A. TUJUAN 1. Memahami dan melakukan Isolasi RNA dari Candida albicans 2. Mengetahui prinsip perhitungan konsentrasi RNA hasil isolasi dengan spektrofotometer 3. Memahami dan melakukan sintesis cDNA - Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR) 4. Melakukan Transformasi E.coli DH5α dan plasmid PUC 19 B. DASAR TEORI 1. Asam Ribonukleat (RNA) Asam nukleat terdapat dua jenis yaitu asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat (RNA). Asam-asam nukleat ini adalah molekul-molekul yang membuat organisme hidup dapat mereproduksi komponen- komponen kompleksnya dari satu generasi ke generasi berikutnya (Campbell, 2002). RNA merupakan bagian terbesar asam nukleat dalam setiap sel dan lima sampai sepuluh kali lebih melimpah daripada DNA. Peran utamanya dan yang paling difahami ialah perannya dalam menerjemahkan informasi genetic ke dalam molekul protein. Namun RNA berperan serta dalam fungsi-fungsi endonuklease khusus tertentu yang boleh jadi mengatur beberapa langkah pada ekspresi gen. Virus-virus tertentu-retrovirus dan beragam virus tunggal dan ganda 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
A. TUJUAN
1. Memahami dan melakukan Isolasi RNA dari Candida albicans
2. Mengetahui prinsip perhitungan konsentrasi RNA hasil isolasi dengan
spektrofotometer
3. Memahami dan melakukan sintesis cDNA - Reverse Transcriptase PCR (RT-
PCR)
4. Melakukan Transformasi E.coli DH5α dan plasmid PUC 19
B. DASAR TEORI
1. Asam Ribonukleat (RNA)
Asam nukleat terdapat dua jenis yaitu asam deoksiribonukleat (DNA) dan
asam ribonukleat (RNA). Asam-asam nukleat ini adalah molekul-molekul yang
membuat organisme hidup dapat mereproduksi komponen-komponen kompleksnya
dari satu generasi ke generasi berikutnya (Campbell, 2002). RNA merupakan
bagian terbesar asam nukleat dalam setiap sel dan lima sampai sepuluh kali lebih
melimpah daripada DNA. Peran utamanya dan yang paling difahami ialah perannya
dalam menerjemahkan informasi genetic ke dalam molekul protein. Namun RNA
berperan serta dalam fungsi-fungsi endonuklease khusus tertentu yang boleh jadi
mengatur beberapa langkah pada ekspresi gen. Virus-virus tertentu-retrovirus dan
beragam virus tunggal dan ganda hewan, tumbuhan dan insek, mempunyai genom-
genom yang tersusun dari RNA (Moeljopawiro dkk, 1992).
Berbagai jenis RNA terdapat dalam semua sel yaitu RNA ribosomal
(rRNA), RNA pemindah (tRNA) dan RNA duta (mRNA), sebagian juga
mengandung RNA sitoplasmik kecil lain (scRNA). Kurang lebih 80 persen RNA
seluler tersusun dari ketiga atau keempat spesies rRNA dan kurang lebih 15 persen
merupakan hampir 100 jenis tRNA dan kurang dari 5 persen adalah beberapa ribu
mRNA yang berbeda-beda. Kurang dari 2 persen jumlah seluruhnya adalah
sejumlah tak terhitung rRNA nuclear dan rRNA sitoplasmik kecil (Moeljopawiro
dkk, 1992).
1
RNA adalah polinukleotida-polinukleotida yang ukurannya berkisar
sedikit sekitar 70 nukleotida dalam beberapa tRNA sampai lebih dari 10.000 dalam
beberapa mRNA. Dua nukleotida purin (adenine dan guanin) dan satu pirimidin
(sitosin) umumnya ada pada nukleotida RNA dan DNA. Namun timin (5-
metildiketopirimidin) yang ada pada DNA diganti oleh urasil pada RNA yang tidak
mempunyai 5-metil. Adanya 2’-OH yang berbatasan dengan hubungan fosfodiester
antar nukleotida membuat ikatan P-O yang peka terhadap alkali dan terhadap enzim
yang membelah RNA (Moeljopawiro dkk, 1992).
Gambar 1. Basa penyusun RNA
Pentosa yang berikatan dengan basa nitrogen adalah ribosa pada
nukleotida RNA dan deoksiribosa pada molekul DNA. Perbedaan satu-satunya di
antara kedua gula ini adalah bahwa deoksiribosa tidak memiliki satu atom oksigen
pada karbon nomor 2-nya yang membuat namanya disebut deoksi. Dalam suatu
polimer asam nukleat atau polinukleotida, nukleotida-nukleotida dihubungkan
dengan ikatan kovalen yang disebut ikatan fosfodiester antara fosfat dari suatu
nukleotida dan gula dari nukleotida berikutnya. Pengikatan ini menghasilkan suatu
tulang belakang dengan suatu pola gula-fosfat-gula-fosfat yang berulang. Di
sepanjang tulang belakang gula-fosfat ini terdapat tempelan tambahan yang terdiri
atas basa-basa nitrogen (Campbell, 2002).
2
Kebanyakan RNA seluler berantai tunggal, meskipun beberapa genom
virus hewan (misalnya reovirus) terdiri dari molekul RNA beruntai ganda
menyerupai DNA bentuk A. Untai-untai tunggal hampir selalu membentuk
potongan-potongan helical ganda, pendek, intramolekuler. Ini timbul karena
kebanyakan rantai RNA mempunyai daerah-daerah pendek urutan-urutan
komplementer yang memperbolehkan rantai menyimpul balik membentuk daerah-
daerah helical terbatas. Di daerah-daerah beruntai ganda, A berpasangan dengan U
dan G berpasangan dengan C. G juga dapat membentuk pasangan basa dengan U,
namun kurang stabil daripada pasangan G-C standart, karena sebagai gantinya tiga
ikatan hidrogen, mereka hanya membuat dua ikatan. Segmen-segmen helical ganda
yang terbentuk dengan cara ini biasanya pendek dan terputus, karena urutan basa
pada dua daerah yang berinteraksi, jarang berkomplementer sempurna
(Moeljopawiro dkk, 1992).
Seperti halnya pada DNA, daerah-daerah helical ganda pada RNA
dikacaukan oleh kenaikan suhu dan pH tinggi. Namun berbeda dengan yang ada
pada DNA, ikatan-ikatan fosfodiester pada RNA dibelah pada pH tinggi, karena
panjang daerah-daerah helical pada RNA untai tunggal pendek dan sering tidak
sempurna, daerah-daerah ini mudah dikacaukan. Namun RNA untai ganda
komplementer penuh, meleleh tajam pada kisaran suhu yang sempit, seperti untai
ganda DNA. Seperti DNA, denaturasi untai ganda RNA menghasilkan dua untai
tunggal komplementer yang dapat berasosiasi kembali bila suhu diturunkan secara
lambat. Pada RNA untai tunggal, sesudah renaturasi lebih sulit untuk membentuk
kembali daerah-daerah pasangan basa yang sama dan beberapa struktur pilihan
dapat dibentuk (Moeljopawiro dkk, 1992).
2. Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR)
Teknik RT-PCR dikembangkan untuk melakukan analisis terhadap
molekul RNA hasil transkripsi yang terdapat dalam jumlah sangat sedikit di dalam
sel. Sebelum teknik ini dikembangkan, analisis terhadap molekul mRNA biasanya
dilakukan dengan metode hibridisasi in situ, northern blot, dot blot atau slot blot,
3
analisis menggunakan S1 nuklease atau dengan metode pengujian proteksi RNase
(RNase protection assay). Metode hibridisasi in situ bersifat sangat sensitif
sehingga dapat digunakan untuk analisis molekul mRNA yang terdapat dalam
jumlah sangat sedikit, tetapi teknik ini cukup sulit untuk dilakukan. Metode-metode
yang lain meskipun lebih mudah dilakukan, tidak cukup sensitif. Oleh karena itu,
kemudian dikembangkan teknik RT-PCR untuk mengatasi kelemahan-kelemahan
metode yang lain tersebut (Yuwono, 2006).
