LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI FISIOLOGI MANUSIAPEMERIKSAAN
PENDENGARAN DAN PENGLIHATAN
Nama Anggota:Lailatun Nimah (2443013259)Yetik
Oktavia(2443013298)Thresna Loko Demu (2443013209)Lina Melati
(2443013131)Wiwid Widiastutik (2443013325)Patrikus Mario Guido
Tio(2443013227)
HARI/GOLONGAN/KELOMPOK: RABU/Y/2FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS
KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA2014I. TUJUAN Mahasiswa dapat
melakukan pemeriksaan fungsi pendengaran. Mahasiswa mampu melakukan
uji buta warnaII. DASAR TEORI
A. TelingaAnatomi Telinga Luar Telinga luar terdiri dari
aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan dipisahkan dari
telinga tengah oleh membrana timpani. Aurikula berfungsi untuk
membantu pengumpulan gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan
dihantarkan ke telinga bagian tengah melalui kanalis auditorius
eksternus. Tepat di depan meatus auditorius eksternus terdapat
sendi temporal mandibular (Kumar, 2005). Kanalis auditorius
eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit
melekat. Dua pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi
kulit tipis. Kanalis auditorius eksternus berakhir pada membrana
timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula
seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut
serumen. Serumen mempunyai sifat antibakteri dan memberikan
perlindungan bagi kulit (Kumar, 2005).Anatomi Telinga Tengah Bagian
atas membrana timpani disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawah
pars tensa. Pars flaksida mempunyai dua lapisan, yaitu bagian luar
ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi
oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars
tensa mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu lapisan yang
terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam
(Sherwood, 2002).Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang
pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus,
dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling
berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada membrana timpani,
maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes
terletak pada tingkap oval yang berhubungan dengan koklea. Hubungan
antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba
eustachius termasuk dalam telinga tengah menghubungkan daerah
nasofaring dengan telinga tengah (Hall, 1987).
Anatomi Telinga Dalam Koklea bagian tulang dibagi menjadi dua
lapisan oleh suatu sekat. Bagian dalam sekat ini adalah lamina
spiralis ossea dan bagian luarnya adalah lamina spiralis
membranasea. Ruang yang mengandung perilimfe terbagi dua, yaitu
skala vestibuli dan skala timpani. Kedua skala ini bertemu pada
ujung koklea yang disebut helikotrema (Rambe, 2003).Skala vestibuli
berawal pada foramen ovale dan skala timpani berakhir pada foramen
rotundum. Pertemuan antara lamina spiralis ossea dan membranasea
kearah perifer membentuk suatu membrana yang tipis yang disebut
membrana Reissner yang memisahkan skala vestibuli dengan skala
media (duktus koklearis). Duktus koklearis berbentuk segitiga,
dihubungkan dengan labirin tulang oleh jaringan ikat penyambung
periosteal dan mengandung end organ dari nervus koklearis dan organ
Corti. Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan
perantaraan duktus Reuniens (Rambe, 2003).Organ Corti terletak di
atas membrana basilaris yang mengandung organel-organel yang
penting untuk mekenisma saraf perifer pendengaran. Organ Corti
terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi kira-kira 3000
sel dan tiga baris sel rambut luar yang berisi kira-kira 12.000
sel. Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan horisontal
dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong.
Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut.
Pada permukaan sel rambut terdapat strereosilia yang melekat pada
suatu selubung yang cenderung datar yang dikenal sebagai membrana
tektoria. Membrana tektoria disekresi dan disokong oleh limbus
(Liston, 1997).Fisiologi Pendengaran Normal Getaran suara ditangkap
oleh daun telinga yang diteruskan ke liang telinga dan mengenai
membrana timpani sehingga membrana timpani bergetar. Getaran ini
diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama
lain. Selanjutnya, stapes menggerakkan foramen ovale yang juga
menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan
melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfe dan membrana
basalis ke arah bawah. Perilimfe dalam skala timpani akan bergerak
sehingga foramen rotundum terdorong ke arah luar (Tortora, 2009).
Pada waktu istirahat, ujung sel rambut Corti berkelok dan dengan
terdorongnya membrana basal, ujung sel rambut itu menjadi lurus.
Rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat
adanya perbedaan ion Natrium dan Kalium yang diteruskan ke
cabang-cabang nervus vestibulokoklearis. Kemudian meneruskan
rangsangan itu ke pusat sensorik pendengaran di otak melalui saraf
pusat yang ada di lobus temporalis (Tortora, 2009). Definisi
Gangguan Pendengaran Gangguan pendengaran menggambarkan kehilangan
pendengaran di salah satu atau kedua telinga. Tingkat penurunan
gangguan pendengaran terbagi menjadi ringan, sedang, sedang berat,
berat, dan sangat berat (Khabori, 2004)Klasifikasi derajat gangguan
pendengaran menurut International Standard Organization (ISO) dan
American Standard Association (ASA)
Gangguan Pendengaran Jenis Konduktif Pada gangguan pendengaran
jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat mencapai telinga
dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa gangguan atau
lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang
telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda, dan tuba
auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa komplikasi) biasanya tidak
ada kerusakan pada telinga dalam, maupun jalur persyarafan
pendengaran nervus vestibulokoklearis (N.VIII) (Lalwani,
2008).Gejala yang ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini
adalah seperti berikut: 1. Ada riwayat keluarnya carian dari
telinga atau riwayat infeksi telinga sebelumnya.2. Perasaan seperti
ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak dengan perubahan
posisi kepala.3. Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah
atau mendengung).4. Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita
berbicara dengan suara lembut (soft voice) khususnya pada penderita
otosklerosis.5. Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada
suasana ramai (Lalwani, 2008).Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi,
dijumpai ada sekret dalam kanal telinga luar, perforasi gendang
telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Kanal
telinga luar atau selaput gendang telinga tampak normal pada
otosklerosis. Pada otosklerosis terdapat gangguan pada rantai
tulang pendengaran (Lalwani, 2008).Pada tes fungsi pendengaran,
yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara
bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang
mengandung nada rendah. Melalui tes garputala dijumpai Rinne
negatif. Dengan menggunakan garputala 250 Hz dijumpai hantaran
tulang lebih baik dari hantaran udara dan tes Weber didapati
lateralisasi ke arah yang sakit. Dengan menggunakan garputala 512
Hz, tes Scwabach didapati Schwabach memanjang (Soepardi, 2001).
Gangguan Pendengaran Jenis Sensorineural Gangguan pendengaran jenis
ini umumnya irreversibel. Gejala yang ditemui pada gangguan
pendengaran jenis ini adalah seperti berikut: 1. Bila gangguan
pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara percakapan
penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti suasana
yang tegang dibanding orang normal. Perbedaan ini lebih jelas bila
dibandingkan dengan suara yang lembut dari penderita gangguan
pendengaran jenis hantaran, khususnya otosklerosis.2. Penderita
lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan dalam
suasana gaduh dibanding suasana sunyi.3. Terdapat riwayat trauma
kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian obat-obat ototoksik,
ataupun penyakit sistemik sebelumnya (Soetirto, 2001).Pada
pemeriksaan fisik atau otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput
gendang telinga tampak normal. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu
tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar percakapan
bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang
mengundang nada tinggi (huruf konsonan) (Soetirto, 2001).Pada tes
garputala Rinne positif, hantaran udara lebih baik dari pada
hantaran tulang. Tes Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat.
Tes Schwabach ada pemendekan hantaran tulang (Soetirto,
2001).Gangguan Pendengaran Jenis Campuran Gangguan jenis ini
merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis konduktif dan
gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula gangguan
pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya
otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan
sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan
pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan
gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi
otitis media. Kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama.
Misalnya trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah
dan telinga dalam (Liston, 1997).Gejala yang timbul juga merupakan
kombinasi dari kedua komponen gejala gangguan pendengaran jenis
hantaran dan sensorineural. Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi
tanda-tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan pendengaran
jenis sensorineural. Pada tes bisik dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar
kata-kata baik yang mengandung nada rendah maupun nada tinggi. Tes
garputala Rinne negatif. Weber lateralisasi ke arah yang sehat
Schwabach memendek (Bhargava, 2002). Pemeriksaan dan Diagnosis
Gangguan Pendengaran Diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik atau otoskopi telinga, hidung dan tenggorok, tes pendengarn,
yaitu tes bisik, tes garputala dan tes audiometri dan pemeriksaan
penunjang. Tes bisik merupakan suatu tes pendengaran dengan
memberikan suara bisik berupa kata-kata kepada telinga penderita
dengan jarak tertentu. Hasil tes berupa jarak pendengaran, yaitu
jarak antara pemeriksa dan penderita di mana suara bisik masih
dapat didengar enam meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 5/6
6/6 (Guyton, 2007).Tes garputala merupakan tes kualitatif.
Garputala 512 Hz tidak terlalu dipengaruhi suara bising
disekitarnya. Cara melakukan tes Rinne adalah penala digetarkan,
tangkainya diletakkan di prosesus mastoideus. Setelah tidak
terdengar penala dipegang di depan teling kira-kira 2 cm. Bila
masih terdengar disebut Rinne positif. Bila tidak terdengar disebut
Rinne negatif (Guyton, 2007).Cara melakukan tes Weber adalah penala
digetarkan dan tangkai garputala diletakkan di garis tengah kepala
(di vertex, dahi, pangkal hidung, dan di dagu). Apabila bunyi
garputala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut
Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan
ke arah teling mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak
ada lateralisasi (Liston, 1997).Cara melakukan tes Schwabach adalah
garputala digetarkan, tangkai garputala diletakkan pada prosesus
mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai garputala
segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang
pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garputala
diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila
penderita masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang
dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya
disebut Schwabach sama dengan pemeriksa (Liston, 1997).Tes
audiometri merupakan tes pendengaran dengan alat elektroakustik.
Tes ini meliputi audiometri nada murni dan audometri nada tutur.
Audiometri nada murni dapat mengukur nilai ambang hantaran udara
dan hantaran tulang penderita dengan alat elektroakustik. Alat
tersebut dapat menghasilkan nada-nada tunggal dengan frekuensi dan
intensitasnya yang dapat diukur. Untuk mengukur nilai ambang
hantaran udara penderita menerima suara dari sumber suara lewat
heaphone, sedangkan untuk mengukur hantaran tulangnya penderita
menerima suara dari sumber suara lewat vibrator (Liston,
1997).Manfaat dari tes ini adalah dapat mengetahui keadaan fungsi
pendengaran masing-masing telinga secara kualitatif (pendengaran
normal, gangguan pendengaran jenis hantaran, gangguan pendengaran
jenis sensorineural, dan gangguan pendengaran jenis campuran).
Dapat mengetahui derajat kekurangan pendengaran secara kuantitatif
(normal, ringan, sedang, sedang berat, dan berat) (Bhargava,
2002).Penyakit yang Menyebabkan Gangguan Pendengaran Penyakit
telinga dapat menyebabkan tuli konduktif atau tuli sensorineural.
Tuli konduktif, disebabkan kelainan terdapat di telinga luar atau
telinga tengah. Telinga luar yang menyebabkan tuli konduktif adalah
atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna
sirkumskripta dan osteoma liang telinga. Kelainan di telinga tengah
yang menyebabkan tuli konduktif adalah sumbatan tuba eustachius,
otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum dan
dislokasi tulang pendengaran (Maqbool, 2000).Tuli sensorineural
dibagi dalam tuli sensorineural koklea dan retrokoklea. Tuli
sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital),
labirintitis (oleh bakteri atau virus) dan intoksikasi obat
(streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin, kina, asetosal, atau
alcohol). Selain itu, dapat juga disebabkan oleh tuli mendadak
(sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik dan pajanan
bising (Maqbool, 2000).Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan
oleh neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum, myeloma multiple,
cedera otak, perdarahan otak, dan kelainan otak lainnya. Kerusakan
telinga oleh obat, pengaruh suara keras, dan usia lanjut akan
menyebabkan kerusakan pada penerimaan nada tinggi di bagian basal
koklea. Presbikusis ialah penurunan kemampuan mendengar pada usia
lanjut. Pada trauma kepala dapat terjadi kerusakan di otak karena
hematoma, sehingga terjadi gangguan pendengaran (Maqbool,
2000).
B. MATAFisiologi Mata Mata adalah organ fotosensitif yang sangat
berkembang dan rumit, yang memungkinkan analisis cermat dari
bentuk, intensitas cahaya, dan warna yang dipantulkan objek. Mata
terletak dalam struktur bertulang yang protektif di tengkorak,
yaitu rongga orbita. Setiap mata terdiri atas sebuah bola mata
fibrosa yang kuat untuk mempertahankan bentuknya, suatu sistem
lensa untuk memfokuskan bayangan, selapis sel fotosensitif, dan
suatu sistem sel dan saraf yang berfungsi mengumpulkan, memproses,
dan meneruskan informasi visual ke otak (Sherwood, 2001).Tidak
semua cahaya yang melewati kornea mencapai fotoreseptor peka cahaya
karena adanya iris, suatu otot polos tipis berpigmen yang membentuk
struktur seperti cincin di dalam aqueous humour. Lubang bundar di
bagian tengah iris tempat masuknya cahaya ke bagian dalam mata
adalah pupil. Iris mengandung dua kelompok jaringan otot polos,
satu sirkuler dan yang lain radial. Karena serat-serat otot
memendek jika berkontraksi, pupil mengecil apabila otot sirkuler
berkontraksi yang terjadi pada cahaya terang untuk mengurangi
jumlah cahaya yang masuk ke mata. Apabila otot radialis memendek,
ukuran pupil meningkat yang terjadi pada cahaya temaram untuk
meningkatkan jumlah cahaya yang masuk (Sherwood, 2001). Untuk
membawa sumber cahaya jauh dan dekat terfokus di retina, harus
dipergunakan lensa yang lebih kuat untuk sumber dekat. Kemampuan
menyesuaikan kekuatan lensa sehingga baik sumber cahaya dekat
maupun jauh dapat difokuskan di retina dikenal sebagai akomodasi.
Kekuatan lensa bergantung pada bentuknya, yang diatur oleh otot
siliaris. Otot siliaris adalah bagian dari korpus siliaris, suatu
spesialisasi lapisan koroid di sebelah anterior. Pada mata normal,
otot siliaris melemas dan lensa mendatar untuk penglihatan jauh,
tetapi otot tersebut berkontraksi untuk memungkinkan lensa menjadi
lebih cembung dan lebih kuat untuk penglihatan dekat. Serat-serat
saraf simpatis menginduksi relaksasi otot siliaris untuk
penglihatan jauh, sementara sistem saraf parasimpatis menyebabkan
kontraksi otot untuk penglihatan dekat (Sherwood, 2001).Definisi
Buta WarnaButa warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak
sempurna. Buta warna juga dapat diartikan sebagai suatu kelainan
penglihatan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut (cone
cell) pada retina mata untuk menangkap suatu spektrum warna
tertentu sehingga objek yang terlihat bukan warna yang sesungguhnya
(Guyton, 1997).Anatomi MataRetina adalah selembar tipis jaringan
saraf yang semitransparan, dan multilapis yang melapisi bagian
dalam dua per tiga posterior dinding bola mata, mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya (Ilyas, 2008). Retina merupakan
bagian mata yang peka terhadap cahaya, mengandung sel-sel kerucut
yang berfungsi untuk penglihatan warna dan sel-sel batang yang
terutama berfungsi untuk penglihatan dalam gelap (Guyton,
1997).Retina terdiri atas pars pigmentosa disebelah luar dan pars
nervosa di sebelah dalam. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk
dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga bertumpuk
dengan membrana Bruch, khoroid, dan sclera, dan permukaan dalam
berhubungan dengan corpus vitreum (Guyton, 1997).
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai
berikut: 1. Membrana limitans interna2. Lapisan serat saraf, yang
mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju ke nervus
optikus 3. Lapisan sel ganglion 4. Lapisan pleksiformis dalam, yang
mengandung sambungan-sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan
sel bipolar 5. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan
sel horizontal 6. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung
sambungan-sambungan sel bipolar dan sel horizontal dengan
fotoreseptor 7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor 8. Mambrana
limitans eksterna9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar sel
kerucut10. Epithelium pigmen retina. Lapisan dalam membrane Bruch
sebenarnya adalah membrane basalis epithelium pigmen retina
(Vaughan, 2000).Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan
0,23 mm pada kutub posterior. Tiga per empat posterior retina
merupakan organ reseptor. Pinggir anteriornya membentuk cincing
berombak, disebut ora serrata, yang merupakan ujung akhir pars
nervosa. Bagian anterior retina bersifat tidak peka dan hanya
terdiri atas sel-sel berpigmen dengan lapisan silindris di
bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi prosessus siliaris
dan belakang iris (Vaughan, 2000).Pada pertengahan bagian posterior
retina terdapat daerah lonjong kekuningan, disebut macula lutea,
yang merupakan area retina dengan daya lihat paling jelas. Secara
klinis, makula adalah daerah yang dibatasi oleh arkade-arkade
pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula, sekitar 3,5 mm di
sebelah lateral diskus optikus, terdapat lekukan, disebut fovea
centralis. Secara histologis, fovea ditandai dengan menipisnya
lapisan inti luar dan tidak adanya lapisan-lapisan parenkim karena
akson-akson sel fotoreseptor (lapisan serat Henle) berjalan oblik
dan pengeseran secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat
ke permukaan dalam retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada
fovea, di sini fotoreseptornya adalah sel kerucut, dan bagian
retina paling tipis (Vaughan, 2000).Retina menerima darah dari dua
sumber: khoriokapilaria yang berada tepat di luar membrana Bruch,
yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiformis
luar dan lapisan inti luar, foto reseptor, dan lapisan epitel
pigmen retina; serta cabang-cabang dari arteri sentralis retina,
yang mendarahi dua per tiga sebelah dalam (Vaughan, 2000).Fisiologi
Mata (Retina)Penglihatan bergantung pada stimulasi fotoreseptor
retina oleh cahaya. Benda-benda tertentu di lingkungan, misalnya
matahari, api, dan bola lampu, memancarkan cahaya. Pigmen-pigmen di
berbagai benda secara selektif menyerap panjang gelombang tertentu
cahaya yang datang dari sumber-sumber cahaya, dan panjang gelombang
yang tidak diserap dipantulkan dari permukaan benda. Berkas-berkas
cahaya yang dipantulkan inilah yang memungkinkan kita melihat benda
tersebut. Suatu benda yang tampak biru menyerap panjang gelombang
cahaya merah dan hijau yang lebih panjang dan memantulkan panjang
gelombang biru yang lebih pendek, yang dapat diserap oleh
fotopigmen di sel-sel kerucut biru mata, sehingga terjadi
pengaktifan sel-sel tersebut (Sherwood, 2001). Penglihatan warna
diperankan oleh sel kerucut yang mempunyai pigmen terutama cis
aldehida A2. Penglihatan warna merupakan kemampuan membedakan
gelombang sinar yang berbeda. Warna ini terlihat akibat gelombang
elektromagnetnya mempunyai panjang gelombang yang terletak antara
440-700 (Ilyas, 2008).Warna primer yaitu warna dasar yang dapat
memberikan jenis warna yang terlihat dengan campuran ukuran
tertentu. Pada sel kerucut terdapat 3 macam pigmen yang dapat
membedakan warna dasar merah, hijau dan biru. 1. Sel kerucut yang
menyerap long-wavelength light (red)2. Sel kerucut yang menyerap
middle- wavelength light (green)3. Sel kerucut yang menyerap
short-wavelength light (blue) (Ilyas, 2008).Ketiga macam pigmen
tersebut membuat kita dapat membedakan warna mulai dari ungu sampai
merah. Untuk dapat melihat normal, ketiga pigmen sel kerucut harus
bekerja dengan baik. Jika salah satu pigmen mengalami kelainan atau
tidak ada, maka terjadi buta warna (Ilyas, 2008).Warna komplemen
ialah warna yang bila dicampur dengan warna primer akan berwarna
putih. Putih adalah campuran semua panjang gelombang cahaya,
sedangkan hitam tidak ada cahaya (Ilyas, 2008).Gelombang
elektromagnit yang diterima pigmen akan diteruskan rangsangannya
pada korteks pusat penglihatan warna di otak. Bila panjang
gelombang terletak di antara kedua pigmen maka akan terjadi
penggabungan warna (Ilyas, 2008).Seseorang yang mampu membedakan
ketiga macam warna, disebut sebagai trikromat. Dikromat adalah
orang yang dapat membedakan 2 komponen warna dan mengalami
kerusakan pada 1 jenis pigmen kerucut. Kerusakan pada 2 pigmen sel
kerucut akan menyebabkan orang hanya mampu melihat satu komponen
yang disebut monokromat. Pada keadaan tertentu dapat terjadi
seluruh komponen pigmen warna kerucut tidak normal sehingga pasien
tidak dapat mengenal warna sama sekali yang disebut sebagai
akromatopsia (Ilyas, 2008).Etiologi Buta warna karena herediter
dibagi menjadi tiga: monokromasi (buta warna total), dikromasi
(hanya dua sel kerucut yang berfungsi), dan anomalus trikromasi
(tiga sel kerucut berfungsi, salah satunya kurang baik). Dari semua
jenis buta warna, kasus yang paling umum adalah anomalus
trikromasi, khususnya deutranomali, yang mencapai angka 5% dari
pria. Sebenarnya, penyebab buta warna tidak hanya karena ada
kelainan pada kromosom X, namun dapat mempunyai kaitan dengan 19
kromosom dan gen-gen lain yang berbeda. Beberapa penyakit yang
diturunkan seperti distrofi sel kerucut dan akromatopsia juga dapat
menyebabkan seseorang menjadi buta warna (Ilyas, 2008).Gen buta
warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linked genes). Jadi
kemungkinan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena
buta warna secara turunan lebih besar dibandingkan wanita yang
bergenotif XX untuk terkena buta warna. Jika hanya terkait pada
salah satu kromosom X nya saja, wanita disebut carrier atau
pembawa, yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak-anaknya.
Menurut salah satu riset 5-8% pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta
warna. Dan 99% penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia,
dan deuteranopia (Ilyas, 2008).Dua gen yang berhubungan dengan
munculnya buta warna adalah OPN1LW (Opsin 1 Long Wave), yang
menyandi pigmen merah dan OPN1MW (Opsin 1 Middle Wave), yang
menyandi pigmen hijau (Ilyas, 2008).Buta warna dapat juga ditemukan
pada penyakit makula, saraf optik, sedang pada kelainan retina
ditemukan cacat relative penglihatan warna biru dan kuning sedang
kelainan saraf optik memberikan kelainan melihat warna merah dan
hijau (Ilyas, 2008).Klasifikasi Buta Warna Buta warna dikenal
berdasarkan istilah Yunani protos (pertama), deutros (kedua), dan
tritos (ketiga) yang pada warna 1. Merah, 2. Hijau, 3. Biru. 1.
Anomalous trichromacyAnomalous trichromacy adalah gangguan
penglihatan warna yang dapat disebabkan oleh faktor keturunan atau
kerusakan pada mata setelah dewasa. Penderita anomalous trichromacy
memiliki tiga sel kerucut yang lengkap, namun terjadi kerusakan
mekanisme sensitivitas terhadap salah satu dari tiga sel reseptor
warna tersebut.Pasien buta warna dapat melihat berbagai warna akan
tetapi dengan interpretasi berbeda daripada normal yang paling
sering ditemukan adalah: a. Trikromat anomali, kelainan terdapat
pada short-wavelenght pigment (blue). Pigmen biru ini bergeser ke
area hijau dari spectrum merah. pasien mempunyai ketiga pigmen
kerucut akan tetapi satu tidak normal, kemungkinan gangguan dapat
terletak hanya pada satu atau lebih pigmen kerucut. Pada anomali
ini perbandingan merah hijau yang dipilih pada anomaloskop berbeda
dibanding dengan orang normal. b. Deutronomali, disebabkan oleh
kelainan bentuk pigmen middle-wavelenght (green). Dengan cacat pada
hijau sehingga diperlukan lebih banyak hijau, karena terjadi
gangguan lebih banyak daripada warna hijau. c. Protanomali adalah
tipe anomalous trichromacy dimana terjadi kelainan terhadap
long-wavelenght (red) pigmen, sehingga menyebabkan rendahnya
sensitifitas warna merah. Artinya penderita protanomali tidak akan
mempu membedakan warna dan melihat campuran warna yang dilihat oleh
mata normal. Penderita juga akan mengalami penglihatan yang buram
terhadap warna spektrum merah. Hal ini mengakibatkan mereka dapat
salah membedakan warna merah dan hitam. 2. DichromacyDichromacy
adalah jenis buta warna di mana salah satu dari tiga sel kerucut
tidak ada atau tidak berfungsi. Akibat dari disfungsi salah satu
sel pigmen pada kerucut, seseorang yang menderita dikromatis akan
mengalami gangguan penglihatan terhadap warna-warna tertentu.
