-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadilan organisasional (organizational justice) merupakan salah
satu konsep
dalam perilaku organisasional yang masih terus mengalami
perkembangan hingga
saat ini. Hasil berbagai kajian dan tinjauan terhadap konsep dan
hasil empiris
keadilan organisasional menunjukkan bahwa konsep ini memainkan
peran yang
penting dalam menentukan berbagai sikap dan perilaku individu.
Li dan Cropanzano
(2009) menyebutkan bahwa keadilan organisasional dapat
meningkatkan kinerja
individu, melahirkan perilaku kewarganegaraan, kesehatan mental
yang baik, tingkat
stres yang rendah dan berbagai sikap individu yang lebih
baik.
Hasil tinjauan (review) yang dilakukan oleh Cohen-Charash dan
Spector
(2001) terhadap 190 hasil penelitian, menunjukkan bahwa keadilan
organisasional
memainkan peran penting dalam pembentukan berbagai sikap seperti
kepuasan dan
komitmen, serta perilaku seperti kinerja, perilaku peran ekstra,
dan perilaku
kontraproduktif. Demikian pula meta-analisis yang dilakukan oleh
Colquitt, Conlon,
Wesson, Porter, dan Ng (2001) terhadap 183 hasil penelitian
menunjukkan bahwa
persepsi individu terhadap keadilan organisasional memiliki
pengaruh penting pada
sikap individu seperti kepuasan dan komitmen, serta perilaku
individu seperti tingkat
kemangkiran dan perilaku kewarganegaraan.
-
2
Ada beberapa isu dan permasalahan penting terkait dengan
pengembangan
konsep keadilan organisasional di masa yang akan datang.
Pertama, isu dimensi
keadilan organisasional yang terdiri dari keadilan distributif,
keadilan prosedural, dan
keadilan interaksional. Pada awalnya keadilan organisasional
hanya menekankan
pada dimensi distributif yang didasarkan pada equity theory,
kemudian muncul
keadilan prosedural dan keadilan interaksional. Masing-masing
dimensi memiliki
anteseden dan konsekuen yang berbeda-beda. Kebanyakan penelitian
kemudian
menggunakan ketiga dimensi ini. Perdebatan muncul pada saat
dimensi interaksional
dipecah menjadi dua dimensi yaitu keadilan interpersonal dan
keadilan informasional
(Greenberg, 1990a dan Colquitt et al., 2001). Hasil tinjauan
Chohen-Charash dan
Spector (2001) menunjukkan bahwa keadilan organisasional terdiri
dari tiga dimensi.
Namun, hasil tinjauan dengan menggunakan meta-analisis yang
dilakukan Colquitt et
al. (2001) dan hasil studi Colquitt (2001) menunjukkan bahwa
keadilan interaksional
terdiri dari dua dimensi tersebut.
Kedua, isu multifoci keadilan organisasional. Dasar isu ini
adalah bahwa sikap
dan perilaku individu dapat berasal dari persepsi terhadap
organisasi, supervisor dan
rekan kerja. Rupp dan Cropanzano (2002) menyatakan bahwa
konsekuen keadilan
organisasional tergantung sumber yang berbeda-beda, yaitu
organisasi, supervisor
dan rekan kerja. Model ini dikenal dengan multifoci approach dan
didasarkan pada
teori pertukaran sosial (Rupp & Paddock, 2010).
Teori pertukaran sosial menyatakan bahwa individu membangun
hubungan
pertukaran dengan banyak pihak. Individu akan menyimpan memori
tentang
-
3
peristiwa keadilan atau ketidakadilan tergantung dari pihak yang
bertanggung jawab
dalam menciptakan peristiwa tersebut. Dengan adanya pendekatan
ini, konsep
keadilan organisasional akan semakin luas, karena masing-masing
dimensi keadilan
organisasional dapat dilihat dari perspektif yang berbeda.
Sebagai contoh misalnya
keadilan organisasional yang bersumber dari supervisor akan
menentukan kualitas
hubungan dengan supervisor, sedangkan keadilan organisasional
yang bersumber dari
organisasi akan menentukan kepercayaan terhadap organisasi
(Lavelle, Rupp, &
Brockner, 2007). Pada masa yang akan datang, konsep multifoci
keadilan
organisasional ini masih perlu dikaji dan dikembangkan lebih
lanjut.
Ketiga, isu iklim keadilan organisasional dan analisis level
kelompok. Li dan
Cropanzano (2009) menyatakan bahwa beberapa tahun ini konsep
keadilan
organisasional berkembang menjadi level kelompok yang dikenal
dengan iklim
keadilan organisasional. Perkembangan ini merupakan suatu hal
yang wajar karena
organisasi dianggap sebagai sistem multilevel, individu saling
berinteraksi satu sama
lain, dan adanya interaksi antara individu dan kelompok atau
organisasi sebagai
konteks yang mempengaruhi individu (Kozlowski & Klein,
2000). Artinya,
organisasi terdiri dari berbagai sub unit dan sub unit tersebut
terdiri dari berbagai
individu. Organisasi memiliki pengaruh pada unit-unit kerjanya,
dan unit kerja dapat
memberikan pengaruh pada individu yang ada di dalamnya.
Iklim keadilan merupakan properti unit yang dapat memberikan
pengaruh
pada sikap dan perilaku individu di dalamnya. Kuenzi dan
Schminke (2009)
menyatakan bahwa perkembangan terkini dan akan terus menjadi
arah pengembangan
-
4
di masa datang adalah semakin spesifiknya iklim organisasional
(facet-specific
climate). Iklim keadilan merupakan salah satu bentuk spesifik
iklim organisasional
yang juga sedang berkembang, sedangkan bentuk spesifik lainnya
antara lain adalah
iklim etikal, iklim inovasi, dan iklim keselamatan. Rupp dan
Paddock (2010)
menyatakan bahwa iklim keadilan organisasional merupakan
pengembangan lanjutan
konsep keadilan organisasional yang pada awalnya hanya fokus
pada level individu
saja. Pengembangan konsep keadilan organisasional dimulai dari
pembahasan
dimensi-dimensi beserta dengan anteseden dan konsekuennya yang
berlanjut dengan
munculnya konsep keadilan multifoci dan meluas sampai dengan
ranah level
kelompok atau unit dengan melibatkan berbagai teori seperti
attraction-selection-
attrition dan teori social information processing (Rupp &
Paddock, 2010).
Keempat, isu lintas level (cross-level). Kajian bidang perilaku
organisasional
dapat fokus ke level organisasi dan kelompok yang disebut dengan
macro
organizational behavior (OB), dan juga fokus ke level individu
yang disebut dengan
micro OB. Struktur organisasi, budaya organisasional, iklim
organisasional, dan
perilaku kelompok adalah beberapa tema kajian macro OB.
Motivasi, komitmen
organisasional, kepuasan kerja, dan persepsi keadilan adalah
beberapa tema kajian
micro OB. Kedua level tersebut saling terkait satu sama lain.
Fenomena makro
melekat pada konteks makro dan fenomena ini sering muncul dari
hasil interaksi level
yang lebih rendah (individu). Kozlowski dan Klein (2000)
menyarankan para peneliti
untuk berpikir multilevel dalam pengkajian fenomena di dalam
organisasi. Artinya,
-
5
penelitian lintas level yang mengkaitkan pengaruh organisasi
atau kelompok pada
perilaku individu perlu pengkajian lebih lanjut.