Oleh karena PCR tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA
sebagai cetakan maka terlebih dahulu dilakukan proses transkripsi balik (reverse
transcription) terhadap molekul mRNA sehingga diperoleh molekul cDNA
(complementary DNA). Molekul cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai
cetakan dalam proses PCR. Teknik RT-PCR ini sangat berguna untuk mendeteksi
ekspresi gen, untuk amplifikasi RNA sebelum dilakukan kloning dan analisis,
maupun untuk diagnosis agensia infektif maupun penyakit genetik (Yuwono, 2006).
Gambar 2. Sintesis cDNA
4
Teknik RT-PCR memerlukan enzim transkriptase balik (reverse
transcriptase). Enzim transkriptase balik adalah enzim DNA polimerase yang
menggunakan molekul RNA sebagai cetakan untuk menyintesis molekul DNA
(cDNA) yang komplementer dengan molekul RNA tersebut. Beberapa enzim
transkriptase balik yang dapat digunakan antara lain mesophilic viral reverse
transcriptase (RTase) yang dikode oleh virus avian myoblastosis (AMV) maupun
oleh virus moloney murine leukemia (M-MuLV) dan Tth DNA polimerase. RTase
yang dikode oleh AMV maupun M-MuLV bersifat sangat prosesif dan mampu
menyintesis cDNA sampai sepanjang 10 kb, sedangkan Tth DNA polimerase
mampu menyintesis cDNA sampai sepanjang 1 -2 kb (Yuwono, 2006).
Reaksi transkripsi balik dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa
macam primer yaitu: 1) Oligo (dT) sepanjang 12-18 nukleotida yang akan melekat
pada ekor poli (A) pada ujung 3’ mRNA mamalia. Primer semacam ini pada
umumnya akan menghasilkan cDNA yang lengkap. 2) Heksanukleotida acak, yang
akan melekat pada cetakan mRNA yang komplementer pada bagian manapun.
Primer ini akan menghasilkan cDNA yang tidak lengkap (parsial). 3) Urutan
nukleotida spesifik, yang dapat digunakan secara selektif untuk menyalin mRNA
tertentu (Yuwono, 2006).
3. Elektroforesis
Elektroforesis adalah suatu cara untuk memisahkan fraksi-fraksi suatu
campuran berdasarkan atas pergerakan partikel koloid yang bermuatan, dibawah
pengaruh medan listrik (Suhartono, 1989). Elektroforesis adalah suatu teknik
pemisahan molekul selular berdasarkan atas ukurannya, dengan menggunakan
medan listrik yang dialirkan pada suatu medium yang mengandung sampel yang
akan dipisahkan. Teknik ini dapat digunakan dengan memanfaatkan muatan listrik
yang ada pada makromolekul, misalnya DNA yang bermuatan negatif. Jika molekul
yang bermuatan negatif dilewatkan melalui suatu medium, misalnya gel agarosa,
kemudian dialiri arus listrik dari satu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya,
maka molekul tersebut akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif. Kecepatan
5
gerak molekul tersebut tergantung pada nisbah (rasio) muatan terhadap massanya,
serta tergantung pula pada bentuk molekulnya (Yuwono, 2005).
