Top Banner
1 LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA MASYARAKATDI KAWASAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Kajian Pada Masyarakat Di Kawasan Register 39 Kabupaten Tanggamus Oleh : Dayang Berliana, SP.,M.Si Ismalia Afriani, SP.,M.Si. Kerjasama Konsorsium Kota Agung Utara dan STIPER Dharma Wacana Di Kabupaten Tanggamus Tahun 2014
63

LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

Oct 19, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

1

LAPORAN PENELITIAN

KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm)

ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

MASYARAKATDI KAWASAN

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)

Kajian Pada Masyarakat Di Kawasan Register 39 Kabupaten

Tanggamus

Oleh :

Dayang Berliana, SP.,M.Si Ismalia Afriani, SP.,M.Si.

Kerjasama Konsorsium Kota Agung Utara dan STIPER Dharma Wacana

Di Kabupaten Tanggamus Tahun 2014

Page 2: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hutan memiliki manfaat secara langsung maupun tidak langsung bagi manusia. Menurut

Cruz dan Vergara (1987) dalam Kartasubrata (1991) pemanfaatan hutan oleh manusia

(petani) secara langsung seperti perlindungan yaitu mengurangi erosi, longsor, aliran

permukaan dan kehilangan hara dan fungsi rehabilitasi seperti memperbaiki status hara, kadar

organik tanah, PH dan sebagainya, sedangkan manfaat jangka panjang adalah berupa

peningkatan hasil pertanian secara berkelanjutan, perbaikan kondisi sosial ekonomi, stabilitas

pemeliharaan hutan, dan perbaikan konservasi lingkungan.

Manfaat hutan yang luar biasa tersebut menjadikan masyarakat tergiur untuk mendatangi

hutan sebagai tempat hidup bahkan bercocok tanam. Masyarakat memasuki hutan dengan

cara merambah isi hutan untuk berbagai keperluan. Meskipun pada awalnya hanya untuk

kebutuhan subsistensi saja, kemudian bergeser menjadi kepentingan komersil, yaitu hasil

pertanian yang diperjual belikan untuk keuntungan besar. Perambahan hutan ini lambat laun

menimbulkan permasalahan kompleks salah satunya kerusakan hutan.

Menjamurnya pembukaan lahan dan pemukiman spontan menurut Elmhirst (1997) terjadi

sejak akhir Perang Dunia II, ketika Pemerintahan Indonesia yang baru merdeka meniadakan

sistem marga dan melakukan nasionalisasi seluruh tanah marga yang dianggap tidak definitif

tanpa dibudidayakan. Masyarakat marga diperbolehkan memiliki hak ulayat (usufruct right)

atas tanah, tetapi tanah tersebut tidak selalu terdaftar/didaftar secara resmi oleh pemerintah.

Page 3: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

3

Sementara itu, pemerintah kolonial memberlakukan sistem registrasi dan kepemilikan tanah

untuk tempat tinggal dan perkebunan. Namun akhirnya diperoleh sebuah pencerahan dengan

terbitnya Hukum Dasar Agraria tahun 1960 (UU/5/1960) yang berisikan tentang kekuasaan

penuh kepada pemerintahan Indonesia untuk menentukan dan mengatur hak-hak atas tanah,

transfer (pemindah-tanganan status) tanah, serta menggunakan dan mencadangkan tanah bagi

kepentingan nasional. Bidang tanah yang tidak lagi dimanfaatkan oleh komunitas adat

dianggap sebagai tanah negara (dikenal dengan istilah tanah Negara bebas) dan

penguasaannya beralih dari marga ke negara. Ini berarti, penduduk marga di Lampung

kehilangan sebagian besar hak tanahnya yang pernah disusun oleh Pemerintah Belanda.

Walaupun sejak saat itu hingga sekarang terdapat Hukum Dasar Agraria Tahun 1960,

pelaksanaan peraturan yang masih lemah dan tidak tersedianya alternatif pengaturan terhadap

dampak yang muncul, mengakibatkan ketidakpastian sistem pertanahan secara operasional di

tingkat lapang.

Saat ini dilema antara kesejahteraan masyarakat dengan kerusakan hutan membuahkan

sebuah solusi. Kegiatan rehabilitasi hutan mulai digalakkan namun dengan tetap mem-

perhatikan kelangsungan hidup petani. Program yang dicanangkan ialah pembangunan hutan

kemasyarakatan (disingkat HKm). Legitimasi hutan kemasyarakatan ini termaktub dalam SK

Menhut No. 31/Kpts-II/2001 yang berisikan bahwa masyarakat sebagai salah satu

stakeholder utama pengusahaan hutan.

Salah satu kabupaten di propinsi lampung yang menerapkan program hutan kemasyarakatan

ialah kabupaten Tanggamus. Kabupaten Tanggamus merupakan satu - satunya kabupaten

yang mendapatkan Penetapan Areal Kerja (PAK) paling luas di Indonesia untuk Hutan

Kemasyarakatan (HKm). Pola hutan kemasyarakatan di kabupaten Tanggamus diluncurkan

ketika pola usahatani umum yang diusahatani masyarakat lampung ialah sistem perladangan

Page 4: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

4

berpindah. Tipe perladangan ini telah dikenal masyarakat dengan istilah lain yaitu

Nguma/huma/Ngumo. Sebagai kultur masyarakat yang telah melekat, tipe ini tidak hilang

hingga saat ini, meskipun sudah terjadi perubahan sosial budaya besar dalam masyarakatnya.

Menurut Nurdin (2013) seiring perubahan sosial budaya masyarakat yang semakin heterogen,

kehidupan berladang berpindah tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Sumatera bahagian

Selatan, tetapi juga dilakukan oleh etnik lainnya seperti masyarakat Jawa dan Bali yang

mendominasi daerah sekitar kawasan hutan kemasyarakatan. Namun demikian, perladangan

berpindah ini secara tidak disadari dapat mengakibatkan kerusakan hutan apabila tidak

diiringi dengan pengelolaan kelembagaan yang bersifat partisipatif.

Hutan register di kabupaten tanggamus yang telah memperoleh ijin pengelolaan ialah register

39 yang terletak di Kota Agung Utara. Register 39 termasuk kategori hutan lindung yang

memiliki fungsi sistemik terhadap keseimbangan lingkungan alam disekitarnya, yakni

penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Daerah Tangkapan Air

(DTA) Waduk Batu Tegi. TNBBS memiliki potensi hutan dataran rendah di Sumatera yang

sangat kaya dalam hal keanekaragaman hayati dan merupakan tempat tinggal bagi tiga jenis

mamalia besar yang paling terancam di dunia yaitu gajah Sumatera, badak Sumatera, dan

harimau Sumatera. Sehingga TNBBS ditetapkan oleh Unesco sebagai salah satu tapak

warisan dunia (World Heritage Cluster Mountainous Area). Waduk Batu Tegi berfungsi

sebagai dam penampung air untuk irigasi dan pembangkit listrik.Dengan ketinggian muka air

maksimal bendungan 274 meter dapat menyimpan 6.677 meter kubik air. Secara periodik

debit air ini mampu mengairi seluruh dari 66 ribu hektar sawah irigasi teknis di lima

kabupaten, yaitu Kabupaten Pringsewu, Lampung Tengah, Lampung Selatan, Kabupaten

Lampung Timur dan Kota Metro. Waduk Bau Tegi juga berfungsi sebagai Pembangkit

Listrik Tenaga Air (PLTA). Dua turbin pembangkit yang terpasang di dasar bendungan,

PLTA ini mampu menghasilkan daya listrik maksimal 28 MW (mega watt). Jumlah ini akan

Page 5: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

5

memberikan tambahan bagi defisit pasokan listrik di wilayah Lampung, Bengkulu dan

Sumatera Selatan yang pada beban puncak (peak load) mencapai 620 MW 2, menahan

tekanan kerusakan oleh masyarakat maupun konflik manusia dan satwa.

(Konsorsium Kota Agung Utara, 2013).

Fungsi kawasan hutan lindung register 39 yang sangat strategis tersebut mengharuskan semua

stakeholder untuk memelihara keberlangsungannya. Namun, permasalahan saat ini ialah

adanya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan lindung sehingga lambat laun akan mulai

merambah hasil hutan yang mereka anggap sebagai common resources. Selain itu,

kekhawatiran rusaknya hutan lindung juga disebabkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang

menjadi kebijakan pemerintah untuk sumber pendapatan negara. Melalui pemberian izin

terhadap penebangan hutan alam ditandai dengan keluarnya Keputusan Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I Lampung tanggal 4 November 1969 No.G/161/I/TH/1969 yo. SK tanggal 8

Juni 1970 No.Des/123/B-VI/HK/70 tentang pemberian izin kappersil kepada PT. Tanjungjati,

CV. Kesuma Karya, CV. Kurnia, CV. Meranti dan CV. Tritaat dikawasan hutan lindung Reg.

39 Kota Agung Utara. ( Konsorsium Kota Agung Utara, 2013). Menurut hasil survey

Konsorsium Kota Agung Utara (2013) ini, masyarakat, buruh HPH dan karyawannya

sengaja memanfaatkan kesempatan hutan yang dibuka ini dengan berbagai macam tanaman

perkebunan seperti kopi, sebagai tanaman favorit.

Untuk permasalahan yang muncul tersebut, berbagai upaya yang mengarah kepada kegiatan

rehabilitasi hutan (reforestration) mulai sudah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah

maupun masyarakat. Salah satu program yang dibentuk oleh pemerintah guna mendukung

program tersebut adalah pemberian ijin pengelolaan HKm untuk register 39. Menurut

Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1998c) tujuan dari kegiatan pembangunan HKm

adalah (1) menciptakan system usahatani (agroforestry) di lahan kering yang berbasiskan

Page 6: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

6

kepada kegiatan pengusahaan hutan secara lestari (2) membangun sistem kelembagaan

ekonomi petani dan meningkatkan scheme kemitraan antara petani dengan perusahaan swasta

yang saling menguntungkan; guna mendukung stabilitas kelembagaan ekonomi petani.

Kegiatan Perhatian utama pembangunan hutan kemasyarakatan adalah pemberdayaan

ekonomi masyarakat yang mengarah kepada upaya pelestarian sumber daya alam yang

dilakukan secara partisipatif. Konsep pembangunan hutan kemasyarakatan mempunyai

dimensi yang komplek. Pembangunan hutan kemasyarakatan, di satu sisi dilaksanakan untuk

memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup khususnya hutan (reforestration), sementara

itu kegiatan ini juga harus dapat memperbaiki kondisi perekonomian wilayah sekitar.

Dalam pengelolaan HKm pendekatan yang dilakukan adalah menggali, mengembangkan dan

membangun potensi yang ada di masyarakat, memperkuat kemampuan individu maupun

kelompok masyarakat dalam menganalisis keadaannya sendiri, serta memikirkan dan

merencanakan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Kelompok

masyarakat di kawasan hutan yang dapat dibentuk yakni kelompok-kelompok tani atau

disebut dengan Gapoktan (gabungan kelompok tani). Melalui saluran Gapoktan ini mereka

secara bersama-sama dapat melaksanakan segala tujuan dari pembangunan HKm bahkan

kelompok tani ini juga dapat sebagai jalan untuk mengajukan izin pembangunan HKm bagi

hutan lindung yang belum mendapatkan izin HKm. Izin tersebut disalurkan kepada

pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan RI. Peran Pemerintah dalam upaya

pemberdayaan masyarakat adalah sebagai fasilitator dengan bantuan LSM (Lembaga

Swadaya Masyarakat) sebagai pendamping.

Menurut pra survey Konsorsium Kota Agung Utara (2013), Kabupaten Tanggamus memiliki

areal pencadangan untuk HKm seluas 50.000 ha. Ada14 Gabungan Kelompok Tani

(GAPOKTAN) yang memiliki izin (Areal Kerja HKm) dari Menteri Kehutanan dan Izin

Page 7: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

7

Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) dari Bupati Tanggamus dengan luas 15.452 ha.

Sementara itu ada 20 GAPOKTAN masih dalam proses pengajuan izin. Untuk Kota Agung

Utara saja terdapat 7 Gapoktan yang sudah mendapatkan izin selama 35 tahun dari Menteri

Kehutanan, dan Gapoktan yang sedang dalam pengajuan adalah 9 Gapoktan. Pembiayaan

semua proses kegiatan untuk mendapatkan izin dilakukan secara swadaya anggota kelompok

HKm. Dalam proses pengajuan izin secara swadaya inilah yang seringkali para Gapoktan

membutuhkan bantuan dan bimbingan dari para pendamping, lembaga swadaya masyarakat,

pemerintah daerah dan unsur lainnya.

Selain kendala izin, KPHL Kota Agung Utara juga menemukan berbagai kendala dalam

pengelolaan HKm, yakni kurangnya kapasitas SDM, pola tanam petani yang belum

memenuhi kriteria pelestarian hutan, kurangnya kesadaran petani dalam memanfaatkan hutan

sekaligus melestarikan hutan karena hanya menanam tanaman semusim saja, dan adanya

pihak luar yang membuka ladang baru (KPHL, 2013). Untuk menanggulangi kendala-

kendala tersebut, salah satu rekomendasi penting yang perlu dilakukan adalah kajian kondisi

sosial ekonomi budaya masyarakat hutan. Kondisi sosial ekonomi budaya merupakan pondasi

dasar dalam memahami permasalahan tentang masyarakat perambah hutan. Tanpa memahami

ini maka permasalahan masyarakat petani hutan dan pelestarian hutan tidak akan berjalan dan

tercapai sebagaimana mestinya.