Berkenaan dengan iklim keadilan organisasional, penelitian yang
dilakukan
lebih menekankan pada pengaruh fenomena unit terhadap perilaku
individu (top-
down influence). Isu penting yang harus menjadi perhatian pada
penelitian tersebut
adalah pengukuran level unit dan alat analisis untuk pengujian
lintas level. Perlu
menjadi catatan bahwa pengukuran keadilan organisasional
kelompok pun tetap
tergantung pada pengukuran level individu. Oleh karena itu,
instrumen yang
digunakan akan mengalami revisi sesuai dengan fenomena kelompok
dan pemilihan
alat analisis yang tepat untuk pengujian validitasnya.
Isu terkait dengan iklim keadilan organisasional, pendekatan
multifoci, dan
analisis lintas level membuka peluang besar untuk pengembangan
konsep keadilan
organisasional dengan melakukan penelitian berkenaan dengan isu
tersebut. Simons
dan Roberson (2003) serta Kozlowski dan Klein (2000) menyatakan
bahwa banyak
fenomena di dalam organisasi dengan dasar teori kognisi, afeksi,
perilaku dan
karakteristik individu muncul dengan level yang lebih tinggi
(kelompok atau unit)
karena adanya interaksi sosial dan pertukaran di antara
individu. Keadilan
organisasional merupakan salah satu fenomena di dalam organisasi
yang menekankan
pada aspek kognitif dan dapat diperlakukan pada level yang lebih
tinggi karena
adanya interaksi sosial di antara individu dalam proses
pembentukan persepsi
keadilan tersebut. Hal ini diperkuat oleh Colquitt (2001) yang
menyatakan bahwa
keadilan organisasional merupakan hasil dari konstruksi sosial,
artinya ada interaksi
-
6
di antara individu, pertukaran dan proses membagi informasi di
dalam satu kelompok
atau unit tertentu. Li dan Cropanzano (2009) menyatakan bahwa
keadilan
organisasional merupakan konstruk yang secara konsepsual
merupakan fenomena
pada level individu. Namun, beberapa tahun belakangan ini mulai
terjadi perubahan
yaitu munculnya penelitian keadilan organisasional yang
menggunakan analisis level
kelompok atau unit.
Perbedaan utama antara persepsi keadilan dan iklim keadilan
adalah pada
level analisisnya. Persepsi keadilan diukur pada level individu,
sedangkan iklim
keadilan diukur pada level unit atau kelompok. Liao dan Rupp
(2005) menyatakan
bahwa iklim keadilan adalah persepsi keadilan pada level
kelompok dan organisasi.
Persepsi keadilan organisasional pada level individu dianggap
tidak mampu
menangkap konteks sosial yang membentuk persepsi keadilan itu.
Persepsi keadilan
merupakan hasil evaluasi individu terhadap kebijakan, prosedur
dan perlakuan yang
berasal dari organisasi dan supervisor. Persepsi keadilan pada
level individu tidak
mempertimbangkan persepsi individu lain di dalam unit atau
kelompok yang sama,
sehingga tidak ada konsensus atau persepsi bersama.
Di sisi lain, iklim keadilan merupakan persepsi bersama anggota
dalam satu
kelompok tentang kebijakan, prosedur dan perlakuan yang
bersumber dari organisasi
dan supervisor. Para anggota di dalam satu kelompok atau unit
dianggap memiliki
informasi dan pengalaman yang sama karena berhadapan dengan
kebijakan,
pemimpin dan faktor kontekstual lain yang sama. Konsensus dan
persepsi bersama di
antara anggota kelompok muncul sebagai konsekuensi dari adanya
kesamaan
-
7
informasi dan pengalaman tersebut. Konsensus dan persepsi
bersama inilah yang
kemudian diukur menjadi iklim keadilan.
Penelitian tentang iklim keadilan organisasional dengan berbagai
dimensinya
baru mulai berkembang, sehingga penelitian dan pengembangan
konsep iklim
keadilan organisasional masih perlu dilakukan lebih lanjut. Ada
beberapa
permasalahan yang dapat dijadikan titik tolak dalam usaha
penelitian dan
pengembangan konsep iklim keadilan organisasional yaitu:
Pertama, pendekatan
multidimensi dan multifoci dalam satu model penelitian belum
banyak dikaji dalam
iklim keadilan organisasional. Penelitian sebelumnya lebih
banyak menggunakan
dimensi keadilan prosedural, dan baru beberapa penelitian saja
yang menggunakan
lebih dari satu dimensi keadilan organisasional (Simon &
Roberson, 2003; Liao &
Rupp, 2005; Mayer, Nishii, Schneider, & Goldstein, 2007; dan
Spell & Arnold,
2007a). Dimensi-dimensi yang digunakan antara lain adalah
keadilan prosedural,
keadilan interaksional, keadilan interpersonal, dan keadilan
informasional.
Penelitian-penelitian tersebut juga hanya meneliti single foci
dan belum
menggunakan pendekatan multifoci. Hanya Liao dan Rupp (2005)
yang
menggunakan pendekatan multidimensi dan multifoci dalam
penelitian iklim keadilan
organisasional secara bersamaan. Sumber persepsi keadilan
organisasional itu bisa
saja berasal dari organisasi, supervisor atau pun rekan kerja.
Sehingga, penelitian
iklim keadilan organisasional yang menggabungkan kedua
pendekatan ini masih
perlu untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian dengan menggunakan
dua pendekatan ini
-
8
menjadi penting karena sumber persepsi keadilan organisasional
yang berbeda dapat
menghasilkan konsekuensi berupa sikap dan perilaku yang berbeda
pula.
Model kesamaan target (target similarity model) yang
dikembangkan oleh
Lavelle et al. (2007) mempertegas pentingnya pendekatan
multifoci keadilan. Model
tersebut menegaskan bahwa persepsi keadilan dengan sumber yang
berbeda juga akan
menghasilkan konsekuensi terhadap target yang berbeda pula.
Individu melakukan
konsepsi lingkungan kerja dari berbagai sudut pandang,
membedakan sumber
keadilan atau ketidakadilan, melakukan pertukaran sosial dengan
berbagai pihak dan
melakukan perilaku terhadap pihak-pihak tertentu. Model kesamaan
target ini masih
memerlukan pembuktian empiris lebih lanjut khususnya yang
berkenaan dengan
luaran (outcomes) iklim keadilan.
Kedua, eksplorasi konsekuen iklim keadilan organisasional dengan
faktor
pemediasian juga masih perlu dilakukan. Hasil penelitian
sebelumnya menyatakan
bahwa iklim keadilan organisasional memiliki pengaruh pada
berbagai sikap dan
perilaku, baik pada level individu maupun kelompok atau unit.
Sikap tersebut antara
lain adalah kepuasan kerja dan komitmen organisasional
(Mossholder, Bennet, &
Martin, 1998; Simons & Roberson, 2003; Liao & Rupp,
2005; Yang, Mossholder, &
Peng, 2007; Walumbwa, Wu, & Orwa, 2008), sedangkan
perilakunya antara lain
adalah perilaku menolong (Naumann & Bennet, 2000), perilaku
kewarganegaraan
(Ehrhart, 2004; Liao & Rupp, 2005; Yang et al., 2007;
Walumbwa et al., 2008),
kesehatan mental (Spell & Arnold, 2007a), kinerja tim dan
tingkat kemangkiran pada
level tim (Colquitt, Noe, & Jackson, 2002). Penelitian
sebelumnya tersebut menguji
-
9
pengaruh iklim keadilan organisasional secara langsung pada
sikap dan perilaku,
tetapi belum ada yang mempertimbangkan adanya faktor pemediasian
khususnya
pada hubungan antara iklim keadilan organisasional dan perilaku
individu. Faktor
pemediasian ini menjadi penting untuk dipertimbangkan karena
iklim keadilan yang
merupakan ranah kognisi tidak serta merta mempengaruhi perilaku
individu. Kognisi
level kelompok tersebut diinterpretasikan terlebih dahulu dalam
bentuk sikap
individu yang kemudian membentuk perilaku individu.
Faktor pemediasian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kepercayaan
pada organisasi (trust to organization) dan kepercayaan pada
supervisor (trust to
supervisor). Pemisahan ini penting untuk dilakukan karena dua
hal, yaitu: pertama,
organisasi tempat individu bekerja bersifat multilevel
(Kozlowski & Klein, 2000).
Pimpinan level atas memiliki pengaruh terhadap pimpinan level
menengah yang
memimpin berbagai departemen yang juga memiliki pengaruh pada
supervisor yang
memimpin unit kerja. Supervisor memiliki pengaruh pada individu
yang menjadi
anggota unit kerjanya.
Oleh karena itu, individu di dalam organisasi berinteraksi
dengan berbagai
pihak diantaranya adalah pimpinan organisasi yang mengeluarkan
kebijakan pada
level organisasi dan supervisor yang mengeluarkan kebijakan pada
level unit kerja.
Pertukaran sosial dalam konteks organisasional dapat
dikonsepsualisasikan menjadi
dua hubungan, yaitu pertukaran secara global antara organisasi
dan individu serta
hubungan dyadic antara supervisor dan individu (Setton, Bennet,
& Liden, 1996).
-
10
Individu dapat melakukan pertukaran sosial dengan pihak yang
berbeda-beda tersebut
dan memiliki implikasi yang berbeda pada perilaku (Cropanzano
dan Mitchel, 2005).
Kedua, DeConink (2010) menyatakan bahwa masih sedikit riset
empiris yang
membedakan kepercayaan pada organisasi dan supervisor, sehingga
terbuka peluang
untuk melakukan penelitian yang menggunakan kedua konstruk
tersebut.
Kepercayaan merupakan salah satu manifestasi dari pertukaran
sosial (Dirks & Ferrin,
2002; Aryee, Budhwar, & Chen, 2002), sama halnya dengan
pertukaran atasan-
bawahan (leader-membar exchange/LMX) dan dukungan organisasional
persepsian
(perceived organizational support/POS).
Rupp dan Cropanzano (2002) menyatakan bahwa pertukaran
sosial
merupakan pemediasi pada hubungan antara keadilan dan berbagai
perilaku individu.
Kepercayaan pada organisasi dan kepercayaan pada supervisor
merupakan konstruk
sikap yang dapat memediasi hubungan antara iklim keadilan dan
perilaku individu.
Pemisahan kepercayaan menjadi kepercayaan pada supervisor dan
organisasi menjadi
penting karena berkenaan dengan anteseden dan konsekuen yang
berbeda, sehingga
dapat diketahui sumber-sumber untuk meningkatkan kepercayaan
pada supervisor
maupun kepercayaan pada organisasi (Dirks & Ferrin, 2002;
Tan & Tan, 2000)
Iklim keadilan, kepercayaan pada organisasi dan supervisor
memiliki peran
penting terbentuknya perilaku individu, baik perilaku positif
maupun perilaku negatif.
Salah satu bentuk perilaku positif yang belum banyak dikaitkan
dengan iklim
keadilan organisasional adalah perilaku kerja proaktif
(proactive work behavior) yang
berkenaan dengan perilaku kerja resmi (in-role behavior) dan
memiliki perbedaan
-
11
dengan perilaku peran ekstra (extra-role behavior). Bentuk
perilaku kerja proaktif
antara lain adalah taking charge, voice, individual innovation,
dan problem
prevention (Parker & Collins, 2010). Perilaku peran ekstra
antara lain adalah perilaku
kewarganegaraan, helping behavior dan perilaku prososial yang
lebih menekankan
pada perilaku sosial atau menolong di antara rekan kerja dan
tidak ada usaha-usaha
untuk melakukan perubahan di dalam pekerjaan. Di sisi lain,
perilaku kerja proaktif
lebih menekankan pada aktivitas pekerjaan dan individu memiliki
inisiatif untuk
melakukan perubahan yang memberikan manfaat kepada organisasi
(Crant, 2000).
Perilaku proaktif merupakan inisiatif yang diambil oleh individu
untuk
melakukan perubahan terhadap lingkungannya, cenderung untuk
menantang status
quo dan tidak hanya beradaptasi secara pasif dengan kondisi yang
sudah ada (Crant,
2000; Parker, Williams, & Turner, 2006; Parker &
Collins, 2010). Perilaku kerja
proaktif lebih spesifik terkait dengan implementasi pekerjaan
yang menggambarkan
usaha konstruktif seseorang untuk melakukan perubahan yang
berkaitan dengan
pekerjaan, unit kerja dan organisasinya (Morrison & Phelps,
1999).
Berdasarkan model anteseden perilaku proaktif yang dikembangkan
oleh
Crant (2000) dan Parker et al. (2006), perilaku proaktif dapat
terbentuk dari dua hal
utama yaitu faktor personal dan kontekstual. Faktor personal
antara lain adalah
kepribadian proaktif dan inisiatif personal, sedangkan faktor
kontekstual antara lain
adalah budaya organisasional, dukungan supervisor dan manajemen,
serta norma
organisasional (Crant, 2000; Parker et al., 2006). Iklim
keadilan adalah konstruk yang
menggambarkan konteks di dalam unit kerja yang juga bisa menjadi
anteseden
-
12
perilaku proaktif. Artinya, perilaku proaktif dapat terbentuk
karena adanya pengaruh
lingkungan dan interaksi di antara individu di dalam kelompok,
unit atau organisasi.
Namun, penelitian terdahulu belum menguji hubungan iklim
keadilan terhadap
perilaku proaktif. Penelitian sebelumnya banyak mengkaitkan
keadilan dengan
perilaku kewarganegaraan organisasional (Erhart, 2004; Liao
& Rupp, 2005; Yang et
al., 2007; Walumbwa et al., 2008; Walumbwa, Hartnell, & Oke,
2010) dan perilaku
menolong (Naumann & Bennet, 2000). Oleh karena itu,
diperlukan pengujian
pengaruh iklim keadilan terhadap perilaku proaktif.
Dalam konteks dunia kerja, khususnya di era perubahan
organisasional yang
dinamis, perilaku proaktif menjadi lebih relevan dibandingkan
dengan perilaku
kewarganegaraan organisasional. Perilaku proaktif adalah elemen
penting kesuksesan
organisasional (Crant, 2000). Perilaku kewarganegaraan
organisasional memang
memberikan manfaat bagi organisasi dengan berbagai tindakan
positif individu yang
luas dan beragam, namun hanya terbatas pada peran yang bersifat
informal dan sosial.
Di sisi lain, perilaku proaktif lebih bersifat spesifik dan
kongkret karena berkenaan
dengan tugas dan peran formal (in role) individu dalam melakukan
pekerjaan
(Morrison dan Phelps, 1999). Hal ini senada dengan konsep
keadilan prosedural dan
interaksional yang juga berkaitan dengan pekerjaan. Artinya,
apabila prosedur dan
cara interaksi kerja dilakukan dengan adil, maka perilaku yang
muncul juga akan
berkaitan dengan perilaku positif yang berkenaan dengan
pekerjaan.
