiyah sebagai dinasti yang banyak melahirkan ilmu pengetahuan
mengakibatkan dunia Islam semakin terpuruk. Sementara di luar dunia
Islam, ada ancaman dari negara-negara Barat yang sudah mulai
bangkit dari kegelapannya. Dalam kondisi sosia-politik yang
carut-marut, pemikiran politik Islam menunjukkan kecenderungan
untuk membangkitkan kekuatan dunia Islam. Tak heran, jika para
pemikir politik Islam periode ini mencerminkan kecenderungan
responsive-realis terhadap kejatuhan dunia Islam (Mujar Ibnu Syarif
dan Khamami Zada, 2008: 34-35).Beberapa intelektual yang muncul
pada periode pertengahan ini adalah, Ibn Taimiyah yang merupakan
seorang pemikir realis. Ia lahir di masa dunia Islam mengalami
puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial, dan dekadensi
akhlak/moral. Dunia Islam pasca jatuhnya Bagdad membutuhkan
kekuatan dan persatuan. Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa kebobrokan
umat disebabkan oleh kebobrokan para pemimpin dan kurang tepatnya
para pemimpin memilih wakil dan pembantunya. Oleh karena itu, ia
menyajikan suatu model pemerintahan Islam bahwa umat hanya mungkin
diatur dengan baik oleh pemerintahan yang baik (Mujar Ibnu Syarif
dan Khamami Zada, 2008: 36).Ibn Taimiyah merumuskan teori
politiknya dalam al-Siyasah al-Syariiyyah fi Ishlah al-RaI wa
al-Raiyyah, Majmu al-Fatawa, dan Minhaj al-Sunnah sebagai jawaban
terhadap situasi dan kondisi yang dialaminya sebagai suatu akomodai
terhadap kenyataan yang dihadapinya. Berbeda dengan para pemikir
politik Islam sebelumnya, Ibnu Taimiyah tidak memandang institusi
imamah sebagai kewajiban syarI, tetapi hanya kebutuhan praktis saja
(Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008: 36).Pemikiran politik
Ibn Taimiyah bertumpu pada dua hal, yakni al-amanah (kejujuran) dan
al-quwwah (kekuatan) sebagai syarat mutlak kepada negara. Pandangan
Ibnu Taimiyah yang mensyaratkan amanah dan quwwah disebabkan oleh
kondisi pada zamannya ketika dunia Islam hancur oleh kekuatan
tentara Mongol (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008:
36).Pemikir lainnya, Ibn Khaldun yang menulis Muqaddimah merupakan
respons terhadap kondisi politik yang dihadapinya, yang dalam
kondisi hancur, dunia Islam terpecah-pecah, dan kekuatan Islam
semakin lemah. Menurut Ibn Khaldun, manusia tidak bisa hidup tanpa
adanya organisasi kemasyaratakan dan tanpa kerjasama dengan sesame
manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sehingga manusia secara
alamiah membutuhkan negara. Teori Ibn Khaldun tentang asal mula
negara ini serupa dengan apa yang lebih dulu dikemukakan Plato dan
juga mirip dengan gagasan-gagasan yang telah dikemukakan Ibn Abi
Rabi, al-Farabi, al-Mawardi, dan al-Ghazali (Mujar Ibnu Syarif dan
Khamami Zada, 2008: 36-37).Sementara itu, Syah Waliyullah
al-Daahlawi (1702-1762) yang juga hidup dalam kondisi dunia Islam
yang terpecah-pecah justru bersikap kritis dengan mengajukan
pemikiran yang membenarkan pembangkangan rakyat terhadap kepala
negara yang tiran dan zalim. Syah Waliyullah bahkan menegaskan
bahwa peerintahan pada periode pasca kepemimpinan al-Khulafa
al-Rasyidun hanyalah berbeda sekidit saja dari kerajaan Romawi dan
kekaisaran Persia. Karena itulah, untu mengembalikan pemerintahan
seperti pada masa Nabi dan al-Khulafa al-Rasyidun, Syah Waliyullah
membenarkan pembangkangan rakyat terhadap kepala negara yang lalim
(Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008: 37-38).Apa yang luar
biasa adalah penjelasan Waliyullah tentang sifat manusia yang
condong pada organisasi sosial dan kemudian politik. Gagasan ini
jelas ditarik dari pengalaman dunia Islam yang pada dasarnya
bersifat naturalistic. Tegasnya, aspek moral, hukum, masyarakat,
dan negara harus dipertimbangkan sesuai dengan kebutuhan dan sifat
dasar manusia. Karena itu, Waliyullah merupakan satu-satunya
pemikir muslim yang mengungkapkan konsep hukum moral alami
sebagaimana kelak membentuk pemikiran moral Eropa antara abad ke-13
dan ke-18. Dia juga memandang negara sebagai hasil dari konflik
yang terjadi dalam sebuah masyarakat yang kompleks, ketimbang
melihatnya sebagai akibat dari interaksi dalam komunitas hadharah
yang kompleks. Teori Waliyullah tentang khalifah mencengankan
karena berusaha memadukan pendekatan sufistik dan ahli fiqh dengan
cara memilah antara kekhalifahan spiritual yang mengurusi
perintah-perintah agama dan kekhalifahan politis yang bertugas
untuk meningatkan pelaksanaan ajaran agama (Mujar Ibnu Syarif dan
Khamami Zada, 2008: 38).
