Page 1
1
LAPORAN PENELITIAN
KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm)
ANALISIS KELEMBAGAAN PADA MASYARAKAT DI
KAWASAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)
Kajian Pada Masyarakat Di Kawasan Register 28,30,32
Kabupaten Tanggamus
oleh :
Ismalia Afriani, SP.,M.Si. Zulkarnaen, SP.,MEP
Kerjasama Konsorsium Kota Agung Utara dan STIPER Dharma Wacana
Di Kabupaten Tanggamus Tahun 2014
Page 2
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelestarian ekologi hutan dan ekonomi dimungkinkan dapat dicapai bilamana
pengelolaan sumberdaya senantiasa memperhatikan kehidupan dan penghidupan
masyarakat lokal. pemikiran tersebut didasarkan pada sejumlah fakta bahwa
masyarakat lokal terbukti mampu mengatur pembagian peran di antara mereka,
memberi jaminan keadilan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan, serta
tanggung jawab dalam mempertahankan kelestarian sumberdaya hutan.
Pengaturan teknis dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan
(Permenhut) Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm).
Pasal 3 menyebutkan “penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk
pengembangan kapasitas kelembagaan, dan pemberian akses terhadap masyarakat
setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan
lapangan kerja bagi masyarakat setempat, untuk memecahkan persoalan ekonomi
dan sosial yang terjadi dimasyarakat”. Tujuan (Pasal 4) menyebutkan “hutan
kemasyarakatan bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat
melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan
dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup”.
Di Indonesia, penegasan pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Page 3
3
Pasal 23 menyebutkan ”pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
huruf (b), bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan
seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya”.
Kabupaten Tanggamus merupakan kabupaten yang memiliki angka tertinggi di
Indonesia yang mendapatkan SK Menhut tentang Penetapan Areal Kelola (PAK)
dan IUPHKm Pemda melalui Bupati. Kawasan hutan bagi kabupaten Tanggamus
memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai penyeimbang lingkungan alam
disekitarnya, yakni penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
dan Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Batu Tegi. TNBBS memiliki potensi
hutan dataran rendah di Sumatera yang sangat kaya dalam hal keanekaragaman
hayati dan merupakan tempat tinggal bagi tiga jenis mamalia besar yang paling
terancam di dunia yaitu gajah Sumatera, badak Sumatera, dan harimau Sumatera.
Sehingga TNBBS ditetapkan oleh Unesco sebagai salah satu tapak warisan dunia
(World Heritage Cluster Mountainous Area). Waduk Batu Tegi berfungsi sebagai
dam penampung air untuk irigasi dan pembangkit listrik.Dengan ketinggian muka
air maksimal bendungan 274 meter dapat menyimpan 6.677 meter kubik air.
Secara periodik debit air ini mampu mengairi seluruh dari 66 ribu hektar sawah
irigasi teknis di lima kabupaten, yaitu Kabupaten Pringsewu, Lampung Tengah,
Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Timur dan Kota Metro. Waduk Bau Tegi
juga berfungsi sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Dua turbin
pembangkit yang terpasang di dasar bendungan, PLTA ini mampu menghasilkan
daya listrik maksimal 28 MW (mega watt). Jumlah ini akan memberikan tambahan
bagi defisit pasokan listrik di wilayah Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan
yang pada beban puncak (peak load) mencapai 620 MW 2. Menahan tekanan
Page 4
4
kerusakan oleh masyarakat maupun konflik manusia dan satwa. (Konsorsium Kota
Agung Utara, 2013).
Dalam mendukung pelaksanaan hutan kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten
Tanggamus telah dibentuk cadangan areal kelola t, yaitu terdapat 31 (tiga puluh
satu) Gapoktan pengelola HKm, dengan rincian sbb ; 5 (lima) gapoktan telah
memiliki SK Menhut tentang Penetapan Areal Kerja (PAK) dan IUPHKm Pemda
Tanggamus pada tahun 2008, 8 (delapan) gapoktan telah memiliki SK Menhut
tentang Penetapan Areal Kerja (PAK) dan IUPHKm Pemda Tanggamus pada
tahun 2009,18 (delapan belas) gapoktan baru memiliki SK Menhut tentang
Penetapan Areal Kerja (PAK) pada tahun 2013.
Namun demikian, dari realita yang ada bahwa model HKm yang ada di
Kab.Tanggamus yang berlokasi dalam kawasan hutan lindung ternyata masih
menyisakan persoalan seperti : Lemahnya kemampuan tenaga teknis (staff) dalam
menterjemahkan kebijakan, lemahnya persoalan assistensi teknis dan pendidikan,
permasalahan ekonomi danpolitik, persoalan kelembagaan (penguasaan hak dan
akses terhadap lahan), permasalahan partisipasi yang gagal serta persoalan
kerusakan ekologi sumberdaya hutan. Permasalahan tersebut, menyebabkan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm)
dikhawatirkan menjadi tidak berkelanjutan.
Dalam rangka mengantisipasi hal tersebut maka sangat penting dilakukannya
sebuah kajian guna mendapatkan data dasar sebagai langkah awal mendapatkan
formulasi dan strategi guna tercapainya keberhasilan sesuai harapan Permenhut 37-
Page 5
5
II- th 2007. Selain itu, diperlukan pelaksanaan pembinaan dan pendataan kelompok
tani HKm, dalam hal penguatan kelembagaan kelompok, untuk menunjang
keberlangsungan sumberdaya alam dan memperkuat kondisi catchment area.
1.2 Tujuan
Secara umum kegiatan ini bertujuan :
Mempelajari bentuk, tipe, tingkat partisipasi masyarakat dan faktor sosial ekonomi
kelembagaan yang berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat serta hubungannya
dengan kondisi ekologi kawasan Hutan Kemasyarakatan, kelembagaan mencakup;
struktur organisasi, aturan main, kohesifitas, tipe kepemimpinan kelompok dan
pendampingan.
1.3 Kegunaan
1. Informasi dan bahan pertimbangan bagi para kelompok tani dalam
mengelola hutan kemasyarakatan dengan baik.
2. Masukan dan bahan pertimbangan bagi instansi terkait dalam pengelola
hutan kemasyarakatan dan pembuatan kebijakan.
3. Informasi dan bahan perbandingan bagi kajian selanjutnya.
Page 6
6
BAB II. STUDI LITERATUR
2.1. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat
Mengenai subjek pengelolaan, Darmawan et al. (2004) memberikan gambaran
tentang pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat sebagai salah satu
pendekatan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat
lokal sebagai dasar pengelolaan. Dengan kemampuan transfer antar generasi yang
baik, pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dalam prakteknya
tercakup dalam sebuah sistem tradisional. Berbasis masyarakat mengandung
pengertian bahwa sumberdaya tersebut dikelola oleh masyarakat baik dalam bentuk
komunitas, unit usaha berbasis komunitas, maupun individual.
Sementara itu, Carter yang juga dikutip oleh Darmawan et al. (2004) memberikan
definisi pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat sebagai suatu strategi
untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia. Pusat pengambilan
keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah
terleak di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat daerah tersebut. Beberapa
kelebihan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat adalah:
1. mampu mendorong pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam;
merefleksikan kebutuhan masyarakat yang spesifik;
3. dapat meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat;
4. dapat meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi;
5. responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal;
6. masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola sumberdaya alam secara
berkelanjutan.
Page 7
7
Faktor yang sangat berkaitan dengan pengelolaan dalam pembangunan berbasis
masyarakat adalah perilaku manusia. Melalui perilaku, manusia saling berinteraksi
dengan manusia lain dan lingkungan yang berada di sekitarnya. Perilaku manusia
banyak yang mempengaruhi kelestarian lingkungan dan sumbedaya alam. Hal yang
perlu diperhatikan adalah bagaimana merubah perilaku negatif manusia terhadap
alam dan lingkungannya. Untuk itulah diperlukan berbagai konsep kebijakan yang
mengatur bagaimana pengelolaan sumberdaya alam sedemikian rupa sehingga
manusia tetap bersikap positif dan akrab dengan lingkungan.
Satu pendekatan pengelolaan hutan yang diterapkan di Indonesia adalah pola hutan
kerakyatan ataupun hutan kemasyarakatan. Definisi hutan kemasyarakatan adalah
sebagai hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk
memberdayakan masyarakat sekitar hutan dengan tanpa mengganggu fungsi
pokoknya. Izin pengelolaan hutan kemasyarakatan diberikan oleh Bupati/Walikota
dalam jangka waktu 25 tahun setelah memperoleh penetapan kawasan hutan dari
Menteri Kehutanan sebagai wilayah pengelolaan hutan kemasyarakatan.
2.2 Pengertian hutan kemasyarakatan
Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki
beberapa pengertian, yaitu :
1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri kehutanan RI no 31 tahun
2000 adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan
untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi
pokoknya
Page 8
8
2. Hutan kemasyarakatan menurut definisi Gilmour dan Fisher yang disitasi
Soemarwoto (2000) adalah pengendalian dan pengelolaan sumberdaya hutan
oleh masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga dan sebagai
bagian terpadu dari sistem pertanian setempat.
Dalam pelaksanaannya program hutan kemasyarakatan menurut Wardoyo
(1997) terdapat beberapa istilah yang perlu dipahami, diantaranya :
1. Perhutanan sosial diartikan sebagai pelibatan masyarakat dalam bentuk
pemberian ijin penguasaan oleh pemerintah kepada masyarakat sebagai
wujud partisipasi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan
hutan dalam pembangunan kehutanan untuk merencanakan, mengusahakan,
memelihara, mengendalikan dan mengawasi serta memanfaatkan hasil hutan
(baik kayu maupun bukan kayu) dengan tujuan peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan kelestarian sumberdaya
2. Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) adalah hak yang
diberikan oleh Menteri kepada masyaraka setempat melalui koperasinya
untuk melakukan program hutan kemasyarakatan dalam jangka waktu
tertentu
3. Peserta hutan kemasyarakatan adalah orang yang kehidupannya dari hutan
atau kawasan hutan yang secara sukarela berperan aktif dalam kegiatan hutan
kemasyarakatan
4. Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara
indonesia yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan yang membentuk
komunitas yang didasarkan pada kesamaan mata pencaharian yang berkaitan
Page 9
9
dengan hutan, kesejahteraan, keterikatan tempat tinggal, serta peraturan tata
tertib kehidupan bersama.
2.3 Sejarah hutan kemasyarakatan
Kerusakan hutan hujan tropis di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan
kehutanan Indonesia yang menjadikan hutan sebagai objek paling dragmatis
memberikan keuntungan dalam jangka waktu yang pendek. Hutan dijadikan
komoditi yang paling mudah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertumbuhan ekonomi dijadikan alasan guna melakukan eksploitasi hutan tanpa
memperhitungkan daya dukung, keberlanjutan dan kelestarian hutan
(Koesmono, 1999). Pengusahaan hutan secara besar-besaran dengan pola HPH
(hak pengusahaan hutan) dimulai sejak dikeluarkannya UU No 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No 21 tahun 1970 tentang HPH
dan HPHH (Hak Pemungutan Hasil Hutan). Hal ini semakin memperburuk
keadaan hutan Indonesia (Koesmono, 1999).
Persoalan penting lainnya yang dihadapi oleh kehutanan Indonesia adalah
konflik dengan masyarakat setempat pada semua fungsi hutan. Konflik ini
terjadi karena adanya penggusuran secara besar-besaran terhadap hak
kepemilikan atau karena adanya masyarakat setempat yang tidak memiliki akses
terhadap lahan pertanian (Raja, 2003). Seiring dengan berhembusnya reformasi,
terjadi perubahan/pergeseran orientasi pengelolaan hutan yang lebih
meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Dephut mulai memberikan perhatian yang
Page 10
10
semakin besar kepada program-program hutan kemasyarakatan (Koesmono,
1999).
Ide pembangunan kehutanan dengan pola hutan kemasyarakatan sebenarnya
mulai dirintis sejak tahun 1995, dengan ditetapkannya SK Menhut No.