Perilaku proaktif menunjukkan bahwa individu dapat memenuhi
semua
persyaratan dasar pekerjaan dan dapat melakukan improvisasi
untuk meningkatkan
-
13
keefektifan dan efisiensi pelaksanaan tugas. Perilaku proaktif
juga berkaitan dengan
perilaku yang dilakukan individu di dalam organisasi, terjadi di
berbagai bagian
organisasi, terbatasi oleh konteks manajerial dan memainkan
peran penting karena
berkenaan dengan proses dan luaran individu dan organisasional
(Crant, 2000). Hal
ini menunjukkan bahwa dalam konteks organisasi, hasil perilaku
proaktif dapat
langsung dirasakan manfaatnya bagi organisasi khususnya
berkenaan dengan
keefektifan dan efisiensi pelaksanaan tugas (Parker &
Collins, 2010).
Selain perilaku proaktif, luaran iklim keadilan juga berkaitan
dengan perilaku
negatif atau perilaku menyimpang seperti pencurian, sabotase,
balas dendam,
mangkir dari pekerjaan, ketidaksopanan dan tindakan agresi
terhadap orang lain.
Hasil penelitian pada level individu menunjukkan bahwa persepsi
keadilan
berhubungan negatif dengan berbagai bentuk perilaku menyimpang
atau
ketidakadilan memicu individu untuk berperilaku menyimpang
(Skarlicki & Folger,
1997; Skarlicki, Folger, & Tesluk, 1999; Aquino, Lewis,
& Bradfield, 1999; Fox,
Spector, & Miles 2001; Ambrose, Seabright, & Schminke,
2002; Bery, Ones, &
Sacket, 2007).
Bennet dan Robinson (1995) mengklasifikasikan berbagai bentuk
perilaku
menyimpang menjadi dua dimensi utama yaitu perilaku menyimpang
yang ditujukan
pada organisasi (organizational deviance) dan perilaku
menyimpang yang ditujukan
pada individu lain (interpersonal deviance). Berbagai dimensi
keadilan
organisasional berkaitan erat dengan dua dimensi perilaku
menyimpang ini. Namun
demikian, hasil empiris yang mengkaitkan persepsi keadilan pada
level kelompok
-
14
dengan perilaku menyimpang masih sangat terbatas, hanya Colquitt
et al. (2002),
Dietz, Robinson, Folger, Baron, dan Schulz (2003), Spell dan
Arnold (2007a) dan
Aquino, Tripp, dan Bies (2006) yang baru melakukannya.
Penelitian-penelitian iklim keadilan organisasional sebelumnya
tersebut juga
belum mempertimbangkan pendekatan multifoci dan model kesamaan
target yang
dikembangkan oleh Lavelle et al. (2007). Model tersebut
menjelaskan bahwa pihak
yang bertanggung jawab terhadap keadilan atau ketidakadilan akan
menjadi sasaran
perilaku individu, baik perilaku yang bersifat negatif ataupun
positif. Selain itu,
penelitian sebelumnya tersebut menguji secara langsung pengaruh
iklim keadilan
pada perilaku negatif dan belum mempertimbangkan adanya sikap
individu sebagai
faktor pemediasian. Faktor pemediasian menjadi penting karena
iklim keadilan yang
merupakan kognisi level kelompok perlu diinterprestasikan dalam
bentuk sikap
individu yang kemudian baru menentukan perilaku.
Perilaku proaktif dan pencegahan perilaku menyimpang karyawan
memiliki
peran penting untuk usaha-usaha perbaikan di dalam organisasi
seperti peningkatan
produktifitas dan daya saing. Hal ini sangat relevan dengan
konteks organisasi di
Indonesia yang masih terus-menerus membangun kapabilitas dan
produktifitas untuk
bersaing, baik di level Asia Tenggara maupun di level dunia.
Usaha-usaha tersebut
juga penting bagi organisasi publik seperti rumah sakit umum
daerah dan organisasi
pemerintahan yang sedang gencar melakukan reformasi birokrasi
dan perbaikan tata
kelola organisasi. Peningkatan kapabilitas dan produktifitas
tersebut membutuhkan
tenaga kerja yang tidak hanya melakukan pekerjaan secara rutin
dan monoton, tetapi
-
15
tenaga kerja yang proaktif dalam bekerja. Karyawan yang proaktif
memiliki inisiatif
untuk melakukan perubahan-perubahan di dalam organisasi agar
pekerjaan dapat
dilakukan lebih efektif dan efisien. Perubahan tersebut dapat
berbentuk perbaikan
metode kerja, sistem organisasi, budaya organisasi, gaya
kepemimpinan, cara
interaksi dengan bawahan, dan perbaikan-perbaikan cara kerja
yang salah.
Pencegahan perilaku menyimpang karyawan juga dapat memiliki
peran
penting. Usaha-usaha peningkatan kapabilitas dan produktifitas
organisasi akan
semakin efektif dan efisien apabila tidak ada permasalahan
perilaku karyawannya.
Pencegahan perilaku menyimpang seperti tidak disiplin, terlambat
masuk kerja,
korupsi, sabotase, dan konflik interpersonal dengan atasan akan
mempermudah
pencapaian tujuan organisasi, peningkatan kapabilitas dan
produktifitas organisasi.
Keberhasilan reformasi birokrasi organisasi publik dan
pemerintahan pun dapat
diawali dengan pencegahan perilaku menyimpang karyawannya.
Perilaku proaktif dan pencegahan perilaku menyimpang di dalam
organisasi
dapat ditentukan oleh iklim organisasional, khususnya iklim
keadilan organisasional
yang terdiri dari dimensi prosedural dan interaksional. Iklim
keadilan prosedural dan
interaksional sangat relevan diteliti karena sesuai dengan
konteks negara Indonesia.
Konteks negara Indonesia dengan budaya yang cenderung kolektif
dan birokratis
misalnya, dapat dijadikan dasar bahwa keadilan prosedural dan
interaksional lebih
ditekankan dalam kehidupan organisasional. Hasil studi Hofstede,
Hofstede dan
Minkov (2010) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan bangsa
dengan budaya
kolektifisme yang tinggi dan jarak kekuasaan yang jauh. Negara
dengan budaya
-
16
kolektifisme lebih menekankan pada iklim keadilan interaksional
karena budaya
kolektifisme lebih menekankan pada harmonisasi dan konsensus
kelompok,
pembentukan opini ditentukan oleh kelompok, hubungan
interpersonal yang baik,
penghindaran konflik, mendahulukan kepentingan orang banyak, dan
hubungan kerja
yang bersifat kekeluargaan.
Negara dengan jarak kekuasaan yang jauh cenderung lebih
menekankan pada
iklim keadilan prosedural karena memiliki karakteristik
birokratis, hirarkis,
sentralisasi, atasan menekankan pada aturan formal, dan bawahan
cenderung untuk
menunggu instruksi dari atasan. Semakin tinggi tingkat
kolektifisme, maka individu
akan cenderung senang bekerja di dalam suatu unit atau kelompok
(Bae & Lawler,
2000). Individu cenderung untuk mengidentikan diri dengan
kelompoknya.
