KATA PENGANTARAssalamualaikum wr.wb puji dan syukur kita
panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan
hidayahNYA lah penulis dapat menyelesaikan laporan Al-islami modul
II Penulis menyadari banyak kekurangan yang ada didalam tulisan
yang disusun pada laporan iniModul II Al-islami ini dapat membuat
mahasiswa mengerti dan memahami tentang batasan autrat laki-laki,
perempuan dan cara pemeriksaan antara lawan jenis yang baik dan
benar sesui syariat islamDengan selesainya modul II ini diharapkan
mahasiswa dapat menerapkan modul II ini dalam dalam kehidupan
sehari-hari agar dapat menjadikan dokter-dokter islami yang
mengerti batasan-batasan yang diajarkan islam.
SkenarioSaat anda sedang praktek di klinik Az Zahra, kemudian
datang seorang pasien yang berlawanan jenis dengan anda mengeluh
merasa ada benjolan di duburnya, dia meminta anda untuk memeriksa
bagian duburnya karena sudah 3 bulan dia merasa keluar benjolan
saat dia mengejan. Pasien tersebut berumur 19 tahun dan belum
menikah. Dia datang sendiri ke klinik dan saat praktek anda
ditemani oleh perawat.Bagaimana menurut anda?
Penyelesaian Klarifikasi istilah : -Kata kunci : 1. Pasien lawan
jenis 2. Berumur 19 th dan belum menikah 3. Meminta untuk diperiksa
dibagian dubur4. Pasien datang sendirian5. Saat praktek anda hanya
ditemani seorang perawat
Analisa masalah :Pertanyaan :1. Apakah pengertian aurat ?2.
Batasan aurat pria dan wanita menurut islam 3. Bagaimana adab
pemeriksaan kesehatan terhadap lawan jenis menurut islam dan umum
(akhlakul karimah)4. Bagaimana seorang dokter mengatasi penyakit
pasien pada kasus diatas dengan memperhatikan adab pemeriksaan
lawan jenis sesuai ihsan ?5. Apakah dengan ditemani perawat seorang
dokter dapat memeriksa aurat pasien lawan jenisnya 6. Adakah
perbedaan mengenai adab pemeriksaan terhadap lawan jenis yang sudah
menikah atau belum ?7. Apakah seorang dokter diperbolehkan
memeriksa bagian aurat pasien lawan jenis menurut hokum islam
berikan alas an jika iya atau tidak dan jika boleh sebatas apa ?8.
Perlukah seorang pasien ditemani oleh muhrimnya saat berobat ,jika
dilihat dari kasus ini /9. Apakah seorang dokter dapat memeriksa
aurat pasien jika ditemani oleh perawat baik yg sejenis dengan
pasien maupun yang tidak ?
Pembahasan : Aurat (dalam bahasa arab Aurah) yang berarti
keaiban adalah bagian dari tubuh manusia yang diharamkan untuk
dilihat dan dipegang .Dalam islam, aurat bagi wanita adalah seluruh
tubuhnya, kecualikedua telapak tangan dan muka (surah An Nuur 31
dan Al Ahzab 59) ,sedangkan untuk pria adalah bagian pusar (perut)
ke bawah hingga lutut. Manakala dalam istilah fekah pula aurat
diartikan sebagai bagian tubuh badan seseorang yang wajib ditutup
atau dilindungi dari pandangan . (Wikipedia bahasa
Indonesia,ensiklopedia bebas.E-book iMuslim) Batasan aurat wanita
menurut islam adalah dari ujung rambut hingga ujung kaki kecuali
muka dan telapak tangan. Dalam islam aurat dibagi menjadi dua yaitu
aurat dalam kehidupan sehari-hari dan aurat dalam shalat . untuk
wanita aurat dalam shalatnya adalah seluruh tubuh kecuali muka dan
suaranya. Sedangkan batasan aurat laaki-laki menurut islam adalah
dari pusar perut sampai dibawah lutut.Adab pemeriksaan pasien lawan
jenis menurut islam.Di antara keindahan syariat Islam, yaitu
ditetapkannya larangan mengumbar aurat dan perintah untuk menjaga
pandangan mata kepada obyek yang tidak diperbolehkan, lantaran
perbuatan itu hanya akan mencelakakan diri dan agamanya.Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (yang artinya): Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka,
dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang
(biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka,
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita . .
." [an-Nr/24: 30-31].Islam mensyariatkan, jika seseorang tertimpa
penyakit maka ia diperintahkan untuk berusaha mengobatinya.
Al-Qur`n dan as-Sunnah telah menetapkan syariat tersebut. Dan pada
pelayanan dokter memang terdapat faedah, yaitu memelihara jiwa.