622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Namun
pelaksanaannya sendiri kurang berjalan dengan baik karena masih kurang
tersosialisasinya program tersebut di masyarakat dan belum adanya petunjuk
teknis dan pelaksanaannya. Untuk mengatasinya, ditetapkan SK Menhutbun No.
41 Tahun 1999, dan ditetapkan pada surat keputusan yang baru yang sesuai
dengan undang-undang tersebut yaitu Sk Menhut No.31 Kpts-II/2001 tentang
penyelengaraan hutan kemasyarakatan (Priyo, 1999).
2.4 Maksud dan Tujuan Hutan Kemasyarakatan
Maksud dari pelaksanaan hutan kemasyarakatan adalah pemberdayaan
masyarakat dan pemberian kepercayaan kepada masyarakat setempat yang
tinggal di dalam sekitar kawasan hutan untuk mengusahakan hutan negara
sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan pengetahuan sehingga kelestarian
sumberdaya hutan dapat dipertahankan (Dephutbun, 1999). Pembangunan
hutan kemasyarakatan bertujuan untuk :
1. Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas
ekonomi dan sosial masyarakat
2. Meningkatkan ikatan komunitas masyarakat pengusaha hutan
3. Mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian
fungsi dan manfaat hutan
Page 11
11
4. Meningkatkan mutu, produktivitas dan keamanan hutan
5. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan
meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat
6. Mendorong serta mempercepat pembangunan wilayah (Dephutbun, 1999).
2.5 Pelaksanaan hutan kemasyarakatan
Model hutan kemasyarakatan sebenarnya hanya sesuai diterapkan dalam
pengelolaan dan sekaligus pelestarian areal-areal hutan yang berukuran kecil,
dan kebanyakan berada pada lokasi-lokasi terpencil, baik di dalam maupun di
luar kawasan yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan negara. Luas kawasan
hutan yang cocok untuk model hutan kemasyarakatan adalah antara 40-10.000
Ha (Dephutbun, 1999). Kawasan hutan yang dijadikan areal hutan
kemasyarakatan adalah kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan kawasan
pelestarian alam pada zonasi pemanfaatan taman hutan raya dan wisata
(Dephutbun, 1999). Pelaksanaan hutan kemasyarakatan memiliki prinsip-
prinsip dasar sebagai berikut :
1. Masyarakat sebagai pelaku utama
Sejalan dengan pembangunan kehutanan yang ingin memberdayakan
masyarakat, maka dalam kawasan hutan kemasyarakatan, yang menjadi
pelaku utama dalam pelaksanaannya adalah masyarakat yang berada di
dalam atau di sekitar kawasan hutan yang kawasannya ditetapkan sebagai
areal hutan kemasyarakatan (Wardoyo, 1997).
Pelaksanaan hutan kemasyarakatan diprioritaskan pada masyarakat setempat
yang kehidupannya tergantung pada sumberdaya hutan. Hutan dan
Page 12
12
masyarakat sekitarnya merupakan satu kesatuan ekosistem yang satu sama
lain saling ketergantungan. Hutan bagi masyarakat tradisional dianggap
sebagai sumber penghasil makanan/kebutuhan, seperti buah-buahan, berburu
binatang, bahan bakar, dan lain-lain. Sebaliknya masyarakat modern lebih
memandang hutan sebagai sumber bahan mentah bagi proses manufaktur
untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih lanjut. Atas dasar ini, semua
diaktualisasikan dalam bentuk pemberian hak pengusahaan kepada
masyarakat lokal untuk mengusahakannya (Wardoyo, 1997). 2. Memiliki
kepastian hak dan kewajiban semua pihak Hak dan kewajiban semua pihak
yang terlibat dalam pelasksanaan hutan kemasyarakatan, baik itu masyarakat
dan pemerintah diatur sangat jelas. Masyarakat sebagai peserta hutan
kemasyarakatan berhak atas hasil hutan non kayu dan melakukan
pemeliharaan hutan kemasyarakatan sesuai dengan lokalisasi yang
diterapkan. Di dalam pelaksanaannya setiap peserta kegiatan hutan
kemasyarakatan mendapat ijin mengelola areal hutan kemasyarakatan seluas
maksimum 4 ha untuk peserta perorangan, untuk peserta kelompok seluas 4
ha jumlah anggota kelompok yang ikut serta sebagai peserta, dan untuk
koperasi maksimum seluas 4 ha dikalikan jumlah anggota koperasi yang
turut serta sebagai peserta hutan kemasyarakatan (Wardoyo,1997).
Selain hak tersebut peserta hutan kemasyarakatan juga memiliki kewajiban
yakni terlibat langsung dalam proses penyusunan rencana dan pelaksanaan
program hutan kemasyarakatan, serta hal-hal yang terkait di dalamnya.
Selain kewajiban tersebut di atas, masyarakat sebagai peserta hutan
kemasyarakatan juga memiliki kewajiban untuk tetap menjaga kelestarian
Page 13
13
fungsi dan manfaat hutan. Sedangkan pemerintah sebagai fasilitator dan
pemantau program menjalankan fungsi kontrolnya mengawasi pelaksanaan
hutan kemasyarakatan secara seksama agar diperoleh hasil yang maksimal
(Priyo, 1999). 3. Keragaman komoditas (kayu dan non kayu), keadilan dan
kelestarian, sederhana dan dinamis Komoditas tanaman yang digunakan
dalam hutan kemasyarakatan harus dipilih sesuai dengan karakteristik
daerah dan lahan yang akan ditanami. Sebelum melakukan pemilihan
komoditas harus dilakukan inventarisasi dan identifikasi tanaman yang ada
di daerah tersebut. Pemilihan komoditi termasuk hal yang sangat penting.
Secara teknis pemilihan jenis komoditi ini mempertimbangkan faktor fisik
teknis/ekologi, faktor sosial ekonomi dan sosial budaya (Wardoyo, 1997).
Faktor fisik teknis/ekologi yang harus diperhatikan antara lain adalah tinggi
tempat, kemiringan (topografi), kesuburan tanah, iklim (curah hujan, suhu),
kondisi vegetasi awal. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dari segi sosial
ekonomi adalah komoditas harus mempunyai nilai ekonomi yang tinggi,
disukai masyarakat setempat dan mempunyai prospek pasar yang baik dan
mempunyai fungsi Multiple Purpose Tree Species (MPTS). Selain faktor
tersebut juga harus diperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat,
antara lain adat-istiadat, keberadaan pemimpin masyarakat baik formal
maupun tidak formal, serta kelembagaan adat (Wardoyo, 1997). Tahap-tahap
pelaksanaan hutan kemasyarakatan :
1. Pencadangan areal hutan kemasyarakatan. Dapat dicadangkan pada
kawasan hutan produksi, kawasan lindung, dan pada pelestarian alam
pada zona pemanfaatan
Page 14
14
2. Penyiapan kondisi masyarakat. Merupakan kegiatan awal yang penting
dilaksanakan sebelum pemberian Hak Pengusahaan Hutan
Kemasyarakatan
3. Terbentuknya kelembagaan masyarakat berdasarkan aspirasi dan inisiatif
masyarakat itu sendiri dalam mengelola hutan secara lestari. Penyiapan
kondisi masyarakat dilakukan melalui penyebarluasan informasi tentang
kebijakan dan peraturan hutan kemasyarakatan
4. Perencanaan. Rencana pengembangan hutan kemasyarakatan diawali
dengan diperolehnya hak pengusahaan hutan kemasyarakatan, koperasi
masyarakat lokal wajib menyusun Rencana Induk Pengusahaan Hutan
Kemasyarakatan(RPHKm), Rencana Lima Tahunan Hutan
Kemasyarakatan (RKLHKm)
5. Pelaksanaan. Hutan kemasyarakatan dikelola oleh koperasi masyarakat
lokal sebagai pemegang hak pengusahaan hutan kemasyarakatan
6. Pemantauan dan evaluasi di lapangan. Sebagai pemegang hak
pengusahaan hutan kemasyarakatan, koperasi memantau sendiri kegiatan
pengelolaan hutan kemasyarakatan (Dephutbun, 1999). Berdasarkan
bentuk kegiatan, hutan kemasyarakatan menurut Wardoyo (1997) dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Aneka Usaha Kehutanan
Merupakan suatu bentuk kegiatan hutan kemasyarakatan, dengan
memanfaatkan ruang tumbuh atau bagian dari tumbuh-tumbuhan hutan.
Kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam aneka usaha kehutanan antara
Page 15
15
lain budidaya rotan, pemungutan getah-getahan, minyak-minyakan, buah-
buahan/biji-bijian, budidaya lebah madu, jamur dan obat-obatan
Hubungan antara pemanfaatan hutan, ruang tumbuh dan bagian-bagian
tanaman dengan alternatif kegiatan yang dapat dikembangkan. Alternatif
kegiatan yang dapat dikembangkan sangat tergantung pada kondisi awal
tegakan pokok yang telah ada 2. Agroforestry Agroforestry merupakan
suatu bentuk hutan kemasyarakatan yang memanfaatkan lahan secara
optimal dalam suatu hamparan, yang menggunakan produksi berdaur
panjang dan berdaur pendek, baik secara bersamaan maupun berurutan
Agroforestry merupakan komoditas tanaman yang kompleks, yang
didominasi oleh pepohonan dan menyediakan hampir semua hasil dan
fasilitas hutan alam. Agroforestry dapat dilaksanakan dalam beberapa
model, antara lain tumpang sari (cara bercocok tanam antara tanaman
pokok dengan tanaman semusim), silvopasture (campuran kegiatan
kehutanan, penanaman rumput dan peternakan), silvofishery (campuran
kegiatan pertanian dengan usaha perikanan di daerah pantai), dan
farmforestry (campuran kegiatan pertanian dengan kehutanan)
2.6 Pengertian Kelembagaan
Kelembagaan merupakan suatu sistem yang sengaja dibuat manusia untuk
mengatur cara, aturan, proses peran masing-masing komponen pendukung
didalamnya untuk mencapai tujuan tertentu. Komponen di dalam suatu
kelembagaan antara lain subjek atau orang sebagai penggerak sistem, segala
Page 16
16
aturan dan cara yang mengatur jalannya suatu sistem di dalam kelembagaan
yang dilibatkan banyak peran subjek tersebut.
Menurut Soekanto (2002), istilah kelembagaan diartikan sebagai lembaga
kemmasyarakatan yang mengandung pengertian abstrak perihal adanya norma-
norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut.
Sedangkan menurut Tjondronegoro (1977) dalam Pranadji (2003), pengertian
tentang lembaga cenderung menyempitkan makna lembaga dengan pendekatan
dari kemajuan masyarakat.
Soemardjan dan Soelaeman (1974) menuliskan bahwa kelembagaan dapat
bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat yang berperan besar terhadap
sirkulasi kelembagaan tersebut. Sedikit berbeda dengan Rahardjo (1999) yang
dikutip oleh Pasaribu (2007), konsep kelembagaan yang dianut oleh masyarakat
menggunakan konsep lembaga sosial yang secara lebih sederhana diartikan
sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk
mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat.
2.7 Kelompok Tani Hutan
Kelompok tani hutan (KTH) merupakan sekumpulan orang yang
mengelompokkan diri dalam usaha-usaha dalam bidang pengelolaan tanah
hutan negara yang tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk meningkatkan
taraf hidup dan kesejahteraann anggotanya untuk mencapai tujuan bersama
(Perum perhutani 1987 dalam Permana 1998). Sedangkan Suharjito (1994)
menyatakan bahwa pembentukan kelompok tani merupakan awal dari sebuah
Page 17
17
upaya menwujudkan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan
hutan Negara.
