LAPORAN PBL 4 BLOK NEUROLOGY AND SPECIFIC SENSE SYSTEMS (NSS) Tutor : : dr. Agung Saprasetya D.L, MSc.PH Disusun Oleh: Kelompok 1 G1A009016 Bunga G1A009020 Dera Fakhrunnisa G1A009033 Bagus Sanjaya H. G1A009037 Ayu Astrini P. S. G1A009059 Karina Adzani Herma G1A009073 Rahmi Laksita Rukmi G1A009078 Amrina Ayu Floridiana G1A009084 Titiyan Herbiyanto Nugroho G1A009094 Suryo Adi Kusumo B. K1A006112 Widhitiya S. P. G1A008115 Andhita Chairunissa KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN PBL 4
BLOK NEUROLOGY AND SPECIFIC SENSE SYSTEMS (NSS)
Tutor : : dr. Agung Saprasetya D.L, MSc.PH
Disusun Oleh:
Kelompok 1
G1A009016 Bunga
G1A009020 Dera Fakhrunnisa
G1A009033 Bagus Sanjaya H.
G1A009037 Ayu Astrini P. S.
G1A009059 Karina Adzani Herma
G1A009073 Rahmi Laksita Rukmi
G1A009078 Amrina Ayu Floridiana
G1A009084 Titiyan Herbiyanto Nugroho
G1A009094 Suryo Adi Kusumo B.
K1A006112 Widhitiya S. P.
G1A008115 Andhita Chairunissa
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Skenario
Informasi 1
Seorang laki-laki, usia 30 tahun dibawa ke IGD oleh tukang ojek karena
tertabrak mobil saat sedang menyeberang jalan. Menurut keterangan tukang
ojek, kejadian berlangsung sekitar 30 menit sebelum pasien tiba di IGD. Saat
itu pasien tengah menyeberang jalan, kemudian tiba-tiba meluncur sebuah
mobil dengan kecepatan tinggi dan menabrak dari arah kiri pasien. Pasien
terpelanting dan kepalanya membentur tiang listrik yang ada di pinggir jalan.
Pasien seketika langsung tidak sadarkan diri.
Ketika sampai di IGD, pasien tampak gelisah, mata tertutup dan sesekali
mengerang kesakitan. Pasien kemudian muntah menyemprot.
BAB II
PEMBAHASAN
I. KLARIFIKASI ISTILAH
Tidak ada istilah yang perlu diklarifikasi.
II. BATASAN MASALAH
a. Identitas
Nama : Tn. X
Umur : 30 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : -
Pekerjaan : -
b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Keluhan utama : Kehilangan kesadaran
Onset : 30 menit yang lalu
Kronologi : pasien tengah menyeberang jalan, kemudian
tiba-tiba meluncur sebuah mobil dengan
kecepatan tinggi dan menabrak dari arah kiri
pasien. Pasien terpelanting dan kepalanya
membentur tiang listrik yang ada di pinggir
jalan. Pasien seketika langsung tidak
sadarkan diri.
Keluhan lain : tampak gelisah, mata tertutup dan sesekali
mengerang kesakitan kemudian muntah
menyemprot.
c. Riwayat Sosial, Ekonomi dan Lingkungan
Dapat ditanyakan pekerjaan pasien, pendapatan pasien, memiliki asuransi
kesehatan atau asuransi pekerjaan, lingkungan rumah dan lingkungan
sekitar rumah pasien.
III. ANALISIS MASALAH
1. Patofisiologi muntah menyemprot
2. Apa tindakan pertama yang harus dilakukan ketika mendapat pasien
seperti ini?
3. Trauma di bagian tubuh lain yang mungkin terjadi pada pejalan kaki yang
tertabrak mobil.
4. Cedera kepala dan klasifikasinya.
5. Pemeriksaan yang perlu dilakukan
IV. PENJELASAN MENGENAI ANALISIS MASALAH
1. Patofisiologi muntah menyemprot
Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK)
↓
Merangsang reseptor tekanan intra cranial
↓
Merangsang pusat muntah di dorso lateral retikulo formasio
↓
Kontraksi duodenum dan antrum di lambung
↓
Peningkatan Tekanan Intra Abdomen
↓
Peristaltik Retrograd
↓
Lambung terisi penuh
↓
Diafragma naik ke kavitas toraks
↓
Peningkatan Tekanan Intra Thoraks
↓
Spinchter esophagus membuka
↓
Muntah menyemprot
Kalau berdasarkan kasus, muntah proyektil disebabkan karena
adanya benturan pada bagian kepala yang memungkinkan terjadinya
sesuatu perdarahan, dimana darah ini merupakan komponen yang
mempengaruhi dalam tekanan intracranial. Karena adanya penambahan
darah tetapi otak dan lcs menetap bias menimbulkan terjadinya
peningkatan intracranial, peningkatan ini bias menimbulkan manifestasi
muntah proyektil.
2. Tindakan pertama yang harus dilakukan ketika mendapat pasien seperti
ini
1. Tindakan Pra-Rumah Sakit
Dalam kondisi yang ideal, sedapat mungkin penderita cedera
kepala langsung ditangani oleh tenaga medis maupun paramedic yang
terlatih sejak di lokasi kejadian. Hal ini akan semakin penting apabila
cedera kepala yang terjadi tergolong berat. Pada dasarnya, yang perlu
dilakukan dalam fase ini tidaklah berbeda dalam kasus trauma lainnya.
Jaga jalan napas, mengontrol perdarahan dan mencegah syok,
imobilisasi penderita, mencegah terjadinya komnplikasi dan segera
mengirim ke rumah sakit. Perlu diperhatikan, bahwa imobilisasi di
sini sangatlah penting, karena dapat menentukan keselamatan nyawa
pasien selanjutnya (FK UPH, 2005).
Ambulans harus dilengkapi dengan alat resusitasi dan perawat
yang terlatih, dimana apabila terjadi sesuatu yang tidak
memungkinkan bias diambil tindakan dengan segera.
2. Mencari informasi
a. Tanyakan bagaimana pasien kehilangan kesadaran. Apakah pasien
langsung tidak sadar sesaat setelah kejadian atau pasien sempat
sadar kembali sebelum akhirnya tidak sadar (luside interval).
b. Tanyakan apakah ada riwayat sakit kepala dan muntah karena hal
ini dapat mengidentifikasi adanya peningkatan tekanan intrakranial.
c. Tanyakan ada kejang atau tidak.
d. Tanyakan bagaimana ilustrasi kejadian (Sjamsuhidajat, et al, 2004).
c. Breathing, memastikan ventilasi berjalan dengan baik
d. Circulation, jaga sirkulasi darah pasien
2. Terapi Konservatif
a. Analgetik, misal dengan pemberian NSAID.
b. Terapi diuretik, menggunakan manitol 20% dengan dosis 0,5 – 1
mg/kgBB setiap pemberian. Pemberian dilakukan setiap 4-6 jam.
c. Antikonvulsan, misal dengan pemberian fenitoin (diazepam)
d. Antibiotik, digunakan antibiotik yang dapat menembus sawar darah
otak, misalnya cephalosporin.
e. Kortikosteroid, berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor
otak. akan tetapi manfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh
karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala
(Japardi, 2002).
3. Terapi operatif
Terapi operatif dilakukan dengan indikasi sebagai berikut (Japardi,
2004) :
a. Massa hematoma kira-kira 40 cc
b. Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
c. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis
tengah dengan GCS 8 atau kurang.
d. Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang
jelas atau pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.
e. Pasien – pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu
disertai berkembangnya tanda – tanda lokal peningkatan tekanan
intrakranial lebih dari 25 mmHg.
Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang )
dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada
kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya
fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya
gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk
melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan
untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah
airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat
dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural
drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik
adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan
komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik
pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika
pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan
klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan
operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan
tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang
lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari
perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang(Ginsberg, 2007).
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran,
pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral
hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi
uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.
Indikasi Operasi(Ginsberg, 2007),
Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana
CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Informasi 4
Terapi Inisial
Konservatif
1. Injeksi manitol
2. Antibiotika
3. Antikonvulsan
4. Kortikosteroid
KEGUNAAN PEMBERIAN OBAT PADA TERAPI KASUS
1. Injeksi manitol
Injeksi manitol diberikan dengan tujuan untuk mengurangi peningkatan
tekanan intrakranial (Sjamsuhidajat, et al, 2004).
Obat ini sekarang luas digunakan untuk mengurangi tekanan
intrakranial. Umumnya sediaan yang digunakan adalah larutan 20
persen mannitol (bm 180). Umumnya dipercaya bahwa mannitol
mempertahankan gradien osmotik antara plasma dan otak, dengan
akibat pergeseran cairan keluar dari otak dan, karenanya, menurunkan
TIK (Riyanto, 1992).
2. Antibiotika
Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi yang dapat timbul sebagai
komplikasi trauma kepala dan akibat keadaan imunocompromised yang
disebabkan pemberian imunosupresan yaitu kortikosteroid
(Sjamsuhidajat, et al, 2004).
3. Antikonvulsan
Antikonvulsan seperti fenitoin diberikan sebagai terapi profilaksis pada
24 jam pertama untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic. Jika
pasien mengalami kejang maka akan menyebabkan hipoksia otak yang
berdampak peningkatan tekanan darah sehingga memicu terjadinya
udem otak (Sjamsuhidajat, et al, 2004).
Diperkirakan bahwa perawatan dengan fenytoin yang dimulai sesegera
mungkin (dalam 24 jam) mungkin mencegah terbentuknya fokus
epileptogenik. Young mengadakan penelitian yang memperlihatkan
pemberian fenytoin profilaktik tidak mencegah kejang pasca cedera
baik dini maupun tunda. Pada penelitian ini konsentrasi plasma
dipertahankan antara 10 dan 20 ug/m (Riyanto, 1992).
4. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid masih menjadi kontroversi. Fungsi pemberian
kortikosteroid adalah untuk mengatasi udem otak yang terjadi, sehingga
kortikosteroid diberikan jika pada pasien didapatkan penurunan GCS
yang berat dan terdapat tanda defisit neurologis yang parah
(Sjamsuhidajat, et al, 2004).
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak
beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung
menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang ber- manfaat pada kasus
cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini
menstabilkan sawar darah otak (Riyanto, 1992).
BAB III
KESIMPULAN
1. Diagnosis kerja pada kasus PBL 4 adalah Penurunan kesadaran et causa
Hematoma Subdural Akut.
2. Hematom subdural akut adalah hematom atau perdarahan yang sering terjadi
akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara korteks cerebri dan
sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat
laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Hematom subdural disebut
akut apabila gejala yang timbul berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam.
3. Diagnosis banding hematom subdural adalah hematom epidural, hematom
subaraknoid, dan hematoma intraserebral.
4. Penatalaksanaan pada kasus PBL 4 yaitu hematom subdural akut adalah
Terapi Inisial dan terapi Konservatif. Terapi konservatif meliputi Injeksi
manitol, Antibiotika, Antikonvulsan, dan Kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016.
Aritonang, Sahat. 2007. Hubungan Kadar Gula Darah Dengan Outcome Cedera Kepala Tertutup Derajat Sedang – Berat Dengan Gambaran Brain CT SCAN Dalam Batas Normal. Available at http://eprints.undip.ac.id/29403/.
Baehr, M dan Frotscher, M. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS edisi 4. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Hal 136-41.
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra Grafindo.
Guyton, A.C & John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC, Jakarta, 2004, 818-819.
Isselbacher, Kurt J., Eugene Braunwald., Jean D. Wilson., Joseph B. Martin., Anthony S. Fauci., Dennis L. Kasper. 2000. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 5. Edisi 13. Jakarta: EGC. Hal. 2558-2566.
Japardi, Iskandar. 2004 . Penatalaksanaan Cedera kepala secara operatif . Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Knight, Bernard. 1996. Forensic Pathology Edition 2nd. New York : Oxford
Purwirantoro, Toni. 2002. Akurasi Beberapa Tanda dan Gejala Klinik Dalam Menegakkan Diagnosis Hematoma Epidural Pada Kasus Cedera Kepala. Available from : eprints.undip.ac.id/14729/1/2002FK548.pdf, Diakses pada Senin, 26 Maret 2012, Pukul 21.00.
Price, Sylvia; Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Purwirantoro, Toni. 2002. Akurasi Beberapa Tanda dan Gejala Klinik Dalam Menegakkan Diagnosis Hematoma Epidural Pada Kasus Cedera Kepala. Available from : eprints.undip.ac.id/14729/1/2002FK548.pdf, Diakses pada Senin, 26 Maret 2012, Pukul 21.00.
Riyanto, Budi. 1992. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Cermin Dunia Kedokteran No. 77.
Sastrodiningrat, Abdul Gofar. 2006. Memahami Fakta-fakta Perdarahan Subdural Akut. Majalah Kedokteran Nusantara volume 39 No 3.
Scaletta, Tom. 2011. Emergent Management of Acute Subdural Hematoma available on http://emedicine.medscape.com/article/828005-overview di akses pada 24 Maret 2012.University Press.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal.820-821.