Satu hal yang termasuk ditekankan dalam syariat Islam. Akan tetapi
bagimana jika seorang laki-laki berobat kpd wanita muslim?IDEALNYA
MUSLIM BEROBAT KE DOKTER PRIAHukum asalnya, apabila ada dokter umum
dan dokter spesialis dari kaum Muslim, maka menjadi kewajiban kaum
Muslim untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Meski hanya sekedar
keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan
genting, ataupun jika harus melakukan pembedahan.Berkaitan dengan
masalah itu, Syaikh Bin Bz rahimahullah mengatakan: Seharusnya para
dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus, dan dokter
lelaki melayani kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan
yang sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian pelayanan
wanita masing-masing disendirikan, agar masyarakat terjauhkan dari
fitnah dan ikhtilat yang bisa mencelakakan. Inilah kewajiban semua
orang.[4]Lajnah D-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita mudah
menemukan dokter wanita yang cakap menangani penyakitnya, ia tidak
boleh membuka aurat atau berobat ke seorang dokter lelaki. Kalau
tidak memungkinkan maka ia boleh melakukannya.[5]seorang muslim
harus menjaga kehormatannya, sehingga ia harus menjaga rasa malu
yang telah menjadi fitrah, menghindarkan diri dari tangan wanita
yang bukan makhramnya, menjauhkan diri dari ikhtilath. Tatkala ia
ingin mendapatkan penjelasan mengenai penyakitnya secara lebih
banyak, lebih leluasa bertanya, dan sebagainya, maka mau tidak mau
hal ini tidak akan bisa didapatkan dengan baik, melainkan jika
seorang pria berobat atau memeriksakan dirinya kepada dokter atau
ahli medis pria. Bila tidak, maka hal itu sulit dilakukan secara
maksimal.
BAGAIMANA BILA TIDAK ADA DOKTER PRIA?Syaikh Bin Bz rahimahullah
memandang permasalahan ini sebagai persoalan penting untuk
diketahui dan sekaligus menyulitkan. Akan tetapi, ketika Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah memberi karunia ketakwaan dan ilmu kepada
seorang wanita, maka ia harus bersikap hati-hati untuk dirinya,
benar-benar memperhatikan masalah ini, dan tidak menyepelekan.
Seorang lelaki memiliki kewajiban untuk mencari dokter wanita
terlebih dahulu. Bila mendapatkannya, alhamdulillah, dan ia pun
tidak membutuhkan bantuan dokter wanita.[6]Bila memang dalam
keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang membolehkan untuk
menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan. Selama
mendatangkan maslahat, seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan
jiwa dan raganya. Seorang muslim yang keadaannya benar-benar dalam
kondisi terhimpit dan tidak ada pilihan, (maka) ia boleh pergi ke
dokter wanita, baik karena tidak ada ada seorang dokter muslim yang
mengetahui penyakitnya maupun memang belum ada yang ahli.Allah
Ta`ala menyebutkan dalam firman-Nya surat al-An'm/6 ayat 119:
"(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya)".Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul
darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk
ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. 1. Keberadaan mahram adalah
keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang
muslim terpaksa harus bertemu dan berobat kepada dokter wanita, ia
harus didampingi mahram atau istrinya saat pemeriksaan. Tidak
berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang
periksa.Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk
pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan,
dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat lelaki, meskipun
sudah ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan istri atau pria
lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk
menjauhkan dari kecurigaan.[7]Ketika Syaikh Shalih al-Fauzan
ditanya mengenai hukum berobat kepada dokter yang berbeda jenisnya,
beliau menjelaskan:Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada
dokter pria, terlebih lagi ia seorang spesialis yang dikenal dengan
kebaikan, akhlak dan keahliannya. Dengan syarat :1. bila memang
tidak ada dokter wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut.
2. Atau karena keadaan si pasien yang mendesak harus cepat
ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan cepat
menjalar dan membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini, perkara yang
harus diperhatikan pula :1. dokter tersebut tidak boleh membuka
sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas
yang diperlukan dalam pemeriksaan.2. dokter tersebut adalah muslim
yang dikenal dengan ketakwaannya. 3. Pada situasi bagaimanapun,
seorang muslim yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria tidak
dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh salah
satu mahramnya".[8]Ketika Lajnah D-imah menjawab sebuah pertanyaan
tentang syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi dokter lelaki untuk
menangani pasien perempuan, maka Lajnah D-imah mengeluarkan fatwa
yang berbunyi: (Syarat-syaratnya), yaitu tidak dijumpai adanya
dokter wanita muslimah yang sanggup menangani penyakitnya, dokter
tersebut seorang muslim lagi bertakwa, dan pasien wanita itu
didampingi oleh mahramnya.[9]Pada buku Fikih Kedokteran karangan
Walid bin Rasyid as-Saidah, Pustaka Fahima. Dalam buku Fikih
Kedokteran ini, ada 21 Kaidah, diantaranya :Kaidah Kesembilan :
Apabila Ada dua kerusakan, maka diambil kerusakan yang lebih-lebih
ringan. Dibolehkannya wanita mengobati laki-laki dan sebaliknya
jika tidak ada cara lain. Sebab tindakan tersebut untuk mencegah
kerusakan yang lebih besar. Sebab jika orang sakit dibiarkan dengan
keadaannya yang sakit, dan tidak diobati, niscaya kemadharatan yang
lebih besar dan kerusakan yang lebih banyak akan terjadi. Maka,
dibolehkan seorang laki-laki mengobati wanita dan sebaliknya jika
tidak ada cara lain demi menolak kerusakan yang lebih besar dengan
melakukan kerusakan yang lebih kecil.Keempat belas: Keterpaksaan
itu Membolehkan yang Terlarang. Seorang dokter pria boleh melihat
pasien wanita, atau melihat aurat pasien laki-laki karena darurat.
Namun, ia tidak boleh melihat secara mutlak. Cukup sebatas yang
diperlukan untuk mencegah keterpaksaan saja. KESIMPULANSebagaimana
hukum asalnya, bila ada dokter pria yang ahli, maka dialah yang
wajib menjalankan pemeriksaan atas seorang pasien pria. Bila tidak
ada, dokter pria non-muslim yang dipilih. Jika masih belum
ditemukan, maka dokter wanita muslim yang melakukannya. Bila
keberadaan dokter muslim tidak tersedia, bisa saja seorang dokter
non-muslim yang menangani.Akan tetapi harus diperhatikan, dokter
wanita yang melakukan pemeriksaan hanya boleh melihat tubuh pasien
pria itu sesuai dengan kebutuhannya saja, yaitu saat menganalisa
penyakit dan mengobatinya, serta harus menjaga pandangan. Dan juga,
saat dokter wanita menangani pasien pria, maka pasien pria itu
harus disertai mahram, atau istrinya, atau pria yang dapat
dipercaya supaya tidak terjadi khalwat.Jadi akhlakul karimah yang
wajib dimiliki seorang dokter muslim adalah1. Iman2. Ikhlas3.
Ikhsan4. Etika dokter islami
Dari ulasan diatas terpaparlah bahwa seharusnya seorang
laki-laki mencari dokter yang sejenis begitu pula dengan wanita.
Namun bila dalam keadaan darurat maka dokter hendaklah mengatasi
penyakit pasien dengan hati ihsan. Dokter memeriksa pasien dengan
seperlunya saja dengan terlebih dulu meminta izin kepasien dan
meminta pasien untuk membawa muhrimnya dan tidak hanya berduaan
dengan pasien didalam kamar periksa. Pada hukum dasarnya, sentuhan
kulit secara langsung antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram
atau bukan suaminya sendiri, hukumnya haram.Namun bila ada hal-hal
mendesak yang tidak mungkin dihindari serta tidak ditemukanya
alternatif lain, untuk sementara hal-hal yang hukumnya haram bisa
berubah sesaat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah. Islam
mensyariatkan, jika seseorang tertimpa penyakit maka ia
diperintahkan untuk berusaha mengobatinya. Al-Qur`n dan as-Sunnah
telah menetapkan syariat tersebut. Dan pada pelayanan dokter memang
terdapat faedah, yaitu memelihara jiwa. Satu hal yang termasuk
ditekankan dalam syariat Islam.Yang dimaksud ikhtilat, yaitu
berduanya seorang lelaki dengan seorang perempuan di tempat sepi.
Dalam hal ini menyangkut pergaulan antara sesama manusia, yang
rambu-rambunya sangat mendapat perhatian dalam Islam. Yaitu berkait
dengan ajaran Islam yang sangat menjunjung tinggi keselamatan bagi
manusia dari segala gangguan. Terlebih lagi dalam masalah mu'amalah
(pergaulan) dengan lain jenis. Dalam Islam, hubungan antara pria
dan wanita telah diatur dengan batasan-batasan, untuk membentengi
gejolak fitnah yang membahayakan dan mengacaukan kehidupan.
Karenanya, Islam telah melarang pergaulan yang dipenuhi dengan
ikhtilat (campur baur antara pria dan wanita). Hukum asalnya,
apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari kaum Muslimah,
maka menjadi kewajiban kaum Muslimah untuk menjatuhkan pilihan
kepadanya. Meski hanya sekedar keluhan yang paling ringan, flu
batuk pilek sampai pada keadaan genting, semisal persalinan ataupun
jika harus melakukan pembedahan. Bila memang dalam keadaan darurat
dan terpaksa, Islam memang membolehkan untuk menggunakan cara yang
mulanya tidak diperbolehkan. Selama mendatangkan maslahat, seperti
untuk pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya. Meskipun
dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus
mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku
secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa
ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus
bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi
mahram atau suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang
dokter di kamar praktek atau ruang periksa.
Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk
pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan,
dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun
sudah ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan suami atau
wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik
untuk menjauhkan dari kecurigaan.[7]Meskipun dibolehkan dalam
kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti
rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak.
Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar.
Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan
berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau
suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di
kamar praktek atau ruang periksa.
Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk
pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan,
dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun
sudah ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan suami atau
wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik
untuk menjauhkan dari kecurigaan.[7] Meskipun dibolehkan dalam
kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti
rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak.
Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar.
Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan
berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau
suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di
kamar praktek atau ruang periksa.
Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk
pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan,
dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun
sudah ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan suami atau
wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik
untuk menjauhkan dari kecurigaan.Dalam islam tidak ada perbedaan
antara memeriksa pasien lawan jenis baik yang sudah menikah maupun
yang masih single. Tetap saja jika ingin memeriksa pasien lawna
jenis harus ditemani muhrim pasien. seorang dokter diperbolehkan
memeriksa bagian aurat pasien lawan jenis menurut hukum islam jika
itu dalam keadaan darurat dan dengan syarat si pasien harus
ditemani oleh muhrimnya atau seorang perawat yang sejenis dengan
pasien. Dan dalam memeriksa auratpun dokter tidak boleh berlebihan.