c. Periode ModernPeriode modern ditandai kolonialisme melanda
negeri-negeri muslim. Hampir seluruh dunia Islam berada di bawah
penjajahan Barat. Dunia Islam tidak mampu bangkit dari kemunduran
yang berkepanjangan. Ada tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran
Islam modern atau kontemporer. Pertama, kemunduran dan kerapuhan
dunia Islam yang disebabkan oleh factor-faktor internal dan
berakibat munculnya gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.
Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan
wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan
oleh negara-negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam
dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan
sikap snati-Barat. Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu,
teknologi, dan organisasi (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada,
2008: 39).Kecenderungan yang seperti itu membuat sebagian pemikir
ada yang mencoba meniru Barat, ada juga yang menolak Barat dan
menghendaki kembali kepada kemurnian Islam. Maka, dalam periode ini
ada tiga kecenderungan pemkiran politik Islam, yaitu integralisme,
interseksion, dan sekulerisme (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada,
2008: 38).Kelompok pertama memiliki pandangan bahwa agama dan
politik adalah menyatu, tak terpisahkan. Dalam pandangan kelompok
ini negara tidak bisa dipisahkan dari agama, karena tugas negara
adalah menegakkan agama sehingga negara Islam atau khilafah
Islamiyah menjadi cita-cita bersama. Karena itulah, syariat Islam
menjadi hukum negara yang dipraktikkan untuk seluruh umat Islam
(Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008: 38-39).Kelompok ini
diwakili oleh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M) yang menulis
Al-Khilafah wa al-Imamah al-Uzahma (Kekhalifahan atau Kepemimpinan
Agung) dan tafsir Al-Manar, Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman
Al-Banna atau yang lebih dikenal dengan nama Hasan Al-Banna
(1906-1949 M) pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin, Abu al-Ala
al-Maududi (1903-1979 M) yang menulis Al-Khilafah wal Mulk
(Khilafah dan Kerajaan) dan Islamic Law and Constitution, ia juga
pendiri gerakan Jamaat Islami di Pakistan, Sayyid Quthb (1906-1966
M) ideologi gerakan Ikhwanul Muslimin yang menulis Al-Adalah
al-Ijtimaiyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam) dan Maalim
al-Thariq (Petunjuk Jalan), dan terakhir yaitu Imam Khomeini
(1900-1989 M) pemimpin revolusi Islam Iran 1979 dan penggagas
konsep wilayatul faqih yang menulis Hokumat-I Islami (Sistem
Pemerintahan Islam) (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008:
39).Dari sejumlah pemikir yang memiliki pandangan integralistik ini
menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dengan negara yang
ditunjukkan oleh mereka dalam aktivitas politiknya dalam bentuk
partai politik Islam yang bertujuan untuk merebut negara dari
penguasa sekuler (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008:
40-41).Kelompok kedua memiliki pandangan bahwa agama dengan politik
melakukan simbiosis atau hubungan timbal balik yang saling
bergantung. Agama membutuhkan negara untuk menegakkan aturan-aturan
syariat. Sementara negara membutuhkan negara untuk mendapatkan
legitimasi. Para pemikir ini menunjukkan garis pemikiran politik
yang moderat dengan tidak mengabaikan pentingnya negara terhadap
agama. Kelompok ini diwakili oleh Muhammad Abduh (1849-1905 M)
tokoh pembaharu Mesir, Muhammad Iqbal (1873-1938 M) bapak pendiri
negara Pakistan, Muhammad Husain Haikal (1888-1945 M) yang menulis
Hayatu Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), Fi Manzil al-Wahyi
(Kedudukan Wahyu), dan Al-Humumat al-Islamiyat (Pemerintahan Islam)
(Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008: 41).Kelompok ketiga
memiliki pandangan bahwa agama harus dipisahkan dengan negara
dengan argument Nabi Muhammad Saw tidak pernah memerintahkan untuk
mendirikan negara. Terbentuknya negara dalam masa awal Islam hanya
