BAB ISkenario
Tn. Popon, 32 tahun datang sendiriuntuk kunjungan pertama kali
ke dokter keluarga (DK) untuk memeriksakan keluhan gatal di telapak
kaki kanan. Gatal dirasakan sejak satu minggu yang lalu.Tn Popon
bekerja sebagai petani dan terbiasa tidak memakai alas kaki saat
bekerja.Telapak kaki kanan terasa gatal, agak nyeri, tampak
kemerahan meninggi, seperti terowongan berkelok-kelok.Karena terasa
sangat gatal, Tn. Popon seringkali menggaruk sehingga mengakibatkan
lecet dan berdarah.Tn. Popon belum minum obat apapun.Tn. Popon
merasa khawatir karena penyakitnya mengganggu pekerjaannya.Riwayat
Medis
Tn. Popon, tidak pernah menderita penyakit gatal seperti ini
sebelumnya. Tn. Popon mempunyai riwayat batuk tidak sembuh-sembuh
sejak 2 bulan yang lalu. Batuk berdahak kental berwarna putih.
Pasien juga mengeluh nafsu makan berkurang, pasien merasa lebih
kurs, badan terasa lemah, kadangan demam ringan, dan berkeringat
pada malam hari.
Selain batuk, tidak ada riwayat penyakit yang signifikan/
penting. Jika sakit flu, demam, atau diare, Tn. Popon selalu datang
ke puskesmas dengan fasilitas Jamkesmas dan sembuh dalam beberapa
hari. Frekuensi penyakit tersebut jarang, mungkin hanya 1-2 kali
per tahun. Tn. Popon tidak pernah dirawat di RS, tidak pernah
dioperasi dan tidak pernah mengalami kecelakaan.
Riwayat Keluarga
Kakak (laki-laki) dan adik (perempuan) Tn. Popon tidak mempunyai
keluhan yang sama dengan Tn. Popon. Keluhan gatal pada ayah dan
ibunya disangkal. Ayah Tn. Popon mempunyai riwayat batuk lama sudah
3 bulan dan belum berobat.
Riwayat medis dari keluarga ayah tidak cukup banyak dan
signifikan. Kakek dan nenek Tn. Popon masih hidup dan tidka
diketahui memiliki riwayat penyakit tertentu. Ayah Tn. Popon adalah
anak kedua dari 4 bersaudara. Kakak pertama (laki-laki) diketahui
tidak menderita penyakit yang serius. Sementara kedua adiknya yang
lain (keduanya perempuan) tidak diketahui memiliki penyakit
tertentu.
Riwayat medis keluarga ibu tidak cukup banyak dan cukup
signifikan. Kakek Tn. Popon menderita penyakit darah tinggi.
Sedangkan nenek Tn. Popon tidak memiliki riwayat penyakit tertentu.
Ibu Tn. Popon adalah anak pertama dari 5 bersaudara (semua adiknya
perempuan). Adik kedua mempunyai riawayat penyakit TBC. Adiknya
yang lain tidak diketahui memiliki penyakit tertentu.
Riwayat Sosial Ekonomi
Tn. Popon belum menikah dan merupakan lulusan SD yang bekerja
sebagai petani. Selain bekerja, Tn. Popon biasanya menghabiskan
waktu untuk menjalankan hobinya memancing bersama teman-temannya.
Tn. Popon jarang berolahraga, mempunyai kebiasaan merokok tetapi
tidak minum alkohol.
Tn. Popon saat ini tinggal di perkampungan daerah pinggiran
Purwokerto bersama kedua orangtuanya dan keluarga adiknya yang
telah dikaruniai 2 orang anak. Rumah yang ditempati kurang lebih
berukuran 5x9 m, terdiri dari ruang tamu, ruang keluarga, 3 kamar
tidur, dapur. Sementara untuk rumah panggung dengan lantai kayu,
dinding kayu, dan anyaman bambu serta atap seng. Sirkulasi udara
kurang baik karena jendela jarang dibuka. Daerah tempat tinggal Tn.
Popon merupakan daerah perkampungan, padat penduduk dengan
pengelolaan sampah dan limbah yang kurang baik (dibuang ke
sungai).
Meskipun sering hanya berlauk kerupuk dan sayur saja, keluarga
Tn. Popon selalu membiasakan makan bersama. Makan selalu
menggunakan tangan dan mereka tidak mempunyai kebiasaan mencuci
tangan sebelum makan. Kegiatan peribadatan juga dilakukan secara
rutin meskipun tidak ada bimbingan dari pemuka agama.
Tn. Popon mempunyai hubungan yang baik dan dekat dengan orangtua
dan keluarga. Tn. Popon pun jarang sekali bertengkar dengan
keluarganya. Setiap permasalahan dapat dihadapi bersama-sama dan
selama ini tidak ada masalah serius yang dapat mengguncang
ketentraman keluarga. APGAR Score 8. Keluarganya juga mempunyai
hubungan baik dengan masyarakat di lingkungan sekitar dengan
senantiasa mengikuti kegiatan perkumpulan kampung.
Review of System
Tn. Popon mengalami gatal di telapak kaki kanan sejak satu
minggu yang lalu. Telapak kaki kanan terasa gatal, agak nyeri,
tampak kemerahan meninggi, seperti terowongan berkelok-kelok.
Karena terasa sangat gatal, Tn. Popon seringkali menggaruk sehingga
mengakiatkan lecet dan berdarah. Riwayat batuk lama (+). Meskipun
mengalami kesulitan ekonomi, Tn. Popon menyangkal adanya stres
emosional atau ketidakpuasan dalam keluarganya.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: cukup baik, compos mentis
Tinggi badan
: 170 cm
Berat badan
: 60 kg
Tekanan darah
: 110/80 mmHg
Denyut nadi
: 80 x/menit
Frekuensi napas: 20 x/menit
Suhu aksila
: 37,00 C
Kepala: konjungtiva anemis -/- sklera ikterik -/- pernapasan
cuping hidung
Leher
: tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Toraks
Paru
: Inspeksi: simetris statis dan dinamis
Palpasi: fremitus dextra = sinistra
Perkusi: sonor di paru kedua lapang paru
Auskultasi: suara dasar paru vesikular, ronkhi basah halus di
kedua apeks paru
Jantung
: dalam batas normal
Abdomen
: dalam batas normal
Ekstremitas
: sesuai ukk di bawah
UKK:erupsi papulovesikuler, eritematous, terowongan
berkelok-kelok (serpiginosa), edematous, krusta
BAB II
A. Klarifikasi IstilahTidak ada istilah yang diklarifikasi.B.
Batasan Masalah1. Identitas
Nama : Tn. Popon
Usia : 32 tahun
2. RPS
Keluhan Utama: Gatal
Lokasi
: Telapak kaki kanan
Onset
: 1 minggu
Progresifitas
: Semakin memberat
Kualitas
: Mengganggu pekerjaan
Kuantitas
: -
Faktor Memperberat : -
Faktor Memperingan : -
Kronologi : Kemerahan meninggi seperti terowongan berkelok-
kelok ( gatal ( digaruk ( lecet dan berdarahKeluhan lain : Selain
gatal juga terasa nyeri, kemerahan meninggi serta lecet dan
berdarah.
3. RPD :
Tn. Popon, tidak pernah menderita penyakit gatal seperti ini
sebelumnya. Tn. Popon mempunyai riwayat batuk tidak sembuh-sembuh
sejak 2 bulan yang lalu. Batuk berdahak kental berwarna putih.