Mulyana (2001) dalam Puspita (2006) menyatakan bahwa criteria petani
sebagai KTH adalah kedekatan dengan hutan, hak-hak yang sudah ada,
ketergantungan, dan pengetahuan lokal. Keempat kriteria itu sangat erat
kaitannya dengan sumber daya hutan dan mudah untuk dikenali. Selanjutnya
dalam tulisannya juga dikatakan proses pembentukan KTH adalah sebagai
berikut :
1) Pembentukan kelompok
2) Penguatan kelembagaan
3) Penyuluhan
4) Insentif
Menurut Suharjito (1994), pengertian pembinaan KTH adalah suatu proses yang
timbul dalam suatu hubungan antara pembina atau petugas Perum Perhutani
bersama dengan instansi terkait dengan kelompok tani (KTH) binaan dalam
upaya menemukan dan memecahkan masalah atau mengembangkan kegiatan
kelompok. Tujuan pembinaan yang ingin dicapai tentunya tidak terlepas dari
tujuan perhutanan sosial pada umumnya, yaitu memaksimalkan partisipasi
masyarakat sekitar hutan untuk bersama-sama membangun dan mengelola
hutan secara penuh tanggung jawab dalam pembangunan hutan dan lingkungan
sekitar.
Page 18
18
2.8 Kerangka Pemikiran
Hutan kemasyarakatan merupakan salah satu program yang diterapkan untuk
menjaga pengelolaan hutan dengan tetap memperhatikan kelangsungan hidup
petani. Salah satu Kabupaten yang diberikan izin pengelolaan hutan
kemasyarakatan paling luas adalah kabupaten Tanggamus. Kabupaten Tanggamus
memiliki areal pencadangan untuk HKm seluas 50.000 ha. Ada 14 Gabungan
Kelompok Tani (GAPOKTAN) yang memiliki izin (Areal Kerja HKm) dari
Menteri Kehutanan dan Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) dari Bupati
Tanggamus dengan luas 15.452 ha. Sementara itu ada 20 GAPOKTAN masih
dalam proses pengajuan izin. Untuk Kota Agung Utara terdapat 7 Gapoktan yang
sudah mendapatkan izin selama 35 tahun dari Menteri Kehutanan, dan Gapoktan
yang sedang dalam pengajuan adalah 9 Gapoktan. Pembiayaan semua proses
kegiatan untuk mendapatkan izin dilakukan secara swadaya anggota kelompok
HKm. Dalam proses pengajuan izin secara swadaya inilah yang seringkali para
Gapoktan membutuhkan bantuan dan bimbingan dari para pendamping, lembaga
swadaya masyarakat, pemerintah daerah dan unsur lainnya.
Gapoktan Wira Karya Sejahtera, gapoktan Mahardika dan gapoktan Beringin Jaya
merupakan beberapa gapoktan yang telah mendapatkan SK Menhut, Penetapan
Areal Kelola Th 2013.
Dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan oleh beberapa gapoktan masih
ditemukan beberapa kendala, oleh karenanya diperlukan kajian penguatan system
pengelolaan hutan kemasyarakatan. Untuk tahap awal kajian yang dibutuhkan
dalam penguatan ini adalah kajian sosial ekonomi meliputi pendapatan usahatani,
Page 19
19
pekerjaan sampingan dan tambahan pendapatan petani. Selain itu, kajian
kelembagaan pengelolaan yang dibutuhkan meliputi kajian kelembagaan kelompok
tani, koperasi dan organisasi masyarakat.
Gambar 1. Paradigma kerangka pemikiran pengelolaan hutan kemasyarakatan di
kawasan register 28, 30 dan 32
Page 20
20
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 .Metode Pengambilan Contoh
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Agung Utara Kabupaten Tanggamus.
Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja). Kabupaten Tanggamus
dipilih menjadi daerah penelitian atas dasar pertimbangan bahwa Kabupaten ini
merupakan kabupaten yang menerapkan pembangunan HKm register 28
Pematang Neba dan Register 32 Gn Rendingan. Kawasan HKm tersebut
memiliki fungsi yang sangat krusial yakni salah satunya sebagai catchmen area
atau daerah tangkapan air batu tegi.
Responden yang dijadikan sampel (unit contoh) adalah masyarakat anggota
gapoktan HKm yang telah mendapatkan ijin Penetapan areal kelola hutan tahun
2013. Responden tersebut merupakan responden yang tinggal di kawasan
register 28 yaitu Wira Karya Sejahtera, kawasan register 32 yaitu gapoktan
Mahardika dan gapoktan di kawasan register 30 yaitu Beringin Jaya. Jumlah
sampel dipilih secara Quota sampling, yaitu berjumlah 300 responden. Pra
survei ke lapangan dan pengumpulan data lebih lengkap dilakukan pada tahun
2013.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan pengamatan langsung. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dengan wawancara dengan petani (responden) melalui
Page 21
21
kuisioner (daftar pertanyaan). Data sekunder diperoleh dari lembaga
terkait/instansi terkait, laporan-laporan, publikasi dan pustaka lainnya yang
berhubungan dengan penelitian ini. Berikut penjelasan mengenai metode
pengumpulan data dan informasi :
(1) Studi literatur, yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari data sekunder
yang relevan mengenai peraturan perundangan yang berkaitan dengan hutan
kemasyarakatan, data sosial ekonomi penduduk, data pelaksanaan kegiatan
HKm, dan sebagainya.
(2) Observasi, yaitu dengan cara mengamati dan/atau menghitung obyek penelitian
di lapangan secara langsung, seperti jenis tanaman, produksi tanaman, biaya
produksi, dan pendapatan usahatani.
(3) Wawancara dengan cara ”dept interview”, yaitu dengan melakukan tanya jawab
kepada informan kunci guna menggali informasi mengenai mekanisme
pelaksanaan kegiatan HKm, pendampingan yang dilakukan KORUT, dan
produksi tanaman. Responden yang dijadikan responden terdiri atas anghota
kelompok tani Mulya Agung, Tribuana, dan Tulung Agung.
(4) Kuesioner, yaitu dengan menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden
yang dijadikan obyek penelitian.
3.4 . Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode komputerisasi.
Data yang diperoleh disederhanakan akan diolah secara komputerisasi dengan
menggunakan program excel dan program lain yang mendukung. Sebelum
melakukan analisis data, maka perlu dilakukan tahap–tahap teknik pengolahan data
sebagai berikut :
Page 22
22
1. Editing
Editing merupakan proses pengecekan dan penyesuaian yang diperoleh terhadap
data penelitian untuk memudahkan proses pemberian kode dan pemrosesan data
dengan teknik statistik.
2. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian tanda berupa angka pada jawaban dari
kuesioner untuk kemudian dikelompokkan ke dalam kategori yang sama.
Tujuannya adalah menyederhanakan jawaban.
3. Scoring
Scoring yaitu mengubah data yang bersifat kualitatif ke dalam bentuk kuantitatif.
Dalam penentuan skor ini digunakan skala likert dengan lima kategori penilaian
yaitu :
a. Skor 3 diberikan untuk jawaban tinggi.
b. Skor 2 diberikan untuk jawaban sedang.
c. Skor 1 diberikan untuk jawaban rendah.
4. Tabulating
Tabulating adalah menyajikan data – data yang diperoleh dalam tabel, sehingga
diharapkan pembaca dapat melihat hasil penelitian dengan jelas. Setelah proses
tabulating selesai dilakukan, kemudian diolah dengan program komputer
Microsoft excel dan program lain yang mendukung.
1. Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang
berdasarkan faktor-faktor sebagaimana adanya. Analisis ini digunakan untuk
Page 23
23
mengakaji karakteristik sosial ekonomi petani yang berada di sekitar register 28, 30
dan 32.
2. Analisis Tingkat Partisipasi Petani di Hutan Kemasyarakatan
Tingkat partisipasi petani diukur dengan cara menjumlahkan seluruh skor dari
beberapa pertanyaan yang diajukan. Pengklasifikasian tingkat partisipasi petani
dimasukkan ke dalam kelas dengan menggunakan rumus Sturges (Dajan, 1996),
Pengukuran berdasarkan unsure-unsur yang terdiri atas pertanyaan-pertanyaan
tertera pada kuesioner.
Tabel 1. Jenis dan Metode analisis data Berdasarkan Tujuan Penelitian
No Tujuan Penelitian Jenis data Sumber data Metode analisis data
1. Mempelajari
bentuk, tipe dan
tingkat partisipasi
masyarakat
Kualitatif Wawancara
kepada petani
responden
Analisis
Deskriptif kualitatif
(tabulasi data dengan
skala rendah, sedang,
tinggi)
2. Menganalisis
factor sosial
ekonomi
masyarakat
Kualitatif
dan
kuantitatif
Wawancara
kepada petani
responden
Analisis
Deskriptif kuantitatif
(tabulasi
data), analisis
pendapatan dan
criteria R/C ratio
3. Mempelajari
kelembagaan yang
berpengaruh
terhadap partisipasi
masyarakat
Kualitatif Wawancara
kepada ketua
Gapoktan dan
petani
responden
Analisis
Deskriptif kualitatif
(tabulasi data)
Kualifikasi data lapang dirumuskan pada rumus Sturges (Dajan, 1986) dengan
rumus:
Z = X – Y
K
Keterangan:
Z = Lebar selang kelas/kategori
Page 24
24
X = Nilai skor tertinggi
Y = Nilai skor terendah
K = Banyaknya kelas/kategori
Penelitian ini jumlah kelas ditentukan secara sengaja yaitu dibagi menjadi tiga
kelas, yaitu rendah, sedang dan tinggi.
Page 25
25
BAB IV
GAMBARAN UMUM WILAYAH
4.1 Gambaran Kabupaten Tanggamus
Kabupaten Tanggamus adalah salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang
memiliki potensi cukup besar dilihat dari sektor ketersediaan sumber daya alamnya
maupun luas wilayahnya yang mencakup sekitar 2721.88 Km2. Kabupaten
Tanggamus terbentuk dan menjadi salah satu Kabupaten di Propinsi Lampung
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1997 yang diundangkan pada tanggal
3 Januari 1997 dan diresmikan menjadi Kabupaten pada tanggal 21 Maret 1997.
Adapun jumlah penduduk Kabupaten Tanggamus adalah 542.439 jiwa.
Data mengenai keadaan geografis kabupaten Tanggamus dapat dilihat dari catatan
BPS, yakni menurut data BPS (2011), Kabupaten Tanggamus berbatasan dengan 3
wilayah daratan dan juga berbatasan dengan laut. Ibu kota kabupaten Tanggamus
adalah Kota Agung, berada di sepanjang pinggir laut. Dari segi geografis, posisi
kabupaten Tanggamus sangatlah unik dan menarik, ada gunung Tanggamus dan
juga memiliki laut. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Tanggamus sangatlah
kaya jika dilihat dari kekayaan sumber daya alam. Memiliki gunung, dan laut, serta
banyak sungai serta hutan-hutan. Kota Agung memiliki udara yang terasa panas
karena berada dipinggir pantai yang terik.
Dilihat dari aspek geografi Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104o
18’ -
105o 12’ Bujur Timur dan antara 5
o 05’ – 5
o 56’ Lintang Selatan. Koordinat ini
membatasi wilayah seluas 21855,46 km2 untuk luas daratan ditambah dengan luas
Page 26
26
wilayah laut seluas 1.779,50 km2 dengan luas keseluruhan 4.634,96 Km
2. Luas
wilayah kabupaten Tanggamus, dapat dilihat dari tabel berikut ini :
Tabel 2. Luas Kabupaten Tanggamus
No
Kecamatan
Luas
Km2 Persentase
1. Wonosobo 209,63 4,52
2. Semaka 170,90 3,69
3. Bandar Negeri Semuong 98,12 2,12
4. Kota Agung 76,93 1,66
5. Pematang Sawa 185,29 4,00
6. Kota Agung Barat 101,30 2,19
7. Kota Agung Timur 73,33 1,58
8. Pulau Panggung 437,21 9,43
9. Ulu Belu 323,08 6,97
10. Air Naningan 186,35 4,02
11. Talang Padang 45,13 0,97
12. Sumberejo 56,77 1,22
13. Gisting 32,53 0,70
14. Gunung Alip 25,68 0,55
15. Pugung 232,40 5,01
16. Bulok 51,68 1,12
17. Cukuh Balak 133,76 2,89
18. Kelumbayan 121,09 2,61
19. Limau 240,61 5,19
20. Kelumbayan Barat 53,67 1,16
Luas Darat 2.855,46 61,61
Luas laut 1.779,50 38,39
Jumlah Total 4.634,94 100,00
Sumber: BPS, 2013
Potensi sumber daya alam di Tanggamus tidak hanya penting untuk ekonomi,
melainkan juga sebagai penyeimbang ekologi. Hutan dan sungai-sungai besar yang
mengaliri wilayah Tanggamus merupakan penyangga bagi keseimbangan dan
kelestarian alam di wilayah tersebut.
Di Tanggamus ini ada dua sungai besar yakni bernama Way Sekampung dan Way
Semangka. Way berarti sungai. Kata Way akan sering kita temui di Lampung,
karena etnik Lampung sangat erat kaitannya dengan way atau sungai. Sungai
Page 27
27
menjadi saksi bagi perkembangan peradaban masyarakat Lampung pada umumnya.
Sebagai transportasi utama pada masa dahulunya dan penghubung antara satu
tempat dengan tempat lain dan menjadi media bagi terjadinya kontak kebudayaan.
Sungai juga memiliki fungsi penting selain sebagai sumber kehidupan yakni
sebagai sarana penting dalam berdirinya suatu kampung, dan sungai menjadi
penting dalam membangun rumah-rumah. Bahkan bagi para ketua adat atau disebut
sebagai Penyimbang adat, sebagian besar memiliki tempat pemandian sendiri di
sungai. Bahkan pada peristiwa adat tertentu, penyimbang atau raja wajib mandi di
sungai, dan masyarakat umum tidak boleh mandi di sungai. Artinya sungai tidak
hanya menjadi sumber kehidupan untuk kebutuhan dasar, melainkan juga sebagai
symbol status dan kedudukan. Di kabupaten tanggamus. selain kedua sungai utama
tadi, terdapat juga beberapa sungai yang mengairi wilayah kabupaten tanggamus
antara lain: Way Pisang, Way Gatal, Way Semah, Way Sengharus, Way Bulog, dan
Way Semong. Hal lain yang patut untuk diperhatikan berkaitan dengan keadaan
wilayah kabupaten tanggamus adalah gunung yang berada di wilayah ini. tercatat
lima gunung yang berada si wilayah Kabupaten Tanggamus, antara lain gunung
Tanggamus (2.102m) di Kecamatan Kota Agung, Gunung Suak (414m) di
kecamatan Cukuh Balak, Gunung Pematang Halupan (1.646 m) berada di
Kecamatan Wonosobo, Gunung Rindingan (1.508m) di Kecamatan Pulau
Panggung dan Gunung Gisting (786m) di Kecamatan Gisting. (BPS, 2011) Dapat
dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 3. Nama dan Tinggi Gunung Di Kabupaten Tanggamus
Page 28
28
No Nama Gunung Tinggi (m) Kecamatan
1 Gunung Tanggamus 2.102 Kota Agung
2 Gunung Suak 414 Cukuh Balak
3 Gunung Pematang
Haluan
1.646 Wonosobo
4 Gunung Rindingan 1.508 Pulau Panggung
5 Gunung Gisting 786 Gisting
Sumber : Dinas Pekarjaan Umum
RPJP Kabupaten Tanggamus mencantumkan bahwa Visi Kabupaten Tanggamus
untuk periode 2005-2025 adalah “Masyarakat yang Sejahtera dan Tanggamus Sai
Tanggom”. Visi ini merupakan cita-cita sekaligus komitmen daerah, yang terdiri
dari dua kata kunci, yaitu masyarakat yang sejahtera dan daerah sai tanggom.
Masyarakat yang sejahtera adalah masyarakat yang menjalankan agamanya secara
taat dalam suasana budaya yang kreatif dan disukung manusia yang maju, indah
dan berwibawa. Menurut data BPS tahun 2011 (Tanggamus dalam Angka),
kabupaten Tanggamus sebagian Barat semakin ke Utara mengikuti lereng bukit
barisan. Bagian Selatan meruncing dan mempunyai sebuah teluk yang besar yaitu
Teluk Semaka. Di Teluk Semaka terdapat sebuah pelabuhan yang merupakan
pelabuhan antar pulau dan terdapat tempat pendaratan ikan.
Sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Lampung selatan, Kabupaten
Tanggamus memiliki batas -batas wilayah administratif dengan kabupaten lainnya,
apalagi wilayah Pringsewu sudah menjadi kabupaten sendiri berpisah atau mekar
dari Tanggamus, batas-batas administratifnya adalah sebagai berikut:
- sebelah Utara berbatsan dengan kabupaten Lampung Barat dan kabupaten
Lampung Tengah.
Page 29
29
- sebelah Selatan berbatasan dengan samudra Indonesia
- sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Lampung Barat
- sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Pringsewu
Luas wilayah daratan kabupaten Tanggamus adalah 2855,46 Km2
di tambah luas
wilayah laut seluas 1799,50 Km2 di sekitar Teluk Semaka, dengan panjang pesisir
210 Km topografi wilayah daratan bervariasi antara daratan rendah dan daratan
tinggi, yang sebagian merupakan daerah berbukit sampai bergunung, yakni sekitar
40% dari seluruh wilayah dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai
dengan 2115 m. Potensi sumber daya alam yang dimiliki kabupaten tanggamus
sebagian besar di manfaatkan untuk kegiatan pertanian. selain itu masih terdapat
beberapa sumber daya alam lain yang potensial adalah pertambangan dan energi
listrik ( BPS, 2011).
Kabupaten Tanggamus memiliki kawasan hutan lindung dan hutan Negara (taman
nasional). Beberapa hutan register di Tanggamus, telah mendapatkan izin
pengelolaan HKm dari menteri kehutanan. Dari peta hutan sebelumnya dapat
dilihat bahwa hutan terbanyak ada di kawasan Tanggamus. Beberapa register telah
mendapatkan izin untuk pengelolaan hutan oleh masyarakat tani. Masyarakat tani
sangat antusias dalam memperoleh izin ini, meskipun mereka harus memenuhi
syarat tertentu, yakni hutan harus tetap dipelihara kelangsungan hidupnya. Hal yang
menarik adalah mereka sudah memiliki kearifan lokal dalam memelihara hutan,
yakni dikenal dengan nama lokalnya reppong. Reppong adalah tanaman tajuk
tinggi, yang wajib ditanam di hutan yang mereka jadikan kebun. Reppong itu bisa
Page 30
30
jadi tanamanya adalah durian, dan tanaman tinggi lainnya yang dapat membuat
tanah tidak longsor dan selalu terjaga kelestariannya ( B. Vivit Nurdin, 2013).
HKm adalah kawasan hutan Negara yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekaligus
masyarakat berkewajiban melestarikannya. Masyarakat yang sudah memperoleh
izin HKm diperbolehkan memanfaatkan hutan, tetapi sekaligus diwajibkan untuk
memelihara hutan agar tidak rusak. HKm juga berupaya untuk memberdayakan
masyarakat di kawasan hutan. Sebagai sebuah solusi dalam menyelesaikan
masalah kerusakan hutan, HKm merupakan sebuah solusi yang diharapkan mampu
menyelesaikan masalah hutan ini. Namun HKm tidak akan berjalan kalau hanya
ditumpukan kepada masyarakat pengguna hutan saja melainkan harus ada sinergi
antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat dalam merehabilitasi
hutan ( B. Vivit Nurdin, 2013)
4.2 BATAS ADMINISTRATIF DAN BATAS CULTURE AREA
Secara administrative sudah dijelaskan di atas bahwa Kabupaten Tanggamus
berbatasan dengan beberapa kabupaten, dan lautan. Batas administrative ini
tidaklah mencerminkan batas-batas budaya. Demikian juga dengan masyarakat
petani perambah, bagi petani batas-batas administrative bukanlah hal yang penting,
yang paling utama adalah bagaimana bisa berkebun dengan mendapatkan lahan.
Kawasan hutan yang mereka pergunakan terkadang sudah melewati batas-batas
administarif Tanggamus. Bagi petani, tidak ada batas administrative yang ada
hanyalah bahwa mereka terus mencari lahan atau tanah untuk bisa ditanami
tanaman yang menguntungkan mereka.
Page 31
31
Dari sisi administrative, pekon atau desa yang ada di kabupaten Tanggamus adalah
302 pekon / kelurahan dengan 20 kecamatan (BPS, 2011). Sesudah reformasi,
satuan terkecil wilayah administrative adalah Pekon, yakni nama kampung bagi
sebutan masyarakat adat Lampung di Tanggamus. System desa kemudian
dihapuskan dibeberapa daerah di luar Jawa.
Batas administratif berbeda dengan batas culture area, dimana batas adinistratif
merupakan batas kabupaten, kecamatan dan desa yang dibuat oleh negara. Batas
culture area merupakan batas-batas budaya, dimana batas – batas terlihat dari
kampung tua dan perbedaan etnik diantaranya ( B. Vivit Nurdin, 2013) .
Peta Tanggamus secara administrative dan culture area dapat dilihat dalam peta-
peta berikut ini
Page 32
32
Gambar 2. Administrative Kabupaten Tanggamus
Page 33
33
Gambar 3. Culture Area di Kabupaten Tanggamus
Sumber : Peta diolah peneliti dari hasil survey, 2013.
4.3 Gambaran Umum Gabungan Kelompok Tani
Kabupaten Tanggamus mencadangkan areal kelola HKm seluas 50.000 hektar yang
terbagi 3 (tiga) kesatuan wilayah kelola dibawah tanggung jawab dinas kehutanan
Page 34
34
dan perkebunan kabupaten Tanggamus, KPHL Kotaagung Utara dan KPHL Batu
Tegi. (sumber dishutbun Kab. Tanggamus).
Dari luasan cadangan areal kelola tersebut, ada 31 (tiga puluh satu) Gapoktan
pengelola HKm, dengan rincian sbb ;
1. 5 (lima) gapoktan telah memiliki SK Menhut tentang Penetapan Areal Kerja
(PAK) dan IUPHKm Pemda Tanggamus pada tahun 2008.
2. 8 (delapan) gapoktan telah memiliki SK Menhut tentang Penetapan Areal Kerja
(PAK) dan IUPHKm Pemda Tanggamus pada tahun 2009.
3. 18 (delapan belas) gapoktan baru memiliki SK Menhut tentang Penetapan Areal
Kerja (PAK) pada tahun 2013.
4.3.1 Letak Geografis
Secara umum letak geografis Gapoktan Wirakarya Sejahtera, Mahardika dan
Beringin Jaya berada di ketinggian antara 500 dpl sampai dengan 1000 dpl, dengan
topografi berbukit.
4.3.2 Administratif
Secara Administratif Gapoktan Wiarakarya Sejahtera, Mahardika dan Beringin Jaya
terletak di Kawasan Hutan Lindung Register 39 Kotaagung Utara dan berada dalam
Pengelolaan Dinas Kehutanan Tanggamus.
Berdasarkan Penetapan Areal Kerja (PAK) yang telah diserahkan oleh Menteri
kehutanan Pada tahun 2013 bahwa Gapoktan Wirakarya Sejahtera memiliki luas
4.305 Ha, Gapoktan Mahardika memiliki luas 2.340 Dan Gapoktan Beringin
memiliki luas Jaya 871 1.540 Ha.
Page 35
35
4.4 Karakteristik Sosial responden
4.4.1 Umur
Bakir dan Manning (1984) mengemukakan bahwa umur produktif untuk bekerja di
negara-negara berkembang umumnya adalah 15-55 tahun. Kemampuan kerja
seseorang petani juga sangat dipengaruhi oleh tingkat umur petani tersebut, karena
kemampuan kerja produktif akan terus menurun dengan semakin lanjutnya usia
petani. Susantyo (2001) menyatakan bahwa petani-petani yang lebih tua tampaknya
cenderung kurang aktif melakukan difusi inovasi berusahatani daripada mereka
yang relatif umur muda. Petani yang berumur lebih muda biasanya akan lebih
bersemangat dibandingkan dengan petani yang lebih tua. Dengan demikian ada
kecenderungan bahwa umur petani akan mempengaruhi
motivasi dalam mengikuti kegiatan hutan kemasyarakatan.
Berdasarkan survey yang telah dilakukan, umur petani responden dapat dilihat pada
tabel 5.
Tabel 5. Distribusi umur petani anggota gapoktan Beringin jaya, Mahardika dan
Wira Karya Sejahtera
No Umur
(Tahun)
Jumlah responden (orang) Total %
Beringin jaya Mahardika Wira karya sejahtera
1 <17 0 0 0 0,00 0,00
2 17-55 54 109 87 250,00 92,25
3 >55 1 9 11 21,00 7,75
Jumlah 55 118 98 271,00 100
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui petani responden berkisar pada usia antara 17
sampai lebih dari 55 tahun. Tabel 5 tersebut juga menunjukkan bahwa petani
Page 36
36
responden lebih banyak didominasi oleh petani yang berusia 17-55 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa mayoritas petani berada dalam usia yang masih produktif
untuk bekerja, sehingga akan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam
berusahatani dan kemampuan bekerja masih baik.
4.4.2 Tingkat Pendidikan
Pendidikan yang ditempuh seseorang baik secara formal dan non formal akan
sangat mempengaruhi perilakunya baik pengetahuan, keterampilan maupun sikap.
Rukka (2003) menyatakan bahwa pendidikan umumnya akan mempengaruhi cara
dan pola pikir petani. Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang muda
menyebabkan petani lebih dinamis. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang,
semakin efisien dia bekerja dan semakin banyak juga dia mengikuti serta
mengetahui cara-cara berusahatani yang lebih produktif dan lebih menguntungkan.
Tabel 6. Distribusi tingkat pendidikan petani anggota gapoktan Beringin jaya,
Mahardika dan Wira Karya Sejahtera
No Tingkat
Pendidikan
Jumlah responden (orang) Total % Beringin
jaya Mahardika
Wira karya
sejahtera
1 SD 25 56 46 127,00 46,86
2 SMP 13 37 28 78,00 28,78
3 SMA 15 22 23 60,00 22,14
4 Perguruan Tinggi 2 3 1 6,00 2,21
Jumlah 55 118 98 271,00 100
Selanjutnya dikemukakan, bahwa tingkat pendidikan yang dipunyai seseorang
tenaga kerja bukan saja dapat meningkatkan produktivitas dan mutu kerja yang
dilakukan, tetapi sekaligus mempercepat proses penyelesaian kerja yang
diusahakan. Berdasarkan pendapat di atas maka terdapat kecenderungan bahwa ada
Page 37
37
hubungan antara tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani dengan motivasi
mereka dalam menerapkan hutan kemasyarakatan. Sebaran tingkat pendidikan
petani responden dapat dilihat pada Tabel 6.
Tingkat pendidikan formal petani responden masih rendah, sebagian besar dari
petani responden bersekolah sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) yaitu sekitar 46,86
persen, seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Tingkat Pendidikan formal akan
berpengaruh dalam pengambilan keputusan usahatani, terutama yang terkait dengan
adopsi teknologi yang baik bagi peningkatan produksi usahataninya. Proses
penyerapan teknologi akan berjalan dengan mudah jika tingkat pendidikan petani
responden semakin tinggi. dimana teknologi tersebut dapat membuat petani lebih
efisien dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan.
4.4.3 Pengalaman Usahatani
Padmowihardjo (1994) mengemukakan bahwa pengalaman, baik yang
menyenangkan maupun yang mengecewakan berpengaruh terhadap proses belajar.
Orang yang telah berpengalaman terhadap sesuatu yang menyenangkan, apabila
pada suatu saat diberi kesempatan untuk mempelajari hal yang sama, maka ia telah
memiliki perasaan optimis untuk berhasil. Sebaliknya jika orang yang mempunyai
pengalaman mengecewakan suatu saat diberi kesempatan untuk
mempelajari hal tersebut lagi, maka ia sudah memiliki perasaan pesimis untuk
berhasil, disamping itu petani yang lebih lama pengalaman dalam berusahatani
hutan kemasyarakatan akan lebih selektif dan tepat dalam memilih jenis inovasi
yang akan diterapkan dibandingkan dengan petani yang pengalaman usahataninya
relatif masih muda. Oleh karena itu, besar kemungkinan bahwa pengalaman dalam
Page 38
38
berusahatani di hutan kemasyarakatan dapat mempengaruhi motivasi petani dalam
mengelola hutan kemasyarakatan dengan baik.
Tabel 7. Distribusi pengalaman usahatani petani anggota gapoktan Beringin jaya,
Mahardika dan Wira Karya Sejahtera
No
Pengalaman
usahatani
(Tahun)
Jumlah responden (orang) Total % Beringin
jaya Mahardika
Wira karya
sejahtera
1 1_8 14 49 30 93,00 34,32
2 9_16 24 44 39 107,00 39,48
3 17_24 10 14 19 43,00 15,87
4 25_32 6 7 5 18,00 6,64
5 33_40 1 4 5 10,00 3,69
Jumlah 55 118 98 271,00 100,00
Pengelolaan hutan kemasyarakatan di daerah kajian telah mulai dikembangkan oleh
para petani sebelum dikeluarkannya izin pengelolaan hutan kemasyarakatan,
usahatani di HKm diusahakan secara turun temurun dan telah menjadi cara hidup
mereka. Sehingga jika dilihat dari pengalaman usahatani di HKm sebanyak 39,48
persen petani responden telah mengusahakan usahatani di hutan kemasyarakatan
Pengalaman berusahatani akan berpengaruh pada tingkat efisiensi teknis, karena
petani akan cenderung menggunakan teknologi berdasarkan pengalaman yang telah
sesuai dengan kondisi alam di lokasi penelitian. Sementara teknologi yang
diberikan lewat penyuluhan seringkali sulit diterima oleh petani. Pengalaman
berusahatani yang masih kurang akan menyebabkan tingkat efisiensi teknis tersebut
belum efisien karena belum menemukan teknologi yang tepat.
4.4.4. Luas Lahan Usahatani
Lahan yang diusahakan oleh petani responden terdiri dari lahan hutan
kemasyarakatan dan non HKm, akan tetapi tidak semua petani memiliki lahan non
Page 39
39
HKm. Distribusi sebaran luas lahan HKm yang dimiliki petani dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8. Distribusi luas lahan HKm petani anggota gapoktan Beringin jaya,
Mahardika dan Wira Karya Sejahtera
No Luas
(Ha)
Jumlah responden (orang) Total % Keterangan Beringin
jaya Mahardika
Wira karya
sejahtera
1 <1 21 0 9 30,00 11,07 Rendah
2 1_3 32 112 86 230,00 84,87 Sedang
3 >3,01 2 6 3 11,00 4,06 Tinggi
Jumlah 55 118 98 271,00 100
Berdasarkan Tabel dapat diketahui bahwa sebanyak 84,87 persen responden
merupakan petani dengan lahan kurang dari 1-3 ha. Sementara petani lain tersebar
dengan luas lahan yang berbeda-beda, sebanyak 11,07 persen petani menggarap
lahan seluas kurang dari 1 hektar. Sebanyak 4,06 persen memiliki lahan garapan
seluas lebih dari 3,01 hektar. Luas lahan ini akan berpengaruh pada tingkat
pendapatan usahatani dan efisiensi teknis, karena petani seringkali sulit
memperhitungkan penggunaan faktor produksi yang efisien untuk lahan yang
dimilikinya terutama untuk luas lahan yang kecil.
Page 40
40
V. KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN KELEMBAGAAN PETANI
5.1 Karakteristik Sosial Ekonomi Responden
5.1.1. Mata Pencaharian
Hasil survei menunjukkan, bertani di kawasan hutan kemasyarakatan merupakan
pekerjaan utama bagi petani responden. Sebaran ada tidaknya pekerjaan sampingan
petani responden dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Distribusi ada tidaknya pekerjaan sampingan petani anggota gapoktan
Beringin jaya, Mahardika dan Wira Karya Sejahtera
No Keterangan Jumlah responden (orang)
Total % Beringin
jaya Mahardika
Wira karya
sejahtera
1 Ada 30 24 39 93,00 34,32
2 Tidak Ada 25 94 59 178,00 65,68
Jumlah 55 118 98 271,00 100
Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebagian besar atau 65,68 persen petani
responden tidak memiliki usaha sampingan yang berarti rata-rata petani responden
sangat bergantung pada lahan usahatani yang ada di kawasan hutan
kemasyarakatan. Oleh sebab itu, sangat diperlukan penguatan kelembagaan anggota
gapoktan Beringin jaya, mahardika dan wira karya sejahtera untuk mengelola Hkm
menjadi kawasan yang sesuai dengan fungsinya, serta mencari berbagai sumber
penghasilan yang dapat menjadi alternatif tambahan bagi kehidupan petani dan
keluarganya.
Page 41
41
5.1.2 Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga menjadi gambaran potensi tenaga kerja yang dimiliki
keluarga petani. Selain itu, jumlah tanggungan keluarga merupakan salah satu
faktor yang sangat menentukan dalam peningkatan produksi dan pendapatan petani
serta kemampuan dalam pengelolaan usahatani pada lahan kawasan Hkm.
Jumlah tanggungan keluarga petani yaitu banyaknya orang yang harus dibiayai oleh
kepala keluarga sebagai pencari nafkah, bukan berdasarkan banyaknya anak.
Jumlah tanggungan keluarga berkaitan erat dengan pendapatan dan pengeluaran
keluarga, semakin banyak tanggungan keluarga, maka semakin besar pengeluaran
keluarga tersebut. Dengan demikian petani sebagai pencari nafkah akan sungguh-
sungguh dalam mengerjakan pekerjaannya. Jumlah anggota dalam satu keluarga
adalah semua orang yang hidupnya oleh keluarga yang bersangkutan dan
mempunyai kepentingan bersama dalam suatu kegiatan usahatani. Adapun sebaran
tanggungan keluarga petani responden di kawasan Hkm
Tabel 10. Distribusi tanggungan keluarga anggota gapoktan Beringin Jaya,
Mahardika dan Wira karya sejahtera
No Pengalaman
(Tahun)
Jumlah responden (orang) Total % Keterangan Beringin
jaya Mahardika
Wira karya
sejahtera
1 1-2 9 26 25 60,00 22,14 Sedang
2 3-4 39 84 60 183,00 67,53 Tinggi
3 5-6 7 8 13 28,00 10,33 Rendah
Jumlah 55 118 98 271,00 100
Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar (67,53%) tanggungan keluarga
petani responden adalah 3 sampai 4 orang. Petani rata-rata masih mempunyai anak
Page 42
42
yang sedang menempuh pendidikan. Banyaknya tanggungan keluarga petani akan
berpengaruh terhadap pengelolaan hutan yang lestari. Umumnya petani yang
mempunyai tanggungan lebih banyak akan mengelola hutan dengan mengusahakan
tanaman yang menguntungkan saja seperti tanaman tajuk tengah dikarenakan
terdorong oleh kewajibannya untuk membiayai sejumlah orang yang menjadi
tanggungannya. Oleh karenanya diperlukan penguatan kelembagaan dengan
melakukan pelatihan organisasi dan lembaga wira usaha tani hutan.
5.2 Bentuk, Tipe dan Tingkat Partisipasi Masyarakat Hutan
Kemasyarakatan.
5.2.1 Uji Validitas dan Reliabilitas
1) Uji Validitas
Uji ini merupakan uji ketepatan suatu istrumen ditinjau dari segi materi yang
diujikan (untuk tes) atau ditinjau dari segi dimensi dan indikator yang
ditanyakan (untuk angket). ditentukan berdasarkan analisis reliabilitas dengan
menggunakan program SPSS versi 16.0 dengan memasukkan 26 variabel
pertanyaan.
Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan data pada Lampiran . Item
kuesioner dinyatakan valid apabila nilai r hitung > r tabel (n-2). Tabel terlihat
bahwa korelasi antara masing-masing indikator terhadap total skor konstruk
dari setiap variabel menunjukkan hasil yang signifikan, dan menunjukkan
bahwa r hitung > r tabel (0,08).
2) Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah tingkat ketetapan suatu instrumen mengukur apa yang arus
diukur. Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
Page 43
43
rumus Alpha. Hasil pengujian reliabilitas untuk masing-masing variabel dapat
dilihat pada Tabel 12 berikut.
Berdasarkan hasil pengolahan didapatkan hasil bahwa semua variabel bentuk,
tipe dan tingkat partisipasi masyarakat HKm mempunyai koefisien Alpha yang
cukup besar yaitu diatas 0,883 sehingga dapat dikatakan semua konsep
pengukur masing-masing variabel dari kuesioner adalah reliabel sehingga
untuk selanjutnya item-item pada masing-masing konsep variabel tersebut
layak digunakan sebagai alat ukur. Menurut Sekaran (2003), pengambilan
keputusan untuk uji reliabilitas sebagai berikut :
Cronbach’s alpha < 0,6 = reliabilitas buruk
Cronbach’s alpha 0,6 – 0,79 = reliabilitas diterima
Cronbach’s alpha 0,8 = reliabilitas baik
Menurut Nunnally seperti yang dikutip oleh Ghazali (2005), alat ukur dapat
dikatakan reliable jika nilai reliabilitasnya > 0,600, di mana 0,600 adalah
standarisasi nilai reliabilitas.
Tabel 12. Hasil pengujian reliabilitas .
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
0.883 26
5.2.2 Pengetahuan, tanggapan, dan sikap petani terhadap hutan
kemasyarakatan
Berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan dapat di ketahui bahwa petani
responden yang menjadi anggota gapoktan beringin jaya, mahardika, dan wira
Page 44
44
karya sejahtera sebagian besar mengetahui tentang hutan kemasyarakatan, aturan
hutan kemasyarakatan, dan sanksi bagi yang melanggar aturan yang ada di Hkm.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 13, bahwa 82,6 persen (kategori tinggi) petani
responden mengetahui tentang HKm. Sumber informasi tentang HKm diperoleh
petani responden dari kerabat, tetangga, teman dan dinas kehutanan, lembaga sosial
masyarakat seperti Korut yang telah melakukan sosialisasi.
Secara keseluruhan terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi apabila
menjadi peserta yang memperoleh izin usaha pengelolaan HKm antara lain
melaksanakan penataan batas areal pemanfaatan hasil hutan kayu; melakukan
pengamanan areal tebangan antara lain pencegahan kebakaran, melindungi pohon-
pohon yang tumbuh secara alami (tidak menebang pohon yang bukan hasil
tanaman) dan umumnya petani responden telah mengetahui kewajiban peserta
IUPHKm tersebut meskipun tidak seluruh kewajiban dalam pasal 25 dan 26
Permenhut Nomor : P.37/Menhut-II/2007 dimengerti oleh peserta HKm di
Kabupaten Tanggamus. Berikut Tabel yang menjelaskan tingkat pengetahuan, tipe
dan sikap petani terhadap HKm anggota gapoktan beringin jaya, mahardika dan
wira karya sejahtera.
Tabel 13. Sebaran pengetahuan, tanggapan dan sikap petani terhadap HKm pada
anggota gapoktan Beringin Jaya, Mahardika dan Wira karya sejahtera
No Skor Jumlah responden (orang)
Total % Keterangan Beringin
jaya Mahardika
Wira karya
sejahtera
1 3-5 0 0 2 2,00 0,7 rendah
2 6-8 11 17 17 45,00 16,6 sedang
3 9-12 44 101 79 224,00 82,6 tinggi
Jumlah 55 118 98 271,00 100
Page 45
45
Sebagian besar masyarakat yang berusahatani di HKm juga mengetahui sanksi bagi
yang melanggar aturan HKm. Menurut peraturan menteri sanksi bagi yang
melanggar aturan HKm berupa (1) penghentian sementara kegiatan di lapangan
terhadap Pemegang izin usaha dalam Hutan kemasyarakatan (2) sanksi berupa
pencabutan izin dikenakan kepada pemegang izin usaha dalam hutan
kemasyarakatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan.
5.2.3. Persepsi masyarakat terhadap HKm dan pengelolaan lahan
Persepsi merupakan pandangan seseorang terhadap suatu objek sehingga individu
memberikan reaksi tertentu yang diperoleh dari kemampuan mengorganisasikan
pengamatan dan berhubungan dengan penerimaan atau penolakan. David (1992)
menyatakan proses persepsi terbagi dalam dua hal, (1) proses pembentukan kesan
dianggap agak bersifat mekanik dan cenderung hanya memantulkan sifat manusia
yang memberikan stimulus, (2) proses persepsi yang berada di bawah dominasi
perasaan dan evaluasi, dan bukan berasal dari pikiran atau kognisi.
Persepsi petani responden mengikuti kelompok Hutan kemasyarakatan umumnya
termasuk kategori tinggi karena responden mengetahui tentang menjaga kelestarian
hutan lindung dan mengetahui bahwa melestarikan HKm dapat memperkuat
kondisi daerah tangkapan air waduk batu tegi. Sebaran persepsi dan partisipasi
masyarakat terhadap HKm dapat dilihat pada Tabel berikut.
Berdasarkan Tabel dapat diketahui bahwa tidak ada responden yang tidak
mengetahui bahwa lahan usahatani yang dikelolanya merupakan hutan lindung
yang memiliki fungsi sangat penting bagi lingkungan dan rata-rata responden sudah
Page 46
46
melakukan pelestarian HKm meskipun baru beberapa tindakan seperti menanam
tanaman MPTS dengan pola tumpang sari.
Tabel 14. Distribusi persepsi anggota gapoktan Beringin Jaya, Mahardika dan Wira
karya sejahtera
No Skor
Jumlah responden (orang)
total % keterangan Beringin
jaya Mahardika
Wira karya
sejahtera
1 3-6 0 0 0 0,00 0 rendah
2 7-10 2 15 8 25,00 9,2 sedang
3 11-15 53 103 90 246,00 90,8 tinggi
Jumlah 55 118 98 271,00 100
Menurut Direktorat reboisasi (1997), pada areal-areal yang memenuhi persyaratan
tertentu penanaman MPTS tersebut dapat dilakukan melalui pola tumpang sari atau
pola tanaman campuran dengan jenis tanaman pertanian dan/atau tanaman industri
semusim ataupun tahunan sepanjang tetap berarahan pada tujuan pelestarian
sumberdaya hutan dan konservasi tanah dan air. Jenis tanaman yang harus
dibudidayakan oleh peserta HKm dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu :
a) Tanaman tajuk tinggi atau tanaman MPTS (Multi purpose Tree’s Species),
merupakan tanaman yang dibudidayakan untuk dimanfaatkan sebagai
penghasil buah , dan atau getah, seperti durian, pete, kemiri, karet, pala dan
nangka, manfaat tanaman MPTS akan diperoleh oleh peserta HKm setelah
mencapai umur 3-5 tahun, tergantung dari jenis tanaman. Tujuan budidaya
tanaman MPTS adalah agar peserta HKm sudah memperoleh pendapatan
sebelum tanaman pokok berproduksi. Selain tanaman MPTS, tanaman tajuk
tinggi juga ialah tanaman pokok yang merupakan tanaman jangka panjang
yang dibudidayakan untuk diambil kayunya, seperti mahoni, sonokeling,
Page 47
47
sengon. Manfaat tanaman pokok akan dinikmati oleh peserta HKm setelah
mencapai umur masak tebang, yaitu antara 8 tahun sampai 20 tahun,
tergantung jenis tanamannya.
b) Tanaman tajuk tengah tanaman yang dibudidayakan untuk dimanfaatkan
sebagai penghasil buahnya. Contoh tanaman tajuk tengah ini yakni kopi,
kako, lada dan cengkeh. Tanaman ini dapat diperoleh hasilnya saat berumur
3-5 tahun. Pembudidayaan tanaman ini dapat menambah pendapatan petani.
c) Tanaman tajuk bawah merupakan tanaman semusim yang dibudidayakan
agar peserta HKm memperoleh pendapatan dalam jangka pendek (setahun).
Adapun jenis tanaman semusim yang dikembangkan adalah cabe, jahe dan
kacang-kacangan.
Dengan demikian, untuk memperkuat persepsi dan pengetahuan petani responden
diperlukan pendampingan oleh lembaga tertentu untuk tetap memotivasi petani
dalam menjaga maupun melestarikan hutan lindung yang dijadikan hutan
kemasyarakatan, mengingat komposisi hutan lindung harus 30 % untuk tanaman
kayu dan 70 % untuk tanaman MPTS. .
5.3.3 Partisipasi masyarakat terhadap HKm dan pengelolaan lahan
Partisipasi merupakan sebuah proses bertingkat dari pendistribusian hak masyarakat
dalam pengambilan keputusan, sehingga mereka dapat memperoleh kontrol yang
lebih besar pada hidup mereka sendiri. Partisipasi sesungguhnya lebih dari sekedar
kekuatan karena merupakan sinergi bersama untuk mencapai lebih dari yang
dimiliki dari aktivitas pembelajaran sosial, pemberdayaan, ekonomi bersama dan
spirit ekonomi sebagai suatu infrastruktur moral. Mitchell et al. (2003) menyatakan
bahwa ada beberapa alasan penting partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
Page 48
48
lingkungan hidup yaitu merumuskan persoalan menjadi lebih efektif, merumuskan
alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima, mendapatkan
informasi dan pemahaman diluar jangkauan ilmiah, perasaan memiliki terhadap
rencana dan penyelesaiaan dan memudahkan penerapannya.
Partisipasi anggota gapoktan Beringin jaya, mahardika dan Wira karya sejahtera
yang dimaksud dalam hal kehadiran mengikuti pertemuan yang telah diadakan oleh
masing-masing gapoktan. Sebaran partisipasi responden dapat dilihat pada Tabel
berikut.
Tabel 15. Distribusi partisipasi anggota gapoktan Beringin Jaya, Mahardika dan
Wira karya sejahtera
No Skor Jumlah responden (orang)
Total % Keterangan Beringin
jaya Mahardika
Wira karya
sejahtera
1 3-4 0 18 8 26,00 9,6 rendah
2 5-6 14 51 36 101,00 37,3 sedang
3 7-9 41 49 54 144,00 53,2 tinggi
Jumlah
55 118 98 271,00 100
Berdasarkan Tabel dapat dilihat bahwa partisipasi masyarakat dalam kehadiran
pada pertemuan gapoktan termasuk kategori tinggi. Menurut hasil wawancara
dengan anggota kelompok tani diperoleh informasi bahwa terbentuknya gapoktan
dan aktifnya peserta HKm pada gapoktan menjadikan responden termotivasi untuk
mengelola HKm yang lebih baik sehingga tujuan HKm dapat tercapai yakni hutan
lestari rakyat sejahtera.
Tingkatan partisipasi responden sesungguhnya belum pada tingkatan yang
sempurna, tetapi partisipasi masyarakat telah mengarah pada proses partisipasi yang
sebenarnya. Oleh karenanya, pengadaan pelatihan kelembagaan sangat diperlukan
Page 49
49
guna lebih meningkatkan wawasan petani dan menambah pengetahuan terkait
organisasi dan wirausaha tani hutan serta pengembangan budidaya dan teknologi.
5.3 Kelembagaan Petani Hutan Kemasyarakatan.
5.3.1 Lahirnya Kelembagaan
Menurut Schmid (1987), kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk mengatur
atau mengontrol interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau
situasi melalui inovasi dalam hak pemilikan, aturan representasi atau batas
yurisdiksi. Sementara itu, menurut Samuel Hutingon dalam Peters (2000)
menetapkan empat kriteria terjadinya proses institusionalisasi yaitu; (a) otonomi;
(b) adaptabilitas; (c) kompleksitas dan (d) koheren. Dari beberapa pengertian
kelembagaan tersebut, maka bentuk kelembagaan tersebut dapat berupa orgnisasi
dan aturan main atau bahkan dapat berupa norma atau nilai yang berkembang
dalam masyarakat, seperti pengetahuan lokal. Dalam pembangunan perhutanan
sosial kelembagaan yang dibangun berupa struktur organisasi atau kelompok dan
aturan main atau awik-awik kelompok.
Dalam pengelolaan HKm di register 28, 30, dan 32 kelembagaan yang berperan
yaitu kelembagaan formal HKm (kelembagaan yang dikembangkan oleh
pemerintah). Kelembagaan formal HKm merupakan kelembagaan dengan struktur
organisasi dan aturan main yang dikembangkan oleh masyarakat atas instruksi dan
harapan pemerintah.
Bentuk kelembagaan formal tersebut dapat berupa kelompok tani hutan dan
koperasi sesuai yang diamanahkan dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan
tentang Hutan Kemasyarakatan. Meskipun kelembagaan formal memiliki bentuk
Page 50
50
yang sama namun, memiliki aturan main yang berbeda satu dengan lainnya. Aturan
main dibangun oleh kelompok HKm yang diangkat dari kondisi lokal dan
permasalahan yang dihadapi. Pada lokasi penelitian terdapat 3 gapoktan yang
masing-masing terdiri dari 8 kelompok tani, secara rinci dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 16. Sebaran Kelompok tani pada Gapoktan
Gapoktan Kelompok Tani Jumlah
Anggota (KK)
Luas Areal
(Ha)
Wira Karya
Sejahtera
904 4.305
Mahardika 1.141 2.340
Beringin Jaya Lestari Jaya 1
Lestari Jaya 2
Lestari Jaya 3
Lestari Jaya 4
Lestari Jaya 5
Lestari Jaya 6
Lestari Jaya 7
Lestari Jaya 8
331 871
Hasil survei ini menemukan bahwa kelembagaan gapoktan di HKm memberikan
peran dalam pembangunan HKm dalam hal sebagai pusat informasi, pelaksana
teknis dan pengaturan aturan main kelompok.
4.4.2. Keragaan Kelompok Tani pada Wilayah Penelitian
Kelompok tani merupakan lembaga yang menyatukan para petani secara horizontal
dan dapat dibentuk beberapa unit dalam satu desa dengan memiliki kepentingan
dan tujuan yang sama, yaitu memanfaatkan sumberdaya pertanian guna
meningkatkan produktivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya.
Page 51
51
Kelompok Tani pada umumnya terdiri dari beberapa kelas kelompok, pemula,
lanjut, madya, utama. Pada wilayah penelitian semua kelompok masih termasuk ke
dalam kategori pemula. Untuk lebih jelas berbagai tingkatan kelas kelompok dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Tingkatan Kelas Kelompok Tani
Penentuan kelas kemampuan kelompok tani mengacu pada pedoman penilaian
kelompok tani (Direktorat Jenderal Peternakan, 2003). Secara umum status kelas
kelompok tani ternak dibedakan atas adanya kriteria sebagai berikut :
1. Kelompok Tani Kelas Pemula. Anggota kelompok memahami pentingnya
berkelompok untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Kelompok sudah
memiliki struktur organisasi, pengurus, anggota, sekretariat, anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga (AD/ART), buku administrasi (buku notulen, buku
anggota, buka simpan pinjam, buku pengurus, buku arsip kelompok, buku kas,
dll).
2. Kelompok Tani Kelas Lanjut. AD/ART telah dijalankan semestinya, pertemuan
rutin dilakukan minimal sebulan sekali dan hasil pertemuan tercatat, kelompok
mampu mengidentifikasi masalah dan menyusun perencanaan, kegiatan usaha
Page 52
52
produktif telah dimiliki oleh kelompok. Kelompok mempunyai akses pinjaman
kredit karena modal yang dimiliki kelompok layak mendapatkan kredit.
3. Kelompok Tani Kelas Madya. Status kelas kelompok tani madya yaitu kelompok
telah mengembangkan jaringan kerja dengan lembaga lain (pasar, keuangan).
Kelompok memiliki data dasar yang mendukung aspek pemasaran hasil
pertanian/peternakan, dan mempunyai usaha penanganan pasca panen.
4. Kelompok Tani kelas Mandiri. Kelembagaan kelompok telah kuat sehingga dapat
melakukan evaluasi dan perencanaan, melakukan monitoring secara rutin.
Kelembagaan kelompok telah berkembang, pendapatan anggota jelas meningkat
dan memiliki akses terhadap permodalan.
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kelompok tani yang berada
pada lokasi penelitian, masih perlu untuk dibimbing dan diarahkan untuk dapat
meningkatkan kelas kemampuan kelompok tani yang menaunginya. Dilihat dari
keswadayaan dalam berusaha tani kelas kelompok pemula masih sangat
membutuhkan intervensi dari berbagai pihak terutama pemerintah. Berbagai
intervensi yang dapat pemerintah lakukan dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Intervensi Pemerintah Pada Pengembangan Usahatani Hutan
No Kelompok
Tani Hutan
Bentuk Intervensi Dampak Manfaat
1 Pemula
(Sangat
Tergantung)
a. Subsidi penuh
b. Pendampingan
c. Pemasaran
a. Kelembagaan Kelompoktani
b. Mampu melaksanakan
c. Mengenal pemasaran
2 Lanjut
(Tergantung)
a.Subsidi sebagian
b.Pendampingan
c.Pemasaran
d.Koperasi
a. Kelembagaan kelompoktani
b. Mampu melaksanakan
c. Mulai pemasaran
d.Kelembagaan Usahatani (Koperasi)
3 Madya
(Mandiri)
a.Swadaya - Kredit
b.Pendampingan
c.Koperasi - Wirausaha
a.Mampu mengembalikan kredit
b.Mampu manajemen usaha
c.Mampu memasarkan
Page 53
53
d.Kemitraan d.Kelembagaan Usahatani (Koperasi)
e.Posisi tawar sedang
4 Utama
(Mandiri
Penuh)
a.Swadaya - Kredit
b.Pendampingan
c.Koperasi - Wirausaha
d.Kemitraan
e.Industri
a.Mampu mengembalikan kredit
b.Mampu manajemen usaha
c.Mampu menajemen pemasaran
d.Kelembagaan usahatani (Koperasi,
Perseroan Terbatas)
e.Posisi tawar tinggi
f. Mempunyai industri
4.4.3. Manfaat Kelompok Tani
Beragam manfaat yang dirasakan anggota kelompok tani setelah bergabung dengan
kelompok tani. Manfaat yang petani responden rasakan adalah mendapat
kemudahan dalam mendapat modal dan input produksi karena modal dan input-
input produksi tersebut dapat diperoleh di koperasi kelompok tani yang menjadi
salah satu unit usaha dari gapoktan.
Manfaat lain yang dirasakan adalah banyak mendapat ilmu, karena kelompok tani
ini bertugas sebagai fasilitator antar petani untuk berbagi informasi dan
pengetahuan yang dimiliki. Selain itu, kelompok tani juga bertugas untuk
memberikan informasi, teknologi, penyuluhan dan pelatihan baik yang diadakan
oleh kelompok tani itu sendiri, gapoktan, maupun dinas atau instansi yang terkait.
Penyuluhan dan pelatihan yang diberikan seperti pelatihan kepemimpinan,
pelatihan pertanian organik, penyuhulan pertanian, dll. Selain itu setiap ada
teknologi baru selalu dinformasikan dan didiskusikan bersama anggota kelompok
yang lain yang tak jarang juga mendatangkan pihak-pihak yang ahli dalam
teknologi tersebut. Manfaat tersebut juga erat kaitannya dengan manfaat
Page 54
54
mendapatkan pengalaman. pengalaman tersebut dapat diperoleh dari pelatihan,
ataupun penyuluhan dan pelatihan yang diadakan di luar desa tersebut.
Adanya ketersediaan fasilitas-fasilitas menjadi manfaat bagi para petani.
Ketersediaan fasilistas tersebut diantaranya ketersediaan alat-alat dan mesin
pertanian seperti alat semprot dan mesin traktor. Selain itu, melalui kelompok tani
ini, penyaluran bantuan menjadi lebih mudah. Seperti ketika ada bantuan pupuk,
benih dari pemerintah dapat dibagikan langsung atau dijual dengan harga yang
murah.
4.4.4. Struktur Organisasi
Olson (1977) memberikan pengertian mengenai kelompok (group) atau organisasi
merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama (common
interest). Untuk mencapai tujuan bersama tersebut diperlukan pengaturan melalui
struktur organisasi dan perangkatnya. Struktur organisasi merupakan gambaran
secara skematis hirarki tugas dan tanggungjawab pengurus (jabatan) dalam suatu
institusi. Hirarki yang lebih tinggi memiliki tanggung jawab yang lebih tinggi dan
memiliki kekuasaan yang lebih tinggi pula terhadap perangkat yang berada
dibawahnya. Perangkat yang sejajar atau sama memiliki arti tanggungjawab yang
sama dan memiliki fungsi dan tugas yang sama pula.
Struktur kelembagaan yang ada di lapangan terdiri dari struktur yang umum
digunakan dalam organisasi, yaitu :
1. Ketua, sebagai pemimpin yang mengkoordinir seluruh anggota
bawahannya.
Page 55
55
2. Sekretaris, sebagai pencatat agenda harian maupun kegiatan-kegiatan yang
dilakukan kelompok tani sekaligus tangan kanan ketua,
3. Bendahara, sebagai pengelola keluar masuk dana yang dibutuhkan oleh
kelompok.
Selain struktur di atas kelompok tani beringin jaya, mahardika dan wirakarya
sejahtera juga memasukkan struktur bidang lain seperti bidang pamhut, peternakan,
usaha, konservasi dan bidang humas.
4.4.5. Gaya Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan suatu yang penting dalam kelembagaan karena
merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kelembagaan tersebut
dalam mencapai tujuannya. Kepemimpinan yang baik dapat mereduksi sistem yang
kurang baik.
Tabel 18. Distribusi gaya kepemimpinan anggota gapoktan Beringin Jaya,
Mahardika dan Wira karya sejahtera
No Sko
r
Jumlah responden (orang)
Total % Keterangan Beringi
n Jaya
Mahardik
a
Wira Karya
Sejahtera
1 3-4 4 25 13 42,00
15,
5 Rendah
2 5-6 21 41 41
103,0
0 38 Sedang
3 7-9 30 52 44
126,0
0
46,
6 Tinggi
Jumla
h 55 118 98
271,0
0 100
Gaya kepemimpinan pada lokasi penelitian ini memiliki tiga kriteria yaitu kategori
rendah (otoriter), sedang (demokratis), tinggi (gabungan demokratis dan otoriter.
Berdasarkan Tabel dapat diketahui bahwa seluruh responden kelompok tani
menyatakan gaya kepemimpinan termasuk kategori tinggi maksudnya
Page 56
56
kepemimpinan dipilih berdasarkan kemampuan atau keprofesionalan yang dimiliki
oleh seseorang. Pemimpin tidak dipilih secara asal melainkan harus dilihat
keprofesionalitasnya meskipun tetap dilihat pula kekerabatannya dengan anggota
kelompoknya. Dengan demikian, seorang pemimpin kelompok tani pada dasarnya
sudah memiliki pengalaman dan kemampuan yang lebih dibanding anggotanya
yang lain dalam hal kepemimpinan.
Proses pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah. Dengan demikian,
setiap anggota memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat mereka.
Kemampuan kepemimpinan ketua kelompok tani berdampak terhadap
perkembangan kelompok tani di masa yang akan datang, semakin tinggi tingkat
kemampuan kelompok tani, maka perkembangan kelompok tani di masa yang akan
datang akan semakin baik.
Kelompok tani Beringin jaya, Mahardika dan Wirakarya Sejahtera menetapkan
masa jabatan ketua selama 5 (lima) tahun. Ketua dapat diganti apabila
mengundurkan diri atau kesepakatan sebagian besar anggota yang menginginkan
ketua kelompok mundur dari jabatannya.
4.4.6. Sistem Tata Nilai
Sistem tata nilai merupakan salah satu komponen wujud kebudayaan yang
mempengaruhi tiga komponen lainnya. Komponen wujud kebudayaan tersebut
antara lain sistem nilai budaya, sistem norma dan sistem hukum. Nilai merupakan
konsepsi abstrak di dalam diri manusia mengenai apa yang dianggap baik dan apa
yang dianggap buruk. Untuk mengetahui sistem tata nilai yang dianut anggota
kelembagaan, rata-rata responden menjawab bahwa tata nilai responden yakni
Page 57
57
hakikat hidup yang baik merupakan sesuatu hidup yang baik. Hakikat hidup yang
baik adalah memandang segala sesuatu dari segi positif.
Hakikat hidup yang baik ditunjukkan dengan semangat dan kerja keras anggota
dalam menjadikan usaha hutan rakyat mereka ketahap yang lebih maju. Hampir
seluruh responden menyatakan berorientasi ke masa depan, dalam hal persepsi
terhadap waktu. Orientasi ke masa depan ini menandakan bahwa kondisi
masyarakat sudah modern. Masyarakat tradisional memiliki persepsi waktu yang
berorientasi ke masa yang lalu. Sedangkan masyarakat modern dicirikan dengan
orientasinya yang jauh ke masa depan yakni dengan mengembangkan hutan
kemasyarakatan. Persepsi umum yang dipegang oleh petani HKm adalah hutan
harus dijaga keberadaannya karena dapat memberikan manfaat bagi masa yang
akan datang. Sebaran jawaban responden tentang sistem tata nilai dapat dilihat pada
Tabel berikut:
Tabel 19. Distribusi aspek tata nilai anggota gapoktan Beringin Jaya, Mahardika
dan Wira karya sejahtera
No Skor
Jumlah responden (orang)
Total % Keterangan Beringin
jaya Mahardika
Wira karya
sejahtera
1 3-4 0 7 1 8,00 3 rendah
2 5-6 0 31 7 38,00 14 sedang
3 7-9 55 80 90 225,00 86,6 tinggi
Jumlah 55 118 98 271,00 100
4.4.7. Norma
Norma merupakan aturan sosial, patokan yang pantas, atau tingkah laku rata-rata
yang dianggap wajar. Kekuatan mengikat suatu sistem norma terbagi menjadi
empat tingkatan dari yang paling ringan yaitu cara, kebiasaan, kelakuan, dan adat
Page 58
58
istiadat. Norma bersumber dari nilai, serta merupakan wujud dari nilai. Dalam
norma dimuat hal-hal tentang apa saja yang diharuskan, dibolehkan, dianjurkan dan
larangan.
Kepribadian seseorang terbentuk dari proses biologis, psikologis, dan sosiologis
masyarakatnya. Nilai dan norma kelembagaan yaitu nilai dan norma yang hidup
pada satu kelembagaan tertentu. Nilai dan norma yang dimaksud berasal dari kultur
yang tercipta di dalam kelembagaan tersebut. Norma dalam kelembagaan
dipengaruhi oleh tatanan nilai yang ada dilingkungan kelompok tani masyarakat.
Kelembagaan kelompoktani memiliki unsur-unsur pelaksanaan norma seperti
landasan norma. Kelompok tani beringin jaya, mahardika dan wirakarya sejahtera
berlandaskan norma yang berasal dari agama. Unsur kedua untuk menganalisis
terbentuknya norma dikelembagaan adalah persepsi secara umum terhadap
kedudukan seseorang yang meliputi apakah yang lebih dihargai karena statusnya
atau prestasi dan kemampuannya. Rata-rata responden kelompok tani menyatakan
bahwa mereka lebih menghargai seseorang karena prestasi dan kemampuannya.
Unsur ketiga dalam analisis norma kelembagaan adalah persepsi secara umum
terhadap penghargaan dan sanksi. Pemberian penghargaan dan sanksi kepada
anggota yang berjasa atau melanggar aturan merupakan salah satu ciri terciptanya
pelaksanaan norma yang ideal. Rata-rata ketiga kelompok tani menyatakan
pemberian sanksi berjalan tetapi tidak tegas.
Pemberian penghargaan dan sanksi dapat meningkatkan kinerja anggota. Kinerja
kelembagaan akan menurun apabila tidak terdapat aturan yang jelas dan sanksi
Page 59
59
yang tegas. Pada umumnya kelembagaan kelompok tani lebih bersifat nonformal,
yang berarti unsur kekeluargaan masih kental. Aturan-aturan yang dibuat hanya
sebagai formalitas yang harus dimiliki sebagai kelembagaan. Anggota yang
melanggar aturan harus menanggung beban moral.
Tabel 20. Distribusi norma anggota gapoktan Beringin Jaya, Mahardika dan Wira
karya sejahtera
No Skor
Jumlah responden (orang)
Total % Keterangan Beringin
jaya Mahardika
Wira
karya
sejahtera
1 3-4 0 3 2 5,00 1,8 rendah
2 5-6 1 0 8 9,00 3,3 sedang
3 7-9 54 115 88 257,00 94,9 tinggi
Jumlah 55 118 98 271,00 100
4.4.8. Kultur Kelembagaan
Kultur kelembagaan erat kaitannya dengan kebiasaan anggota dalam mentaati
aturan-aturan kelembagaan. Kedisiplinan kelembagaan yang dijalankan oleh
anggota dicirikan dari banyak tidaknya yang patuh dan menjalankan setiap aturan
yang dibuat. Kedisiplinan tinggi yang ditunjukkan oleh anggota dapat membentuk
sistem kerja yang berkualitas.
Tabel 21. Distribusi kultur kelembagaan anggota gapoktan Beringin Jaya,
Mahardika dan Wira karya sejahtera
No Skor
Jumlah responden (orang)
Total % Keterangan Beringin
jaya Mahardika
Wira karya
sejahtera
1 3-4 1 0 11 12,00 4,4 rendah
2 5-6 7 3 17 27,00 9,9 sedang
3 7-9 47 115 70 232,00 85,7 tinggi
Page 60
60
Jumlah 55 118 98 271,00 100
Kelompok tani beringin jaya, mahardika dan wirakarya sejahtera menyatakan
mengetahui aturan dalam kelompok. Aturan yang dibuat bertujuan untuk mengatur
segala kepentingan yang menyangkut anggota secara pribadi maupun umum.
Anggota kelompok tani mengetahui tentang aturan dalam kelompok. Maka peluang
anggota melakukan pelanggaran akan semakin kecil, karena mereka telah
mengetahui sanksi dan konsekuensinya. Kelompok tani menyatakan disiplin ada
dan dijalankan. Kedisiplinan anggota kelompok tani dapat dilihat dari kinerja para
petani dalam mengerjakan usaha hutannya, maupun saat berpartisipasi dalam
agenda kelembagaan.
4.4.9. Pemberdayaan Masyarakat Petani
Operasional HKm diatur melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-
II/2001 tentang penyelenggaraan HKm adalah hutan negara dengan sistem
pengelolaan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa
mengganggu fungsi pokoknya. Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang
terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal didalam atau disekitar
hutan yang membentuk komunitas yang didasarkan pada kesamaan mata
pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal,
serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama. Pembangunan HKm terdiri dari
beberapa kegiatan yang meliputi pemberdayaan masyarakat setempat, penetapan
wilayah pengelolaan, penyiapan masyarakat, perijinan, pengelolaan, serta
pengendalian.
Page 61
61
Pengelolaan kawasan hutan kemasyarakatan meliputi dua ruang kelola yaitu areal
HKm (sistem tanam) dan masyarakat. Dalam pedoman penyelengaraan HKm tidak
terumuskan secara jelas sistem tanam yang bagaimana yang akan dikembangkan
dalam kawasan hutan, namun yang terpenting adalah dalam kawasan tersebut
dikembangkan berbagai kombinasi antara tanaman hutan, MPTS (Multi Purpose
Tree Species) dan tanaman pangan, sehingga dapat diperoleh hasil jangka pendek,
menengah dan jangka panjang.
Namun dengan melihat bahwa jenis dan kombinasi dari jenis tanaman yang
dikembangkan dan lokasi (hutan) sebagai tempat kegiatan usaha, maka banyak
yang berpendapat bahwa pola pengelolaan HKm dalam hutan mengikuti pola
agroforestri. Pernyatan ini didukung oleh pendapat dari Nurrochmat (2005) yang
menyatakan bahwa meskipun Perhutanan Sosial (Social Forestry) berbeda dengan
Agroforestry, namun Agroforestry merupakan salah satu bentuk terpenting dalam
penerapan Social Forestry.
Masyarakat diberikan hak untuk memanfaatkan lahan hutan dengan menanam
berbagai kombinasi tanaman diantara lajur tanaman hutan. Oleh karena itu, sebagai
konsekuensinya masyarakat harus memelihara tanaman kayu dan menjaga
keamanan tanaman hutan. Selain dalam perhutanan sosial, masyarakat
mendapatkan hak pemberdayaan ekonomi yang dikembangkan baik dalam kawasan
hutan ataupun di luar kawasan yaitu melalui pengembangan aktivitas pertanian,
peternakan dan melalui pemanfaatan jasa lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat dalam mengelolaan berbagai sumber kehidupan dapat
dimulai dengan penumbuhan kelembagaan kelompok dalam masyarakat dan
Page 62
62
kemudian dilakukan peningkatan kapasitas dalam masyarakat kelompok tani
melalui pendampingan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, Lembaga Swadaya
Masyarakat (NGO), dan Perguruan Tinggi (PT). Melalui pendekatan tersebut
diharapkan tercapainya tujuan dari perhutanan sosial yaitu hutan lestari dengan
melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan sekaligus meningkatkan
pendapatan mereka. Atau dengan ungkapan lainnya bahwa tujuan perhutanan sosial
dicapai melalui integrasi aspek sosial, ekonomi dan ekologi menuju pengelolaan
hutan secara berkelanjutan.
Gambar 3. Dinamika Pemberdayaan Kelembagaan pada Petani HKm
Page 63
63
VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah:
1. Berdasarkan hasil analisis mengenai persepsi dan partisipasi masyarakat serta
hubungannya dengan kondisi ekologi kawasan Hutan Kemasyarakatan dapat
disimpulkan bahwa tinggi-nya tingkat pengetahuan dan partisipasi kelompok tani
dalam kelembagaan sehingga diperlukan pendampingan pengelolaan hutan
kemasyarakatan.
2. Kelembagaan petani dalam bentuk kelompok tani menunjukkan manfaat dan fungsi
yang tinggi dilihat dari indikator struktur, norma, kepemimpinan dan tata nilai.
3. Pemberdayaan masyarakat dalam mengelolaan berbagai sumber kehidupan dapat
dimulai dengan penumbuhan kelembagaan kelompok dalam masyarakat dan
kemudian dilakukan peningkatan kapasitas dalam masyarakat kelompok tani
melalui pendampingan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, Lembaga Swadaya
Masyarakat (NGO), dan Perguruan Tinggi (PT
B. Rekomendasi
Keberadaan Hutan kemasyarakatan merupakan upaya pemerintah untuk
pemberdayaan masyarakat yang terlanjur berada didalam hutan, dengan
memberikan akses mengolah sumberdaya dan meningkatkan kapasitas usahatani.
Kondisi ini harus dimanfaatkan dengan baik agar dapat mendapat hasil yang
maksimal, baik bagi petani sebagai pelaku maupun daerah sebagai pemilik
sumberdaya.