Page 1
LARANGAN MENIKAH PADA RABU AKHIR BULAN SAFAR
DI DESA SIDOMULYO KAB. ROHIL DALAM PANDANGAN
HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
RAHMAT HERIAN SYAH
1112044100034
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440H/2019M
Page 2
LARANGAN MENIKAH PADA RABU AKⅡ IR BULAN SAFAR
DI DESA SIDOMULYO KAB.ROHIL DALAM PANDANGAN
ⅡUKUM ISLAM
SKRIPSI
Dittukan Kepada Fakultas Syariah dall Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyarttan Mcmpcrolch Gclar Sttana Hukum(S.H)
Olcll:
RAHⅣIAT HERIAN SYAH
NIⅣI:1112044100034
Di Bawah Bimbingan
= NIP.197208172001122001
PROGRAM STUDIiHUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITASISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M
De"fSukart19 Ⅳl.A.
Page 3
LEⅣIBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l. Skripsi ini melupakan hasil karya asli sa).a yang diajukan untuk mernenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar stlata I di UIN Syarif Hidayatullah
Jakafia.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya canturnkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika dikemudian hari terbukti bahu a karl'a ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karl'a orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Sl.arif Hidayatullah Jakarta.
1112044100034
2.
●D
Jakalta,28 iuli 2019
Page 4
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Sbipsi yang beゴ udul LARANGAN MENIKAH PADA RABU AKHIR BULAN
SAFAR DI DESA SIDOMULYO KAB.ROHIL DALAⅣ I PANDANGAN
HUKUM ISLAM,tclah dittikan dalam sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan
Hukum Univcrsitas lslam Negcri(UlN)Syarif Hidayatullah Jakarta pada tangga1 9
Agustus 2019。 Skripsi ini tclah ditcrillla sebagai salah satu syarat inclllpcrolch gclar
Sa」ana Hukum(S.H)pada PrOgram Studi Hukum Kcluarga.
.Iakarta, 9 Agustus 2019
Mengesahkan
Dr.Ⅱo Ahmad Tholabi Kharlien M.A
NIP。 197608072003121001
PANITIA UJIAN SKRIPSI
Ketua
Sekertaris
Pembimbing
Penguji I
Dro Mesrainin M.AE。 (NIP.1976021320031222001
Ahmad Chairul Hadin M.A.NIP。 197205312007101002
Dewi Sukarti.ⅣI.A.
NIP。 197208172001122001
Dr.Moh.Ali Wafao MoA.
NIP。 197304242002121007
Ahmad Chairul Hadin PIoA.
NIP.197205312007101002
Dekan Falgrlta;i Syari
Pentti II
Page 5
v
ABSTRAK
Rahmat Herian Syah. NIM 112044100034. LARANGAN MENIKAH PADA
RABU AKHIR BULAN SAFAR DI DESA SIDOMULYO KAB, ROKAN
HILIR DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM. Skripsi, Program Studi
Huku’m Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses ritual tolak bala
pada rabu akhir bulan safar dengan alasan agar masyarakat mengetahui proses
ritual tolak bala itu dengan baik dan benar. Serta untuk mengetahui juga
pandangan masyarakat dan hukum islam tentang larangan menikah pada rabu
akhir bulan safar di Desa Sidomulyo Kab. Rokan Hilir.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Studi
Etnografis. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian
Kualitatif. Sumber data primer dan sekunder dalam penelitian ini adalah diperoleh
dari wawancara dengan tokoh masyarakat (tokoh adat, tokoh agama, pemuda-
pemudi) dan masyarakat Desa Sidomulyo Kab. Rokan Hilir. Sedangkan teknik
penulisannya berdasarkan Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi larangan menikah pada
rabu akhir bulan safar muncul karena mengikuti adat istiadat leluhur zaman
dahulu yang telah turun temurun dari nenek moyang mereka sampai saat ini.
Sedangkan persepsi masyarakat mengenai tradisi larangan menikah pada rabu
akhir bulan safar merupakan ajaran kejawen. Dalam tinjauan ‘urf, tradisi larangan
menikah pada akhir rabu bulan safar tergolong ‘urf fasid. Hal tersebut disebabkan
mereka meyakini larangan tersebut. Masyarakat berkeyakinan bahwa jika
melanggar keyakinan ini akan mendapat musibah, celaka serta perkawinan tidak
akan berakhir dengan bahagia.
Kata Kunci : Tradisi, Larangan, Perkawinan, ‘urf
Page 6
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikn rahmat, hidayah,
dan kenikmatan kesehtan jasmani kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Serta nikmatnya Iman dan Islam yang semoga kita
selalu berada dalam ridha-Nya. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan
kepada jungjungan kia baginda besar Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman jahiliyah menuju jaman yang ilmiah seperti sekarang
ini dan semoga kita mendapatkan pertolongannya di hari kiamat kelak.
Dengan ijin dan ridho Allah SWT, skripsi dengan judul “Larangan
Menikah Pada Rabu Akhir Bulan Safar Di Desa Sidomulyo Kab. Rokan
Hilir Dalam Pandangan Hukum Islam” telah memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Program Studi Hukum Keluarga
Konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis memiliki banyak kendala dan
hambatan, baik secara akademis maupun non akademis. Tetapi, penulis tetap
semangat dan tidak pantang menyerah. Usaha yang gigih dan kerja keras penulis
tanamkan dalam diri agar selalu semangat dalam menulis skripsi, serta bantuan
doa oleh semua pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung
mempermudah penulis untuk menyelesaikan skripsi.
Selanjutnya penulis mengucapkan beribu banyak terimakasih dan
penghargaan yang setinggi- tingginya kepada Dewi Sukarti, M.A. selaku dosen
pembingbing skripsi yang telah memberikan begitu banyak kotribusi berupa
saran- saran yang bersifat konstuktif, meluangkan banyak waktu dalam
penyusunan serta motivasinya dalam menyusun skripsi ini, serta tak lupa penulis
mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya
kepada:
Page 7
vii
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc, MA., Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta berikut para Wakil Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan
Hukum
3. Dr. Hj. Mesraini. M.Ag. selaku ketua Prodi Hukum Keluarga Fakultas
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.dan Ahmad Chairul Hadi, M.A.
selaku sekertaris Program Studi Hukum Keleuarga.
4. Dr. Phil. JM Muslimin, M.A. selaku dosen penasehat akademik
penulis, yang telah sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah
membantu penulis dalam merumuskan design judul skripsi ini.
5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmu dalam perkuliahan selama masa studi penulis.
6. Seluruh staff dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarf
Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas
dalam studi kepustakaan.
7. Teristimewa untuk kedua orang tua tercinta, Ayahanda Zali dan Ibunda
Suwarti terimaksih atas segala kasih sayang dan perhatiannya. Doa doa
yang dipanjatkan, semoga Allah SWT senantiasa memberikan Rahmat
dan kasih sayang kepada mereka.
8. Abang dan Adik kandung, Sutrisno dan Nia Andri Yani Sari yang
selalu memberikan doa, dukungan dan semangat dengan penuh
keiklasan dan kesabaharan yang tiada tara.
9. Buat Deska Sholeha yang telah senantiasa memberi dukungan,
semangat dan motivasi sehingga penulis mampu berjuang kembali
untuk menyelesaikan skripsi ini
Page 8
viii
10. Sahabat-sahabatku yang tebaik Rifki Haryadi, Hendri Kurniadi, Rosid,
Abdul Halim, Veryanto yang selalu memberikan doa, dukungan dan
semangat dengan penuh keiklasan dan kesabaran yang tiada tara.
11. Rekan kelas keluarga besar Peradilan Agama A semoga kelak apa
yang kita cita- citakan tercapai dan semoga kita bisa selalu menjaga
tali persahabatan ini.
12. Teman- teman seperjuangan Hukum Keluarga angkatan 2012,
terimakasih sudah saling menyemangati dan berdiskusi selama empat
tahun masa studi di UIN Syafif Hidayatullah Jakarta.
13. Sahabat-sahabati yang berkecimpung dalam Ikatan Mahasiswa
Bengkalis Jakarta (IPEMALIS).
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan
banyak yang perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan
kritik penulis harapan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi
ini bermanfaat bagi penulis khusunya dan setiap pembaca umumnya
serta menjadi amal baik disisi Allah SWT. Semoga setiap bantuan doa,
motivasi, dan semangat yang telah diberikan kepapa penulis
mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Jakarta, 25 Juni 2019
Rahmat Herian Syah
Page 9
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................. iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Batasan Masalah ................................................................ 4
C. Rumusan Masalah ............................................................. 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 6
E. Review Studi Terdahulu .................................................... 7
F. Metode Penelitian ............................................................. 9
G. Sistematika Penulisan ........................................................ 11
BAB II KAJIAN TEORITIK
A. Pengertian Budaya ............................................................. 12
B. Lahirnya Tradisi Atau Budaya Dalam Mayarakat ............ 13
C. Sumber-sumber Tradisi dan Fungsi Tradisi ...................... 15
D. Teori Al-Aadah Muhakkamah ........................................... 18
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN
RITUAL TOLAK BALA DI DESA SIDOMULYO KAB,
ROKAN HILIR
A. Letak Geografis ................................................................. 23
1. Sosial Ekonomi ............................................................ 25
2. Kondisi pendidikan ...................................................... 27
B. Ritual Tolak Bala Bulan Safar Di Kab, Rokan Hilir ......... 29
1. Pengertian Tradisi Ritual Tolak Bala Bulan Safar ....... 29
2. Pelaksanaan Ritual Tolak Bala..................................... 31
a. Persiapan Tolak Bala ............................................... 31
Page 10
x
b. Panitia Tolak Bala ................................................... 32
c. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Tolak Bala ........... 35
d. Tata Cara Ritual Tolak Bala .................................... 37
3. Simbol Tradisi Ritual Tolak Bala ................................ 38
BAB IV PANDANGAN MASYARAKAT DAN ANALISIS
HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN MENIKAH
PADA RABU AKHIR BULAN SAFAR
A. Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Larangan Menikah
Pada Rabu Akhir Bulan Safar ........................................... 39
1. Persepsi ........................................................................ 39
a. Pengertian Persepsi .................................................. 40
b. Factor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi............ 41
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Larangan Menikah pada
Rabu Akhir Bulan Safar Di Desa Sidomulyo .................... 47
1. Muncul nya Larangan Menikah pada Rabu Akhir
Bulan Safar .................................................................. 47
2. Hukum Larangan Menikah Pada Rabu Akhir Bulan
Safar Dalam Pandangan Islam .................................... 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 60
B. Saran .................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 63
LAMPIRAN
Page 11
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan makhluk-nya di dunia dengan berpasang-pasangan,
menjadikan manusia laki-laki dan perempuan dengan tujuan hidup berpasang-
pasangan, membina rumah tanggga yang dilandasi rasa kasih sayang, dan cinta,
sehingga apa yang menjadi tujuan pernikahan itu sendiri bisa tercapai. Tujuan dari
perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan warohmah.1
Perkawinan juga dinyatakan atau disebutkan sebagai salah satu sunnah para
Nabi dan Rasul, mereka itu merupakan tokoh-tokoh teladan yang wajib di ikuti
jejaknya, dan Nabi tidak pernah memerintahkan agar pernikahan dilakukan pada
waktu-waktu tertentu yang dianggap baik, karena dalam islam semua bulan atau
waktu itu baik untuk pernikahan.
Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam,
mereka mengakui bahwa segala sesuatu yang ada disekelilingnya adalah ciptaan
Allah SWT. Dia yang mengatur segalanya, yang mendatangkan pahala dan
cobaan. Namun demikian masih banyak dari umat Islam yang melakukan
perbuatan-perbuatan di luar akal dan agama, contohnya melakukan upacara Ritual
Tolak Bala, kepercayaan terhadap jimat, keris, pohon, batu dan macam-macam
kepercayaan yang dianggap sebagai kekuatan supranatural yang dapat
1 Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia,
(Surabaya: Arkola Surabaya, 1997), h. 76.
Page 12
2
mempengaruhi gerak hidup, yang dapat membuat untung, rugi,
bencana dan bahagia terhadap umat manusia.2 Perilaku-perilaku budaya mistik
cukup mewarnai aspek spiritualitas masyarakat, bahkan hampir tidak dapat
dibedakan oleh orang awam antara ajaran-ajaran agama dengan budaya mistik
tersebut.3
Pikiran dan perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat secara terus menurus
pada akhirnya menjadi sebuah tradisi4. Tradisi merupakan buah dari proses
kemasyarakatan yang didalam nya mengandung unsur-unsur warisan kebudayaan
dan dipindahkan dari generasi ke generasi.
Salah satu adat yang masih dipegang pada masyarakat di Desa Sidomulyo
adalah Ritual Tolak Bala yang merupakan peninggalan nenek moyang yang
dilatar belakangi oleh ajaran ajaran non Islam. Masyarakat Sidomulyo menyakini
bahwa pada saat Hari Ritual Tolak Bala Bulan Safar, orang tidak boleh keluar
rumah dan harus menghindari segala kegiatan meskipun pekerjaan sehari- hari.
Masalah pernikhan yang dianjurkan agama pun dilarang jika dilakukan pada hari
Rabu diakhir Bulan Safar. Menurut masyarakat Jawa pada hari tersebut penuh
dengan kesialan, marahabaya. Jika pantangan itu tidak dihiraukan maka bagi yang
melakukan pernikahan pada hari tersebut akan ditimpa musibah selama hubungan
pernikahan nya. Padahal di dalam agama islam sendiri tidak mengenal adanya
2 Mukti Ali, Alam Pikiran Modern di Indonesia, (Yogyakarta, Yayasan Nida 1969), h. 7.
3 Moh. Nurhakim, Jatuhnya Sebuah Tamadun Menyingkap Sejarah Kegemilangan dan
Kehancuran Imperemium Khalifah Islam, (Jakarta, Kementrian Agama Republik Islam, cet.1,
2012), h. 170.
4 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 322.
Page 13
3
hari, bulan, atau waktu yang buruk untuk melakukan pernikahan, karena dalam
islam semua hari itu baik untuk melaksanakan pernikahan.
Allah SWT dalam Qs, At-Taubah yang artinya:
“Sesungguh nya bilangan bulan disisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan haram, itu lah (ketetapan) agama yang lurus”. (Qs, At-Taubah: 36)5.
Sebagaimana yang dijelaskan ayat diatas sesungguhya jumlah bulan pada
tahun Qamariyah menurut hukum dan ketentuan Allah, serta menurut apa yang
telah diterangkan dalam kitab-kitab sucinya sejak awal kejadian alam adalah dua
belas (12) bulan. Diantara dua belas bulan itu terdapat empat bulan ketika
berperang pada saat itu diharamkan, yaitu bulan Rajab, bulan Zulkaidah, bulan
Zulhijjah dan bulan Muharram. Pengharaman empat bulan diatas adalah termasuk
ajaran agama allah yang benar, yang bersifat konstan, tidak mengalami perubahan
atau pergantian.