Dichromacy dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan pigmen yang
rusak: a. Protanopia adalah salah satu tipe dichromacy yang
disebabkan oleh tidak adanya photoreceptor retina merah. Pada
penderita protonopia, penglihatan terhadap warna merah tidak ada.
Dichromacy tipe ini terjadi pada 1 % dari seluruh pria. Keadaan
yang paling sering ditemukan dengan cacat pada warna merah hijau
sehingga sering dikenal dengan buta warna merah - hijau.b.
Deutranopia adalah gangguan penglihatan terhadap warna yang
disebabkan tidak adanya photoreceptor retina hijau. Hal ini
menimbulkan kesulitan dalam membedakan hue pada warna merah dan
hijau (red-green hue discrimination). c. Tritanopia adalah keadaan
dimana seseorang tidak memiliki short-wavelength cone. Seseorang
yang menderita tritanopia akan kesulitan dalam membedakan warna
biru dan kuning dari spektrum cahaya tanpak. Tritanopia disebut
juga buta warna biru-kuning dan merupakan tipe dichromacy yang
sangat jarang dijumpai. 3. MonochromacyMonochromacy atau
akromatopsia adalah keadaan dimana seseorang hanya memiliki sebuah
pigmen cones atau tidak berfungsinya semua sel cones. Pasien hanya
mempunyai satu pigmen kerucut (monokromat rod atau batang). Pada
monokromat kerucut hanya dapat membedakan warna dalam arti
intensitasnya saja dan biasanya 6/30. Pada orang dengan buta warna
total atau akromatopsia akan terdapat keluhan silau dan nistagmus
dan bersifat autosomal resesif Bentuk buta warna dikenal juga : a.
Monokromatisme rod (batang) atau disebut juga suatu akromatopsia di
mana terdapat kelainan pada kedua mata bersama dengan keadaan lain
seperti tajam penglihatan kurang dari 6/60, nistagmus, fotofobia,
skotoma sentral, dan mungkin terjadi akibat kelainan sentral hingga
terdapat gangguan penglihatan warna total, hemeralopia (buta
silang) tidak terdapat buta senja, dengan kelainan refraksi tinggi.
Pada pemeriksaan dapat dilihat adanya makula dengan pigmen
abnormal. b. Monokromatisme cone (kerucut), di mana terdapat hanya
sedikit cacat, hal yang jarang, tajam penglihatan normal, tidak
nistagmus (Ilyas, 2008).
Pemeriksaan Buta WarnaUji Ishihara Merupakan uji untuk
mengetahui adanya defek penglihatan warna, didasarkan pada
menentukan angka atau pola yang ada pada kartu dengan berbagai
ragam warna (Ilyas, 2008).Metode Ishihara yaitu metode yang dapat
dipakai untuk menentukan dengan cepat suatu kelainan buta warna
didasarkan pada pengunaan kartu bertitik-titik. Kartu ini disusun
dengan menyatukan titik-titik yang mempunyai bermacam-macam warna
(Guyton, 1997). Merupakan pemeriksaan untuk penglihatan warna
dengan memakai satu seri gambar titik bola kecil dengan warna dan
besar berbeda (gambar pseudokromatik), sehingga dalam keseluruhan
terlihat warna pucat dan menyukarkan pasien dengan kelainan
penglihatan warna melihatnya. Penderita buta warna atau dengan
kelainan penglihatan warna dapat melihat sebagian ataupun sama
sekali tidak dapat melihat gambaran yang diperlihatkan. Pada
pemeriksaan pasien diminta melihat dan mengenali tanda gambar yang
diperlihatkan dalam waktu 10 detik (Ilyas, 2008).Penyakit tertentu
dapat terjadi ganguan penglihatan warna seperti buta warna merah
dan hijau pada atrofi saraf optik, optik neuropati toksi dengan
pengecualian neuropati iskemik, glaukoma dengan atrofi optik yang
memberikan ganguan penglihatan biru kuning (Ilyas, 2008).
C. ALAT DAN BAHANPada pemeriksaan pendengaran :1. Penala
frekuemsi 100 Hz2. Kapas untuk menyumbat telingaPada pemeriksaan
penglihatan :1. Buku Ishihara Test2. Papan huruf
D. TATA KERJAPada pemeriksaan pendengaran :A. Cara Rinner 1.
Getarkanlah penala (frekuensi 100) dengan memukulkan salah satu
ujung jarinya ke telapak tangan. Jangan sekali-kali memukulnya pada
benda yang keras.2. Tekanlah ujung tangkai penala pada processus
mastoideus salah satu telinga o.p.3. Tanyakanlah pada o.p. apakah
ia mendengar bunyi penala mendengung di telinga yang diperiksa,
bila demikian o.p. harus segera memberi tanda bila dengungan itu
menghilang.4. Pada saat itu pemeriksa mengangkat penala dari
processus mastoideus o.p. dan kemudian ujung jari penala
ditempatkan sedekat-dekatnya di depan liang telinga yang sedang
diperiksa itu.5. Catat hasilnya.Positif: Bila o.p. masih mendengar
dengungan secara hantaran aerotimpanal.Negatif: Bila o.p. tidak
mendengar dengungan secara hantaran aerotimpanal.B. Cara Webber1.
Getarkanlah penala (frekuensi 100) dengan memukulkan salah satu
ujung jarinya ke telapak tangan. Jangan sekali-kali memukulnya pada
benda yang keras.2. Tekankanlah ujung tangkai penala pada dahi o.p.
di garis median.3. Tanyakan kepada o.p. apakah ia mendengar
dengungan bunyi penala sama kuat di kedua telinganya atau terjadi
lateralisasi.4. Bila pada o.p. tidak terdapat lateralisasi, maka
untuk menimbulkan lateralisasi secara buatan, tutuplah salah satu
telinganya dengan kapas dan ulangi pemeriksaan.
C. Cara Schwabach1. Getarkanlah penala (frekuensi 100) dengan
memukulkan salah satu ujung jarinya ke telapak tangan. Jangan
sekali-kali memukulnya pada benda yang keras.2. Tekanlah ujung
tangkai penala pada processus mastoideus salah satu telinga o.p.3.
Suruhlah o.p. mengacungkan tangannya pada saat dengungan bunyi
menghilang.4. Pada saat itu dengan segera pemeriksa memindahkan
penala dari processus mastoideus o.p. processus mastoideus sendiri.
Pada pemeriksaan ini telinga si pemeriksa dianggap normal. Bila
dengungan penala setelah dinyatakan berhenti oleh o.p. masih dapat
didengar oleh si pemeriksa maka hasil pemeriksaan ialah Schwabach
memendek.5. Bila dengungan setelah dinyatakan berhenti oleh si
pemeriksa juga tidak dapat didengar oleh o.p. maka hasil
pemeriksaan adalah Schwabach normal.
Pada pemeriksaan penglihatan :A. TEST JARAK PANDANG1. Pada
percobaan ini o.p. berdiri menghadap papan huruf test jarak pandang
dengan jarak pandang yaitu 6m.2. Salah satu mata o.p. harus ditutup
tetapi bukan memejamkan mata.3. Pengetes menunjuk huruf yang harus
dibaca o.p. mulai dari huruf terbesar hingga terkecil.
B. TEST BUTA WARNA1. Suruh o.p. mengenali angka atau gambar yang
terdapat di dalam buku ishihara test.2. Catat dan analisis hasil
pemeriksaan saudara.
E. HASIL PRAKTIKUMTabel Pengamatan Pemeriksaan Pendengaran
Orang PercobaanCara Rinne
Telinga (penala diTelinga (penala digetarkan pada procegetarkan
lewatssus mastoideus) udara)
Kanan Kiri Kanan Kiri
Cara Webber
Cara Schwabach
(OP1) + + + +
+ + + + + + + +
+ ++ + ++ + ++normal
(OP2)+normal
(OP3)+normal
(OP4)+normal
(OP5)+normal
Tabel Uji Buta Warna Orang percobaanHasil
(OP1)-
(OP2)-
(OP3)-
(OP4)-
(OP5)-
Tabel Uji Dengan Kartu SnellenOrang percobaanBatas Jarak
(OP1)6/20
(OP2)6/3
(OP3)6/3
(OP4)6/3
(OP5)6/20
F. PEMBAHASANDiagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik
atau otoskopi telinga, hidung dan tenggorok, tes pendengarn, yaitu
tes bisik, tes garputala dan tes audiometri dan pemeriksaan
penunjang. Tes bisik merupakan suatu tes pendengaran dengan
memberikan suara bisik berupa kata-kata kepada telinga penderita
dengan jarak tertentu. Hasil tes berupa jarak pendengaran, yaitu
jarak antara pemeriksa dan penderita di mana suara bisik masih
dapat didengar enam meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah 5/6
6/6 (Guyton, 2007).Tes garputala merupakan tes kualitatif.