Jadi hanya memeriksa seperlunya saja sesuaai dengan kebutuhan. Dan
si pasien saat berobat ke dokter yang berlawanan jenis haruslah
ditemani oleh muhrimnya. Perawat yang menemani dokter yang sedang
memeriksa pasien lawna jenis hendaklah sejenis denga pasien yang
sedang diperiksa. Namun lebih baik untuk menghidari fitnah maka
hendaklah pasien yang terdesak dan harus berobat kedokter lawan
jenis maka harus membawa muhrimnya. Referensi [1]. Lihat ath-Thuruq
Hukmiyah, hlm. 407.[2]. Syarhu Shahh Muslim.[3]. Hadits shahh
diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan lainnya. Lihat ash-Shahhah
(226), Shahhul-Jami' (5045).[4]. Al-Fatwa al-Mutaalliqah
bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm. 230.[5]. Fatwa Lajnah D-imah,
no. 4671. Dinukil dari al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa
Ahkamil-Mardha.[6]. Al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa
Ahkamil-Mardha 228-229[7]. Ibid.[8]. Lihat Fatwa, Syaikh Shalih
al-Fauzan, Jilid 5.[9]. Fatwa Lajnah D-imah no. 3507. Dinukil dari
al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm.
242.[10]. Lihat Fatwa wa Rasail Ibni Utsaimin, Jilid 12.
Kalimat Kunci1. seorang pasien yang berlawanan jenis2. berumur
19 tahn, belum menikah3. meminta untuk memeriksa bagian dubur4. dia
datang sendiri5. saat praktek anda ditemani seorang perawat
Pertanyaan1. apa pengetian aurat?2. apa saja batasan aurat
wanita dan laki-laki?3. bagaimanakah adab pemeriksaan kesehatan
terhadap lawan jenis, menurut islam dan menurut umum?4. bagaimana
seorang dokter mengatasi penyakit pasien pada kasus dengan
memperhatikan adab pemeriksaan lawan jenis sesui ikhsan?5. apakah
dengan ditemani seorang perawat, seorang dokter dapat memeriksa
bagian aurat pasien lawan jenis dan bagaimana cara mengatasinya?6.
apakah perbedaan mengenai adab pemeriksaan terhadap lawan jenis
yang sudah menikah atau belum menikah?7. apakah seorang dokter
diperbolehkan memeriksa bagian aurat pasien yang berlawanan jenis
menurut hukum islam? Berikan alasan jika ya atau tidak!8. perlukah
seorang pasien ditemani oleh muhrimnya pada sat berobat, di lihat
dari kasus ini?9. apakah seorang dokter dapat memeriksa aurat
pasien lawan jenis bila ditemani dengan perawat sejenis atau lawan
jenis?
Tujuan Pembelajaran
Pembahasan1. apa pengetian aurat?Aurat (dalam bahasa arab Aurah)
yang berarti keaiban adalah bagian dari tubuh manusia yang
diharamkan untuk dilihat dan dipegang .Dalam islam, aurat bagi
wanita adalah seluruh tubuhnya, kecualikedua telapak tangan dan
muka (surah An Nuur 31 dan Al Ahzab 59) ,sedangkan untuk pria
adalah bagian pusar (perut) ke bawah hingga lutut. Manakala dalam
istilah fekah pula aurat diartikan sebagai bagian tubuh badan
seseorang yang wajib ditutup atau dilindungi dari pandangan .
2. apa saja batasan aurat wanita dan laki-laki?3. bagaimanakah
adab pemeriksaan kesehatan terhadap lawan jenis, menurut islam dan
menurut umum?Di antara keindahan syariat Islam, yaitu ditetapkannya
larangan mengumbar aurat dan perintah untuk menjaga pandangan mata
kepada obyek yang tidak diperbolehkan, lantaran perbuatan itu hanya
akan mencelakakan diri dan agamanya.Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
berfirman (yang artinya): Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak
dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada
mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada
suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita . .
." [an-Nr/24: 30-31].Islam mensyariatkan, jika seseorang tertimpa
penyakit maka ia diperintahkan untuk berusaha mengobatinya.
Al-Qur`n dan as-Sunnah telah menetapkan syariat tersebut. Dan pada
pelayanan dokter memang terdapat faedah, yaitu memelihara jiwa.
Satu hal yang termasuk ditekankan dalam syariat Islam. Akan tetapi
bagimana jika seorang laki-laki berobat kpd wanita muslim?Idealnya
Muslim Berobat Ke Dokter PriaHukum asalnya, apabila ada dokter umum
dan dokter spesialis dari kaum Muslim, maka menjadi kewajiban kaum
Muslim untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Meski hanya sekedar
keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan
genting, ataupun jika harus melakukan pembedahan.Berkaitan dengan
masalah itu, Syaikh Bin Bz rahimahullah mengatakan: Seharusnya para
dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus, dan dokter
lelaki melayani kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan
yang sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian pelayanan
wanita masing-masing disendirikan, agar masyarakat terjauhkan dari
fitnah dan ikhtilat yang bisa mencelakakan. Inilah kewajiban semua
orang.Lajnah D-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita mudah
menemukan dokter wanita yang cakap menangani penyakitnya, ia tidak
boleh membuka aurat atau berobat ke seorang dokter lelaki. Kalau
tidak memungkinkan maka ia boleh melakukannya.seorang muslim harus
menjaga kehormatannya, sehingga ia harus menjaga rasa malu yang
telah menjadi fitrah, menghindarkan diri dari tangan wanita yang
bukan makhramnya, menjauhkan diri dari ikhtilath. Tatkala ia ingin
mendapatkan penjelasan mengenai penyakitnya secara lebih banyak,
lebih leluasa bertanya, dan sebagainya, maka mau tidak mau hal ini
tidak akan bisa didapatkan dengan baik, melainkan jika seorang pria
berobat atau memeriksakan dirinya kepada dokter atau ahli medis
pria. Bila tidak, maka hal itu sulit dilakukan secara
maksimal.Bagaimana Bila Tidak Ada Dokter Pria?Syaikh Bin Bz
rahimahullah memandang permasalahan ini sebagai persoalan penting
untuk diketahui dan sekaligus menyulitkan. Akan tetapi, ketika
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi karunia ketakwaan dan ilmu
kepada seorang wanita, maka ia harus bersikap hati-hati untuk
dirinya, benar-benar memperhatikan masalah ini, dan tidak
menyepelekan. Seorang lelaki memiliki kewajiban untuk mencari
dokter wanita terlebih dahulu. Bila mendapatkannya, alhamdulillah,
dan ia pun tidak membutuhkan bantuan dokter wanita.[6]Bila memang
dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang membolehkan untuk
menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan. Selama
mendatangkan maslahat, seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan
jiwa dan raganya. Seorang muslim yang keadaannya benar-benar dalam
kondisi terhimpit dan tidak ada pilihan, (maka) ia boleh pergi ke
dokter wanita, baik karena tidak ada ada seorang dokter muslim yang
mengetahui penyakitnya maupun memang belum ada yang ahli.Allah
Ta`ala menyebutkan dalam firman-Nya surat al-An'm/6 ayat 119:
"(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya)".Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul
darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk
ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. 2. Keberadaan mahram adalah
keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang
muslim terpaksa harus bertemu dan berobat kepada dokter wanita, ia
harus didampingi mahram atau istrinya saat pemeriksaan. Tidak
berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang
periksa.Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk
pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan,
dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat lelaki, meskipun
sudah ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan istri atau pria
lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk
menjauhkan dari kecurigaan.Ketika Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya
mengenai hukum berobat kepada dokter yang berbeda jenisnya, beliau
menjelaskan:Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter
pria, terlebih lagi ia seorang spesialis yang dikenal dengan
kebaikan, akhlak dan keahliannya. Dengan syarat :3. bila memang
tidak ada dokter wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut.
4. Atau karena keadaan si pasien yang mendesak harus cepat
ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan cepat
menjalar dan membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini, perkara yang
harus diperhatikan pula : dokter tersebut tidak boleh membuka
sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas
yang diperlukan dalam pemeriksaan. dokter tersebut adalah muslim
yang dikenal dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun,
seorang muslim yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria tidak
dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh salah
satu mahramnya".Ketika Lajnah D-imah menjawab sebuah pertanyaan
tentang syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi dokter lelaki untuk
menangani pasien perempuan, maka Lajnah D-imah mengeluarkan fatwa
yang berbunyi: (Syarat-syaratnya), yaitu tidak dijumpai adanya
dokter wanita muslimah yang sanggup menangani penyakitnya, dokter
tersebut seorang muslim lagi bertakwa, dan pasien wanita itu
didampingi oleh mahramnya.Pada buku Fikih Kedokteran karangan Walid
bin Rasyid as-Saidah, Pustaka Fahima. Dalam buku Fikih Kedokteran
ini, ada 21 Kaidah, diantaranya :Kaidah Kesembilan : Apabila Ada
dua kerusakan, maka diambil kerusakan yang lebih-lebih ringan.
Dibolehkannya wanita mengobati laki-laki dan sebaliknya jika tidak
ada cara lain. Sebab tindakan tersebut untuk mencegah kerusakan
yang lebih besar. Sebab jika orang sakit dibiarkan dengan
keadaannya yang sakit, dan tidak diobati, niscaya kemadharatan yang
lebih besar dan kerusakan yang lebih banyak akan terjadi. Maka,
dibolehkan seorang laki-laki mengobati wanita dan sebaliknya jika
tidak ada cara lain demi menolak kerusakan yang lebih besar dengan
melakukan kerusakan yang lebih kecil.Keempat belas: Keterpaksaan
itu Membolehkan yang Terlarang. Seorang dokter pria boleh melihat
pasien wanita, atau melihat aurat pasien laki-laki karena darurat.
Namun, ia tidak boleh melihat secara mutlak. Cukup sebatas yang
diperlukan untuk mencegah keterpaksaan saja. KesimpulanSebagaimana
hukum asalnya, bila ada dokter pria yang ahli, maka dialah yang
wajib menjalankan pemeriksaan atas seorang pasien pria. Bila tidak
ada, dokter pria non-muslim yang dipilih. Jika masih belum
ditemukan, maka dokter wanita muslim yang melakukannya. Bila
keberadaan dokter muslim tidak tersedia, bisa saja seorang dokter
non-muslim yang menangani.Akan tetapi harus diperhatikan, dokter
wanita yang melakukan pemeriksaan hanya boleh melihat tubuh pasien
pria itu sesuai dengan kebutuhannya saja, yaitu saat menganalisa
penyakit dan mengobatinya, serta harus menjaga pandangan. Dan juga,
saat dokter wanita menangani pasien pria, maka pasien pria itu
harus disertai mahram, atau istrinya, atau pria yang dapat
dipercaya supaya tidak terjadi khalwat.Jadi akhlakul karimah yang
wajib dimiliki seorang dokter muslim adalah5. Iman6. Ikhlas7.
Ikhsan8. Etika dokter islami
4. bagaimana seorang dokter mengatasi penyakit pasien pada kasus
dengan memperhatikan adab pemeriksaan lawan jenis sesui ikhsan?5.
apakah dengan ditemani seorang perawat, seorang dokter dapat
memeriksa bagian aurat pasien lawan jenis dan bagaimana cara
mengatasinya?Pada hukum dasarnya, sentuhan kulit secara langsung
antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram atau bukan suaminya
sendiri, hukumnya haram.Namun bila ada hal-hal mendesak yang tidak
mungkin dihindari serta tidak ditemukanya alternatif lain, untuk
sementara hal-hal yang hukumnya haram bisa berubah sesaat. Hal ini
sesuai dengan kaidah fiqhiyah.Islam mensyariatkan, jika seseorang
tertimpa penyakit maka ia diperintahkan untuk berusaha
mengobatinya. Al-Qur`n dan as-Sunnah telah menetapkan syariat
tersebut. Dan pada pelayanan dokter memang terdapat faedah, yaitu
memelihara jiwa. Satu hal yang termasuk ditekankan dalam syariat
Islam.Yang dimaksud ikhtilat, yaitu berduanya seorang lelaki dengan
seorang perempuan di tempat sepi. Dalam hal ini menyangkut
pergaulan antara sesama manusia, yang rambu-rambunya sangat
mendapat perhatian dalam Islam. Yaitu berkait dengan ajaran Islam
yang sangat menjunjung tinggi keselamatan bagi manusia dari segala
gangguan. Terlebih lagi dalam masalah mu'amalah (pergaulan) dengan
lain jenis. Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita telah
diatur dengan batasan-batasan, untuk membentengi gejolak fitnah
yang membahayakan dan mengacaukan kehidupan. Karenanya, Islam telah
melarang pergaulan yang dipenuhi dengan ikhtilat (campur baur
antara pria dan wanita).Hukum asalnya, apabila ada dokter umum dan
dokter spesialis dari kaum Muslimah, maka menjadi kewajiban kaum
Muslimah untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Meski hanya sekedar
keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan
genting, semisal persalinan ataupun jika harus melakukan
pembedahanBila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam
memang membolehkan untuk menggunakan cara yang mulanya tidak
diperbolehkan. Selama mendatangkan maslahat, seperti untuk
pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya.Meskipun dibolehkan
dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti
rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak.
Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar.
Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan
berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau
suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di
kamar praktek atau ruang periksa.
Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk
pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan,
dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun
sudah ada perawat wanita umpamanya- maka keberadaan suami atau
wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik
untuk menjauhkan dari kecurigaan.6. apakah perbedaan mengenai adab
pemeriksaan terhadap lawan jenis yang sudah menikah atau belum
menikah?(Syarat-syaratnya), yaitu tidak dijumpai adanya dokter
wanita muslimah yang sanggup menangani penyakitnya, dokter tersebut
sorang muslim lagi bertakwa, dan pasien wanita itu didampingi oleh
mahramnya.Lajnah da-imah, merumuskan hal itu. Jadi tidak ada
perbedaan adab pemeriksaan antar paasien single maupun yg sudah
menikah. Semua tetap harus didampingi oleh mahramnya. Meskipun
dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus
mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku
secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa
ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus
bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi
mahram atau suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang
dokter di kamar praktek atau ruang periksa.
Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bz rahimahullah untuk
pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan,
dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun
sudah ada perawat wanita umpamanya maka keberadaan suami atau
wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik
untuk menjauhkan dari kecurigaan. Ketik Syaikh Shalih al-Fauzan
ditanya mengenai hukum berobat kepada dokter yang berbeda jenisnya,
beliau menjelaskan : Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada
dokter pria, terlebih lagi ia seorang spesialis yang dikenal dengan
kebaikan, akhlak dan keahliannya. Dengan syarat, bila memang tidak
ada dokter wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut. Atau
karena keadaan si pasien yang mendesak harus cepat ditolong,
(karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan cepat menjalar dan
membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini, perkara yang harus
diperhatikan pula, dokter tersebut tidak boleh membuka sembarang
bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas yang
diperlukan dalam pemeriksaan. Dan juga, dokter tersebut adalah
muslim yang dikenal dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun,
seorang muslimah yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria,
tidak dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh
salah satu mahramnya".7. apakah seorang dokter diperbolehkan
memeriksa bagian aurat pasien yang berlawanan jenis menurut hukum
islam? Berikan alasan jika ya atau tidak!Adab-adab pemeriksaan
seorang dokter terhadap lawan jenisnya. Seorang pasien wanita
dierbolehkan untuk pergi ke dokter pria atau sebaliknya dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :1. bila memang tidak ada
dokter wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut,ataupun
sebaliknya2. Atau karena keadaan si pasien yang mendesak harus
cepat ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan
cepat menjalar dan membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini,
perkara yang harus diperhatikan pula : dokter tersebut tidak boleh
membuka sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali
sebatas yang diperlukan dalam pemeriksaan. dokter tersebut adalah
muslim yang dikenal dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun,
seorang muslim yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria tidak
dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh salah
satu mahramnya.Sehingga kita bisa menarik kesimpulan bahwa seorng
dokter dapat memeriksa pasien yang berlawanan jenis jika:1. meminta
izin terlebih dahulu kepada pasien sebelum melakukan pemeriksaan2.
pasien mengetahui tujuan dari pemeriksaan itu3. pasien wanita atau
pria harus ditemani oleh mahromnya. Begitu pula bagi dokter harus
ditemani oleh perawat4. melakukan pemeriksaan hanya meurut
kepentingan pemeriksaan5. dokter yang melakukan pemeriksaan harus
seorang muslim. Jika tidak ada, diperbolehkan kepada dokter non
muslimTidak diperbolehkan jika:1. dokter tersebut membuka aurat
pasien untuk diperiksa sedangkan hal tersebut tidak diperlukan
dalam pemeriksaan.2. dokter tersebut bukan seorang muslim.3.
seorang pasien wanita tidak didampingi oleh mahramnya (ataupun
sebaliknya). Begitu pula seorang dokter pria harus didampingi
perawat laki-laki juga (ataupun sebaliknya).Menurut kaidah
fiqhiyah, Adh-Dharuratul Tubihul Malhdzurat,sesuatu yang darurat
itu bisa membolehkan larangan. namun hal tersebut sifatnya lokal,
sementara, parsial dan seperlunya saja. Begitu kadar kedaruratannya
hilang, maka hukum keharamannya kembali lagi. Sesuai dengan kaidah
Adh-dharuratu Tuqaddar bi Qadriha, Sesuatu yang darurat itu harus
diukur sesuai kadarnya.8. perlukah seorang pasien ditemani oleh
muhrimnya pada sat berobat, di lihat dari kasus ini?9. apakah
seorang dokter dapat memeriksa aurat pasien lawan jenis bila
ditemani dengan perawat sejenis atau lawan jenis?Islam menentukan
bahwa setiap manusia harus menghormati manusia yang lainnya, karena
Allah sebagai khalik sendiri menghormati manusia, sebagai mana di
jelaskan Allah dalamsuratAl Isra :70.Maka dokter maupun paramedis
haruslah tidak memaksakan sesuatu kepada pasien, segala tindakan
yang harus mereka kerjakan haruslah dengan suka rela dan atas
keyakinan. Untuk pemeriksaan dokter dalam menegakkan diagnosa
penyakit, maka dokterberkhalwat, melihat aurat, malah memeriksa
luar dalam pasien dibolehkan hanya didasarkan pada keadaan darurat,
sebagai yang dijelaskan oleh qaidah ushul fiqih yang berbunyi :
yang darurat dapat membolehkan yang dilarang.Islam memang mengenal
darurat yang akan meringankan suatu hukum.Adakaidah Idzaa dhoogal
amr ittasi(jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan
kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: Kondisi darurat
menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah.Berbicara mengenai
kaidah fiqhiyyah tentang darurat maka terdapat dua kaidah
yaitukaidah pokok dan kaidah cabang. Kaidah pokok disini
menjelaskan bahwa kemudharatan harus dilenyapkan yang bersumber
dariQ.S Al- Qashash : 77), contohnya meminum khamar dan zat adiktif
lainnya yang dapat merusak akal, menghancurkan potensi sosio
ekonomi, bagi peminumnyakanmenurunkan produktivitasnya. Demikian
pula menghisap rokok, disamping merusak diri penghisapnya juga
mengganggu orang lain disekitarnya.Paraulama menganggap keadaan
darurat sebagai suatu kesempitan, dan jika kesempitan itu datang
agama justru memberikan keluasan.Namun darurat itu bukan sesuatu
yang bersifatrutindangampangdilakukan. Umumnya darurat baru
dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadikritis
dantidak ada alternatiflain. Itu pun masih diiringi dengan resiko
fitnah dan sebagainya.Akan tetapi, untuk mencegah fitnah dan godaan
syaitan maka sebaiknya sewaktu dokter memeriksa pasien dihadiri
orang ketiga baik dari keluarga maupun dari tenaga medis itu
sendiri.Akan lebih baik lagi jika pasien diperiksa oleh dokter
sejenis, pasien perempuan diperiksa oleh dokter perempuan dan
pasien laki-laki diperiksa oleh dokter laki-laki. Karena dalam
dunia kedokteran sendiri banyak cerita-cerita bertebaran di seluruh
dunia, di mana terjadi praktek asusila baik yang tak sejenis hetero
seksual, maupun yang sejenis homoseksual antara dokter dan
pasien.Dalam batas-batas tertentu, mayoritas ulama memperbolehakan
berobat kepada lawan jenis jika sekiranya yang sejenis tidak ada,
dengan syarat ditunggui oleh mahram atau orang yang sejenis.
Alasannya, karena berobat hukumnya hanya sunnah dan bersikap pasrah
(tawakkal) dinilai sebagai suatu keutamaan (fadlilah). Ulama
sepakat bahawa pembolehan yang diharamkan dalam keadaan darurat,
termasuk pembolehan melihat aurat orang lain,ada batasnya yang
secara umum ditegaskan dalam al-quran ( Q.S Al-baqarah : 173;
Al-anam :145 ;An-nahl : 115) dengan menjauhi kezaliman dan lewat
batas.Dalam pengobatan, kebolehan hanya pada bagian tubuh yang
sangat diperlukan, karena itu, bagian tubuh yang lain yang tidak
terkait langsung tetap berlaku ketentuan umum tidak boleh
melihatnya. Namun, untuk meminimalisir batasan darurat dalam
pemeriksaan oleh lawan jenis sebagai upaya sadd al-Dzariat (menutup
jalan untuk terlaksananya kejahatan), disarankan disertai mahram
dan prioritas diobati oleh yang sejenis.Pembolehan dan batasan
kebolehanya dalam keadaan darurat juga banyak disampaikan oleh
tokoh madzhab. Ahmad ibn Hanbal, tokoh utama mazhab hanbali
menyatakan boleh bagi dokter/ tabib laki-laki melihat aurat pasien
lain jenis yang bukan mahram khusus pada bagian tubuh yang menuntut
untuk itu termasuk aurat vitalnya, demikian pula sebaliknya, dokter
wanita boleh melihat aurat pasien laki-laki yang bukan mahramnya
dengan alasan tuntutan.Di Indonesia, dalam fatwa MPKS disebutkan,
tidak dilarang melihat aurat perempuan sakit oleh seorang dokter
laki-laki untuk keperluan memeriksa dan mengobati penyakitnya.
Seluruh tubuhnya boleh diperiksa oleh dokter laki-laki, bahkan
hingga genetalianya, tetapi jika pemeriksaan dan pengobatan itu
telah mengenai genitalian dan sekiatarnya maka perlu ditemani oleh
seorang anggota keluarga laki-laki yang terdekat atau suaminya.
Jadi, kebolehan berobat kepada lain jenis dopersyaratkan jika yang
sejenis tidak ada. Dalam hal demikian, dianjurakan bagi pasien
untuk menutup bagian tubuh yang tidak diobati. Demikian pula dokter
atau yang sejenisnya harus membatasi diri tidak melihat organ
pasien yang tidak berkaitan langsung.
Referensihttp://lhiezainternisti.blogspot.com/ Pustaka [6]A.
sihabuddin.Telaah kritis atas doktris faham
salafi/wahabi(www.google.com , 2009) [7]Zuhroni, dkk, Islam untuk
disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2(Jakarta,2003), hal. 108.
[8]Dr. H. Yurnalis Uddin,Islam untuk disiplin ilmu kedokteran dan
ksehatan 1(Jakarta, 1995), hal. 122. [9]Dr. H. Yurnalis Uddin,Islam
untuk disiplin ilmu kedokteran dan ksehatan 1(Jakarta, 1995), hal.
122 dan 125. [10]Zuhroni, dkk,Islam untuk disiplin ilmu kesehatan
dan kedokteran 2(Jakarta,2003), hal. 130. [11]Zuhroni, dkk,Islam
untuk disiplin ilmu kesehatan dan kedokteran 2(Jakarta,2003), hal.
132. [12]Zuhroni, dkk,Islam untuk disiplin ilmu kesehatan dan
kedokteran 2(Jakarta,2003), hal. 133. Wikipedia bahasa
Indonesia,ensiklopedia bebas. E-book iMuslim [1]. Lihat ath-Thuruq
Hukmiyah, hlm. 407.[2]. Syarhu Shahh Muslim.[3]. Hadits shahh
diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan lainnya. Lihat ash-Shahhah
(226), Shahhul-Jami' (5045).[4]. Al-Fatwa al-Mutaalliqah
bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm. 230.[5]. Fatwa Lajnah D-imah,
no. 4671. Dinukil dari al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa
Ahkamil-Mardha.[6]. Al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa
Ahkamil-Mardha 228-229[7]. Ibid.[8]. Lihat Fatwa, Syaikh Shalih
al-Fauzan, Jilid 5.[9]. Fatwa Lajnah D-imah no. 3507. Dinukil dari
al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm.
242.[10]. Lihat Fatwa wa Rasail Ibni Utsaimin, Jilid 12.
Maraji`: 1. Al-Fatwa al-Mutaalliqah bith-Thibbi wa
Ahkamil-Mardha, Pengantar Syaikh 'Abdul-'Aziz bin 'Abdullah Alu
Syaikh, Darul-Muayyad, Cetakan I, Tahun 1424 H. 2. Fatwa, Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. 3. Fatwa, Syaikh Shalih al-Fauzan.
4. Fatwa wa Maqalat, Syaikh Bin Baz. 5. Fiqhun-Nawazil, Dr.
Muhammad bin Hasan al-Jizani, Darul-Ibnil-Jauzi, Cetakan I, Tahun
1426-2005. 6. Majalah Mujamma`, Juz 3.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
id.answers.yahoo.commajalah as-sunnah ed.5 tahun xI 1428 hijriah
2007 masehi. Diterbitkan. Yayasan lajnah istiqomah surakarta.