Pada suatu kesempatan bapak Sapandi selaku tokoh adat Di Desa
Sidomulyo mengutarakan tentang bahaya Bulan Safar yaitu pada tiap Tahun hari
Rabu terakhir di Bulan Safar, Allah akan menurunkan malapetaka dan bencana ke
muka bumi hampir sebanyak 320.000 (tiga ratus dua puluh ribu) bencana. Hari
itu akan menjadi hari-hari yang paling sulit diantara hari-hari dalam satu tahun.
Sehingga kita dianjurkan untuk mendirikan Shalat tolak bala bersama
masyarakat.6
5 At-Taubah (9): 36.
6 Sapandi, (Tokoh Adat) Wawancara di Rumahnya, di Desa Sidomulyo, Oktober 2018
Page 14
4
Setelah dilaksanakan shalat Tolak Bala yang dapat dilaksanakan ditempat
terbuka atau bahkan digedung atau masjid, kemudian diadakan kenduri yang
dimulai dengan membaca surah Alfatihah, istigfar, membaca Shalawat Nabi,
membaca Tahlil dan diakhiri dengan Do’a. setelah itu masyarakat di Desa
Sidomulyo makan bersama dengan makanan khas dalam tradisi yaitu tumpeng.
Tumpeng bagian bawah melambangkan masyarakat biasa atau rakyat,
sedangkan tumpeng bagian atas melambangkan pemimpin tertinggi masyarakat
atau bermakna tentang keagungan tuhan, kenduri merupakan suatu ritual yang
dilakukan agar terhindar dari marabahaya dan penyakit dari Allah SWT. Adapun
sesajen pelengkap dalam kenduri yaitu nasi ambengan, bubur merah, bubur hijau
dan putih, jajan pasar, ayam ingkung, pisang ayu, nasi buceng, gula kaung, kopi
manis, kopi pahit, air teh, air putih, yang dibawa masing-masing asyarakat
Sidomulyo. Setelah itu masyarakat dipersilakan mengambil air barokah yang
sudah dipersiapkan, bisa diminum ditempat atau bisa juga dibawa pulang untuk
diminum bersama keluarga.
Pada pagi harinya barang-barang yang digunakan untuk bekerja sehari-hari
dibersihkan dan dicuci (seperti mobil, sepeda motor, angkong, singso, gergaji,
dodos, dan lain-lain) yang dilanjutkan dengan mandi safar dilakukan sebelum
shalat zuhur, bahkan masyarakat desa Sidomulyo juga membuat bubur dan apem
yang dapat dibagikan kepada tetangga. Ada beberapa sesajen yang diletakkan
diperempatan simpang jalan dan diyakini untuk menolak bala.7
7 Sugino (tokoh adat), Wawancara di Desa Sidomulyo, 7 Oktober 2018.
Page 15
5
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan penulis merasa tertarik
untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “LARANGAN
MENIKAH DI RABU AKHIR BULAN SAFAR DALAM PANDANGAN
HUKUM ISLAM DI DESA SIDOMULYO KAB. ROHIL”.
B. Batasan Masalah
Supaya pembahasan masalah dalam penelitian ini terfokus pada pokok
permasalahannya, penulis merasa perlu membatasi masalahnya. Adapun batasan
masalah tersebut adalah Larangan Menikah di Rabu Akhir Bulan Safar Menurut
Pandangan Hukum Islam di Desa Sidomulyo Kab. Rohil.
C. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Prosesi Ritual Tolak Bala di Desa Sidomulyo pada hari
Rabu akhir Bulan Safar?
2. Bagaimana persepsi masyarakat dan tinjauan hukum Islam terhadap
larangan menikah pada hari rabu akhir bulan safar di Desa Sidomulyo
Kab. Rokan?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Secara garis besar penelitian ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai,
antara lain:
a. Mendiskripsikan prosesi ritual tolak bala bulan safar bagi
masyarakat desa Sidomulyo.
Page 16
6
b. Mendeskripsikan persepsi masyarakat tentang larangan menikah di
hari Rabu akhir Bulan Safar Didesa Sidomulyo Kab. Rokan Hilir.
c. Mendiskripsikan tentang larangan menikah di hari rabu akhir bulan
safar Didesa Sidomulyo Kab. Rokan Hilir sesuai dengan hukum
Islam.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara Akademis
Diharapkan dapat memberikan penambahan hazanah keilmuan bagi
peneliti, dan dapat dikembangkan kemudian apalagi dalam kajian
ritual atau tradisi didalam masyarakat. Dan diharapkan juga dapat
memberikan masukan bagi perkembangan penelitian-penelitian
yang tema dan kajian nya hampir sama dengan yang dilakukan oleh
penulis ini.
b. Secara Praktis
1. Agar menjadi bahan masukan keilmuan bagi masyarakat yang
belum mengetahui tradisi Ritual Tolak Bala
2. meluruskan pandangan masyarakat tentang adanya adat larangan
melakukan pernikahan pada Rabu Bulan Safar, praktiknya
dalam agama Islam sendiri tidak pernah ada.
E. Review Studi Terdahulu Yang Relevan
Setelah melakukan penelusuran, penyusun menemukan beberapa literatur
dari hasil penelitian yang membahas dan mengkaji tentang permasalahan-
Page 17
7
permasalahan yang berhubungan dengan pernikahan, khususnya membahas
tentang larangan pernikahan, dan penyusun belum menemukan judul yang sama
dengan tema yang diangkat yaitu tentang larangan menikah pada hari rabu akhir
bulan safar dalam pandangan hokum islam di Desa Sidomulyo Kab. Rokan Hilir.
Muchammad Iqbal Ghozali Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Sunan Kali
Jaga Tahun 2012, dalam skripsinya yang berjudul “Larangan menikah pada Dino
Ngeblak Tiyang Sepuh di Masyarakat Kampung Sagrahan Kecamatan Mlati
Kabupaten Slamen dalam Persepektif Hukum Islam”. Didalam penulisannya
menekan pada Larangan menikah pada dino ngeblak tiyangb sepun itu di dasarkan
karena pada waktu itu merupakan hari meninggalnya orang tua, maka sudah
sepantasnya seorang anak melakukan prihatian pada waktu itu dan memanjatkan
doa kepada mereka yang telah meningggal, dan jangan melakukan acara pesta
pora atau bersenang-senang, karena dianggap tidak menghargai orang tuanya yang
telah meningggal8. Perbedaannya dalam penulisan saya adalah didalam
penulisaannya hanya membahas larangan pernikahan, serta penelitian menitik
beratkan pada waktu pelaksanaannya, sedangkan dalam penelitian penyusun
menitik beratkan pada pandangan Masyarakat dan dalam pandagan hukum Islam
terhadap larangan pada Rabu akhir Bulan Safar.
Nur Faidah Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Kalijaga Tahun 2003,
dalam skripsinya yang berjudul “Mantenan adat satu suro didesa Traji
Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung Jawa Tengah” yang dikaji oleh Nur
Faidah menekan kan pada tata cara ritual mantenan pada tanggal satu suro yang
8 Muchammad Iqbal Ghozali, Larangan menikah Pada Dino Geblak Tiyang Sepuh di
Masyarakat Kampung Sanggerahan Kecamatan Mlati Kabupaten Slamen Dalam Perspektif
Hukum Islam, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, tidak diterbitkan 2012.
Page 18
8
dilaksanakan pada setiap malam satu suro, waktunya yaitu dimulai menjelang
mata hari terbenam atau setelah magrib untuk mensyukuri tahun baru kalendar
jawa dengan memanjatkan doa-doa disuatu tempat yang disebut untuk meminta
keselamatan disertai sesaji yang dipimpin oleh kepala desa ini merupakan ajaran
yang bertentangan dari syariat islam9.
Perbedaannya penelitian ini menitik beratkan pada taat cara pelaksanaannya
dan hanya seputar ritual yang diadakan pada tanggal satu suro, sedangkan dalam
penelitian saya menitik beratkan pada pandangan Masyarakat dan dalam pandagan
hukum Islam terhadap larangan pada Rabu akhir Bulan Safar.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan atau peroses sistematika
untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah.
Pada penelitian ini penulis akan menjelaskan secara rinci tentang hal-hal yang
terkait dengan metode penelitian skripsi ini yaitu:
1. Metode Pengumpulan Data
Kerena pemahaman yang ingin dicapai dalam penelitian kualitatif, maka
instrument penelitiannya adalah si peneliti sendiri, sejauh mana ia dapat
memahami gejala yang ditelitinya tidak ditentukan oleh daftar pertanyaan
atau kuesioner yang telah dirancangnya. Oleh karena itu didalam
penelitian kualitatif apa yang biasanya disebut dengan istilah alat atau
instrument penelitian sebenernya lebih merupakan pedoman dan metode
9 Nur Faidah, Mantenan Adat Satu Suro di Desa Traji Kecamatan Parakan Kabupaten
Tamanggung Jawa Tengah Menurut Tinjauan Hukum Islam, Skripsi Fakultas Syariah, IAN sunan
Kalijaga, tidak diterbitkan 2003.
Page 19
9
pengumpulan data dan alatnya sipeneliti itu sendiri. Adapun metode
dasar dalam penelitian kualitaif ini adalah observasi dan wawancara.10
Metode observasi dalam hal ini peneliti mendiskripsikan setting, kegiatan
yang terjadi, orang yang terlibat di dalama kegiatan, waktu kegiatan dan
makna yang diberikan oleh para pelaku yang diamati tentang peristiwa
yang bersangkutan yakni masyarakat di Desa Sidomulyo dan gejala-
gejala yang terjadi didalam masyarakat Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Selanjutnya adalah teknik atau metode wawancara, hal ini digunakan
untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang tidak dapat diperoleh
lewat pengamatan, baik itu melalui percakapan informal (percakapan
bebas), menggunakan pedoman wawancara dan menggunakan pedoman
baku, dalam hal ini peneliti melakukan wawancara terhadap orang-orang
yang terlibat didalam objek penelitiana ini yakni, Tokoh Adat, Tokoh
Agama, Pemuda pemudi Serta Masyarakat di Desa Sidomulyo
Kabupaten Rokan Hilir.
2. Metode Analisa Data
Dalam hal ini peneliti mencatat seluruh data mengenai semua hasil yang
didapat dari wawancara dan pengamatan terlibat itu adalah merupakan
hal yang penting karena sistematis, lengkap dan akurat. Setelah itu
dilanjutkan dengan proses analisis data yang dilakukan sesegera mungkin
setelah peneliti meninggalkan lapangan, yakni menemukan dan
menjerumuskan pernyataan-pernyataan.
10
Burhan Ashohofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rinneka Cipta, 2007), h. 58.
Page 20
10
Dengan memeriksa data-data yang telah dikumpulkan seperti data-data
ritual tolak bala Desa Sidomulyo Kabupaten Rokan Hilir yang bisa
digunakan sebagai gambaran utama kronologis kejadian serta informasi
dari beberapa tokoh masyarakat mengenai proses ritual ini sehingga
dipakai untuk mendukung hasil dari penelitian menjadi kesimpulan dan
pernyataan.
3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat suku Jawa yang
melaksanakan Ritual Tolak Bala Bulan Safar di desa Sidomulyo, jumlah
penduduk setempat 300 orang, dikarenakan keterbatasan biaya dan waktu
maka penulis mengambil sampel 40 orang yang melaksanakan Ritual
Tolak Bala Bulan Safar dengan menggunakan teknik purposive
sampling11
.
G. Sistematika Penulisan
Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi saya ini,
penulis menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab,
dimana setiap babnya dibagi atas sub-sub bab, dengan penjelasan yang terperinci,
agar memudahkan pembaca.
Berdasarkan pada materi skripsi yang penulis bahas, secara sistematis
penyusunan skripsi ini terbagi sebagai berikut :
11
Husein Usman, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 24.
Page 21
11
Bab Satu : Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, batasan
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
review studi terdahulu yanag relevan, metode penetitain, dan
sistematika penulisan.
Bab Dua : Kerangka teoritik yang meliputi Pengertian Budaya, Lahirnya
Tradisi atau Budaya dalam Masyarakat, Fungsi dan Manfaat
Tradisi serta Teori Al-Aadah Muhakkamah.
Bab Tiga : Gambaran lokasi penelitian dan ritual tolak bala di Desa
Sidomulyo Kab, Rokan Hilir yang terdiri dari : keadaan
geografis dan demografis, sosial ekonomi, pendidikan, sarana
dan prasarana, adat istiadat dan pelaksanan ritual tolak bala di
Desa Sidomulyo Kab, Rokan Hilir.
Bab Empat : Pandangan mayarakan dan Analisis hukum islam terhadap
larangan menikah Ritual Tolak Bala pada Rabu akhir Bulan
Safar di Desa Sidomulyo Kab, Rokan Hilir yang terdiri dari :
persepsi masyarakat terhadap larangan menikah pada Rabu
akhir Bulan Safar, munculnya larangan menikah pada Rabu
Bulan Safar di Desa Sidomulyo Kab, Rokan Hilir.
Bab Lima : Kesimpulan dan Saran.
Page 22
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian Budaya
Budaya atau kebudayaan bermula dari kemampuan akal dan budi manusia
dalam menanggap, merespon, dan mengatasi tantangan alam dan lingkungan
dalam upaya mencapai kebutuhan hidupnya. Dengan akal ini lah manusia
membentuk sebuah kebudayaan.12
Budaya secara etimologi dapat berupa jama‟ yakni menjadi kebudayaan.
Kata ini berasal dari bahasa sansekerta Budhayah yang merupakan bentuk jama‟
dari Buddhi yang berarti akal, atau segala sesuatu yang berhubungan dengan akal
pikiran manusia. Kebudayaan merupakan semua hasil cipta rasa dan karsa
manusia dalam hidup bermasyarakat. Dalam arti luas kebudayaan merupakan
segala sesuatu dipermukaan bumi ini yang keberadaan nya diciptakan oleh
manusia.
Kebudayaan secara umum terdiri dari 7 (tujuh) unsur utama yaitu:13
a) Komunikasi (bahasa)
Bahasa merupakaan sarana bagi manusia unutk memenuhi kebutuhan
sosialnya untuk berintraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Dalam
ilmu antropologi, studi mengenai bahasa disebut dengan istilah
12
Herminanto dan Winarto, Ilmu Social dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara 2011),
h. 72. 13
Tasmuji, Dkk, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Social Dasar, Ilmu Budaya Dasar, (Surabaya:
IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h, 160-165. Lihat pula Jacob Ranjabar, System Soaial Budaya
Indonesia; Suatu Pengantar (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), h. 20-23.
Page 23
13
Antropologi Linguistic. Kemampuan manusia dalam membangun tardisi
budaya, memnciptakan pemahaman tentang fenomena social yang
diungkapkan secara simbolik, dan mewariskannya kepada generasi
penerusnya sangat bergantung pada bahasa. Dengan demikian, bahasa
menduduki porsi yang penting dalam analisa kebudayaan manusia.
b) Kepercayaan (religi)
c) Keseniaan (seni)
d) Organisasi social (kemasyarakatan)
Unsur budaya berupa system kekerabatan dan organisasi social
merupakan usaha antropologi untuk memahami bagaimana manusia
membentuk masyarakat melalui bagaiman kelompok social.
e) Mata pencaharian (ekonomi)
f) Ilmu pengetahuan
Sistem pengetahuan dalam kultur universal berkaitan dengan sistem
peralatan hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak
dan berwujud didalam ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas batas
nya karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang
digunakan dalam kehidupannya.
g) teknologi14
B. Lahirnya Tradisi Didalam Masyarakat
Dalam arti sempit tradisi adalah kumpulan benda material dan gagasan yang
diberi makna khusus berasal dari masa lalu. Tradisi pun mengalami perubahan,
14
Tim Sosiologi, sosiologi 1 suatu kajian kehidupan bermasyarakat, (Jakarata: Yudhistira,
2016) h, 14.
Page 24
tradisi lahir disaat tertentu ketika orang menetapkan fragmen tertentu, dari warisan
masa lalu sebagai tradisi. Tradisi berubah ketika orang memberikan perhatian
khusus pada pragmen tradisi tertentu dan mengabaikan fragmen yang lain. Tradisi
bertahan dalam jangka waktu tertentu dan mungkin lenyap bila benda material
dibuang dan gagasan ditolak atau dilupakan. Tradisi mungkin pula hidup dan
muncul kembali setelah lama terpendam. Tradisi lahir melalui 2 (dua) cara, yaitu :
Pertama, muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara
spontan dan tak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Karena suatu alas an,
individu tertentu menemukan warisan historic yang menarik perhatian, kecintaan
dan kekaguman yang kemudian disebarkan melalui berbagai cara mepengaruhi
rakyat banyak. Sikap-sikap tersebut berubah menjadi perilaku dalam benttuk
upacara, penelitian dan pemugaran peninggalan purbakala serta menafsir ulang
keyakinan lama.
Kedua, muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang
dianggap tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakanoleh
individu yang berpengaruh atau berkuasa. Dan jalan kelahiran tradisi tersebut
tidak membedakan kadarnya. Perbedaanya terdapat diantara “tradisi asli”, yakni
yang sudah ada dimasa lalu. Tradisi buatan mungkin lahir ketika orang
memahami8 impian masa lalu dan mampu menularkan impian itu kepada orang
banyak. Lebih sering tradisi buatan ini dipaksakandari atas oleh penguasa untuk
mencapai tujuan politik mereka.
Begitu terbentuk, tradisi mengalami berbagai perubahan. Perubahan
kuantitatifnya terlihat dari jumlah penganut atau pendukungnya. Rakyat dapat
Page 25
ditarik untuk mengikuti tradisi tertentu yang kemudian mempengaruhi seluruh
rakyat dan Negara atau bahkan dapat mempengaruhi skala global.
Arah perubahan lain adalah arahan perubahan kualitatif yakni perubahan
kadar tradisi. Gagasan, symbol dan nilai tertentu ditambahkan dan yang lainnya
dibuang. Cepat atau lambat setiap tradisi mulai dipertanyakan, diragukan, diteliti
ulang dan bersamaandengaan itu fragmen-fraagmen masa lalu ditemukan
disahkan sebagai tradisi. Perubahan tradisi juga disebabkan banyak tradisi dan
bentrokan antara tradisi yang satu dengan saingannya. Benturan itu dapat terjadi
antara tradisi masyarakat ataukultur yang berbeda didalam masyarakat tertentu.
C. Sumber-sumber Tradisi dan Fungsi Tradisi
a. Sumber-sumber Tradisi
Tradisi atau adat istiadat suatu bangsa itu mulanya timbul dari
keprcayaan agama, yaitu sebelum datangnya Islam. Agama Islam setelah
dibentuk suatu bangsa kemudian baru melahirkan adat pula. Adat yang
dipengaruhi oleh agama Islam merupakan perpaduan dari ajaran
kepercayaan agama Hindu Budha. Contoh dari perpaduan itu adalah
pengaruh dari kebudayaan Hindu Budha, animism, dan dinamisme.
Pengaruh dari paham tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Kepercayaan Hindu Budha
Sebelum Islam masuk di Indonesia khususnya Jawa, masyarakat
masih berpegang teguh kepada adat istiadat agama Hindu Budha. Pada
dasarnya budaya di masa Hindu Budha merupakan manifestasi
Page 26
kepercayaan Jawa Hindu Budha semenjak datangnya agama Hindu
Budha di Jawa.15
Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai. Maka ketika masuk ke
Indonesia, Islam tidak lantas menghapus semua ritual dan kebudayaan
Hindu dan Budha yang telah lama mengakar dalam masyarakat
Indonesia. Maka terjadilah akulturasi yang membentuk kekhasan
dalam Islam yang berkembang di Indonesia, khususnya Jawa.
Kegiatan tersebut berupa:
a) Tradisi-tradisi Ritual
Tradisi upacara ritual masih dapat dilihat keberadaannya dalam
agama Hindu Budha sampai saat ini. Upacara tersebut dilakukan
untukmenjaga keseimbangan mikro komos dan menghindari
kegoncangan yang dapat diakibatkan turunnya kesejahteraan
meteril. Bentuk-bentuk upacara lain adalah upacara perawatan dan
penjamasan pusaka sebagai tanda kebesaran yang biasa disebut
keris.
b) Selamatan
Selamatan atau slametan adalah sebuah tradisi ritual yang
dilakukan oleh masyarakat Jawa. Selamatan adalah suatu bentuk
acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabatatau
tetangga. Secara tradisional acara syukuran dimulai dengan do‟a
bersama, dengan duduk bersila diatas tikar, melingkari nasi
15
Abdul Djamil, Abdurrahman Mas‟ud, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Semarang:
Gama Media, 2000), h. 14.
Page 27
tumpeng dengan lauk pauk. Selamatan dilakukan untuk merayakan
hamper semua kejadian, termasuk kelahiran, kematian,
pernikahan, mengawali membangun rumah, pindah rumah,
meresmikan rumah, dan sebagainya.
2) Animisme
Pengertian animisme menurut bahasa latin adalah animus, dan bahasa
yunani avepos, dalam bahasa sangsekerta disebut prama/ ruah yang
artinya nafas atau jiwa.
Sejarah Agama memandang bahwa istilah animism digunakan dan
diterapkan dalam suatu pengertian yang lebih luas, untuk
menunjukkan kepercayaan terhadap adanya makhluk-makhluk
spiritual yang erat sekali hubungannya dengan tubuh atau jasad.
3) Dinamisme
Ensiklopedia umum menjelaskan bahwa dinamisme sebagai
kepercayaan ke agamaan primitive pada zaman sebelum kedatangan
agama Hindu ke Indonesia, dengan berpedoman bahwa dasarnya
adalah kekuatan yang “Maha Ada” yang berada dimana-mana.
b. Fungsi Tradisi
Teori fungsi yang digunakan diantaranya teori fungsionalisme structural
yang dikembangkan oleh Talcott Parsons. Fungsi diartikan sebagai segala
kegiatan yang diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan atau kebutuhan-
kebutuhan dari sebuah system. Dengan menggunakan difinisi ini parsons
(seorang sosiologi), bahwa ada empat syarat mutlak supaya termasuk
Page 28
masyarakat bias berfungsi yang disebut dengan AGIL adalah singkatan
dari Adaptation, Goal Attainment, Integration dan Latency.16
Demi keberlangsungan hidup, maka masyarakat harus menjalani fungsi-
fungsi tersebut, yakni, Adaptation (adaptasi) yaitu supaya masyarakat
bias bertahan dia harus mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan
dan menyesuaikan lingkungan dengan dirinya. Goal Attainment
(pencapain tujuan) yaitu sebuah sistem harus mampu menentukan
tujuannya dan berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskan
itu. Integration (integrasi) yaitu masyarakat harus mengatur hubungan di
antara komponen-komponennya supaya dia bias berfungsi secara
maksimal, dan Latency (pemeliharaan pola-pola yang sudah ada) yaitu
setiap masyarakat harus mempertahankan, memperbaiki, dan
memperbaharui baik motivasi individu-individu maupun pola-pola
budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi-motivasi itu.
D. Teori Al- Aadah Muhakkamah
Mengenai ritual, tradisi atau adat istiadat dalam pandangan hokum islam,
pada dasarnya hokum islam juga mengakui keabsahannya suatu adat. Sebagaimna
penjelasan sebuah kaidah fiqih yang berbunyi:
“Adat kebiasaandapat ditetapkan sebagai hokum”17
Kaidah diatas memberi pemahaman bahwa hukum Islam menerima adat
sebagai suatu hokum yang diakui secara sah dapat mengatur kehidupan sosial
dalam suatu masyarakat, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.
16
Raho Bernard, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pusaka, 2007), h. 53. 17
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-1, h. 78.
Page 29
Sebagaimana definisi adat dalam pandangan pakar hukum Islam dalam kutipan
Samir Aliyah, para pakar hokum islam mendefinisikan adat dengan: “apa yang
biasa dilakukan mayoritas manusia baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, hingga
meresap kedalam jiwa mereka dan diterima dalam pemikiran mereka, atau
kebiasaan mayoritas suatu kaum dalam ucapan atau perbuatan”18
Abdul Wahhab Khallaf mengatakan bahwa adat juga dikenal dalam
pembentukan hokum islam, yaitu disebut dengan “urf”, yakni segala sesuatu yang
saling dikenal di antara manusia yang sudah menjadi kebiasaan baik berupa
perkataan, perbuatan dalam atau dalam katanya dengan meninggalkan perbuatan
tertentu19
.
„Urf atau suatu perbuatan yang baik dapat dipertimbangkan dalam istimbath
hukum20
. Pengertian urf secara bahasa diartikan sesuai yang dikenal atau kata
adat juga berasal dari bahasa Arab yang mengandung arti pengulangan suatu
peristiwa tapi terlepas dari penilaian baik dan buruknya (netral), kata „urf
mengandung kepada kualitas (baik buruknya) sehingga diakui dan dikenal oleh
orang banyak. Menurut analisa penulis sebenarnya tidak ada perbedaan prinsif
antara adat dan urf, karena keduanya sama-sama mengacu kepada peristiwa yang
ber ulang kali dilakukan sehingga diakui dan dikenal orang.
Sedangkan menurut syara‟ yang mendefinisikan pengertian „urf diantaranya
sebagai berikut:
18
Samir Aliyah, Buku Sistem Pemerintahan, Peradilan Dan Adat dalam Islam, Pers,
Asumarni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta: Khalifa, 2004), cet. Ke-1, h. 495. 19
A. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Dewan Dakwah Islam, 1990), h.89. 20
Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah Asasi), (Jakarta: Raja Grafindo Sada,
2002), cet 1, h. 35.
Page 30
a. Ali haidar mengatakan bahwa urf adalah suatu yang pelakunya merasa
tenang ketika melakukan dan diterima berdasarkan akal sehat serta
dilakukan berulang-ulang.
b. Abu Zahra mengatakan bahwa urf adalah sesuatu yang menjadi
kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan sudah mantap dan melekat
dalam urusan-urusan mereka
Urf ini terbagi kepada dua macam:
1. „Urf shoheh, adalah segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia
yang tidak bertentangan dengan dalil syara‟ disamping tidak
menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib.
2. „Urf Fasid, adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh umat manusia,
tetapi berlawanan dengan syara‟ atau membatalkan yang wajib21
Dari pembagian „urf diatas, para ulama telah sepakat bahwa „urf yang dapat
diakui sebagai suatu hokum adalah ‘urf shoheh bukan ‘urf fasid. „urf atau adat
shoheh apabila memenuhi unsur-unsur berikut ini:
1. Adat yang tidak bertentangan dengan nash baik Al-Quran maupun
Hadits.
2. Adat tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan
kemaslahatan termasuk didalam nya tidak mengakibatkan kesulitan dan
kesukaran.
3. Harus adat yang dilakukan secara terus menerus dan berlaku umum
dikalangan kaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan
21
Mukhtar Yahya, Fataburrahman Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam,
(Bandung, PT. Al-Ma‟ari, 1986) h.109.
Page 31
oleh beberapa orang saja, berdasarkan kaidah cabang dari kaidah Al-
‘adatu muhakkamah.
Bila adat tersebut dilakukan oleh beberapa orang saja dan secara terus
menerus, maka tidak dianggap adat shoheh.22
Selanjutnya adat tersebut juga harus
memenuhi syarat, syarat suatu adat dapat diakui hukum islam adalah adat tersebut
tidak menafikan nash syar‟I atau kontradiksi dengan salah satu dasar syari‟ah
yang qoth‟i. adat baru dapat dijadikan sumber hokum dalam pembentukan hokum
islam, apabila adat tersebut termasuk kedalam “urf shoheh” yang tidak
bertentangan dengan dalil yang qoth‟i.
Apabila „urf tersebut termasuk yang fasid, maka ini dinilai sebagai tradisi
yang batil yang tidak sah pengamalannya, karena nash syari‟ah didahulukan atas
tradisi. Sebab hokum syari‟ah datang agar setiap individu tunduk kepada hukum
nya, dan bukan hukum syari‟ah yang tunduk kepada tradisi mereka.23
Dengan demikian syarat diterimanya „urf adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat, syarat ini
menunjukkan bahwa adat tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan
maksiat.
2. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu berulang-ulang, boleh dikata
sudah menyatu dalam diri masyarakat.
3. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik Al-Quran maupun
Sunah.
22
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2006), h.83. 23
Samir Aliyah, Buku Sistem Pemerintahan, Peradilan Dan Adat dalam Islam, Pers,
Asumarni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta: Khalifa, 2004), cet. Ke-1, h. 495.
Page 32
4. Tidak mendatang kan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal
yang sehat.
Page 33
23
BAB III
TINJAUAN TENTANG LOKASI PENELITIAN DAN RITUAL TOLAK
BALA DI DESA SIDOMULYO KAB, ROKAN HILIR
A. Letak Geografis Desa Sidomulyo.
Desa Sidomulyo merupakan Desa yang di mekarkan dari Desa rantau bais,
yang dulunya masyarakat bermukim di impah. Karena masyarakat merasa tidak
nyaman dengan banyaknya binatang buas (buaya), maka masyarakat memutuskan
untuk pindah kepinggiran sungai rokan yang tidak ada binatang buasnya sekarang
dikenal dengan dusun terminal (jembatan)25
.
Awal mula Desa Sidomulyo ini dinamakan dengan Desa ujung tanjung hal
ini dikarenakan jika kita berdiri dipinggir sungai rokan, memandang ke ujung hulu
sungai akan terlihat tanjung begitu juga sebaliknya memandang ke ujung hilir
sungai juga akan terlihat tanjung. Maka masyarakat sepakat menamakan Desa ini
Kepenghuluan Ujung Tanjung.
Desa Sidomulyo ini kemudian dibagi menjadi lima Dusun yang masing-
masing diberi nama Dusun Terminal, Dusun Selamat, Dusun Pematang Punak,
Dusun Pematang Padang dan Dusun Pematang Muawan. Dimana nama-nama
dusun tersebut diambil dari nama–nama daerah yang terkenal di Desa ini.
25
Sumber Data Kantor Lurah Sidomulyo Kecamatan Tanah Putih Tahun 2018
Page 34
24
Tabel I. Jumlah RT dan RW
Summber : Data Umum Kepenghuluan
Desa Sidomulyo memiliki luas wilayah 375,75km2 dengan lahan produktif.
Sementara orbitasi Desa Sidomulyo Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan
Hilir adalah sebagai berikut:
a. Jarak Ibu Kota Desa ke Ibu Kota Kecamatan ...............................17 km
b. Jarak Ibu Kota Desa ke Ibu Kota Kabupaten.................................72 km
c. Jarak Ibu Kota Desa ke Ibu Kota Propinsi...................................420 km
Desa Sidomulyo memiliki batas-batas wilayah, sebagai berikut:
a. Sebelah Utara berbatas dengan Kecamatan Tanah Putih Tanjung
Melawan
b. Sebelah Selatan berbatas dengan Kepenghuluan Rantau Bais dan
Kelurahan sedinginan
c. Sebelah Timur berbatas dengan Lubuk Gaung Dumai
d. Sebelah Barat berbatas dengan Kelurahan Banjar XII dan Kecamatan
Bangko Pusako
No Dusun Jumlah RT dan RW
1 Dusun Terminal 7 RT dan 3 RW
2 Dusun Selamat 8 RT dan 2 RW
3 Dusun Pematang Punak 5 RT dan 2 RW
4 Dusun Pematang Padang 4 RT dan 2 RW
5 Dusun Pematang Muawan 4 RT dan 1 RW
Page 35
25
Jumlah penduduk di Desa Sidomulyo sebanyak 10.396 jiwa, sedangkan
penduduk yang di kategorikan miskin 3.302 jiwa (Data Jamkesmas). Mata
pencaharian sebagian penduduk adalah petani sedangkan hasil produksi ekonomis
Kepenghuluan yang menonjol adalah Karet dan Sawit.
Tabel II. Jumlah Penduduk Tiap Dusun
No Dusun
Jumlah
RT
Jumlah
RW
Jumlah Jiwa
Total Laki-Laki Perempuan
1 Terminal 7 3 681 644 1325
2 Selamat 8 2 1809 1588 3397
3 Pematang Punak 5 2 1280 1183 2463
4 Pematang Padang 4 2 760 651 1411
5 Pematang Muawan 4 1 959 841 1800
Jumlah 28 10 5489 4907 10396
Sumber: Data Umum Kepenghuluan
1. Sosial Ekonomi
Desa Sidomulyo sebagian besar masyarakatnya adalah beragama Islam,
mereka hidup rukun dan damai. Perbedaan suku, golongan dan agama tidak
menjadikan mereka sulit hidup rukun dan saling menghormati antar satu dengan
yang lain. Pada umumnya masyarakat desa Sidomulyo adalah bersuku Melayu,
dan sebagian penduduk lainnya terdiri dari suku Jawa, Batak, Minang dan Cina.
Page 36
26
Kemudian tingkat kemajuan suatu masyarakat dapat dilihat dari kondisi
perekonomian masyarakat tersebut. Untuk itu pengetahuan tentang kondisi
ekonomi sangatlah penting guna melihat tingkat kesejahteraan masyarakat dan
sekaligus mengetahui perkembangan pembangunan yang dilaksanakan. ditingkat
perekonomian, pembangunan yang dilakukan adalah merupakan salah satu usaha
penumbuhan dan memajukan serta meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Setelah itu pembangunan bertujuan untuk meratakan kesejahteraan hidup
masyarakat dalam upaya peningkatan perekonomian dengan melakukan berbagai
macam usaha dalam kehidupan sehari- hari.
Mata pencaharian sebagian penduduk desa Sidomulyo adalah petani
sedangkan hasil produksi ekonomis Desa yang menonjol adalah Karet dan Sawit.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang keadaan ekonomi penduduk, maka
dibawah ini akan dipaparkan ragam profesi dan dapat dilihat dalam tabel berikut
ini:
Tabel III. Mata Pencaharian Penduduk Desa Sidomulyo
No Mata Pencaharian Jumlah
1 PNS 40
2 TNI dan POLRI 55
3 Pensiunan 5
4 Petani di lahan Sendiri 340
5 Pedagang 131
Page 37
27
6 Buruh Bangunan 34
7 Tukang Kayu 6
8 Buruh Tani 232
9 Sopir 6
10 Tukang Ojek 2
11 Belum Bekerja 42
12 Tidak Bekerja 171
13 Lain-lain 280
Sumber: Data Umum Kepenghuluan
2. Kondisi Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu unsur yang penting dalam kehidupan
manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Dalam suatu
masyarakat tingkat pendidikan yang dimiliki itu sangat menentukan terhadap
lajunya pertumbuhan dan perkembangan dari pembangunan yang dilakukan
dengan pendidikan yang memedai dan individu akan menambah sumber daya
menusia merupakan hal yang penting dalam proses pembangunan, selain dari
sumber daya alam. Oleh karena itu sumber daya manusia sangat berperan dalam
menentukan langkah pembangunan yang dilakukan. Selanjutnya untuk
mengetahui tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masyarakat Kepenghuluan
Ujung Tanjung secara terperinci dapat diperhatikan pada tabel berikut ini:
Page 38
28
Tabel IV. Tingkat Pendidikan Masyarakat Sidomulyo
N
o Jenjang pendidikan Jumlah
1 Tidak Sekolah 128
2 Belum Tamat SD 452
3 Tidak Tamat SD 52
4 Tamat SD 1260
5 Tamat SLTP 560
6 Tamat SLTA 280
7 Tamat Akademi/ Perguruan Tinggi 84
Sumber : Data Umum Kepenghuluan
Adapun Sarana dan Prasarana Pendidikan di desa Sidomulyo terdapat di
beberapa dusun. Dengan rincinan :
Tabel IV. Sarana Prasarana Pendidikan
No Jenis Sarana dan Prasarana Jumlah Kondisi
1 TK/ RA 4 Kurang Baik
2 SD 7 Kurang Baik
3 SLTP/ MTs 3 Kurang Baik
4 SLTA 2 Kurang Baik
5 Ponpes 1 Kurang Baik
Sumber : Data Umum Kepenghuluan
Page 39
29
B. Ritual Tolak Bala Bulan Safar di Kab, Rokan Hilir
1. Pengertian Tradisi Ritual Tolak Bala Bulaan Safar
Tradisi berasal dari bahasa inggris Tradition yang berarti adat istiadat.26
Dalam kamus lengkap bahsa Indonesia adalah adat kebiasaan yang diturunkan
dari nenek moyang yang masih dijalankan oleh masyarakat.27
Tradisi juga
dikatakan penilain atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara
yang baik dan benar.28
Dari tiga demensi diatas dapat disimpulkan bahwa tradisi
itu adat kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyang yang dianggap benar dan
dijalankan oleh masyarakat.
Ritual atau ritus adalah serangkain kegiatan keagamaan yang dilaksanakan
terutama untuk tujuan simbolis.29
Sebagaimana dalam pelaksanaan tolak bala
bulan safar pada masyarakat jawa Desa Sidomulyo tidak sembarangan orang
dapat melakukan terkecuali orang yang benar-benar mengerti, karena pelaksanaan
melibatkan tokoh penting seperti tokoh agama atau ustadz yang ditugaskan
(membaca surat yasin, imam shalat dan doa tolak bala) dan dukun (memantrai
sesembahan untuk makhluk ghaib) yang merupakan tangkal tolak bala tersebut.
Para ilmuwan antropologi mendefenisikan ritual dengan pandangan berbeda,
menurut Gluckman ritual adalah katergori upacara yang lebih terbatas, tetapi
26
Yulius. S, Suryadi Baru Bahasa Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional, th), h.277. 27
Bambang Marhiyanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung: Media Center, th),
h.627.
28 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-4 (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008) h.1483.
29 http;//kamusbahasaindonesia.org/ritual/ritus.
Page 40
30
secara simbolis lebih kompleks karena ritual menyangkut urusan sosial sikologis
yang lebih dalam.30
Tolak Bala menyangkal bencana (bahaya penyakit dan sebagainya) dengan
mantra kenduri.31
Seperti halnya tolak bala yang bermaksud menolak kejadian-
kejadian yang tidak diinginkan. Contohnya berbagai bencana alam, wabah
penyakit, dan terhindar dari gangguan makhluk ghaib. Menolak bala tersebut
dilakukan dengan cara pengobatan kampung, yaitu ditujukan kepada makhluk
ghaib sebagai penolong, penolak segala yang buruk serta perisai kampung.
Masyarakat jawa merupakan suku asli yang ada di RT 025 RW 010. Desa
Pematang Muawan dan oleh masyarakat jawa dikenal dengan Sidomulyo tepatnya
daerah Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir, yang mendiami kawasan
tersebut dan mewarisi dari turun temurun tradisi pada masyarakat tersebut.
Kata safar berasal dari bahasa arab yaitu Shafar yang berarti kosong,
kuning, orang arab juga menyebutnya angka nol.32
Karena pada bulan itu semua
orang laki-laki arab dahulu pergi meninggalkan rumah untuk merantau, berniaga,
dan berperang, sehingga pemukiman merekan kosong dari orang laki-laki
kemudian menjadi sapar sesuai lidah masyarakat jawa. Sapar merupakan bulan
kedua pada tanggal islam (Hijriyah).
Pelaksanaan tradisi ritual tolak bala bualn safar merupakan adat istiadat bagi
masyarakat jawa Sidomulyo kec. Tanah Putih Kab. Rokan Hilir. Masyarakat
selalu melaksanakan ritual dengan serangkain acara yang telah disepakati
30
Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Local, (Ciputat: Logos, 2001), h. 133. 31
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka,
1985) h.1083. 32
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 2006), h. 1294.
Page 41
31
bersama-sama pada setiap tahunnya yang diyakini mampu menolak bala bencana,
musibah alam, penyakit-penyakit pada bulan safar dan juga penyakit yang akan
timbul jika pada tahun tersebut tidak diadakan Ritual Tolak Bala tersebut.
2. Pelaksanaan Ritual Tolak Bala
Prosesi pelaksanaan tradisi ritual tolak bala bulan safar masyarakat jawa
Sidomulyo yang dilaksanakan setiap tahunnya, Ritual ini merupakan suatu
bentuk upacara tradisional yang dilakukan dengan maksud untuk menghindari
marabahaya yang datang di bulan Safar. Disebutkan bahwa bulan Safar
merupakan kutub negatif. Orang tidak keluar rumah dan menghindari segala
kegiatan, untuk mengenang Nabi Muhammad SAW sakit. Hari itu juga
merupakan hari yang kurang baik menurut penanggalan pra-Islam. Ritual
tolak Bala Bulan Safar yang dilaksanakan sebagai media dakwah Islamisasi,
dengan berkembangnya zaman dan bertambahnya pengetahuan masyarakat.
untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagaimana pembahasan berikut ini:
a. Persiapan Tolak Bala Bulan Safar
Pada persiapan Tolak Bala Bulan Safar dimulai dengan rapat bersama.
Rapat bersama dipimpin oleh tokoh adat/pemuka masyarakat, mengadakan
perundingan tentang acara Tolak Bala Bulan Safar tersebut mencari titik temu
untuk mencapai kesepakantan bersama.
Persiapan itu terbentuk melalui kerja sama tokoh adat untuk merangkul dan
mengajak masyarakat agar mengadakan rapat dengan agenda mengadakan acara
Tolak Bala Bulan Safar yang dilaksanakan setiap tanggal 08 Desember tahun
Page 42
32
masehi. Rencana persiapan tolak Bala Bulan Safar ini agar nantinya lebih terarah
dan dapat dipertanggung jawabkan.33
Sebagaimana sugiono mengatakan tolak bala yang kan berlangsung perlu
ada persiapan matang. Mengingat acara ini banyak orang (masyarakat Desa
Sidomulyo), bukan hanya sekedar kepentingan para tokoh adat. Oleh karena itu
Tolak Bala Bulan Safar merupakan kepentingan bersama maka acara tersebut
dilaksanakan secara gotong royong. Gotong royong yang dimaksud masyarkat
Desa Sidomulyo adalah gotong royong dari segi tenaga maupun materi (berbentuk
uang). Tenaga yang diperlukan disini mengigat pada acara tolak bala perlu ada
tenaga kerja seperti masak-memasak, kemudian untuk memberi tahu kepada
masyarakat bahwa akan diadakan kenduri serta shalat tolak bala secara
berjama’ah dan menetukan imam khusus untuk pelaksanaan shalat juga khusus
tolak bala.34
Sedangkan dari segi materi pak jojo mengatakan untuk mencari bahan-
bahan pokok utama untuk memasak diperlukan uang. Oleh karena itu, pada
persiapan atau rencana Tolak Bala diadakan pembahasan anggaran yang
dibutuhkan.
b. Panitia Tolak Bala Bulan Safar
Panitia pelaksanaan dalam acara Tolak Bala Bulan Safar sangat penting
untuk dibentuk, karena secara tekniknya acara tersebut perlu kordinasi dalam
bidang perlengkapan. Dalam hal ini tentunya persiapan awal yang perlu dicari
33
Sugiono, (Tokoh Adat), Wawancara, Di Desa Sidomulyo, Oktober, 2018. 34
Miswan, Masyarakat yang Melaksanakan Tolak Bala Bulan Safar, Wawancara, Oktober
2018
Page 43
33
adalah dana, karena dana itu sendiri akan dipergunakan sepenuhnya oleh panitia
pelaksanaan dalam acara tolak bala.
Berhubungan dengan dana tersebut Irwan mengatakan bahwa anggaran dana
untuk tolak bala bulan safar ditentukan oleh panitia, namun ada juga warga yang
memberikan iuran lebih dan ada juga yang memberikan kurang. Ini dikarenakan
factor ekonomi kepala keluarga masing-masing. Walaupun tidak sesuai dengan
hasil musyawarah, namun tidak mempermasalahkan. Mengingat dari pengalaman
tahun yang lalu tidak pernah tekor dalam pelaksanaan acara Tolak Bala Bulan
Safar.35
Ismail mengatakan dari persepktif yang berbeda, dua atau satu hari sebelum
mengadakan acara kenduri, shalat tolak bala dan doa khusus tolak bala bulan
safar, para ibu-ibu menyumbangkan tenaga dalam hal masak-memasak dengan
membawa bumbu dapur seperti kunyit, jahe,bawang, lengkuas dan lain
sebagainya, sedangkan bapak-bapak ada yang membawa beras.
Berbicara tentang kenduri, masyarakat menggunakan kambing sebagai
persembahan dan merupakan menu utama, serta diukur berapa banyak kambing
yang dipersembahkan kepada makhluk ghaib, jika kambing satu ekor maka
tergolong kecil, dua ekor kambing tergolong besar, kemudian yang tergolong
besar lagi adalah sapi dan kerbau.
Melalui observasi penulis kenduri dalam rangka shadaqah tolak bala bulan
safar tersebut penyajian yang paling besar adalah sapi atau kerbau, hal ini dikaji
35
Irwan (Ketua Pemuda), Wawancara, Oktober, 2019.
Page 44
34
sesuai dengan harga per ekor kambing, sapi atau kerbau yang akhirnya sesuai
dengan kesepakatan masyarakat.
Pelaksanaan ritual tolak bala bulan safar yang berlangsung dengan khidmat
dan terstruktural juga, bukan hanya dari kalangan masyarakat jawa sidomulyo
yang melaksanakan shalat tolak bala, melainkan desa-desa lain yang telah
mendapat undangan resmi dan juga pemerintah daerah dalam hal ini MUI
kabupaten rohil, yang mana sebelum pelaksanaan shlat tolak bala disunahkan
shalat 2 raka’at, kemudian membaca istigfar bersama-sama sebanyak 3x dengan
lafadz sebagai berikut:
Astagfirullah ‘azhiim, alladzii laa ilaaha illa huwal hayyul qoyyuum, wa
atuubu ilaihi taubatan ‘abdin zhoolimin, laa yamliku linafsihii, dlorrow wa
laa nafa, wa laa mautaw walaa hayaataw wa laa nusyuuro.
“Saya memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung, Saya mengakui bahwa
tiada tuhan selain allah. Tuhan yang hidup terus dan berdiri dengan sendirinya,
saya mohon taubat selaku seorang hamba yang banyak berbuat dosa, yang tidak
mempunyaai daya upaya apa-apa untuk berbuat mudharat atau manfaat untuk
mati atau hidup maupun bangkit nanti.”
Setelah pelaksanaan shalat tolak bala maka pada pagi harinya masyarakat
melanjutkan dengan pencucian/pembersihan benda-benda yang digunakan dalam
bekerja, yang pada siang hari melaksanakan mandi safar sebelum shalat dzuhur
untuk bentuk pensucian diri, dapat dilaksanakan secara bersama-sama di sungai
atau dirumah masyarakat.
Page 45
35
Berawal dari kepercayaan akan kejadian di masa lalu dan banyaknya bala
yang turun pada bulan safar, maka beberapa ritual dilakukan untuk mengambil
hikmah dari pengalaman masa lalu sekaligus menghindari dari datangnya bala.
Ritual mandi safar yang dilakukan oleh masyarakat jawa Sidomulyo yang
merupakan salah satu cara untuk menghindari diri dari bala tersebut dan berakhir
menabur bunga disimpang jalan/perempatan jalan yang dianggap memiliki aura
ghaib.
c. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Tolak Bala Bulan Safar
Setelah diadakan musyawarah oleh masyarakat jawa desa Sidomulyo kec.
Tanah putih kab. Rokan Hilir maka didapatlah kesepakatan tersebut sebagaimana
pembahasan berikut ini:
a) Waktu
Pelaksanaan tolak bala bulan safar masyarakat jawa desa sidomulyo pada
tanggal 08 desember 2016, sapandi mengatakan bbahwa Tradisi Ritual
Tolak Bala Bulan Safar wajib dilakukan setiap tahunnya, karena sekali
dilaksanakan maka ia berhubungan dengan hutang, mengikuti
perjanjian atau membayar hutang harus tepat waaktu sesuai dengan
kesepakatan nenek moyang terdahulu. Jika hal tersebut diabaikan maka
bala tersebut secara tidak sadar akan menimpa kampung tersebut.36
Berbeda pandangan apa yang dikatakan Dewi, tolak bala bisa saja tidak
tepat waktu, semisal acra tersebut dipercepat dua atau tiga hari. Namun
tidak boleh melewati tanggal 08 Desember, hal ini dapat membahayakan
36
Sapandi, (Tokoh Adat), Wawancara, Didesa Sidomulyo, Oktober 2018
Page 46
36
masyarakat Jawa Sidomulyo. Bahaya yang dimaksud mengalami
beberapa gangguan seperti, penampakan jin, kerasukan jin, makhluk
halus, atau pun bencana alam.
Selain menempatkan tanggal hari dan bulan pelaksanaan Tolak Bala
Bulan Safar, waktu yang tepat dilaksanakan pada malam hari, karena
pada malam hari masyarakat Jawa Sidomulyo tidak ada kesibukan atau
berbagai macam aktivitas. Sesuai dengan pengamatan penelitian bahwa
Ritual Tolak Bala Bulan Safar dilakukan setelah shlat magrib sekitar
pukul 19:00 WIB sampai selesai (pelaksanaan kenduri, zikir dan shalat
tolak bala) yang sebelumnya dilaksanakan shalat hajat sebagai pengantar
shalat Tolak Bala.
b) Tempat
Tempat dimaksud merupakan tempat dimana sebaiknya diadakan Ritual
Tolak Bala untuk menentukan tempat atau rumah ditetapkan musyawarah
bersama pemuka masyarakat, tokoh masyarakat, dan masyarakat di Desa
Sidomulyo.
Maka pelaksanaan shalat tolak bala yaitu dilakukan dimasjid atau
lapangan. Acara kenduri makan bersama sebagai ungkaapan shadaqah
dapat dilakukan dirumah-rumah masyarakat dan dilapangan dengan
menu makanan yang dimasak secara bergotong-royong, baik dari segi
iuran uang, beras, daging, mie, telor, dan sayur-sayuran yang dapat
tumbuh ditanah masyarakat jawa desa sidomulyo.
Page 47
37
d. Tata Cara Ritual Tolak Bala
Bagi orang yang melaksanakan shalat tolak bala disunahkan terlebih dahulu
melaksanakan shalat taubat 2 rakaat, kemudian shalat Tolak Bala. Adapun tata
cara pelaksanaan shalat tolak bala bedasarkan informasi yang saya dapat dari toko
adat masyarakat Jawa seperti shalat sunah pada umumnya, hanya saja dalam
pelaksanaannya ada perbedaan pada ayat yang harus di baca setelah surah Al-
Fatihah, selanjutnya niatny yaitu “Usholli sunnatal lidaf'il bala'i rok'ataini Lillahi
Ta'ala” dilaksanakan sebanyak 4 raka’at satu kali salam atau 2 kali salam dan
pada setiap raka’at setelah membaca surat Al-Fatihah dilanjutkan dengan
membaca surat Al-Kautsar 17 kali, surat Al-Ikhlas 5 kali, surat Al-Falaq 3 kali
dan surat An-Nas 1 kali, setelah selesai shalat dilanjutkan membaca Do’a Tolak
Bala, maka akan terbebas dari semua malapetaka dan bencana yang sangat
dahsyat tersebut, ada pun doa tolak bala sebagai berikut:
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dengan kalimat-Mu yang sempurna dari
angin merah dan penyakit yang besar di jiwa, daging, tulang dan urat. Maha Suci
Engkau apabila memutuskan sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "jadilah"
maka "jadilah ia".
Setelah pelaksanaan shalat tolak bala yang dapat dilaksanakan di tempat
terbuka atau bahkan di suatu gedung/ masjid, kemudian diadakan kenduri yang
dimulai dengan membaca Al-Fatihah, Istighfar, membaca Shalawat Nabi,
membaca Tahlil dan diakhiri dengan Do’a. Setelah itu mereka itu kemudian
mereka minum dan makan makanan khas dalam tradisi kenduri yaitu tumpeng.
Page 48
38
3. Simbol Tradisi Ritual Tolak Bala Bulan Safar
Simbol adalah lambang, tanda yang mengandung suatu makna. Makna yang
mengungkapkannya adalah mewakili suatu pengertian yang abstrak, luas dan
bersifat universal, baik dalam kondisi baik buruk. Simbol dapat dilihat pada
hidangan kenduri tolak bala sebelum shalat tolak bala yaitu tumpeng. Tumpeng
bagian bawah melambangkan masyarakat biasa atau raktyat, tumpeng bagian atas
melambangkan pemimpin tertinggi masyarakat atau bermakna tentang keagungan
tuhan, merupakan suatu ritual yang dilakukan agar terhindar dari marabayaha dan
penyakit dari Allah SWT.
Adapun sesajen pelengkap yaitu nasi ambangan, bubur merah, hijau dan
putih, jajan pasar, ingkungan, pisang ayu, nasi buceng, gula kaung, kopi manis,
kopi pahit, air teh, air putih, yanag dibawa masing-masing masyarakat.
Selanjutnya ada juga pulut kuning sebagai persembahan makhluk ghaib
sebagaimana manusia menyantap nasi dan hewan persembahan yang merupakan
sajian makanan, yang dihidangkan meliputi kepala hewan, isi perut dan bagian
daging tertentu.
Page 49
39
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN MENIKAH PADA
RABU AKHIR BULAN SAFAR
A. Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Larangan Menikah Pada Rabu
Akhir Bulan Safar.
1.Persepsi
Sejak individu dilahirkan, sejak itu pula individu secara langsung berhubungan
dengan dunia luar. Individu secara langsung menerima stimulus atau rangsangan dari
luar, di samping dari dalam dirinya sendiri. Individu mengenali dunia dengan
menggunakan alat inderanya. Melalui stimulus yang diterimanya, individu akan
mengalami persepsi. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh
pengindraan, yaitu merupakan proses berwujud diterimanya stimulus oleh individu
melalui alat resoptornya. Stimulus yang diteruskan kepusat susunan syaraf yaitu otak
dan terjadilah proses psikologis, sehingga individu mengalami persepsi. Ada
beberapa syarat terjadinya persepsi yaitu, adanya obyek persepsi, alat indra atau
reseptor yang merupakan alat untuk menerima stimulus dan adanya perhatian.
Page 50
40
a. Pengertian Persepsi
Membahas istilah persepsi akan banyak dijumpai batasan atau defenisi secara
etimologi persepsi diartikan tanggapan (penerimaan) langsung dari suatu serapan dan
atau proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui indranya.1
Tentang persepsi yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain oleh Jalaluddin
Rahmat (2003:51) mengemukakan pendapatnya bahwa persepsi adalah pengalaman
tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi setiap individu dapat
sangat berbeda walaupun yang diamati benar-benar sama. Hal ini menurut Krech dkk,
karena setiap individu dalam menghayati atau mengamati suatu obyek sesuai dengan
berbagai factor yang ditermanan berkaitan dengan invidu tersebut. Ada empat faktor
yang diterminan yang berkaitan dengan persepsi seseorang individu yaitu, lingkungan
fisik dan sosial, strukturnya jasmaniyah, kebutuhan dan tujuan hidup dan pengalaman
masa lampau.
Menurut Sedideranti persepsi adalah penafsiran suatu obyek, pristiwa atau
suatu informasi yang dilandasi oleh pengalaman hidup seseorang yang melakukan
penafsiran itu. Dengan demikian dapat dikatakan juga bahwa persepsi adalah hasil
pemikiran seseorang dari situasi tertentu. Dari beberapa pengertian diatas dapat
1 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai
Pustaka. 1997), h. 759.
Page 51
41
dijelaskan bahwa persepsi adalah kecakapan untuk melihat, memahami, kemudian
menafsirkan suatu stimulus sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan
menghasilkan penafsiran. Selain itu persepsi merupakan pengalaman terdahulu yang
sering muncul dan menjadi suatu kebiasaan.
Hal tersebut dibarengi adanya pernyataan popular bahwa “manusia adalah
korban kebiasaan” karena 90% dari pengalaman sensoris merupakan hal yang sehari-
hari dipersepsi dengan kebiasaaan yang didasarkan pada pengalaman terdahulu yang
diulang-ulang. Sehingga mempersepsi situasi sekarang tidak lepas dari adanya
stimulus terdahulu. Berbagai batasan tentang persepsi diatas, dapat dijelaskan bahwa
persepsi adalah sebagai proses mental pada individu dalam usahanya mengenal
sesuatu yang meliputi aktivitas mengolah suatu stimulasi yang ditangkap indera dari
suatu obyek, sehingga didapat pengertian dan pemahaman tentang stimulasi tersebut.
Persepsi merupakan dinamika yang terjadi dalam diri individu disaat ia menerima
stimulus dari lingkunganny. Proses persepsi invidu akan mengadakan penyeleksian
apakah stimulus itu berguna atau tidak baginya, serta menentukan apa yang terbaik
untuk dilakukan.
b. Factor –faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Persepsi seseorang terhadap suatu obyek yang sama, dapat melahirkan teggapan
berbeda, secara umum dapat dikatakan ada tiga factor yang mempengaruhi persepsi
seseorang:
Pertama, diri orang yang bersangkutan. Apabila seseorang melihat sesuatu dan
berusaha memberikan interpertasi tentang apa yang dilihatnya, ia dipengaruhi oleh
Page 52
42
karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti motif, sikap, kepentingan,
pengalaman dan harapan. Motif sudah barang tentu berkaitan dengan pemuasan
kebutuhan dan intensitas motif itu dipengaruhi oleh mendesak tidaknya pemuasan
kebutuhan tersebut. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda terhadap sesuatu
karena motif pemuasan kebutuhan juga berbeda. Kepentingan seseorang pun biasanya
akan mempengaruhi persepsinya. Pengalaman turut mempengaruhi persepsi
seseorang. Hal-hal tersebut yang sudah berulang kali dialami seseorang akan
dipandang dengan cara yang berbeda dari cara pandang orang lain yang belum pernah
mengalami.
Berkaitan dengan harapan seseorang pun turut mempengaruhi persepsinya,
bahkan harapan itu begitu mewarnai persepsi seseorang hingga apa yang
sesungguhnya ia lihat sering di interpretasikan lain supaya sesuai dengan apa yang
diharapkannya 2.
Kedua, yang dikemukakan adalah mengenai sasaran persepsi tersebut. Sasaran
itu mungkin berupa orang, benda atau peristiwa, sifat-sifat sasaran itu biasanya
berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya, dengan kata lain, gerakan,
suara, ukuran, tindak tanduk dan ciri-ciri lain dari sasaran persepsi turut menetukan
cara pandang orang melihatnya.
2 Sondang P. Siagian, Teori Motivasi dan Aplikasinya, (Jakarta:Reneka Cipta, 1995), h. 102.
Page 53
43
Ketiga, adalah factor stiuasi, persepsi harus secara kontekstual yang berarti
dalam situasi mana persepsi itu timbul perlu pula mendapat perhatian, situasi
merupakan faktor yang turut berperan dalam penumbuhan persepsi seseorang 3.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang
mempengaruhi persepsi seseorang sangat tergantung pada aspek kepribadian, seperti
sikap, motif, kepentingan, minat, harapan dan sebagainya disamping factor situasi
dan sasaran persepsi. Sesuai dengan hakikat manusia sebagai akhluk terjadinya
perbedaan persepsinya merupakan hal yang wajar.
Sehingga penulis dapat melihat sudah banyak terjadi, perubahan bahkan
mengalami peningkatan dalam ritual tolak bala bulan safar, setelah menggunakan
masjid yang besar/ lapangan yang luas yang diikuti secara beramai-ramai.
Perubahan ritual tolak bala ini karena pemikiran masyarakat jawa sidomulyo
yang semakin berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Selain itu juga
didukung oleh pejabat pemerintah dan persatuan pemuda pemudi jawa untuk
melestarikan kebudayaan yang sudah ada sejak lama. Karena apabila ritual tolan bala
bulan safar ini hilang dan hangus dari kebudayaan maka dikhawatirkan akan terjadi
malapetaka, dan bencana ditengah-tengah masyarakat.
Sehingga dengan adanya perubahan ritual tolak bala bulan safar bertujuan untuk
menarik minat para masyarakat dan pengunjung pelaksanaan ritual tersebut, tanpa
adanya perubahan tentu hanya sedikit sekali minat masyarakat dan para pengunjung.
3 Ibid, h.105.
Page 54
44
Satu hal menarik adalah melihat bagaimana perayaan-perayaan Islam
menumpangi perayaan-perayaan yang terkait dengan ritme tahun matahari, dan
sedikit demi sedikit menggesernya menjadi sesuai dengan tahun hijriyah. Bulan
pertama (muharram) di Jawa dinamakan Suro, terhubung dengan bulan keduanya
dalam kelendar Jawa yaitu bulan safar dan ada ritual yang harus dihubungkan dengan
satu pihak dengan perayaan kesuburan zaman Pra-Islam. Artinya sejarah mengatakan
bahwa saat Islam datang dan masuk ke dalam budaya Jawa, Islam sendiri tidak
menghapus tetapi menumpangi sehingga tidak menggeser kebudayaan di Jawa. Dan
mungkin inilah salah satunya ritual yang mungkin dimana perayaan ini dibawa dari
luar Jawa tanpa menggeser kebudayaan di Jawa. Sehingga ritual ini masih diterima
dan dijalankan oleh masyarakat muslim Jawa di Sidomulyo. Karena memang sejak
awal dipercaya bahwa hari itu akan diturunkan marabahaya sehingga umat islam di
Desa ini berbondong-bondong bagaimana cara menanggulanginya. Oleh karena itu,
masyarakat di Desa Sidomulyo tidak berani melaksanakan penikahan pada Bulan ini,
dalam hal ini masyarakat di Desa ini dianjurkan untuk berdoa dan memperbanyak
amalan shalat sunnah disetiap waktunya. Tidak hanya di bulan safar saja, namun juga
dibulan-bulan yang lain, sebab melalui Doa lah takdir Allah dapat diubah.
Selain adanya larangan menikah pada Rabu Bulan Safar mereka juga
melaksanakan Ritual Tolak Bala yang di selenggarakan oleh masyarakat Desa
Sidomulyo setiap tahun sekali yang sudah merupakan warisan leluhur yang harus
dilestarikan, adapun fungsinya sebagai berikut:
Page 55
45
1. Ungkapan Rasa Syukur
Masyarakat desa Sidomulyo melaksankan trdisi ritual tolak bala nulan safar
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, karena masih diberikan
kesempatan dan kesehatan untuk melaksanakan kembali ritual tolak bala pada
tahunkedepannya, tokoh masyarakat, tokoh adat yang senantiasa menjaga keamanan
kampong dari gangguan makhluk ghaib, pemuka masyarakat dan masyarakat yang
menjaga larang pantang.
2. Media Silaturahmi
Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan komunikasi dengan
orang lain. Komunikas itu juga terjadi saat tradisi ritual tolak bala bulan safar, karena
pada saat inilah mereka dapat berkumpul satu sehingga dalam ritual tersebut
dijadikan ajang silaturahmi, kamunikasi dapat dijadikan sarana suapaya hubungan
mereke tetap harmonis, dan mempererat tali persaudaraan kekeluargaan atau
masyarakat, serta untuk memperkuat kepercayaan arti pentingnya kebudayaan yang
ada di Indonesia khususnya tradisi ritual tolak bala bulan safar di Desa Sidomulyo
Kab. Rokan Hilir.
3. Sarana Integritas Social
Apabila dikaitkan bahwa suatu kebudayaan merupakan suatu integritasi, bahwa
yag dimaksud adalah unsur-unsur atau sifat yang terpadu menjadi suatu kebudayaan
bukanlah suatu kebiasaan yang berkumpul secara acak-acakan saja.
Page 56
46
4. Membangkitkan Solidaritas
Sikap solidaritas ditunjukan masyarakat sidomulyo dalam mensukseskan acara
tradisi ritual tolak bala bulan safar. Berbagai macam kegiatan yang dilaksanakan
dalam membuat persiapan kenduri tolak bala baik dalam hal masak-memasak,
mempersiapkan bahan-bahan pokok, mencari hewan persembahan yang akan
digunakan untuk persembahan kepada makhluk ghaib yang sesuai dengan kriteria
yang sehat, kuat, tidak cacat seprti mana ketika seseorang ingin melaksanakan aqiqah
anaknya namun berbuda waktu pelaksanaanya.
Sikap solidaritas tidak hanya dikalangan tokoh adat, pemuka masyarakat saja,
namun dari semua golongan lapisan masyarakat yang berbondong-bondong seprti
bapak-bapak, ibu-ibu, dan pemuda pemudi. Peneliti melihat bukan hanya sumbangan
tenaga, sumbangan berupa bahan pokok begitu juga sumbangan terhadap uang 4.
Fungsionalisme budaya terkait dengan sifat dasar budaya manusia. Sifat-sifat
dasar ini merupakan realita budaya yang sulit ditinggalkan oleh masyarakat
pendukungnya. Karena untuk memenuhi kehidupan manusia harus memerlukan
organisasi yang dapat menciptakan kebudayaan tertentu. Organisasi tersebut sering
disebut dengan intuisi. Monsep ini mengaplikasikan serangkaian nilai tradisional,
sehingga umat manusia bersatu menjadi komunitas budaya 5.
Tradsi ritual tolak bala mempunyai dampak positif sehingga masih dilestarikan
sampai sekarang pada zaman globalisasi ini masyarakat menyadari bahwa banyak
4 Tengku Dewi Angriani, Wawancara, Desa Sidomulyo, oktober 2018
5 Suwardi Endrawan, Metode Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2003), h. 101.
Page 57
47
sekali pengaruh berasal dari luar. Oleh karena itu, perubahan zaman sangat
mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam menilai kebudayaan yang pesat akan
pengaruh pola piker masyarakat.
Kebudayaan oleh masyarakat pendukungnya sering diartikan sebagai tradisi,
norma dan adat istiadat. Tradisi bukan lah sesuatu yang dapat diubah semuanya,
tetapi dapat digabungkan dengan berbagai macam perbuatan manusia. Oleh karena
itu, boleh menolak atau mengubah sesuai dengan perkembangan zaman agar ritual
tolak bala ini dapat diterima oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Larangan Menikah Pada Rabu Bulan
Safar Di Desa Sidomulyo.
1. Muncul nya Larangan Menikah pada Rabu Akhir Bulan Safar.
Pernikahan merupakan upacara adat Jawa yang mempunyai tempat yang sangat
sakral dan dipatuhi dalam tata kehidupan masyarakat setempat. Hal ini disebabkan
sifat masyarakat yang begitu kuat memegang tradisi dan kepercayaan mereka
terhadap suatu hal-hal yang akan terjadi dan tidak diingin kan ketika akan melakukan
sesuatu yang berkaitan dengan nikah, sehingga mereka takut untuk meninggalkan
suatu tradisi yang sudah ada sejak nenek moyang itu.
Pedoman yang digunakan masyarakat desa Sidomulyo sebelum melaksanakan
pernikahan yaitu dengan menghitung Neptu Hari, Neptu Bulan dan Neptu Tahun apa
yang paling baik untuk melaksanakan pernikahan. Di dalam peundingan itu dilakukan
dua belah pihak keluarga dan seorang ketua adat yang mengetahui cara menghitung
neptu yang baik untuk melaksanakan pernikahan.
Page 58
48
Semenjak zaman dahulu diberbagai negeri dan bangsa terdapat anggapan atau
kepercayaan bahwa hari bulan atau persoaalan tertentu tidak baik untuk
melangsungkan pernikahan. Kalau hari atau saat yang dikatakan tidak baik atau tidak
cocok itu hubungan nya dengan keberadaan rohani dan jasmani kedua mempelai yang
bersangkutan contohnya mereka sedang sakit atau mempelai wanitanya sedang dapat
haid, maka hal itu memang masuk akal dan bisa dipikirkan sebab musyababnya.
Akan tetapi anggapan itu hampir semuanya berdasarkan tahayul belaka dan tidak ada
dasar sama sekali.
Sama halnya dengan Tradisi ritual tolak bala bulan safar yang dilaksanakan
dikalangan masyarakat Desa Sidomulyo yang dimana pada hari rabu akhir bulan safar
dilarang melakukan aktivitas sehari-hari termasuk didalam nya larangan pernikahan
yang dianggap tidak baik dilakukan pada hari tersebut.
Berdasarkan wawancara yang disampaikan Bapak Sapandi mengatakan bahwa:
itu larangan, menikah pada bulan safar tidak diperbolehkan karena hal itu sesuai
dengan perimbon jawa. Orang yang mau menikah itu dihitung, calon laki-laki
lahirnya apa dihitung dulu, dan calon perempuan lahirnya apa dihitung juga.
Hitungnya menggunakan hitungan jawa karena disini masyarakat jawa, bulan safar
itu mendatangkan musibah, menurunkan penyakit, maka dari itu tidak boleh menikah
pada bulan tersebut. Menepati rumah baru ya tidak boleh, menikah juga tidak boleh,
Page 59
49
menyebabkan musibah. Memang sangat adil orang jawa, seumpama dilanggar, orang
itu akan sakit-sakitan, meskipun sembuh pun mencari pekerjaannya susah.6
Bapak sugiono juga mengatakan sebagai berikut: kalau asal usulnya saya juga
tidak tahu, tetapi itu merukan pesan dari orang-orang tua terdahulu. Bulan safar itu
bulan yang panas. Atap rumah ada yang jatuh aja tidak berani membenahinya jika
pada rabu akhir bulan safar. Bulan safar itu jangan menikah, bisa mengakibatkan
pertengkaran, suasana keluarga menjadi panas. Jika ada orang yang memaksa
menikah pada rabu akhir bulan safar, ya biar aja ditanggung sendiri akibatnya apabila
ada musibah. Karena itu sudah kepercayaan masyarakat jawa.7
Jelas dinyatakan bahwa larangan menikah pada rabu akhir bulan safar
merupakan peninggalan dari orang-orang terdahulu, bulan safar adalah bulan yang
panas. Jika ada orang yang memaksakan menikah pada bulan safar biasanya keluarga
tersebut suasananya menjadi panas. Banyak pertikaian atau pertengkaran yang terjadi
terhadap rumah tangganya. Meski orang tersebut percaya apa tidak dengan larangan
tersebut. Memang dalam ajaran agama islam larangan tersebut tidak ada tapi itu
merupakan ajaran orang jawa yang dipercayai dan dijalankan sampai saat ini.
Seperti yang disampai kan bapak Abdul Khalid menjelaskan bahwa asal-usul
adanya larangan menikah pada bulan safar merupakan budaya dari orang jawa.
Budaya peninggalan kerajaan majapajit yang menjadi sebab munculnya larangan
tersebut. Adanya pandangan bulan atau hari tidak baik tersebut karena faktor-faktor
6 Sapandi, (Tokoh Adat), Wawancara, Di Desa Sidomulyo, Oktober 2018 7 Sugiono, (Tokoh Adat), Wawancara, Di Desa Sidomulyo, Oktober 2018
Page 60
50
budaya bukan dari agama islam, karena tidak ada didalam Al-Quran dan Hadis,
didalam agama islam semua bulan dan hari itu baik, islam tidak membeda-bedakan
adanya bulan yang baik atau bulan yang sial.8
Sedangkan dalam aturan pemerintah juga tidak ada larangan manikah pada
bulan-bulan tertentu. Masyarakat yang ingin melakukan pernikahan pada bulan
apapun boleh. Akan tetapi pemerintah hanya membatasi usia pernikahan nya saja.
Jika salah satu calon pengantin usianya tidak mencukupi atau masih kurang
sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka
diharuskan sidang terlebih dahulu ke Pengadilan Agama
Begitu juga dengan pernyataan bapak Ibrahim bahwa pandangan tersebut
merupakan kejawen, istilah nya itu adat. Bukan kaitannya dengan agama. Berkaitan
dengan adat itu mengental kepada kejawennya, akhirnya orang terdahulu dengan
orang sekarang itu patuh terhadap apa yang dilakukan orang tua, diikuti dan
dilaksanakan. Tetapi itu semua bisa dipercaya atau tidak. Karena secara hadis
maupun dalil tidak ada, hanya cerita orang-orang terdahulu.9
Di ungkapkan bahwa larangan menikah pada bulan safar merupakan hukum
adat, yang berasal dari kejawen, kejawen sendiri merupakan golongan orang-orang
yang kental dengan adat jawa, fanatik dengan adat jawa. Mereka masih memegang
erat ajaran-ajaran jawa yang merupakan peninggalan nenek moyang mereka. Meraka
8 Abdul Khalid, (Tokoh Agama) Wawancara, Di Desa Sidomulyo, Oktober 2018.
9 Ibrahim, (Tokoh Agama) Wawancara, Di Desa Sidomulyo, Oktober 2018.
Page 61
51
hanya ingin patuh, taat kepada orang tua terdahulu, yakni dengan cara mematuhi apa
yang dikatakan dan apa yang dilarang.
Dalam Al-Quran maupun Hadist memang tidak ada larangan menikah pada
bulan safar. Larangan tersebut adalah hukum adat, kebiasaan yang dilakukan secara
terus-menerus oleh masyarakat Didesa Sidomulyo. Adat yang bisa dijadikan hukum
tentuya adat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Apalagi jika dilihat kondisi
masyarakat Desa Sidomulyo yang 100% adalah muslim, sudah menjadi keharusan
adat-adat yang dianut harus sejalan dengan ajaran Islam.
Dari sisi kekuatan hukum, kebenaran hukum adat tersebut masih belum pasti.
Bisa saja adat tersebut cocok dan juga bisa tidak cocok, bebeda dengan hukum atau
aturan yang sudah termuat dalam Al-Quran dan Hadist, yang merupakan aturan dari
Allah dan kebenarannya sudah pasti, tidak bisa dibantah lagi.
Berbeda dengan paparan dari bapak Mulyadi, beliau mengatakan bahwa
larangan tersebut tidak secara tertulis hanya secara adat, yang secara adat itu
bertetapan, orang dari pada menepati bulan tersebut lebih baik menghindari.
Sedangkan disini saya juga tidak terlalu paham dengan perhitungan jawa. Yang jelas
perhitungan jawa itu bulan-bulan yang dihindari untuk melakukan pernikahan adalah
Dzulqo‟dah, Shafar, selebihnya masih berani. Seperti bulan Muharram masih berani,
Rabi‟ul Awal, Rabi‟ul Tsani, dan lain-lain. Tetapi larangan yang sampai
menimbulkan akibat saya sendiri juga belum terlalu paham. Seumpama itu larangan
dilanggar bagaimana? Padahal yang pernah saya baca perhitungan seperti itu, ketika
pada perhitungan itu ada istilah na’as (tidak beruntung). Na’as nya bulan itu ada,
Page 62
52
na’as hari juga juga ada. Larangan menikah pada bulan kalau dilihat dari sejarah
zaman dahulu, merupakan peninggalan orang Hindu-Budha. Itu istilahnya
perhitungan orang jawa, atau sebutan fanatik nya kejawen. Larangan tersebut muncul
dari kepercayaan, perhitungan orang jawa. Orang berumah tangga itu ingin hidup
enak, tidak ingin mendapat halangan. Tata caranya bermacam-macam, kalau orang itu
kejawen memakai metode perhitungan. Ada orang jawa yang tidak mengerti, ya tidak
menggunakan perhitungan. Tetapi kalau terlepas dari perhitungan terebut,
kelihatannya sudah diketahui oleh masyarakat umum.10
Berdasarkan paparan diatas laranga menikah pada bulan safar berasal dari
peninggalan orang Hindu-Budha, sebutan fanatiknya adalah kejawen. Larangan
tersebut muncul dari kepercayaan, yang merupakan perhitungan orang jawa. Orang
menikah tentunya tidak ingin mendapakan halangan atau musibah. Untuk
menghindari musibah atau hal-hal yang tidak di inginkan, maka orang jawa
menggunkan metode perhitungan, kebetulan hasil dari perhitungan tersebut tidak
diperbolehkan menikah pada bulan Safar.
Kehadiran aturan larang menikah pada bulan safar sejak kapan tidak ada yang
mengetahui. Nyaris semua masyarakat tidak mengetahui sejak kapan diberlakukan
dan menjadi keyakinan bersama masyarkat Desa Sidomulyo Kabupaten Rokan Hilir.
Bahkan beberapa tokoh agama maupun masyarakat tidak ada yang mengetahui secara
spesifik kapan lahirnya aturan tersebut. Generasi saat ini lahir dan menjadi pewaris
10
Mulyadi, (Masyarakat) Wawancara, Di Desa Sidomulyo, Oktober 2018.
Page 63
53
tradisi larangan tersebut. Menjalankan apa yang diwariskan oleh nenek moyang
mereka.
Masyarakat jawa di Desa Sidomulyo masih kuat dengan paham anismisme
yang mempercayai akan roh-roh yang semacam makhluk ghaib/halus yang
mempunyai kehendak sendiri. Roh tersebut memiliki kekuatan dahsyat, sehingga
kalau marah bisa membahayakan manusia dan kalau gembira bisa menguntungkan
manusia. Maka orang-orang permitif selalu menjaga hubungan baik dengan roh-roh
dengan memberikan sesaji ditempat-tempat yang dianggap keramat memiliki
kekuatan ghaib dan dipersimpangan jalan kampung.
Dalam proses perubahan dalam kebudayaan ada unsur-unsur kebudayaan yang
mudah berubah dan ada yang sulit untuk diubah. Wujud yang mudah diubah seperti
benda-benda hasil seni budaya, alat-alat maupun bangunan. Sedangkan kebudayaan
yang sulit berubah antara lain: keyakinan agama, adat istiadat dan sistem nilai
budaya.
Perubahan-perubahan diatas itulah yang dapat mengubah pola pikir masyarakat
dalam memandang sebuah kebiasaan atau tradisi. Masyarakat jawa merupakan suatu
kesatuan masyarakat yang terikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi,
maupun agama.11
Salah satu sifat dari masyarakat jawa adalah bertuhan. Masyarakat jawa sejak
masa pra-islam telah memiliki kepercayaan sendiri, yaitu kepercayaan animisme,
11
Sri suhandjati, “Dinamika Nilai Jawa Dan Tantangan Moderisme”, dalam M. Darori Amin,
Islam Dan Kebudayaan Jawa (Yoyakarta: Gama Media, 2002), h. 285-286.
Page 64
54
yang berarti kepercayaan adanya roh-roh atau jiwa pada benda-benda, hewan bahkan
pada manusia sendiri. Kepercayaan itu merupakan agama mereka yang pertama.
Semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan ghaib atau memiliki
roh yang berwatak baik dan buruk.12
Dengan kepercayaan seperti itu mereka beranggapan bahwa disamping semua
roh yang sudah ada, terdapat roh yang lebih berkuasa dibandingikan dengan manusia
untuk menghindari dari toh tersebut, maka mereka memuja nya dengan jalan
mengadakan ritual disertai dengan permberian sesaji.13
Pelaksanaan ritual dilakukan
oleh masyarakat jawa supaya keluarga terhindar dari roh jahat dan hidup dengan baik
tanpa ada ganguan dari roh jahat tersebut.
Dikalangan masyarakat terdapat kepercayaan bahwa suatu peristiwa alam
berkaitan dengan alam semesta, lingkungan social dan spiritual manusia. Mereka
berpikir agar memiliki hubungan yang harmonis antara manusia denga yang ghaib.
Untuk itu perlu diadakan upacara ritual sebagai persembahan kepada yang ghaib, agar
senantiasa diberi kesehatan dan keselamatan.14
Adanya kepercayaan terhadap makhluk ghaib yang baik dan jahat, adanya
bencana berbagai macam penyakit, karena lambat mengadakan ritual tolak bala.
Disamping itu, masyarakat merasa takut kepada makhluk ghaib, karena ada perjanjian
atau hutang yang perlu dibayar, jika tidak dilaksanakan takut makhluk ghaib akan
murka dan mendatangkan bencana.
12
Sinuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngahbehi Ranggawarista, (Jakarta: UI Press, 1990), h.2. 13
Ibid, h 4-6. 14
Fitc, R, B. Tjiri-Tjiri Dan Alam Hidup Manusia (Bandung: Sumur, 1963), cet IV, h, 167.
Page 65
55
Pelaksanaan penyembelihan hewan untuk makhluk ghaib dan pemberian sesaji
sudah lama dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat jawa Sidomulyo yang diyakini
untuk melindungi diri dari serangan jin, syaitan, penyakit, kecelakaan dan bencana.
Dengan mengadakan Tradisi Ritual Tolak Bala Bulan Safar masyarakat jawa telah
menyediakan penangkal sebagai symbol untuk perlindungan.
Dalam sebuah hadist diriwayatkan Abdullah Bin Mas‟ud r.a, Rasullalah SAW
mengisyaratkan tentang azimat, penangkal dan hukumnya. Kata Ibnu Mas‟ud: aku
telah mendengar Rasullalah SAW bersabda:
“sesungguhnya jampa-jampi, azimat-azimat dan guna-guna adalah syitik.” (HR.
Imam Abu Daud dan Imam Ahmad).15
Selama ini masyarakat menyakini dengan dilaksanakan ritual tolak bala bulan
safar dapat menghindari dari menolak bencana dan mendatangkan manfaat, juga
dianggap melindungi setiap rumah dan seisinya dengan meminum air suci dan mandi
safar. Selain itu pula dengan memasang sesajen yang dipersembahkan kepada
makhluk ghaib sebagai pelindung dari marabahaya, padahal itu adalah perbuatan
syirik.
Termasuk syirik adalah keyakinan bahwa manfaat atau kesembuhan dapat
diperoleh dari benda-benda, persembahan, dan ritual-ritual yang tidak pernah
dijadikan oleh Allah sebagai sebab untuk mendapatkannya. Seperti keyakinan
15
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud (Semarang: Toha Putra,2003), Juz II, h. 35. Imam Ahmd,
Musnad Imam Ahmad, (Semarang: Toha Putra,2003), juz I, H. 381.
Page 66
56
terhadap persembahan hewan, sesajen, mandi dengan air suci sebagai penolak
marabahaya, dan shalat tolak bala dengan ketentuan dan syarat tertentu.
Selain itu juga masyarakat jawa menyakini larangan berpegian pada hari-hari
tertentu yan dapat mendatangkan bahya, kesialan dan sebagainya, hal ini diyakini
berdasarkan primbon jawa dari nenek moyang yang turun temurun.
Al-imam Ibnu Hajar pernah ditanya tentang bagaimana tentang status adanya
hari nahas yang oleh sebagian orang dipercaya, sehingga mereka berpaling dari hari
itu atau menghidarkan suatu perkerjaan karena dianggap hari itu penuh dengan
kesialan.
Beliau menjawab jika ada orang yang mempercayai adanya hari nahas (sial)
dengan tujuan mengharuskan untuk berpaling darinya atau menghindari suatu
pekerjaan pada hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka
sesungguhnya yang demikian itu termasuk tradisi kaum yahudi dan bukan Sunah
kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada Allah SWT dan tidak berperasangka
buruk kepada Allah SWT.
Bagi sebagian masyarkat Desa Sidomulyo Kabupaten Rokan Hilir
mempercayai manikah pada rabu akhir bulan Safar merupakan hal yang dilarang.
Meski tidak ada aturan secara tertulis, perspektuf masyarakat tentang aturan tersebut
telah ada jauh sebelum generasi saat ini. Sehingga, kehadiran aturan tersebut
memiliki sisi tautan historis yang panjang dan mengikat seluruh masyarakat Desa
Sidomulyo Kabupaten Rokan Hilir.
Page 67
57
Adat merupakan sebuah produk manusia yang mengalami perkembangan
selaras dengan ruang dan waktu. Antara satu ruang dangan ruang yang lain mamilik
motif dan krakter yang berbeda, sehingga sefat adat tersebut menyelaraskan ruang
dan waktu. Lebih jauh, adat merupakan produk manusia yang terus diuji oleh waktu,
terlebih saat ini adalah era globalisasi. Dalam era ini, nilai-nilai local secara lambat
laun mengalami luntur oleh nilai global tersebut.
Meski demikian, bagi sebagian besar masyarakat Desa Sidomulyo
mempertahankan adat merupakan keharusan, terutama larangan menikah pada rabu
akhir bulan safar. Wajar saja, sebagian masyarakat memang tidak terpengaruh oleh
fenomena modernisasi yang mengusung budaya lain seperti hadir dan berkembang di
lokalnya.
2. Hukum Larangan Menikah Pada Rabu Akhir Bulan Safar Dalam
Pandangan Islam.
Tradisi/ritual dalam islam adalah adat-istiadat atau kebiasaan yang dilakukan
oleh masyarakat yang berakar pada al-quran dan hadist. Tradisi murni merupakan
tradisi yang asli yang belum atau tidak tersentuh oleh budaya lain sehingga tidak
mengalami perubahan apapun. Masalahnya yang manakah tradisi Islam yang murni
itu sendiri, apakah ini hanya tradisi dari umat Islam pengikut Nabi Muhammad SAW
ketika beliau hidup, atau apakah ini merupakan tradisi bangsa arab yang sudah diisi
nafas islam.
Page 68
58
Para ulama ushul fiqh telah sepakat menetapkan pembagian bid‟ah kedalam dua
bagian, yaitu „amm (umum) dan khash (khusus).16
Bid‟ah „amm diantaranya fi‟liyah
(membuat sesuatu pekerjaan) dan tarkiyah (meninggalkan suatu pekerjaan). Kadang-
kadang bid‟ah itu terjadi dengan meninggalkan baik meninggalkan itu karena
mengharamkan atau bukan karena mengharamkan.
Sesuatu perbuatan yang dihalalkan oleh syara‟ lalu dihalalkan oleh seseorang
untuk dirinya sendiri atau ditinggalkan dengan sengaja maka meninggalkan itu
adakalanya karena sesuatu yang diiktibarkan oleh syara‟ atau tidak. Jika karena ada
salah satu urusan (perkara) yang diiktibarkan untuk diizinkan oleh syara‟, maka tidak
mengapa meninggalkan.17
Adakalanya seseorang atau sekelompok masyarakat meninggalkan sesuatu
pekerjaan yang sebenarnya tidak dilarang mengerjakan. Karena mengkawatirkan
dirinya kalau jatuh kedalam pekerjaan terlarang, tidaklah mengapa. Dan seperti
meniggalkan sesuatu yang masih syubhat (samar-samar) hukumnya, karena takut
kalau jatuh kapada hukum haram, itupun tidak mengapa.18
Apabila dikaitkan dengan kaidah ushlul fiqh yaitu : “ perintah setelah larangan
menunjukkan hukum kebolehan”19
. Dan tegasnya dengan kaidah ushul fiqh yang
kedua yaitu yang artinya “hukum asal sesuatu adalah kebolehan”. Imam syafi‟i dan
16
Safiudin Shidik, Ushul Fiqh, (Jakarta:Intimedia, 1999), h. 83. 17
Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al-Quran Dan As-Sunnah, (jakrarta: bulan bintang,
1999), h. 284. 18
Ibid, h. 285.
19 Muchlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushululiyah dan Fiqliyah (Pedoman Dasar Dalam
Istimbath Hukum Islam), (jakarta: pt. Raja Grafindo Persada, 2002), h.28.
Page 69
59
yang dinukilkan oleh ibnu burhan serta mayoritas ulama fiqh mengatakan bahwa
perintah setelah larangan menunjukkan hukum kebolehan (ibadah). Dalam suatu
riwayat nabi muhammad saw bersabdaa yang artinya “apa yang dipandang baik oleh
umat islam, baik pula disisi allah”20
Meninggalkan sesuatu perkara selain dari yang tersebut, adakalanya karena
agama atau tidak. Jika bukan karena agama, maka yang meninggalkan itu dipandang
mempermainkan agama, karena ia mengharamkan pekerjaan yang tidak diperintahkan
agama untuk tidak meninggalkannya. Dan perbuatan yang demikian itu dinamakan
“bidah”, menurut pendapat golongan ulama yang menetapkan bahwa bidah itu
pekerjaan yang dikerjakan sebagai ibadat.
Menegenai urusan adat adakalanya terkandung didalam semangat ta‟abbudi
(ruh beribadat), karena pekerjaan-pekerjaan itu diberi batas-batas dan ketentuan oleh
syara‟, yang tidak boleh dilakukan menurut ketentuan sendiri, baik pekerjaan-
pekerjaan yang diperintahkan ataupun yang dilarang, dan perbuatan-perbuatan yang
kita diberi hak untuk memilihnya, mana yang kita sukai, kita kerjakan, dan mana
yang tidak kita sukai, kita tinggalkan.
Lebih tegas lagi dapatlah diterangkan jika ada pekerjaan bersangkut paut
dengan urusan adat, yang padanya sudah ditetapkan hukumnya oleh agama, lalu
padanya ada perbuatan bidah, maka bidah itu dipandang bidah yang keji (tercela).
Tetapi jika pekerjaan yang bersangkutan dengan urusan adat itu, adalah adat semata-
20
Saifudin Sidik, op, cit, h. 181-182.
Page 70
60
mata, tidak ada peraturannya didalam agama atau syara‟, maka apabila dalam
pekerjaan itu ada perbuatan bidah, tidaklah bidah itu dipandang bidah keji (tercela).
Page 71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang larangan menikah pada rabu akhir
bulan safar di Desa Sidomulyo Kab. Rohir dalam pandangan hukum Islam, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan Tradisi Ritual Tolak Bala Bulan Safar secara umum
masyarakat desa Sidomulyo telah mempercayai secara turun temurun.
Yang mana diyakini bahwa melaksankan tradisi ritual tolak bala pada
Rabu akhir Bulan Safar mampu menolak bala, musibah, bencana dan
penyakit. Adapun usaha yang dilakukan oleh masyarakat dengan
mengadakan kenduri, shalat tolak bala yang ditujukan kepada Allah
SWT. Tetapi praktek yang mendasar adalah diadakan persembahan
berupa kepala kambing atau kerbau.
2. Persepsi masyarakat terhadap larangan menikah pada Rabu akhir Bulan
Safar di Desa Sidomulyo yaitu, masyarakat di Desa ini memang sejak
awal dipercaya bahwa hari itu akan diturunkan marabahaya sehingga
umat islam di Desa ini berbondong-bondong bagaimana cara
menanggulanginya. Oleh karena itu masyarakat di Desa Sidomulyo tidak
berani melaksanakan penikahan pada Bulan ini. Tradisi ritual tolak bala
bulan safar wajib dilaksanakan setiap tahunnya, karena sekali
Page 72
dilaksanakan maka ia berhubungan dengan hutang. Mengikuti perjanjian
atau membayar hutang harus tepat waktu sesuai dengan kesepakatan
nenek moyang terdahulu. Jika hal tersebut diabaikan maka bala tersebut
secara tidak sadar akan menimpa kampung tersebut.
3. Analisis hukum Islam terhadap larangan menikah pada Rabu akhir Bulan
Safar di Desa Sidomulyo merupakan satu perbuatan syirik, karena
mengaggap bulan tersebut yang mendatangkan kesialan, dan yang
mengerjainya dihukumi musyrik. Larangan menikah pada rabu akhir
bulan safar yang telah turun-temurun dari nenek moyang dan masih
disepakati atau dipatuhi oleh masyarakat Jawa di Desa Sidomulyo Kab,
Rokan Hilir. Larangan ini dapat digolongkan menjadi adat yang buruk
atau dalam ilmu Ushul Fiqh disebut dengena Urf Fasid, sehingga tidak
bias ditetapkan menjadi hukum karena bertentangan dengan Al-Qur’an
dan Hadist. Hal seperti ini bias mendatangkan kemudharatan bagi orang
yang ingin menikah untuk menghindari dari perbuatan zina, hal ini terjadi
karena orang tersebut harus menunggu hari baik, bulan baik, untuk
melangsungkan pernikahan.
B. Saran
Setelah melihat Tradisi Ritual Tolak Bala Bulan Safar di Desa Sidomulyo
kec. Tanah putih Kab. Rohil Menurut perspektif hokum islam diatas, maka berikut
ini penulis mengemukakan saran antara lain:
Page 73
1. Diharapkan kepada masyarakat Desa Sidomulyo hendaknya meluruskan
pandangan yang keliru, terhadap larangan menikah pada rabu akhir bulan
safar.
2. Diharapkan kepada kita semua untuk mengerti dan memahami tentang
Ritual Tolak Bala Bulan Safar yang dilakukan oleh sebahagian masyrakat
jawa sidomulyo, dimulai dengan shalat tolak bala, kenduri, persembahan
kepada makhluk ghaib, tangkal, pensucian pada benda-benda yang
digunakan untuk bekerja, mandi safar, sesajen, bunga ditabur
dipersimpangan jalan, sehingga kita tidak mengarah kepada syirik.
3. Diharapkan kepada pemuka masyarakat, tokoh adat, alim ulama, dan
cendikiawan-cendikiawan muslim dapat memberikan pemahaman dan
masukan-masukan kepada masyarakat agar dapat memahami ajaran-
ajaran agama islam, khususnya tentang larangan menikah pada rabu akhir
bulan safar dalam pandangan islam secara baik dan benar, sehingga dapat
memperbaiki keyakinan/kepercayaan masyarakat dan mempererat tali
silaturahmi.
Page 74
63
DAFTAR PUSTAKA
Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Di
Indonesia, Surabaya: Arkola Surabaya, 1997, h. 76.
Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974, h. 17.
Mukti Ali, Alam Pikiran Modern di Indonesia, Yogyakarta, Yayasan Nida 1969,
h. 7.
Moh. Nurhakim, Jatuhnya Sebuah Tamadun Menyingkap Sejarah Kegemilangan
dan Kehancuran Imperemium Khalifah Islam, Jakarta, Kementrian Agama
Republik Islam, cet.1, 2012, h. 170.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa Jakarta: Balai Pustaka, 1984, h. 322.
Muchammad Iqbal Ghozali, Larangan menikah Pada Dino Geblak Tiyang Sepuh
di Masyarakat Kampung Sanggerahan Kecamatan Mlati Kabupaten Slamen
Dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga, tidak diterbitkan 2012.
Nur Faidah, Mantenan Adat Satu Suro di Desa Traji Kecamatan Parakan
Kabupaten Tamanggung Jawa Tengah Menurut Tinjauan Hukum Islam,
Skripsi Fakultas Syariah, IAN sunan Kalijaga, tidak diterbitkan 2003.
Burhan Ashohofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rinneka Cipta, 2007, h.
58.
Husein Usman, Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, h. 24.
Herminanto dan Winarto, Ilmu Social dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara
2011,h. 72.
Tasmuji, Dkk, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Social Dasar, Ilmu Budaya Dasar,
Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011, h. 160-165. Lihat pula Jacob
Ranjabar, System Soaial Budaya Indonesia; Suatu Pengantar, Bogor : Ghalia
Indonesia, 2006,h. 20-23.
Tim Sosiologi, sosiologi 1 suatu kajian kehidupan bermasyarakat, Jakarata:
Yudhistira, 2016, h, 14.
Page 75
64
Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama Upaya Memahami Keragaman
Kepercayaan Dan Agama, Bandung: Alvabeta, 2011, h. 72.
Tennas Efendi, Adat Istiadat Dan Upacara, Pekanbaru: Lembaga Adat Riau,
1998, h. 54.
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, Jakarta: Kencana, 2006, cet ke-1, h. 78.
Samir Aliyah, Buku Sistem Pemerintahan, Peradilan Dan Adat dalam Islam, Pers,
Asumarni Solihan Zamakhsyari, Jakarta: Khalifa, 2004, cet. Ke-1, h. 495.
A. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Dewan Dakwah Islam, 1990, h.89.
Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asas, Jakarta: Raja Grafindo
Sada, 2002, cet 1, h. 35.
Mukhtar Yahya, Fataburrahman Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam,
Bandung, PT. Al-Ma’ari, 1986, h.109.
Samir Aliyah, Buku Sistem Pemerintahan, Peradilan Dan Adat dalam Islam,
Pers, Asumarni Solihan Zamakhsyari, Jakarta: Khalifa, 2004, cet. Ke-1, h.
495.
Yulius. S, Suryadi Baru Bahasa Indonesia, Surabaya: Usaha Nasional 2003,
h.277.
Bambang Marhiyanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Bandung: Media
Center, h.627.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-4
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, h.1483. .
Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Local, Ciputat: Logos, 2001, h. 133.
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1985, h.1083.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Jakarta: Balai Pustaka, 2006, h. 1294.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta:Balai Pustaka. 1997, h. 759.
Sondang P. Siagian, Teori Motivasi dan Aplikasinya, Jakarta:Reneka Cipta, 1995,
h. 102.
Suwardi Endrawan, Metode Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2003, h. 101.
Sri suhandjati, “Dinamika Nilai Jawa Dan Tantangan Moderisme”, dalam M.
Darori Amin, Islam Dan Kebudayaan Jawa Yoyakarta: Gama Media, 2002,
h. 285-286.
Sinuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngahbehi Ranggawarista, Jakarta: UI Press,
1990, h.2.
Fitc, R, B. Tjiri-Tjiri Dan Alam Hidup Manusia Bandung: Sumur, 1963, cet IV, h,
167. Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Figh Bandung: Pustaka Setia, 2007, h. 128. Safiudin Shidik, Ushul Fiqh, Jakarta:Intimedia, 1999, h. 83.
Moenawar Chalil, Kembali Kepada Al-Quran Dan As-Sunnah, jakrarta: bulan
bintang, 1999, h. 284. Muchlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushululiyah dan Fiqliyah, Pedoman Dasar
Dalam Istimbath Hukum Islam, jakarta: pt. Raja Grafindo Persada, 2002,
h.28.
Page 77
BERITA HASIL WAWANCARA DENGAN
TOKOH ADAT Bpk, Sugiono
Tanggal, 20 Oktober 2018
1. Apakah masyarakat disini masih mengenal dengan pantang larang
dalam hal yang berkaitan dengan perkawinan?
Jawaban : iya benar, masyarakat disini mayoritas masih memegang ajaran
nenek moyang kami, apalagi masalah yang berkaitan dengan perkawinan.
2. Apa alasan masyarakat menjauh atau tidak berani nikah pada Rabu
akhir Bulan Safar?
Jawaban : karena itu memang merupakan pesan dari orang-orang tua kami
terdahulu. Bulan safar itu bulan yang panas, atap rumah yang jatuh aja tidak
ada yang berani membenarkannya.
3. Apakah pernah terjadi kasus terkena musibah pada warga yang
melanggar kepercayaan ini pak?
Jawaban : warga disini semuanya patuh dengan kata tokoh adat. Jika ada
orang yang memaksa menikah pada hari itu ya biar aja dia tanggung sendiri
akibatnya apabila ada musibah. Karena itu sudah kepercayaan masyarakat
jawa.
4. Bagaimana pandangan masyarakat mengenai pernikahan pada Rabu
akhir Bulan Safar?
Jawaban : masyarakat disini percaya terhadap larangan tersebut dan mereka
takut akan tertimpa musibah
5. Seberapa besar yang mau menikah dengan yang tidak berani nikah pada
Rabu akhir Bulan Safar?
Jawaban : Rata-rata masyarakat disini tidak berani melaksanakan
pernikahan pada rabu akhir bulan safar dan ada juga sebagian orang yang
tidak mempercayai larangan ini akan tetapi tidak melakukan pernikahan
pada rabu akhir bulan safar.
Sidomulyo, 20 Oktober 2018
SUGIONO
Page 78
BERITA HASIL WAWANCARA DENGAN
TOKOH AGAMA Bpk. Abdul Khalid
Tanggal, 20 Oktober 2018
1. Bagaimana menurut bapak tentang tradisi larangan menikah pada rabu
akhir bulan safar di Desa ini?
Jawaban : menurut sepengetahuan saya, asal usul adanya larangan menikah
pada rabu akhir bulan safar merupakan budaya dari orang jawa. Budaya
peninggalan kerajaan majapahit yang menjadi sebab munculnya larangan
tersebut. Jadi, adanya pandangan bulan atau hari tidak baik tersebut karena
faktor-faktor budaya bukan dari agama islam.
2. Apa alasan masyarakat menjauh atau tidak berani nikah pada Rabu
akhir Bulan Safar?
Jawaban : kebanyakan dari mereka hanya ikut-ikut perkataan orang tua saja,
tidak tahu asal-usul dan alasan yang jelas.
3. Apakah pernah terjadi kasus terkena musibah pada warga yang
melanggar kepercayaan ini pak?
Jawaban : sepengetahuan saya, selama ini belum pernah terjadi.
4. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai pernikahan pada Rabu
akhir Bulan Safar?
Jawaban : menurut saya, tidak ada ketentuan yang jelas baik itu di dalam Al-
Qur’an maupun Hadist yang menjelaskan masalah ini. Larangan ini hanya
hukum adat, kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus oleh masyarakat
Sidomulyo. Bahkan, dalam peraturan pemerintah pun tidak ada larangan
menikah pada bulan-bulan tertentu. Akan tetapi hanya dibatasi pada usianya
saja.
Page 79
5. Seberapa besar yang mau menikah dengan yang tidak berani nikah pada
Rabu akhir Bulan Safar?
Jawaban : rata-rata orang awam di desa ini yang kurang pendidikan baik
agama maupun pengetahuan tidak berani karena percaya akan adanya mitos
tersebut. Tapi, ada sebagian pemuda-pemudi yang sudah mempunyai bekal
ilmu agama mulai sedikit demi sedikit meninggalkan tradisi ini.
6. Apakah bapak tahu tentang proses ritual tolak bala pada rabu akhir
bulan safar?
Jawaban : kalau ditanya apakah saya tahu tentang itu, ya saya tidak terlalu
tahu. Mungkin tokoh adatlah yang lebih paham.
Sidomulyo, 20 Oktober 2018
ABDUL KHALID
Page 80
PEDOMAN WAWANCARA
1. Apakah masyarakat masih kenal dengan pantang larang dalam hal yang
berkaitan dengan perkawinan?
2. Apa alasan masyarakat menjauh atau tidak berani nikah pada Rabu akhir
Bulan Safar?
3. Apakah pendidikan mempengaruhi pelestarian Adat Istiadat terutama Ritual
Tolak Bala?
4. Seberapa besar persentase antara yang nikah dengan yang tidak berani nikah
pada Rabu akhir Bulan Safar?
5. Apakah pernah terjadi kasus terkena musibah pada warga yang melanggar
kepercayaan tersebut
6. Bagaimana pandangan masyarakat mengenai pernikahan pada Rabu akhir
Bulan Safar?