BAB I PENDAHULUAN Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur. Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan belajar. Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%) Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin. Penilaian statistik dan pengalaman klinis atau patologi anatomis menunjukan bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan oleh Drage dan Berendes (1966) yang mendapatkan bahwa skor Apgar yang rendah sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir akan memperlihatkan angka kematian yang tinggi. Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia
disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. Laporan
dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003
asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak
diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur.
Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup
dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan
belajar. Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian
perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%),
prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%)
Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting yang
dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin. Penilaian
statistik dan pengalaman klinis atau patologi anatomis menunjukan bahwa keadaan ini
merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan
oleh Drage dan Berendes (1966) yang mendapatkan bahwa skor Apgar yang rendah
sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir akan memperlihatkan angka
kematian yang tinggi. Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan
perdarahan pada bayi sebagai akibat hipoksia sangat tinggi. Asidosis, gangguan
kerdiovaskular serta komplikasinya sebagai akibat langsung dari hipoksia merupakan
penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir. Kegagalan ini akan sering berlanjut
menjadi sindrom gangguan pernafasan pada hari-hari pertama setelah lahir. Penyelidikan
patologi anatomis yang dilakukan oleh Larrhoce dan Amakawa (1971) menunjukkan
nekrosis berat dan difus pada jaringan otak bayi yang meninggal karena hipoksia. Karena
itu tidaklah mengherankan bahwa sekuele neurologis sering ditemukan pada penderita
asfiksia berat. Keadaan ini sangat menghambat pertumbuhan fisis dan mental bayi di
kemudian hari. Untuk menghindari atau mengurangi kemungkinan tersebut di atas, perlu
dipikirkan tindakan istimewa yang tepat dan rasional sesuai dengan perubahan yang
mungkin terjadi pada penderita asfiksia.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pengertian Asfiksia Neonatorum
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda :
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,
hiperkarbia dan asidosis.
2. WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir.
3. ACOG dan AAP
Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut:
- Nilai Apgar menit kelima 0-3
- Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)
- Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)
- Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular,
gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).
2
II.2. Etiologi Asfiksia Neonatorum
Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan
kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas
atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia janin atau
neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera
setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir ini merupakan
kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama masa kehamilan dan
persalinan memegang peranan yang sangat penting untuk keselamatan bayi.
Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai
anoksia/ hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatus.
Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi, adalah:
1. Faktor Ibu
Hipoksia ibu dapat menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
Hipoksia ibu ini dapat terjadi kerena hipoventilasi akibat pemberian obat
analgetika atau anastesia dalam. Gangguan aliran darah uterus dapat
mengurangi aliran darah pada uterus yang menyebabkan berkurangnya aliran
oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan ;
gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus
akibat penyakit atau obat, hipotensi mendadak pada ibu karna perdarahan,
hipertensi pada penyakit eklamsi dan lain-lain.
2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksi janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta,
misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain.
3
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan gangguan aliran darah dalam
pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan
janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat
menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan
lain-lain.
4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernafasan pada BBL dapat terjadi karena; pemakaian obat
anastesi/ analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat
menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, traoma yang terjadi pada
persalinan mosalnya perdarahan intra cranial, kelainan kongenital pada bayi
masalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernafasan,
hipoplasia paru dan lain-lain.
II.3. Patogenesis Asfiksia Neonatorum
1. Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 awalnya akan terjadi rangsangan dari
nervus vagus sehingga jantung janin menjadi lambat. Bila kekurangan O2 ini
terus berlangsung, maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah
kini rangsangan dari nervus simpatikus. DJJ menjadi lebih cepat, akhirnya
irregular dan menghilang.
2. Kekurangan O2 juga merangsang usus, sehingga mekonium keluar sebagai
tanda janin dalam hipoksia:
Jika DJJ normal dan ada mekonium maka janin mulai hipoksia.
Jika DJJ > 160 x/ menit dan ada mekonium maka janin sedang hipoksia.
Jika DJJ < 100 x/ menit dan ada mekonium maka janin dalam keadaan
gawat.
3. Janin akan mengadakan pernafasan intra uterine dan bila kita periksa terdapat
banyak air ketuban dan mekonium dalam paru. Bronkus tersumbat dan terjadi
atelektasis, bila janin lahir aveoli tidak berkembang.