Garputala 512 Hz tidak terlalu dipengaruhi suara bising
disekitarnya. Cara melakukan tes Rinne adalah penala digetarkan,
tangkainya diletakkan di prosesus mastoideus. Setelah tidak
terdengar penala dipegang di depan teling kira-kira 2 cm. Bila
masih terdengar disebut Rinne positif. Bila tidak terdengar disebut
Rinne negatif (Guyton, 2007).Pada percobaan Rinne membuktikan bahwa
pada saat garpu tala yang bergetar setelah dipukulkan ke telapak
tangan lalu ditempelkan di prosesus mastoideus mendapatkan respon
Rinne positif yang artinya o.p dapat mendengarkan dengungan secara
hantaran aerotimpanal. Hal itu sesuai dengan dasar teori yang
menyatakan bahwa perambatan suara melalui tulang dapat terdengar
dengan baik. Faktor lain yang mempengaruhi adalah rambatan suara
melalui udara, karena rambatan suara melalui udara merupakan
rambatan terbaik.Cara melakukan tes Weber adalah penala digetarkan
dan tangkai garputala diletakkan di garis tengah kepala (di vertex,
dahi, pangkal hidung, dan di dagu). Apabila bunyi garputala
terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber
lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke
arah teling mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak
ada lateralisasi (Liston, 1997).Sedangkan, pada percobaan Webber
membuktikan pada saat garpu tala yang bergetar ditempelkan pada
dahi mendapatkan respon positif juga, yaitu o.p dapat mendengarkan
dengungan secara hantaran aerotimpanal. Pada percobaan ketajaman
pendengaran, o.p. dapat mendengar dengan jarak yang lebih jauh
ketika suasana ruang percobaan tenang. Ketajaman pendengaran
dipengaruhi oleh beberapa hal, oleh kebisingan ruangan dan beberapa
intensitas bunyi yang terdengar.Cara melakukan tes Schwabach adalah
garputala digetarkan, tangkai garputala diletakkan pada prosesus
mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai garputala
segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang
pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garputala
diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila
penderita masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang
dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya
disebut Schwabach sama dengan pemeriksa (Liston, 1997).Pada
percobaan Schwabach membuktikan pada saat garpu tala yang bergetar
kemudian ditempelkan pada processus mastoideus o.p. ke processus
mastoideus pemeriksa hasil pemeriksaannya yaitu Schwabach Normal
dimana artinya, pada pemeriksaan ini dengungan penala setelah
dinyatakan berhenti oleh o.p. juga tidak dapat terdengar oleh si
pemeriksa. Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan
fungsi mata. Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk
mengetahui sebab kelainan mata yang mengakibatkan turunnya tajam
penglihatan. Tajam penglihatan perlu dicatat pada setiap mata yang
memberikan keluhan mata. Untuk mengetahui tajam penglihatan
seseorang dapat dilakukan dengan kartu Snellen dan bila penglihatan
kurang maka tajam penglihatan diukur dengan menentukan kemampuan
melihat jumlah jari (hitung jari), ataupun proyeksi sinar. Untuk
besarnya kemampuan mata membedakan bentuk dan rincian benda
ditentukan dengan kemampuan melihat benda terkecil yang masih dapat
dilihat pada jarak tertentu. Pemeriksaan tajam penglihatan
dilakukan pada mata tanpa atau dengan kacamata dan setiap mata
diperiksa terpisah (Ilyas, 2008).Setiap o.p. memiliki ketajaman
penglihatan masing-masing. Pada kelompok kami adanya hal ini
dikarenakan peristiwa mata normal dan miopi. Pada mata normal o.p.
dapat melihat dengan jelas huruf terkecil dalam papan huruf
tersebut sedangkan pada mata miopi ketika tidak memakai kacamata,
huruf-huruf tersebut sama sekali tidak terlihat atau samar. Ketika
o.p. miopi memakai kacamata baru huruf-huruf terkecil itu dapat
terlihat jelas, hal ini terjadi karena bantuan lensa cekung yang
dipakai oleh o.p. miopi. Perbedaan ini dipengaruhi oleh jatuhnya
bayangan benda yang tepat pada retina (mata normal) atau didepan
retina (mata miopi).Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang
tidak sempurna. Buta warna juga dapat diartikan sebagai suatu
kelainan penglihatan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut
(cone cell) pada retina mata untuk menangkap suatu spektrum warna
tertentu sehingga objek yang terlihat bukan warna yang sesungguhnya
(Guyton, 2007).Hasil pengamatan pada Uji Buta Warna mendapatkan
hasil bahwa o.p. dapat menebak buku ishara dengan benar dan tepat,
itu menandakan bahwa semua penglihatan probandus normal.
G. DAFTAR PUSTAKAGuyton,A.C & Hall, J.E., 1997. Human
Phsygology and Mechanism od Diases. Philadelphia: Elsevier
Sauders.Guyton, A.C., dan Hall, J.E., 2007. The Sense of Hearing
Dalam: Textbook of Medical Physiology. 11th ed. India: Saunders
Elsevier: 651-662.Ilyas, Sidarta. 2004. Ilmu Penyakit Mata,
Fakultas Kedokteran Indonesia,JakartaKresnamurti, A. Widharna, R.M.
and Surjadhana, A. 2013. Buku Petunjuk Praktikum Anatomi Fisiologi
Manusia. Surabaya: Universitas Katolik Widya Mandala.Kumar, P., and
Clark, M., 2005. Clinical Medicine. 6th ed. London, UK: Elseveir
Saunders: 1153-1154. Lalwani, A.K., 2008. Disoreders of Smell,
Taste and Hearing Dalam: Harrisons Principle of Internal Medicine.
17th ed. US: Mc Graw Hill: 199-204.Liston, S.L., dan Duvall, A.J.,
Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam: Adams, G.L.,
Boie, Jr., dan Highler, P.A., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.Maqbool, M., 2000. Deafness.
Dalam: Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. 9th ed. New
Delhi: Jaypee Brothers: 102-109.Rambe, A.Y.M., 2003. Gangguan
Pendengaran Akibat Bising. Bagian THT fakultas Kedokteran USU,
Perpustakaan USU. No.Akses D0300207.Sherwood, Lauralee.,
2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi II. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.Sherwood, L., 2002. Hearing and
Equilibrium. Dalam: Human Physiology from Cells to Systems. 6th ed.
Australia: Thomson Brooks/Cole: 208-217.Tortora, G.J., dan
Derrickson, B.H., 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th
ed. Asia: John Wiley and Sons, Inc: 620-628. Vaughan, Daniel. 2000.
Ofthalmologi Umum, Edisi 14. Widya Medika. Jakarta