Kelompok dijadikan referensi untuk menentukan persepsi, sikap
dan perilaku
individu. Iklim keadilan prosedural dan interaksional
menunjukkan bahwa anggota
unit kerja atau kelompok memiliki konsensus dan persepsi yang
cenderung homogen
tentang prosedur dan cara interaksi organisasi maupun
supervisor. Konsensus
berkenaan dengan harmonisasi yang merupakan karakteristik budaya
kolektifisme.
Sehingga, penelitian tentang iklim keadilan menjadi relevan
dilakukan di Indonesia.
Pentingnya perilaku proaktif dan pencegahan perilaku menyimpang
bagi
usaha peningkatan kapabilitas dan produktifitas organisasi yang
ditentukan oleh iklim
keadilan organisasional, maka penelitian ini berusaha untuk
menguji konsekuen iklim
keadilan organisasional dengan mempertimbangkan sikap individu
sebagai faktor
pemediasian dan perilaku sebagai luaran akhirnya. Dasar teori
yang digunakan untuk
-
17
menjelaskan mekanisme pengaruh tidak langsung dan langsung iklim
keadilan
organisasional terhadap konsekuennya adalah teori pertukaran
sosial, sebagaimana
yang digunakan pada keadilan organisasional dengan analisis
level individu.
Penelitian ini mengintegrasikan pendekatan multifoci, model
kesamaan target dan
multidimensi iklim keadilan organisasional dengan teori
pertukaran sosial sebagai
grand theory yang mengkaitkan berbagai pendekatan dan hubungan
antara kognisi
level kelompok tentang keadilan, sikap individu dan perilaku
individu.
B. Perumusan Masalah
Kajian berbagai hasil empiris yang dilakukan oleh Cohen-Charash
dan
Spector (2001) dan Colquitt et al. (2001) menunjukkan bahwa
keadilan
organisasional pada level individu memiliki pengaruh pada
berbagai sikap dan
perilaku individu. Sikap individu tersebut antara lain adalah
komitmen organisasional,
kepuasan kerja, dukungan organisasional, kepercayaan pada
organisasi, dan
pertukaran atasan-bawahan. Perilaku individu yang menjadi
konsekuen keadilan
organisasional antara lain adalah perilaku kewarganegaraan
organisasional, tingkat
kemangkiran, kinerja, dan perilaku menolong. Selain itu,
keadilan organisasional
pada level individu juga memiliki pengaruh pada stres kerja,
kesehatan mental, dan
perilaku menyimpang.
Penelitian keadilan organisasional pada level individu juga
telah
mempertimbangkan faktor pemediasian dalam pengujian
konsekuennya. Pengaruh
keadilan organisasional tidak secara langsung menentukan
perilaku individu, tetapi
-
18
melalui pembentukan sikap tertentu. Hasil empiris mendukung hal
tersebut, bahwa
persepsi individu terhadap keadilan organisasional akan
membentuk sikap positif
individu terkait dengan dukungan organisasional, pertukaran
atasan-bawahan, dan
kepercayaan. Berbagai sikap ini kemudian akan membentuk perilaku
individu seperti
perilaku kewarganegaraan dan perilaku menolong (Aryee &
Chay, 2001; Aryee et al.,
2002; Rupp & Cropanzano, 2002; Tekleab, Takeuchi, &
Taylor, 2005; Karriker &
Williams, 2009). Selain itu, pendekatan multifoci dan
multidimensi telah digunakan
dalam berbagai pengujian model konsekuen keadilan organisasional
pada level
individu. Kedua pendekatan tersebut digunakan secara
bersama-sama seperti pada
penelitian Malatesta dan Byrne (1997), Byrne (1999), Rupp dan
Cropanzano (2002),
serta Karriker dan Williams (2009).
Penelitian keadilan organisasional tidak hanya berkembang pada
level
individu tetapi juga mulai berkembang pada level unit atau
kelompok. Keadilan
organisasional diukur pada level unit yang dikenal dengan iklim
keadilan
organisasional. Iklim keadilan merupakan shared unit properties
yang terbentuk dari
fungsi sosialiasi, kepemimpinan, pengalaman bersama dan
interaksi antar individu
(Kozlowski & Klein, 2000). Penelitian keadilan
organisasional pada level unit
dimulai oleh Mossholder et al. (1998) dan secara definitif
dilakukan oleh Naumann
dan Bennet (2000) yang menggunakan dimensi iklim keadilan
prosedural.
Penelitian iklim keadilan terus berkembang terutama berkenaan
dengan
pengujian pengaruh lintas level pada berbagai sikap dan perilaku
individu. Sikap dan
perilaku tersebut antara lain adalah kepuasan kerja, komitmen
organisasional,
-
19
perilaku menolong, perilaku kewarganegaraan, kesehatan mental,
dan kinerja tim
(Mossholder et al., 1998; Naumann & Bennet, 2000; Colquitt
et al., 2002; Simons &
Roberson, 2003; Ehrhart, 2004; Liao & Rupp, 2005; Yang et
al., 2007; Spell &
Arnold, 2007a; Walumbwa et al., 2008). Namun demikian,
penelitian-penelitian
tersebut baru menguji pengaruh iklim keadilan organisasional
secara langsung pada
sikap dan perilaku, dan belum mempertimbangkan adanya faktor
pemediasian.
Faktor pemediasian penting dipertimbangkan dalam pengujian
konsekuen
iklim keadilan karena keberadaannya dapat menjembatani pengaruh
fenomena unit
kerja pada perilaku individu. Sehingga, perlu pengkajian lebih
dalam untuk
menjelaskan mekanisme terbentuknya perilaku dari konteks unit
kerja tersebut.
Konteks unit kerja dapat membentuk sikap individu yang kemudian
memicu perilaku
individu. Faktor pemediasian sudah digunakan dalam pengujian
konsekuen keadilan
organisasional pada level individu, namun belum pada pengujian
lintas level.
Selain itu, penelitian iklim keadilan organisasional yang sudah
dilakukan
didominasi oleh dimensi keadilan prosedural dan baru sedikit
penelitian yang
menggunakan multidimensi seperti Simon dan Roberson (2003), Liao
dan Rupp
(2005), Mayer et al. (2007) dan Spell dan Arnold (2007a).
Penelitian-penelitian
tersebut pun belum menggunakan pendekatan multifoci. Di sisi
lain, hanya Liao dan
Rupp (2005) yang sudah menggunakan pendekatan multifoci dan
multidimensi secara
bersamaan dalam penelitian iklim keadilan organisasional, tetapi
penelitian tersebut
tidak menggunakan faktor pemediasian.
-
20
Pendekatan multifoci menjadi penting karena pada konteks
organisasional
individu memiliki hubungan pertukaran sosial yang berbeda-beda,
baik dengan
organisasi secara keseluruhan maupun individu tertentu di dalam
organisasi seperti
supervisor. Sehingga, individu dapat melakukan evaluasi hubungan
sosial dengan
berbagai pihak tersebut (Cropanzano & Mitchel, 2005). Oleh
karena itu, individu bisa
menilai terciptanya keadilan di dalam unit kerja yang bisa
bersumber dari organisasi
ataupun supervisor. Masing-masing sumber persepsi ini memiliki
konsekuen sikap
dan perilaku yang berbeda-beda (Liao & Rupp, 2005).
Keterkaitan antara sumber persepsi keadilan dan konsekuennya
dapat
dijelaskan dengan model kesamaan target (Lavelle et al., 2007).
Model kesamaan
target menyatakan bahwa sasaran sikap dan perilaku individu
tergantung dari
penanggung jawab terciptanya kondisi keadilan atau ketidakadilan
(Lavelle et al.,
2007). Sikap dan perilaku individu ditujukan kepada organisasi
apabila kondisi
keadilan atau ketidakadilan diciptakan oleh organisasi. Sikap
dan perilaku individu
ditujukan kepada supervisor apabila kondisi keadilan atau
ketidakadilan diciptakan
oleh supervisor.
Oleh karena itu, diperlukan pengembangan dan pengujian model
iklim
keadilan organisasional yang tidak hanya mempertimbangkan
pendekatan
multidimensi, tetapi juga mempertimbangkan pendekatan multifoci
dan kesamaan
target (target similarity), serta faktor pemediasian. Liao dan
Rupp (2005) menyatakan
bahwa pendekatan multifoci membuka peluang untuk mengembangkan
konsep
keadilan organisasional dan masih membutuhkan penelitian yang
mendalam di masa
-
21
datang. Proses pengembangan model tersebut sebaiknya juga
mempertimbangkan
faktor yang menjadi konsekuen masing-masing dimensi dan foci
iklim keadilan
organisasional.
Penelitian ini menggunakan perilaku individu sebagai luarannya.
Salah satu
bentuk perilaku individu yang belum banyak dikaitkan dengan
keadilan
organisasional maupun iklim keadilan organisasional adalah
perilaku proaktif yang
merupakan salah satu bentuk perilaku positif. Perilaku proaktif
berkaitan dengan
usaha atau inisiatif individu untuk mengubah lingkungannya,
khususnya yang
berkaitan dengan pekerjaan di dalam unit atau organisasinya
(Parker et al., 2006).
Iklim keadilan organisasional juga belum banyak
mempertimbangkan
perilaku menyimpang sebagai konsekuennya, padahal pada level
individu keterkaitan
antara keadilan atau ketidakadilan dan perilaku meyimpang sudah
banyak dikaji.
Hanya penelitian Colquitt et al. (2002), Dietz et al. (2003),
Spell dan Arnold (2007a)
dan Aquino et al. (2006) yang mengkaitkan iklim keadilan
organisasional dengan
perilaku menyimpang. Bentuk-bentuk perilaku menyimpang lainnya
yang belum
dikaji antara lain adalah pencurian (Greenberg, 1990a, 1993),
balas dendam
(Skarlicki & Folger, 1997), perilaku menyimpang
interpersonal dan organisasional
(Robinson & Bennet, 1995), perilaku agresif (OReally-Kelly,
Griffin, & Glew 1996;
Neuman & Baron, 1998), organizational misbehavior (Vardi
& Wiener, 1996),
perilaku antisosial (Robinson & OReally-Kelly, 1998),
ketidaksopanan (Andersson
& Pierson, 1999), perilaku kontraproduktif (Fox et al.,
2001), dan sabotase di tempat
kerja (Ambrose et al., 2002).
-
22
Penelitian ini menggunakan dua dimensi keadilan yaitu prosedural
dan
interaksional. Penelitian ini tidak menggunakan dimensi keadilan
distributif karena
dimensi tersebut berkenaan dengan imbalan (reward) yang diterima
individu.
Keadilan prosedural dan interaksional lebih menekankan pada
hubungan sosial
sedangkan keadilan distributif menekankan pada hubungan ekonomis
(Roch &
Shanock, 2006). Keadilan distributif berkaitan dengan transaksi
ekonomis dan ada
tawar-menawar yang jelas antara individu dan organisasi.
Individu menerima imbalan
tergantung pada inputnya seperti kinerja, pengalaman, pendidikan
dan keahliannya.
Evaluasi individu cenderung mengarah pada apakah organisasi
telah memberikan
imbalan ekonomis yang sesuai dengan inputnya tersebut? Sehingga,
konsekuen sikap
dan perilaku individu lebih bernuansa ekonomis (Roch &
Shanock, 2006).
Keadilan distributif didasarkan pada teori ekuitas (equity
theory) yang secara
sederhana menunjukkan komparasi rasio output-input individu
dengan rasio output-
input orang lain yang menjadi pembandingnya. Proses komparasi
tersebut lebih
menekankan pada aspek ekonomis. Motivasi individu akan muncul
bila tidak ada
kesamaan rasio antara individu tersebut dan rasio orang lain.
Sehingga, setiap
individu memiliki motivasi yang berbeda-beda tergantung dari
hasil proses
komparasinya (Bolino & Turnley, 2008).
Selain itu, individu bisa tidak mempermasalahkan besarnya
imbalan yang
diterima (distributif), tetapi pada kebijakan (prosedur) dan
cara organisasi
memperlakukan mereka (interaksional) (Aquino et al., 1999).
Keputusan tentang
besarnya imbalan yang diterima individu dikeluarkan oleh
manajemen organisasi.
-
23
Supervisor tidak memiliki wewenang untuk menentukan besarnya
imbalan yang
diterima bawahannya. Kebijakan dan wewenang supervisor lebih
banyak berkenaan
dengan pekerjaan. Sehingga, pendekatan multifoci sulit
diaplikasikan untuk iklim
keadilan distributif. Penelitian Spell dan Arnold (2007a)
menggunakan tiga dimensi
iklim keadilan, yaitu distributif, prosedural dan interaksional.
Namun, penelitian
tersebut tidak menggunakan pendekatan multifoci. Selain itu,
pengukuran yang
digunakan masih mengarah pada referensi individu dan tidak
menggunakan referensi
unit kerja.
Uraian perumusan masalah di atas mengarah pada pokok
permasalahan dalam
penelitian iklim keadilan organisasional yaitu masih kurangnya
penggunaan
pendekatan multidimensi dan multifoci serta belum adanya faktor
pemediasian pada
pengaruh iklim keadilan pada perilaku individu. Model kesamaan
target yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari pendekatan multifoci, juga
belum
dipertimbangkan dalam penelitian iklim keadilan organisasional.
Oleh karena itu,
penelitian ini menekankan pada integrasi berbagai pendekatan
tersebut dengan
mengkaitkan iklim keadilan prosedural dan interaksional foci
organisasi dan
supervisor, kepercayaan pada supervisor dan organisasi sebagai
faktor pemediasian,
serta perilaku proaktif dan perilaku menyimpang sebagai
luarannya. Uraian
perumusan masalah tersebut di atas mengarah pada beberapa
pertanyaan penelitian
sebagai berikut
1) apakah iklim keadilan prosedural dan interaksional memiliki
pengaruh signifikan
pada perilaku proaktif dan perilaku menyimpang;
-
24
2) apakah iklim keadilan prosedural dan interaksional foci
organisasi memiliki
pengaruh signifikan pada kepercayaan pada organisasi;
3) apakah iklim keadilan prosedural dan interaksional foci
supervisor memiliki
pengaruh signifikan pada kepercayaan pada supervisor;
4) apakah kepercayaan pada organisasi dan supervisor memiliki
pengaruh signifikan
pada perilaku proaktif dan perilaku menyimpang;
5) apakah kepercayaan pada organisasi dan supervisor memiliki
pengaruh
pemediasian pada hubungan antara iklim keadilan organisasional
dan perilaku
proaktif serta perilaku menyimpang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan
penelitian ini
adalah sebagai berikut
1) untuk menguji pengaruh iklim keadilan prosedural dan
interaksional pada
perilaku proaktif dan perilaku menyimpang;
2) untuk menguji pengaruh iklim keadilan prosedural dan
interaksional foci
organisasi pada kepercayaan pada organisasi;
3) untuk menguji pengaruh iklim keadilan prosedural dan
interaksional foci
supervisor pada kepercayaan pada supervisor;
4) untuk menguji pengaruh kepercayaan pada organisasi dan
supervisor pada
perilaku proaktif dan perilaku menyimpang;
-
25
5) untuk menguji pengaruh pemediasian kepercayaan terhadap
organisasi dan
supervisor pada hubungan antara iklim keadilan organisasional
dan perilaku
proaktif serta perilaku menyimpang.
D. Orisinalitas Penelitian
Beberapa catatan penelitian iklim keadilan sebelumnya antara
lain adalah:
pertama, kebanyakan penelitian sebelumnya masih didominasi oleh
dimensi keadilan
prosedural. Kedua, konsep multifoci iklim keadilan belum
dikembangkan secara luas
dan belum mempertimbangkan pendekatan kesamaan target (target
similarity model).
Ketiga, belum mempertimbangkan faktor pemediasian pada hubungan
antara iklim
keadilan dan perilaku individu. Keempat, belum ada yang
mempertimbangkan
integrasi pendekatan multifoci dan multidimensi menjadi satu
model integratif. Tabel
1.1 menunjukkan ringkasan berbagai penelitian iklim keadilan
sebelumnya.
Penelitian ini dilakukan untuk mengisi beberapa hal yang belum
dilakukan
pada penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, orisinalitas
penelitian ini terletak pada
integrasi pendekatan yang menghasilkan model integral yang belum
pernah diuji pada
penelitian iklim keadilan sebelumnya. Pendekatan tersebut antara
lain adalah
pendekatan multidimensi dan multifoci iklim keadilan, dan
pendekatan kesamaan
target dengan teori pertukaran sosial sebagai bingkainya.
-
26
TABEL 1.1
Ringkasan Hasil Penelitian Konsekuen Iklim Keadilan
Sebelumnya
Penulis Dimensi
Keadilan
Konsekuen Mediasi/
Moderasi
Foci/Multifoci Level Analisis
1).
Mossholder,
Bennet, dan
Martin (1998)
Keadilan
Prosedural
Komitmen
Organisasional
Kepuasan Kerja
Single foci:
Organisasional
Lintas Level
Unit => Individu
2).
Naumann dan
Bennet (2000)
Keadilan
Prosedural
Komitmen
Organisasional
Perilaku
Menolong
Single foci:
Organisasional
Lintas Level
Unit => Individu
3).
Colquitt, Noe,
dan Jackson
(2002)
Keadilan
Prosedural
Kinerja Tim
Kemangkiran
Tim
Single foci:
Organisasional
Level
Unit/Kelompok
4).
Dietz, Robinson,
Folger, Baron,
Schulz (2003)
Keadilan
Prosedural
Agresi di Tempat
Kerja
Mutifoci:
Organisasional
dan Supervisor
(satu konstruk
keadilan
prosedural)
Lintas Level
Org => Individu
5).
Simons dan
Roberson (2003)
Keadilan
Prosedural
Keadilan
Interpersonal
Intensi Turnover
Kepuasan
Konsumen
Mediasi:
Komitmen
Organisasional
Kepuasan
Konsumen
Single foci:
Supervisional
Lintas Level
Unit => Individu
6).
Ehrhart (2004)
Keadilan
Prosedural
OCB unit
Single foci:
Organisasional
Level Unit
-
27
Lanjutan
Penulis Dimensi
Keadilan
Konsekuen Mediasi/
Moderasi
Foci/Multifoci Level Analisis
7).
Liao dan Rupp
(2005)
Keadilan
Prosedural
Keadilan
Informasional
Keadilan
Interpersonal
Komitmen
Organisasional
Kepuasan Kerja
OCB
Moderasi:
Orientasi
Keadilan
Multifoci:
Organisasional
(prosedural,
informasional,
interpersonal)
Supervisional
(prosedural,
informasional,
interpersonal)
Lintas Level
Unit => Individu
8).
Aquino, Tripp,
dan Bies (2006)
Keadilan
Prosedural
Revenge,
Forgiveness
Reconciliation
Single foci:
Organisasional
Lintas Level
Unit => Individu
9).
Yang,
Mossholder, dan
Peng (2007)
Keadilan
Prosedural
Komitmen
Organisasional
OCB
Moderasi:
Group Power
Distance
Single foci:
Organisasional
Lintas Level
Unit => Individu
10).
Spell dan Arnold
(2007a)
Keadilan
Distributif
Keadilan
Prosedural
Keadilan
Interaksional
Depresi
Kecemasan
Moderasi:
Sruktur
Organisasi
Single foci:
Organisasional
(prosedural dan
distributif)
Supervisional
(interaksional)
Lintas Level
Unit => Individu
11).
Walumbwa, Wu,
dan Orwa (2008)
Keadilan
Prosedural
Komitmen
Organisasional
OCB
Kepuasan
terhadap
Supervisor
Single foci:
Organisasional
Lintas Level
Unit => Individu
12).
Walumbwa,
Hartnel dan Oke
(2010)
Keadilan
Prosedural
OCB
Single foci:
Organisasional
Lintas Level
Unit => Individu
-
28
Dimensi yang digunakan dalam penelitian ini tidak hanya aspek
prosedural
saja tetapi juga aspek interaksional. Kedua dimensi ini
mempertimbangkan
pendekatan multifoci sehingga membentuk empat dimensi yaitu
iklim keadilan
prosedural foci organisasi, iklim keadilan interaksional foci
organisasi, iklim keadilan
prosedural foci supervisor dan iklim interaksional foci
supervisor. Penelitian serupa
juga pernah dilakukan oleh Dietz et al. (2003), Simons dan
Roberson (2003), Liao
dan Rupp (2005), serta Spell dan Arnold (2007a).
Namun demikian, penelitian ini memiliki perbedaan dengan
penelitian-
penelitian tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Dietz et al.
(2003) menggunakan
pendekatan multifoci, yaitu organisasi dan supervisor. Namun,
penelitian tersebut
hanya menggunakan satu dimensi keadilan yaitu iklim keadilan
prosedural saja.
Penelitian Ini
(2013-2014)
Keadilan
Prosedural
Keadilan
Interaksional
Memasukan
perilaku positif
dan negatif
sekaligus.
Perilaku Positif:
Perilaku Proaktif
Perilaku
Negatif:
Perilaku Menyimpang
Organisasional
Perilaku Menyimpang
Interpersonal
Dengan
Menggunakan
Dasar Teori
Pertukaran
Sosial,
penelitian ini
menggunakan
dua bentuk
kepercayaan:
Kepercayaan Pada
Organisasi
Kepercayaan Pada
Supervisor
Multifoci:
Organisasional:
Iklim Keadilan Prosedural foci
Organisasional
Iklim Keadilan Interaksional
foci
Organisasional
Supervisor:
Iklim Keadilan Prosedural foci
Supervisor
Iklim Keadilan Interaksional
foci Supervisor
Lintas Level
Unit => Sikap
Individu =>
Perilaku
Individu
-
29
Konstruk yang digunakan hanya iklim keadilan prosedural foci
organisasi dan iklim
keadilan prosedural foci supervisor.
