LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. A Usia : 17 tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki No Rekam Medik : 757303 Tanggal MRS : 11-05-2016 II. ANAMNESIS Keluhan utama : Nyeri pada paha kiri Anamnesis terpimpin : Dialami sejak 30 menit sebelum masuk Rumah Sakit akibat kecelakaan motor. Mekanisme trauma : Pasien sedang mengendarai motor kemudian ditabrak mobil dari arah depan Riwayat penurunan kesadaran tidak ada, mual dan muntah tidak ada Riwayat penanganan sebelumnya tidak ada III. PEMERIKSAAN FISIK PRIMARY SURVEY Airway :Paten, Clear Breathing : RR = 20 x/menit reguler, spontan, tipe thoraco abdominal, simetris 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Usia : 17 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
No Rekam Medik : 757303
Tanggal MRS : 11-05-2016
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Nyeri pada paha kiri
Anamnesis terpimpin : Dialami sejak 30 menit sebelum masuk Rumah Sakit
akibat kecelakaan motor.
Mekanisme trauma : Pasien sedang mengendarai motor kemudian ditabrak
mobil dari arah depan
Riwayat penurunan kesadaran tidak ada, mual dan muntah tidak ada
Pada Klasifikasi Muller membagi tulang panjang menjadi 3 bagian proximal,diafisis,
dan distal. Segmen proximal dan distal masing-masing dibatasi oleh suatu persegi empat
yang dasarnya berada pada bagian terluas tulang. Bagian diafisis (shaft) dibagi menjadi 3
yaitu 1/3proximal, 1/3middle, dan 1/3 distal.
Gambar 3. Klasifikasi Muller (a) Masing-masing tulang panjang memiliki tiga segmen-proximal,
diafisis dan distal; fragmen proksimal dan distal dibatasi oleh segiempat dari ukuran terlebar tulang
(b,c,d) fraktur pada segmen diafisis dapat sederhana, tajam maupun kompleks. (e,f,g) fraktur pada
bagian proksimal dan distal dapat berupa ekstraartikular, partial artikular dari articular lengkap.1
8
Berdasarkan klasifikasi Winguist-Hansen yang didasarkan pada pola dasar fraktur dan
derajat kestabilannya, fraktur corpus femoris dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1,3)
Femoral Shaft Fracture
Stable
0: No comminution
I: Minimal comminution
II: Comminuted:>50% of cortices intact
Unstable
III: Comminuted:<50% of cortices intact
IV: Complete comminution, no intact cortex
Gambar 3. Winquist and Hansen Classification of femoral shaft fracture3
Pada gambar 5 menunjukkan level fraktur yang menyebabkan karakteristik displacement dari
fragmen tulang berdasrkan pada otot-otot yang melekat. Dengan fraktur subtrochanter,
fragmen proksimal mengarah ke posisi abduksi, fleksi dan external rotasi. Tarikan
gastronemius pada fragmen distal pada fraktur supracondylar menghasilakn deformitas
ekstensi (angulasi posterior pada corpus femur), yang membuat femur sulit untuk sejajar.
9
Gambar 5. Hubungan level fraktur dan posisi fragmen proksimal. A. Pada keadaan
normal, posisi femur relatif netral karena tarikan yang seimbang dari otot-otot. B.
Fraktur shaft proksimal, fragmen proksimal mengarah ke posisi fleksi (iliopsoas),
abduksi (otot-otot abduktor), dan lateral rotation (short eksternal rotasi). C. Pada fraktur
midshaft, efeknya kurang ekstrim karena ada kompensasi dari perlekatan adduktor dan
ekstensor pada fragmen proksimal. D fraktur shaft distal menyebabkan perubahan kecil
pada posisi fragmen proksimal karena banyak otot yang melekat pada fragmen yang
sama, sehingga lebih seimbang. 6
D. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Biasanya terdapat riwayat cedera, diikuti dengan ketidakmampuan menggunakan
tungkai yang mengalami cedera, fraktur tidak selalu dari tempat yang cedera suatu pukulan
dapat menyebebkan fraktur pada kondilus femur, batang femur, pattela, ataupun acetabulum.
Umur pasien dan mekanisme cedera itu penting, kalau fraktur terjadi akibat cedera yang
ringan curigailah lesi patologik nyeri, memar dan pembengkakan adalah gejala yang sering
ditemukan, tetapi gejala itu tidak membedakan fraktur dari cedera jaringan lunak, deformitas
jauh lebih mendukung. (1,7)
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan status lokalis dilakukan setelah pemeriksaan skrining awal dilakukan.
Berikut adalah langkah pemeriksaan status lokalis:
10
a. Look
Pembengkakan, memar dan deformitas (penonjolan yang abnormal, angulasi, rotasi,
pemendekan) mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu
utuh; kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera terbuka. (1)
b. Feel
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat
nyeri.
- Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri femoralis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior
- Pengukuran panjang tungkai untuk mengetahui adanya perbedaan panjang
tungkai. (1)
c. Motion
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif
sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Umumnya pada
fraktur shaft femur seringkali terlewatkan karena nyeri yang disebabkan oleh fraktur
seperti fraktur neck femur, dislokasi hip dan cedera ligamen pada lutut. (1,5)
3. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris serta
gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau neurotmesis. (1)
4. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip rule of two, yaitu: dua posisi proyeksi, dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada antero-posterior dan lateral; dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di atas dan di bawah sendi yang mengalami fraktur; dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada ke dua anggota gerak terutama pada fraktur epifisis; dua kali dilakukan foto, sebelum dan sesudah reposisi. (1,6)
E. PENATALAKSANAAN
11
Penatalaksanaan awal
Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada satu fraktur, maka diperlukan :
1. Pertolongan pertama
Pada pasien dengan fraktur yang penting dilakukan adalah membersihkan jalan
nafas, menutup luka dengan verban yang bersih, dan imobilisasi fraktur pada
anggota gerak yang terkena agar pasien merasa nyaman dan mengurangi nyeri
sebelum diangkut dengan ambulans. Bila terdapat pendarahan dapat dilakukan
pertolongan dengan penekanan setempat.
2. Penilaian klinis
Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis, apakah luka
itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/ saraf ataukah ada trauma
alat-alat dalam yang lain.
3. Resusitasi
Kebanyakan pasien dengan fraktur multipel tiba di rumah sakit dengan syok,
sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya sendiri
berupa pemberian transfusi darah dan cairan lainnya serta obat-obat anti nyeri.
Prinsip Umum Tatalaksana Fraktur
1. First, do no harm
Yakni dengan mencegah terjadinya komplikasi iatrogenik. Hal ini bisa dilakukan
dengan pertolongan pertama yang hati-hati, transportasi pasien ke rumah sakit
yang baik, dan mencegah terjadinya infeksi dan kerusakan jaringan yang lebih
parah.
2. Tatalaksana dasar berdasarkan diagnosis dan prognosis yang akurat
Keputusan pertama adalah menentukan apakah fraktur tersebut membutuhkan
reduksi dan bila iya maka tentukan tipe reduksi terbaik apakah terbuka atau
tertutup. Kemudian keputusan kedua yakni mengenai tipe imobilisasi, apakah
eksternal atau internal.
3. Pemilihan tatalaksana dengan tujuan yang spesifik
Tujuan spesifik dalam tatalaksana fraktur yaitu :
Untuk mengurangi rasa nyeri
Dikarenakan tulang bersifat relatif tidak sensitif, rasa nyeri pada fraktur
berhubungan dengan kerusakan jaringan lunak termasuk periosteum dan
endosteum. Rasa nyeri ini dapat diperberat dengan pergerakan fragmen
12
fraktur yang berhubungan dengan spasme otot dan pembengkakan yang
progresif. Rasa nyeri pada fraktur dapat berkurang dengan imobilisasi dan
menghindari pembalutan yang terlalu ketat. Beberapa hari pertama setelah
terjadinya fraktur dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri.
Untuk memelihara posisi yang baik dari fragmen fraktur
Reduksi fraktur untuk mendapatkan posisi yang baik, yakni diindikasikan
hanya untuk memperbaiki fungsi dan mencegah terjadinya artritis
degeneratif. Pemeliharan posisi fragmen fraktur biasanya membutuhkan
beberapa derajat imobilisasi, dengan beberapa metode, termasuk
continuous traction, plaster-of-Paris cast, fiksasi skeletal eksterna, dan
fiksasi skeletal interna, berdasarkan derajat dari kestabilan atau
ketidakstabilan reduksi.
Untuk mengusahakan terjadinya penyatuan tulang (union)
Pada kebanyakan fraktur, proses penyatuan tulang merupakan proses
penyembuhan yang terjadi secara alami. Namun pada beberapa kasus,
misalnya dengan robekan periosteum berat dan jaringan lunak atau dengan
nekrosis avaskular pada satu atau dua fragmen, proses penyatuan tulang
harus dengan autogenous bone grafts, pada tahap penyembuhan awal atau
lanjut.
Untuk mengembalikan fungsi secara optimal
Saat periode imobilisasi dalam penyembuhan fraktur, diuse atrophy pada
otot regional harus dicegah dengan latihan aktif statik (isometrik) pada otot
tersebut dengan mengkontrol imobilisasi sendi dan latihan aktif dinamik
(isotonik) pada seluruh otot lainnya di tubuh. Setelah periode imobilisasi,
latihan aktif sebaiknya tetap dilanjutkan.
4. Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan
Dalam memilih pengobatan harus dipertimbangkan pengobatan yang realistik dan
praktis.
5. Seleksi pengobatan sesuai dengan pasien secara individual
Setiap fraktur memerlukan penilaian pengobatan yang sesuai, yaitu dengan
mempertimbangkan faktor umur, jenis fraktur, komplikasi yang terjadi, dan perlu
pula dipertimbangkan keadaan ekonomi pasien secara individual.
13
Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif, prinsip
pengobatan ada empat (4R), yaitu :
Recognition; diagnosis dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan
anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai
untuk pengobatan, dan komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah
pengobatan.
Reduction; reduksi fraktur apabila perlu
Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat
diterima. Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat
mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti
kekakuan, deformitas, serta perubahan osteoartritis di kemudian hari.
Posisi yang baik adalah alignment yang sempurna dan aposisi yang sempurna.
Fraktur seperti fraktur klavikula, iga, dan fraktur impaksi dari humerus tidak
memerlukan reduksi. Angulasi <5º pada tulang panjang anggota gerak bawah
dan lengan atas dan angulasi sampai 10º pada humerus dapat diterima.
Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50%, dan over-riding tidak melebihi 0,5
inchi pada fraktur femur. Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun
lokalisasi fraktur.
Retention; imobilisasi fraktur
Rehabilitation; mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
Penatalaksanaan fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan
splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik
sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multipel
trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah
hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah
dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan “ORIF” maupun
“OREF”.
Tujuan pengobatan fraktur yaitu :
a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi. Teknik
reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat dilakukan
14
dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu dengan reposisi
terbuka yang dilakukan pada pasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup,
fragmen bergeser, mobilisasi dini, fraktur multipel, dan fraktur patologis.
b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen post
reposisi sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan
(shortening), fraktur unstable serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar.