Top Banner
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Otak Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri karotis interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna, setelah memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan arteri oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak, sistem ini memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis. (1) Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis tranversalis di kolumna vertebralis servikal, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris, dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang melayani darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis. (1) 18
34

Lapsus Snh Bab II

Dec 07, 2015

Download

Documents

Alfina Rahmi

makalah
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Lapsus Snh Bab II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Otak

Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri karotis

interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna, setelah memisahkan

diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis

karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan arteri oftalmika untuk

nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri

serebri media. Untuk otak, sistem ini memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis dan

beberapa bagian lobus temporalis.(1)

Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di

arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis tranversalis di kolumna

vertebralis servikal, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu

mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas medula

oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris, dan setelah mengeluarkan 3

kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri basilaris berakhir sebagai

sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang melayani darah bagi lobus oksipitalis, dan

bagian medial lobus temporalis.(1)

Ke 3 pasang arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan

beranastomosis satu bagian lainnya. Cabang-cabang yang lebih kecil menembus ke dalam

jaringan otak dan juga saling berhubungan dengan cabang-cabang arteri serebri lainya.

Untuk menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3 sistem kolateral

antara sistem karotis dan sitem vertebral, yaitu:(1)

Sirkulus Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri serebri

media kanan dan kiri, arteri komunikans anterior (yang menghubungkan kedua arteri

serebri anterior), sepasang arteri serebri media posterior dan arteri komunikans

posterior (yang menghubungkan arteri serebri media dan posterior) kanan dan kiri.

Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.

Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di daerah orbita,

masing-masing melalui arteri oftalmika dan arteri fasialis ke arteri maksilaris eksterna.

18

Page 2: Lapsus Snh Bab II

Hubungan antara sitem vertebral dengan arteri karotis ekterna (pembuluh darah

ekstrakranial).

Selain itu masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut,

sehingga menurut Buskrik tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan otak.(1)

Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang

mengumpulkan darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang

terletak dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior

dan sinus-sinus basalis laterales, dan seterusnya melalui vena-vena jugularis dicurahkan

menuju ke jantung.(1)

2.2 Fisiologi Otak

Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem

vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian

posterior hemisfer. Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama 3 faktor. Dua faktor

yang paling penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem arteri-kapiler ke

sistem vena, dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor ketiga, adalah faktor

darah sendiri yaitu viskositas darah dan koagulobilitasnya (kemampuan untuk membeku).(1)

Dari faktor pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik (faktor

jantung, darah, pembuluh darah, dll), dan faktor kemampuan khusus pembuluh darah

otak (arteriol) untuk menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan berdilatasi bila

tekanan darah sistemik menurun. Daya akomodasi sistem arteriol otak ini disebut daya

otoregulasi pembuluh darah otak (yang berfungsi normal bila tekanan sistolik antara 50-

150 mmHg).(1)

Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di antaranya

seperti kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap diameter arteriol.

Kadar/tekanan parsial CO2yang naik, PO2 yang turun, serta suasana jaringan yang asam

(pH rendah), menyebabkan vasodilatasi, sebaliknya bila tekanan darah parsial CO2 turun,

PO2 naik, atau suasana pH tinggi, maka terjadi vasokonstriksi.(1)

19

Page 3: Lapsus Snh Bab II

Viskositas/kekentalan darah yang tinggi mengurangi ADO. Sedangkan

koagulobilitas yang besar juga memudahkan terjadinya trombosis, aliran darah lambat,

akibat ADO menurun.(1)

2.3 Definisi Stroke

Definisi WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral,

baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih

dari 24 jam atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain

gangguan vaskuler. Istilah kuno apopleksia serebri sama maknanya

dengan Cerebrovascular Accidents/Attacks (CVA) dan Stroke.(1)

2.4 Insiden

Stroke mengenai semua usia, termasuk anak-anak. Namun, sebagian besar kasus

dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun. Makin tua umur, resiko

terjangkit stroke makin besar. Penyakit ini juga tidak mengenal jenis kelamin. Tetapi,

stroke lebih banyak menjangkiti laki-laki daripada perempuan. Lalu dari segi warna kulit,

orang berkulit berwarna berpeluang terkena stroke lebih besar daripada orang berkulit

putih.(2)

2.5 Epidemiologi

Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di

dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin

penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang

berkembang.(3)

Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di

dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal

dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus

stroke di dunia.(2)

Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang

menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker. Di

negeri Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak

20

Page 4: Lapsus Snh Bab II

500.000 diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa

stroke berulang. Sebanyak 75 persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan

pekerjaan.(2)

Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.

Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan

sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan

stroke dan kecacatan.(2)

2.6 Faktor Resiko

Pemeriksaan faktor resiko dengan cermat dapat memudahkan seorang dokter

untuk menemukan penyebab terjadinya stroke. Terdapat beberapa faktor resiko stroke

non hemoragik, yakni:(4,5)

1. Usia lanjut (resiko meningkat setiap pertambahan dekade)

2. Hipertensi

3. Merokok

4. Penyakit jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri, dan fibrilasi

atrium kiri)

5. Hiperkolesterolemia

6. Riwayat mengalami penyakit serebrovaskuler

Resiko stroke juga meningkat pada kondisi di mana terjadi peningkatan viskositas

darah dan penggunaan kontrasepsi oral pada pasien dengan resiko tinggi megalami stroke

non hemoragik.(4,6)

2.7 Klasifikasi

Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis:(1)

a.Serangan Iskemia Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)

Pada bentuk ini gejalah neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di

otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.

b. Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/Reversible Ischemic Neurological

Deficit (RIND).

21

Page 5: Lapsus Snh Bab II

Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tapi

tidak lebih dari seminggu.

c.Stroke progresif (Progressive Stroke/Stroke in evolution)

Gejala neurologik makin lama makin berat.

d. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)

Gejala klinis sudah menetap.

2.8 Etiologi

Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh

emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga

dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses

yang mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik

yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.(4)

1. Emboli

Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi dapat

juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.(5)

a.Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal

dari “plaque athersclerotique” yang berulserasi atau dari trombus yang melekat

pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.

b. Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:

1) Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian kanan dengan

bagian kiri atrium atau ventrikel;

2) Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan gangguan

pada katup mitralis;

3) Fibralisi atrium;

4) Infarksio kordis akut;

5) Embolus yang berasal dari vena pulmonalis

6) Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung miksomatosus

sistemik;

c.Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:

1) Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.

22

Page 6: Lapsus Snh Bab II

2) Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.

3) Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit “caisson”).

Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-sided

circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah trombi

valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan), trombi mural (seperti

infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial

miksoma. Sebanyak 2-3 persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan 85

persen di antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya infark miokard.(4)

2. Trombosis

Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar

(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi

dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik

percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna.

Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah (sehingga

meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis (ulserasi plak), dan

perlengketan platelet.(4)

Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel,

defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi

yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang menyebabkan

diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik (contohnya

trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).(4)

2.9 Patofisiologi

Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya aterosklerosis (terbentuknya ateroma)

dan arteriolosklerosis. (1,6)

a.Menyempatkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran darah.

b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau peredaran

darah aterom.

c.Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli.

23

Page 7: Lapsus Snh Bab II

d. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang

kemudian dapat robek.

Gambar 1. Penyumbatan pembuluh darah (dikutip dari kepustakaan 6)

Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:(1)

Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak:(1)

a. Keadaan pembuluh darah, bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau tersumbat

oleh trombus/embolus.

b. Keadaan darah: viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat

(polisetemial) yang menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat: anemia yang berat

menyebabkan oksigenasi otak menurun.

c. Tekanan darah sistematik memegang peranan tekanan perfusi otak. Perlu diingat apa

yang disebut otoregulasi otak yakni kemampuan intrinsik dari pembuluh darah otak

agar aliran darah otak tetap konstan walaupun ada perubahan dari tekanan perfusi otak.

Batas normal otoregulasi antara 50-150 mmHg. Pada penderita hipertensi otoregulasi

otak bergeser ke kanan.

d. Kelainan jantung

1)    Menyebabkan menurunnya curah jantung a.l. fibrilasi, blok jantung.

2)    Lepasnya embolus menimbulkan iskemia di otak.

2.10 Diagnosis

a. Anamnesis

24

Page 8: Lapsus Snh Bab II

Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit

neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak

terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan non

hemoragik meskipun gejalah seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat

kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Beberapa gejalah umum yang

terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese, atau qudriparese, hilangnya

penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau

penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri

namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala

tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik.

Beberapa faktor dapat mengganggu dalam mencari gejalah atau onset stroke seperti:

1) Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan

hingga pasien bangun (wake up stroke).

2) Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari pertolongan.

3) Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.

4) Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang,

infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan hiponatremia.(4)

b.  Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke

ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan

menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus

mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan

iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke

membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung

(ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan

femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk

menjaga jalan napasnya sendiri.(4)

c. Pemeriksaan Neurologi

25

Page 9: Lapsus Snh Bab II

Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejalah stroke,

memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejalah seperti stroke, dan

menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen

penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan

tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi

serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus

diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot

wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s

palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau

mengerutkan dahinya.(4,7)

Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat.

1)  Arteri serebri media (MCA)

Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi kontralateral,

hemianopsia ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia. Karena MCA memperdarahi

motorik ekstremitas atas maka kelemahan tungkai atas dan wajah biasanya lebih

berat daripada tungkai bawah.(4,8)

2)  Arteri serebri anterior

Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan bicara,

timbulnya refleks primitive (grasping dan sucking reflex), penurunan tingkat

kesadaran, kelemahan kontralateral (tungkai bawah lebih berat dari pada tungkai

atas), defisit sensorik kontralateral, demensia, dan inkontinensia uri.(4,8)

3)  Arteri serebri posterior

Menimbulkan gejalah seperti hemianopsia homonymous kontralateral, kebutaan

kortikal, agnosia visual, penurunan tingkat kesadaran, hemiparese kontralateral,

gangguan memori.(4,8)

4)  Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)

Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan deficit nervus kranialis, serebellar,

batang otak yang luas. Gejalah yang timbul antara lain vertigo, nistagmus,

diplopia, sinkop, ataksia, peningkatan refleks tendon, tanda Babynski bilateral,

tanda serebellar, disfagia, disatria, dan rasa tebal pada wajah. Tanda khas pada

26

Page 10: Lapsus Snh Bab II

stroke jenis ini adalah temuan klinis yang saling berseberangan (defisit nervus

kranialis ipsilateral dan deficit motorik kontralateral).(4,8)

5)  Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)

Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering adalah

bifurkasio arteri karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan eksterna.

Adapun cabang-cabang dari arteri karotis interna adalah arteri oftalmika

(manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik biasa disebut amaurosis

fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri anterior dan media

sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun dapat timbul.(4,8)

6)  Lakunar stroke

Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di daerah

subkortikal profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala yang timbul

adalah hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke jenis ini

biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil seperti

diabetes dan hipertensi.(4)

d. Pemeriksaan Penunjang

1. Gambaran Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin pula

menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis,

trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan

kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia.(9)

Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang memiliki

gejalah seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula menunjukka

penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).(9)

Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada pasien.

Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan

antikoagulan.(9)

Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan

penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan

anatara peningkatan enzim jantung dengan hasih yang buruk dari stroke.(9)

27

Page 11: Lapsus Snh Bab II

2. Gambaran Radiologi

a. CT scan kepala non kontras

Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan stroke

non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik memerlukan

pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga

berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi

kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke

(hematoma, neoplasma, abses).(4)

Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah

6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan

terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah hipodense yang luas

di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke.

Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign,

hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan gray-

white matter.(4,10)

b. CT perfussion

Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk mengidentifikasi

daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan pemeriksaan scan setelah

kontras, perfusi dari region otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan

terjadinya iskemik di daerah tersebut.(4,17)

c. CT angiografi (CTA)

Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi (CTA).

Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral yang

menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA

juga dapat memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami

hipoperfusi memberikan gambaran hipodense.(4)

d. MR angiografi (MRA)

MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih awal

pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI lainnya

memerlukan biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak panjang.(4,10)

28

Page 12: Lapsus Snh Bab II

Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2

standar dapat dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-weighted

imaging (DWI) dan perfussion-weighted imaging (PWI) untuk meningkatkan

sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke non hemoragik akut. DWI dapat

mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan MRI. Selain itu, DWI juga

dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat mengukur langsung

perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion. Kontras

dimasukkan dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan.(4)

e. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray

Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis atau

oklusi arteri arotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG

transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih

lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri

vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan pada semua

pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli

kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta

thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi

pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan

jantung adalah EKG dan foto thoraks.(4)

2.11 Penatalaksanaan

Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan pasien dan

menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan dan

pemeriksaan laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba. Keputusan

penting pada manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya intubasi, pengontrolan

tekanan darah, dan menentukan resiko atau keuntungan dari pemberian terapi

trombolitik.(6,12)

1. Penatalaksanaan Umum

a. Airway and breathing

29

Page 13: Lapsus Snh Bab II

Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau

paten memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan

intrakranial (TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek

samping dari intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan terjadinya herniasi otak

besar maka target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan manitol

intravena untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus mendapatkan bantuan

oksigen jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan

terjadinya hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada

stroke non hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi,

atelektasis ataupun GERD.(11,12,13,14)

b. Circulation

Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena

dan pengawasan jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami

aritmia jantung dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi

juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.(11,12,13,14)

c.  Pengontrolan gula darah

Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan

prognosis yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien

dengan normoglokemik tidak boleh diberikan cairan intravena yang mengandung

glukosa dalam jumlah besar karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan

memicu iskemik serebral eksaserbasi. Pengontrolan gula darah harus dilakukan

secara ketat dengan pemberian insulin. Target gula darah yang harus dicapai

adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan

hingga pasien pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat

pemberian insulin.(11,12,13,14)

d. Posisi kepala pasien

Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih

maksimal jika pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang

dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak

dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien stroke diposisikan telentang

dengan kepala ditinggikan sekitar 30-45 derajat.(11,12,13,14)

30

Page 14: Lapsus Snh Bab II

e. Pengontrolan tekanan darah

Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau

peningkatan TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator

sehingga hanya bergantung pada maen arterial pressure (MAP) dan cardiac output

(CO) untuk mempertahankan aliran darah otak. Oleh karena itu, usaha agresif

untuk menurunkan tekanan darah dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang

nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa

pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah

yang ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg)

atau pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik.(11,12,13,14)

Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke

non hemoragik adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak direncanakan untuk

mendapatkan terapi trombolitik, tekanan darah sistolik kurang dari 220 mmHg,

dan tekanan darah diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa adanya gangguan

organ end-diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya intervensi)

dan gejala stroke serta komplikasinya harus ditangani.(11,12,13,14)

Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara

120-140 mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama

1-2 menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau diulang

setiap 10 menit hingga mencapai dosis maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif

dapat diberikan nicardipine (5 mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga

mencapai efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit

hingga mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan

nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target pencapaian terapi

ini adalah nilai tekanan darah berkurang 10-15 persen.(11,12,13,14)

Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih

185 mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan antihipertensi.

Pengawasan dan pengontrolan tekanan darah selama dan setelah pemberian

trombolitik agar tidak terjadi komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi yang

dapat diberikan adalah labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang

31

Page 15: Lapsus Snh Bab II

satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan adalah nicardipine infuse 5

mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.(11,12,13,14)

Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus

diperiksa setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam

berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir. Target terapi adalah tekanan

darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal. Untuk mengontrol tekanan darah

selama opname maka agen berikut dapat diberikan.(11,12,13,14)

1. TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat

diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama 10-

20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat infuse hingga 2-8

mg/menit.

2. TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat

diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam

hingga dosis maksimal 15mg/jam.

3. Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena dapat

menyebabkan hipotensi ekstrim.

f. Pengontrolan demam

Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam

karena hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan

trauma neuronal iskemik. Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan bahwa

hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai neuroprotektor.(11,12,13,14)

g. Pengontrolan edema serebri

Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik

dan mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi

dan pemberian manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial

dengan cepat.(11,12,13,14)

h. Pengontrolan kejang

Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah

onset. Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel

kejang dengan menggunakan preparat antiepileptik tetap direkomendasikan. (11,12,13,14)

32

Page 16: Lapsus Snh Bab II

2. Penatalaksanaan Khusus

a. Terapi Trombolitik

Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara

intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik

yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya.(15)

Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and

Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam

setelah onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis

tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam.

Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau

hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral, yang

diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah mendapat

pengakuan FDA pada tahun 1996.(15)

Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke

Study (ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg)

diberikan secara IV dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah onset.

Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik tapi secara keseluruhan hasil

dari penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada penelitian

kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan

dalam waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien

yang meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral

dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat ijin untuk digunakan di

Eropa.(15)

Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk

mengatakan bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar

sebab resikonya sangat besar sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela

33

Page 17: Lapsus Snh Bab II

waktu untuk terapi tersebut masih kurang jelas dan secara objektif belum terbukti

rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang penelitian dari The Multicenter Acute

Stroke Trial-Europe Study Group (MAST-E) dengan menggunakan streptokinase

1,5 juta unit dalam waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata

meningkatkan mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke

iskemik akut tidak dianjurkan.(15)

b. Antikoagulan

Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang

mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya

bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark lakuner atau

infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan penggunaan heparin

adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotisdan infark serebral akibat

kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya

perdarahan intraserebral karena pemberian heparin tersebut.(15)

1) Warfarin

Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma. Waktu

paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg

(loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT.

Reaksi yang merugikan: hemoragi, terutama ren dan gastrointestinal.(16)

2) Heparin

Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat pada

mast cells. Cepat bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam proses

pembekuan darah. Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin

melepas lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin. Wakto

paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus kontinu. Dosis

biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus 250 mg

dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole

Blood Clotting Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin:

memanjang sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan: hemoragi, alopesia,

osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai dengan antikoagulan oral.

Apabila pemberian obat dihentikan segala sesuatunya dapat kembali normal.

34

Page 18: Lapsus Snh Bab II

Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine sulphute dengan intravenous

lambat untuk menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin

diperlukan untuk tiap 1 mg heparin (100 unit).(16)

c. Hemoreologi

Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan

hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit, peningkatan

kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini menimbulkan

gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi

hemoreologi yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan

cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit, menghambat aggregasi trombosit dan

menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan demikian eritrosit akan

mengurangi viskositas darah.Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari,

maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.(15)

d. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)

1) Aspirin

Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis

atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti

thromboxane A2. Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan stroke.

Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80 mg/hari

samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan dipiridamol.

Suatu penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975 mg/hari

dikombinasi dengan dipiridamol 225 mg/hari dengan hasil yang efikasius.(16)

Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus

diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi puncak

tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah.

Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein

plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma: 4 jam. Metabolisme

secara konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine). Ekskresi lewat urine,

tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang diberikan dibuang lewat urin

35

Page 19: Lapsus Snh Bab II

pada suasana alkalis. Reaksi yang merugikan: nyeri epigastrik, muntah,

perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom Reye.(16)

Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara

lain adalah kemungkinan terjadi “resistensi aspirin” pada dosis rendah. Hal ini

memungkinkan platelet untuk menghasilkan12-hydroxy-eicosatetraenoic

acid, hasil samping kreasi asam arakhidonat intraplatelet (lipid – oksigenase).

Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis rendah aspirin, walaupun

penghambatan pada tromboksan A2 terjadi dengan dosis rendah aspirin.(16)

Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg

(belakangan ada yang memakai 150 mg) mampu secara permanen merusak

pembentukan agregasi platelet. Sayang ada yang mendapatkan bukti bahwa

aspirin tidak efektif untuk wanita.(16)

2) Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)

Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat

menggunakan tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan mencegah

aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet, mengganggu fungsi

membran platelet dengan penghambatan ikatan fibrinogen-platelet yang

diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-platelet. Menurut suatu studi,

angka fatalitas dan nonfatalitas stroke dalam 3 tahun dan dalam 10 persen

untuk grup tiklopidin dan 13 persen untuk grup aspirin. Resiko relatif

berkurang 21 persen dengan penggunaan tiklopidin.(16)

Setyaningsih at al, (1988) telah melakukan studi meta-analisis terhadap terapi

tiklopidin untuk prevensi sekunder stroke iskemik. Berdasarkan sejumlah 7

studi terapi tiklopidin, disimpulkan bahwa efikasi tiklopidin lebih baik

daripada plasebo, aspirin maupun indofen dalam mencegah serangan ulang

stroke iskemik.(16)

Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4

persen). Bila obat dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah putih

tiap 15 hari selama 3 bulan. Komplikas yang lebih serius, teyapi jarang, adalah

pur-pura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.(16)

e. Terapi Neuroprotektif

36

Page 20: Lapsus Snh Bab II

Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang

iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel

yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik

dan jendela waktu yang potensial untuk reversibilitas daerah penumbra maka

berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada binatang percobaan maupun

pada manusia.(15)

f. Pembedahan

Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi

pasien semakin buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark serebral

maka pemindahan dari jaringan yang mengalami infark harus dilakukan.(18)

1) Karotis Endarterektomi

Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang

mengalami stenosis. Pada pasien yang mengalami stroke di daerah sirkulasi

anterior atau yang mengalami stenosis arteri karotis interna yang sedang

hingga berat maka kombinasi Carotid endarterectomy is a surgical procedure

that cleans out plaque and opens up the narrowed carotid arteries in the

neck.endarterektomi dan aspirin lebih baik daripada penggunaan aspirin saja

untuk mencegah stroke. Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di

daerah vertebrobasiler atau oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas akibat

prosedur karotis endarterektomi berkisar 1-5 persen.(18)

  

37

Page 21: Lapsus Snh Bab II

Gambar 2. Endarterektomi adalah prosedur pembedahan yang menghilangkan plak dari lapisan

arteri (dikutip dari kepustakaan 18)

 

2) Angioplasti dan Sten Intraluminal

Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral

serta pemasangan sten metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada

stenosis arteri serebri masih dalam penelitian. Suatu penelitian menyebutkan

bahwa angioplasti lebih aman dilaksanakan dibandingkan endarterektomi

namun juga memiliki resiko untuk terjadi restenosis lebih besar.(18)

2.12 Komplikasi

Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema

serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.(21)

1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik bisa terjadi meskipun agak

jarang (10-20%)

2. Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah indikator

independen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain

untuk mengurangi tekanan intrakranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat,

meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke iskemik lebih lanjut

belum diketahui. Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark

mereka. Hal ini diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke iskemik yang tidak rumit,

tanpa adanya trombolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan

penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma

yang memerlukan evakuasi.

3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke

iskemik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami

serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder

dari stroke iskemik harus dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan kejang

lain yang timbul sebagai akibat neurologis injury.

38

Page 22: Lapsus Snh Bab II

2.13 Prognosis

Stroke berikutnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang paling penting

adalah sifat dan tingkat keparahan defisit neurologis yang dihasilkan. Usia pasien,

penyebab stroke, gangguan medis yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi

prognosis. Secara keseluruhan, agak kurang dari 80% pasien dengan stroke bertahan

selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan tingkat kelangsungan hidup dalam 10

tahun sekitar 35%. Angka yang terakhir ini tidak mengejutkan, mengingat usia lanjut di

mana biasanya terjadi stroke. Dari pasien yang selamat dari periode akut, sekitar satu

setengah samapai dua pertiga kembali fungsi independen, sementara sekitar 15%

memerlukan perawatan institusional.(11,22,23)

 

39