Teknik elektroforesis dapat digunakan untuk analisis virus, DNA, RNA,
protein (enzim dan protein lain), molekul-molekul organik dengan berat molekul
rendah seperti asam-asam amino (Suhartono, 1989; Yuwono, 2005). Elektroforesis
DNA dilakukan misalnya untuk menganalisis fragmen-fragmen DNA hasil
pemotongan dengan enzim restriksi. Fragmen molekul DNA yang telah dipotong-
potong dapat ditentukan ukurannya dengan cara membuat gel agarosa yaitu suatu
bahan semi-padat berupa polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut. Gel
agarosa dibuat dengan melarutkannya dalam suatu buffer. Agar dapat larut dengan
baik, pelarutannya dibantu dengan pemanasan, misalnya menggunakan oven
gelombang mikro (microwave oven). Dalam keadaan panas, gel akan berupa
menjadi cairan sehingga mudah dituang ke atas suatu lempeng (plate) yang
biasanya terbuat dari (Perspex). Sebelum mendingin dan memadat, pada ujung gel
tersebut dibuat lubang-lubang dengan menggunakan lembaran Perspex tipis yang
dibentuk menyerupai sisir. Sisir tersebut ditancapkan pada salah satu ujung gel yang
masih cair. Dengan demikian, pada waktu gel memadat dan sisirnya diambil
terbentuklah lubang-lubang kecil. Ke dalam lubang-lubang kecil itulah sampel
molekul DNA dimasukkan. Gel agarosa yang sudah terbentuk kemudian
dimasukkan ke dalam suatu tangki yang berisi buffer yang sama dengan yang
digunakan untuk membuat gel. Buffer dapat dibuat misalnya dengan tris-asetat-
EDTA (TAE) atau tris-borat-EDTA (TBE) (Yuwono, 2005).
Setelah DNA dimasukkan ke dalam lubang sampel, arus listrik dialirkan.
Kutub yang sejajar dengan lubang sampel DNA berupa kutub negatif, sedangkan
kutub lainnya positif. Oleh karena DNA bermuatan negatif maka molekul-molekul
DNA akan bergerak ke arah kutub positif. Setelah beberapa waktu gel kemudian
direndam dalam larutan yang mengandung etidium bromide. Etidium bromida akan
menginterkalasi (menyisip ke dalam) DNA. Penggunaan etiidium bromida
dimaksudkan untuk membantu visualisasi karena etidium bromida akan
memendarkan sinar ultraviolet. Jika gel disinari dengan ultraviolet dari bawah,
6
maka akan tampak citra berupa pita-pita pada gel. Pita-pita tersebut adalah molekul-
molekul DNA yang bergerak sepanjang gel setelah dielektroforesis. Molekul RNA
dapat dianalisis dengan prinsip yang sama, yaitu menggunakan gel agarosa, namun
dengan menggunakan buffer yang berbeda yaitu yang mengandung formaldehid
(Yuwono, 2005).
Teknik elektroforesis DNA berkembang sehingga analisis molekul DNA
tidak hanya dapat dilakukan dengan prinsip elektroforesis linear. Beberapa teknik
baru dikembangkan, misalnya teknik pulse field gel electrophoresis (PFGE),
orthogonal field alternation gel electrophoresis (OFAGE), transverse alternating
field electrophoresis (TAFE) dan lain-lain. Disamping itu, untuk keperluan tertentu
misalnya untuk penentuan urutan basa DNA (DNA sequencing), elektroforesis
DNA dilakukan dengan menggunakan gel yang berbeda yaitu gel poliakrilamid
(Yuwono, 2005).
4. Transformasi
Transformasi adalah proses pemasukan molekul DNA yang ada dalam
keadaan bebas di dalam satu lingkungan ke dalam suatu sel penerima, misalnya
bakteri. Transformasi dapat terjadi secara alami maupun karena induksi in vitro.
Proses transformasi pertama kali ditemukan oleh Frederik Griffith pada bakteri
Streptococcus pneumoniae termasuk genus Pneumoniae yang membentuk kapsul
bersifat virulen, sedangkan yang tidak membentuk kapsul bersifat avirulen. Strain
avirulen dapat berubah menjadi virulen jika diinkubasikan dengan ekstrak sel
virulen yang sudah dimatikan. Pada tahun 1944, Avery, McLeod dan McCarty
menemukan bahwa proses transformasi dari avirulen menjadi virulen tersebut
disebabkan oleh molekul DNA yang berasal dari strain yang virulen (Moeljopawiro
dkk, 1992).