Pasien juga mengeluh nafsu makan berkurang, pasien merasa lebih
kurs, badan terasa lemah, kadangan demam ringan, dan berkeringat
pada malam hari. Selain batuk, tidak ada riwayat penyakit yang
signifikan/ penting. Jika sakit flu, demam, atau diare, Tn. Popon
selalu datang ke puskesmas dengan fasilitas Jamkesmas dan sembuh
dalam beberapa hari. Frekuensi penyakit tersebut jarang, mungkin
hanya 1-2 kali per tahun. Tn. Popon tidak pernah dirawat di RS,
tidak pernah dioperasi dan tidak pernah mengalami kecelakaan.
4. RPK :
Kakak (laki-laki) dan adik (perempuan) Tn. Popon tidak mempunyai
keluhan yang sama dengan Tn. Popon. Keluhan gatal pada ayah dan
ibunya disangkal. Ayah Tn. Popon mempunyai riwayat batuk lama sudah
3 bulan dan belum berobat. Riwayat medis dari keluarga ayah tidak
cukup banyak dan signifikan. Kakek dan nenek Tn. Popon masih hidup
dan tidka diketahui memiliki riwayat penyakit tertentu. Ayah Tn.
Popon adalah anak kedua dari 4 bersaudara. Kakak pertama
(laki-laki) diketahui tidak menderita penyakit yang serius.
Sementara kedua adiknya yang lain (keduanya perempuan) tidak
diketahui memiliki penyakit tertentu. Riwayat medis keluarga ibu
tidak cukup banyak dan cukup signifikan. Kakek Tn. Popon menderita
penyakit darah tinggi. Sedangkan nenek Tn. Popon tidak memiliki
riwayat penyakit tertentu. Ibu Tn. Popon adalah anak pertama dari 5
bersaudara (semua adiknya perempuan). Adik kedua mempunyai riawayat
penyakit TBC. Adiknya yang lain tidak diketahui memiliki penyakit
tertentu.
5. RSETn. Popon belum menikah dan merupakan lulusan SD yang
bekerja sebagai petani. Selain bekerja, Tn. Popon biasanya
menghabiskan waktu untuk menjalankan hobinya memancing bersama
teman-temannya. Tn. Popon jarang berolahraga, mempunyai kebiasaan
merokok tetapi tidak minum alkohol. Tn. Popon saat ini tinggal di
perkampungan daerah pinggiran Purwokerto bersama kedua orangtuanya
dan keluarga adiknya yang telah dikaruniai 2 orang anak. Rumah yang
ditempati kurang lebih berukuran 5x9 m, terdiri dari ruang tamu,
ruang keluarga, 3 kamar tidur, dapur. Sementara untuk rumah
panggung dengan lantai kayu, dinding kayu, dan anyaman bambu serta
atap seng. Sirkulasi udara kurang baik karena jendela jarang
dibuka. Daerah tempat tinggal Tn. Popon merupakan daerah
perkampungan, padat penduduk dengan pengelolaan sampah dan limbah
yang kurang baik (dibuang ke sungai). Meskipun sering hanya berlauk
kerupuk dan sayur saja, keluarga Tn. Popon selalu membiasakan makan
bersama. Makan selalu menggunakan tangan dan mereka tidak mempunyai
kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Kegiatan peribadatan juga
dilakukan secara rutin meskipun tidak ada bimbingan dari pemuka
agama. Tn. Popon mempunyai hubungan yang baik dan dekat dengan
orangtua dan keluarga. Tn. Popon pun jarang sekali bertengkar
dengan keluarganya. Setiap permasalahan dapat dihadapi bersama-sama
dan selama ini tidak ada masalah serius yang dapat mengguncang
ketentraman keluarga. APGAR Score 8. Keluarganya juga mempunyai
hubungan baik dengan masyarakat di lingkungan sekitar dengan
senantiasa mengikuti kegiatan perkumpulan kampung.
C. Rumusan Masalah
1. Anamnesis tambahan?2. Anatomi organ terkait?3. Diagnosis
holistik pasien?D. Analisis Masalah1. Anamnesis Tambahana. RPS
1) Tiap kapan keluhan terasa (siang/malam?)
2) Keluhan lain (pusing, mual, muntah, kesemutan, demam)?3)
Sebelum terjadi lesi apakah Tn. Popon merasakan ada gatal dan panas
di tempat lesi?4) Apakah ada faktor yang memperringan dan
memperberat keluhan? Seperti minum obat atau direndam dengan air
hangat?5) Apakah ada lesi serua di bagian tubuh lainnya, bila ada
unilateral atau bilateral?b. RPD
1) Pernah terkena keluhan serupa? (jika pernah) apa yang
dilakukan pasien terhadap keluhannya?
2) Riwayat penyakit sistemik (DM, HIV, dll)?3) Pernah periksa
sebelumnya? 4) Apakah memiliki riwayat alergi?5) Apakah sudah
pernah diobati? Dengan apa?c. RPK
1) Apakah ada keluarga dengan keluhan serupa?
2) Berapa jumlah anggota keluarga, dan yang tinggal serumah?
3) Riwayat yang dapat diturunkan (Hipertensi, DM, dll)?
d. RSE:
1) Apakah Tn. Popon memelihara binantang?
2) Apakah di sekitar sawah Tn popon ada kucing atau anjing?
3) Bagaimana higienitas keluarga Tn. Popon?2. Diagnosis Holistik
Pasien
Diagnosa holistik adalah tata cara diagnosa yang memperhatikan
berbagai aspek yang dimungkinkan menyebabkan penyakit pada pasien
yang bersangkutan. Diagnostik holistik meliputi (Kekalih,
2008):
a. Aspek Personal1) Berisi alasan kedatangan pasien (reason for
encounter) seperti keluhan utama, symptoms & signs, kegawatan
dll.
2) Berisi Idea, Concern, Expectation & Anxiety pasien dan
keluarganya
b. Aspek Klinis
Berisi diagnosis dari aspek klinis yaitu diagnostic definitive,
diagnosis sementara, diagnosis kerja dan DD-nya.
c. Aspek Faktor Risiko Internal (Intrinsik)
1) Berisi factor-faktor risiko internal yang dapat mempengaruhi
kondisi sehat sakit individu pasien dan keluarganya
2) Meliputi : Usia, Jenis kelamin, Ras, Genetik, perilaku
indivisu sakit
3) Factor-faktor risiko internal ini merupakan confounding
factors terjadinya sehat-sakitd. Aspek Faktor Risiko Eksternal
(Extrinsik)
1) Berisi factor-faktor risiko eksternal yang dapat mempengaruhi
kondisi sehat-sakit individu pasien dan keluarganya
2) Meliputi : perilaku sakit anggota keluarga lain, hubungan
interpersonal, sosek, pendidikan, lingkungan rumah dan lingkungan
local sekitarnya.
3) Factor-faktor eksternal ini merupakan determinant factors
terjadinya sehat-sakit.
e. Aspek skala skor (derajat keparahan penyakit)
1Melakukan pekerjaan seperti sebelum sakitMandiri dalam
perawatan diri dan bekerja di dalam dan luar rumah
2Pekerjaan ringan sehari-hari, di dalam dan luar rumahAktivitas
kerja mulai berkurang
3Pekerjaan ringan dan bisa melakukan perawatan diriPekerjaan
ringan dan perawatan diri masih dikerjakan sendiri
4Perawatan diri hanya keadaan tertentu, posisi duduk dan
berbaringTidak melakukan aktivitas kerja. Perawatan diri oleh
keluarga
5Perawatan diri oleh orang lain, posisi berbaring pasifSangat
bergantung dengan orang lain (misal tenaga medis)
Jika diterapkan pada kasus, maka:
1. Diagnosis Holistik
a. Aspek personal
1) Keluhan utama: Gatal2) Gejala penyerta: Selain gatal juga
terasa nyeri, kemerahan meninggi serta lecet dan berdarah.3)
Concern
: Gatal yang sangat4) Expected
: -5) Anxiety
: Mengganggu aktivitasb. Aspek klinis
Diagnosis bandingNoDiagnosis BandingAlasan diagnosis
1SkabiesGejala (Budimulja U, 2007).1. Pruritus nokturnal
2. Menyerang berkelompok
3. Canaliculi 4. Ditemukan tungau Diagnosis skabies dengan
ditemukan 2 gejala dari 4 tanda gejala diatas .
2Cutaneus larva migrant (Creeping eruption)Creeping eruption
merupakan invasi yang sering terjadi pada anak-anak terutama yang
sering berjalan tnpa alas kaki atau sering berhubungan dengan tanah
atau pasir. Demikian pula para petani atau tentara sering mengalami
hal sama. Istiah creepin eruption digunakan pada kelainan kukut
yang berupa peradangan bentuk linier dan berkelok-kelok,meninggi
dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang
berasal dari anjing dan kucing. Penyakit ini juga disebut cutaneus
larva migrans (Aisah, 2007).Gejala klinis yang dapat muncul antara
lain gatal dan rasa panas. Terdapat papul kemudian diikuti bentuk
yang khas yakni lesi berbentuk liniear atau berkelok-kelo, meninggi
dengan diameter2-3 mm dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul
yang eritem menunjukan larva tersebut telah berada di kulit selama
beberapa jam atau hari. Rasa gatal yang lebih hebat dapat timbul
malam hari sehingga sering mirip dengan scabies (Aisah, 2007).
3TuberkulosisGejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak
selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala
tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih
dari satu bulan, atau adanya anggota keluarga yang memiliki gejala
dan tanda yang sama (Amin, 2007).
4Bronkitis KronikBatuk produktif 3 bulan berturut-turut dalam 1
tahun terjadi selama 2 tahun (Sudoyo, 2009)
5PneumoniaPneumonia merupakan Infeksi Saluran Nafas Bawah Akut
(ISNBA) yang menyumbang angka kematian yang tinggi. Penumonia
merupakan radang pada parenkim paru yang mengenai bronkiolus
respiratorik hingga alveous. Bakteri penyebab pneumonia antara lain
Staphylococcus sp. ,bakteri gram negatif lainnya, P.Aeroginosa,
Enterobacter dan lain-lain.Anamnesis
a. Adanya faktor predisposisi sperti PPOK, Penyakit kronik yang
mendasari, kejang, rendahnya imunitas
b. Lokasi terkena apakah di rumah sakit (pneumonia nosokomial)
atau di luar rumah sakit (pneumonia kelompok)
c. Usia pasien, pada bayi etiologi yang tersering adalah virus
sedangkan dewasa oleh S. pneumonia
Diagnosis kerja: Cutaneus larva migran dan Suspek Tuberkulosisc.
Aspek risiko intrinsik
Usia : 38 tahun
1) Cutaneus Larva Migran (Creeping eruption)a) Laki-lakib)
Higiene yang kurang baik (MCK dilakukan di WC umum yaitu di sungai,
tidak cuci tangan sebelum makan)c) Kebiasaan yang kurang baik
(tidak memakai alas kaki ketika bekerja di sawah)
2) TBC a) Batuk yang tidak sembuh-sembuh sejak 2 bulan yang
lalub) Belum menikah
c) Jarang berolahraga
d) Merokok
e) Gizi kurang (sering hanya makan nasi dengan kerupuk)d. Faktor
risiko eksternal
1) Cutaneus Larva Migran(Creeping eruption)a) Pendidikan rendah
(hanya lulusan SD) sehingga pengetahuan kurangb) Pengelolaan sampah
dan limbah yang kurang baik
2) TBC
a) Ayah (yang tinggal serumah) mempunyai riwayat batuk lama
selama 3 bulan
b) Bibi pasien memiliki riwayat penyakit TBC
c) Rumah kecil, kurang memenuhi syarat rumah yang baik
d) Sirkulasi kurang baik
e) Daerah perkampungan padat penduduk dengan pengelolaan sampah
dan limbah yang kurang baik
f) Pendidikan rendah (lulusan SD) sehingga pengetahuan kurange.
Aspek sosial penilaian fungsi
Skor 2 karena mengganggu aktifitasE. Sasaran Belajar
1. Genogram
2. Patofisiologi Cutaneus Larva Migran
3. Patofisiologi Tuberkulosis 4. Macam-Macam Faktor Resiko
5. Penilaian fungsi keluarga6. Tentang penyakit Cutaneus Larva
Migran (Creeping eruption)a. Definisi
b. Etiologi
c. Epidemiologi
d. Faktor resiko
e. Tanda Gejala
f. Penegakan diagnosis (Anamnesis Pemeriksaan penunjang) g. Tata
Laksana h. Prognosis & komplikasi
7. Tentang penyakit Tuberkulosisi. Definisi
j. Etiologi
k. Epidemiologi
l. Faktor resiko
m. Tanda Gejala
n. Penegakan diagnosis (Anamnesis Pemeriksaan penunjang) o. Tata
Laksana p. Prognosis & komplikasi 8. Penanganan
Komprehensif
a. Personal approach
b. Family approach
c. Community approach
BAB III
1. Genogram
Gambar 1. Genogram Tn. Popon
2. Patofisiologi Cutaneus Larva Migran Creeping eruption
disebabkan oleh berbagai spesies cacing tambang binatang yang
didapat dari kontak kulit langsung dengan tanah yang terkontaminasi
feses anjing atau kucing. Hospes normal cacing tambang ini adalah
kucing dan anjing. Telur cacing diekskresikan ke dalam feses,
kemudian menetas pada tanah berpasiryang hangat dan lembab.
Kemudian terjadi pergantian bulu dua kali sehingga menjadi bentuk
infektif (larva stdaium tiga). Manusia yang berjalan tanpa alas
kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva dimana larva
menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel, fisura
atau kulit intak. Setelah penetrasi stratum korneum, larva melepas
kutikelnya. Biasanya migrasi dimulai dalam waktu beberapa hari
(Tierney, 2003)Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan
bermigrasi beberapa cm per hari, biasanya antara stratum
germinativum dan stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit
berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal.hal ini
menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah beberapa
jam atau hari akan timbul gejala di kulit. Larva bemigrasi pada
epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus ke
dermis. Manusia merupakan hospes aksidental dan larva tidak
mempunyai enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi membran
basalis sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di kulit
saja. Enzim proteolitik yang disekresi larva menyababkan inflamasi
sehingga terjadi rasa gatal dan progresi lesi. Meskipun larva tidak
bisa mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup, larva
seringkali migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrat paru.
Pada pasien dengan keterlibatan paru-paru didapat larva dan
eosinofil pada sputumnya. Kebanyakan larva tidak mampu menembus
lebih dalam dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa bulan
(Jusych, 2009).3. Patofisiologi Tuberkulosis 4. Macam-macam faktor
risiko (Dodiet, 2008)
a. Menurut dapat tidaknya faktor risiko itu diubah
1) Faktor risiko yang tidak dapat diubah (unchangeable risk
faktor)
Contoh: genetik dan umur
2) Faktor risiko yang dapat diubah (cangeable risk factor)
Contoh: kebiasaan merokok dan olahraga
b. Menurut kestabilan peran faktor risiko
1) Faktor risiko yang dicurigai (Suspected risk factor)Faktor
risiko yang belum mendapat dukungan ilmiah dan belum dapat
dipastikan bahwa hal tersebut mempengaruhi kejadian suatu penyakit.
Contoh: merokok menyebabkan terjadinya kanker leher rahim
2) Faktor risiko yang telah ditegakan (Established risk
factor)Faktor risiko yang telah mendapat dukungan ilmiah dap
terbukti dapat mempengaruhi kejadian suatu penyakit. Contoh:
merokok dapat memperburuk keadaan pasien Tuberkulosis.5. Penilaian
fungsi keluarga
a. APGAR
Tujuan penilaian fungsi fisiologis keluarga adalah untuk
mengetahui persepsi anggota keluarga mengenai fungsi keluarga
dengan menguji tingkat kepuasan anggota terhadap keluarganya.
Instrumen yang dapat digunakan untuk menilai fungsi fisiologis
keluarga adalah dengan menggunakan metode penilaian APGAR keluarga
(Smilkstein, 1978). Terdapat lima hal yang dinilai dalam APGAR
keluarga yaitu:
1) Adaptation (Adaptasi)
Tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan yang
dibutuhkannya dari anggota keluarga lainnya.
2) Partnership (Kemitraan)
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap komunikasi, urun
rembuk dalam mengambil suatu keputusan dan atau menyelesaikan suatu
masalah yang sedang dihadapi dengan anggota keluarga lainnya.
3) Growth (Pertumbuhan)
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang
diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan atau kedewasaan
setiap anggota keluarga.
4) Affection (Kasih Sayang)
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta
interaksi emosional yang berlangsung dalam keluarga.
5) Resolve (Kebersamaan)
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam
membagi waktu, kekayaan dan ruang antar anggota keluarga
(Smilkstein,1978: Gwyther, 1993).
Lima hal tersebut dituangkan dalam sistem skoring, jika jawaban
anggota keluarga terhadap pertanyaan adalah sering/selalu maka
diberi skor 2, jawaban kadang-kadang diberi skor 1 dan jawaban
tidak pernah diberi skor 0. Dengan demikian, penilaian terhadap
fungsi keluarga bersifat kuantitatif dengan kriteria sebagai
berikut:
1) Jumlah skor 7-10 disebut highly functional family. Hal ini
menunjukkan bahwa fungsi fisiologis keluarga berjalan dengan baik
sehingga dapat dikatakan keluarga tersebut sehat dan saling
mendukung satu sama lain.
2) Jumlah skor 4-6 disebut moderately functional family
menunjukkan adanya beberapa fungsi keluarga yang tidak berjalan
dengan baik. Jika sebuah keluarga berada pada skor ini, maka perlu
dilakukan family therapy untuk memperbaiki fungsi fisiologis
keluarga.
3) Jumlah skor 0-3 disebut severely functional family. Hal ini
menandakan fungsi fisiologis suatu keluarga tidak berjalan
sebagainama mestinya. Family therapy harus segera diakukan pada
keluarga yang berada pada skor ini (Ihromi, 2004)b.
GenogramGenogram menurut Rakel adalah alat yang digunakan oleh
dokter dan profesional kesehatan lainnya untuk merangkum dalam satu
halaman kertas tentang informasi yang berkaitan dengan keluarga.
Pembacaan genogram meliputi:1) Struktur: merupakan fungsi dari
status perkawinan (lajang, menikah, terpisah, bercerai, janda) dan
status orangtua (tidak ada anak-anak, alam, angkat, atau anak
angkat, atau anak tiri).
2) Demografi: etnis, pendidikan, dan pekerjaan3) Live event :
termasuk pernikahan, perpisahan, dan perceraian, kelahiran dan
kematian, dan masalah sosial atau kesehatan utama4) Masalah sosial
& kesehatan: jenis dan jumlah masalah dan konsistensi mereka di
antara anggota keluarga dan pelayanan kesehatan (Ihromi, 2004).c.
SCREEM
Penilaian fungsi patologis keluarga adalah dengan menggunakan
SCREEM (Social, Cultural, Religius, Economic, Education,
Medication) (Ihromi, 2004).
d. Family life cyle
Gambar 1.1 Life Cycle (Ihromi, 2004).6. Penyakit Cutaneus Larva
Migran (Creeping eruption)a. Definisi
Creeping eruption disebut juga cutaneous larva migrans (CLM)
disebabkan oleh penetrasi dan migrasi larva nemato da di dalam
epidermis. Istilah creeping eruption digunakan pada kelainan kulit
yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok,
menimbul dan progresif, disebabkan oleh invasi larva cacing tambang
yang berasal dari anjing dan kucing (Djuanda, 2005). Creeping
eruption termasuk dalam penyakit parasit hewani. Beberapabuku
menyebutkan sebagai zoonosis, namun istilah ini kurang tepat karena
zoonosis berarti penyakit pada hewan yang dapat ditularkan pada
manusia, sedangkan penyakit ini bukan panyakit hewan. Jadi istilah
penyakit parasit hewani lebih tepat (Perish, 2008).Infestasi
biasanya terjadi melalui kontak dengan tanah atau pasir yang
terkontaminasi dengan kotoran binatang. Invasi ini sering terjadi
pada anak-anak terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki, atau
yang sering berhubungan dengan tanah dan pasir. Demikian pula para
petani atau tentara sering mengalami hal yang sama (Perish,
2008).b. Etiologi Creeping eruption biasanya ditujukan untuk lesi
yang diakibatkan cacing tambang dengan hospes non manusia. Penyebab
utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing
dan kucing, yaitu ancylostoma braziliense dan ancylostoma caninum.
Ancylostoma braziliense adalah penyebab tersering. Di Asia Timur
umumnya disebabkan oleh Gnathostoma babi dan kucing. Pada beberapa
kasus ditemukan Echinococcus, Strongyloides stercoralis, Dermatobia
maziales dan Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh
larva dari beberapa jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse
bot fly) dan cattle fly(Perish, 2008).
Penyebab yang umum (Perish, 2008) :1) Ancylostoma
braziliense
2) Ancylostoma caninum
3) Uncinaria phlebotonumPenyebab yang jarang (Perish, 2008) :1)
Ancylostoma ceylonicum
2) Ancylostoma tubaeforme
3) Necator amricanus
4) Strongyloides papillosus
5) Strongyloides westeri6) Ancylostoma duondenalec. Epidemiologi
Creeping eruption ditemukan di seluruh dunia tapi paling sering
terjadi di daerah dengan iklim tropis atau subtropis yang hangat
dan lembab, misalnya di Afrika, Amerika Selatan dan Barat, terutama
Amerika Serikat bagian tenggara, Karibia, Afrika, Amerika Selatan,
Amerika Pusat, India, dan Asia Tenggara, di Indonesia pun banyak
dijumpai. Infestasi lebih sering ditemukan saat ini karena
tingginya mobilitas dan tamasya. Dilaporkan adanya outbreak insiden
CLM di perkemahan anak-anak di Miami, Florida pada tahun 2006.
Dilaporkan 22 orang (33,7%) terdiri dari anak-anak dan dewasa,
menderita CLM setelah 2,5 minggu berada di perkemahan (Perish,
2008). Dari analisa didapatkan 22 orang tersebut berain di kotak
pasir selama minimal 1 jam per hari, berjemur matahari 1 jam per
hari, 17 dari 22 orang yag terkena ternyata tidak mengenakan sandal
pada saat bermain pasir. Banyak yang mengakui adanya kucing yang
bekeliaran dalam jumlah cukup banyak di sekitar perkemahan. Cara
infeksi melalui kontak kulit dengan larva infektif pada tanah.
Orang dari berbagai jenis umur, seksa dan ras bisaterinfeksi jika
terpajan larva (Perish, 2008).
Grup yang beresiko adalah mereka yang pekerjaan atau hobinya
berkontak dengan tanah berpasir yang lembab dan hangat antara lain
sebagai berikut (Perish, 2008) :
1) Orang yang tidak memakai alas kaki di pantai
2) Anak-anak yang bermain pasir
3) Petani
4) Tukang kebun
5) Pembersih septic tank
6) Pemburu
7) Tukang kayu8) Penyemprot serangga
d. Faktor resiko (Heryantoro, 2012)1) Sering kontak dengan
habitat larva cacing seperti pada pasir atau daerah lebab dan
berair
2) Kontak dengan kucing dan anjing dimana kedua hewan ini
merupakan tempat hidup larva cacing3) Kurang menjaga higiene
4) Tidak memakai alas kaki atau sarung tangan ketika kontak
dengan habitat larva cacing5) Laki-laki lebih dominan karena
berhubungan dengan pekerjaan dimana kebanyakan petani merupakan
laki-laki6) Umur anak-anak lebih sering karena mereka sering
bermain pada daerah berpasir atau tanah
e. Tanda Gejala 1) Bintik merah menonjol yang gatal kemudian
menjadi memanjang dan berkelok kelok membentuk alur (terowongan) di
bawah kulit2) Rasa gatal lebih hebat pada malam harif. Penegakan
diagnosis1) Anamnesis
Pada anamnesis umumnya pasien mengeluhkan gatal-gatal pada lesi,
yang semakin lama semakin gatal sekali. Pasein juga sering
mengeluhkan adanya garis kecil kemerahan, yang semakin lama semakin
memanjang dengan disertai rasa gatal. Pada anamnesis perlu
ditanyakan kepada pasien tentang faktor risiko, seperti petani,
memelihara kucing atau anjing, penambang atau sering berjalan tanpa
menggunakan alas kaki. Yang membedakan dengan skabies adalah, pada
skabies terdapat pula anggota keluarga dirumah yang memiliki
keluhan yang serupa. Selain itu tempat predileksi dari cutenous
larva migran bisa dimana saja, namun paling banyak ditemui di
telapak kaki, tangan dan bokong (Conde et al., 2007).
2) Pemeriksaan fisik
Untuk mendiagnosis cutaneous larva migran tidak memerlukan
pemeriksaan laboratorium. Selain karena mahalnya biaya, dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa inspeksi saja sudah cukup.
Pada inspeksi biasanya ditemui lesi yang berbentuk seperti saluran
kecil, berwarna merah disertai dengan reaksi inflamasi. Dapat pula
ditemui erosi hingga ekskoriasi, jika pasiennya suka menggaruk
tempat lesi. Yang membedakan dengan scabies selain dari tempat
predileksinya, terowongan cutaneous larva migrans lebih panjang.
Selain itu pada skabies terowongannya mengarah ke bawah seperti
sumur, yang akan nampak jelas dengan pemeriksaan dengan tinta
(Conde et al., 2007).
g. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah ekskoriasi dan infeksi
sekunder oleh bakteri akibat garukan. Infeksi umumnya disebabkan
oleh streptokokkus pyogenes. Bisa juga terjadi selulitis dan reaksi
alergi (Gerd, 2003).h. Prognosis
Prognosis bisanyan baik. Ini merupakan penyakit yang self
limited. Manusia merupakan hospes aksidental yang dead end di mana
larva akan mati dan lesi membaik dalam waktu 4-8 minggu. Dengan
pengobatan progresi lesi danrasa gatal akan hilang dalam waktu 48
jam. Bisa terjadi reaksi hipersensitivitas. Sering terjadi
eosinofilia perifer. Tidak terjadi imunitas protektif sehingga bisa
terjadi infeksi berulang pada pajanan berikutnya (Gerd, 2003).
7. Penyakit Tuberkulosisa. Definisi Tuberkulosis adalah suatu
penyakit infeksi yang disebabkan oleh basil Mycobacterium
tuberculosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga juga dikenal sebagai BTA (basil tahan asam). Bakteri ini
pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Penyakit
ini biasanya mengenai paru, tetapi mungkin menyerang semua organ
atau jaringan di tubuh. Biasanya bagian tengah granuloma tuberkular
mengalami nekrosis perkijuan. (Brooks, 2005).b. Etiologi Penyebab
terjadinya penyakit tuberkulosis adalah basil tuberkulosis yang
termasuk dalam genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili
Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis.
Mycobacterium tuberculosa menyebabkan sejumlah penyakit berat pada
manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering. (Brooks, 2005).
Kuman ini bersifat obligat aerob dan pertumbuhannya lambat.
Dibutuhkan waktu 18 jam untuk mengganda dan pertumbuhan pada media
kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu. Suhu optimal
untuk tumbuh pada 370C dan pada pH 6,4-7,0. Kuman tuberkulosis jika
terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu
kuman tersebut akan mati oleh yodium tinctur selama 5 menit dan
juga oleh etanol 80% dalam waktu 2 sampai 10 menit serta oleh fenol
5% dalam waktu 24 jam. Kuman akan mati pada suhu 600C selama 15-20
menit. Pengurangan oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman
(Irma, 2007).c. Epidemiologi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992
World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa
terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana
3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut
regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara
yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika
hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000
pendduduk (PDPI, 2009).Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah
8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun
2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat
di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar
39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat
di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang
cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul
(PDPI, 2009).Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk
jumlah kasus TB setelah India dan China. Setiap tahun terdapat
250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di
Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit
menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia
(PDPI, 2009).d. Faktor resiko 1)Faktor karakteristik individu
a) Faktor usia
Usia yang terlalu muda atau terlalu tua merupakan faktor risiko
terkena TB. Anak-anak usia dibawah 2 tahun sangat rentan terkena
penyakit ini, dikarenakan fungsi-fungsi pertahanan tubuh belum
berfungsi dengan dempurna. Anak-anak diatas 2 tahun hingga dewasa
lebih jarang terkena TB. Sebaliknya seseorang yang sudah tua
(terutama lebih dari 60 tahun), justru lebih rentan terkena
penyakit TB. Hal ini berkaitan dengan banyaknya fungsi tubuh yang
mulai berkurang karena proses penuaan (Diandini, Roestam dan Yunus,
2009).
b) Faktor Imunitas
Imunitas seseorang dipengaruhi oleh berbagai macam hal, seperti
asupan gizi, penyakit HIV/AIDS, diabetes mellitus, penderita
kanker, lelah, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya banyak
ditemukan penderita TB pada penderita HIV/AIDS. Hal ini dikarenakan
lemahnya sistem kekebalan tubuh untuk menghadapi infeksi kuman TB
(Diandini, Roestam dan Yunus, 2009).c) Faktor jenis kelamin
Pria lebih berisiko terkena TB dibanding wanita. Hal ini
berkaitan dengan kebiasaan pria, yaitu merokok. Telah diketahui
bahwa merokok merupakan salah satu faktor risiko dari TB. Selain
itu secara psikologis, wanita cenderung lebih perhatian terhadap
kesehatan dibanding pria (Diandini, Roestam dan Yunus, 2009).
d) Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin kecil pula
peluang terkena penyakit TB. Latar belakang pendidikan menentukan
pengetahuan seseorang mengenai suatu penyakit, penyebab, tanda
gejala, cara pencegahan serta penanganannya. Orang yang memiliki
latar belakang tingkat pendidikan yang tinggi juga cenderung
memiliki pola hidup bersih dan sehat. Selain itu, tingkat
pendidikan yang tinggi juga dapat meningkatkan kemampuan sosial
ekonomi sesorang (Diandini, Roestam dan Yunus, 2009).
e) Pekerjaan dan status gizi
Bekerja ditempat yang banyak penderita TB (dokter, perawat,
cleaning service rumah sakit), merupakan salah satu faktor risiko
dari TB. Hal ini dikarenakan tingginya peluang seseorang untuk
kontak dengan kuman, mengingat TB dapat ditularkan lewat udara.
Oleh karena itu diperlukannya alat pelindung diri, serta
kehati-hatian seorang pekerja dirumah sakit dalam bertugas
(Diandini, Roestam dan Yunus, 2009).Selain itu pekerjaan juga dapat
menentukan seberapa penghasilan keluarga. Penghasilan seseorang
dapat mempengaruhi status gizi seseorang. Yang mana status gizi
berpengaruh terhadap daya tahan tubuh seseorang. Jadi semakin
rendah tingkat pendapatan seseorang, semakin tinggi risiko terkena
TB (Diandini, Roestam dan Yunus, 2009).
2) Faktor Risiko Lingkungan
a) Kepadatan Hunian
Standar kepadatan hunian yaitu 10m2 perorang. Untuk kamar tidur
diperlukan luas lantai minimum 3m2 perorang. Jika kurang dari angka
tersebut, atau penghuni rumahnya banyak dapat berpengaruh terhadap
kualitas udara diruangan tersebut. Selain pengaruhnya terhadap
kadar oksigen, hal ini dapat memudahkan penularan penyakit TB
(Hudoyo et al., 2012).
b) Pencahayaan
Kuman penyebab TB merupakan kuman yang photosensitif, atau
sensitif terhadap cahaya, terutama cahaya matahari. Oleh karena
itu, rumah yang kurang ventilasinya atau sedikitnya cahaya matahari
yang dapat masuk kerumah, merupakan faktor risiko dari TB.
Pencahayaan minimal untuk suatu ruangan yaitu 60 lux (Hudoyo et
al., 2012).
c) Kelembaban udara
Kelembaban udara suatu ruangan yang lebih besar dari 60%,
berisiko terkena TB 10,7 kali lebih besar daripada ruangan dengan
kelembaban normal (40-60%). Hal ini dikarekanan kuman penyebab TB
menyukai tempat yang lembab dan gelap. Sedangkan kelembaban udara
sangat dipengaruhi oleh iklim, ketinggian wilayah, dan letak
geografis (Hudoyo et al., 2012).
e. Tanda Gejala (Amin, 2009)1) Demam
Demam yang ditemukan subfebril. Demam dipengaruhi oleh daya
tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis
yang masuk.
2) Batuk dan batuk berdarah
Batuk terjadi karena iritasi pada bronkus sehingga terjadi
reflek pembuangan produk-produk radang. Pada awalnya ditemukan
batuk nonproduktif namun setelah timbul peradangan batuk menjadi
produktif. Untuk batuk berdarah, terjadi karena pembuluh darah yang
pecah.
3) Sesak napas
Pada penyakit yang sudah berlanjut, terjadi infiltrasi yang
sudah meliputi setengah bagian paru sehingga terjadi sesak
napas.
4) Nyeri dada
Tidak semua pasien merasakan gejala ini, namun jika terdapat
nyeri dada itu dikarenakan infiltrasi radang yang sudah mencapai
pleura dan menimbulkan pleuritis. Nyeri dada terjadi karena gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik dan melepaskan napasnya.
5) Malaise
Keadaan ini ditandai degan anoreksia yang ditunjukkan dengan
nafsu makan yang turun, badan semakin kurus, berat badan turun,
sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringan malam.
f. Penegakan diagnosis1) Anamnesis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan, atau
adanya anggota keluarga yang memiliki gejala dan tanda yang sama
(Amin, 2007).
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan terhadap keadaan umum pasien bisa ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang anemia, demam atau berat badan
menurun. Pada perkusi didapatkan suara redup biasanya pada apeks
paru yang terdapat infiltrat serta auskultasi didapat suara napas
bronkial, kadang ronki basah halus atau ronki basah kasar dan
nyaring, bila terdapat juga penebalan pleura bisa didapat suara
napas vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup luas maka
perkusi bisa memberikan suara hipersonor atau timpani dan
auskultasi didapat suara amforik (Amin, 2007).
3) Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus TB Paru, pemeriksaan penunjang yang serong dilakukan
adalah foto thorax. Pada pemeriksaan foto thorax biasanya ditemukan
gambaran lesi pada bagian apeks paru. Pemeriksaan yang biasanya
menjadi standar penegakkan diagnosis TB Paru adalah pemeriksaan
sputum. Pemeriksaan sputum berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan tiga spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Amin,
2007):
a) S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.b) P
(Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di sarana pelayanan kesehatan.c) S (sewaktu): dahak
dikumpulkan di sarana pelayanan kesehatan pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.
Gold Standart penegakkan diagnosis sputum menurut WHO tahun
1991, kriteria penderita TB Paru adalah (Amin, 2007):
a) Pasien dengan sputum BTA positif
i. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis
ditemukan BTA, sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan,
atau
ii. Satu sediaan sputumnya positifdisertai kelainan radiologis
yang sesuai dengan gambaran TB aktif, atau
iii. Satu sediaan sputumnya positif dengan disertai biakan yang
hasilnya positif
b) Pasien dengan sputum BTA negatif
i. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya tidak ditemukan BTA,
sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan tapi gambaran
radiologisnya mirip dengan gamabran TB aktif, atau
ii. Pada pemeriksaan sputum tidak didapat BTA namun pada
pemeriksaan biakan ditemukan sel BTAAlur Diagnosis TB
Sumber (Depkes RI, 2006)g. Komplikasi
Pada pasien tuberculosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik
sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah
selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah
(Werdhani, 2002) :1) Batukdarah
2) Pneumotoraks
3) Luluhparu
4) Gagalnapas
5) Gagaljantung
6) Efusi pleura
h. Prognosis
Prognosis pada pasien tuberkulosis baik apabila teratur berobat,
namun apabila tidak teratur atau tidak di tangani dengan baik akan
terjadi komplikasi seperti TB MDR atau TB ekstra paru (Werdhani,
2002).8. Penanganan Komprehensif
a. Personal approach 1) Plan Diagnosis
c) Creeping Eruption (Cutanneus Larva migran)Diagnosis definitf
pada penyakit ini dilakukan dengan memperhatikan bentuk khas lesi
kulit yang timbul yakni kelainan seperti benang yang lurus atau
berkelok, meninggi, dan terdapat papul atau vesikel di atas lesi
tersebut. Diagnosis juga didukung dengan faktor resiko baik
internal maupun eksternal yang ada pada indivisu, seperti misalnya
tidak menggunakan sanda ketika keluar rumah dan memiliki binatang
peliharaan (Aisah, 2011).
d) Tuberkulosis
Penegakkan diagnosis TB dilakukan dari anamnesis dengan melihat
tanda dan gejala, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologis dan
pemeriksaan radiologi. Keluhan klasik TB antara lain demam
subfebris, batuk yang bisa disertai dengan darah, sesak napas,
nyeri dada, malaise, penurunan nafsu makan dan berat badan.
Pada pemeriksaan fisik biasanya akan ditemui konjungtiva atau
kulit yang anemis dengan badan kurus atau berat badan yang menurun.
Pada pasien TB yang masih awal, jarang ditemui kelainan pada
pemeriksaan fisik. Tempat kelainan lesi TB yang patut dicurigai
adalah apeks paru. Bila dicurigai ada infiltrat yang luas, akan
didapatkan suara redup pada perkusi dan suara napas bronkial pada
auskultasi. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki
basah, kasar, dan halus. Bila kavitas nya cukup besar, akan dapat
kita dengan suara amforik.
Pemeriksaan bakteriologis dengan pemeriksaan sputum sewaktu,
pagi dan sewaktu untuk pasien rawat jalan. Untuk pasien rawat ini
dilakukan pemeriksaan sputum pagi, pagi, dan pagi. Diagnosis tegak
jika ditemukan BTA positif.
Gambar 1. Algoritma penegakkan TB2) Plan KIE (Komunikasi,
Informasi, Edukasi)
a) Creeping Eruption (Cutanneus Larva migran)Penyakit ini
diakibatkan oleh larva yang terutama berasal dari cacing tambang
binatang. Jika larva ini masuk ke dalam kulit akan disertai rasa
panas dan gatal yang kemudian akan timbul lesi kulit khas. Penyakit
ini bisa disembuhkan dengan obat tertentu tetapi memliki
kemungkinan re-infeksi jika larva kembali menembus kulit (Aisah,
2011).b) Tuberkulosis
Penyakit diakibatkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis.
Penyakit ini tidak diturunkan melinkan ditularkan melalui droplet
ketika pasien berbicara, batuk, dan bersin. Sehingga penderita
harus menjaga diri dan sekitarnya ketika batuk ataupun bersin dan
batuk. Penyakit ini bukan penyakit kutukan dan dapat disembuhkan
asalkan menjalani pengobatan dengan teratur.
3) Plan Pengobatan
b) Creeping Eruption (Cutanneus Larva migran)Pengobatan
non-medikamentosa dilakukan dengan mengurangi menggaruk di daerah
lesi karena akan memunculkan lesi kulit sekunder yang cukup
mengganggu. Creeping eruption dapat diobati dengan anti-helminthes
berupa tiabendazol oral 50 mg/KgBB/hari sehari 2 kali
berturut-turut selama dua hari dan dosis maksimal 3 gram/hari. Efek
samping yang mungkin timbul adalah mual, muntah, dan pusing. Untuk
menghindari efek samping bisa juga diberikan dalam bentuk topikal.
Selain tiabendazol dapat pula diberikan albendazol dengan dosis 400
mg/ hari dosis tunggal selama 3 hari berturut-turut (Aisah, 2011).
CTM 4 mg.perhari atau loratadine 1x 10 mg perhari untuk meringankan
keluhan gatal (Putranti, 2013)c) Tuberkulosisi. Obat Anti
Tuberkulosis kategori 1Pada pengobatan pasien TB, kategori penyakit
digolongkan menjadi tiga kategori berdasarkan kasus dari penderita
TB dan kebutuhan pengobatan dalam program. Kasus TB kategori I
merupakan suatu kasus baru TB dengan BTA (+) yang mana kasus baru
di sini bermakna bahwa pasien baru pertama kali mengalami TB dan
belum pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya atau sudah pernah minum
OAT tetapi < 1 bulan. TB kategori I ini merupakan kasus baru
pada pasien dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB
milier, perikarditis, peritonitis, pleuritif masif atau bilateral
dan penderita dengan sputum (-) tetapi kelainan parunya luas yang
apabila pada gambaran foto rontgen, terdapat infiltrat yang lebih
dari spatiumintercostalis 2 (SIC 2) (Muttaqin, 2008).Pada pasien
yang termasuk kasus baru/kategori I, maka pengobatan yang harus
diberikan adalah OAT kategori I dengan aturan sebagai berikut :
Penderita TB
Kategori IPanduan Obat
Fase Awal (tiap hari atau 3x seminggu)Fase Lanjut
Kasus baru TB paru, dahak (+)2 RHZE (RHZS)4HR
Kasus baru TB paru dahak (-)
dengan kerusakan parenkim luas2 RHZE (RHZS)6HE
Kasus baru TB extra paru2 RHZE (RHZS)4 H3R3
Tabel 2. Panduan OAT Kategori I (Muttaqin, 2008)Fase lanjutan
diberikan ketika setelah pengobatan fase awal/intensif selama 2
bulan, apabila sputum masih tetap (+). setelah fase lanjutan masih
tetap BTA (+), maka dapat dilakukan pengobatan fase awal lagi
dengan diperpanjang 2-4 minggu (Muttaqin, 2008).Obat anti
tuberkulosis, pencantumannya menyesuaikan dengan bentuk dan
kekuatan sediaan yang digunakan dalam program Pengendalian Penyakit
Tuberkulosis Nasional. Sediaan yang berbentuk Paduan dalam bentuk
dosis tetap atau FDC ( Fixed Dose Combination) atau Paduan dalam
bentuk kombipak, baik untuk dewasa maupun untuk anak.Sedangkan
sediaan oral bentuk tunggal sudah tidak dicantumkan lagi dengan
pertimbangan untuk:1. Meningkatkan kepatuhan pasien
2. Memudahkan dalam pemberian
3. Meminimalkan risiko resistensi (MDR = Multidrug
Resistance)
Kecuali untuk Isoniazid tablet, masih disediakan dalam bentuk
tunggal, karena dibutuhkan untuk profilaksis TB pada anak dan HIV
AIDS. Jika dalam kondisi dimana terjadi alergi pada salah satu
obat, maka dapat digunakan sediaan kombipak, dengan mengeluarkan
obat yang menyebabkan alergi tersebut (Kemenkes, 2011).
ii. Obat Anti Tuberkulosis Kategori 2
Paduan OAT kategori ini diberikan untuk pasien BTA positif yang
telah diobati sebelumnya:1. Pasien kambuh
2. Pasien gagal
3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
Setelah fase intensif, maka diberikan obat fase lanjutan.
Tabel 2. Panduan OAT kategori II (Kemenkes, 2009)
iii. Pengobatan simptomatis Tb (Rahmawati, 2013)
1. Diberikan GG 3 x 20 mg2. Mukolitik : Ambroksol 3 x 20 mg3.
Vitamin B6 bila ada keluhan neuritis4. Sulfas Ferosus 3 x 200 mg
apabila ditemukan konjungtiva anemis4) Plan Monitoring dan
Evaluasi
a) Creeping Eruption (Cutanneus Larva migran)Monitoring
dilakukan untuk melihat bagiamana perkembangan lesi dan apakah
larva sudah mati. Efek samping obat juga dinilai. Evaluasi dapat
dilakukan pasen dengan mengubah faktor resiko yang bisa diubah
sepert kebiasaan memakai sandal dan higienitas keluarga (Aisah,
2011).
b) Tuberkulosis
Evaluasi pada TB dilakukan di akhir bulan kedu pengobatan dan
akhir bulan kelima pengobatan. Yang dievaluasi antara lain gejala
klinis seperti batuk, nafsu makan turun, dan berat badan, hasil tes
bakteriologis apakah masih positif atau negatif, efek samping obat
terutama pirazinamid yang berefek hepatotoxic (kemenkes, 2011).
b. Family approach 1) Cutaneus Larva Migrans (Sumanto, 2010)a)
Jelaskan mengenai faktor risiko, habitat larva cacing, cara
infeksi, penularan, serta bagaimana pengobatan yang harus
dilakukan
b) Ingatkan pasien atau anggota keluarga yang menderita creeping
eruption agar tidak menggaruk terus-menerus karena dapat
mengakibatkan lesi atau erosi pada kulit
c) Berikan dukungan pada keluarga yang menderita creeping
eruption, dengan mengantarkan ke layanan kesehatan terdekat
2) TB Paru (Wibowo, 2013)a) Munculkan anggota keluarga yang mau
peduli terhadap penderita
b) Adakan pengawas minum obat agar obat yang diminum penderita
bisa teratur
c) Lakukan screening pada seluruh anggota keluarga, terutama
yang sering kontak dengan penderita
d) Intake nutrisi yang cukup sehingga kebutuhan gizi
terpenuhi
e) Lakukan upaya pencegahan dari anggota keluarga seperti
menerapkan pola hidup sehat
f) Tidak menjauhi anggota keluarga yang menderita Tb tetapi mau
menerimanya
c. Community approach 1) Mengadakan penyuluhan di desa Tn. Popon
mengenai penyakit TBC khususnya gejala, faktor risiko dan cara
penularan2) Menganjurkan pada warga desa untuk segera memeriksakan
diri apabila didapatkan tanda-tanda TBC3) Memberikan edukasi
bagaimana membangun rumah sehat4) Karena desa tersebut merupakan
daerah padat penduduk makan diedukasikan agar selalu menjaga
kebersihan lingkungan5) Melaporkan ke pemerintah lokal untuk
dilakukan screening TBC pada desa Tn. Popon karena dikhawatirkan
daerah tersebut merupakan daerah endemis TB6) Memberitahu bahwa
kepadatan rumah sangat berpengaruh pada penyebaran penyakit
infeksius seperti TBC7) Edukasi cara pola hidup sehat baik itu menu
makanan bergizi, menjaga kebugaran dengan berolahraga bersama dan
kegiatan-kegiatan lainBAB 1V
KESIMPULAN
1. Diagnosis pasien adalah Cutaneus Larva Migrans suspek TBC
kasus baru.
2. Faktor risiko Cutaneus Larva Migrans pada pasien adalah
pekerjaan dan hobi yang sering kontak dengan habitat larva cacing
seperti pasir dan tanah yang lembab, tidak mengenakan alas kaki
saat kontak dengan tanah, kurangnya higiens, dan laki-laki yang
lebih sering kontak dengan tanah.
3. Faktor risiko TBC pada pasien adalah kontak dengan penderita
suspek TBC.
4. Tatalaksana pada pasien meliputi aspek personal, family
approach, dan community approach.
5. Penatalaksanaan pada aspek personal meliputi plan diagnosis,
rencana pengobatan, KIE (komunikasi, informasi dan edukasi),
monitoring dan evaluasi.
6. Penatalaksanaa pada family approach meliputi edukasi mengenai
faktor risiko, perkembangan penyakit, pengobatan, pencegahan
penyakit Cutaneus Larva Migrans dan TBC, dukungan keluarga untuk
pasien, fungsi PMO pada pengobatan TBC, screening TBC pada anggota
keluarga lain, dan intake nutrisi yang adekuat.
7. Penatalaksanaan pada community approach meliputi memberian
informasi pada komunitas sekitar pasien mengenai penyakit, cara
penularan, bagaimana menghidari penularan, faktor risiko penyakit
cutaneus larva migrans dan TBC, dan pelaporan penyakit infeksius
pada pemerintah setempat. DAFTAR PUSTAKA
Aisah, Siti. 2007. Creeping Eruption dalam Buku Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta: FKUIAisah, Siti. 2011.
Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit Kelamin Edisi 6.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.Amin, Zulkifli. 2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam FK UI Jilid II Edisi IV. Jakarta: PP IPD FKUI
Pusat.Amin, Z., Bahar, A. 2009. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna
PublishingBrooks, F.G.,et al., 2005. Mikobakteria. In: Mudihardi,
E.H., ed. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Salemba
Medika, 453-465.Budimulja U. 2007. Mikosis. Dalam: Djuanda A,
Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI. Conde, Jennifer F., Steven R. Feldman,
Quirina M. Vallejos, Sara A. Quandt, Lara E. Whalley, et al., 2007.
Cutaneous Larva Migrans in a Migrant Latino Farmworker. Journal of
Agromedicine, Vol. 12 (2) Dahlan, Zul. 2009. Pneumoni dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi V . Jakarta : Interna
Publishing
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama.
Jakarta.Diandini, R., Ambar W. Roestam dan Faisal Yunus. 2009.
Pengaruh Pekerjaan dengan Pajanan Debu Silika terhadap Risiko
Tuberkulosis Paru. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 59Djuanda.
A,Hamzah. Aisah S. 2005. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
keempat, cetakan pertama, Jakarta: Baai Penerbit FKUIDodiet, Aditya
S. 2008. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular dan Faktor Risiko.
Surakarta: PolitekesGerd P,Thomas J. 2003. Cutaneous Larva Migran.
Terdapat dalam: Fitzpatrick`s dermatology in general medicine 6th
ed[ebook]. New York : Mc Graw Hill.Heryantoro, Lutvi. 2012.
Analisis Faktor Risiko Kejadian Creeping Eruption di Kabupaten
Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta:
UGMHudoyo, A., Prasenohadi dan Sumardi. 2012. Jurnal Tuberkulosis
Indonesia. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI),
Vol. 8Ihromi, 2004. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia Irma, T., 2007. Konversi Sputum BTA pada
Fase Intensif TB Paru Kategori Antara Kombinasi Dosis Tetap. Medan:
FK USU.Jusych, LA. Douglas MC. 2009. Cutaneous Larva Migrans:
Overview, Treatment and Medication. Diunduh dari www.emedicine.com.
Kemenkes RI. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 364/Menkes/Sk/V/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan
Tuberkulosis (TB).Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor2500/Menkes/SK/XII/2011 Tentang Dafar Obat
Esensial Nasional 2011.Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan
Keperawatan Klien dengan GangguanSistem Pernapasan. Jakarta :
Salemba Medika. hal : 81PDPI. 2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta.Peris,M. 2008. Pruritic,
serpiginous eruption in a returning traveller. CMAJ 179. Diunduh
dari: http//:www.cmaj.ca/cgi/content/full/179/1/51Putranti,
Ismiralda O. 2013. Lecture Dermatomikosis. Purokerto : FKIK
UnsoedRahmawati, Indah. 2013. Lecture Diagnosis dan Tatalaksana
Tuberkulosis : Purwokerto : FKIK Unsoed
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi V. Jakarta : Internal Publishing Sumanto, Didik. 2010. Faktor
Risiko Cacing Tambang pada Anak Sekolah. Semarang: UNDIPTierney, M,
Papadakis. 2003. Cutaneous Larva Migran. Terdapat dalam: Current
medical diagnosis & treatment 45th ed[ebook]. San Francisco:Mc
Graw Hill.Werdhani, Retno Asti. 2002. Patofisiologi, Diagnosis, Dan
Klafisikasi Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI
Werdhani, Retno asti. 2009. Patofisiologi, Diagnosis, dan
Klasifikasi Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran
Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FK UI. Wibowo,Yudhi. 2013.
Diagnosis Holistik (Multi Aspek) dan Penanganan
Komprehensif(Paripurna). Purwokerto: Kedokteran Unsoed
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING 2BLOK ECCE 1
Tutor: dr. Dwi Adi NugrohoKelompok 4Riandi Candra Prayoga
G1A011048Prakosa Jati P
G1A011049Dinda Ika Putri
G1A011064Pretty Noviannisa
G1A011165Alfiana Choiriyani U
G1A011072Robiah Al Adawiyyah
G1A011073Tiyo Nurakhyar
G1A011086M. Savvyany Saputra
G1A011090Elena Wandantyas
G1A011100Luluk Kharisma Suryani
G1A011104Setya Aji Priyatna
G1A009079KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO2013