Penelitian yang dilakukan oleh Spell dan Arnold (2007a)
menggunakan
pendekatan multidimensi yaitu iklim keadilan distributif, iklim
keadilan prosedural,
dan iklim keadilan interaksional. Namun, penelitian tersebut
hanya menggunakan
single foci yaitu foci organisasional untuk keadilan distributif
dan keadilan prosedural,
serta foci supervisor untuk keadilan interaksional. Kedua
penelitian tersebut pun
hanya menguji secara langsung pengaruh iklim keadilan pada
perilaku individu dan
tidak memasukan faktor pemediasian.
Penelitian Simons dan Roberson (2003) menggunakan faktor
pemediasian
komitmen organisasional dan kepuasan konsumen dalam
penelitiannya. Penelitian
tersebut juga menggunakan pendekatan multidimensi yaitu iklim
keadilan prosedural
dan iklim keadilan interpersonal. Namun, penelitian Simons dan
Roberson (2003)
hanya menggunakan single foci yaitu supervisor. Penelitian Liao
dan Rupp (2005)
sudah menggunakan pendekatan multidimensi dan multifoci secara
bersamaan.
Dimensi yang digunakan adalah iklim keadilan prosedural, iklim
keadilan
informasional dan iklim keadilan interpersonal dengan organisasi
dan supervisor
sebagai sumber persepsinya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut terletak
pada faktor
pemediasian, Liao dan Rupp (2005) tidak menggunakan faktor
pemediasian tetapi
menggunakan faktor pemoderasian. Selain itu, Penelitian tersebut
menggunakan
komitmen organisasional, kepuasan kerja dan perilaku
kewarganegaraan sebagai
-
30
luarannya. Seharusnya komitmen organisasional dan kepuasan kerja
dapat dijadikan
faktor pemediasian antara iklim keadilan dan perilaku
kewarganegaraan, karena
kedua konstruk tersebut merupakan sikap individu yang merupakan
anteseden
perilaku individu.
Penelitian ini menggunakan kepercayaan kepada organisasi dan
kepercayaan
pada supervisor sebagai faktor pemediasiannya. Jadi, penelitian
ini lebih integratif
karena menggunakan pendekatan multidimensi, pendekatan multifoci
dan model
kesamaan target, serta menggunakan faktor pemediasian dalam
menguji pengaruh
iklim keadilan pada perilaku individu.
Orisinalitas penelitian ini juga terletak pada adanya variabel
kepercayaan
sebagai faktor pemediasian antara iklim keadilan dan perilaku
positif dan negatif.
Penelitian sebelumnya belum ada yang memasukan kepercayaan
sebagai konsekuen
iklim keadilan dan pemediasi iklim keadilan dengan perilaku
individu. Adanya
kepercayaan sebagai faktor pemediasian diharapkan dapat
memberikan sumbangan
empiris bahwa pengaruh iklim keadilan tidak secara langsung
mempengaruhi perilaku
individu. Iklim keadilan akan membentuk rasa percaya individu
yang kemudian baru
memicu perilaku positif individu. Sehingga, model konsekuen
iklim keadilan akan
terbangun lebih komprehensif.
Selain itu, model dalam penelitian ini juga memasukan perilaku
positif dan
negatif sekaligus sebagai konsekuen iklim keadilan. Penelitian
sebelumnya hanya
menguji perilaku positif atau perilaku negatif saja. Perilaku
positif yang dijadikan
luaran adalah perilaku proaktif, sedangkan perilaku negatifnya
adalah perilaku
-
31
menyimpang organisasional dan interpersonal yang belum pernah
digunakan pada
penelitian iklim keadilan sebelumnya. Tabel 1.2 menunjukkan
daftar berbagai faktor
yang menjadi anteseden dan konsekuen iklim keadilan
organisasional, serta
menunjukkan bahwa iklim keadilan prosedural mendominasi
penelitian sebelumnya.
Tabel 1.2
Anteseden dan Konsekuen Iklim Keadilan
Anteseden Dimensi Iklim Keadilan Konsekuen
Mediasi/Moderasi
Ukuran Tim (Colquitt et al., 2002)
Keragaman Tim (Colquitt et al., 2002)
Kekolektifan Tim (Colquitt et al., 2002)
Kepemimpinan (Ehrhart, 2004)
Sensemaking (Roberson, 2006) Kepribadian Pemimpin
(Mayer et al., 2007)
Contingent Reward (Walumbwa et al., 2008)
Servant Leadership (Walumbwa et al., 2010)
Iklim Keadilan Prosedural (Mossholder et al., 1998; Naumann
dan Bennet, 2000; Colquitt et al.,
2002; Dietz et al., 2003; Simons dan Roberson, 2003; Ehrhart,
2004;
Aquino et al., 2006; Roberson, 2006; Yang et al., 2007; Spell
dan Arnold,
2007a; Mayer et al., 2007; Walumbwa
et al., 2008; Walumbwa et al., 2010)
Iklim Keadilan Distributif (Roberson, 2006; Spell dan
Arnold,
2007a)
Iklim Keadilan Interaksional (Spell dan Arnold, 2007a)
Iklim Keadilan Informasional (Mayer et al., 2007)
Iklim Keadilan Interpersonal (Simons dan Roberson, 2003; Mayer
et al., 2007)
Iklim Keadilan Prosedural, Informasional dan Interpersonal
foci Organisasi (Liao dan Rupp,
2005)
Iklim Keadilan Prosedural, Informasional dan Interpersonal
foci Supervisor (Liao dan Rupp,
2005)
Konsekuensi Positif:
Komitmen Organisasional (Mossholder et al., 1998; Naumann
dan Bennet, 2000; Simons dan Roberson, 2003; Liao dan Rupp,
2005;
Yang et al., 2007; Walumbwa et al., 2008)
Kepuasan Kerja (Mossholder et al., 1998; Liao dan Rupp,
2005)
Perilaku Menolong (Naumann dan Bennet, 2000)
Kinerja Tim (Colquitt et al., 2002) Kepuasan pada Supervisor
(Simons
dan Roberson, 2003; Walumbwa et al.,
2008) OCB level unit (Ehrhart, 2004) OCB level individu (Liao
dan Rupp,
2005; Yang et al., 2007; Walumbwa et al., 2008; Walumbwa et al.,
2010)
Forgiveness, Reconciliation (Aquino et al., 2006)
Intensi Turnover (Simons dan Roberson, 2003)
Konsekuensi Negatif:
Tingkat Kemangkiran Tim (Colquitt et al., 2002)
Agresi di Tempat Kerja (Dietz et al., 2003)
Depresi dan Kecemasan (Spell dan Arnold, 2007a)
Revenge (Aquino et al., 2006)
Mediasi:
Komitmen Organisasional (Simon dan Roberson,
2003) Kepuasan Konsumen
(Simon dan Roberson, 2003)
Moderasi:
Orientasi Keadilan (Liao dan Rupp, 2005)
Group Power Distance (Yang et al., 2007)
Struktur Organisasi (Spell dan Arnold, 2007b)
Penelitian Ini (2013/2014)
Foci Organisasional: Iklim Keadilan Prosedural
Iklim Keadilan Interaksional
Foci Supervisor: Iklim Keadilan Prosedural Iklim Keadilan
Interaksional
Perilaku positif dan perilaku negatif
sebagai konsekuen dari iklim keadilan
Perilaku Positif:
Perilaku Proaktif Perilaku Negatif:
Perilaku Menyimpang Organisasional Perilaku Menyimpang
Interpersonal
Mediasi:
Kepercayaan pada Organisasi
Kepercayaan pada Supervisor