4
II.4. Prinsip Dasar Asfiksia Neonatorum
Bayi dapat mengalami apnea dan menunjukan upaya pernafasan yang tidak cukup
untuk kebutuhan ventilasi paru-paru. Kondisi ini menyebabkan kurangnya
pengambilan oksigen dan pengeluaran CO2. Penyebab depresi bayi pada saat lahir
ini mencakup:
1. Asfiksia intra uterin.
2. Bayi kurang bulan.
3. Obat-obat yang diberikan/ diminum oleh ibu.
4. Penyakit neuromuskular bawaan.
5. Cacat bawaan.
6. Hipoksia intra partum.
Asfiksia berarti hopoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila proses
ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak/ kematian.
Asfiksia juga mempengaruhi organ vital lainnya. Pada bayi yang mengalami
kekurangan oksigen akan terjadi pernafasan yang cepat dalam periode yang
singkat. Apabila asfiksia berlanjut gerakan pernafasan akan berhenti, denyut
jantung juga mulai menurun, sedangkan tonus neuromuskular berkurang secara
berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apnea yang dikenal dengan nama
apnea primer. Perlu diketahui bahwa pernafasan yang megap-megap dan tonus otot
yang juga turun terjadi akibat obat-obat yang diberikan pada ibunya. Biasanya
pemberian rangsangan dan oksigen selama periode apnea primer dapat merangsang
terjadinya pernafasan spontan.
Apabila asfiksia berlanjut bayi akan menunjukan megap-megap yang dalam, denyut
jantung terus menurun, dan bayi akan terlihat lemas (flaccid). Pernafasan makin
lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apnea yang disebut apnea
sekunder, selama apnea sekunder ini denyut jantung, tekanan darah, dan kadar
oksigen dalam darah (PaO2) terus menurun. Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap
rangsangan dan tidak akan menunjukan upaya pernapasan secara spontan.
Kematian akan terjadi kecuali apabila resusitasi dengan pernafasan buatan dan
pemberian oksigen dimulai dengan segera.
5
II.5. Tanda dan Gejala Klinis Asfiksia Neonatorum
Pada asfiksia tingkat lanjut akan terjadi perubahan yang disebabkan oleh beberapa
keadaan diantaranya:
1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.
2. Terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan
termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung.
3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap
tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah mengalami
gangguan.
Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang cepat dalam
periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti,
denyut jantung juga menurun, sedangkan tonus neuromuskular berkurang secara
barangsur-angsur dan memasuki periode apnea primer.
Gejala dan tanda asfiksia neonatorum yang khas antara lain meliputi pernafasan
- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I +
Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi
Rencana Terapi Awal
Planing Terapi
- Rawat inkubator
- O2 1 lpm
- Rehidrasi IVFD RL 22 cc dalam 10 menit
- Maintenance IVFD D10% 12 tpm
- Inj. Aapisilin 2 x 100 mg
- Inj. Gentamisin 2 x 10 mg
- ASI sonde ad lib
- Foto terapi setelah dehidrasi teratasi
Planning Diagnostik
- Cek AGD
- Cek elektrolit
- Cek bilirubin post fototerapi
Prognosis : Dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal Subject Object Assesment Planning25/7/2013 Jarang
menangis, Sesak (-), kulit kuning (+), demam (-), gerakan aktif
KU : lemahKesadaran : apatis Nadi : 156 x/menitPernapasan : 56 x/menitTemperature : 36,1 o CUbun-ubun terbuka
- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post
- Rawat inkubator
- O2 1 lpm- Rehidrasi IVFD
RL 22 cc dalam 10 menit
43
kurang, minum ASI (+).
cekung (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (+), tali pusat layu (+), anus (+), turgor kulit kembali lambat namun masih < 2 detik. Kulit tampak keriput (+), kering (+), kulit mengelupas (+). Dari pemeriksaan penunjang didapatkan bilirubin total : 15,38 mg %, bilirubin direk : 2,65 mg %.
Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi
- Maintenance IVFD D10% 12 tpm
- Inj. Aapisilin 2 x 100 mg
- Inj. Gentamisin 2 x 10 mg
- ASI sonde ad lib
- Foto terapi setelah dehidrasi teratasi
-26/7/2013 Jarang
menangis, Sesak (-), kulit kuning (+), demam (-), gerakan aktif kurang, minum ASI (+).