faktor alamiah dan historis dalam kehidupan masyarakat, sehingga
tidak perlu umat Islam mendirikan negara Islam atau khilafah
Islamiyah. Kelompok ini diwakili oleh Ali Abd al-Raziq (1888-1966
M) yang menulis Al-Islam wa Ushul al-Hukm: Bats fi al-Khilafah wa
al-Hukuman fi al-Islam (Islam dan Pemerintahan: Kajian tentang
Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam), Thaha Husein (1889-1973 M)
yang menulis Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr (Masa Depan Kebudayaan
Mesir), dan Mustafa Kemal Attarurk (1881-1938 M) pendiri Republik
Turki Modern (Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, 2008: 41-42).
3. Pengertian Politik dalam Perspektif IslamPolitik Islam ialah
aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai
acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung
perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca: pemeluk
agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat
disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme
keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan lambang Islam, dan
istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah
perjuangan, serta wacana politik (http://bagus
surya-fisip12.web.unair.ac.id/artikel detail 69073 Agama % 20 Islam
- SISTEM%20ISLAM.html).Negara pada dasarnya sebagai alat untuk
mencapai tujuan yang diatur dalam suatu sistem kehidupan, khususnya
sistem politik. Sistem politik yang dimaksud di sini tentu, suatu
politik yang berbasis nilai-nilai Islam atau syariat Islam. Politik
di sini merupakan siyasah syariyyah. Menurut Yusuf Al-Qardhawy
bahwa siyasah syariyyah adalah politik yang dilandaskan kepada
kaidah-kaidah syariat, hukum, dan tuntutannya. Perkataan siyasah
mengandung isi kenegaraan sebagai halnya perkataan politik. Di
mulai zaman Nabi, sabda beliau yang mengandung sejarah (histories
waarde). Dalam hal ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut:Kaum Bani Israel
(Yahudi) siyasah kenegaraan mereka dipimpin oleh Nabi. Setiap
meninggal seorang Nabi, dia digantikan oleh Nabi yang kemudiannya.
Sesungguhnya aku tidaklah ada Nabi yang akan menggantikan di
belakangku. Aku yang bakal ada (hanyalah) khalifah-khalifah (kepada
negara) yang jumlah mereka adalah banyak. (Firdaus Syam, 2007:
301).Sistem kenegaraan dalam Islam tidak sama dengan istilah
teokrasi seperti kaum gereja di abad pertengahan dengan memilih
pemimpin mereka dari kalangan gereja kemudian berhak secara paksa
memputih-hitamkan rakyat atas nama Tuhan. Sistem kenegaraan Islam
juga bukan berbentuk sekulerisme, yaitu memisahkan agama dalam
kehidupan bernegara. Politik kenegaraan Islam, bedasarkan
nilai-nilai Islam (Firdaus Syam, 2007: 301-302).Islam sendiri
adalah sistem hidup, Islam merupakan dien bagi pemeluknya, Islam
merupakan ideologi atau asas bagi setiap muslim. Dengan demikian,
Islam merupakan sistem hidup yang mengatur segala kehidupan dan
penghidupan manusia di dalam berbagai hubungan, hal ini yang
menegaskan bahwa negara dalam perspektif Islam tidak dapat
dipisahkan dari agama. Oleh sebab itu, juga sekulerisme dalam
politik kenegaraan tidak dikenal dalam Islam. Karena tidak sesuai
dengan fitrah Al-Islam sebagai kebulatan ajaran. Sistem yang
dibangun Rasulullah saw. serta pengikutnya yang hidup bersama di
Madinah, jika dilihat dari segi praktis dan diukur dengan variable
politik di era modern, tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa
sistem ini merupakan sistem politik par excellence. Dalam waktu
yang sama dapat dikatakan sebagai sistem religious, jika dilihat
dari tujuannya, motifnya, serta fundamental religious tempat sistem
itu berpijak (Firdaus Syam, 2007: 302).Sistem politik Islam
didasarkan atas tiga prinsip, yakni Tauhid (kemaha Esaan Tuhan),
Risalah (kerasulan Muhammad) dan Khalifah. Tauhid berarti hanya
Tuhan Yang Maha Esa sajalah pencipta, pemelihara, dan penguasa dari
seluruh alam (universum dan segala yang terdapat di dalamnya baik
organis maupun inorganis). Kedaulatan ini hanya terletak padanya.