Transformasi diketahui terjadi pada genera bakteri lain termasuk
Haemophilus, Neisseria, Xanthomonas, Rhizobium, Bacillus dan Staphylcoccus.
Proses transformasi yang diinduksi secara in vitro dapat juga berlangsung pada E.
Coli, khamir Saccharomyces cerevisiae, bahkan tanaman tingkat tinggi meskipun
7
mekanisme molekulernya berbeda dari proses transformasi yang terjadi di alam
(Moeljopawiro dkk, 1992).
Salah satu syarat utama agar transformasi dapat berlangsung adalah
kompetensi sel. Sel yang kompeten adalah sel yang dapat menerima molekul DNA
dari luar. Kondisi yang mempengaruhi kompetensi sel bervariasi dari satu spesies
ke spesies lain. Kompetensi merupakan implikasi terjadinya perubahan pada
dinding sel bakteri dan diduga berhubungan dengan sintesis materi dinding sel pada
tahapan pertumbuhan tertentu. Dalam proses perkembangan kompetensi sel, akan
terbentuk reseptor pada dinding sel yang merupakan tempat melekatnya molekul
DNA pada awal proses transformasi. Banyaknya reseptor yang aktif bervariasi dari
satu jasad ke jasad lain, misalnya pada S. pneumoniae ada 80 reseptor, pada B.
subtilis ada 50 reseptor, sedangkan pada Haemophilu influenzae hanya ada 4
reseptor (Moeljopawiro dkk, 1992).
Kompetensi akan terjadi pada tahapan pertumbuhan tertentu, biasanya
pada fase eksponensial akhir dan dipengaruhi oleh medium pertumbuhan serta
aerasi. Banyaknya fraksi suatu kultur yang menjadi kompeten juga tergantung pada
spesies. Sebagai contoh, kompetensi pada S. pnemoniae dapat diinduksi sampai
mencapai 100% namun kondisi tersebut hanya berlangsung beberapa menit.
Sebaliknya, pada B. subtilis kompetensi hanya akan mencapai 20% akan tetapi
dapat berlangsung selama beberapa jam (Moeljopawiro dkk., 1992).
Pada umumnya proses pemasukan molekul DNA dari luar ke dalam sel
inang bersifat tidak spesifik, artinya tidak tergantung pada spesies inang tersebut.
Dengan demikian jika dua macam molekul DNA yang berasal dari sumber berbeda
digunakan untuk transformasi sel yang sama, maka kedua macam DNA tersebut
akan berkompetisi dalam proses transformasi (Moeljopawiro dkk., 1992).
Transformasi dapat terjadi secara alami maupun karena induksi. Dalam
proses transformasi secara alami, misalnya Pneumococcus, sel dapat menerima
DNA untai ganda berbentuk linier. Agar DNA tersebut dapat direplikasikan dan
diturunkan ke sel anakan, maka donor tersebut harus diintegrasikan dengan
mekanisme rekombinasi pada daerah gen yang homolog pada sel penerima. Plasmid
8
yang dapat digunakan untuk transformasi semacam ini biasanya adalah plasmid
yang dapat melakukan replikatif secara independen sehingga tidak perlu ada proses
rekombinasi dengan genom sel penerima. Pada umumnya sel penerima yang
digunakan dalam transformasi secara induksi adalah sel yang tidak mampu
melakukan rekombinasi (recA). Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi proses
penyusunan genom kembali (rearrangements). Meskipun demikian, dalam
beberapa prosedur kloning gen, kadang-kadang juga digunakan plasmid yang tidak
mampu melakukan replikasi secara independen sehingga plasmid tersebut harus
diintegrasikan ke dalam genom sel penerima (integratting plasmid) agar gen yang
dibawa oleh plasmid dapat direplikasikan. Pada bakteri E. coli, induksi transformasi
dapat dilakukan dengan menginkubasikan sel penerima di dalam larutan CaCl22
dingin sebelum dicampur dengan DNA donor (Moeljopawiro dkk, 1992).