Disamping itu perlu diketahui kapasitas sumber daya manusia, serta pengelolaan kelem-

bagaan. Kedua unsur ini merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi

sosial budaya masyarakat yang memanfaatkan hutan tersebut. Kapasitas sumber daya

manusia sangatlah menentukan bagi kelangsungan pelestarian hutan dan pemanfaatan hutan.

Kapasitas sumber daya manusia baik secara personal maupun dalam suatu komunitas atau

kelompok. Gapoktan atau gabungan kelompok tani merupakan bentuk kelembagaan yang

Page 8: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

8

mewadahi para petani hutan ini. Melalui Gapoktan ini diharapkan tujuan utama yakni

memanfaatkan sekaligus merawat hutan dapat tercapai.

B. TUJUAN

Adapun tujuan survey ini adalah :

1. Mengkaji keberadaan lahan petani di area hutan kemasyarakatan register 39 Tanggamus

2. Mengkaji kondisi sosial ekonomi dan budaya yang melingkupi masyarakat petani yang

memanfaatkan hutan register 39 Tanggamus.

C. MANFAAT

Adapun manfaat dari survey ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah, untuk dapat

lebih memahami kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat petani dan pengelolaan

kelembagaan. Sehingga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan serta

untuk memfasilitasi dan membantu serta mengevaluasi Gapoktan dalam HKm.

2. Bagi Pendamping, NGO dan Lembaga Swadaya Masyarakat, dengan kajian dan

analisis ini dapat dijadikan bahan masukan dalam melaksanakan pendampingan

program HKm sehingga di masa yang akan datang menjadi kegiatan pendampingan

bisa lebih baik, tepat guna, dan berhasil guna.

3. Bagi Petani (Gapoktan), dengan kajian ini dapat mencari solusi dan peluang dalam

menyelesaikan beberapa kendala-kendala yang ada untuk mencapai dan menjalakan

HKm.

4. Bagi peneliti, hasil kajian ini dapat dijadikan dasar untuk memahami dan mengem-

bangkan berbagai konsep, teori dan perspektif dalam kajian-kajian tentang HKm.

Page 9: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

9

II. Tinjauan Literatur dan Kerangka Pemikiran

2.1. Konsep Perhutanan Sosial

Perhutanan sosial menurut Tiwari (1983) ialah sebagai ilmu dan seni tanam-menanam

pohonan dan/atau menumbuhkan lainnya pada setiap bidang lahan yang dapat digunakan

untuk keperluan tersebut di dalam dan di luar kawasan hutan, dan mengelola hutan yang ada

dengan partisipasi rakyat setempat secara akrab, dan mengintegrasikan kegiatan itu dengan

kegiatan-kegiatan lainnya, sehingga di dapat tata guna lahan yang berimbang dan

komplementer dengan tujuan untuk memenuhi keperluan benda atau jasa perorangan maupun

masyarakat pada umumnya.

Tujuan utama dari perhutanan sosial adalah mencapai keadaan sosial ekonomi penduduk

pedesaan yang lebih baik, terutama penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Dalam

program ini masyarakat diajak untuk berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan dan

pemanfaatan hutan agar menjadi lebih bertang-gung jawab (Departemen Kehutanan, 1997a)

2.2 Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Hutan merupakan salah satu sumber kekayaan alam yang mempunyai makna dan

kepentingan yang tinggi bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia.Pengusahaan hutan di

Indonesia awalnya dikuasai oleh swasta. Hal ini menimbulkan adanya konflik antara

pengusaha hutan dengan masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam hutan karena tidak

merasakan manfaat langsung dari pengusahaan hutan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah

merubah paradigma pembangunankehutanan dari sebelumnya forest to state menjadi forest to

people,salah satunya melalui skema HKm. Sampai 2015 Pemerintahmentargetkan HKm

Page 10: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

10

seluas 2,1, juta ha dan target 2009 seluas sekitar400.000 ha. HKm dikembangkan bertujuan

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumberdaya

hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan

dan lingkungan hidup. Ada satu hal penting dari tujuan HKm, yaitu mensejahterakan

masyarakat dengan tetap menjaga pelestarian hutan. Semangatnya, “hutan lestari,masyarakat

sejahtera”

Hutan kemasyarakatan suatu sistem pengelolaan hutan yang ditujukan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan dengan tetap memperhatikan

kelestarian fungsi hutan. Program ini merupakan program yang dirancang untuk

meningkatkan kemandirian masyarakat sekitar hutan dengan pengembangan kapasitas dan

pemberian akses untuk mengelola hutan (Haryadi, 2012).

Program hutan kemasyarakatan mulai dikembangkan oleh Departemen Kehutanan mulai

dekade tahun 1980-an. Guna mendukung pelaksanaanya, program ini diatur oleh peraturan

perundangan melalui Keputusan SK Menhut No. 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan

Kemasyarakatan. Namun pelaksanaannya sendiri kurang berjalan dengan baik karena masih

kurang tersosialisasinya program tersebut di masyarakat dan belum adanya petunjuk teknis

dan pelaksanaannya. Selanjutnya untuk memperbaiki implementasinya di lapangan, Menteri

Kehutanan dan Perkebunan menerbitkan Surat Keputusan No. 677/Kpts-II/1998, yang

menekankan pada pola pendekatan yang bersifat partisipatif.

Dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah mengenai otonomi daerah, maka pada

tanggal 12 februari 2001 diterbitkan Sk Menhut No.31 Kpts-II/2001 tentang penyelengaraan

hutan kemasyarakatan kemudian lalu diperbaharui dalam peratu-ran Menteri Kehutanan No.

P.37/Menhut-II/2007 dan yang terakhir Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 18/Menhut-

Page 11: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

11

II/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan NomorP.37/Menhut-II/2007

Tahun 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan

Pembangunan Hutan kemasyarakatanbertujuan untuk

1. Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekono-mi dan

sosial masyarakat

2. Meningkatkan ikatan komunitas masyarakat pengusaha hutan

3. Mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi dan

manfaat hutan

4. Meningkatkan mutu, produktivitas dan keamanan hutan

5. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan

pendapatan negara dan masyarakat

6. Mendorong serta mempercepat pembangunan wilayah hutan

(Dephutbun, 1999)

Melalui HKm diharapkan masyarakat dapat memperoleh manfaat langsung dari keberadaan

hutan sebagai penunjang keberlangsungan ekonomi yang pada gilirannya akan

meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.

Menurut SK. Menhut No. 31/Kpts-II/2001 hutan yang dapat ditetapkan sebagai wilayah

pengelolaan hutan kemasyarakatanadalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan

produksi yang tidak dibebani izin lain dibidang kehutanan. Wilayah pengelolaan hutan

kemasyarakatan tersebut adalah kawasan hutan yang menjadi sumber penghidupan

masyarakat setempat dan memiliki potensi untuk dikelola oleh masyarakat setempat. Menurut

Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1999), kawasan hutan yang dapat dicadangkan

untuk areal hutan kemasyarakatan adalah areal hutan yang mempunyai kondisi sebagai

berikut:

Page 12: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

12

1) Belum dibebani HPH/HP-HTI dan hak lainnya;

2) Sudah dibebani HPH/HP-HTI yang segera berakhir masa berlakunya;

3) Rawan gangguan terhadap keamanan hutannya;

4) Terdapat konflik kepentingan;

5) Berdekatan dengan pemukiman;

6) Telah lama menjadi tempat tinggal masyarakat (tradisional);

7) Telah dikelola secara tradisional oleh masyarakat setempat;

8) Meruapakan sumber mata pencaharian bagi masyarakat setempat.

Secara umum prinsip pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan adalah sebagai berikut:

(a) tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan,

(b) pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dilakukan darikegiatan penanaman,

(c) mempertimbangkan keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya,

(d) menumbuhkembangkan keanekaragaman komoditasdan jasa,

(e) meningkatkan kesejahtaraan masyarakat yang berkelanjutan,

(f) memerankan masyarakat sebagai pelaku utama,

(g) adanya kepastian hukum,

(h) transparansi dan akuntabilitas publik

(i) partisipatif dalam pengambilan keputusan

Pemanfaatkan hutan tersebut dengan memperhitungkan aspek pemilihan jenis tanaman dan

jarak tanam. Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman kehutanan multi purpose tree

species (MPTS) atau tanaman kayu-kayuan seperti : kayu bawang, surian, durian, pete,

pinang, dan kemiri, dengan menggunakan jarak tanam pohon tertentu (Senoaji, 2010).

Pengusahaan hutan kemasyarakatan bertumpu pada pengetahuan, kemampuan dan kebutuhan

masyarakat itu sendiri (Community Based Forest Manajemen). Oleh karena itu prosesnya

Page 13: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

13

berjalan melalui perencanaan bawah-atas, dengan bantuan fasilitasi dari pemerintah secara

efektif, terus menerus dan berkelanjutan.(Dephutbun, 1999).

Menurut Dephutbun (1998) pola pemanfaatan lahan pada hutan kemasyarakatan diatur

dengan komposisi jenis tanaman kayu-kayuan dan tanaman MPTS sebesar 70 : 30 pada hutan

produksi, dan 30 : 70 pada hutan lindung. Perbedaan komposisi tersebut karena pada hutan

produksi merupakan hutan yang tidak begitu peka terhadap erosi bila dibandingkan hutan

lindung, sehingga pola pemanfaatan lahannya dapat diarahkan untuk produksi kayu.

Sebaliknya pada kawasan hutan lindung, pola agroforestry diarahkan untuk pemanfaatan

hasil hutan bukan kayu, sehingga jenis MPTS nya lebih banyak dibandingkan tanaman kayu-

kayuan.

Pada areal-areal tertentu yang dinilai memenuhi persyaratan, penanaman MPTS tersebut

dapat dilakukan melalui pola tumpangsari atau pola tanaman campuran dengan jenis-jenis

tanaman pertanian dan/atau tanaman industry semusim atau tahunan, sepanjang tetap

berarahan pada tujuan pelestarian sumberdaya hutan dan konservasi tanah dan air yang

sinergi dengan tujuan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Tanaman musiman (tumpangsari)

dimaksudkan untuk memberikan pendapatan kepada petani dalam jangka pendek yaitu 3-4

bulan, sambil menunggu tanaman pokok siap panen. Dalam jangka menengah, pendapatan

petani akan diperoleh dari produksi tanaman MPTS, seperti kemiri, tengkawang, nangka,

jambu mete, petai dan sebagainya. Sedangkan dalam jangka panjang, petani akan

memperoleh pendapatan dari tanaman pokok berupa kayu, seperti tanaman sengon, mahoni,

maupun sono keling.

Model hutan kemasyarakatan sebenarnya hanya sesuai diterapkan dalam pengelolaan dan

sekaligus pelestarian areal-areal hutan yang berukuran kecil, dan kebanyakan berada pada

lokasi-lokasi terpencil, baik di dalam maupun di luar kawasan yang ditetapkan pemerintah

Page 14: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

14

sebagai hutan negara. Luas kawasan hutan yang cocok untuk model hutan kemasyarakatan

adalah antara 40-10.000 Ha (Dephutbun, 1999).

Pelaksanaan hutan kemasyarakatan adalah sebagai berikut

1. Masyarakat sebagai pelaku utama

Sejalan dengan pembangunan kehutanan yang ingin memberdayakan masyarakat, maka

dalam kawasan hutan kemasyarakatan, yang menjadi pelaku utama dalam pelaksanaannya

adalah masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang kawasannya

ditetapkan sebagai areal hutan kema-syarakatan (Wardoyo, 1997). Pelaksanaan hutan

kemasyarakatan diprioritaskan pada masyarakat setempat yangkehidupannya tergantung

pada sumberdaya hutan. Hutan dan masyarakat sekitarnya merupakan satu kesatuan

ekosistem yang satu sama lain saling ketergantungan. Hutan bagi masyarakat tradisional

dianggap sebagaisumber penghasil makanan/kebutuhan, seperti buah-buahan, berburu

binatang, bahan bakar, dan lain-lain. Sebaliknya masyarakat modern lebih memandang

hutan sebagai sumber bahan mentah bagi proses manufaktur untuk mendapatkan nilai

tambah yang lebih lanjut. Atas dasar ini, semua diaktualisasikan dalam bentuk pemberian

hak pengusahaan kepada masyarakat lokal untuk mengusahakannya (Wardoyo, 1997).

2. Memiliki kepastian hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat dalam pelasksanaan

hutan kemasyarakatan, baik itu masyarakat dan pemerintah diatur sangat jelas. Masyarakat

sebagai peserta hutan kemasyarakatan berhak atas hasil hutan non kayu dan melakukan

pemeliharaan hutan kemasyarakatan sesuai dengan lokalisasi yang diterapkan. Di dalam

pelaksanaannya setiap peserta kegiatan hutan kemasyarakatan mendapat ijin mengelola

areal hutan kemasyarakatan seluas maksimum 2 ha untuk peserta perorangan, serta

membentuk koperasi usaha dan wajib menjadi anggota (Dephutbun,1999).

Selain hak tersebut peserta hutan kemasyarakatan juga memiliki kewajiban yakni terlibat

langsung dalam proses penyusunan rencana dan pelaksanaan program hutan

Page 15: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

15

kemasyarakatan, serta hal-hal yang terkait di dalamnya. Selain kewajiban tersebut di atas,

masyarakat sebagai peserta hutan kemasyarakatan juga memiliki kewajiban untuk tetap

menjaga kelestarian fungsi dan manfaat hutan. Sedangkan pemerintah sebagai fasilitator

dan pemantau program menjalankanfungsi kontrolnya mengawasi pelaksanaan hutan

kemasyarakatan secara seksama agar diperoleh hasil yang maksimal (Priyo, 1999).

3. Keragaman komoditas (kayu dan non kayu), keadilan dan kelestarian, seder-hana dan

dinamis Komoditas tanaman yang digunakan dalam hutan kema-syarakatan harus dipilih

sesuai dengan karakteristik daerah dan lahan yang akan ditanami. Sebelum melakukan

pemilihan komoditas harus dilakukan inventarisasi dan identifikasi tanaman yang ada di

daerah tersebut. Pemilihan komoditi termasuk hal yang sangat penting. Secara teknis

pemilihan jenis komoditi ini mempertimbangkan faktor fisik teknis/ekologi, faktor sosial

ekonomi dan sosial budaya (Wardoyo, 1997).

Tahap-tahap pelaksanaan hutan kemasyarakatan :

1. Pencadangan areal hutan kemasyarakatan. Dapat dicadangkan pada kawasan hutan

produksi, kawasan lindung, dan pada pelestarian alam pada zona pemanfaatan

2. Penyiapan kondisi masyarakat. Merupakan kegiatan awal yangpenting dilak-sanakan

sebelum pemberian Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan

3. Terbentuknya kelembagaan masyarakat berdasarkan aspirasi dan inisiatif ma-syarakat itu

sendiri dalam mengelola hutan secara lestari. Penyiapan kondisi masyarakat dilakukan

melalui penyebarluasan informasi tentang kebijakan dan peraturan hutan kemasyarakatan

4. Perencanaan. Rencana pengembangan hutan kemasyarakatan diawali dengan diperolehnya

hak pengusahaan hutan kemasyarakatan, koperasi masyarakat lokal wajib menyusun

Rencana Induk Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (RPHKm), Rencana Lima Tahunan

Hutan Kemasyarakatan (RKLHKm)

5.Pelaksanaan. Hutan kemasyarakatan dikelola oleh koperasi

Page 16: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

16

masyarakat lokal sebagai pemegang hak pengusahaan hutan kemasyarakatan

6. Pemantauan dan evaluasi di lapangan, sebagai pemegang hak pengusahaan hutan

kemasyarakatan, koperasi memantau sendiri kegiatan pengelolaan hutan

kemasyarakata(Dephutbun, 1999).

2.2.1 Manfaat Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh bagi masyarakat

pemerintah dan terhadap fungsi hutan yaitu:

1. Bagi Masyarakat, HKm dapat:

(a) memberikan kepastian akses untuk turut mengelola kawasan hutan

(b) menjadi sumber mata pencarian,

(c) ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk rumah tangga dan pertanian terjaga,

(d) hubungan yang baik antara pemerintah dan pihak terkait lainnya.

2. Bagi pemerintah, HKm dapat:

(a) sumbangan tidak langsung oleh masyarakat melalui rehabilitasi yang dilakukan secara

swadaya danswadana

(b) kegiatan HKm berdampak kepada pengamatan hutan.

3. Bagi fungsi butan dan restorasi habitat

(a) terbentuknya keaneka ragaman tanaman,

(b) terjaganya fungsi ekologis dan hidro orologis, melalui pola tanam campuran dan teknis

konservasi lahan yang diterapkan,

(c) menjaga kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya

Ijin Usaha Pemanfaatan Pengelolaan HKm (IUPHKm) diberikan untuk jangka waktu 35

tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun. Ada 4 tahap

perijinan IUPHKm, yaitu :

Page 17: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

17

1. Permohonan IUPHKm

2. Penetapan Area Kerja HKm

3. Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm)

4. Pemberian Ijin Usaha pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam HKm

IUPHKm merupakan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan berupa kayu dalam hutan tanaman

pada hutan produksi dalam areal IUPHKm. Hak pemegang IUPHKm pada Hutan Lindung

Pemegang IUPHKm berhak mendapat fasilitasi; melakukan kegiatan pemanfaatan jasa

lingkungan;melakukan kegiatan pemanfaatan kawasan; melakukan kegiatan pemungutan

hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pada Hutan Produksi, Pemegang IUPHKm berhak

mendapat fasilitas;

melakukan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan; melakukan kegiatan peman-faatan

kawasan; melakukan kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK) ; melakukan

kegiatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK); melakukan kegiatan pemungutan

hasil hutan kayu.

Adapun kewajiban pemegang IUPHKm

• melakukan penataan batas areal kerja;

• menyusun rencana kerja;

• melakukan penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan;

• membayar provisi sumberdaya hutan sesuai ketentuan;

• menyampaikan laporan kegiatan pemanfatan hutan kemasyarakatan kepada pemberi ijin.

Kewajiban pemegang IUPHHK HKm

• Membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH);

• Menyusun rencana kerja pemanfaatan hasil hutan kayu selama berlakunya ijin;

• Melaksanakan penataan batas areal pemanfaatan hasil hutan kayu;

Page 18: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

18

• Melakukan pengamanan areal tebangan antara lain pencegahan kebakaran, me-lindungi

pohon-pohon yang tumbuh secara alami (tidak menebang pohon yang bukan hasil

tanaman).

• Melaksanakan penatausahaan hasil hutan sesuai tata usaha kayu hutan tanaman.

• Menyampaikan laporan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu kepada pemberi ijin.

Sanksi bagi yang melanggar kewajiban :

a. Penghentian sementara kegiatan di lapangan terhadap pemegang ijin usaha dalam hutan

kemasyarakatan yang melanggar ketentuan.

b. Pencabutan ijin dikenakan kepada pemegang ijin usaha dalam hutan kema-syarakatan

yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang ada.

2.3 Konsep Penerimaan Usahatani

Menurut Soekartawi (1995) penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang

diperoleh dengan harga jual. Pernyataan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:

TRi = Yi . Pyi........................................................(1)

Dimana : TR = Total penerimaan

Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani

Py = Harga Y

Apabila macam tanaman yang diusahakan adalah lebih dari satu, maka rumus di atas berubah

menjadi:

n

TR = ∑ Y. Py...................................................(2)

i = 1

Dimana: n = jumlah macam tanaman yang diusahakan.

2.3.1 Konsep Biaya Usahatani

Biaya pada usahatani adalah semua biaya-biaya yang dikeluarkan dalam penge-rjaan

usahatani tersebut. Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed

cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap umum-nya didefinisikan sebagai

Page 19: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

19

biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikelu-arkan walaupun produksi yang diperoleh

banyak atau sedikit. Sedangkan biaya tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefinisikan

sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Cara

menghitung biaya tetap adalah :

n

FC = ∑ Xi. Pxi..................................................(3)

i = 1

Dimana : FC = biaya tetap

Xi = jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap

Pxi = Harga input

N = macam input

Untuk menghitung biaya variabel dapat digunakan juga digunakan rumus di atas.

Karena total biaya (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC)

maka:

TC = FC + VC…………………………………...(4)

Dimana : TC = total biaya

FC = jumlah biaya tetap, dan

VC = jumlah biaya variabel

2.3.2. Konsep Pendapatan Usahatani

Menurut Mosher (1968) usahatani didefinisikan sebagai suatu tempat atau bagian dari

permukaan bumi di mana pertanian diselenggarakan oleh seorang petani ter-tentu apakah

seorang pemilik, penyakap atau manajer yang digaji. Usahatani ada-lah himpunan dari

sumber-sumber alam yang terdapat di suatu tempat yang diper-lukan untuk produksi

pertanian seperti tubuh tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan atas tanah

itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didi-rikan di atas tanah dan sebagainya.

Pendapatan diartikan sebagai selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran ini

diartikan sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan selama musim tanam. Pada kenyataannya,

biaya-biaya ini dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap seperti sewa lahan dan

Page 20: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

20

biaya tidak tetap, misalnya biaya untuk membeli pupuk, pupuk, obat-obatan, bibit, tenaga

kerja dan lain sebagainya. Pendapatan secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

π = YPy- Σ XiPxi- BTT……………………….....(6)

Dimana : π = pendapatan usahatani,

Y = produksi

Pi = harga produksi

Xi = faktor produksi

Pxi = harga faktor produksi

BTT = biaya tetap total

Kriteria pengukuran analisis ini dapat menggunakan nilai R/C. R/C adalah sing-katan

singkatan dari Return Cost Ratio, atau sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan

biaya. Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut:

a = R/C.................................................................(7)

R = Py.Y

C = FC + VC

a = [(Py.Y)/(FC+VC)]

Dimana : R = penerimaan

C = biaya

Py = harga output

Y = output

FC = biaya tetap

VC = biaya variabel

Berdasarkan nilai tersebut, maka kriteria pengukurannya adalah sebagai berikut:

a. Jika R/C > 1 artinya usahatani yang dilakukan menguntungkan

b. Jika R/C < 1 artinya usahatani yang dilakukan tidak menguntungkan

c. Jika rasio R/C = 1 artinya usahatani yang dilakukan tidak untung dan tidak pula rugi.

2.3.3 Kriteria kelayakan investasi

Menurut Nitisemito dan Burhan (2004), ada beberapa metode pengukuran kela-yakan

investasi yang akan ditanam pada suatu proyek. Metode-metode tersebut antara lain:

a. Periode kembali modal

Page 21: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

21

Periode kembali modal (pay-off period) adalah jangka waktu yang diperlukan untuk

mengembalikan modal investasi. Alternatif jatuh pada proyek dengan periode

pengembalian modalnya paling pendek. Alasan yang mendasari pema-kaian kriteria ini,

yakni seorang investor lebih mementingkan pengambilan modalnya dalam waktu secepat

mungkin.

b. Nilai tunai (Present value)

Kriteria nilai tunai didasari oleh suatu kenyataan bahwa waktu mempengaruhi nilai guna

uang terhadap seseorang. Orang akan lebih senang menerima sejum-lah uang saat ini

daripada menerimanya tahun depan, sebaliknya orang akan lebih suka membayar sewa

kamar hotel di belakang daripada membayar di muka. Dari gambaran sederhana ini,

tampak bahwa jumlah uang yang sama akan memberikan nilai guna berbeda disebabkan

perbedaan waktu semata.

Antara nilai tunai (present value) dan nilai nanti (future value) terdapat hu-bungan

berbalik. Hal ini dicerminkan oleh rumus nilai tunai sebagai berikut:

( )ti

FP

+=

1

di mana:

P = nilai tunai (pada tahun 0)

F = nilai nanti

i = tingkat bunga

t = tahun ke-…

Konsep nilai tunai merupakan kriteria yang umumnya dipakai untuk menilai kelayakan suatu

proyek. Pada prinsipnya metode ini menghitung nilai tunai semua penerimaan dan

pengeluaran yang terjadi selama umur proyek. Nilai tunai penerimaan dapat dirumuskan:

( )∑

= +=

n

tt

t

i

BPV

0 1

dan nilai tunai pengeluaran dirumuskan:

` ( )∑

= +=

n

ott

t

i

CPC

1

Page 22: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

22

Sedangkan nilai tunai bersih menjadi:

NPV = PV – PC

( )∑

+=

t

t

i

B

1 -

( )∑

+t

t

i

C

1

di mana: Bt = penerimaan pada tahun t

Ct = pengeluaran atau biaya pada tahun t

Nilai tunai bersih proyek dihitung dengan mengalihkan arus penerimaan dan pengeluaran tiap

tahun dengan discount factor-nya. Discount factor adalah nilai tunai uang seharga Rp 1,00

yang akan diterima pada tahun ke-t. Rumus discount factor adalah: ( )ti

fd+

=1

1.

di mana: d.f = discount factor

Sebagai pedoman umum, dapat dikatakan bahwa suatu proyek dikatakan layak kalau nilai

tunai (net present value) proyek lebih besar daripada nol atau

NPV ≥ 0

di mana NPV = Nilai Tunai Bersih.

c. Nisbah manfaat biaya

Seperti nilai tunai bersih (NPV), nisbah manfaat biaya (cost benefits ratio) juga sering

dipakai untuk mengukur kelayakan suatu proyek. Pada nisbah manfaat biaya yang dilihat

adalah perbandingan antara nilai tunai penerimaan dengan nilai tunai pengeluaran atau biaya.

Rumus nisbah manfaat biaya adalah:

( )

( )∑

1

10

n

ott

t

n

tt

t

i

C

i

B

CB

=

=

+

+=/

di mana:

( )∑

+t

t

i

B

1= nilai tunai penerimaan = PV

Page 23: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

23

( )∑

+t

t

i

C

1= nilai tunai biaya = PC

Dari rumus tersebut tampak bahwa jika:

PV > PC maka B/C > 1

PV < PC maka B/C < 1

PV = PC maka B/C = 1

Oleh karena NPV adalah selisih antara PV dan PC maka antara NPV dengan B/C terdapat

hubungan sebagai berikut, jika:

NPV > 0 maka B/C > 1

NPV < 0 maka B/C < 1

NPV = 0 maka B/C = 1

Sejalan dengan kriteria NPV, maka suatu proyek dikatakan layak bila:

B/C ≥ 1

d. Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat bunga yang menghasilkan NPV sama dengan

nol. Dari pembahasan terdahulu sudah diketahuibahwa:

NPV = PV – PC

= ( )∑

+t

t

i

B

1 -

( )∑

+t

t

i

C

1

= ( )( )∑

1t

tt

r

CB

+

di mana: i = r

Analisis IRR digunakan untuk mengetahui berapa r sehingga:

( )( )∑

1t

tt

r

CB

+ = 0

Besarnya r yang menjadikan NPV = 0 itulah yang disebut dengan IRR dari suatu proyek.

Secara matematik, r dapat ditentukan, akan tetapi karena alasan kalkulasi yang agak rumit

Page 24: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

24

maka dalam praktik, r dapat juga dicari dengan sistem trial and erorrs. Artinya, dapat saja

mencoba r dengan nilai tertentu, lalu hitung NPV proyek tersebut. Jika NPV masih positif,

maka r dinaikkan dan dihitung kembali NPV-nya. Bila masih positif, maka nilai r harus

dinaikkan lagi, sebaliknya bila NPV menjadi negatif, artinya r perlu diturunkan. Demikianlah

proses coba-coba ini dilakukan sampai akhirnya ditemukan nilai r yang menghasilkan NPV

mendekati 0 (nol).Kriteria untuk menetapkan kelayakan suatu proyek ialah bilamana IRR

lebih besar dari tingkat bunga, atau IRR > i, di mana i adalah tingkat bunga.Jika IRR ≤ i,

proyek dianggap tidak layak. Hubungan antara NPV, B/C, dan IRR adalah sebagai berikut:

NPV > 0, B/C > 1, IRR > i

NPV = 0, B/C = 1, IRR = i

NPV < 0, B/C < 1, IRR < i

2.4. Kerangka Pemikiran

Kajian ini dilakukan sebagai upaya bagi penguatan sistem pengelolaan HKm dan

pengembangan ekonomi terpadu pada area HKm, yang pada akhirnya akan tercapainya

penguatan fungsi HKm sebagai catchment area. Aspek penguatan sistem pengelolaan HKm

dilihat dari sisi sosial ekonomi, kelembagaan pengelolaan dan kondisi ekologis kawasan.

Pada penelitian ini hanya dilakukan telaah untuk aspek sosial ekonomi dan budaya yang

melingkupi masyarakat. Sosial ekonomi ditelaah melalui total pendapatan petani, yang

diperoleh dari usahatani, sampingan maupun tambahan. Secara ringkas keterpadua secara

holistikdapat dilihat pada Gambar 1.

Page 25: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

25

Gambar1. Kerangka Pikir yang menggambarkan Keterkaitan secara Holistik pada masing-

masing variabel.

Bagan diatas menggambarkan pembinaan secara holistik untuk mencapai pulihnya fungsi

kawasan penyangga TNBBS yang berfungsi sebagai catchmen area. Untuk mendukung

penguatan sistem pengelolaan HKm, maka diperlukan penguatan ekonomi terpadu pada areal

HKm, sehingga tercipta sumber-sumber pendapatan baru yang berpotensi dan menjanjikan,

yang utama menyangkut pengelolaan pasca panen dan penyiapan industri hilir. Sistem

pengelolaan yang baik dan penguatan ekonomi terpadu disinyalir akan menjadi satu

kombinasi guna tercapainya fungsi HKm sebagai catchment area dan bufferzone bagi

kelestarian hutan alam.

Secara rinci identifikasi aspek sosial ekonomi, merupakan gambaran dari total sumber

pendapatan yang didapat dari berbagai sumber, apakah hutan lindung, ladang maupun

pendapatan selain dari bertani. Komoditas yang diusahakan beragam apakah coklat, kopi,

duren, pala. jengkol ataupun pete. Selajutnya akan dilihat seberapa besar manfaat bersih yang

Page 26: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

26

diperoleh petani dari usahanya tersebut. Rincian kerangka pikir sosial ekonomi dapat dilihat

pada Gambar 2 berikut:

Gambar 2. Kerangka Aspek Sosial Ekonomi dalam Penguatan Sistem Pengelolaan HKm

Page 27: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

27

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Metode Pengambilan Contoh

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Agung Utara Kabupaten Tanggamus. Pemilihan lokasi

dilakukan secara purposive (sengaja). Kabupaten Tanggamus dipilih menjadi daerah

penelitian atas dasar pertimbangan bahwa Kabupaten ini merupakan kabupaten yang

menerapkan pembangunan HKm register 39. Kawasan HKm tersebut memiliki fungsi yang

sangat krusial yakni salah satunya sebagai catchmen area atau daerah tangkapan air batu

tegi.

Responden yang dijadikan sampel (unit contoh) adalah masyarakat anggota gapoktan binaan

Konsorsiun Kota Agung Utara (KORUT) yang tinggal di sekitar pembangunan HKm di

Kota Agung Utara, yaitu anggota gapoktan Mulya Agung, Tribuana, dan Tulung Agung.

Jumlah sampel dipilih secara Quota sampling, yaitu berjumlah .231 responden.Namun untuk

analisis pendapatan usahatani kakao dan kopi sampel yang digunakan hanya responden dari

gapoktan Tulung Agung. Pra survei ke lapangan dilaksanakan pada tahun 2013, dan

pengumpulan data lebih lengkap dilakukan pada tahun tersebut.

B. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan pengamatan langsung. Data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh

dengan wawancara dengan petani (responden) melalui kuisioner (daftar pertanyaan). Data

sekunder diperoleh dari lembaga terkait/instansi terkait, laporan-laporan, publikasi dan

pustaka lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Berikut penjelasan mengenai

metode pengumpulan data dan informasi :

Page 28: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

28

(1) Studi literatur, yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari data sekunder yang relevan

mengenai peraturan perundangan yang berkaitan dengan hutan kemasyarakatan, data

sosial ekonomi penduduk, data pelaksanaan kegiatan HKm, dan sebagainya.

(2) Observasi, yaitu dengan cara mengamati dan/atau menghitung obyek penelitian di

lapangan secara langsung, seperti jenis tanaman, produksi tanaman, biaya produksi, dan

pendapatan usahatani.

(3) Wawancara dengan cara ”dept interview”, yaitu dengan melakukan tanya jawab kepada

informan kunci guna menggali informasi mengenai mekanisme pelaksanaan kegiatan

HKm, pendampingan yang dilakukan KORUT, dan produksi tanaman. Responden yang

dijadikan responden terdiri atas anghota kelompok tani Mulya Agung, Tribuana, dan

Tulung Agung.

(4) Kuesioner, yaitu dengan menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden yang

dijadikan obyek penelitian.

C. Metode Pengolahan Data

Metode pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode komputerisasi. Data yang

diperoleh disederhanakan akan diolah secara komputerisasi dengan menggunakan program

excel dan program lain yang mendukung.

1. Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki

dengan menggambarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan faktor-

faktor sebagaimana adanya. Analisis ini digunakan untuk mengakaji karakteristik sosial

ekonomi petani yang berada di sekitar register 39.

Page 29: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

29

2. Analisis Pendapatan Usahatani

Tujuan kedua dari penelitian ini akan dijawab dengan menggunakan analisis pendapatan yang

dihitung dengan menghitung selisih antara penerimaan yang diterima dari hasil usaha dengan

biaya produksi yang dikeluarkan selama usahatani berlangsung, yang dirumuskan:

π = YPy – ΣXiPxi – BTT........................................................................(10)

dimana : π = pendapatan (Rp)

Y = produksi (kg)

Py = harga produksi (Rp/kg)

Xi = faktor produksi (1,2,3,......,n)

Pxi = harga faktor produksi

BTT = biaya tetap total

Page 30: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

30

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH

4.1 HUTAN, SUNGAI DAN GUNUNG : KONDISI FISIK DAN GEOGRAFIS

Register 39 sebagian besar terletak di wilayah administratif Kabupaten Tanggamus.

Tanggamus adalah nama gunung, yang kemudian dilekatkan kepada nama Kabupaten

tersebut ketika melakukan pemekaran dari kabupaten induk, yakni Kabupaten Lampung

Selatan. Di karenakan register 39 sebagian besar terletak di wilayah administratif kabupaten

Tanggamus, maka secara umum kondisi fisik dapat kita lihat pada kabupaten Tanggamus

secara umum. Dari hasil penelitian peneliti sebelumnya (Nurdin, 2013) dikatakan bahwa

Kabupaten Tanggamus sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Lampung merupakan daerah

yang memiliki potensi cukup besar dilihat dari sektor ketersediaan sumber daya alamnya

maupun luas wilayahnya yang mencakup sekitar 2721.88 Km2. Kabupaten Tanggamus

terbentuk dan menjadi salah satu Kabupaten di Propinsi Lampung berdasarkan Undang-

Undang Nomor 2 tahun 1997 yang diundangkan pada tanggal 3 Januari 1997 dan diresmikan

menjadi Kabupaten pada tanggal 21 Maret 1997. Adapun jumlah penduduk Kabupaten

Tanggamus adalah 542.439 jiwa.

Kabupaten Tanggamus berbatasan dengan 3 wilayah daratan dan juga berbatasan dengan laut.

Ibu kota kabupaten Tanggamus adalah Kota Agung, berada di sepanjang pinggir laut (BPS,

2011). Dari segi geografis, posisi kabupaten Tanggamus sangatlah unik dan menarik, ada

gunung Tanggamus dan juga memiliki laut. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten

Tanggamus sangatlah kaya jika dilihat dari kekayaan sumber daya alam.

Dilihat dari aspek geografi Kabupaten Tanggamus terletak pada posisi 104o

18’ - 105o 12’

Bujur Timur dan antara 5o

05’ – 5o

56’ Lintang Selatan. Koordinat ini membatasi wilayah

seluas 21855,46 km2 untuk luas daratan ditambah dengan luas wilayah laut seluas 1.779,50

Page 31: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

31

km2 dengan luas keseluruhan 4.634,96 Km

2. Berdasarkan ketinggian wilayah dari

permukaan laut, Kabupaten Tanggamus berada pada ketinggian sampai dengan 2.115 m.

Kabupaten Tanggamus memiliki topografi wilayah darat bervariasi antara dataran rendah dan

dataran tinggi, yang sebagian besar merupakan daerah berbukit sampai bergunung, sekitar

40% dari seluruh wilayah ( BPS, 2011) . Luas wilayah kabupaten Tanggamus, dapat dilihat

dari table berikut ini :

Tabel 1. Luas Kabupaten Tanggamus

No Kecamatan Luas

Km2 Persentase

1. Wonosobo 209,63 4,52

2. Semaka 170,90 3,69

3. Bandar Negeri Semuong 98,12 2,12

4. Kota Agung 76,93 1,66

5. Pematang Sawa 185,29 4,00

6. Kota Agung Barat 101,30 2,19

7. Kota Agung Timur 73,33 1,58

8. Pulau Panggung 437,21 9,43

9. Ulu Belu 323,08 6,97

10. Air Naningan 186,35 4,02

11. Talang Padang 45,13 0,97

12. Sumberejo 56,77 1,22

13. Gisting 32,53 0,70

14. Gunung Alip 25,68 0,55

15. Pugung 232,40 5,01

16. Bulok 51,68 1,12

17. Cukuh Balak 133,76 2,89

18. Kelumbayan 121,09 2,61

19. Limau 240,61 5,19

20. Kelumbayan Barat 53,67 1,16

Luas Darat 2.855,46 61,61

Luas laut 1.779,50 38,39

Jumlah Total 4.634,94 100,00

Sumber: BPS, 2013

Potensi sumber daya alam di Tanggamus tidak hanya penting untuk ekonomi, melainkan juga

sebagai penyeimbang ekologi. Hutan dan sungai-sungai besar yang mengaliri wilayah

Tanggamus merupakan penyangga bagi keseimbangan dan kelestarian alam di wilayah

tersebut.

Page 32: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

32

Sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Lampung selatan, Kabupaten Tanggamus

memiliki batas -batas wilayah administratif dengan kabupaten lainnya, apalagi wilayah

Pringsewu sudah menjadi kabupaten sendiri berpisah atau mekar dari Tanggamus, batas-batas

administratifnya adalah sebagai berikut:

- sebelah Utara berbatsan dengan kabupaten Lampung Barat dan kabupaten Lampung

Tengah.

- sebelah Selatan berbatasan dengan samudra Indonesia

- sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Lampung Barat

- sebelah Timur berbatasan dengan kabupaten Pringsewu

Luas wilayah daratan kabupaten Tanggamus adalah 2855,46 Km2

di tambah luas wilayah

laut seluas 1799,50 Km2 di sekitar Teluk Semaka, dengan panjang pesisir 210 Km topografi

wilayah daratan bervariasi antara daratan rendah dan daratan tinggi, yang sebagian

merupakan daerah berbukit sampai bergunung, yakni sekitar 40% dari seluruh wilayah

dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai dengan 2115 m. Potensi sumber daya

alam yang dimiliki kabupaten tanggamus sebagian besar di manfaatkan untuk kegiatan

pertanian. selain itu masih terdapat beberapa sumber daya alam lain yang potensial adalah

pertambangan dan energi listrik ( BPS, 2011).

Kabupaten Tanggamus memiliki kawasan hutan lindung dan hutan Negara (taman nasional).

Beberapa hutan register di Tanggamus, telah mendapatkan izin pengelolaan HKm dari

menteri kehutanan. Dari peta hutan sebelumnya dapat dilihat bahwa hutan terbanyak ada di

kawasan Tanggamus. Beberapa register telah mendapatkan izin untuk pengelolaan hutan oleh

masyarakat tani. HKm adalah kawasan hutan Negara yang dimanfaatkan oleh masyarakat

sekaligus masyarakat berkewajiban melestarikannya. Masyarakat yang sudah memperoleh

izin HKm diperbolehkan memanfaatkan hutan, tetapi sekaligus diwajibkan untuk memelihara

Page 33: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

33

hutan agar tidak rusak. HKm juga berupaya untuk memberdayakan masyarakat di kawasan

hutan. Sebagai sebuah solusi dalam menyelesaikan masalah kerusakan hutan, HKm

merupakan sebuah solusi yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah hutan ini. Namun

HKm tidak akan berjalan kalau hanya ditumpukan kepada masyarakat pengguna hutan saja

melainkan harus ada sinergi antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat

dalam merehabilitasi hutan (Nurdin, 2013)

4.2 WILAYAH : BATAS ADMINISTRATIF

Secara administrative sudah dijelaskan di atas bahwa Kabupaten Tanggamus berbatasan

dengan beberapa kabupaten, dan lautan. Batas administrative ini tidaklah mencerminkan

batas-batas budaya. Demikian juga dengan masyarakat petani perambah, bagi petani batas-

batas administrative bukanlah hal yang penting, yang paling utama adalah bagaimana bisa

berkebun dengan mendapatkan lahan. Kawasan hutan yang mereka pergunakan terkadang

sudah melewati batas-batas administarif Tanggamus. Bagi petani, tidak ada batas

administrative yang ada hanyalah bahwa mereka terus mencari lahan atau tanah untuk bisa

ditanami tanaman yang menguntungkan mereka.

Dari sisi administrative, pekon atau desa yang ada di kabupaten Tanggamus adalah 302

pekon / kelurahan dengan 20 kecamatan (BPS, 2011). Sesudah reformasi, satuan terkecil

wilayah administrative adalah Pekon, yakni nama kampung bagi sebutan masyarakat adat

Lampung di Tanggamus. System desa kemudian dihapuskan dibeberapa daerah di luar Jawa.

Batas administratif merupakan batas kabupaten, kecamatan dan desa yang dibuat oleh negara.

Adapun nama-nama kecamatannya adalah sebagai berikut :

Page 34: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

34

Tabel 2. Ibu Kota Kecamatan dan Jarak ke Ibukota Kabupaten Menurut Kecamatan Tahun

2012

No Kacamatan Ibukota

Kecamatan

Jarak Ke Ibukota

Kabupaten (km)

1 Wonosobo Tanjung Kurung 28

2 Semaka Sukaraja 18

3 Bandar Negeri Semuong Sanggi 35

4 Kota Agung Kuripan 14

5 Pematang Sawa Way Nipah 57

6 Kota Agung Barat Negara Batin 14

7 Kota Agung Timur Keagungan 2,5

8 Pulau Pangggung Tekad 34,5

9 Ulu Belu Ngarip 30

10 Air Naningan Air Naningan 47,4

11 Talang Padang Talang Padang 26,5

12 Sumber Rejo Sumber Rejo 24

13 Gisting Kuto Dalom 12

14 Gunung Alif Banjar Negeri 28,7

15 Pugung Rantau Tinjang 43

16 Bulok Sukamara 65

17 Cukuh Balak Putih Doh 48,7

18 Kelumbayan Napal 107

19 Limau Kuripan 22

20 Kelumbayan Barat Sidoharjo 100

Sumber : Podes 2012 Badan Pusat Statistik Kabupaten Tanggamus

Peta administrative terdiri dari batas-batas pekon, dan kabupaten, sedangkan peta culture area

merupakan batas antara etnik di kabupaten Tanggamus. Dalam hal ini dibuat batas-batas

budaya antara etnik Lampung yakni per marga yang ada di kabupaten Tanggamus. Peta batas

budaya sangatlah penting, tidak hanya untuk pergesekan dan konflik etnik melainkan juga

sebagai landasan dasar pembangunan yang ada di kabupaten tersebut. Pembangunan

seringkali harus menggunakan modal social dan kearifan lokal masyarakat setempat, untuk

dapat berhasil. Demikian juga dengan hutan kemasyarakatan (HKm), budaya berkebun dan

petani di hutan Tanggamus perlulah dipelajari, untuk mengetahui titik kelemahan dan

kekuatan yang ada didalamnya. Melarang petani membuka lahan di tempat terlarang bisa

dilakukan dengan kekerasan atau secara hukum, namun tidak berarti bahwa kemudian

kegiatan ini berhenti kegitu saja, pendekatan kebudayaan sangatlah penting dalam

Page 35: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

35

menanggulangi hal ini. Peta Tanggamus secara administrative dan culture area dapat dilihat

dalam peta-peta berikut ini

Peta 1. Administrative Kabupaten Tanggamus

Adapun peta berdasarkan batas-batas etnik, dapat dilihat dalam table berikut ini:

Page 36: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

36

Peta 2. Culture Area di Kabupaten Tanggamus

Sumber : Peta diolah peneliti dari hasil survey, 2013.

Page 37: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

37

4.3 KARAKTERISTIK GABUNGAN KELOMPOK TANI

4.3.1 Gabungan Kelompok Tani Mulya Agung

Gabungan Kelompok Tani Mulya Agung berdiri pada tanggal 13 Maret 2010 yang terletak

di kawasan hutan lindumg reg.39 kota agung utara dengan luas ajuan 1061,75 ha dan 961

anggota terdiri dari sembilan kelompok tani terdiri dari Keompok Tani Cempaka Putih satu

sampai dengan Kelompok Tani cempaka putih Sembilan anggota masyarakat yang tergabung

dalam kelompok tani terdiri dari masyarakat pekon Sido Mulyo Kecamatan semaka dan ada

sebagian dari masyarakat Lampung Barat.

Kelompok Cempaka Putih 1 jumlah anggota 117 dengan luas 130,72 Ha

Terletak di Kali Kumbang

Kelompok Cempaka Putih 2 jumlah anggota 158 dengan luas 174,45 Ha

Terletak di Kali Kumbang

Kelompok Cempaka Putih 3 jumlah anggota 105 dengan luas 117,66 Ha

di Umbul Seno bawah

Kelompok Cempaka Putih 4 jumlah anggota 104 dengan luas 129,82 Ha

Di Umbel Seno atas

Kelompok Cempaka Putih 5 jumlah anggota 115 dengan luas 127,45 Ha

Di Umbul Kuyung

Kelompok Cempaka Putih 6 jumlah anggota 75 dengan luas 85,37 Ha

Di Umbul Tampah

Kelompok Cempaka Putih 7 jumlah anggota 91 dengan luas 96,85 Ha

Di Umbul Pring

Kelompok Cempaka Putih 8 jumlah anggota 106 dengan luas 118,78 Ha

Di Tirto Luhur Pungkalan Lampung Barat

Kelompok Cempaka Putih 9 jumlah anggota 80 .dengan luas 89,68 Ha

Di Tirto Luhur Pungkalan Lampung Barat

Masyarakat yang tergabung dalam anggota kelompok tani berasal dari Pekon Sido Mulyo

Kecamatn Semaka Kabupaten Tanggamus kelompok Cempaka Putih satu sampai dengan

Page 38: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

38

kelompok Cempaka Putih enam. Kelompok Cempaka Putih tujuh sampai dengan sembilan

berasal dari masyarakat Tirto Luhur Kecamatan Suoh Lampung Barat. Anggota kelompok

yang tergabung dalam Gapoktan Mulya Agung mayoritas etnis jawa ada sebagian kecil

lampung dan,sunda.

Pada saat ini masih banyak masyarakat beraktivitas memanen hasil tanaman budidaya

seperti Kakao, Lada dan kopi. Pada umumnya anggota kelompok tani yang tergabung dalam

gabungan kelompok tani Mulya Agung tinggal dan menetap didalam areal kelola HKm.

Budidaya tanaman anggota kelompok tani hampir 70% berkebun coklat di sela-sela kebun

coklat ada terlihat tanaman tjuk tinggi antara lain duren, kelpa, alpokat. dan jenkol. 20%

bekebun Lada dan !0% berkebun kopi

4.3.2 Gabungan Kelompok Tani Tri Buana

Gapoktan tri buana dalah terdiri dari kelompok tani Hutan Kemasyarakatan ( HKm ) yang

memiliki lahan kelola di hutan lindung. Gapoktan ini salah satu kelompok HKm yang sudah

memiliki izin (IUPHKm) B.337/23/03/ 2009.

Jenis tanah yang ada pada wilayah kerja kelompok tani Tri Buana Jenis tanah yang ada pada

wilayah kerja kelompok tani Tri Buana mayoritas terbagi menjadi 2 yakni; Latosol Coklat tua

dan Podsolik merah kuning dengan perbandingan 70 : 30%. Umumnya pada tanah masam

didominasi dari jenis Podsolik Merah Kuning dengan kisaran derajat kemasaman (Ph) 4 – 6,

sedangkan pada jenis tanah Latosol coklat tua cenderung basah dengan kisaran Ph 7 -8.

Tingkat topografi bervariasi dari mulai dataran dengan keluasan 30% sedangkan pada

lereng dengan kemiringan antara 20 - 60˚, mencapai 50 % pada areal kelola hutan

kemasyarakatan kelompok tani Tribuana. Pada kondisi topografi tingkat kelerangan curam

dan terjal mencapai 20%. Pada kondisi semacam ini tidak dilakukan budidaya dan masuk

dalam zona perlindungan

Page 39: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

39

Iklim yang terjadi pada areal kelola HKm Tri Buana terdapat dua musim yaitu musim hujan

dan kemarau, musim hujan terjadi pada bulan November – Mei sementara selebihnya adalah

kemarau, walaupun hujan masih ada dalam relatif sedikit. Areal kelola cenderung beriklim

basah dengan kelembaban mencapai 50 – 80% sedangkan dengan curah hujan berkisar antara

1500 - 3000 mm/th (iklim A,B,C Scmidt Ferguson).

Jenis tanaman tumbuh yang ada saat ini terdiri dari tanaman kayu, Mpts, Perkebunan dan

tanaman Holtikultura. Berikut ini tabel Potensi Tanaman:

Tabel 3. Potensi tanaman anggota gapoktan tri buana

No Jenis Potensi Tanaman Jumlah (btg) Keterangan

1 Tanaman Kayu-kayuan 20.804 Terdiri dari 10 jenis tanaman

2 Tanaman MPTS 15.823 Terdiri dari 12 Jenis Tanaman

3 Tanaman Perkebunan 564.391 Terdiri dari 4 Jenis Tanaman

4 Tanaman Hortikultura 52.825 Terdiri dari 2 Jenis Tanaman

Jumlah 653.843 Batang

Sumber: Data Primer, 2013

Anggota kelompok tani Tri Buana sebagian besar tercatat dan berdomisili pada pemerintahan

Pekon Trimulyo Kec. Sumber Jaya, Kab. Lampung Barat. Jumlah penduduk disekitar hutan

makin tahun populasinya makin meningkat dengan tingkat penyebaran lokal.

Areal kerja Kelompok Tri buana pada status kawasan hutan lindung register 39. Areal kerja

terbagi dua zona, antara lain zona pemanfaatan (budidaya) dan zona perlindungan (lindung).

Jumlah blok budidaya (pemanfaatan) terbagi menjadi 9 blok dengan jumlah 540 penggarap

Potensi areal kerja hkm dalam wilayah kelompok tani Tri Buana terdiri atas :

1) Tanaman kayu

2) Tanaman MPTS

3) Sumberdaya Air

4) Kebun Percontohan (dalam perencanaan)

5) Wisata Alam

Page 40: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

40

4.3.3 Gabungan Kelompok Tani Tulung Agung

Gapoktan Tulung Agung/Pekon Karang agung dan Tulung Asahan Kecamatan Semaka

Kabupaten Tanggamus. Dasar Hukum Penyelenggaraan HKm adalah Peraturan Mentri

Kehutanan Nomor : P.37 / Menhut ii / 2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan. Kondisi tanah

didominasi dua jenis tanah antara lain jenis tanah Latasol Coklat dan Podsolik Merah

Kuning. Kondisi tanahsubur masih mencapai 60 % sementara kondisi tanah kurang subur,

tandus berbatu dengan kemiringan ≥ 41 ˚ mencapai 40 %, Kemasaman tanah (Ph) untuk jenis

tanah Podsonik Merah Kuning 5-6, sedangkan untuk tanah Latasol berkisar antara 6-7.

Tabel 4. Jenis tanah pada Gapoktan Tulung Agung

No Jenis Tanah Luas (ha) %

1 Latasol coklat Tua 721.50 80

2 Podsolik Merah Kuning 239.00 20

Jumlah 960.50 100

Jenis Tanaman yang terdiri dari jenis, mulai dari jenis tanaman kayu kayuan, MPTS,

Perkebunan dan tanaman Agricultur. Jenis tanaman kayu-kayuan yang ada saat ini antara lain

tanaman Cempaka, Bayur, Sengon, Mindri dan Tabu. Sementara dari jenis tanaman MPTS

berupa tanaman Durian, Petai, Jengkol, Alpukat, Nangka, Mangga, pinang dan are. Tanaman

perkebunan yang ada berupa tanaman Kopi, Coklat, Lada dan Pala. Sedangkan untuk jenis

tutupan lahan dari tanaman Agricultur (sayur-sayur) berupa jahe, Cabe, Kacang-kacangan

dan lain-lain masih bersifat tanaman sela yang berjumlah relative kecil.

Anggota kelompok Tani Tulung Agung sebagian besar tercatat dan berdomisili pada

pemerintahan Pekon Karang Agung, kecamatan Semaka Kabupaten Tanggamus. Jumlah

penduduk disekitar hutan semakin tahun populasinya semakin meningkat dengan tingkat

penyebaran lokal.

Page 41: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

41

Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No Kecamatan Desa/Pekon Jumlah Penduduk (Orang)

Pria wanita Jumlah

1 Semaka Karang Agung 785 968 1.753

2 Semaka Tulung Asahan 578 607 1.185

Jumlah

Tabel 6. Penduduk Berdasarkan Kelas Umur

No Kecamatan Desa/Pekon Jumlah Penduduk (Orang)

˂ 15 Th 15–55 Th ˃ 55 Th Jumlah

1 Semaka Karang Agung 578 1.008 167 1.753

Semaka Tulung Asahan 283 787 115 1.185

861 1.795 282 2.938

Tabel 7. Sarana dan Prasarana

No Kecamatan Desa/Pekon

Jumlah Prasarana Ekonomi (buah)

Pasar Koperasi Bank

Sarana Lainnya

Tok

o

Bengke

l

Pabri

k

1 Semaka Karang

Agung - - - 3 - -

2 Semaka Tulung

Agung - - - 2 1 2

Jumlah anggota tani yang tergabung dalam gapoktan Tulung Agung berjumlah 885 orang

yang terbagi dalam 8 blok, dengan profesi mata pencaharian petani penggarap, buruh tani,

PNS dan pedagang.

4.4 KARAKTERISTIK RESPONDEN ANGGOTA GAPOKTAN MULYA AGUNG, TRI

BUANA, DAN TULUNG AGUNG.

Dari hasil survey tentang program penguatan fungsi HKM yang dilakukan pada petani yang

berusahatani di kawasan hutan lindung di Kabupaten Tanggamus diperoleh hasil sebagai

berikut : karakteristik sosial ekonomi petani meliputi umur, etnis, jumlah anggota rumah

tangga, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan. Hasil wawancara tentang interaksi petani

Page 42: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

42

dengan kawasan hutan meliputi tahun responden memasuki hutan, cara mendapatkan lahan

kawasan hutan, alasan mengelola hutan.

4.4.1 Umur Responden

Kematangan umur merupakan salah satu yang akan berpengaruh terhadap pola pikir, corak,

dan perilaku baik formal maupun informal. Selain itu, umur juga sangat mempengaruhi

emosionalisme dan rasionalisme. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan, diperoleh

hasil rata-rata umur gabungan kelompok tani Mulya Agung yang menetap di kawasan hutan

kemasyarakatan adalah 40 tahun, 37 tahun untuk gabungan kelompok tani Tribuana dan 43

tahun untuk gabungan kelompok tani Tulung Agung. Hal ini menunjukkan bahwa umur rata-

rata petani di ketiga lokasi penelitian adalah umur yang produktif, karena berdasarkan Data

statistik Indonesia (2009) umur produktif manusia berada pada kisaran umur 15-64.

Adapun sebaran umur tiga gapoktan di Kawasan Hutan Kemasyarakatan dapat dilihat pada

Tabel 9.

Tabel 8. Distribusi umur petani gapoktan Mulya Agung, Tribuana dan Tulung Agung

No Golongan

Umur

Jumlah responden (orang) Jumlah %

Mulya agung Tribuana Tulung Agung

1 17-23 5 4 1 10 4,33

2 24-30 16 17 8 41 17,75

3 31-37 22 19 16 57 24,68

4 38-44 21 9 22 52 22,51

5 45-51 16 4 12 32 13,85

6 52-58 8 7 5 20 8,66

7 59-65 1 2 9 12 5,19

8 66-72 4 0 1 5 2,16

9 73-79 0 0 0 0 0,00

10 80-86 1 1 0 2 0,87

Jumlah 94 63 74 231 100,00

Sumber: Data Primer diolah, 2014

Page 43: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

43

Tabel 9 menunjukkan bahwa petani yang berusahatani di kawasan hutan kemasyarakatan di

Kabupaten Tanggamus memiliki kisaran umur 31-37 pada ketiga anggota gapoktan.

Persentase usia petani yang memiliki usia produktif tersebut adalah sebanyak 96,97 persen

sedangkan persentase petani yang memiliki umur yang sudah tidak produktif sebanyak 3,03

persen. Umur yang produktif merupakan umur yang sangat potensial untuk melakukan

segala aktivitas termasuk aktivitas berusahatani. Dalam batas-batas usia produktif seseorang

dapat mengelola usahataninya dengan baik. Kemampuan seseorang akan bertambah sampai

pada tingkat umur tertentu kemudian akan mulai menurun.

4.4.2 Etnis Petani Responden

Etnis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cara berusahatani pada suatu daerah.

Di daerah surve rata-rata petani merupakan petani pendatang dari pulau jawa sehingga etnis

yang paling banyak di lokasi penelitian adalah etnis jawa dan sunda. Jumlah etnis sunda

adalah 18, 18 persen petani sedangkan etnis jawa menempati urutan pertama yaitu berjumlah

71,00 persen petani. Adapun sebaran etnis petani di daerah survei dapat dilihat pada Tabel

10.

Tabel 9. Distribusi etnis petani yang tergabung dalam gapoktan Mulya agung, Tribuana,

dan Tulung Agung.

Etnis Jumlah Responden (orang)

Jumlah % Mulya Agung Tribuana Tulung Agung

Bali 0 0 2 2 0,87

Jawa 83 58 23 164 71,00

lampung 2 1 18 21 9,09

Palembang 0 0 2 2 0,87

Sunda 9 4 29 42 18,18

94 63 74 231 100,00

Sumber: Data Primer diolah, 2014

Page 44: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

44

Dalam perkembangannya, perubahan pola budidaya di Kawasan HKm seiring dengan

meningkatnya jumlah penduduk migran dari Jawa dan tempat-tempat lain di Provinsi

Lampung. Perkembangan lain adalah adanya kecenderungan untuk meningkatkan

produtivitas per unit lahan dengan peningkatan intensitas pengelolaan lahan, khususnya

setelah masuknya para migran suku Jawa.

Page 45: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

45

V. Karakteristik Sosial Ekonomi

5.1.Mata Pencaharian

Hasil survei menunjukkan, bertani di kawasan hutan kemasyarakatan merupakan pekerjaan

utama bagi petani responden. Sebaran ada tidaknya pekerjaan sampingan petani responden

dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Distribusi ada tidaknya pekerjaan sampingan petani anggota gapoktan Mulya

Agung, Tribuana dan Tulung Agung.

No Pekerjaan Jumlah Responden Jumlah %

Sampingan Mulya Tri Tulung

Agung Buana Agung

1 Ada 30 30 33 93 40,26

2 Tidak ada 64 33 41 138 59,74

Juml 94 63 74 231 100

Sumber: Data Primer diolah, 2014

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa sebagian besar atau 59,74 persen petani

responden tidak memiliki usaha sampingan yang berarti rata-rata petani responden sangat

bergantung pada lahan usahatani yang ada di kawasan hutan kemasyarakatan. Oleh sebab itu,

sangat diperlukan penguatan kelembagaan anggota gapoktan Mulya agung, Tribuana dan

Tulung agung untuk mengelola Hkm menjadi kawasan yang sesuai dengan fungsinya.

5.2 Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga menjadi gambaran potensi tenaga kerja yang dimiliki keluarga

petani. Selain itu, jumlah tanggungan keluarga merupakan salah satu faktor yang sangat

menentukan dalam peningkatan produksi dan pendapatan petani serta kemampuan dalam

pengelolaan usahatani pada lahan kawasan Hkm. Jumlah tanggungan keluarga petani yaitu

banyaknya orang yang harus dibiayai oleh kepala keluarga sebagai pencari nafkah, bukan

berdasarkan banyaknya anak. Jumlah tanggungan keluarga berkaitan erat dengan pendapatan

Page 46: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

46

dan pengeluaran keluarga, semakin banyak tanggungan keluarga, maka semakin besar

pengeluaran keluarga tersebut. Dengan demikian petani sebagai pencari nafkah akan

sungguh-sungguh dalam mengerjakan pekerjaan usahatani di kawasan hutan, sehingga sangat

diperlukan penguatan kelembagaan HKm yang dapat melatih petani dalam berusahatani serta

melestarikan HKm. Jumlah anggota dalam satu keluarga adalah semua orang yang hidupnya

oleh keluarga yang bersangkutan dan mempunyai kepentingan bersama dalam suatu kegiatan

usahatani. Adapun sebaran tanggungan keluarga petani responden di kawasan Hkm.

Tabel 11. Distribusi tanggungan keluarga anggota gapoktan Mulya Agung, Tribuana, dan

Tulung Agung

No Tanggungan

Keluarga

Jumlah responden(orang)

Jumlah % Mulya

Agung Tribuana

Tulung

Agung

1 0-1 10 10 5 25 10,82

2 2-3 35 34 21 90 38,96

3 4-5 42 16 38 96 41,56

4 6-7 7 2 9 18 7,79

5 8-9 0 1 1 2 0,87

Jumlah 94 63 74 231 100,00

Sumber: Data Primer diolah, 2014

Pada Tabel 12 menunjukkan bahwa sebagian besar tanggungan keluarga petani responden

adalah 4 sampai 5 orang. Petani rata-rata masih mempunyai anak yang sedang menempuh

pendidikan. Banyaknya tanggungan keluarga petani akan berpengaruh terhadap cepat atau

lambatnya penerimaan inovasi. Umumnya petani yang mempunyai tanggungan lebih banyak

akan lebih mudah menerima inovasi dan pembinaan penguatan kelembagaan, hal ini

dikarenakan terdorong oleh kewajibannya untuk membiayai sejumlah orang yang menjadi

tanggungannya.

5.3. Gambaran Pendapatan Usahatani di Kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm)

register 39 Kabupaten Tanggamus

5.3.1. Usahatani Kakao

Page 47: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

47

Tanaman tajuk tengah yang banyak dibudidayakan oleh petani responden untuk anggota

gapoktan Tribuana ialah tanaman kopi, sedangkan anggota gapoktan Tulung Agung lebih

banyak membudidayakan tanaman kakao sebagai tanaman yang paling menguntungkan.

Selain itu, petani responden juga sejak lama telah menanam dan memelihara tanaman

MPTS (Multi Purpose Tree Species) atau tanaman serbaguna di kawasan hutan atau lebih

dikenal dengan istilah”reppong”’seperti pete, durian, jengkol akan tetapi jumlah MPTS

tersebut masih perlu ditingkatkan. Hal ini harus sesuai menurut peraturan dari Departemen

Kehutanan bahwa perbandingan antara tanaman kayu-kayuan / MPTS ialah 70:30 masih

harus ditingkatkan, dan disosialisasikan. Perbandingan tersebut sesuai dengan sifat hutan

lindung yakni sebagai hutan yang peka terhadap erosi, mengingat kawasan hutan lindung

Register 39 Kota Agung Utara merupakan kawasan hutan lindung yang strategis, karena

dibagian baratnya merupakan bufferzone TNBBS dan bagian timur adalah daerah

tangkapan air (catchment area) waduk Batu Tegi. Pola agroforestry ini juga diharapkan

dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar hutan untuk dapat memetik hasil dari tanaman

MPTS tersebut.

5.3.2. Budidaya kakao

1. Penyiapan bibit

Bibit yang digunakan petani sampeluntuk usahatani kakao berasal dari:

- Pembibitan sendiri

Petani mengambil biji kakao dari kebun sendiri ataupun kebun petani sekitar,

kemudian melakukan pembibitan (pendederan) sendiri.

a. Persiapan lahan dan penanaman

Petani sampel di daerah penelitian menggunakan jarak tanam yang bervariasi

untuktanaman kakao mulai dari 2 x 2 meter sampai dengan 4 x 4 meter. Setelah

Page 48: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

48

dibuat jarak tanam yang dilakukan dengan pengajiran, dilakukan pembuatan lubang

tanam dengan ukuran rata-rata 40 x 40 x 40 cm.Penanaman dilakukan dengan

memasukkan bibit kakao yang ada dalam polibag (umur 5 – 6 bulan) ke dalam

lubang tanam kemudian lubang tanam ditutup kembali dengan tanah galian.

b. Penyiangan

Pada waktu tanaman kakao berumur 1 tahun, petani sampel belum melakukan

penyiangan. Hal ini dikarenakan gulma belum terlalu banyak. Penyiangan mulai

dilakukan pada waktu tanaman kakao berumur 2 tahun sampai dengan 20 tahun.

c. Pemangkasan (wiwilan)

Wiwilan merupakan istilah petani setempat untuk kegiatan pemangkasan tanaman

kakao. Pemangkasan yang dilakukan oleh petani sampel bertujuan agar mudah

dalam pemeliharaan dan produksi yang dihasilkan tinggi. Petani di kawasan HKm

biasanya tidak secara khusus melakukan pemangkasan untuk tanaman kakao

tetapi biasanya melihat kondisi tanaman lain yang ada di kawasannya.

Petani sampel mulai melakukan pemangkasan pada saat umur tanaman kakao

sudah menginjak umur 2 tahun. Pada tanaman mengahasilkan, pemangkasan juga

bertujuan untuk menghindarkan tanaman kakao dari serangan hama dan penyakit.

d. Pemupukan

Pemupukan hanya dilakukan oleh beberapa petani sampel di kawasan HKm.

Petani sampel yang melakukan pemupukan merupakan petani yang memiliki

modal dan yang mengetahui tentang cara meningkatkan pertumbuhan vegetatif

tanaman dan memberikan daya tahan tanaman terhadap hama dan penyakit. Pupuk

buatan yang sebagian besar dipakai oleh petani sampel di hutan kawasan HKm

Page 49: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

49

adalah pupuk Urea dan NPK, tetapi penggunaan pupuk NPK hanya sedikit sebab

harga pupuk NPK yang sangat mahal yakni Rp. 4500 per kilogram nya.

e. Panen

Buah kakao dihasilkan setelah tanaman berumur ± 3 tahun. Buah yang matang

dicirikan oleh perubahan warna kulit buah dan biji yang mengelupas dari kulit

bagian dalam. Setelah dilakukan pemetikan, dilakukan pengupasan buah kakao

dan biji kakao diambil untuk dimasukkan ke dalam kotak kayu ataupun karung

(kandi) untuk didiamkan selama kurang lebih satu malam. Hal ini bertujuan untuk

membuang kandungan air dalam biji kakao. Setelah itu, dilakukan penjemuran biji

kakao berkisar antara 1-7 hari tergantung kebutuhan petani.

Musim panen pada daerah penelitian biasanya berlangsung dari bulan Mei – Juli.

Selama 3 bulan ini, rata-rata petani sampel melakukan pemetikan buah kakao

dengan frekuensi satu kali dalam seminggu. Setelah panen raya, terdapat pula

panen-panen kecil di mana frekuensi pemetikan buah adalah satu kali dalam 2

minggu. Hal inilah yang menjadi salah satu ciri khas tanaman kakao, yaitu dapat

berproduksi sepanjang tahun.

2. Biaya usahatani kakao

(a) Biaya investasi

Yang merupakan biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan

investasi kakao sebelum tanaman kakao menghasilkan.

Biaya investasi dalam usahatani kakao meliputi pembukaan lahan, pembelian alat

usahatani dan biaya penanaman.

Petani sampel di kawasan HKm register 39 sangat diuntungkan dalam biaya

investasi kakao. Hal ini karena petani sampel tidak perlu mengeluarkan biaya

Page 50: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

50

pembelian lahan, bibit dan tanaman pelindung. Lahan yang digunakan merupakan

lahan kawasan HKm sehingga yang status kepemilikannya adalah milik negara,

dan di kawasan tersebut sudah memiliki banyak tanaman lain atau dapat dijadikan

tanaman pelindung. Selain itu bibit yang digunakan yakni bibit yang di tanam

sendiri oleh petani.

Tahun pertama, biaya investasi meliputi pembukaan lahan, biaya penanaman dan

biaya pembelian alat usahatani. Selanjutnya tahun kedua dan ketiga, biaya

investasi meliputi hanya meliputi pembelian alat usahatani. Tanaman pelindung

yang ada di kawasan HKm sangat bervariasi, salah satunya ialah pisang.

(b) Biaya tenaga kerja

Biaya tenaga kerja dalam usahatani kakao terdiri dari biaya tenaga kerja dari

dalam dan luar keluarga, tetapi sebagian besar usahatani kakao sampel di daerah

penelitian menggunakan tenaga kerja dari dalam keluarga. Biaya tenaga kerja

terebut terdiri dari biaya pembukaan lahan, penanaman bibit kakao, penyulaman,

pemangkasan, pemupukan, penyemprotan obat-obatan, pemetikan buah,

pengupasan, dan penjemuran.

Biaya tenaga kerja dalam keluarga merupakan biaya yang tidak dikeluarkan

secara tunai, tetapi tetap diperhitungkan. Biaya tenaga kerja dari luar keluarga

merupakan biaya yang dikeluarkan secara tunai sebesar tarif upah yang berlaku di

daerah penelitian, yaitu Rp. 45.000,00 – Rp/ 50.000 per HKP.

Kegiatan tenaga kerja pada saat tanaman berumur 1 tahun adalah pembukaan

lahan, pengolahan lahan, pengajiran, pembuatan lubang tanam, penanaman bibit

kakao, penyulaman, dan pemupukan. Pada saat tanaman berumur 2 tahun,

kegiatan yang dilakukan adalah penyulaman, pemangkasan, penyiangan gulma,

Page 51: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

51

pemupukan, dan penyemprotan obat-obatan. Perawatan kakao yang dilakukan

petani sampel berbeda-beda karena kawasan yang dijadikan areal tanam adalah

kawasan hutan kemasyarakatan yang berbentuk agroforestry yakni terdiri dari

tajuk bawah, tajuk tinggi dan tajuk tengah. Oleh karenanya perawatan kakao di

iringi pula dengan perawatan tanaman lain seperti lada, pisang dan durian.

(c) Biaya peralatan

Peralatan yang digunakan dalam usahatani kakao merupakan peralatan yang

sederhana dan mudah didapatkan, yaitu golok, cangkul, arit/sabit, gunting

pangkas, sprayer obat, dan koret. Perhitungan biaya peralatan dapat dilihat pada

Tabel 12.

Tabel 12. Perhitungan biaya peralatan pada usahatani kakao gapoktan Tulung

Asahan.

No. Peralatan UE

(Thn)

Jml

(unit)

Harga

(Rp)

Biaya

Penyusutan per

umur ekonomis

1 Arit 2 1 34371,4 22185,71

2 Sabit 1 1 70555,6 88500

3 Parang 1 1 75000 75000

4 Cangkul 4 1 62045,5 15625

5 Handsprayer 3 1 250757,58 91070,70

6 Tembilang 3 1 15000 0

7 Linggis 3 0 0 0

8 Golok 1 1 58571,4 85500

9 Blincung 1 1 0 0

Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa rata-rata kepemilikan alat-alat

usahatani hanya berjumlah satu dengan umur ekonomis penggunaan alat 1-4

tahun.

(d) Biaya pemupukan dan pestisida

Pada daerah kawasan HKm hanya beberapa petani yang menggunakan pupuk

kimia. Pupuk yang digunakan dalam usahatani kakao hanya pupuk Urea dan NPK.

Page 52: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

52

Petani yang menggunakan kedua jenis pupuk ini yakni petani yang meyakini

bahwa dengan bantuan pupuk-pupuk buatan tersebut, tanaman kakao miliknya

mengalami pertumbuhan yang baik dan hasil produksinya memuaskan. Petani

yang tidak menggunakan pupuk adalah petani yang meyakini bahwa tanah

kawasan HKm masih subur dan tidak adanya modal yang dimiliki oleh petani

responden.

Petani di kawasan HKm tidak menggunakan pestisida dalam menangani hama dan

penyakit yang menyerang tanamannya. Akan tetapi petani responden hanya

menggunakan herbisida dalam menangani gulma yang menyerang areal tanam

kakao. Herbisida yang digunakan petani adalah Roundap dan sidolaris.

Penggunaan roundup oleh petani responden masih minim yaitu 5,4 liter per rata-

rata luas usahatani per tahun.

(e) Biaya panen

Biaya panen adalah biaya yang dikeluarkan oleh petani ketika petani melakukan

pemetikan buah kakao. Sedangkan biaya pengangkutan tidak dikeluarkan petani

karena letak rumah petani di areal kawasan HKm. Biji kakao yang dipanen dijual

ke pedagang pengumpul. Walaupun sebagian besar petani menjual ke pedagang

pengumpul keliling (bakul keliling), namun ada pula petani yang menjual ke

pedagang pengumpul desa/kecamatan.

3. Produksi kakao

Hasil yang diperoleh dari tanaman kakao adalah biji kakao basah dan petani menjual

dalam bentuk biji kakao kering asalan, di mana biji kakao tersebut telah dijemur 1 – 7

hari (1 hari = 2 – 5 jam penjemuran). Setelah dijemur, maka kadar air yang terdapat

dalam biji kakao berkurang dan biji kakao akan mengalami penyusutan sebesar 25%

Page 53: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

53

(100 kg biji kakao basah akan menjadi 75 kg biji kakao kering asalan). Oleh

karenanya harga kakao tergantung kering atau basahnya biji kakao.

Tanaman kakao sudah dapat dipanen pada umur 3 tahun dengan hasil produksi basah

yang dihasilkan rata-rata 107,91 kg/ha/tahun. Rendahnya hasil kakao di kawasan

register 39 ini bukan dikarenakan ketidaksuburan lahan usahatani, tetapi jumlah kakao

yang ditanam tidak sebanyak kakao untuk areal khusus produksi. Jumlah batang

kakao yang dimiliki petani responden gapoktan tulung asahan hanya berkisar 100-400

batang per ha. Sistem penanaman kawasan HKm merupakan agroforestry sehingga

tidak hanya tanaman kakao yang ada disana namun ada berbagai macam tanaman.

Jumlah produksi biji kakao per hektar untuk tiap umur tanaman dapat dilihat pada

Tabel 13.

Tabel 13. Jumlah rata-rata produksi biji kakao per hektar responden gapoktan

Tulung Agung dengan perhitungan trend linier.

Umur tanaman (Tahun) Produksi basah kg/ha

3 107,91

4 238,13

5 358,27

6 562,59

7 664,75

8 700,00

9 719,42

10 863,31

11 971,22

12 575,54

13 1115,11

14 1151,08

15 1294,96

16 1151,08

17 1151,08

18 561,15

19 1151,08

20 1133,09

Rata-rata 803,88

Keterangan: Data hasil produksi yang digunakan untuk mengetahui hasil produksi

dengan analisis trend adalah produksi dalam bentuk biji kakao basah.

Page 54: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

54

Bila dilihat pada Tabel 13, dari umur tanaman 3 – 18 tahun terdapat fluktuasi

produksi. Hal ini dikarenakan antara petani satu dengan petani lainnya memiliki

perbedaan dalam pola usahatani kakao yang dijalankan, sebagai contoh, perbedaan

dalam penggunaan pupuk yaitu ada petani yang menggunakan pupuk dan ada juga

petani yang tidak menggunakan pupuk, sehingga perbedaan tersebut menimbulkan

perbedaan dalam hasil produksi.

Fluktuasi produksi yang didapat dari hasil penelitian menyebabkan tidak diketahuinya

trend produksi, sehingga untuk mengetahui trend produksi kakao di daerah penelitian

ini digunakan analisis trend linier. Dengan persamaan trend ini dapat diketahui

perkiraan produksi rata-rata per tahun selama umur ekonomis (20 tahun). Produksi

biji kakao dengan persamaan trend produksi disajikan pada Tabel 14.

Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa puncak produksi biji kakao terjadi pada saat

tanaman berumur 15 tahun, yaitu 1294, 96 kg/Ha/tahun. Hal ini sesuai dengan

Siregar, dkk.(199), bahwa tanaman kakao akan mengalami puncakproduksi antara

umur tanam ke – 10 hingga tahun ke – 15. Produksi terendah terjadi pada saat

tanaman berumur 3 tahun, yaitu

107, 91 kg/Ha/tahun. Hal ini dikarenakan pada umur tanam ini, tanaman kakao masih

dikatakan belajar berbuah.

Hasil produksi usahatani kakao dihitung sampai dengan umur tanaman 20 tahun.

Penetapan umur ekonomis ini didasarkan pada Siregar, dkk. yang menyatakan bahwa

umur ekonomis tanaman kakao adalah 20 tahun.

Page 55: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

55

4. Penerimaan dan pendapatan usahatani kakao

Penerimaan usahatani kakao mulai diperoleh pada saat tanaman berumur 3 tahun

dengan harga jual rata-rata yang diterima petani adalah Rp 19.6944,44 per kg.

Penerimaan usahatani kakao yang diperoleh petani dari hasil menjual biji kakao dapat

dilihat pada Tabel 14.

Penerimaan tertinggi didapat pada saat tanaman kakao berumur 15 tahun. Hal ini

dikarenakan pada umur tanaman ini, petani memperoleh produksi biji kakao yang

tertinggi. Penerimaan terendah di dapat pada saat tanaman kakao berumur 3 tahun.

Hal ini dikarenakan pada umur tanaman ini, produksi biji kakao masih rendah.

Tabel 14 Penerimaan usahatani kakao per hektar gapoktan Tulung Agung Kabupaten

Tanggamus.

Umur tanaman (Tahun) Penerimaan kg/ha

3 641.007,19

4 1.564.510,79

5 2.174.591,47

6 3.578.071,94

7 3.907.473,02

8 4.389.000,00

9 4.273.381,29

10 5.128.057,55

11 5.769.064,75

12 3.608.633,09

13 6.623.741,01

14 5.697.841,73

15 6.837.410,07

16 6.077.697,84

17 6.077.697,84

18 2.962.877,70

19 6.077.697,84

20 6.356.654,68

Rata-rata 4.541.411,66

Pada lahan usahatani kakao, petani tidak hanya menanam tanaman kakao, walaupun

jumlahnya tidak terlalu banyak. Petani juga menanam tanaman pelindung, seperti

Page 56: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

56

kelapa, pisang, cengkeh, dan petai, lada sehingga penerimaan yang diperoleh tidak

hanya berasal dari usahatani kakao. Total penerimaan yang diperoleh petani yang

berasal dari penjualan biji kakao dan hasil tanaman pelindung dapat dilihat pada

Tabel 15 dan pendapatan per hektar usahatani kakao dapat dilihat pada Tabel 16.

Dalam menentukan penerimaan dari tanaman pelindung digunakan beberapa asumsi,

karena ada beberapa petani yang tidak memiliki tanaman pelindung di areal

perkebunana kakaonya. Asumsi yang dipakai dalam menghitung penerimaan dari

tanaman pelindung, yaitu:

(i) Seluruh areal perkebunan kakao petani sampel memiliki tanaman sela pisang.

Asumsi ini digunakan karena hampir seluruh areal perkebunan kakao petani

sampel telah memiliki tanaman pisang, sehingga petani telah mendapatkan hasil

dari tanaman ini sejak tahun I proyek dan hasilnya dapat diambil tiap tahun. Untuk

petani yang tidak memiliki tanaman pisang, maka penerimaan dari hasil tanaman

pisang dihitung dengan pendekatan rata-rata dari petani sampel yang memiliki

tanaman pisangdan didapat rata-rata jumlah panen 4.451,98 kg , frekuensi panen

rata-rata 1 kali/tahun, dan harga jual rata-rata Rp 1600/kg kelapa.

(ii) Bibit tanaman cengkeh ditanam pada tahun I proyek, mulai dapat diambil hasilnya

pada tahun VI sampai seterusnya tiap tahun. Untuk petani yang tidak memiliki

tanaman cengkeh, maka penerimaan dari hasil tanaman cengkeh dihitung dengan

pendekatan rata-rata dari petani sampel yang memiliki tanaman cengkeh dan

didapat rata-rata jumlah panen cengkeh adalah 126,12 kg/ha/tahun dengan harga

jual rata-rata Rp 106.000/kg.

Page 57: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

57

Tabel 15. Total penerimaan per hektar yang diperoleh dari penjualan biji kakao dan

hasil tanaman pelindung.

Umur tanaman

(tahun)

Penerimaan dari

biji kakao (Rp)

Penerimaan dari

tanaman pelindung (Rp)

Total Penerimaan

(Rp)

1 2.854.676 2.854.676

2 3.838.760 3.838.760

3 641.007 2.817.458 3.458.465

4 1.564.511 9.784.173 11.348.683

5 2.174.591 10.593.283 12.767.874

6 3.578.072 11.568.345 15.146.417

7 3.907.473 15.619.504 19.526.977

8 4.389.000 14.676.835 19.065.835

9 4.273.381 9.794.964 14.068.345

10 5.128.058 6.115.108 11.243.165

11 5.769.065 8.107.914 13.876.978

12 3.608.633 13.788.969 17.397.602

13 6.623.741 6.453.237 13.076.978

14 5.697.842 4.136.691 9.834.532

15 6.837.410 12.410.072 19.247.482

16 6.077.698 6.205.036 12.282.734

17 6.077.698 7.280.576 13.358.273

18 2.962.878 12.244.604 15.207.482

19 6.077.698 11.654.676 17.732.374

20 6.356.655 17.266.187 23.622.842

21 13.381.295 13.381.295

22 12.345.324 12.345.324

23 18.992.806 18.992.806

24 21.582.734 21.582.734

25 11.654.676 11.654.676

Keterangan: nilai ini merupakan hasil estimasi trend

Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa pendapatan tertinggi didapat pada saat umur

tanaman kakao 16 tahun, yaitu sebesar Rp 6.539.568. Hal ini dikarenakan pada saat

tanaman berumur 16 tahun terjadi produksi kakao yang tinggi dan diiringi biaya yang

rendah. Pada saat tanaman berumur 1 tahun, petani masih merugi, karena tanaman

kakao belum berproduksi dan biaya investasi yang dikeluarkan pada tahun tersebut

belum dapat ditutupi oleh pendapatan dari hasil tanaman pelindung.

Page 58: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

58

Tabel 16. Biaya total, penerimaan, dan pendapatan per hektar petani kakao gapoktan

Tulung agung pada harga aktual rata-rata.

Umur tanaman

(Tahun)

Total biaya (Rp) Total penerimaan

(Rp)

Total

Pendapatan (Rp)

1 2.938.129 0 -2.938.129

2 231.331 0 -231.331

3 231.331 0 -231.331

4 220.123 641.007 420.884

5 220.123 1.564.511 1.344.388

6 268.688 2.174.591 1.905.903

7 365.656 3.578.072 3.212.415

8 230.112 3.907.473 3.677.361

9 513.429 4.389.000 3.875.571

10 148.434 4.273.381 4.124.947

11 517.050 5.128.058 4.611.007

12 148.434 5.769.065 5.620.631

13 849.880 3.608.633 2.758.753

14 148.434 6.623.741 6.475.307

15 369.486 5.697.842 5.328.356

16 297.842 6.837.410 6.539.568

17 148.434 6.077.698 5.929.264

18 148.434 6.077.698 5.929.264

19 134.892 2.962.878 2.827.986

20 148.434 6.077.698 5.929.264

Page 59: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

59

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah:

1. Karakteristik petani dalam melakukan kegiatan hutan kemasyarakatan di Kabupaten

Tanggamus meliputi umur, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan, pengalaman

berusahatani.

2. Penerimaan usahatani di kawasan HKm sebesar Rp. 38.521.323,25 sementara pendapatan

bersih sebesar Rp 34.971.323,00 pertahun per rata-rata usaha tani. Selisih ini dengan

tidak memperhitungkan upah tenaga kerja dalam keluarga. Pendapatan akan menjadi

lebih kecil apabila petani menggunakan jasa ijon/pedagang perantara untuk

memperoleh pupuk karena akan diperhitungkan dengan bon pembelian pupuk yang

lebih tinggi dari harga pasar, serta nilai jual yang tidak bersaing.

B. Rekomendasi

Rekomendasi yang dapat diberikan pada penelitian ini didasarkan dari hasil temuan yang

diperoleh adalah:

1. Pendapatan usahatani yang relatif masih rendah. Banyak hal yang menjadi penyebab

rendahnya pendapatan usahatani responden selain disebabkan oleh rendahnya produksi

tanaman tajuk tengah yang juga berfungsi sebagai tanaman yang sangat diandalkan. Juga

keterbatasan sarana produksi. Oleh sebab itu, hendaknya diupayakan untuk agar petani

HKm mendapatkan jatah ketersediaan pupuk sehingga tidak kesulitan dalam memenuhi

kebutuhan usahataninya, serta tidak terjerat dalam sistem ijon. Untuk memperkuat sistem

kelembagaan petani juga diperlukan koperasi yang aktif, serta tetep melakukan pelatihan

dan pengembangan budidaya dan teknologi tanaman yang ada di kawasan register seperti

kopi, kakao, pisang dll. Diharapkan dengen memperhatikan hal-hal tersebut petani dapat

Page 60: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

60

mengelola usahataninya dengan optimal sehingga produksi usahatani juga optimal.

Produksi yang optimal pendapatan usahatani pun dapat optimal yang pada akhirnya

tujuan hutan kemasyarakatan dapat tercapai yakni hutan lestari dan masyarakat sejahtera

Keberadaan Hutan kemasyarakatan merupakan upaya pemerintah untuk pemberdayaan

masyarakat yang terlanjur berada didalam hutan, dengan memberikan akses mengolah

sumberdaya dan meningkatkan kapasitas usahatani. Kondisi ini harus dimanfaatkan

dengan baik agar dapat mendapat hasil yang maksimal, baik bagi petani sebagai pelaku

maupun daerah sebagai pemilik sumberdaya. Untuk itu wirausaha kehutanan merupakan

model yang berpeluang untuk dikembangkan.

Page 61: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

61

DAFTAR PUSTAKA

Alkadri, Muchdie, dan Suhandojo, editor. 2001. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Ed ke-2

(rev). Jakarta: Pusat Pengkajian KTPW BPPT.

Anonim, 1999. Undang-undang RI Nomor Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Anonim, 1997. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 49/Kpts-II/1997

tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat.

Aronoff. 1993. Geographic Information System : A Management Perspective.

Ottawa, Canada : WDL. Publication.

(APHI) Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. 1995. Pemanfaatan Produk Hutan Rakyat

sebagai Pemasok Bahan Baku Industri. Makalah Utama pada Seminar Pengembangan

Hutan Rakyat di Bandung. Direktorat Jenderal RRL, Departemen Kehutanan, Jakarta.

Attar, M. 2000. Hutan Rakyat : Kontribusi Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani dan

Perannya dalam Perekonomian Desa. P3KM Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.

BAPPEDA Kabupaten Sukabumi. 2006. Laporan FGD (Focus Group Discussion) Penentuan

Komoditas Unggulan Daerah. Tidak diterbitkan.

Barus B, Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografi, Sarana Managemen

Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

BPS Sukabumi. 2006. Sukabumi Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Sukabumi. Sukabumi.

Butler, BJ dan Leatherberry, EC. 2004. America’sfamily forest owners. Journal of Forestry

102(7):4–14. Diakses dari www. Sagepub.com 24 Pebruari 2008.

De Foresta H, Kusworo A, Michon G dan Djatmiko WA, 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan

– Agroforest Khas Indonesia – Sebuah Sumbangan Masyarakat. ICRAF, Bogor.

Departemen Kehutanan. 1995. Hutan Rakyat. Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Jakarta.

Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. 2005. Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi

Pemerintah. Tidak diterbitkan.

Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. 2006. Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi

Pemerintah. Tidak diterbitkan. 97

Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. 2007. Laporan Produksi Kayu Rakyat. Tidak

diterbitkan.

Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. 2002. Informasi Kayu Perdagangan. Dinas Kehutanan

Propinsi Jawa Barat. Bandung.

Page 62: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

62

Diniyati D, Yuliani SE, Suyarno, dan Badrunasar A. 2004. Info Teknis PolaTanam Hutan

Rakyat di Jawa Dalam Rangka Meningkatkan Pendapatan Petani. Buletin Al-Basia

Vol. I No.4 4 Desember 2004. Loka Penelitian dan Pengembangan Hutan Monsoon

Ciamis.

Direktorat Hutan Tanaman Industri. 1991. Teknik Pembuatan Tanaman Jati. Diterbitkan oleh

Pusat Penyuluhan Kehutanan. Departemen Kehutanan Jakarta.

Djaenudin D, Sulaeman Y, Abdurachman A. 2002. Pendekatan Pewilayahan Komoditas

Pertanian Menurut Pedo-Agroklimat di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Litbang

Pertanian 21(1):1-10. http:// www.litbang deptan.go.id. [18 Mei 2007].

F.A.O. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bull. No. 32.Rome, 72 pp. and

ILRI Publication No.22, Wageningen.

Hardjowigeno S dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna

Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Managemen Sumberdaya Lahan. Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hardjowigeno S. 1987. Ilmu Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

_____________ 1993. Klasifikasi Tanah dan Morfologi. Akademi Press. Jakarta.

Helmiyati. 1998. Morfologi dan Klasifikasi Tanah pada Sepanjang Transek Lereng di Kebun

Percobaan IPB Dramaga. Skripsi. Jurusan Tanah. Faperta IPB. Bogor.

Hendayana R. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan Komoditas

Unggulan Nasional. Informatika Pertanian 12:1-21. http://www.litbang deptan.go.id.

[4 Mei 2007]

.

Mardikanto T. 1995. Aspek Sosial Ekonomi Pengusahaan Hutan Rakyat. Makalah Utama

pada Seminar Pengembangan Hutan Rakyat di Bandung. Direktorat Jenderal RRL,

Departemen Kehutanan, Jakarta.

Mindawati N, Lestari TH. 2001. Aspek Silvikultur Jenis Khaya, Mahoni dan Meranti.

Makalah Seminar. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian 6 Desember 2001.

Pengembangan Jenis Tanaman Potensial. Balibanghut. Bogor. 98

Mulyani A, Suhardjo H. 1994. Karakteristik Tanah di Lahan Kering Marginal Propinsi

Jambi. Prosiding Penanganan Lahan Kering Marginal melalui Pola Usahatani Terpadu

di Jambi, Jambi 2 Juli 1994. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, 1994.

Prahasta E. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis, Informatika Bandung.

Pusat Penyuluhan Kehutanan. 1996. Materi Penyuluhan Kehutanan.Departemen Kehutanan.

Jakarta.

Page 63: LAPORAN PENELITIAN KAJIAN HUTAN …eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian sosekbud reg.39.pdf · KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN PADA

63

Puslit Sosek Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Hutan Rakyat sebagai Salah Satu Sumber

PAD : Sebuah Tantangan di Masa Depan. Makalah Utama dalam Seminar Upaya

Peningkatan PAD Melalui Pembangunan Hutan Rakyat dalam Mendukung Otonomi

Daerah. Bogor, 5 Desember 2000. Balitbang Kehutanan. Bogor.

Rachim DA, Suwardi. 1999. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas

Pertanian IPB. Bogor.

Rachim DA. 2001. Mengenal Taksonomi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian IPB.

Bogor.

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.

Bogor: Faperta IPB. Bogor

Simon, H. 1995. Strategi Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat. Makalah Utama pada

Seminar Pengembangan Hutan Rakyat di Bandung, Tanggal 5 – 6 Desember 1995.

Direktorat Jenderal RRL, Departemen Kehutanan, Jakarta.

Sinha H, Suar H. 2005. Leadership and people's participation in community forestry.

International Journal Of Rural Management, I (I) 2005. Diakses dari www.

Sagepub.com 4 April 2007.

Sitorus SRP. 1989. Survai Tanah dan Penggunaan Lahan. Laboratorium Perencanaan

Pengembangan Sumberdaya Lahan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat di Jawa Peranannya dalam Perekonomian Desa. P3KM

Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.

Sutara. 1996. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya. Program Pascasarjana. Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Tan KH. 1998. Andosol. Northern Sumatera University Press. Medan.

Tinambunan D, Mustari T, Waskhito B. 1995. Program Pengembangan UsahaHutan Rakyat :

Suatu Tinjauan Sosio-Ekonomi dan Kelembagaan