Dia sajalah yang berhak untuk memberi perintah atau melarang.
Pengabdi (Ibadah) dan ketaatan hanya kepada-Nya. Risalah Rasulullah
sesuai maksud dari kitabullah itu, telah menegakkan bagi kita salah
satu pola dari sistem hidup dalam Islam dengan melaksanakan hukum
Islam itu dan memberikan dalam praktik dengan detail (secara rinci)
yang diperlukan. Kombinasi kedua ini dinamakan syariah. Kilafah
menurut kamus bahasa Arab berarti perwakilan (representation). Ini
juga menjelaskan mengenai posisi tempat manusia di muka bumi ini,
menurut ajaran Islam adalah posisi khalifah atau wakil dari Tuhan.
Khilafah sebagai perwujudan dari wakil rakyat di dalam sistem
politik Islam. Di sini duduk para khalifah, lembaga tempat mereka
berkumpul dan membicarakan atau memecahkan setiap persoalan yang
berkaitan dengan kemasyarakatan atau kenegaraan dan ini dilakukan
di Majelis Syuro dengan musyawarah (syuro bainahum). Majelis Syuro
itu mempunyai keputusan legislatif yang akan mengikat (Firdaus
Syam, 2007: 302-303).Gibb menyatakan bahwa politik kenegaraan dalam
Islam merupakan perpaduan antara kehendak Tuhan dengan suara rakyat
yang dimusyawarahkan, atau dengan kata lain firman Tuhan (fox die),
sabda Nabi (fox prophete), merupakan kekuasaan yang tertinggi dalam
Islam. Dalam segi pesan ketuhanan, di dalam kitab penganut Islam
(Al-Quran) dikemukakan: Sesungguhnya Tuhan memerintahkan kepada
kamu (penyelenggara negara), supaya menunaikan amanah kepada rakyat
(rakyat yang menjadi ahli), dan apabila (hakim-hakim) melaksanakan
hukum di antara manusia agar menjatuhkan hukum dengan keadilan.
Sesungguhnya amat baiklah pengajaran yang diberikan Tuhan kepadamu,
dan sesungguhnya Tuhan Maha Mendengar lagi Maha mengawasi. Wahai
kamu yang beriman taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada putusan
musyawarah ulil amri di antara kamu. Maka jika lahir pertentangan
di antara kamu, maka kembalilah kepada hukum Tuhan. (Firdaus Syam,
2007: 303).Dalam sejarah, awal Rasul dan kaum muslimin tinggal di
Madinah telah lahir apa yang dikenal dengan Piagam Madinah, sebuah
piagam yang membincangkan secara bersama antarkaum muslim dengan
kelompok lainnya di luar Islam yang kemudian mencapai kemufakatan
di mana lahir kesepakatan politik, rasul dipercaya sebagai kepala
pemerintahan. Dalam perkembangan sejarah sepeninggalan Rasul
terjadi apa yang dikenal dengan pertemuan saqifah. Suatu pertemuan
nasional atau muktamar luar biasa yang membicarakan nasib umat
dalam perjalanannya masa depan dan meletakkan dasar bagi institusi
politik yang baru itu, yang menjadi landasan operasional institusi
itu di masa mendatang. Hasil tersebar pertemuan ini, adalah
berdirinya institusi kekhalifahan yang sejak saat itu menjadi model
pemerintahan Islam, baik dalam bentuk yang sama atau sedikit
berbeda, hingga era abad ke-20. Di sini tidak akan menjelaskan
perdebatan yang berlangsung dalam pertemuan secara rinci. Di sini
hanya menegaskan bahwa pengungkapan pendapat yang berlangsung dalam
pertemuan itu terjadi dalam suasana yang bebas dan terbuka sehingga
menampakkan dengan jelas titik-titik pandang yang berbeda (Firdaus
Syam, 2007: 303-304).Islam politik adalah perjuangan Islam di
bidang politik. Persepsi politik Islam ini bersifat ideologis, di
mana pikiran manusia dipengaruhi oleh garis panduan politik yang
bersifat simbolik-ideologis Islam. Perjuangan Islam melalui
struktur politik (partai politik Islam) dianggap sebagai
satu-satunya kendaraan untuk mencapai tujuan politik. Oleh karena
itu, tenaga mayoritas muslim dihabiskan demi partai politik, baik
melanjutkan partai yang dulu ada atau pun menghidupkan kembali yang
telah dilarang dan atau menghadirkan yang baru (Nasiwan, 2012:
60).Menurut Quthb politik pemerintahan dalam Islam didasarkan atas
tiga asas, yakni keadilan penguasa, ketaatan rakyat dan
permusyaratan antara penguasa dan rakyat. Tentang keadilan
penguasa, seorang penguasa harus adil secara mutlak, keputusan dan
kebijaksanaannya tidak terpengaruh oleh perasaan senang atau benci,
suka atau tidak suka, hubungan kerabat, suku dan hubungan-hubungan
khusus lainnya. Dalam negara Islam setiap individu menikmati
keadilan yang sama, tanpa ada diskriminasi yang didasarkan atas
keturuanan dan/atau kekayaan. Tentang ketaatan rakyat, keharusan
atau kewajiban taat kepada pemegang kekuasaan itu, menurut Quthb
merupakan perpanjangan dari kewajiban taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, sebab taat kepada pemegang kekuasaan itu bukan karena
jabatan mereka, tetapi oleh karena mereka menegakkan syariat Allah
dan Rasul-Nya. Hal itu berarti bahwa apabila para pemegang
kekuasaan menyimpang dari garis-garis yang telah ditetapkan oleh
syariat maka gugurlah kewajiban taat kepada penguasa, dan segala
perintahnya tidak wajib dilaksanakan (H. Munawir Sjadzali, 1993:
150).Dalam hubungan ini Quthb mengemukakan bahwa seorang penguasa
Islam sama sekali tidak memiliki kekuasaan keagamaan yang
diterimanya dari langit. Dia menjadi penguasa semata-mata karena
dipilih oleh kaum muslimin berdasarkan kebebasan dan hak mereka
yang mutlak. Maka apabila kaum muslimin tidak rela lagi diperintah
olehnya, kekuasaan tidak lagi berada di tangannya. Quthb lebih
lanjut menyatakan bahwa pemerintahan Islam tidak harus di bentuk
atas suatu sistem atau pola tertentu, Pemerintahan Islam dapat
menganut sistem mana pun asalkan melaksanakan syariat Islam.
Terakhir tentang muyawarah antara penguasa dan rakyat,
permusyawaratan merupakan salah satu dari prinsip-prinsip
pemerintahan Islam, sedangkan teknik pelaksanaannya tidak secara
khusus ditetapkan. Dengan demikian, bagi Quthb, bentuk
penyelenggaraan dan pelaksanaannya terserah kepada kepentingan dan
kebutuhan (H. Munawir Sjadzali, 1993: 150-151).Ilmu politik terbagi
kepada dua golongan besar yaitu, (1) ilmu politik praktis
(practical policy = Applied politics) ialah pengetahuan tentang
kepandaian dan kebijaksanaan memerintah. Oleh karena memerintah itu
meliputi segala macam pekerjaan di dalam pemerintahan, maka bagian
ini dapat pula dirinci kepada berbagai ilmu pengetahuan menurut
banyaknya soal-soal (problema) yang timbul dan dianggap oenting di
dalam negara. Sesudah diadakan spesifikasi lagi, maka tiap-tiap
penting soal itu merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri, yang
mempunyai pula cabang-cabang pengetahuan yang banyak. Ilmu tentang
politik praktis ini dinamakan dalam bahasa Arab siasah amaliyah (H.
Zainal Abidin Ahmad, 1977: 52)Selanjutnya (2) ilmu politik teoritis
(theoretical policy), ialah menyelidiki teori mengenai soal-soal
kenegaraan dengan segala bagiannya. Mungkin objek yang dibicarakan
sama tentang ilmu politik praktis di atas, tetapi perbedaannya
terletak di dalam cara pembahasannya. Kalau ilmu politik praktis
mendasarkan pada kenyataan pemerintahan yang harus dijalankan
sebagai suatu kepandaian, maka dalam ilmu politik teoritis segala
soal itu dianalisa secara pengetahuan, secara ilmiyah atau
wetens-chappelyk. Ilmu ini di dalam bahasa Arab dinamakan siasah
nazariyah. Kedua bagian ilmu diatas terikat satu menjadi ilmu
politik (political science), atau bahasa Arabnya ilmu siayah (H.
Zainal Abidin Ahmad, 1977: 53-54).4. Prinsip-Prinsip Dasar Politik
IslamAl Quran menegaskan bahwa, kebenaran itu datangnya dari Allah
SWT, jangan sekali-kali diragukan, sebagaimana disebutkan dalam
(QS. 2 : 147). Ditegaskan pula dalam (QS. 3: 60), bahwa kebenaran
itu datangnya dari Allah SWT, jangan engkau termasuk mereka yang
meragukannya. Juga terdapat penegasan bahwa kebenaran datang dari
Allah SWT, manusia bebas menentukan pilihannya, menerima kebenaran
itu atau menolaknya, sebagaimana firman Allah dalam (QS. 18
(al-Kahfi) : 29). Sebagai umat Islam, maka tentu saja kita
mengambil prinsip-prinsip dasar berdasarkan Al Quran dan al-Hadits
sebagai sumber referensi dan rujukan dalam berbagai hal termasuk
dalam urusan politik (http://bagus
surya-fisip12.web.unair.ac.id/artikel detail 69073 Agama % 20 Islam
- SISTEM%20ISLAM.html).Al Quran sebagai sumber ajaran utama dan
pertama agama Islam mengandung ajaran tentang nilai-nilai dasar
yang harus diaplikasikan dan diimplentasikan dalam pengembangan
sistem politik Islam. Nilai-nilai dasar tersebut adalah:1.Keharusan
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana tercantum dalam
(QS. 23 (al-Mukminun):52). Dengan demikian,tidak dapat disangkal
bahwa Al-quran memerintahkan persatuan dan kesatuan. Hal ini
dipertegas lagi dalam (QS. 21 (al-Anbiya): 92).2.Keharusan
bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah ijtihadiyah.
Dalam (QS. 42 (al-Syura) : 38 dijelaskan, dan dalam (QS. 3 (Ali
Imran) : 159).3.Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum
secara adil. Dijelaskan dalam (QS. 4 (al-Nisa) : 58)4.Keharusan
mentaati Allah dan Rasulullah sertaUlil Amri(pemegang kekuasaan)
sebagaimana difirmankan dalam (QS. 4 (al-Nisa): 59). 5.Keniscayaan
mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat Islam,
sebagaimana difirmankan dalam (QS. 49 (al-Hujarat): 9).6.Keharusan
mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan melakukan agresi dan
invasi. Dijelaskan dalam (QS. 2 (al-Baqarah) : 90).7.Keharusan
mementingkan perdamaian dari pada pernusuhan. Dalam (QS. 8
(al-Anfal): 61).8.Keharusan meningkatkan kewaspadaan dalam bidang
pertahanan dan keamanan, sebagaimana firman Allah dalam (QS. 8
(al-Anfal): 60).9. Keharusan menepati janji, sebagaimana firman
Allah SWT dalam (QS. 16 (al-Nahl): 91).10.Keharusan mengutamakan
perdamaian bangsa-bangsa, sebagaimana firman Allah SWT dalam (QS.
49 (al-Hujarat): 13).11.Keharusan peredaran harta pada seluruh
lapisan masyarakat. Dalam (QS. 59 (al-Hasyr): 7). Bahkan Al Quran
sama sekali tidak melarang kaum muslim untuk berbuat baik dan
memberi sebagian harta mereka kepada siapapun, selama mereka tidak
memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum muslimin dari
kampong halaman mereka, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam (QS.
60 (al-Mumtahanah): 8).12.Keharusan mengikuti prinsip-prinsip
pelaksanaan hukum. Dalam Al Quran ditemukan banyak ayat yang
berkaitan atau berbicara tentang hokum. Dalam Al Quran secara tegas
dinyatakan, bahwa hak pembuat hukum itu hanyalah milik Allah SWT
semata, sebagaimana firman-Nya dalam (QS. 6 (al-An,am): 57)
(http://bagus surya-fisip12.web.unair.ac.id/artikel detail 69073
Agama % 20 Islam - SISTEM%20ISLAM.html).Prinsip-prinsip politik
Islam, terutama terkait dengan kepemimpinan, ditinjau dari
perspektif al-Quran dan Hadits bisa dijelaskan seperti berikut
ini:a. Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin (QS. al-Nisa (4):
144), orang-orang Yahudi dan Nasrani (QS. al-Maidah (5): 51-53),
orang-orang yang mempermainkan agama atau mempermainkan shalat (QS.
al-Maidah (5): 56-57), musuh Allah Swt. Dan musuh orang mukmin (QS.
al-Mumtahanah (60): 1), dan orang-orang yang lebih mencintai
kekufuran daripada iman (QS. al-Taubah (9): 23) (Ajat Sudrajat,
dkk, 2009: 111-112).b. Setiap kelompok harus memilih pemimpin
sebagaimana dijelaskan dalam hadits: Jika tiga orang melakukan
suatu perjalanan, angkat salah seorang di antara mereka sebagai
pemimpin (HR. Abu Dawud) (Ajat Sudrajat, dkk, 2009: 112).c.
Pemimpin haruslah orang-orang yang dapat diterima, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits: Sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang
kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka
berdoa untukmu. Seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu
benci dan mereka membencimu, kamu laknati mereka dan mereka
melaknati kamu (HR. Muslim) (Ajat Sudrajat, dkk, 2009:112).d.
Pemimpin yang Maha Mutlak hanyalah Allah Swt. sebagaimana
dijelaskan dalam al-Quran: Maha Suci Tuhan yang ditangan-Nyalah
segala kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. al-Mulk
(67): 1); Dan kepunyaan Allahlah kerajaan antara keduanya (QS.
al-Maidah (5): 18) (Ajat Sudrajat, dkk, 2009: 112).e. Kepemimpinan
Allah Swt. terhadap ala mini sebagian didelegasikan kepada manusia,
sesuai yang dikehendaki-Nya: Katakanlah Wahai Tuhan yang mempunyai
kerajaan Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki
(QS. Ali Imran (3): 26). Status kepemimpinan manusia hanya sebagai
amanah dari Allah Swt. Yang sewaktu-waktu diberikan kepada
seseorang dan diambil dari seseorang (Ajat Sudrajat, dkk, 2009:
112).f. Memperhatikan kepentingan kaum Muslimin. Prinsip ini
didasarkan pada Sabda Nabi Saw: Siapa yang memimpin, sedangkan ia
tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, tidaklah ia termasuk
dalam golongan mereka (HR. al-Bukhari) (Ajat Sudrajat, dkk, 2009:
112).Shalahuddin Sanusi (1964) merumuskan dasar-dasar kepemimpinan
dalam Islam sebagai berikut: a. Persamaan dan persaudaraan. Manusia
pada dasarnya sama, sebagai makhluk Tuhan, kelebihan yang satu
dengan lainnya terletak pada kualitas ketaqwaannya sebagaimana
firman Allah Swt: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa (QS. al-Hujurat
(49): 13). Karena itu seorang pemimpin tidak boleh merasa bahwa
dirinya serba melebihi dari orang-orang yang dipimpinnya, bahkan
dia harus menjadi pelayan bagi ummatnya (Ajat Sudrajat, dkk, 2009:
112-113).b. Dalam kehidupan bersama masyarakat yang dipimpinnya
harus menegakkan dan memelihara hubungan persaudaraan: Sesungguhnya
orang-orang mukmin itu bersaudara, maka perbaikilah hubungan
persaudaraan itu (QS. al-Hujurat (49):10) (Ajat Sudrajat, dkk,
2009: 113).c. Kepemimpinan itu merupakan amanat, tugas, atau
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemimpin, sebagaimana sabda
Nabi: Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanat dan sesungguhnya
pada hari kiamat kepemimpinan itu merupakan malu dan penyesalan,
kecuali orang yang mengambilnya dengan hak serta melaksanakan tugas
dan kewajibannya (HR. Muslim) (Ajat Sudrajat, dkk, 2009: 113).d.
Dalam melaksanakan kepemimpinan ia harus selalu bermusyawarah untuk
mengambil suatu keputusan (QS. al-Syura (42): 38) (Ajat Sudrajat,
dkk, 2009: 113).e. Hukum itu hanyalah pada Allah Swt. dan pemimpin
diamanati oleh masyarakat untuk melaksanakannya. Oleh karena itu,
apabila terjadi pertentangan dan perselisihan hendaklah
dikembalikan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya: Tidak ada hukum
melainkan bagi Allah (QS. al-Anam (6): 57) (Ajat Sudrajat, dkk,
2009: 113).f. Ketaatan ummat kepada pemimpin. Ummat wajib taat
kepada pemimpin yang mereka amanati untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban yang dipercayakan kepadanya: Hai orang-orang yang beriman
taatilah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang berkuasa di
antara kamu (QS. al-Nisa (4): 59). Mendengar dan taat kepada
pemimpin adalah wajib selama tidak disuruh kepada maksiat. Apabila
disuruh kepada maksiat, maka tidak perlu didengar dan ditaati (HR.
Al-Bukhari) (Ajat Sudrajat, dkk, 2009: 113).Apa yang ada di dalam
al-Quran dan sunah dari hukum konstitusional dan etika-etika
politik tinggi dianggap sesuatu yang wajib diikuti dalam
pemerintahan Islam (negara Islam). Hal ini mempunyai pengaruh besar
dalam membentuk gambaran Islam untuk sebuah negara, tugas-tugasnya
dan cirri khas sistem hukum di dalamnya, juga spesialisasi
kewenangan yang berada di dalamnya (Farid Abdul Khaliq, 2005:
1).Prinsip-prinsip konstitusional ini dianggap seperti hak-hak
Allah dalam bidang politik, karena sejauh mana hal itu dianggap
sebagai hak umat Islam untuk menuntut para penguasa agar
menghormati prinsip-prinsip konstitusional atau etika-etika politik
ini, dan agar bersedia turun dari jabatan politik mereka dalam
pemerintahan, sejauh itu pula hal tersebut menjadi kewajiban atas
umat Islam dengan kapasitasnya sebagai kelompok dan kewajiban atas
setiap orang yang mampu dengan kapasitas individu, untuk memegang
erat prinsip-prinsip ini dan mengajak orang lain untuk memegangnya
serta mencari penyelesaian padanya (Farid Abdul Khaliq, 2005:
1).Prinsip-prinsip utama menurut sebagian ulama kontemporer dari
ahli fikih syariat adalah tidak zalim, adil, musyawarah, dan
persamaan. Namun, menurut sebagian ulama lagi adalah keadilan
(Al-Adalah), musyawarah, dan taat kepada ulil amri terhadap
perintah yang disenangi orang mukmin atau yang dibenci, kecuali
bila dia memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh
mendengarkannya dan taat kepadanya (Farid Abdul Khaliq, 2005:
1-2).Ada satu pendapat lain lagi yang menyatakan bahwa
prinsip-prinsip utama itu adalah sebagai berikut.1. Musyawarah
dalam hal apa saja yang wajib dimusyawarahkan dari urusan-urusan
umat Islam.2. Sikap tidak zalim dari penguasa tertinggi, dari para
pemimpin, dan dari bawahannya.3. Meminta bantuan orang-orang kuat
dan terpercaya dalam segala hal yang penguasa tertinggi wajib
meminta bantuan dalam hal itu.Dr. Abdul Hamid Mutawalli dan Dr.
Muhammad Salim Al-Awa sangat sepakat dalam hal prinsip-prinsip
utama ini. Dr. Abdul Hamid Mutawalli meletakkan di awalnya
musyawarah dan keadilan, lalu persamaan dan kebebasan kemudian
tangung jawab ulil amri. Sementara Dr. Muhammad Salim Al-Awa sama
sepertinya, namun dia menambahkan wajib taat (Farid Abdul Khaliq,
2005: 2).
31