KU : lemahKesadaran : apatis Nadi : 148 x/menitPernapasan : 52 x/menitTemperature : 36,7 o CUbun-ubun terbuka datar (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (-), tali pusat layu (+), turgor kulit kembali baik. Kulit tampak keriput (+).
- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi
- Rawat inkubator
- O2 1 lpm- IVFD D10% 12
tpm- Inj. Aapisilin 2
x 100 mg- Inj. Gentamisin
2 x 10 mg- ASI sonde ad
lib- Foto terapi
27/7/2013 Menagis adekuat, sesak (-), kulit kuning (+), demam (-), gerakan aktif (+), minum ASI (+).
KU : lemahKesadaran : Compos mentis Nadi : 144 x/menitPernapasan : 52 x/menitTemperature : 36,8 o CUbun-ubun terbuka datar (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (-), tali pusat layu (+), turgor kulit kembali baik. Kulit tampak keriput (+).
- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi
- Rawat inkubator
- O2 1 lpm- IVFD D10% 12
tpm- Inj. Aapisilin 2
x 100 mg- Inj. Gentamisin
2 x 10 mg- ASI sonde ad
lib- Foto terapi
44
28/7/2013 Menagis adekuat, sesak (-), kulit kuning (-), demam (-), gerakan aktif (+), minum ASI (+).
KU : lemahKesadaran : Compos mentis Nadi : 140 x/menitPernapasan : 58 x/menitTemperature : 36,8 o CUbun-ubun terbuka datar (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (-), tali pusat layu (+), turgor kulit kembali baik. Kulit tampak keriput (+).
- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi
- Rawat inkubator
- O2 1 lpm- IVFD D10% 12
tpm- Inj. Aapisilin 2
x 100 mg- Inj. Gentamisin
2 x 10 mg- ASI sonde ad
lib- Foto terapi
28/7/2013 Menagis adekuat, sesak (-), kulit kuning (-), demam (-), gerakan aktif (+), minum ASI (+).
KU : lemahKesadaran : Compos mentis Nadi : 148 x/menitPernapasan : 48 x/menitTemperature : 36,6 o CUbun-ubun terbuka datar (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (-), tali pusat layu (+), turgor kulit kembali baik. Kulit tampak keriput (+).
- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi
- Rawat inkubator
- O2 1 lpm- IVFD D10% 12
tpm- Inj. Aapisilin 2
x 100 mg- Inj. Gentamisin
2 x 10 mg- ASI sonde ad
lib- Foto terapi
29/7/2013 Menagis adekuat, sesak (-), kulit kuning (-), demam (-), gerakan aktif (+), minum ASI (+).
KU : lemahKesadaran : Compos mentis Nadi : 154 x/menitPernapasan : 56 x/menitTemperature : 36,7 o CUbun-ubun terbuka datar (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (-), tali pusat layu (+), turgor kulit kembali baik. Kulit tampak keriput (+).
- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi
- Rawat inkubator
- O2 1 lpm- IVFD D10% 12
tpm- Inj. Aapisilin 2
x 100 mg- Inj. Gentamisin
2 x 10 mg- ASI sonde ad
lib
45
30/7/2013 Menagis adekuat, sesak (-), kulit kuning (-), demam (-), gerakan aktif (+), minum ASI (+).
KU : lemahKesadaran : Compos mentis Nadi : 140 x/menitPernapasan : 144 x/menitTemperature : 36,8 o CUbun-ubun terbuka datar (+), sklera : ikterik +|+, mukosa bibir : kering (-), tali pusat layu (+), turgor kulit kembali baik. Kulit tampak keriput (+).
- BCB KMK + BBLR + Asfiksia Sedang + Syndrome Post Maturitas Grade I + Hipotermia + Hiperbilirubinemia + Dehidrasi
- Rawat inkubator
- O2 1 lpm- IVFD D10% 12
tpm- Inj. Aapisilin 2
x 100 mg- Inj. Gentamisin
2 x 10 mg- ASI sonde ad
lib
46
BAB IV
PEMBAHASAN
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia
dan asidosis. Pembagian klasifikasi asfiksia dibuat berdasarkan nilai apgar score yaitu :
1. Asfiksia berat
Apgar score 0-3, bayi memerlukan resusitasi segera secara aktif dan pemberian O2
terkendali.