Pada bakteri lain, misalnya Bacillus subtilis, transformasi biasanya dilakukan
dengan metode transformasi protoplas. Dalam hal ini, dinding sel dihilangkan
terlebih dahulu dengan enzim tertentu. Penghilangan dinding sel tersebut dilakukan
di dalam larutan tertentu, misalnya sukrosa pada konsentrasi tertentu, untuk
mempertahankan tekanan osmose sehingga protoplas yang terbentuk tidak akan
lisis. Transformasi dapat juga dilakukan dengan metode elektroporasi yaitu dengan
menggunakan pulsa listrik bervoltase tinggi dalam waktu singkat (Moeljopawiro
dkk., 1992).
Pada praktikum kali ini plasmid yang digunakan untuk transformasi
adalah PUC 19. Plasmid pUC 19 merupakan salah satu vektor kloning yang biasa
digunakan dalam penelitian – penelitian biologi molekuler. Plasmid ini berukuran
2686 pasang basa dan memiliki tiga bagian utama yaitu gen resisten ampisilin, gen
lac-Z yang mengandung Multiple Cloning Site (MCS), dan Origin of Replication
(ORI) (Lodge, 2007).
9
Gambar 3. Struktur Plasmid PUC 19 (Lodge, 2007)
C. METODE
1. Isolasi RNA dari Candida albicans
a. Alat : tabung eppendorf, mikropipet, vortex merk “Beckmen”, sentrifuge
b. Bahan : Trizol 1 ml, Kloroform 200 µl, iso-propyl alcohol 500 µl, etanol 1
ml, RNAase free water
c. Cara Kerja : Tambahkan 1 ml Trizol ke dalam sampel Candida Albicans.
Tambahkan 200µl kloroform ke dalam 1 ml Trizol. Inversi selama 15 detik.
Inkubasi pada suhu ruang (15-30 oC) selama 3 menit. Sentrifus 3.000 rpm
selama 30 menit pada suhu 4 oC. Ambil lapisan bagian atas (colorless) lebih
kurang 60% total suspensi trizol, pindahkan ke tabung baru. Tambahkan 0,5
ml iso-propyl alcohol dalam setiap trizol yang digunakan. Inkubasi 15-30 oC
(suhu ruang) selama 10 menit. Sentrifus 3.000 rpm selama 20 menit pada 10
suhu 4 oC. presipitat RNA tampak seperti gel di sisi dasar/ tepi tabing. Buang
supernatant. Cuci pellet RNA dengan 1 ml etanol 75%. Vortex sebentar.
Sentrifus pada 3.000 rpm selama 5 menit. Buang supernatant, keringanginkan
pellet selama 10 menit. Larutkan RNA dalam RNAase free water 20µl.
simpan dalam suhu -80 oC.
2. Pengukuran konsentrasi RNA hasil isolasi
a. Alat : mikropipet, spektrofotometer
b. Bahan : RNA hasil isolasi, RNAase free water, aquadest
c. Cara Kerja : Ambil 2 µl RNA hasil isolasi, masukkan dalam cuvet,
tambahkan 98 µl RNAase free water, homogenkan. Masukkan dalam
spektrofotometer. Tera pada panjang gelombang 260 nm.
3. Pembuatan cDNA – Reverse Transcriptase PCR
a. Alat : tabung eppendort, mikropipet, alat PCR “Gene AMP PCR system
2400”
b. Bahan : hasil isolasi RNA, Anchored-oligo (dT) 18 primer, RNA template,
RNAase free water, Spesific reverse primer, RNA template, transcription