2. Asfiksia sedang
Apgar score 4-6 memerlukan resusitasi dan pemberian O2 sampai bayi dapat bernafas
normal kembali.
3. Bayi normal atau sedikit asfiksia (nilai apgar 7-10). Dalam hal ini bayi dianggap
sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
Pada kasus diatas AS 6 – 8, maka pasien dapat didiagnosis dengan asfiksia sedang.
Diagnosis ini ditunjang dari anamnesis dimana didapatkan pasien tidak bisa bernapas
spontan, saat lahir kulit pasien berwarna biru, dan terdapat faktor resiko janin yaitu adanya
tanda sindrom post maturitas grade I dimana tali pusat pasien layu kulit mengelupas dan
keriput. Sindrom post maturitas ini akan muncul bila bayi sudah lewat bulan atau post date
dimana pada pasien usia kehamilan ibu 40 – 41 minggu. Tali pusat yang sudah layu akan
membuat aliran darah ke janin menjadi kurang adekuat sehingga bayi dapat mengalami
asfiksia intranatal. Didapatkan faktor resiko ibu dimana ibu mengalami eklamsia. Saat
terjadi eklamsia maka terjadi insufisiensi aliran darah ke janin melalui plasenta dan tali
pusat akibat tekanan darah yang tinggi. Tekanan darah yang tinggi akan menyebabkan
arteri dan vena umbilikalis menjadi berkonstriksi sehingga dapat pula menyebabkan aliran
darah ke bayi menurun dan dapat menyebabkan asfiksia intranatal dan post natal.
Bayi kuning seperti pada kasus mengarahkan pada terjadinya suatu ikterus. Faktor
resiko pada bayi ini adalah berat badan lahir rendah pada pasien yaitu 2.200 gram dan
adanya dehidrasi pada pasien. Bayi yang dehidrasi akan menyebabkan pasase feses
terhambat dan meningkatkan resorbsi bilirubin. Kombinasi dari faktor faktor tersebut
menyebabkan ikterus.
47
Ikterus yang terjadi pada bayi dalam ini terjadi pada usia 4 hari. Kondisi ini termasuk
dalam ikterus patologis karena bilirubin total pasien : 15,38 mg/dl dimana kadar ini lebih
tinggi dari kisaran normal bilirubin total yaitu < 8,8 mg/dL. Ikterus patologis pada pasien
ini juga didukung oleh adanya BBLR dan dehidrasi pada pasien. sehingga pasien
memerlukan terapi fototerapi. Bilirubin direk pada pasien adalah : 2,65 mg %, dimana
angka ini masih dalam kisaran normal yaitu < 20 % dari bilirubin total (bila bilirubin total
> 5 mg/dl). Dari hasil laboratorium tersebut dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini
terjadi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (bilirubin tak terkonjugasi >85% bilirubin total).
Hal ini juga sesuai dengan teori yang mengatakan ikterus yang disebabkan oleh bilirubin
tak terkonjugasi akan memberikan tampakan kuning yang lebih jelas dibandingkan dengan
ikterus oleh karena bilirubin terkonjugasi. Pada pasien juga tidak ada keluhan berupa feses
pucat, serta didapatkan sehingga semakin menunjang ke arah hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan oleh :
1. Septikemia/ISK
2. Breast milk jaundice
3. Hipotiroidisme
4. Hemolisis karena defisiensi G6PD atau sferositosis kongenital
5. Galaktosemia
Pada pasien ini belum dapat ditentukan dengan pasti apa penyebab ikterus yang
terjadi. Apabila ditemukan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi maka perlu dilakukan
beberapa pemeriksaan penunjang seperti tes fungsi tiroid pemeriksaan urine, pemeriksaan
hapusan darah tepi, kultur darah, serta pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebabnya.
Terapi untuk ikterus pasien adalah foto terapi atau terapi sinar. Terapi ini diberikan
untuk membantu ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Fototerapi menyebabkan isomerisasi
pada bilirubin tak terkonjugasi, sehingga dengan mudah bilirubin yang sudah
terisomerisasi ini dapat dikeluarkan dari tubuh, dan tidak terjadi hiperbilirubinemia.
Setelah fototerapi bayi perlu di evaluasi. Evaluasi meliputi kuning pada tubuh bayi, serta
pemeriksaan bilirubin ulang.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical Guide-
Revision. Geneva: World Health Organization; 1999. Diunduh dari: